Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 6:
Aku Ingin Kamu Tetap Menjadi Milikku
Kalau kamu benar-benar fokus pada sesuatu, waktu rasanya berlalu begitu cepat.
Beberapa minggu telah berlalu sejak dia mulai bekerja paruh waktu, dan hari ini akhirnya adalah hari terakhirnya bekerja.
Dengan kata lain, begitu pekerjaannya selesai hari ini, dia akan menerima gajinya.
Setidaknya, itulah yang dia pikirkan─
“Ini gajimu.”
Di tengah jam kerjanya, manajer toko Kedogawa tiba-tiba menyerahkan amplop gaji padanya.
“Hah? Tapi aku belum selesai bekerja hari ini...”
“Aku harus keluar sebentar, jadi aku membayar lebih awal. Aku juga menambahkan sedikit ekstra sebagai ungkapan terima kasih.”
“Eh?”
Kamome membuka amplop itu.
Uangnya jelas lebih banyak dari yang dia perkirakan.
“Aku dengar dari Amane-chan bahwa kamu bekerja paruh waktu untuk membeli hadiah ulang tahun pacar pertamamu. Semangatmu itu bikin aku kagum.”
Manajer mengacungkan jempolnya.
Tampaknya dia menambahkan sedikit uang dari kantongnya sendiri sebagai penghargaan.
Jujur saja, itu terasa seperti uang yang cukup banyak untuk seorang siswa SMA.
Namun, berkat itu, pilihannya untuk hadiah jadi lebih luas.
“Berikan hadiah yang bagus untuk pacarmu.”
“Manajer... Terima kasih banyak!”
Merespon tindakan baik sang manajer, Kamome membungkuk dalam-dalam dengan penuh rasa syukur.
“Bagus, tapi kamu masih di tempat kerja. Jangan sampai terlena dan selesaikan tugasmu dengan baik sampai akhir.”
Mendengar kata-kata dari Amane yang sedang membersihkan rak, Kamome menjawab dengan ceria, Ya!
◇◆◇◆◇◆
Dan begitu, di sore hari setelah menyelesaikan pekerjaannya di Kedogawa Sports.
Karena manajernya sedang keluar, setelah berpamitan dengan staf yang masih bertugas, Kamome langsung menuju toko untuk mencari hadiah.
Benar sekali─besok adalah ulang tahun Himawari.
Dia tidak boleh menyia-nyiakan kebaikan dari manajer Kedogawa.
“Aku akan membuat ulang tahun ini menjadi yang terbaik untuk Himawari,” Kamome bertekad dengan semangat tinggi, sambil mulai mencari hadiah.
...Namun, dia malah pusing sendiri memikirkan hadiah yang tepat.
“Sial... Aku bahkan nggak punya ide apa-apa.”
Beberapa hari terakhir, dia terlalu sibuk dengan pekerjaan paruh waktu pertamanya sehingga dia tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain, apalagi pilihan hadiah yang penting.
Sebagai permulaan, dia bahkan tidak tahu apa yang akan cocok.
“Apa yang harus kulakukan? Waktunya benar-benar sedikit.”
Meski ingin berkonsultasi dengan Misaki atau Kensuke sekarang, akan merepotkan mereka jika tiba-tiba dihubungi...
Besok adalah ulang tahun Himawari.
Apa yang harus kulakukan... Apa yang harus kulakukan..., Kamome mondar-mandir di kota sambil memegang kepalanya.
Lalu, di sana.
“...Ah.”
“Ah.”
Sekali lagi, dia bertemu dengan Tsuyu.
Dia melihatnya berdiri di depan menara jam dekat stasiun, menatap ponselnya.
“...Tsuyu, kamu nungguin aku lagi, ya?”
“Hah!? Nggak! Kali ini benar-benar kebetulan!”
Begitu mereka bertemu, mereka langsung berdebat.
“Atau lebih tepatnya, aku lagi menunggu seseorang...”
Sambil berkata begitu, Tsuyu cepat-cepat membalikkan badannya.
“Terserah, kamu nggak percaya aku juga kan.”
“Nggak, aku percaya.”
Mendengar kata-kata itu, Tsuyu berbalik lagi.
Kamome membungkuk dalam-dalam padanya.
“Maaf soal yang kemarin. Terima kasih untuk kuenya. Kamu benar-benar datang untuk minta maaf padaku.”
