Penerjemah: Rion
Proffreader: Rion
Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.
Jangan lupa juga join ke DC, IG, WhatsApp yang menerjemahkan light novel ini, linknya ada di ToC ini.
Chapter 1.1 - [ Agustus ① ] Kenangan Pahit di SMP
'Dapatkan potensi yang belum terungkap itu dalam genggamanmu! Seminar terbaik untuk kelulusan mutlak!'
---Di bawah poster dengan slogan dan gambar siswa-siswi SMA yang sedang berpose, seorang gadis dengan seifuku yang khas berdiri, menampilkan ekspresi putus asa di wajahnya.
Menyadari keanehan itu, aku menghentikan langkah yang mana sebelumnya berniat pergi secepat mungkin ke ruang kelas.
Tempat ini, adalah lobi kecil yang dikelilingi oleh dinding putih di lantai tiga sebuah bangunan cram school.
TL/N:
Cram school adalah lembaga pendidikan tambahan yang menyediakan kelas-kelas intensif untuk membantu siswa mempersiapkan ujian atau meningkatkan pemahaman akademis mereka. Di Jepang, cram school dikenal sebagai "juku," sementara di Korea disebut "hagwon." Biasanya, siswa mengikuti kelas di cram school di luar jam sekolah reguler untuk memperdalam pengetahuan mereka dalam mata pelajaran tertentu atau mempersiapkan diri untuk ujian masuk sekolah atau universitas yang kompetitif.
Saat itu tepat sebelum kelas dimulai, dimana para murid berjalan cepat menuju ruang kelas. Seorang gadis menyandarkan punggungnya ke dinding, memegangi tas yang setengah terbuka lalu menunduk, seakan-akan tertinggal oleh arus para peserta.
Gadis yang cantik, pikirku.
Dengan wajah yang bersih dan terawat. Pipinya yang bulat tampak halus dan imut. Bahkan masker putih yang sedikit menutupi mulutnya pun tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan pesona yang ia miliki.
Rambut yang sedikit lebih panjang dari bahunya bergoyang-goyang tertiup angin AC.
Siapa dia?
Ini adalah lantai khusus untuk kursus bimbel ujian masuk SMA, jadi besar kemungkinan kalau dia juga siswa SMP sama sepertiku.
Namun, karena sebagian besar peserta di sini baru memulai masuk sebelum liburan musim panas, masih banyak di antara mereka yang belum akrab dengan lingkungan ditempat ini, dan mungkin dia adalah salah satunya.
Setidaknya, aku tak ingat pernah mengikuti kelas di ruangan yang sama dengannya. Itu menandakan bahwa dia mungkin berada di kelas yang lebih rendah dariku.
Lagipula, seragam yang ia kenakan juga berasal dari sekolah lain yang bahkan tidak aku ketahui namanya.
Pertanyaannya... Apa yang sedang dia lakukan?
Semua orang sudah masuk ke ruang kelas, dan tidak ada seorang pun disekitar kami sekarang.
Dari sejak para peserta berlarian kesana-kemari, sampai kini menyisakan lorong kosong dari lobi yang hening dan sunyi, hanya dialah satu-satunya yang tidak bergerak.
Tidak, tidak, tidak. Ini bukan waktunya untuk diam menonton. Aku juga harus pergi ke ruang kelas sesegera mungkin. Karena membeli pulpen dan pensil di minimarket, aku jadi sedikit terlambat sekarang.
Saat hendak berjalan melewatinya, aku sekejap menyadari alasan mengapa dia ada di sini.
Aku berbalik, lali menghampirinya. Aku menyerahkan buku catatan dari tasku.
"Gunakan ini kalau kamu mau."
".....?"
Dia mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke arahku.
Matanya yang besar dan hitam bagaikan bola dari langit, membuatku merasa seolah tersedot hanya dengan melihatnya.
"Kamu lupa bawa buku catatanmu kan? Ini ambillah, buku catatan yang kugunakan selama belajar mandiri. Kamu boleh menggunakannya kalau mau."
"I-itu....."
Dia mengeluarkan suara, terdengar sangat lembut dan menenangkan.
"K-kenapa kamu bisa tahu kalau aku lupa membawa buku catatan?"
"Aku hanya menebaknya. Jika kamu lupa alat tulis, kamu masih bisa meminjamnya dari seseorang. Kalaupun itu buku referensi, kamu bisa meminta orang di sebelahmu untuk berbagi. Namun, itu semua takkan bisa dilakukan jika menyangkut buku catatan."
