Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 8: Pengkhianat
“......”
Sambil berbaring di tempat tidur kamarnya, Kamome menatap layar ponsel di tangannya.
Di layar itu, terlihat obrolan di mana ia dan Himawari berjanji untuk pergi ke festival musim panas.
Himawari mengirimkan pesan-pesan penuh kegembiraan dan antusiasme.
Emosi itu begitu terasa melalui berbagai balasan yang dipenuhi emoji dan stiker.
Namun, saat melihat percakapan itu, Kamome termenung dengan ekspresi yang tenang─
Segalanya berjalan lancar, menuju penyelesaian yang tampaknya akan berakhir dengan baik.
Jika terus seperti ini, Himawari akan memaafkan Tsuyu, keluarga mereka akan menyetujui, Tsuyu akan kembali ke rumah keluarga Shishido, dan melanjutkan hidupnya seperti semula.
Tsuyu akan menjadi kakak tiri Himawari, dan hubungannya dengan Kamome hanya akan menjadi teman masa kecil, tak lebih dari itu.
Semuanya akan kembali ke titik awal.
Bagi Tsuyu, ini akan menjadi waktu untuk memulai lembaran baru.
Setelah itu, terserah pada Tsuyu... untuk melanjutkan hubungan yang baik dengan keluarganya tanpa konflik, menyelesaikan kuliahnya dengan lancar, membangun persahabatan dan hubungan asmara yang sehat, serta meraih impian dan tujuan hidup yang baru.
Itu adalah jalan yang wajar dan terbaik.
Kamome telah memutuskan untuk diam-diam mendukung Tsuyu tanpa sepengetahuan Himawari.
Keputusan ini didasarkan pada keyakinan bahwa dia tidak bisa meninggalkan Tsuyu yang masih rapuh, yang memiliki perasaan ketergantungan terhadapnya. Artinya, jika Tsuyu baik-baik saja, maka dia harus pergi dari sisinya.
Dan itu memang kenyataan yang wajar dan terbaik.
“......”
Kamome memejamkan mata.
Dalam pikirannya, ia terus mengulang-ulang kata-kata yang harus ia sampaikan kepada Tsuyu.
Aku gak bisa terus berada di sisi Tsuyu seperti ini.
Mulai sekarang, aku ingin bersama Himawari tanpa ada kebohongan.
Aku ingin Tsuyu baik-baik saja, meskipun tanpa aku.
“......”
Bagaimanapun juga, Kamome tidak bisa terus berada di sisi Tsuyu selamanya.
Itu adalah sesuatu yang harus ia selesaikan sebelum Tsuyu kembali ke rumah keluarga Shishido.
Pergi ke rumah Tsuyu, menghabiskan waktu yang hangat bersamanya, dan tetap berada di sisinya... itu semua memiliki batas waktu.
Beginilah seharusnya.
Ini adalah jalan yang benar.
Itulah sebabnya Kamome mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Ia memutuskan untuk mengatakan kepada Tsuyu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan.
“...Ah.”
Saat ia berbaring di sofa, Barry menghampirinya.
Kemudian, anjing besar itu memposisikan tubuhnya di atas Kamome.
Biasanya, seekor hewan peliharaan yang naik ke tubuh pemiliknya dianggap sebagai tindakan melawan hierarki, sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan dalam pelatihan anjing.
Namun, mungkin karena Samoyed adalah ras yang relatif ramah, atau mungkin karena kepribadian Barry, ia tidak pernah menunjukkan sikap memberontak terhadap Kamome.
Barry mendekatkan hidungnya, mengendus-endus, dan dengan jujur mencari perhatian.
Keadaan Kamome tentu saja sesuatu yang Barry tidak tahu.
Tidak, mungkin juga Barry tidak peduli tentang itu.
Ia menjilat wajah Kamome yang diselimuti suasana serius tanpa ragu.
Saat itu terjadi, Kamome tak bisa mempertahankan ekspresi seriusnya.
“Haha, geli.”
Kamome tersenyum sambil memeluk tubuh Barry yang berbulu lebat.
Sikap Barry yang biasa, tanpa berubah, memberikan sedikit hiburan untuknya saat ini.
◇◆◇◆◇◆
─Dan keesokan harinya.
