-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ushiro no Seki no Gal ni Sukarete Shimatta V2 Chapter 5 Part 4

Chapter 5 - Bagian 4
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯

"Haah... haah..."

Sambil mengatur nafasnya, Sandai menengadah ke langit dan melihat bulan purnama serta bintang yang berkilauan mengambang di langit. Dan sebelum dia menyadarinya, salju juga turun seperti kerlipan.

Shino itu... meskipun dia menggodaku, barusan benar-benar keterlaluan. Astaga, ada apa dengannya?

Yang punya masalah adalah Sandai.

Berpikir secara normal, akan lebih baik untuk pergi ke lobi penginapan jika ia ingin melarikan diri, namun ia malah pergi ke pemandian terbuka di mana tidak ada yang bisa menghalangi... ia tidak lebih dari seorang bodoh yang telah memblokir jalan keluarnya sendiri.

Mungkinkah Sandai sebodoh ini?

Ya.

Shoop, suara pintu geser yang ditarik terbuka terdengar dari belakang Sandai, membuatnya membeku.

Sandai tidak menoleh untuk melihat.

Ia bisa mendengar suara orang mandi, tapi ia sama sekali tidak menoleh ke belakang.

Namun, dia tetap penasaran.

Jadi, setelah suara air benar-benar hilang, Sandai menoleh ke belakang setelah beberapa detik berlalu dan tentu saja, hanya untuk menemukan Shino di sana.

"Pemandian terbuka~"

Shino telah menyanggul rambutnya dan membungkus tubuhnya dengan handuk. Sandai merasa lega karena ia tidak telanjang, tapi ia tetap diam, menyadari bahwa situasinya tidak berubah sedikitpun.

"...."

"Kenapa kamu diam saja?"

"A-Aku disini... duluan tau. Daripada itu, kenapa kau malah masuk?"

"Eh, nggak apa-apa, kan? Lagian, kita itu pacaran. Jadi, ini hal yang wajar, bukan?"

Tepat sekali.

Orang-orang yang akan menjawab bahwa aneh bagi sepasang kekasih untuk masuk ke kamar mandi bersama jika ditanya tentang hal itu adalah minoritas. Jawabannya akan sangat sederhana: adalah hal yang gila kalau kau menjadi sepasang kekasih dengan seseorang yang tidak ingin kau ajak mandi bersama.

"... Itu tidak aneh, tapi."

"Kalau begitu, ayo kita mandi bersama."

Shino memasuki bak mandi sambil terkekeh, dengan cepat mendekati Sandai dan duduk di pangkuannya.

"K-Kenapa di pangkuanku."

"Kenapa kamu terkejut? Kita sering melakukan hal ini di apartemenmu, kan? Apa yang salah tiba-tiba?"

Memang, ketika menghabiskan waktu berdua di apartemen Sandai, ia sering memangku Shino.

Namun, meskipun terlihat sama, situasinya berbeda.

Mereka berdua mengenakan pakaian di apartemen Sandai. Tapi, saat ini hanya ada selembar handuk mandi yang bisa jatuh hanya dengan sedikit tarikan yang menghalangi kontak tubuh secara langsung dan dia tidak menganggap itu sama seperti biasanya.

"Tidak bagus, sesuatu seperti ini hanya..."

"Nggak apa-apa, kamu tahu-aku juga sudah... datang ke sini dengan persiapan hari ini."

Berpegangan tangan, berciuman, membuat kenangan... Sandai mengira bahwa ini sudah cukup. Ia mengira bahwa hal itu tidak akan menjadi masalah bahkan tanpa melangkah lebih jauh.

Dia bahkan berpikir bahwa meskipun suatu hari nanti waktu seperti pernikahan akan datang, hal itu akan berlangsung seperti saat ini untuk sementara waktu dan menjalin hubungan fisik tidak akan diperlukan.

Tentu saja, bukan berarti Sandai tidak tertarik melakukan seks. Karena alasan inilah dia memiliki Doujin, Nekopoi, Erogame dan semacamnya.