“...Nggak apa-apa.”
Di depan Kamome yang meminta maaf untuk kejadian kemarin, Tsuyu menundukkan mata, tampak sedikit malu.
“...Kamu lagi perjalanan pulang dari kerja paruh waktu, ya?”
“Iya, meski sampai hari ini saja. Aku sudah digaji.”
“Ahh, besok kan ulang tahunnya Himawari? Jadi, kamu lagi cari hadiah buat dia, ya?”
“Eh, kok bisa tahu...?”
“Aku nggak nanya sama dia atau apa, sih. Dia sendiri yang cerita. Dia sangat menantikannya.”
Sambil berkata begitu, Tsuyu tersenyum.
“...Tentang itu.”
Di situ, Kamome menceritakan keadaannya dengan jujur kepada Tsuyu.
“Sebenernya, aku bingung. Aku nggak tahu harus kasih apa. Aku benar-benar nggak ada ide.”
“Hmm... Bahkan kamu, Kamome, bisa juga mikir dewasa sekarang.”
“Apa maksudmu ‘bahkan kamu, Kamome’?”
“Yah, apa pun hadiah dari orang yang disukai pasti menyenangkan, kan? Selama bukan sampah atau serangga mati.”
Menanggapi kebingungan Kamome, Tsuyu mulai berbicara sambil menyandarkan tubuhnya di menara jam.
...Entah kenapa, kelihatannya dia berusaha memberikan nasihat dengan caranya sendiri.
“Coba bayangkan kalau kamu yang menerima hadiah dari Himawari.”
“Aku yang menerima hadiah?”
Kamome membayangkan.
...Memang, lebih dari sekadar apa yang akan Himawari berikan, tindakan Himawari yang berusaha memikirkan sesuatu yang baik untuknya, akan membuat hatinya hangat dan membuatnya bahagia.
“Orang yang ngasih mungkin memikirkan banyak hal, tapi orang yang menerima biasanya nggak terlalu mikirin itu... Apalagi seseorang seperti Himawari. Sebagai pacarnya, kamu pasti paham itu, kan?”
“......”
“...Kenapa?”
Saat itu, Tsuyu menyadari Kamome menatapnya.
“Nggak, aku cuma pikir kamu benar-benar memperhatikan Himawari.”
“Eh?”
“Maksudku... Rasanya dulu ada jarak di antara kalian, dan aku merasa kuat kalau Tsuyu nggak menerima Himawari, tapi... Sepertinya aku harus mengubah pandanganku.”
Mendengar Kamome berkata demikian dengan nada serius, Tsuyu mengalihkan pandangannya sambil berkata, A-Apa sih, kami kan keluarga, jadi itu normal.
“Ngomong-ngomong soal hadiah, kamu benar-benar belum kepikiran apa-apa? Beberapa toko mungkin sudah mau tutup, lho.”
“Itu benar. Itu sebabnya aku kebingungan...”
Kamome menggeram dengan wajah bingung.
Tsuyu memperhatikannya.
“...Dengar...”
Setelah beberapa saat, Tsuyu berbicara pelan.
“Kalau kamu mau, aku bisa bantu kasih saran.”
“Eh?”
Mendengar kata-kata Tsuyu, Kamome kaget.
“Setidaknya aku mungkin punya ide yang lebih baik dari kamu... Yah, aku sudah bikin banyak masalah buatmu, meskipun ini bukan permintaan maaf...”
Tsuyu berkata sambil mengalihkan pandangan ke bawah.
“Itu sangat membantu, tapi...”
Kamome sedikit kaget dengan tawaran mendadak itu.
Namun, memang benar dia tidak punya siapa pun lagi untuk diajak bicara.
Ini seperti pertolongan─meski bukan pertolongan dari dewa, tapi jika Tsuyu bersedia memberikan sarannya, itu cukup membuatnya tenang.
“Jadi, maaf merepotkan, tapi... bisa tolong bantu?”
“Iya, aku ngerti.”
Mendengar jawaban Kamome, Tsuyu bangkit dari sandaran menara jam.
“Kalau begitu, ayo pergi. Kita nggak punya banyak waktu, kan?”
“Pergi...? Ah, nggak perlu kok, cukup sarannya saja. Lagipula, bukannya kamu lagi menunggu seseorang?”