Di dalam tas terbuka yang dipegangnya, aku bisa melihat buku referensi yang diacak-acak. Sudah pasti dia mencari buku catatan yang tertinggal.
"Dan lagi, dari apa yang terlihat sekarang, kamu mungkin baru menyadarinya sampai harus mengacak-acak isi tasmu seperti itu."
Seperti yang diharapkan, dia menunduk karena malu sambil memegangi tasnya erat-erat.
"Satu lagi masalahnya. Aku sudah pergi ke minimarket di sebelah dan aku melihat buku catatan disana memang sudah habis terjual. Dari yang kutebak kamu pasti berniat pergi ke minimarket yang jauh untuk membelinya, tapi sadar kalau pasti akan terlambat masuk kelas. Tapi dilain sisi, jika hadir tanpa buku catatan, kamu pasti takut dianggap tidak serius belajar dan hanya main-main saja, maka dari itu, disinilah kamu akhirnya, berdirilah tanpa tahu harus berbuat apa."
"Benar..."
Dia mengangguk pelan diikuti bunyi suara yang lembut.
"Jadi, gunakan saja buku catatanku ini. Setelah kelas selesai, gunting saja bagian yang kamu gunakan dan kembalikan padaku."
"Err... T-terima kasih banyak!"
Meskipun bingung dengan kejadian tiba-tiba, suaranya terdengar lebih rileks, seolah merasa lega dan tenang.
"Aku akan mengembalikannya kepadamu nanti, jadi tolong beri tahu aku nama---"
*Riiing!* *Riiing!* *Riiing!*
Tepat saat dia hendak mengatakan sesuatu, lonceng yang menandakan dimulainya kelas terdengar dari speaker.
"Kalau tidak pergi sekarang, kita pasti telat."
Tergesa-gesa, aku berjalan menuju ruang kelas, diikuti oleh gadis itu yang juga berjalan di belakangku. Aku memasuki ruang kelas khusus untuk siswa tahun ketiga SMP, sementara dia menuju ruang kelas khusus untuk siswa tahun kedua.
Saat aku menoleh ke arahnya ketika aku hampir memasuki ruangan, dia sedikit menundukkan kepalanya dan tersenyum.
Tatapan matanya yang menggemaskan hampir bisa membuatku jatuh hati dalam sekejap. Figur wajah dengan senyumnya, terlihat seperti sinar matahari yang menyinari lanskap bersalju di dalam tempat yang monoton ini.
"Lihatlah, dirimu! Wakabano Eito-kun, kamu terlambat!"
Suara instruktur memimpin langkahku kembali ke dunia nyata, dan pikiranku seketika terisi oleh refleksi mendalam tentang perjalanan studi yang tengah kuemban.
.
.
.
"Halo... Halo... Heiii? Apa kamu bisa mendengarku?"
Suara yang seperti angin sepoi-sepoi itu datang melintas di telinga, membuat fokusku terdistraksi dari rumus matematika yang ada di dalam buku catatanku.
"Kalau kamu tak segera pulang, ruang belajar akan ditutup lho..."
Dia berdiri di sampingku. Gadis sebelumnya, yang kupinjami buku catatan tepat sebelum kelas dimulai.
Di dalam ruangan yang gelap di malam hari, seifuku putihnya tampak seolah memantulkan cahaya. Tempat kita berada saat ini adalah ruang belajar di dalam gedung kursus.
Sebuah ruangan di mana kita bisa belajar dengan bebas sebelum atau setelah pelajaran berlangsung.
Sepertinya semua orang sudah pulang, sehingga tidak ada orang lain lagi selain kita berdua di dalam ruangan. Sambil menatap jam dinding, aku menyadari bahwa ternyata memang sudah lewat pukul sembilan malam.
"Sudah larut. Terima kasih sudah mengingatkanku. Bagaimana denganmu, apa kamu juga belajar sepanjang waktu?"
"Bukan belajar, tapi... Ehm, aku menunggu. Oh! Ya, ini dia..."
Dia mengulurkan sebuah buku catatan.
"Aku sangat bersyukur bisa meminjam buku catatan ini. Materi pelajaran hari ini cukup penting, dan jika aku tak punya buku catatan, aku mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi..."
"Baguslah kalau begitu. Eh, mungkinkah kamu menunggu hanya untuk mengembalikan buku catatan ini?"
"Kamu terlihat sangat fokus saat belajar, jadi aku merasa sangat tidak enak jika menyela."
