NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Nanji, Waga Kishi Toshite Volume 1 Prolog

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka 


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Prolog


Di jalan raya, sebuah mobil dengan interior yang dipenuhi dengan obrolan radio yang kacau melaju.

“Tim Satu di sini! Tim Empat, dikonfirmasi tenggelam!”

“Tim Enam sudah mencapai batasnya, kami mengandalkan kalian! Ugh!”

Di tengah-tengah suara ledakan yang sesekali terdengar, transmisi radio tiba-tiba terputus. Pria di kursi penumpang mengumpat dalam hati sambil menyesuaikan saluran radio.

“Sialan. Separuh dari kita sudah lenyap.”

Dia bergumam, melirik ke kaca spion. Holy, gadis yang duduk di kursi belakang, merasakan tatapannya dan menggelapkan ekspresinya.

Tidak dapat disangkal bahwa dialah yang telah menciptakan situasi ini. Dia menyadari fakta itu. Tapi dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan apapun.

Merasa frustrasi, Holy mengalihkan pandangannya dan melihat pantulannya di kaca jendela yang retak.

Seorang gadis bermata biru dengan rambut perak yang diikat setengah ke atas. Dia memancarkan kelembutan yang rapuh yang seolah-olah bisa hancur dan menghilang dengan satu guncangan. Di balik kulit putihnya yang memantulkan cahaya lampu jalan, bibir tipisnya bergetar tanpa sadar.

Ketakutan mencengkeramnya sekali lagi. Rasa bersalah karena telah melibatkan begitu banyak orang untuk mengejar keinginannya sendiri membuatnya menyesali keputusannya. Apakah sejak awal dia percaya diri dengan keputusan-keputusan yang dia buat? Dia tidak bisa mengatakannya. Oleh karena itu dia merasa takut.

Holy menggelengkan kepalanya, menghilangkan keraguannya. Situasi telah berkembang ke titik tanpa harapan.

Mobil yang membawanya melaju di sepanjang tepi sungai di bagian utara Kekaisaran Balga, tanpa lampu depan, dengan gigih menembus kegelapan. Di malam yang gelap gulita tanpa bulan dan bintang, lampu sorot dari beberapa rotorcraft menerangi sungai.

Mereka semua mengejar perahu berkecepatan tinggi yang berpacu di sepanjang permukaan air. Mereka merupakan sumber dari suara-suara radio yang bergema sejak tadi. Rekan-rekannya yang mencoba membantunya kabur lenyap begitu saja setiap kali api berkobar di sungai.

Holy menggigit bibirnya dengan frustrasi.

“Kita hampir sampai di pelabuhan yang sesuai rencana. Ini waktu yang krusial untuk melanjutkan pergerakan sementara rekan-rekan kita mengulur waktu,” orang-orang di dalam mobil mendiskusikan strategi terakhir mereka di sela-sela transmisi radio. Mendengarkan suara mereka, Holy akhirnya merasakan kegentingan dari situasi tersebut.

“Intel cadangan tidak akan sampai tepat waktu. Begitu dia berada di atas kapal, kita berangkat. Mengerti?”

Di dalam mobil yang sempit itu ada empat orang, semuanya dengan mata yang memerah.

Mobil itu berbelok melintasi jalur menuju pelabuhan. Bahkan ketika mobil itu melaju melewati labirin kontainer yang bertumpuk, api terus membumbung tinggi dari sungai.

Akhirnya, mobil itu melihat kapal yang dituju. Mobil itu melaju ke arah kapal hitam berkecepatan tinggi, bergoyang-goyang di atas ombak. Namun, pengemudi menginjak rem lebih awal dari yang direncanakan.

Holy terpelanting ke depan di dalam mobil, menabrak kursi depan. Di tengah kekacauan di dalam mobil, sang pengemudi berseru, “Sialan! Mereka selangkah lebih maju—”

Pada saat pengemudi berteriak, terdengar suara tembakan, menyebabkan retakan jaring laba-laba di kaca depan. Kepala pengemudi tersentak ke atas, dan sesuatu berceceran di dalam mobil.

Sesuatu yang menetes dari langit-langit mengenai pipi Holy. Waktu seakan berhenti sejenak di dalam dirinya. Bibirnya bergetar, hampir berteriak, tetapi teriakan marah dari para pria itu bergema lebih keras.