Hari ini, Himawari pergi ke sekolah untuk kegiatan klub sastra─upaya terakhir mereka.
Dia berkata bahwa dia akan melakukan pemeriksaan terakhir pada novel yang akan dia kirimkan secara individu untuk kontes, serta majalah sastra yang dibuat oleh semua anggota klub, sebelum menyerahkannya kepada wali kelas.
Karena ini adalah hari terakhir menurut jadwal, tidak ada pilihan lain selain memberikan yang terbaik.
Jika semua berjalan lancar, kelangsungan klub juga akan terjamin, sehingga para anggota tampak bekerja keras.
Selain itu, ketua klub sastra rupanya telah bernegosiasi dengan pihak sekolah. Jika mereka berhasil meraih hasil yang baik dalam kontes ini, peningkatan status menjadi klub resmi juga akan dipertimbangkan.
Jadi, Himawari tampak bersemangat.
“Ehehe... Kalau gurunya sudah setuju, aku mau Kamome-kun jadi orang pertama yang membaca ini.”
Himawari mengatakan bahwa dia ingin Kamome menjadi orang pertama yang membaca novelnya setelah berada dalam kondisi yang memuaskan.
Dia berusaha memenuhi janji itu dengan sungguh-sungguh.
“Terima kasih, aku menantikannya.”
...Baru saja ia selesai mengirim pesan itu─ia beralih ke layar obrolan dengan Tsuyu.
Dia mengirim pesan ke Tsuyu juga.
Menanyakan apakah mereka bisa bertemu sekarang─
Dan setelah memastikan bahwa Tsuyu membalas, Kamome pun pergi ke rumahnya.
◇◆◇◆◇◆
“Lama tak jumpa.”
“Iya.”
Di depan pintu apartemennya, Tsuyu menyambut Kamome.
Ia mengenakan camisole dan celana pendek, pakaian santai dan sejuk.
“...Masuklah.”
“Iya.”
Dan dia segera mengundangnya masuk ke dalam.
Meski Tsuyu sempat tersenyum ketika pertama kali melihat Kamome, ekspresinya segera berubah murung.
Tsuyu pasti sudah menebak apa yang akan Kamome bicarakan hari ini.
Di dalam kamar Tsuyu, sambil meminum teh barley yang disajikan di meja, Kamome menceritakan tentang perjalanan mereka beberapa hari lalu.
Ini adalah pertama kalinya ia bertemu Tsuyu sejak perjalanan itu.
Pantai, akuarium, dan jalan wisata yang dipenuhi toko oleh-oleh.
Penginapan, pemandian air panas, dan makan malam yang kaya akan makanan laut.
Mendengar cerita itu, Tsuyu mengangguk pelan, sesekali berkata, Wah, asyik, dengan ekspresi iri.
Dan Kamome juga memberitahunya bahwa, karena dorongan teman-temannya, ia akhirnya menghabiskan malam sendirian bersama Himawari di satu kamar.
“Eh? J-Jadi maksudmu...”
Mendengar itu, ekspresi Tsuyu seketika menunjukkan syok.
Namun, segera setelah itu, Tsuyu menggoda Kamome dengan nada ceria, Jadi, gimana? Apa kalian berdua jadi gugup dan pusing?
“Tapi yah, kalau sudah sampai sejauh itu, pasti semuanya mengalir begitu saja... Aku paham, akhirnya kamu dan Himawari...”
“Nggak.”
Di situ, Kamome mengakui kepada Tsuyu bahwa pada akhirnya dia tidak bisa melangkah lebih jauh dengan Himawari.
“Kenapa...”
Mendengar itu, Tsuyu kehilangan kata-kata.
“...Rasa bersalah terhadap Himawari?”
“Aku rasa begitu. Apa benar aku yang sudah membohonginya dan mengkhianatinya, pantas menuruti keinginanku dan menjadikannya milikku...?”
Saat Kamome mengatakan itu, Tsuyu yang duduk di depannya ikut mengerutkan dahi, menunjukkan ekspresi yang penuh rasa sakit.
Mungkin dia juga merasakan rasa bersalah yang sama.
Itu adalah fakta yang tak bisa dihindari─
“Dan wajah Tsuyu juga sempat terlintas di pikiranku.”
... ...?
Hah?
Apa yang baru saja kukatakan?