“Nggak apa-apa, kayaknya... mereka nggak bakal datang juga.”
Tsuyu berkata dengan wajah sedikit jengkel.
Tampaknya, dia benar-benar berniat menemani Kamome untuk memilih hadiah.
“Benarkah? Kamu yakin?”
“Kamu ribet banget. Aku bilang aku pergi.”
“...Terima kasih.”
Melihat Kamome yang mengucapkan terima kasih, Tsuyu menghela napas.
Setelah itu, dia tersenyum tipis.
Dan begitulah, Kamome akhirnya pergi memilih hadiah untuk Himawari bersama Tsuyu.
“Jadi, Kamome, menurutmu hadiah macam apa yang bagus?”
Sambil berjalan beriringan dengan Tsuyu di kota, mereka berbincang.
“Hmm...”
Kamome berpikir.
Himawari suka manga dan gim.
Kalau begitu...
“Gimana kalau beli barang-barang dari toko khusus manga atau anime? Aku tahu kok judul yang Himawari suka.”
“...Ya, mungkin dia nggak bakal nolak, tapi bukannya kurang greget? Ini kan hadiah ulang tahun.”
Dia benar-benar tepat.
“Maaf... Kayaknya ideku cuma selevel anak SD.”
Tsuyu menghela napasnya melihat Kamome yang lesu.
“Oke. Kalau gitu, mari kita ubah pendekatan... Menurut kamu, Kamome, apa yang terbayang kalau kamu dengar situasi memberi hadiah untuk cewek yang kamu suka?”
“L-Lihat saja...”
Kamome ragu dengan pertanyaan itu.
Tsuyu mendorongnya, Ayo, nggak perlu malu-malu.
“...Aku rasa sih begitu.”
Akhirnya Kamome mengungkapkan isi pikirannya dengan malu-malu.
Jika dia harus memberi hadiah pada gadis yang dia sukai─
Dia mengutarakan idenya berdasarkan pengetahuan dan imajinasinya.
“...Gimana menurutmu?”
“...Sejujurnya sih itu nggak buruk untuk seseorang kayak kamu.”
“Serius?”
“Iya, tapi kalau kamu mau kasih sedikit kejutan tambahan selain dari yang kamu rencanakan tadi...”
Tsuyu, terinspirasi oleh ide Kamome, menambahkan gagasannya sendiri dan menyempurnakannya lebih jauh.
Begitu diskusi mereka selesai, mereka langsung mencari toko terdekat lewat ponsel dan menuju ke sana bersama.
Di sana, Kamome, yang tidak benar-benar tahu barang apa yang populer di kalangan perempuan, memilih produk sambil mendengarkan saran dari Tsuyu─
Hasilnya.
“Bagus! Ini sempurna!”
Dengan bantuan Tsuyu, Kamome akhirnya bisa membeli hadiah yang tepat.
“Makasih, Tsuyu. Kurasa aku udah siap kasih hadiah terbaik buat Himawari.”
Kamome mengucapkan terima kasih dari lubuk hatinya pada Tsuyu.
“Tapi, pada akhirnya hampir semuanya dipilih sama Tsuyu sih.”
“Nggak juga, Kamome yang sebenarnya milih hadiah itu, aku cuma ngasih saran, jadi nggak masalah kok.”
Mereka berdua berjalan keliling kota dengan suasana akrab.
Tanpa diduga, persiapan hadiah selesai dengan cepat dan tepat.
‘...Kurasa aku juga harus berterima kasih sama Tsuyu...’
Sambil melihat Tsuyu yang berjalan di sebelahnya, Kamome tiba-tiba berpikir demikian.
“...Ah.”
“Kenapa? Ada apa?”
Kamome berhenti berjalan.
Tsuyu, mengikuti langkahnya, juga berhenti dan melihat ke arah yang sama dengan Kamome.
Di hadapan mereka, ada sebuah pusat permainan.
Tempat yang pernah dia kunjungi sebelumnya bersama Himawari.
“Ngomong-ngomong, dulu waktu kecil kita suka main di pusat permainan, kan?”
“Iya, aku ingat. Tapi yang di dekat rumah kita nggak kayak gini, kan? Ada tempat yang cuma perlu 10 yen buat main, dan dikelola bareng toko permen.”
“......”
Ungkapan terima kasih...