“Kita disergap! Keluar dari mobil!”

Orang-orang yang tersisa berjongkok dan melompat keluar dari mobil. Holy ditarik keluar bersama mereka seperti diseret.

Saat dia sempat menciut karena udara dingin yang tiba-tiba menyelimuti tubuhnya, mereka disambut dengan rentetan tembakan. Holy menjerit kecil saat pecahan kaca menghujani mereka dari atas. Pria di sampingnya, yang masih berjongkok, berteriak dengan kekuatan yang menyamai suara tembakan sambil memeluknya erat-erat.

“Lari ke perahu! Kita harus mengeluarkannya dari sini bagaimanapun caranya!”

Orang-orang itu saling bertukar pandang dengan penuh tekad, mata mereka tidak memiliki harapan untuk bertahan hidup, tekad mereka untuk mengorbankan segalanya semakin kuat. Ini adalah sebuah keputusan yang nekat. Mereka telah bangkit semata-mata untuk melindungi Holy.

Mereka melingkar di sekitar Holy dan berlari ke depan. Gemetar ketakutan, dia tidak punya pilihan selain mati-matian mengikuti langkah mereka.

Dalam kegelapan, hanya api dari orang mati yang memantul di permukaan air di kejauhan dan itu menjadi penunjuk jalan bagi mereka.

Holy terengah-engah, tenggorokannya kering karena ketegangan yang luar biasa, tidak dapat bernapas dengan baik. Kakinya terancam akan ambruk kapan saja.

Bagi seorang pengamat, ia pasti terlihat seperti tidak bisa berlari dengan baik. Tubuhnya condong ke depan, bergoyang dari satu sisi ke sisi lain. Meskipun pandangannya berulang kali kabur, Holy tetap berlari sekuat tenaga.

Namun, tidak sesuai harapannya, kenyataan menunjukkan hasil yang kejam.

Pria yang berlari di samping Holy pingsan di sudut penglihatannya, jatuh ke tanah dengan kepala terlebih dahulu seperti boneka yang rusak. Teriakan meledak dari pria yang berlari di belakangnya, tetapi tiba-tiba terputus, menyatu dengan suara tembakan. Mereka sangat dekat, hanya lima puluh meter dari perahu target. Jika saja mereka bisa menaiki kapal berkecepatan tinggi yang kokoh itu, mereka mungkin akan selamat. Namun, entah mengapa, pemandangan puluhan meter di depan tampak buram, membentang tak terhingga.

Tiba-tiba, sebuah tangan penuh kebencian merayap diam-diam dari belakang, melingkarkan jari-jarinya di leher ramping Holy. Sensasi dingin menyergap hatinya, dan Holy mengulurkan tangan kepada pria yang berlari di depan, seolah mencari bantuan.

“T-Tunggu!”

Pria itu menoleh ke arah suara Holy, tetapi sebuah peluru melesat melewati ujung jarinya, dengan mudah menembus dahi pria itu. Dalam sekejap mata, penglihatan Holy dikaburkan oleh darah yang berceceran. Dia buru-buru menyeka wajahnya, tetapi sia-sia. Dia tersandung tubuh pria yang jatuh itu.

“Ah!”

Penglihatannya menjadi gelap. Selanjutnya, ia merasakan sensasi dingin dan keras yang mengejutkan dari tanah di bawahnya. Terlempar ke tanah beraspal seperti dibanting, Holy menjerit pendek. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya saat ia meringkuk di atas tanah yang dingin.

“Mari kita akhiri upaya pelarian ini di sini. Tidak ada gunanya bertahan lebih jauh lagi.”

Dari kegelapan, sebuah suara memanggilnya, dan beberapa tentara muncul. Mereka semua mengenakan seragam yang serasi. Di tengah-tengah berdiri seorang komandan, yang dibedakan dengan baretnya.

Holy menatapnya dengan penuh perlawanan, membuatnya menggelengkan kepala tak percaya.

“Kamu tidak pernah berpikir kamu bisa membelot sejak awal, bukan? Semuanya sudah berakhir. Terimalah,” katanya.

Holy bangkit berdiri, gemetar karena kedinginan, ketakutan, dan rasa sakit. Meski demikian, ia mengatupkan giginya dan mengarahkan pandangannya ke arah perahu berkecepatan tinggi di belakangnya.