"Hahaha, jangan terlalu sungkan. Kamu bisa memanggilku kapan saja."
"Sebenarnya, aku sudah memanggil, tahu..."
Ugh, sepertinya aku benar-benar tenggelam saat belajar sampai-sampai tidak menyadarinya.
"Maaf. Ini kebiasaan burukku, saat terlalu fokus, aku jadi tidak bisa menyadari apapun yang terjadi di sekitar..."
"T-tidak perlu meminta maaf. Lagipula ruangan ini memang tempat khusus belajar, jadi wajar saja untuk menjadi terlalu fokus. Selain itu, aku jadi punya banyak waktu luang, dan bisa pergi membeli buku catatan baru di minimarket. Lalu... Ini, terimalah sebagai ungkapan terimakasih dariku."
Dia menyodorkan satu buku catatan lagi, yang baru saja dia beli.
"Kenapa repot-repot mengucapkan terima kasih?"
"Aku memotong halaman buku catatanmu, ingat? Sebagai gantinya, aku ingin memberikan buku catatan baru."
"Hanya beberapa halaman yang kamu pakai, kan? Menggantinya dengan satu buku catatan baru itu agak terlalu berlebihan..."
"Mnn... kalau begitu, bisakah aku minta satu permintaan lagi?"
"Tentu, apa itu?"
"Aku ingin saran tentang cara membuat catatan yang benar!"
"Cara membuat catatan? Kenapa?"
"Sebenarnya... meski merasa bersalah, aku melihat isi buku catatan itu. Kamu bisa menebak bahwa aku lupa membawa buku catatan, bukan? Jadi, aku mulai penasaran. Kira-kira bagaimana cara belajar dari orang yang bisa menebak hal semacam itu ya?"
Dia tertawa seolah sedang bercanda, dan menarik bahu kecilnya.
"Kemudian, seperti kotak mainan dengan berbagai barang yang ada di dalamnya. Awalnya aku merasa catatan itu cukup kasar. Namun, setelah melihat dengan lebih seksama, alur serta materinya benar-benar tercatat dengan baik. Aku terkesan... Aku kagum bahwa ternyata ada juga cara mencatat seperti ini."
"Itu adalah buku yang kugunakan untuk belajar mandiri. Cara membuat catatannya akan berbeda tergantung pada situasi, dan aku juga memiliki buku catatan lain yang sengaja kupisahkan untuk bagian pelajaran, persiapan, dan peninjauan ulang."
"Jadi begitu ya... Sebelumnya, aku selalu mengikuti kelas online dan tidak bisa datang langsung ke cram school seperti ini, jadi sulit bagiku untuk bisa berkonsultasi tentang cara belajar..."
"Setidaknya aku bisa mengajarimu cara membuat catatan."
"Benarkah!? Apa aku tidak akan mengganggumu? Aku akan sangat senang jika kamu bisa memberiku beberapa saran selama beberapa menit setelah kelas berikutnya!"
"Jadi, bukankah kamu sebenarnya menunggu karena ingin mengatakan hal itu?"
"T-tidak sepenuhnya. Aku tidak yakin apakah aku harus melakukannya, tapi... aku senang bisa mengambil risiko dan memintanya kepadamu!"
Dia menegakkan postur tubuhnya dan menghadap lurus ke arahku.
"Namaku Mebuki Hinata! Aku murid kelas dua di SMP 2 Kota! Senang bertemu denganmu!"
"Namaku Eito Wakaba. Senang bertemu denganmu juga."
Sudah waktunya ruang belajar tutup, jadi kami meninggalkan ruangan dan naik lift untuk turun ke lantai satu.
Ketika melangkah keluar dari bangunan cram school, hawa panas yang menyengat menyelimuti tubuhku. Ini adalah akhir liburan musim panas, tetapi suhu udara masih saja sangat tinggi.
Di depanku, mobil-mobil saling berpapasan di jalanan malam hari.
"Terima kasih banyak untuk hari ini. Aku akan pulang lewat sini, jadi... Sampai jumpa."
"Ah benar, Mebuki-san! Aku lupa menyebutkan satu hal..."
"Hmm? Apa itu?
"Aku tak sepenuhnya menebak kalau kamu benar-benar lupa membawa buku catatan hari ini. Sebenarnya ada alasannya, atau lebih tepatnya, sebuah petunjuk untuk itu."
"Ya... Memang benar, bahkan aku masih merasa aneh..."
