Himegi Touka's Reminiscence 2
Pada hari itu, aku berdiri di depan tempat duduk Ouji-kun. Ya, itu hal yang langka—Tidak, untuk pertama kalinya, aku harus berurusan dengannya. Di atas mejanya dipenuhi dengan berbagai kartu dari permainan kartu yang sering dimainkan oleh adik perempuanku.
Tepat saat dia sedang menatap smartphone, aku memanggilnya, “Ouji-kun, bolehkah aku bicara sebentar?”
“Tunggu sebentar, tunggu. Hampir saja, aku menemukan susunan dek kartu yang bisa mengalahkan punya Harune-chan.”
“Ini tentang adik perempuanku itu ….”
“Himegi-san, kamu punya adik yang menggemaskan, ya ….”
“Ya. Terima kasih sudah melindunginya.”
“Tapi, kudengar dia kabur dari rumah untuk yang kedua kalinya.”
Dia kemudian meletakkan smartphone-nya di atas meja dan menatapku. Jika dugaanku benar, ada semacam kemarahan di balik matanya. Mungkin dia sudah mendengar sebagian besar situasinya dari Harune dan diam-diam menyalahkan kami karena telah menyakiti Harune.
“Bukankah itu merepotkanmu? Aku akan membawanya pulang hari ini.”
Adikku, Harune, telah kabur dari rumah untuk kedua kalinya. Alasannya adalah karena dia tidak tahan melihat kedua orang tua kami yang bertengkar setiap hari. Tentu saja, semua orang di vila mencari Harune. Aku bahkan meminta bantuan teman masa kecilku, Takashi. Kemudian, Takashi juga meminta bantuan Chikada-san yang merupakan pacarnya dan juga Ouji-kun ini. Pada akhirnya, Ouji-kun adalah orang yang menemukannya. Ternyata, dia melindunginya ketika Harune menangis di tempat parkir sebuah minimarket dan sekarang dia tinggal di rumahnya Ouji-kun.
“Kamu tidak perlu khawatir tentang kami. Bahkan, Harune-chan juga belum ingin pulang sekarang,” balasnya.
Kali ini, kami tidak bisa menyalahkan Harune. Alasan dia kabur dari rumah adalah karena kami tidak cukup baik dalam menjaganya. Apabila kuingat kembali, aku juga hanya memikirkan diriku sendiri, sedangkan yang paling menderita adalah adikku yang kuabaikan begitu saja. Aku adalah kakak yang menyedihkan dan gagal menjadi kakak yang baik.
“Aku dengar dari Chikada-san bahwa kamu punya bayi yang baru lahir di rumah sekarang, kan? Pada saat yang sulit seperti ini, aku tidak bisa membuatmu kerepotan.”
“Tidak perlu khawatir tentang kami. Lusa adalah liburan musim dingin dan aku akan menjaga adik-adikku sekaligus Harune-chan.”
Sejujurnya, aku tidak tahu dengan wajah seperti apa aku harus menemui Harune. Aku tahu orang tuaku bertengkar setiap hari, tetapi aku berpura-pura tidak menghiraukannya. Aku sudah muak dengan semuanya dan merasa bahwa semua itu tidak penting. Namun, ketika adikku kabur, aku akhirnya tersadar dan menyadari apa yang seharusnya aku lakukan.
“Aku tidak bermaksud mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tapi menurut Harune-chan, kudengar kamu tidak punya kerabat yang bisa merawatnya.”
“Ya, kami sedikit berbeda, jadi ….”
“Satu-satunya kerabatmu, yaitu nenekmu, yang tinggal di luar negeri, kan?”
“Ummm, ya. Nenekku tinggal di negara yang jauh.”
Sebenarnya, kami bahkan tidak tahu di mana nenek kami tinggal. Kalaupun dia tinggal di dekat sini, rumah penyihir akan menjadi sangat berbahaya. Daripada mengantarkan adikku ke tempat seperti itu ….
“Dengan kerendahan hati aku memohon padamu. Maukah kamu menjaga adikku selama liburan musim dingin?”
Aku membungkuk dengan sungguh-sungguh, yang disertai rasa canggung. Bukan karena aku membungkuk padanya, tetapi seolah dia yang lebih dewasa dan meremehkan aku yang tidak mengerti apa-apa. Sempat terpikir bahwa aku adalah orang yang paling menderita di dunia setelah kakak perempuanku meninggal. Pada suatu keadaan, aku seolah berperan sebagai heroine yang bernasib tragis. Namun, kenyataannya berbeda. Justru, banyak orang yang telah membantuku untuk menemukan adik perempuanku. Di saat kami telah menolak begitu banyak hal, mereka malah mengulurkan tangan, tanpa sedikit pun rasa keberatan.