Mungkin ini bukan bentuk terima kasih yang sesungguhnya.
Tapi kalau aku bisa berbagi waktu menyenangkan dengan Tsuyu─itu bisa jadi bagian dari terima kasih, pikir Kamome tanpa sadar.
“...Yuk, mampir sebentar.”
Saat Kamome berkata demikian, Tsuyu terkejut dan berseru, Hah?
“Nggak, kalau kamu punya waktu. Aku cuma mikir, mungkin kita bisa hangout sebentar setelah lama nggak ngelakuin ini.”
Tsuyu tampak kaget mendengar undangan Kamome.
Namun, ekspresinya segera berubah jadi senyuman.
“Kamome, kamu nggak pernah bisa ngalahin aku dulu. Yakin mau coba lagi?”
“Jangan kira aku masih sama kayak dulu.”
Entah apakah sikap Kamome yang sedikit menantang itu lucu atau bagaimana, Tsuyu tersenyum seolah tak sepenuhnya keberatan.
Mereka pun masuk ke dalam pusat permainan bersama-sama.
Itu adalah tempat permainan dengan mesin-mesin terbaru, di dalam sebuah gedung.
“Kamu juga sering main di sini sama Himawari, ya?”
“Iya, soalnya Himawari suka game.”
Mendengar itu, Tsuyu bergumam, Huh.
“Kamu sendiri gimana, Tsuyu?”
“...Akhir-akhir ini nggak sering datang sih.”
“Begitu ya. Ah, lihat itu.”
Di sana, Tsuyu melihat area yang penuh dengan mesin permainan retro.
“Aku ingat waktu pertama kali ke sini. Ini jadi terasa nostalgia, soalnya penuh sama game-game yang dulu aku mainin sama Tsuyu.”
“...Oh, gitu ya.”
Saat mendengarnya, Tsuyu mengeluarkan suara pelan yang terdengar senang.
Kamome dan Tsuyu memutuskan untuk bermain game di area itu.
“Ah, yang ini, dulu ada juga di toko dekat rumah kita, kan?”
“Iya, nostalgia banget!”
Sambil bermain game bersama, Kamome dan Tsuyu mengingat cerita-cerita lama.
Tentang guru di sekolah dan teman-teman masa kecil, serta kakek tua di lingkungan mereka.
Setiap kali mereka bercerita, Tsuyu akan berkata, Oh, aku ingat!, sambil tertawa riang.
Senyumnya murni, persis seperti dulu.
Melihat senyum itu, Kamome merasa puas.
Kemudian, setelah bersenang-senang di pusat permainan, mereka keluar dari tempat itu.
“Makasih buat hari ini. Udah banyak bantu kasih saran.”
“Nggak masalah...”
Di situ, Tsuyu menutup matanya dengan lembut dan tersenyum.
“Makasih juga dariku. Rasanya aku tertawa dari hati yang paling dalam untuk pertama kalinya dalam waktu lama.”
Sampai hari ini, Tsuyu yang selalu tampak agak tertutup dan menahan diri, tiba-tiba menampilkan ekspresi yang tenang.
Melihat sosoknya yang menggemaskan itu, jantung Kamome berdetak kencang.
“Kamu nggak berubah dari dulu, Kamome.”
“Serius?”
“Iya. Udah lama kita nggak ngobrol soal masa lalu, dan itu bikin aku inget. Dulu, ada kejadian waktu anjing besar milik tetangga kita lepas, kan?”
“Umm... Iya, aku ingat. Waktu itu Tsuyu keren banget.”
Dulu, seekor anjing besar yang biasa dipelihara sebagai anjing penjaga di lingkungan mereka lepas.
Itu anjing yang galak, yang akan langsung menerkam anak-anak yang mendekatinya.
Tsuyu, yang kebetulan bertemu dengan anjing itu, berani jadi umpan agar teman-temannya bisa kabur.
“Aku harus lari buat menarik perhatian anjing itu, dan aku dikejar-kejar terus.”
“Tsuyu cepat banget larinya. Tapi yang lebih dari itu, aku kagum karena kamu mau sejauh itu demi teman-temanmu.”
“...Jujur saja, aku takut banget waktu itu.”
Lalu, Tsuyu menoleh ke arah Kamome.
“Saat itu, Kamome datang menyelamatkanku, kan? Kamu lompat ke arah anjing itu dan berusaha melawannya.”