"Sebenarnya, beberapa waktu lalu, aku juga pernah lupa membawa buku catatan. Aku baru menyadari itu tepat sebelum kelas dimulai, dan berakhir dengan merasa sangat bingung. Jadi, sewaktu aku melihatmu tadi, aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres, dan dari situlah aku mulai menebak situasimu."
Mebuki menatapku dengan ekspresi kaget, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Fuhaha...! kamu melakukan kesalahan yang sama, bukan, Wakabano-san? Haaa... Meskipun rasanya agak aneh, tapi aku merasa lebih akrab denganmu sekarang."
"Aku rasa aku bukan tipe orang yang terlalu serius. Jadi, jangan terlalu kaku. Aku harap kamu bisa bersikap santai padaku."
"Ya, itu mungkin benar. Tapi, karena kamu memberiku saran tentang belajar, aku harus tetap bersikap sopan. ---Lain kali, mohon bimbingannya lagi ya, sensei!"
'Sensei,' kata terakhir itu menarik perhatianku.
Dia mungkin memaksudkannya hanya sebagai candaan biasa.
Tapi tetap saja, dipanggil seperti itu... Apalagi oleh seorang gadis cantik yang hampir sebaya denganku... ---rasanya sungguh manis, menggelitik, dan sangat mendebarkan.
"Uh-huh... Baiklah, jangan malu-malu. Kamu bisa bertanya apa saja kepadaku."
Mebuki membungkuk sekali lagi dengan senyuman di wajahnya, lalu berbalik ke arah berlawanan dan mulai berjalan pulang.
Kerah dari seifuku-nya menari ringan ditiup oleh angin musim panas, seolah menciptakan ilusi sayap seorang peri.
Aku terus memperhatikannya, mengawasinya hingga saat dia berbelok di tikungan, lalu menghilang di balik sebuah bangunan.
'Sensei!' Kata-kata itu terus-terusan bergema dipikiranku.
Yah begitulah. Semua ini... terjadi pada suatu hari di musim panas, tepatnya pada satu tahun yang lalu.
Aku takkan bisa melupakannya. Hari pertama dimana aku bertemu dengannya... Gadis cantik bernama Mebuki Hinata.
🔸◆🔸
Hari itu, aku mulai membantu Mebuki-san dalam belajar.
Pada awalnya, aku hanya memberinya saran-saran tentang cara efisien membuat catatan dan sebagainya, tetapi tak lama kemudian, dia juga mulai mengajukan lebih banyak pertanyaan tentang materi-materi dari pelajarannya.
Karena berada satu tingkat dibawahku, aku merasa seperti sedang merawat seorang junior disaat membantunya.
Pada suatu hari saat musim gugur, di semester kedua, ketika aku berada di ruang belajar sendirian, Mebuki-san tiba-tiba datang berlari dengan senang dan berseru, "Sensei! Lihatlah, nilai ujian tengah semester milikku. Fufu~ ini adalah rekor tertinggiku sejauh ini!"
Suaranya bergema di setiap sudut ruang belajar yang sunyi, jadi secara spontan aku menempelkan jari telunjuk ke bibir dan berbisik, "Shhh."
Sedikit mundur, wajah Mebuki-san memerah. Dia sangat malu karena kejadian ini.
Mebuki-san berhasil meningkatkan nilai dengan cukup signifikan hanya dengan beberapa saran kecil yang kuberikan.
Aku takkan menyombongkan diri, dengan mengatakan bahwa ini semua berkat bimbinganku. Sebenarnya, dia sudah mahir dalam belajar sejak awal, dan saran-saranku hanya memberikan tambahan-tambahan kecil yang tepat, itu saja.
Di sisi lain, aku berada di semester kedua dari tahun ketiga SMP pada saat itu. Aku tengah sibuk belajar untuk ujian masuk SMA.
Meskipun begitu, bahkan bagiku sendiri, menyaksikan Mebuki-san belajar juga sangat berguna. Ini menghadirkan kesempatan untuk mengulang kembali materi pembelajaran kelas satu dan dua SMP, serta memberikan revisi ekstra yang bernilai selama sekitar dua setengah tahun.
Yang terpenting, bisa belajar bersama dengan gadis seperti dia bagaikan menemukan oasis di panasnya gurun pasir yang disebut 'belajar keras untuk ujian masuk'.
Tanpa diduga, kehadirannya memberikan ketenangan tersendiri bagi jiwaku.