Namun, dia memiliki keengganan untuk benar-benar melakukan tindakan seperti itu.

Karena dia mengerti bahwa ada implikasi nafsu di sana juga, dia mungkin jatuh ke dalam kebencian pada diri sendiri, menderita karena dia hanya ingin merasa baik sambil menggunakan perasaan cinta sebagai alasan.

Jadi, dia berusaha untuk tidak memikirkannya.

Dia telah menutup diri dari dirinya yang kotor, sehingga dia tidak akan melihatnya jika memungkinkan.

Namun, Shino secara paksa membongkar hati Sandai. Dengan tindakannya, dengan suasana hatinya, dia memohon pada Sandai, menyuruhnya untuk menunjukkan bagian negatif darinya.

Yah, umm, tidak pasti apakah itu yang sebenarnya Shino pikirkan... tapi bagaimanapun juga, yang pasti Shino secara implisit mengatakan bahwa ia ingin terhubung secara mendalam baik dalam hati maupun tubuh.

"Aku...."

Sandai berusaha keras untuk mendapatkan kembali ketenangannya, tapi bau feminin yang melayang dari tengkuk Shino menyerempet hidungnya, membuatnya hampir kehilangan akal sehatnya.

Sandai bahkan mulai berpikir bahwa mungkin tidak terlalu buruk untuk kalah dengan instingnya. Seolah ada dorongan dari belakang, perlahan dan lembut, Shino mulai melingkarkan jemarinya dengan jari-jarinya.

"... Aku belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, ini pertama kalinya. Jadi, aku berusaha keras untuk mengeluarkan keberanian tau."

"....."

"Aku ingin merasakan satu sama lain dengan orang yang kucintai, aku ingin menjadi 'lebih dekat'... Aku ingin melanjutkan ke bagian selanjutnya setelah ciuman..."

Di balik kata-kata Shino yang berbelit-belit, itu adalah pernyataan perasaannya, bahwa dia ingin Sandai menginginkannya. Tidak ada orang yang bisa melihat hal yang begitu jelas.

Dalam timbangan di hati Sandai, ada perasaan tidak menyenangkan terhadap dirinya sendiri yang ditempatkan di satu sisi dan perasaan ingin memenuhi keinginan Shino di sisi lain.

Mustahil bagi keduanya untuk memiliki bobot yang sama persis, timbangan dalam hatinya akhirnya bergeser ke satu sisi.

Dengan cepat, timbangan itu condong ke sisi yang ingin memenuhi keinginan Shino. Bagi Sandai, perasaannya pada Shino lebih berat daripada perasaannya sendiri.

"Shino..."

"Iya... ahn~"

Ciuman biasa, kecupan, ciuman orang dewasa, ciuman di tengkuk dan tulang selangka-mereka terus mengekspresikan cinta mereka dengan bibir mereka selama sekitar 10 menit.

Baik itu suara mata sumber air panas atau suara ciuman mereka, semakin sulit untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya. Ia memeluk Shino erat-erat.

Namun, saat itu juga Shino meletakkan jari telunjuknya di bibir Sandai dan berkata, "T-Tunggu."

"... Bahkan jika kau mengatakan kita tidak bisa. Aku tidak akan menghentikan diriku lagi."

"Aku juga akan marah kalau kamu berhenti di sini... Bukan itu yang kumaksud. Ayo kita lakukan di kamar. Mari kita lanjutkan di kamar, oke?"

"... Kau ingin melanjutkan ke bagian selanjutnya setelah ciuman, kan?"

"Mm... tolonglah bersikap lembut... Hari ini kamu tahu, aku membawa hadiah pakaian dalam yang kamu berikan padaku. Jadi, aku akan memakainya."

Setelah keluar dari pemandian terbuka, Shino mengenakan pakaian dalam hadiah Natal yang diberikan Sandai padanya dan berbaring menghadap ke atas di atas kasur. Masih dalam posisi seperti itu, ia mengulurkan tangannya dan mengeluarkan sebuah buku dari tas ranselnya yang terbuka.

"... Mau mencoba ini juga?"