“...Iya, bener.”
Sejujurnya, bagian cerita itu adalah kenangan yang sebenarnya tidak ingin diingat Kamome.
Dia putus asa ingin menyelamatkan Tsuyu.
Dia tidak tahu apa yang bisa dia lakukan, tapi dia nekat melompat ke arah anjing itu, yang ukurannya jauh lebih besar darinya, sambil menangis.
“Kamome, kamu waktu itu penuh luka goresan dan bekas gigitan di seluruh tubuhmu, situasinya benar-benar buruk, tapi akhirnya anjing itu mundur dan tenang. Lalu orang dewasa datang dan dengan mudah menangkapnya.”
“Kalau diingat-ingat, memang begitu ceritanya...”
Tsuyu menatap Kamome.
Seperti menatap cahaya yang berkilau, dia menyipitkan matanya.
“Kamu nggak berubah sejak itu.”
“...Umm, maksudmu aku masih lemah seperti dulu?”
“Bukan itu─”
“Hei.”
Saat itu juga.
Kamome, yang tiba-tiba dipanggil dari belakang, menoleh untuk melihat siapa itu.
Di saat yang sama, dia merasakan hantaman keras di wajahnya, dan percikan terlihat di depan matanya.
Dia tahu secara naluriah bahwa dia telah dipukul.
“Akito!”
“Apa yang kamu lakukan dengan cewekku, brengsek.”
Kamome, yang jatuh ke jalan, melihat orang yang berdiri di depannya.
Orang itu terlihat familiar.
Tinggi, dengan rambut yang dicat berdiri.
Benar, dia pernah melihatnya di kota sebelumnya.
Orang yang bertengkar dengan Tsuyu...
Pacarnya Tsuyu.
“H-Hey! Apa-apaan ini tiba-tiba!?”
Tsuyu cepat-cepat berdiri di antara Kamome dan pria itu, mencoba menenangkan situasi.
“Kamu juga, mau ngapain sih? Kamu batalin pertemuan kita dan malah asik jalan sama cowok ini.”
Mendengar itu, Kamome teringat.
Hari ini, Tsuyu bilang dia akan bertemu seseorang di depan menara jam.
Dengan kata lain, dia memang awalnya berencana bertemu dengannya.
“Hei, tukang tebar pesona. Kamu nggak akan lolos gitu aja...”
Sesaat kemudian, Kamome berdiri.
“Maaf.”
Lalu dia menundukkan kepala dan meminta maaf pada pacar Tsuyu.
“Aku bukan orang mencurigakan. Aku ini teman Tsuyu-san─aku pacaran sama adiknya.”
“Ah? Terus kenapa?”
“Maaf udah bawa Tsuyu-san keliling tanpa izin. Tapi, aku bersumpah kalau Tsuyu-san cuma bantu aku belanja, nggak ada yang lain.”
Kamome berkata dengan tegas.
“Maaf kalau aku menimbulkan kesalahpahaman. Tapi aku rasa nggak benar juga kalau tiba-tiba memukul tanpa mendengar penjelasan.”
“Hah?”
Pria itu menggeram rendah, mengancam.
Suasana menjadi tegang.
Namun, Kamome, di sisi lain, tidak mengalihkan pandangannya.
Tanpa gentar, dia menatap lurus ke arah pria itu.
“Kamome...”
“...Tch.”
Melihat Kamome seperti ini, Tsuyu tampak gugup.
Sementara itu, pacar Tsuyu dengan kasar menarik lengannya dan mulai berjalan pergi.
“Ayo pergi, Tsuyu.”
Terlihat jelas dia kesal dengan langkah-langkahnya yang besar.
“Sialan, jadi ini taktikmu buat menarik perhatianku dengan jalan bareng cowok lain?”
Ucapan pria itu terdengar.
Saat itu, aura di sekitar Tsuyu berubah.
Dia menepis tangannya yang memegang pergelangan tangannya dan segera─
Suara tamparan keras terdengar.
Pria itu refleks tertegun.
“Kamu telat hampir satu jam untuk pertemuan kita dan itu yang kamu katakan!?”
Tsuyu berteriak.
Lupa bahwa mereka ada di tengah jalan, dia meluapkan emosinya, membiarkan amarahnya meledak.