Kata-kata itu keluar dari mulut Kamome tanpa ia sadari.
“A-Aku?”
“......”
“Jangan-jangan, karena aku sering bertingkah macam-macam padamu, jadi saat di situasi seperti itu, bayangan tentangku muncul?”
“......”
“Ke-Kenapa...”
Ekspresi Tsuyu berubah.
Dia terlihat seperti sedang merasakan sakit dan penderitaan yang berbeda dari rasa bersalah.
“Kenapa kamu ragu untuk menyentuh Himawari hanya karena wajahku terlintas di pikiranmu?”
“Aku... gak tahu.”
“Kamu gak perlu mikirin aku...”
Dengan tangan yang mengepal di depan dadanya, Tsuyu berbisik pelan.
“Kamu gak perlu mikirin aku... Aku ini hanya perempuan lemah yang suka mencari kehangatan semacam itu... Apa yang kulakukan padamu bukan hal yang berarti atau perlu dihiraukan... Harusnya kamu tak usah terlalu memedulikanku...”
“......”
Tsuyu mencari pelarian emosional dari Kamome, satu-satunya orang yang ia andalkan saat dirinya tidak stabil.
Kamome sendiri berpikir bahwa alasan Tsuyu mendekatinya dengan cara seperti itu hanyalah karena dia ingin kehangatan seseorang dan mencari pengalihan dari perasaan pedihnya, tak lebih.
Itulah mengapa dia merasa harus menerimanya, bukan menolaknya.
Bahwa itu adalah perannya.
...Namun.
Malam itu saat perjalanan.
Waktu yang tak tergantikan bersama Himawari, saat mereka saling mengungkapkan cinta, saling menyentuh.
Jika Tsuyu bisa menjadi normal.
Jika dia bisa menemukan kekuatannya sendiri dan belajar mencintai seseorang dengan cara yang wajar.
Kamome berpikir mungkin dia juga bisa berbagi waktu seperti itu dengannya.
Saling menghargai, saling menginginkan, momen yang tak tergantikan, bersama Tsuyu─
Pikiran itu adalah pengkhianatan terbesar bagi Himawari, sesuatu yang tidak boleh dibiarkan muncul.
“......”
“......”
Suasana berat menyelimuti keduanya.
“N-Ngomong-ngomong.”
Di situ, seolah mencoba mencairkan suasana, Tsuyu berbicara dengan gugup.
Hari ini, Kamome datang untuk memilih masa depan yang terbaik.
Dia datang untuk mengambil keputusan dan memastikan semuanya.
Namun suasana seperti ini tidak boleh dibiarkan─
“Ngomong-ngomong, dulu waktu kecil kita pernah ngomong soal pergi ke pantai bersama, kan?”
“...Iya, benar juga.”
Kenangan itu kembali.
Saat mereka kecil, Kamome pernah membicarakan keinginannya untuk berenang di laut, bukan di kolam sekolah atau tempat rekreasi biasa.
Mereka pernah berjanji untuk pergi ke pantai bersama suatu hari nanti─
“Tapi...”
Pada akhirnya, sebelum janji itu bisa terpenuhi, Tsuyu harus pindah.
...Lagi-lagi, mereka terdiam.
Ruangan terasa sunyi.
Meskipun mereka sudah memutuskan untuk maju, mereka tetap berhenti, melihat ke belakang, dan terus-menerus memeriksa ekspresi masing-masing, menciptakan suasana seperti itu.
Percakapan yang terulang-ulang dengan rasa frustrasi, menampilkan diri yang tidak tegas, terjebak dalam rasa bimbang... Kamome merasa tertekan.
Kamome meletakkan tangannya di leher.
Dia menekan lehernya seolah ingin meredakan rasa sakit yang ia rasakan.
“......”
Apa yang sedang dia lakukan?
Kebiasaan ini muncul setiap kali dia berbohong.
Kebohongan apa yang sedang dia katakan sekarang, dan rasa bersalah apa yang dia rasakan?
......
...Hentikan, jangan pikirkan itu, jangan akui.
Baik Kamome maupun Tsuyu tahu bahwa hari ini adalah pertemuan terakhir mereka.
Mereka tahu bahwa keputusan untuk melangkah menuju masa depan terbaik sudah bulat.