Perahu itu berada dalam jangkauan, hanya sepelemparan batu. Masih ada harapan jika dia bisa memanfaatkan kesempatan itu. Dengan pemikiran tersebut, dia mencoba untuk berdiri.

Namun, sang komandan mengetahui taktik dangkal Holy dan menjentikkan jarinya. Dalam sekejap, api putih meletus di depan Holly. Cahaya yang sangat terang, di tengah kegelapan malam, memancar dari perahu itu sendiri. Apa itu? Holy segera merasakan panas yang menyengat di pipinya, dan menyadari apa yang terjadi.

Perahu yang seharusnya ia tumpangi telah diledakkan. Harapan terakhir, yang begitu dekat dan sepertinya berada dalam genggaman, secara spektakuler meledak dalam sekejap.

Beberapa saat kemudian, serpihan-serpihan logam yang hancur berjatuhan dari langit. Dengan keras menggetarkan permukaan air, percikannya menyelimuti sekelilingnya. Holytidak bisa berkata-kata, menatap asap yang mengepul.

Setiap sisa-sisa kecil dari perahu itu berserakan menjadi serpihan-serpihan di kaki Holy. Serpihan yang tadinya adalah harapan kebebasan yang diimpikannya.

Namun, itu tidak lagi berarti. Sesuai dengan kata-katanya, hanya tersisa rongsokan, puing-puing yang tidak berguna.

Holy tidak dapat mengalihkan pandangannya dari kenyataan yang kejam itu. Berlutut di tempat, dia duduk, bibirnya yang gemetar nyaris tak bisa berkata-kata.

“Aku benci ini... Aku sangat membencinya.”

Pelabuhan yang sudah redup perlahan-lahan semakin gelap. Suara-suara yang memenuhi telinganya semakin menjauh, dan kesadarannya mulai memudar. Holy, kehabisan energi, menatap para prajurit yang mendekat. Tidak mampu melakukan perlawanan, dia melihat mereka mendekatinya. Dengan seringai sadis, sang komandan menatap gadis yang tidak berdaya untuk melawan, mengeluarkan instruksi dingin kepada bawahannya.

“Tangkap dia. Gunakan kekerasan bila perlu.”

Beberapa tentara bersenjata mendekat, dengan kasar membekuk gadis yang tak berdaya itu.

Ditekan ke aspal dingin yang masih tertutup salju, Holy menangis tanpa suara, air matanya mengalir deras. Sampai ke titik ini. Holy merasakan harapan kecil yang selama ini digenggamnya dengan putus asa memudar tepat di depan matanya.

Di balik penglihatannya yang kabur oleh air mata, hamparan pemandangan pekat yang tak berujung menelan segalanya. Hidupnya akan berakhir di sini. Semua emosi larut dalam malam saat akhir itu mendekat.

Mungkin sudah saatnya menyerah. Dia sudah melakukan yang terbaik. Bahkan jika harus mati, dia sudah melakukan segala yang dia bisa. Setidaknya mencoba menghibur diri, Holy menelan isakan yang naik. Perlahan, dia mencoba menerima akhir itu, sambil menutup matanya.

Namun, sesuatu yang terpantul di matanya menghentikannya dari menutup mata sepenuhnya. Di ambang keputusasaan, dia melihat sesuatu yang aneh berkelap-kelip di balik kelopak matanya yang setengah tertutup. Dalam kegelapan malam yang kabur oleh air mata, dia merasakan kehadiran dua api kecil yang berkobar.

Bagi gadis itu, cahaya biru yang berkilauan itu bukanlah kenangan yang menyenangkan. Namun, entah bagaimana, saat dia sekilas melihat cahaya-cahaya tersebut, Holy merasakan secercah harapan aneh muncul kembali di dadanya. Tak ada pemikiran sadar di baliknya. Meskipun begitu, secara naluriah dia menarik napas dan, dengan rasa logam di mulutnya, dia berbicara.

“Tolong! Aku di sini!”

Teriakan mendadak gadis itu hampir seperti jeritan. Sang komandan, terkejut, mengangkat pandangannya. Ketika dia melihat ke arah yang Holy pandangi, ekspresinya menegang.