“Kamu nggak bales satu pun pesanku! Dan begitu akhirnya muncul, kamu malah mukul orang dan bikin tuduhan seenaknya! Kamome benar! Jangan bikin seolah-olah Kamome dan aku yang salah!”
Setelah berteriak, Tsuyu membalikkan badannya pada pria itu dan mulai berjalan cepat menjauh.
“Tsuyu! Tunggu, oi!”
Pria itu mengejarnya.
Di saat itu...
“......”
Tsuyu melirik Kamome sejenak.
Tatapannya tampak menyesal.
Bibinya bergerak pelan, seolah-olah mengucapkan, Maaf...
“...Tsuyu.”
Keduanya pun hilang dari pandangan.
“......”
Memang benar kalau dia sudah mengabaikan janji mereka dan membawa Tsuyu berkeliling tanpa izin.
Kamome merasa dirinya kurang sopan pada mereka berdua... Tapi di saat yang sama, dia berpikir.
Bahwa sepertinya, hubungan antara Tsuyu dan pria itu memang tidak berjalan dengan baik...
Dan begitu─
“Masuk, masuk.”
“Oke, terima kasih sudah mengundangku.”
Sepulang sekolah, Kamome diundang ke kamar Himawari.
Hari ini adalah hari ulang tahun Himawari yang telah ditunggu-tunggu.
Pesta ulang tahun untuk mereka berdua saja di rumah Himawari.
“Ehehe... Kayaknya aku senyum-senyum sendiri sepanjang hari, menunggu jam pulang sekolah...”
Himawari terlihat sangat bersemangat.
Kegembiraannya jelas terlihat.
Mereka menaruh kue dan jus yang mereka beli di perjalanan di atas meja.
“Ayo main game.”
Himawari tiba-tiba mengusulkan.
Dia lalu mengambil konsol game dari sudut kamar.
“...Hmm? Eh? Ini...”
Kamome terkejut melihat konsol game itu.
Karena itu adalah konsol game terkenal yang pernah disebutkan Himawari sebelumnya, yang sekarang sangat populer hingga sulit didapatkan.
“Kamu tahu kan, ada lotre penjualan ulang online kemarin. Aku nggak mau sampai kehabisan, jadi aku nunggu sampai tengah malam pas lotre dimulai dan langsung pesan.”
Himawari bercerita dengan penuh semangat.
Dia begitu senang bisa memenangkan lotre itu.
Dan katanya, dia memenangkan lotre yang selama ini dia harapkan.
“Aku pikir akan seru kalau bisa main bareng Kamome hari ini, jadi... Mungkin semangatku sampai ke atas sana.”
Melihat Himawari tersenyum begitu bahagia, Dia imut banget..., pikir Kamome untuk kesekian kalinya.
Jadi, sesuai dengan keinginan Himawari, mereka pun memutuskan untuk langsung main game bersama.
Balapan dan game bareng.
Mereka menikmati game terbaru dan bersenang-senang bersama.
Setelah bermain cukup lama, mereka pun memutuskan untuk makan kue.
Kue yang mereka pesan dari restoran populer sebelumnya.
“Umm, enak banget.”
Himawari menikmati potongan kuenya dengan senang.
Melihatnya, Kamome membuka tasnya sambil berpikir, Kayaknya ini saat yang tepat...
“Himawari, boleh aku minta waktunya?”
Kamome mengeluarkan kantong yang dibungkus cantik dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Himawari.
“Meskipun kamu mungkin udah bisa tebak, ini hadiah ulang tahunmu.”
“Woow...”
Himawari menghela napas bahagia sambil menutup mulutnya dengan tangan.
“Makasih. Umm... Boleh aku buka?”
Himawari bertanya sambil memegang kantong yang diterimanya.
“Ya, silakan.”
Himawari membuka pita yang mengikat mulut kantong itu.
“Aku deg-degan...”
Kamome merasakan hal yang sama.
Himawari membuka kantong itu.
Yang muncul dari dalamnya adalah...
“Wah! Imut banget!”
Seekor boneka beruang.
Sangat lembut, dan ukurannya cukup besar untuk dipeluk.
Sambil mengangkatnya, mata Himawari berkilau.
“Tapi, kenapa boneka beruang?”
“Ah, umm, karena menurutku itu yang paling imut di toko. Ah, kamu nggak suka boneka beruang?”