Dengan begitu, studi kami berjalan dengan baik. Kami saling memberi pengaruh positif dan berkontribusi dalam meningkatkan nilai satu sama lain.
Tanpa disadari, kami mulai belajar bersama setiap minggu, duduk di kursi yang bersebelahan di ruang belajar, pergi ke restoran cepat saji sebelum kelas berlangsung, dan juga memesan makanan ringan atau minuman dari kafe sambil mencari referensi.
Momen yang paling misterius adalah ketika dia melepas maskernya untuk makan. Entah kenapa, aku selalu merasa begitu.
Perlu diingat, kami hanya belajar bersama seminggu sekali, tapi tanpa disadari, itu sudah menjadi rutinitas yang selalu kami nantikan disetiap minggunya.
Suatu hari, di tengah musim gugur, sesuatu yang tak diduga terjadi.
Di ujung lorong gedung kursus, seorang lelaki terlihat berdiri di depan Mebuki-san. Dengan putus asa, dia mencoba berbicara. Suasana terasa serius, dan aku tanpa sadar bersembunyi di sudut lorong.
"Uh, sebenarnya... aku, sudah lama menyukaimu... Mebuki-san...!"
Meski tidak bisa mendengar percakapannya dengan jelas, tapi sepertinya dia sedang menyatakan perasaannya pada Mebuki-san.
"Aku sangat menghargainya, tapi... maaf. Saat ini, aku tidak bisa menerimanya..."
Setelah beberapa saat, aku melihat seorang anak laki-laki yang juga seorang peserta dari cram school ini, berjalan pergi dengan bahu terkulai, namun memiliki ekspresi lega di wajahnya.
Sebelumnya, aku menduga bahwa dia akan terlihat patah hati. Tapi alasan dibalik kelegaan diwajah anak laki-laki itu mungkin juga karena penolakan yang lembut dari Mebuki-san sendiri.
Seolah berpura-pura seperti tidak memperhatikan apapun, aku mulai berjalan lagi kearahnya.
Saat aku bertemu Mebuki-san, dia memberiku senyuman yang biasa. Sama sepertiku, dia tampak seolah-olah menggangap bahwa tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
"Halo, sensei! Sebenarnya ada beberapa bagian dari kelas hari ini yang tidak aku mengerti. Apa kamu tidak keberatan jika aku menanyakannya nanti?"
"Tentu saja, tidak baik membiarkan pertanyaan tetap tidak terjawab. Jadi, apapun itu, jangan ragu untuk bertanya padaku."
"Baiklah, kalau begitu... aku akan menanyakan banyak pertanyaan padamu!"
Sejak itu, tidak ada perubahan dalam perilaku Mebuki-san, dan dia tetap selalu fokus pada belajarnya.
Namun... apakah mungkin gadis yang sebegitu imutnya ini benar-benar sendirian di sekolah?
Suatu hari, ketika aku dan Mebuki-san belajar di sebuah restoran cepat saji, kami melihat sepasang remaja sedang berdua di meja sebelah.
Sambil melirik mereka, aku bertanya, "Apa Mebuki-san sudah punya pacar di sekolah?"
Dia tampak heran dan menjawab sambil memiringkan kepalanya.
"Apa aku punya pacar? Kenapa?"
"Karena aku khawatir. Jika saja kamu punya pacar, pacarmu mungkin akan salah paham saat melihat kita belajar bersama seperti ini."
Sebenarnya, kekhawatiran semacam itu memang benar adanya. Baru-baru ini, di cram school kami, rumor tentang kita berdua berpacaran mulai muncul.
"Aku belum berpacaran dengan siapapun. Lagipula, aku masih kelas dua SMP, jadi masih terlalu dini bagiku untuk menjalani hubungan semacam itu."
"Tapi Mebuki-san sepertinya benar-benar populer di kalangan anak laki-laki, bukan?"
"Ya itu mungkin benar... Aku sudah beberapa kali mendapat ajakan untuk pergi kencan..."
Gadis kelas dua SMP yang sudah beberapa kali mendapat ajakan kencan seperti itu pastilah sangat populer.
Selain itu, hanya berada didekatnya, siapapun pasti bisa merasakan kelembutan karakternya. Sungguh mengherankan bagi gadis seperti dia untuk tidak memiliki seorang pacar sama sekali.
"Kamu sudah mendapat pernyataan beberapa kali, tapi kamu masih belum pernah pacaran dengan siapa pun?"