Hari ini, mereka bertekad untuk memastikan hal itu dan mengakhirinya di sini.
Namun, ketika kenyataan itu terbuka, seolah-olah mereka berdua menyesali perpisahan ini.
Seolah-olah mereka menolak hal tersebut.
Ini tidak seharusnya terjadi.
Kamome memarahi dirinya sendiri, bertanya-tanya apa yang telah dia lakukan hingga saat ini.
“......”
Tidak ada jalan lain sekarang.
Hanya ini satu-satunya cara.
Perasaan sejati tidak penting.
Tidak perlu lagi pembenaran.
“Tsuyu... Mari jadikan hari ini sebagai pertemuan terakhir kita.”
Kamome memutuskan untuk menetapkan tujuannya dengan paksa, lalu mengatakannya dengan tegas.
Mendengar kata-kata itu, Tsuyu... Tsuyu menunjukkan ekspresi yang tampak begitu terkejut.
Wajahnya terlihat seperti air mata akan mengalir dari sudut matanya jika disentuh sedikit saja.
Tsuyu sendiri seharusnya sudah mantap dengan keputusannya.
Dia sudah mengatakannya.
Tapi, kenapa dia memasang wajah seperti itu?
Kamome mulai merangkai kata-kata untuk menjauhkan Tsuyu.
“Tak apa, Tsuyu, aku yakin kamu bisa melangkah sendiri. Aku yakin kamu akan menemukan orang yang baik lagi.”
Namun, kata-kata itu menusuk hatinya sendiri.
Mendengar ucapan itu, Tsuyu pun menggigit bibirnya dengan rasa sakit.
“...Aku bisa, ya?”
Tsuyu bertanya pelan.
“Seseorang yang lebih baik dari Kamome.”
“......”
Tidak, Tsuyu.
Kenapa kamu berkata seperti itu?
“Kamu pasti bisa, seseorang yang lebih baik daripada aku.”
Kamome mencoba tersenyum.
“Sejak awal, kamu akan baik-baik saja tanpa harus bergantung pada seseorang sepertiku. Tsuyu, kamu bilang kamu menyukaiku, tapi kamu gak perlu mengatakannya lagi.”
“...Eh?”
Tsuyu langsung memasang wajah terkejut.
“Kamome, apa yang barusan kamu...”
“Perasaan Tsuyu padaku, itu ada karena kamu membutuhkanku. Bahkan tindakan menggoda itu, semuanya berasal dari keinginanmu untuk memiliki seseorang di sisimu saat hatimu sedang lemah.”
Kamome terus mengucapkan kata-kata yang bertujuan untuk menjauhkan Tsuyu.
Karena, sebenarnya, dia juga sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Sebuah upaya untuk memperbaiki arah, meskipun terasa dipaksakan.
Ya, dia mencoba menguatkan hatinya.
Bahwa orang yang dicintai Tsuyu tidak harus dirinya.
Karena jika dia berhasil meyakinkan dirinya sendiri, perpisahan ini tidak akan terasa begitu menyakitkan─
“Itu nggak benar!”
Tiba-tiba, Tsuyu berteriak.
Matanya jelas-jelas dipenuhi air mata.
“Itu nggak benar. Aku menyukai Kamome. Aku ingin menyampaikan meskipun hanya sedikit, walaupun hanya seujung perasaan itu padamu. Aku... Aku nggak menempel padamu hanya karena aku sedih dan menderita!”
Kini, tidak ada sedikit pun tekad atau keteguhan dalam diri Tsuyu.
Kamome menyadari bahwa Tsuyu telah membuang semua itu dan hanya berbicara berdasarkan perasaannya.
“Kamome, apa kamu ingat apa yang pernah kamu katakan sebelumnya? Kamu bilang, ‘Tsuyu yang sekarang juga punya pesona dewasa.’”
Itu adalah salah satu percakapan mereka di kamar ini.
Saat itu, Kamome mengatakannya untuk menghibur Tsuyu yang merasa, “Aku tidak bisa kembali seperti dulu”.
Dan itu sama sekali bukan kebohongan, melainkan perasaannya yang sebenarnya.
“Karena Kamome mengakui diriku yang sekarang, untuk pertama kalinya aku bisa menyukai diriku apa adanya. Apa kamu tahu, betapa banyak keberanian yang kamu berikan padaku untuk menjalani hidupku seperti ini?”