“Bunuh informannya!” suara komandan bergema, dan semua tentara mengarahkan senjata mereka ke dalam kegelapan. Tanpa kompromi, setiap laras senapan memuntahkan percikan. Holy menutup telinganya dengan kedua tangan. Tembakan serentak begitu intens hingga terasa seakan bisa merobek gendang telinganya.

Selongsong kosong berserakan di tanah, menumpuk hingga tak ada lagi ruang untuk melangkah. Ribuan peluru ditembakkan ke arah target. Namun, tak dapat dipercaya, tak satu pun peluru mengenai sasaran.

Seolah ada sesuatu di antara mereka, peluru-peluru itu melenceng ke arah lain. Di tengah kekacauan, cahaya biru berayun di pusatnya, semakin mendekat dengan setiap kilauan.

Holy menatap sosok misterius itu dengan intens. Dengan setiap kilauan yang menerangi kegelapan, sosok itu perlahan muncul, seolah merangkak keluar dari kedalaman bayangan.

Sang komandan ragu, gentar oleh informan yang sendirian. Perlahan, para tentaranya juga mulai mundur. Tak peduli berapa banyak peluru yang mereka tembakkan, langkah informan itu tetap tak tergoyahkan. Ketakutan naluriah menyelimuti mereka.

Gelombang mundur menyebar di sekitar Holy. Tentara yang sebelumnya menekannya perlahan berdiri dan meraih rambutnya.


Dipaksa berdiri, Holy, tersentak sadar oleh rasa sakit, menjerit saat dia menggeliat dalam ketidaknyamanan.

“Berhenti! Lepaskan aku!”

Segera setelah mendengar suaranya, tentara yang mencengkeramnya tiba-tiba terbakar. Jeritan yang tak mirip manusia terdengar, dan terbebas dari cengkeramannya, Holy terguling di tanah, setengah ketakutan.

Dia tak mampu memahami apa yang baru saja terjadi.

“A-apa?”

Merasa ada sosok yang mendekat di belakangnya, Holy perlahan mengangkat pandangannya.

Dalam pandangannya, seorang pria muncul di antara nyala api tentara yang terbakar. Sepasang mata gelap yang berkilau menatapnya.

Meskipun musim dingin yang menggigit, pria itu mengenakan jaket setengah panjang, kemeja kusut, dan sepatu bot.

Rambutnya yang kusut berwarnahitam keunguan, dengan helaian yang jatuh sembarangan di sekitar matanya. Pipi tirusnya dan bibir pucatnya tampak kekurangan daging, memberikan kesan lemah pada pandangan pertama. Namun, matanya berkilat tajam dengan cara yang tak wajar.

“Jangan bergerak dulu. Ini akan segera berakhir,” katanya tiba-tiba dengan nada kasar. Tak mampu memahami maksud ucapannya, Holy tetap terpaku dengan mulut ternganga.

Mengabaikan Holy yang berada di belakangnya, pria itu mengarahkan pandangannya ke arah para tentara. Meskipun jumlah mereka sangat banyak, dia sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda tergesa-gesa. Kepercayaan diri mutlak memancar dari sikapnya.

Ketika dia merentangkan tangannya dengan presisi, matanya kembali bersinar terang. Secara bersamaan, ruang di sekelilingnya tampak sedikit terdistorsi. Lalu, sebuah sinar putih membara yang membakar udara, dilepaskan dari tempat yang entah dari mana, menuju para tentara.

Sinar panas yang dilepaskannya memotong banyak kontainer dan baja, menelan para tentara di tengah jeritan, kekacauan, dan tangisan. Hanya dengan satu informan yang terlambat, gelombang pertempuran secara mengejutkan berbalik dalam sekejap.

Di pelabuhan yang sebelumnya gelap, obor-obor yang dipicu oleh tentara berjejer satu demi satu, menerangi sekeliling dengan nyala apinya.

Memang, itu adalah neraka. Menyaksikan pemandangan yang mirip dengan orang-orang berdosa yang dilahap api, Holy sampai lupa bernapas. Rasa dingin yang menusuk tulang yang baru saja dia rasakan cepat tergantikan oleh panas yang membara.