Kami tidaklah sendirian, baik aku maupun adik perempuanku. Aku lupa bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, bahwa secara alami kita hidup berdasarkan kerja sama dengan orang lain. Akulah yang sebenarnya tidak mengenal dunia. Akulah orang yang tidak belajar apa pun sejak kematian kakak perempuanku.
“Aku sadar, sudah berulang kali mengatakan ini, tapi jangan khawatir,” katanya.
“Terima kasih.”
Bagaimanapun, sekarang aku harus menjadi penengah di antara kedua orang tuaku. Saat ini, setelah Natsumi Nee-san meninggal, hanya aku yang bisa mendamaikan orang tuaku yang tidak akur. Itulah tugasku sekarang. Jika tidak, aku tidak akan bisa menghadap kakakku dengan tenang.
“Yang lebih penting lagi, Himegi-san ….”
“Apa?”
“Sudah lama aku ingin mengatakan ini, tapi aku turut berduka atas kehilangan kakak perempuanmu.”
Sekarang dia berdiri dan membungkuk padaku.
“Terima kasih.”
“Jika ada sesuatu yang kamu perlukan, aku ada di sini untuk membantumu.”
“Terima kasih.”
“Yah, meskipun penting untuk menengahi hubungan orang tuamu, tapi kamu juga harus berdamai dengannya.”
Dengan mengatakan itu, dia menunjuk ke arah Takashi, yang tersipu malu ketika Ouji-kun mengatakannya. Sepertinya dia mendengar percakapan kami.
“Kalian sudah saling kenal sejak kecil, kan?”
“Ya.”
“Aku juga sering bertengkar dengan Kanako, tapi kami belum pernah bertengkar selama enam bulan.”
“Maaf ….”
“Dia juga sudah mati-matian berusaha untuk menemukan Harune-chan. Himegi-san, kamu punya teman masa kecil yang baik.”
“............”
Kami masih belum berbaikan. Ini salahku, tetapi karena harga diriku yang konyol, aku berat untuk meminta maaf.
“Himegi-san,” panggil dia lagi.
“Apa?”
“Maukah kamu mencoba menggendong adik bayi kembarku lain kali? Mungkin kamu akan menganggapku idiot, tapi melihat bayi kecil yang berjuang untuk hidup, membuatku berpikir tentang betapa berharganya hidup ini setiap hari.”
Dia menggaruk-garuk kepalanya sambil tersipu malu.
“Yah, mereka masih terlihat seperti monyet, sih,” sambungnya.
(TLN: ‘Mereka’ karena adiknya Ouji-kun kembar.)
“Ya. Jika kamu tidak keberatan, aku juga ingin menggendongnya.”
Beberapa hari kemudian, aku menggendong adiknya di dalam pelukanku. Seperti yang dikatakan olehnya, bayi itu begitu mungil dengan matanya yang terpejam, jauh berbeda dari yang sebelumnya aku bayangkan. Namun, aku merasakan kasih sayang terhadap keberadaan mungil ini, sehingga air mataku mengalir, jatuh tanpa kusadari.
Aku teringat saat ibuku mengizinkanku menggendong Harune yang baru lahir. Aku berjanji kepada adikku bahwa aku pasti akan menjaganya dengan sepenuh hati. Berjanji padanya, bahwa aku akan melindunginya apa pun yang terjadi. Namun, aku tetap saja menjadi orang yang bodoh. Aku telah mengabaikan hal yang begitu penting karena terlalu hanyut mengasihani diri sendiri.
Maka kali ini, aku akan menepati janji yang kami buat hari itu. Aku sadar telah melakukan begitu banyak kesalahan, tetapi kami masih bisa memulainya lagi. Aku yakin janji yang kami buat hari itu belumlah sirna. Pada hari ini, aku berjanji pada mendiang kakakku dan adikku lagi. Mari kita bersatu kembali. Meski telah terpecah-belah, tetapi kami bisa memulainya dari awal lagi. Aku akan memulihkan ikatan keluarga itu.
—Ini adalah tahun di mana aku mempelajari tentang kehidupan dan kematian.
TL: Zho (YouthTL)