Itu adalah buku yang Shino katakan bahwa ia ingin mempelajarinya dan telah dibelinya saat mereka membuntuti ketua kelas atas permintaan Takasago. Judulnya: 20 Cara Berciuman untuk Memperdalam Cinta.

Sandai merasa sekarang mereka tidak berada pada tahap di mana studi semacam itu akan dibutuhkan. Tapi meski begitu, selama Shino ingin mencobanya, dia akan melakukan hal itu.

Setelah membuka buku itu dan meletakkannya di samping, Sandai membungkuk dan memeluk Shino erat-erat. Setelah itu, satu per satu, ia mencoba ciuman yang tertulis di buku tersebut.

Setiap kali perasaan mereka berangsur-angsur menjadi terangsang, sebuah perasaan misterius seolah-olah menaiki tangga kedewasaan selangkah demi selangkah datang menyerang.

Nafas panjang mereka bercampur aduk satu sama lain dan sekarang, bahkan tidak jelas lagi, nafas siapa yang menghembuskannya.

Dan kemudian, tepat pada saat yang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk menjadi satu-Sandai menyadari keanehan Shino.

Mata Shino basah dan penuh dengan antisipasi. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Sandai merasakan sedikit rasa cemas dan takut bercampur aduk.

Aku sudah siap-itu yang dikatakan Shino sebelumnya di pangkuan Sandai. Maksudnya adalah, semua perilaku yang mengundang itu adalah sebuah pertunjukan keberanian.

Untuk memiliki hubungan fisik untuk pertama kalinya, dalam arti yang berbeda dari Sandai, adalah sesuatu yang Shino juga tidak bisa lakukan selain merasa takut dan cemas.

Itu sebabnya dia menggoda Sandai secara berlebihan lebih dari biasanya. Dengan melakukan hal itu, ia sudah mati-matian menahan tekadnya yang goyah.

Namun, Sandai tidak bisa berhenti juga pada saat ini. Meskipun begitu, hanya ada satu hal yang tidak ia lupakan; berusaha untuk tidak membuat Shino cemas, sebisa mungkin tidak membuat Shino merasa takut.

Sandai menggenggam tangan Shino, melingkarkannya pada punggungnya sendiri, dan berkata, "... Pergi cakar dan lukai punggungku dengan kukumu."

"Eh...?"

"Kalau kau melakukan itu, rasa cemasmu, perasaan takutmu dan semacamnya akan berkurang sedikit. Mungkin."

"Aku tidak merasa cemas, takut atau... apa pun itu....."

"Jika kau menanggungnya, itu hanya akan berubah menjadi pengalaman pertama yang pahit, kenangan yang tidak ingin kau ingat atau sesuatu seperti itu. Aku ingin ini menjadi kali pertama yang kita berdua anggap sebagai yang terbaik, sehingga kita ingin mengenangnya lagi dan lagi. Itulah sebabnya, cakarlah punggungku dengan segenap kemampuanmu hingga meninggalkan bekas dan keluarkan perasaanmu, rasa takut, rasa cemas, semuanya tanpa memendamnya."

Setelah mendengar bisikan Sandai di dekat telinganya, mungkin ketegangan kegugupannya telah mengendur, Shino memejamkan matanya dengan erat dan mengangguk berulang kali saat tetes air mata melayang dari sudut matanya.

"... Maaf. Aku ingin menjadi gadis cabul dan membuatmu bahagia, tapi seperti yang kupikirkan, pertama kali itu menakutkan dan membuatku cemas."

"Tidak perlu minta maaf. Tapi, bagian tentang dirimu itu juga sangat imut. Aku mencintaimu, Shino."

"Aku juga mencintaimu, Sandai... Aku sangat mencintaimu... Aku sangat mencintaimu..."

Justru karena hati dan tubuh memiliki hubungan yang erat, maka menghargai satu sisi saja akan melahirkan sikap berat sebelah, yang juga dapat menyebabkan hubungan yang menyimpang.