“Nggak, aku nggak takut sama beruang kok.”
Melihat Kamome yang sedikit gugup, Himawari tertawa geli.
“...Kamu kasih aku yang menurutmu paling imut, Kamome-kun, aku senang.”
Himawari berbisik dan tersenyum lebar dengan wajah yang tampak sangat bahagia.
“Hah?”
Di sana, Himawari yang memeluk boneka beruang itu dengan penuh sayang, tiba-tiba bersuara seolah-olah baru menyadari sesuatu.
Boneka beruang yang Kamome berikan berada dalam pose aneh, dengan tangannya di belakang punggung seakan sedang menyembunyikan sesuatu.
Himawari memutar boneka beruang itu, penasaran melihatnya dari belakang.
Dan benar saja, boneka beruang itu tampak menggenggam sesuatu di tangannya di belakang punggungnya.
Dengan kedua tangan, boneka itu memegang sebuah kotak kecil seolah-olah itu adalah sesuatu yang sangat berharga.
“...Ah.”
Himawari pun menatap Kamome.
Di sisi lain, Kamome memalingkan wajahnya, wajahnya merah padam.
Himawari yang merasa ada sesuatu dari ekspresi Kamome, dengan jantung berdebar-debar mengambil kotak kecil itu dari tangan boneka.
Ketika dia membuka kotak kecil yang terikat dengan pita dan dihias dengan cantik─
Yang muncul di dalamnya adalah sebuah aksesoris.
Cincin berbentuk hati dengan permata di tengahnya.
Cincin itu diberi rantai, menjadikannya sebagai kalung.
“...Ah, ini kejutan! Katanya cewek suka kejutan!”
Kamome buru-buru beralasan kepada Himawari, yang terdiam memandang kalung itu.
Seharusnya dia diam saja melihat reaksinya, tapi dia tak tahan dengan keheningan itu.
Masih jauh memang jalannya.
─Namun.
“Apa... kamu suka?”
Saat Kamome bertanya dengan cemas, Himawari tampak terharu dengan cara berbeda dari saat dia melihat boneka beruang.
Pipinya memerah, alisnya menurun, dan matanya menyipit seolah benar-benar tersentuh dari lubuk hatinya.
Ekspresinya menunjukkan kegembiraan yang tulus dari hatinya.
“...Kamome-kun, boleh aku coba pakai?”
Ketika ditanya, Kamome mengangguk antusias.
Himawari mengenakan kalung itu di lehernya dan menunjukkannya pada Kamome.
“Bagaimana? Cocok nggak?”
“Iya, cocok banget.”
Himawari memberi senyuman tulus pada Kamome.
“Ehehe... Terima kasih, Kamome-kun. Aku akan menjaganya dengan baik.”
...Ah.
Senyuman ini, kata-kata ini.
Melihat Himawari seperti ini, semua terasa lengkap.
Semua kekhawatiran, kerja keras.
Rasanya semua usaha yang dia lakukan selama ini terbayar.
Aku benar-benar bersyukur, pikirnya dengan tulus.
“Hah, aku tegang banget...”
Kamome menghela napas lega.
Pertama, dia melunakkan perasaannya dengan boneka beruang, lalu menyentuh hatinya dengan hadiah perhiasan yang serius.
Apalagi, untuk seseorang seperti Kamome yang biasanya serius dan agak kaku, celah seperti ini justru membuat semuanya lebih berkesan.
Semua berjalan persis seperti saran Tsuyu.
“Ehehe, aku senang kamu mempertimbangkannya dengan serius.”
“Iya, aku juga senang. Makanya, aku minta saran sama Tsuyu.”
Mungkin karena ketegangan sudah reda, Kamome tak sengaja menyebut nama Tsuyu.
“...Eh?”
Nama Tsuyu keluar dari mulut Kamome.
Mendengar itu, ekspresi Himawari mengeras.
“Kamu... konsultasi sama Tsuyu?”
“Iya, aku nggak bisa mutusin hadiah apa yang cocok buat kamu sampai menit terakhir, dan kebetulan ketemu Tsuyu di jalan. Ini pertama kalinya aku ngasih hadiah buat cewek, jadi dia kasih aku beberapa saran...”
Sampai situ, Kamome langsung berhenti bicara.
Sial─Dia lengah dan mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak perlu.