"Sejauh ini, aku sudah menolak semuanya. Karena daripada pergi berkencan dengan seseorang..."
Mebuki menatap mataku dan tersenyum.
"Aku lebih menikmati momen-momen belajar seperti ini."
Dan hari-hari pun berlalu. Di musim dingin, aku menjadi lebih sibuk dengan persiapan ujian.
Meskipun seluruh Jepang bersemangat tentang Piala Dunia, aku bahkan tidak punya waktu untuk menonton pertandingan maupun merasakan kemeriahannya. Aku hanya terus berfokus pada pelajaranku.
Pada waktu itu, serangkaian film anime menjadi hits, dan menjadi sangat sering dibicarakan di kelas. Aku menjadi sedikit tertarik dan bahkan berpikir untuk mengajak Mebuki-san menonton filmnya bersama.
Namun, entah kenapa aku tidak ingin dia berpikir bahwa aku hanya bermalas-malasan saat menjelang ujian, jadi pada akhirnya aku batal mengajaknya ke bioskop.
Setiap hari, di sampingku yang terus belajar untuk ujian, Mebuki-san selalu berdoa untuk kelulusanku.
"Hoyaa... Aku memohon kepadamu 'Maboroshi no jukuchou-san' untuk bisa membantu sensei agar dia bisa lulus dan diterima di sekolah yang dia inginkan!"
Ini adalah satu legenda urban yang beredar di tempat kursus yang kami ikuti.
Dikatakan bahwa jika kamu bertemu dengan karakter langka yang disebut 'Maboroshi no jukuchou-san' di tempat ini, maka kamu pasti lulus, tidak peduli seberapa sulit ujiannya.
Orang-orang tidak benar-benar mempercayai hal ini, tetapi mereka sering mendoakannya dengan penuh semangat, seolah-olah sedang membuat permohonan.
Aku sendiri tak tahu efek dari doa-doa semacam itu. Tapi yang jelas bagiku sekarang adalah, dukungan dari Mebuki-san, yang mana menjadi sumber energi bagi diriku sendiri.
Belajar untuk ujian berjalan lancar, hasil ujian simulasi menunjukkan nilai A. Jika terus begini, kemungkinan besar aku bisa melanjutkan ke sekolah yang kuinginkan tanpa ada kendala yang perlu dikhawatirkan.
Tahun baru dimulai, dan persiapan ujian semakin intens. Namun, di tengah-tengah hari-hari itu, kegelisahan kecil mulai tumbuh menjadi kekhawatiran yang lebih besar.
Jika aku sudah masuk ke SMA yang kuinginkan, apakah aku... tidak akan bisa bertemu dengan Mebuki-san lagi?
🔸◆🔸
Sampai saat itu, aku hanya terus memikirkan studi dan mungkin tidak menyadarinya. Atau mungkin... Aku terlalu takut terluka hingga secara tidak sadar menyegel perasaan itu.
Namun... Semakin jauh kebersamaan kami... Perasaan itu mulai mecuat, dan aku tak bisa lagi menyangkalnya.
Ya benar... Aku punya perasaan kepada Mebuki-san, aku menyukainya, gadis itu... Mebuki Hinata, seseorang yang bertemu denganku karena sebuah kebetulan dimusim panas.
Jika aku melanjutkan ke SMA, waktu yang bisa kuhabiskan bersama dengannya akan berkurang drastis.
Bahkan jika saja kami menghadiri cram school lagi untuk ujian masuk universitas setelah berada di SMA, tempat yang kami kunjungi pasti akan benar-benar berbeda.
Cram school kami saat ini merupakan satu-satunya titik hubung antara aku dan dia. Sampai sekarang, aku bahkan masih belum tahu alamat atau nomor kontaknya.
Jika terus begini, jika aku lulus tanpa melakukan tindakan apapun, aku mungkin akan benar-benar kehilangan kesempatan untuk bisa bertemu dengannya lagi.
Kalau aku bisa menyampaikan perasaan ini.... Kalau saja aku bisa menjadi pacar Mebuki-san...
Aku ingin berbicara tentang berbagai hal---bukan hanya terbatas pada pelajaran. Aku ingin pergi ke berbagai tempat---bukan hanya terpaku pada ruang belajar maupun restoran cepat saji.
Apapun itu, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya!
Namun, aku benar-benar tak punya keberanian untuk menyatakan perasaan itu.
Dia adalah gadis cantik yang diakui oleh semua orang, bunga yang tinggi dan tidak tergoyahkan meskipun sudah ada banyak pria yang mencoba meraihnya.