Hanya ketika kau menjadi satu dengan keduanya, kau dapat menjadi kekasih dalam arti yang sebenarnya untuk pertama kalinya. Saling membuka diri, menerima satu sama lain dan itu akan menjadi awal dari sana.

Jadi, bisa dikatakan bahwa Sandai dan Shino pun akhirnya berdiri di garis awal.

* * *

Seakan-akan itu belum cukup, punggungnya yang dicakar Shino terasa perih dan sakit, dan anehnya, terasa seperti terbakar. Sekarang sudah sedikit lebih baik, tapi masih ada sensasi darah yang keluar sampai beberapa saat yang lalu.

Penasaran, bagaimana keadaan punggungnya, Sandai memeriksanya di cermin-hanya saja, ia terkejut, karena begitu banyak bekas cakaran.

Ada juga sejumlah goresan yang cukup dalam, yang pasti akan meninggalkan bekas.

"K-Kamu yang menyuruhku, oke?! Kamu bilang padaku bahwa aku boleh melakukan semauku!"
,
"Bukannya aku marah. Hanya saja, setiap kali kau melihat punggungku, itu mungkin membuatmu berpikir kembali bahwa kaulah yang melakukannya. Tapi, apa kau baik-baik saja dengan hal itu?"

"Itu juga bisa terlihat seperti sebuah tanda bahwa punggung ini adalah milikku. Jadi, aku akan merasa puas setiap kali melihatnya."

"B-Begitu. Baguslah."

"Lagipula, yang berdarah bukan kamu saja, aku juga. Jadi kita impas~"

Darah yang dia tekankan adalah darah yang disebabkan oleh pecahnya selaput dara.

Hal itu tidak disadari di awal, tetapi di tengah-tengah. Dan belum lagi Sandai, Shino juga tercengang.

Sandai sudah tahu kalau darah itu bisa keluar. Justru karena itu ia berusaha bersikap lembut dengan caranya sendiri bahkan saat menahan rasa sakit dari cakaran Shino di punggungnya.

Meski begitu, darah telah keluar, jadi Sandai terkejut.

Shino juga sempat berkata, "Eh? Eh?" bingung dan tampaknya menjadi sangat panik, ia tiba-tiba memeluk Sandai erat-erat dan menggaruk punggungnya lebih kuat.

Sembilan puluh persen dari luka yang cukup dalam untuk meninggalkan bekas berasal dari saat ini.

"Bagaimanapun, fakta bahwa darah keluar... apa itu sakit? Aku mencoba untuk bersikap lembut."

"Rasanya memang aneh, tapi... tidak sesakit yang aku bayangkan. Hanya saja, itu membuatku agak terkejut saat melihatnya."

Sandai merasa lega. Itu mungkin akan menjadi kenangan yang tidak menyenangkan bagi Shino seandainya itu menyakitkan. Jadi, dia senang karena dia bisa menghindarinya.

"Aku dengar ada juga banyak orang yang tidak berdarah bahkan pada saat pertama kali dan jika itu banyak, aku bertanya-tanya apakah aku akan seperti itu juga..."

"Jadi ada orang yang tidak akan berdarah, ya."

"Mm, kudengar ada banyak orang seperti itu... Sebenarnya, kau tahu? Ini sangat lucu."

Sambil berbaring di atas kasur, Shino mencubit kondom yang sudah terpakai dan menggembung dan tertawa.

"Sangat penuh seperti balon~"

"... M-Mau bagaimana lagi, kan? Maksudku, aku baru saja berhubungan seks dengan pacar yang kucintai untuk pertama kalinya. Setidaknya lepaskan aku dari hal itu."

"Fufu. Ini seperti Calpis yang diencerkan, entah bagaimana terlihat seperti minuman, bukan? ... Mungkin aku harus menjilatnya?"

"B-Bodoh."

Shino mengatakan hal-hal aneh. Jadi, Sandai menyambar kondom itu, mengikatnya agar bagian dalamnya bisa keluar dan melemparkannya ke tempat sampah.

"Ah..."

"Jangan menjilati itu!"

"Tapi aku penasaran, seperti, aku ingin tahu bagaimana rasanya."