Menyadari kesalahannya, Holy menatap pria yang berdiri di sampingnya. Dia jelas adalah pahlawan yang telah menyelamatkannya dari bahaya. Namun, Holy tak bisa memandangnya seperti itu. Bukan hanya aura yang dipancarkannya yang membuatnya ragu. Dalam cahaya redup, dia tersenyum dengan senyum yang menyeramkan.

Dia dengan sistematis membakar habis tentara yang muncul satu per satu, sepenuhnya menaklukkan mereka hingga tewas. Namun, dia tertawa. Tidak mungkin dia bisa dianggap sebagai pahlawan.

Saat area itu mulai hening, pria itu akhirnya mulai meredupkan cahaya biru di matanya. Dia menatap pelabuhan, yang sekarang dipenuhi api dan abu saat hampir semua tentara telah tewas, dan mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya.

“Siapa kamu?” tanya Holy, dengan tangan gemetar.

Sambil menggosok pemantik minyak yang sudah tua, dia menyalakan rokoknya dan menatap Holy.

“Aku Tsushima Rindou, dipekerjakan untuk tugas ini.”

Dari cara bicaranya, Holy segera mengerti. Informan yang disewa oleh Storm's Peak untuk pembelotannya adalah pria ini.

Setelah mendengar ini, selain merasa lega, perasaan penyesalan membuncah di dada Holy. Dia menyeka wajahnya yang basah oleh air mata dan berdiri. Kemudian, untuk menutupi ketakutan dan kelemahannya, dia mengeraskan suaranya.

“Kamu terlambat! Kenapa tidak datang lebih cepat? Semua orang, semuanya sudah mati!”

Emosinya meluap, suaranya bergetar. Meskipun begitu, tanpa mempedulikannya, Holy tetap menghadapi Tsushima. Namun, pria itu, dengan mata yang tak berperasaan, melirik mayat-mayat yang ditunjukkan Holy.

“Tapi kamu masih hidup. Bukankah itu sudah cukup?”

“Ugh!”

Holy tersedak oleh kata-katanya sendiri. Emosi berat muncul dari dalam dirinya, mungkin dikuasai oleh kebencian pada diri sendiri, perasaan yang tak bisa dia ungkapkan dengan baik.

Namun, tatapan dingin Tsushima mencegah perdebatan lebih lanjut. Dia jelas memiliki mata seseorang yang hidup di dunia yang berbeda, yang melihat dunia dengan cara yang berbeda dari dirinya.

Menatap Holy yang matanya mulai berkaca-kaca sementara dia mengepalkan tinjunya, Tsushima menghela napas.

“Mereka harus mati di sini. Hal yangdiperlukan untuk melindungimu. Melihat hasilnya, aku bisa bilang tugasku selesai dengan cukup baik.”

Tsushima menyatakan dengan datar, sambil menghembuskan asap rokok. Meskipun sadar bahwa dia tak berhak membantah, Holy menatapnya tajam.

“Jadi, boleh saja mereka mati hanya karena ini pekerjaan? Mereka juga ingin hidup.”

Saat dia berbicara, Holy merasakan perihnya kontradiksi dalam kata-katanya. Dialah yang membiarkan mereka mati. Ini bukan kata-kata yang bisa dia ucapkan.

Tak mampu mengatur emosi yang saling bertentangan, Holy menundukkan kepalanya, merasakan hangatnya air mata di matanya. Kata-kata Tsushima menusuk pikirannya tanpa ragu.

“Jika itu demi misi, kematian kadang tak terhindarkan. Mereka hanya menginginkan itu. Itu saja yang ada.” Tsushima berkata dingin, menaruh rokok di mulutnya. Kata-katanya membuat Holy mengepalkan tinjunya erat-erat.

“Apakah semua informan sekejam itu?”

“Siapa yang tahu? Kamu bisa tanyakan hal-hal sepele seperti itu pada informan lainnya.”

Dengan ketidakpedulian yang jelas, Tsushima menjawab dan kemudian membalikkan badan, meninggalkan Holy.

“Kita harus pergi sebelum pengejar datang. Ikuti aku.”

Melihat sosoknya yang kembali menyatu dengan kegelapan malam, Holy merasakan sensasi seperti ketakutan. Dia tak bisa sepenuhnya percaya bahwa diaadalah sekutu, tetapi tak ada lagi yang bisa diandalkan selain punggungnya. Merasa frustrasi, Holy tak punya pilihan lain selain mengikutinya.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close