Sebaliknya, aku tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun, juga tidak pernah menyatakan maupun mendapatkan pernyataan cinta dari siapapun. Yang aku lakukan hanyalah belajar dan belajar. Sebuah kehidupan yang sebelumnya tidak pernah merasakan adanya perasaan romantis.
Sangat tidak terpikirkan bahwa orang seperti diriku akan bisa berpacaran dengan Mebuki-san.
Meski begitu, aku tidak bisa menyerah padanya.
Bahkan menjelang ujian, aku tidak bisa berkonsentrasi karena perasaan yang berputar-putar ini.
Apa yang menyelamatkanku dari situasi itu adalah sebuah acara TV yang kebetulan kutonton secara acak. Acara tersebut menampilkan tim nasional yang disebut 'Samurai Japan' dalam persiapan untuk turnamen bisbol di luar negeri yang akan segera dimulai.
Dalam program tersebut, sang pemain berkata.
[Yang terpenting adalah tekad. Jika kamu bahkan tidak punya tekad untuk berani menerima tantangan, maka impianmu tidak akan terwujud dan kamu tidak akan pernah bisa menang.]
Biasanya, aku tidak tertarik dengan olahraga, tetapi baru kali ini aku sangat terpaku dengan program semacam ini.
Kamu harus berani... Kalau tidak, tidak akan ada yang terwujud... Tidak akan ada kemenangan bagimu...
Itu benar. Bahkan ujian ini pun adalah tantangan yang harus dihadapi.
Aku telah membuat keputusan. Dengan mengumpulkan keberanian, aku pasti akan menyatakan perasaan kepada Mebuki-san setelah ujian berakhir.
Tentu saja, ujian yang mendekat ini juga penting. Itulah mengapa aku membuat keputusan seperti ini.
Yosh! Jika aku lulus ujian, aku akan menyatakan perasaanku kepada Mebuki-san!
Pada saat itu, keraguan dalam hati mulai lenyap, dan aku bisa berfokus pada pelajaran sekali lagi.
Bahkan, semangatku kali ini lebih besar daripada sebelumnya. Aku merasa yakin bahwa segalanya pasti akan bisa kulalui dengan mudah.
Sebelumnya, Mebuki-san menatap mataku dan berkata.
'Aku lebih menikmati momen-momen belajar seperti ini.'
Apakah itu berarti belajar bersamaku terasa menyenangkan baginya? Apakah itu berarti penolakan yang dia lakukan selama ini hanya karena dia menunggu pernyataan dariku?
Mebuki-san telah menyampaikan pesannya. Jadi, sebagai lelaki aku harus memberikan respons yang tegas kepadanya!
Hari ujian akhirnya tiba, dan aku berhasil lolos untuk masuk di Tokinosaki Gakuen, SMA swasta yang sudah aku pilih sejak awal.
Karena pengumuman kelulusan itu bertepatan dengan hari di mana aku memiliki kelas di cram school, maka aku langsung bergegas menuju ke sana setelah pulang sekolah.
Saat menuju ruang belajar sebelum kelas dimulai, aku bisa melihat Mebuki-san duduk di kursi sebelah jendela. Ketika dia menyadari kehadiranku, dia memandangku dengan penuh antisipasi, seolah-olah sudah menunggu kedatanganku.
"Mebuki-san, bolehkah kita bicara sebentar?"
Dia juga tahu bahwa hari ini adalah pengumuman kelulusanku. Jadi, dia telah menunggu untuk mendengar hasilnya.
Kami berdua keluar dari ruang belajar dan turun dari lift, keluar dari gedung tempat les.
Meskipun sudah pukul lima sore, langit bulan Maret masih agak gelap. Angin dingin membuat seragam kami bergoyang-goyang.
"Bagaimana kalau kita berjalan ke taman yang ada di sana?"
"Tentu, aku baik-baik saja di manapun itu."
Mebuki-san tersenyum dan mengangguk.
Kami memasuki sebuah taman kecil yang berjarak sekitar lima menit berjalan kaki. Berjalan berdampingan di sepanjang jalan setapak yang dipenuhi pepohonan dengan ranting-ranting yang gundul karena musim dingin.
"Kita bertemu di musim panas, bukan?"
"Sudah setengah tahun ya... Rasanya seperti waktu berlalu begitu cepat."
Aku berhenti di alun-alun taman dan menoleh kearah Mebuki-san.