Sandai membiarkan Shino memakan sebuah kecupan ringan di dahinya, membuatnya berkata, "Auwh," dan memejamkan matanya.

"Jangan mengatakan hal-hal yang aneh-aneh."

"Tidak perlu masuk ke dalam suasana hati yang buruk seperti itu... Aku sudah membiarkan diriku dimanjakan olehmu dan terus menggaruk punggungmu, tetapi setelah bercinta dan aku sudah tenang, sejujurnya, aku merasa sedikit menyesal. Tapi, melihat kondom yang digunakan, aku mengerti seperti, 'Ah, jadi Sandai juga benar-benar puas!' dan setelah itu, aku melihat bagian dalamnya juga lucu."

Shino memang mengatakan hal-hal yang aneh, tetapi tampaknya itu adalah kata-kata yang murni berasal dari perasaannya yang sebenarnya, sehingga sulit bagi Sandai untuk mengeluh.

Namun, meskipun sulit untuk mengatakannya, Sandai berpikir bahwa meminumnya, menjilatnya dan semacamnya benar-benar aneh. Jadi, dia ingin menegur Shino, meskipun dengan cara yang lembut-meskipun, sebelum dia bisa, dia menyadari bahwa Shino sudah tertidur dengan nyenyak.

Sepertinya Shino cukup lelah.

Seks pertama mereka telah berakhir tanpa masalah, rasa gugup yang berlebihan sudah hilang dan kemudian ada rasa lega juga. Menambahkan semua itu, Shino merasa lelah.

"... Selamat malam," kata Sandai dan mencium kening Shino.

Segera setelah itu, meskipun Shino masih tertidur dan belum bangun, ada seringai di wajahnya dan air liur tumpah dari sudut mulutnya.

"Fuhehe... fuheh..."

"Lihatlah dirimu, membuat wajah lucu... Tunggu sebentar... wajah lucu?"

Tiba-tiba, kalau dipikir-pikir, aku masih belum membalas perbuatannya yang memotret wajahku yang mencium jendela kereta, Sandai teringat.

Karena saat ini adalah kesempatan yang tepat untuk itu, Sandai mengambil foto wajah Shino yang mengeluarkan air liur dengan smartphonenya.

Ayo kita tunjukkan ini padanya saat perjalanan pulang nanti...

* * *

Malam pun berakhir. Sandai dan Shino dengan santai bangun sekitar pukul 7 pagi, bersiap-siap untuk pulang ke rumah dan setelah itu mereka pergi untuk sarapan.

Setelah sampai di lorong, Sandai segera menyadari bahwa Shino tampak sedikit aneh. Shino tidak berjalan dengan lurus, melainkan terhuyung-huyung.

"Oof..."

"Ada apa?"

"Yah, umm, bagian bawah perutku masih terasa aneh, sedikit..."

Dari sisi tubuh, tidak diragukan lagi, perasaan aneh itu disebabkan oleh hubungan seks tadi malam. Tentu saja yang terutama bertanggung jawab atas hal itu adalah Sandai dan yang bersangkutan juga menyadarinya.

Kemudian, meskipun tidak dimaksudkan untuk menebusnya, Sandai memutuskan untuk memberi Shino sebuah piggy back. "Naiklah," kata Sandai kepada Shino. Lalu dengan gontai ia menaiki punggungnya.

"Makasih."

"Aku juga ikut bersalah di sini."

"Bukan sebagian, tapi semuanya, kan? Siapa sih yang mendorong benda besar itu masuk~?"

"Ughh, kau melihatnya, ya."

"Mau bagaimana lagi, kan? Aku juga ingin melihatnya."

Dan kemudian, setelah menyelesaikan sarapan mereka, mereka memutuskan untuk melihat-lihat kios penginapan karena masih ada sedikit waktu tersisa sebelum check-out.

Sepertinya tidak ada sesuatu yang secara khusus ingin mereka beli, karena hanya untuk membeli oleh-oleh untuk dibawa ke tempat kerja mereka. Itu adalah sikap yang biasa saja, tetapi menumpuk barang sekecil apa pun akan membentuk kesan dan apresiasi orang.