Air mata yang mengalir dari matanya yang basah dan menetes di pipinya mencerminkan perasaan sejatinya yang meluap.
...Tidak, itulah perasaannya yang sebenarnya.
Ekspresi itu, kata-kata itu, tidak dibuat-buat ataupun disembunyikan.
Semua itu adalah Tsuyu yang sesungguhnya, terlihat jelas dan kejam apa adanya.
“Aku sudah menyampaikannya selama ini. Saat aku bahagia, saat aku merasa senang, bahwa aku menyukaimu, Kamome. Aku... aku sudah menyampaikannya selama ini.”
Aku... aku tidak bisa melakukannya, pada akhirnya...
Suara Tsuyu bergetar.
“Aku gak mau berpisah dari Kamome.”
“────”
Ini terlalu berat.
Dihantam oleh arus kasih sayang yang begitu kuat dan penuh intensitas, tidak mungkin Kamome bisa melawan.
Jika Tsuyu seperti itu, bahkan Kamome pun tidak bisa menahan diri.
Wajahnya terasa panas, hatinya terbakar.
Di hadapan Tsuyu yang terisak, begitu lemah dan tampak begitu menyedihkan, Kamome tidak bisa menahan diri untuk berdiri.
Dia mengulurkan tangan.
Dia meraih bahu Tsuyu yang gemetar.
Saat disentuh oleh Kamome, Tsuyu mendongakkan wajahnya.
Mata Tsuyu menatapnya dengan penuh harapan, bibirnya bergetar lirih menyebut, Kamome...
Dia tidak bisa meninggalkannya.
Tidak mungkin dia bisa meninggalkannya.
Untuk pertama kalinya, Kamome menekan bibirnya ke bibir Tsuyu atas kemauannya sendiri.
Tsuyu terkejut dan menahan napas.
“K-Kamome, ah.”
Ciuman penuh hasrat yang biasanya diberikan Tsuyu, kali ini datang dari Kamome.
Bahkan, tangan Kamome memegang lengan Tsuyu dan mendorongnya ke tempat tidur.
Tsuyu bingung dengan situasi yang tiba-tiba ini.
Namun, Tsuyu, yang selama ini hanya menyampaikan cintanya secara sepihak, kini menerima cinta dari Kamome. Sebuah cinta yang begitu melimpah hingga terasa menyakitkan.
Menghadapi kenyataan bagai mimpi yang seharusnya tidak mungkin terjadi, Tsuyu tidak punya daya untuk melawan.
Dicintai oleh Kamome─segala alasan dan moral lenyap dalam sekejap, seperti permen kapas yang larut dalam air.
Tenggelam, jatuh, mencair─Tsuyu larut dalam lautan kebahagiaan.
Keduanya tak berhenti.
Melupakan segalanya, melupakan belenggu rasa benar dan pagar rasa bersalah─
────
◇◆◇◆◇◆
“Tsuyu, ayo pergi ke pantai.”
Kamome kepada Tsuyu, Tsuyu kepada Kamome, di akhir waktu untuk saling memenuhi─
Keduanya terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan pandangan kosong.
Di tengah keheningan itu, Kamome bergumam.
Janji mereka saat masih anak-anak.
Kenangan yang belum terpenuhi bersama Tsuyu.
Kini, dia mengatakan akan mewujudkannya.
Dan─
“Biarkan itu jadi kenangan terakhir kita.”
“...Iya.”
Tsuyu mengangguk mendengar kata-kata Kamome.
Dua orang yang telah terhubung dari lubuk hati mereka kini berusaha mati-matian untuk melangkah maju.
Mereka memilih untuk mengembalikan segalanya seperti semula, berjalan dengan benar dan sewajarnya.
Dengan pikiran seperti itu, mereka meninggalkan rumah bersama dan menuruni tangga.
Pikiran mereka kabur dan samar.
Karena itu, ada terlalu banyak hal yang mereka abaikan.
Bahwa ponsel Tsuyu telah menerima banyak panggilan.
Dan karena itu pula, mereka dengan mudah membuat kesalahan.
“Kamome-kun?”
Himawari berdiri di sana.
Post a Comment