"Hari ini, aku melihat pengumumannya. Dan... nomorku tercantum di sana. Aku lulus."
Dalam sekejap setalah dia mendengar hal ini, matanya berbinar. Wajahnya bersinar cerah seperti bunga matahari yang sedang mekar.
"Selamat, sensei! Aku juga sangat senang mendengarnya!"
Dengan senyum lebar di wajahnya, ia melompat-lompat seolah tidak bisa diam.
Ya, itu benar. Aku ingin membagikan semua perasaanku kepadanya. Aku ingin kami selalu bisa berbagi kebahagiaan bersama!
"Oh, dan... ada satu hal penting lagi yang ingin aku sampaikan."
Mebuki-san menatapku dengan penuh harap, seolah menunggu apakah ada hal baik lain yang ingin kukatakan.
Menatap kembali ke matanya yang jernih, aku berkata.
"Aku menyukaimu, Mebuki-san."
Ada jeda sejenak. Dia terus memandangku tanpa kehilangan senyumnya.
"Ehm, aku juga suka belajar bersama sensei juga, kok!"
"Tidak, bukan itu maksudku. A-aku... Aku menyukaimu... sebagai seorang wanita."
Ekspresi kebingungan mulai muncul di wajahnya.
"Uh, itu artinya... bagaimana ya...?"
"Aku ingin kamu menjadi pacarku."
Sekali lagi dia terdiam.
Tak tahan dengan jeda itu, aku perlahan mengalihkan pandangan.
Pikiranku perlahan mulai kembali tenang.
Aku mulai sadar, ini adalah keputusan yang tidak dapat diubah.
Aku juga tak bisa berpura-pura seolah ini tidak pernah terjadi.
Mulai sedikit panik, kata-kata yang berikutnya keluar dengan nada permohonan.
"Aku menyukaimu, Mebuki---"
"Maaf. Aku, aku tidak bisa menjalin hubungan denganmu. Aku tidak tahu dan juga tidak terlalu mengerti soal pacaran, cinta, hubungan romantis atau semacamnya..."
Suara permohonan yang penuh penyesalan bergema di udara musim dingin.
Pikiranku berpacu dengan cepat. Bagaimana caraku supaya bisa merapikan situasi ini? Apa yang harus kulakukan untuk bisa mengembalikan suasana semula?
Aku berusaha keras untuk mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
"J-jadi, begitu ya... Maaf, aku tiba-tiba mengucapkan hal aneh."
"Tidak... Akulah yang seharusnya meminta maaf. Karena tidak bisa memenuhi harapanmu....."
"Ja-jangan khawatirkan hal itu. Ah benar! Sekarang, sudah saatnya bagi kita untuk kembali."
Aku memalingkan diri dari Mebuki-san dan melangkah pergi dengan langkah cepat, hampir seperti melarikan diri.
Setelah berjalan beberapa langkah, aku mendengar suara Mebuki mengejar.
"Kenapa......"
Tepat ketika aku berbalik, dia menatap lurus kearahku. Matanya yang besar tampak bergetar dengan kesedihan.
"Kenapa kamu menyatakan perasaanmu? Aku adalah peserta yang harus fokus pada ujian tahun ini. Sensei juga tahu itu, kan? Jadi kenapa kamu melakukan pengakuan seperti itu?"
Seketika itu juga, aku merasakan seluruh tubuhku menegang.
Bukannya aku lupa atas fakta itu, tetapi aku telah mendorongnya keluar dari kesadaranku. Aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri sampai-sampai tidak punya waktu untuk memikirkannya...
"Maafkan aku, .....permisi."
Setelah membungkuk pelan, Mebuki-san berjalan melewatiku dan melanjutkan langkahnya.
Aku berdiri di sana tanpa mengatakan apapun. Hanya bisa diam terpaku sambil terus menatap punggungnya yang kian menjauh.
Setelah itu, aku berpapasan dengan Mebuki-san beberapa kali di cram school, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengajaknya berbicara.
Setelah memutuskan masuk ke SMA pilihanku, aku menyelesaikan bimbingan di cram school ini dan tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Maret berlalu setengahnya, aku lulus dari SMP yang sudah kujalani selama tiga tahun. Namun, kenangan sewaktu itu dan juga harapan untuk hidup di SMA telah memudar.
Masa-masa terakhir di SMP berlalu dengan patah hati yang menyakitkan, dan semuanya berakhir dengan perasaan terburuk yang mungkin pernah aku rasakan.
Post a Comment