"Hmm, mau beli apa, ya? Mungkin cemilan yang manis-manis?"

"Kamu benar. Sesuatu seperti manisan mungkin bagus. Bahkan jika kita membeli dan memberikan barang seperti tali pengikat, itu pasti akan menyulitkan orang yang menerimanya jika tidak sesuai dengan selera mereka."

"Oh, begitu. Kalau manisan, kalau orang yang menerima manisan itu mengenal seseorang seperti teman atau keluarga yang mungkin menyukainya, mereka bisa memberikannya meskipun mereka tidak terlalu menyukainya?"

"Ya, ya."

Sambil mendiskusikannya di antara mereka sendiri, mereka membeli mizu manju dan castella. Mereka merasa terganggu dengan harganya yang sedikit mahal, tapi ya, itu yang disebut harga lokasi dan menambahkannya juga merupakan sesuatu yang mirip dengan harga suasana.

Secara teknis, ini mirip dengan kedai makanan di festival dan sejenisnya. Nilai tambah ada untuk disalahgunakan.

Tidak, mengesampingkan hal seperti itu, karena sekarang sudah waktunya, mereka memutuskan untuk check-out dan pulang.

Kemudian, sang Manager keluar dengan cepat dari dalam penginapan untuk mengejar mereka saat mereka pergi dan berkata, "Tolong tunggu! Umm... Saya tidak yakin apakah akan baik untuk mengungkitnya lagi, tetapi ketika saya memikirkan kemungkinan kecil bahwa permintaan saya telah dilupakan, pikiran saya tidak bisa... Oleh karena itu, terkait insiden kemarin, saya mohon kepada Anda..."

Mengapa makhluk hidup yang disebut orang dewasa begitu putus asa untuk melindungi diri mereka sendiri seperti ini?

Nakaoka juga yang Sandai lihat dengan setelan kelinci sebelumnya, kemudian dia juga mati-matian mencoba untuk membuatnya diam tentang hal itu.

Untuk saat ini, "Apa ada sesuatu yang terjadi kemarin?" Sandai mengiyakan, secara tidak langsung menyampaikan bahwa ia akan melupakan masalah itu. Sang Manager menepuk dadanya dengan lega.

Sekarang, setelah itu.

Setelah tiba di stasiun terdekat dari penginapan, mereka memutuskan untuk menggunakan Shinkansen dalam perjalanan pulang, bukannya kereta konvensional yang akan memakan waktu seperti yang mereka lakukan saat jalan-jalan kemarin.

Dan ongkosnya pun mahal, membuat penghasilan kerja paruh waktu Sandai juga ikut hilang. Tapi meski begitu, ia memprioritaskan agar Shino tidak kelelahan.

Shinkansen itu benar-benar cepat. Kereta ini keluar dari terowongan dalam sekejap, padahal di kereta biasa terasa lama sekali. Pemandangan salju pun segera berakhir.

"Perjalanan selesai begitu saja~ Aku sangat bersenang-senang!"

"Kau benar. Ngomong-ngomong..."

Sandai mengeluarkan smartphone dari sakunya dan menunjukkan foto wajahnya yang sedang tidur dengan air liur menetes pada Shino.

Itu adalah foto yang diambil tadi malam.

"I-Ini... kapan kamu..."

"Aku mengambilnya saat kau tidur," kata Sandai santai.

Shino mencibir kesal, lalu segera melompat untuk merebut smartphonenya.

"Hapus itu!"

"Hoho, tidak bisa..."

"Aku tidak tidur dengan wajah seperti itu!"

"Tidak, kau tidur dengan wajah seperti ini, makanya aku menyimpannya..."

"Nooo! Hapus itu! Hapus itu!"

"Ini lucu. Jadi, tidak apa-apa, kan?"

"Air liur seperti itu tidak lucu! Muu, Sandai jahat!"





|| Previous || ToC || Next Chapter ||
Post a Comment

Post a Comment

close