Tsuyu juga pernah bilang, Lebih baik kalau kamu simpan rahasia kalau kamu minta saran dariku.
“Jadi... kamu ketemu Tsuyu lagi...”
Mendengar ucapannya, Himawari berbisik pelan.
Lalu, dia menggigit bibirnya dengan erat.
“Kamome-kun... benar-benar nggak ada apa-apa kan antara kamu dan Tsuyu?”
Suasana berubah.
Udara hangat dan lembut yang memenuhi ruangan seketika terasa berat dan menegangkan.
“Sejak Kamome-kun pertama kali datang ke rumah ini... aku selalu, selalu punya perasaan nggak nyaman yang nggak hilang. Aku sudah sering tanya sama kamu, ‘Beneran nggak ada apa-apa, kan?’ dan mencoba meyakinkan diri berkali-kali, tapi... Tapi sekarang, aku mau tanya langsung.”
“H-Himawari?”
“Apakah waktu itu juga, di kamar Tsuyu... kalian berdua pernah berciuman?”
“Eh...”
Ditanya begitu, pikirannya kacau.
Dia sudah berbohong sampai hari ini, mengatakan bahwa tidak ada yang terjadi waktu itu.
Dia menghindari membicarakannya, berusaha agar itu tak terungkit.
Namun kini dia ditanyai langsung soal itu.
Aku tidak percaya, katanya.
Jantung Kamome berdetak kencang.
“Tidak, bukan itu...”
Dengan panik, Kamome mencoba menutupinya.
Sambil berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Dia mengusap bagian belakang lehernya, mencoba menekan rasa kebas yang menjalar.
“...Lagi-lagi.”
“Eh?”
“Kamome-kun... setiap kali kita ngomongin ini, kamu selalu taruh tangan di belakang lehermu.”
Jantung Kamome berdegup seakan mau meledak.
“Itu... kebiasaan yang kamu, Kamome-kun, lakukan saat kamu berbohong, menurutku.”
Merinding─tulang belakangnya terasa gemetar.
Emosi apa ini?
Takut?
Sekali lagi, Kamome sadar bahwa dia sudah berbohong pada orang yang dicintainya.
Dan bahwa tindakannya yang bermaksud baik justru membuatnya tidak dipercaya.
Himawari sekarang menatap Kamome dengan mata seolah melihat sesuatu yang tak bisa dipercaya.
─Aku nggak bisa mengelak lagi.
─Dan rasanya aku seharusnya nggak melakukannya.
“...Iya, kami berciuman.”
“K-Kamome-kun...”
Kamome mengakui, menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Bukan hanya menundukkan kepala, tapi dia juga bersujud sepenuhnya.
“Tapi bukan aku yang memulainya, dia yang melakukannya tiba-tiba. Aku cuma ingin kamu percaya itu.”
“O-Ok, aku mengerti... sekarang, angkat kepalamu.”
Melihat Kamome seperti itu, Himawari seakan tersadar.
Dia buru-buru meletakkan tangannya di bahu Kamome, menunjukkan bahwa dia tidak marah.
“Maaf, Himawari. Saat pertama kali aku datang ke rumah ini, aku pikir kalau aku jujur tentang apa yang Tsuyu lakukan, kamu akan kaget, jadi aku memilih untuk diam... Dan pada hari kencan kita di taman bermain, saat aku jujur bahwa Tsuyu menciummu, kamu terlihat sangat sedih... Itu sebabnya aku semakin merasa tidak bisa mengungkapkan kejadian pertama itu...”
Dan begitu, kebohongan demi kebohongan bertumpuk.
Aku benar-benar minta maaf─Kamome menundukkan kepalanya lagi.
“Tidak, terima kasih udah jujur padaku.”
Sebagai balasan, Himawari menggeleng, matanya tampak berkaca-kaca.
“Aku sudah lama merasakan hal itu... tapi, kalau memang begitu, mungkin Kamome-kun yang lembut... berusaha menanggungnya sendirian dalam diam. Jadi, nggak apa-apa, ini bukan hal yang terlalu mengagetkan.”
“Himawari...”
“Tapi kalau ada hal seperti itu, aku ingin kamu bilang jujur padaku. Karena aku pacarmu.”
Himawari berbisik, matanya tertunduk.
Melihatnya seperti itu, Kamome merasa bersalah.
“Maaf, Kamome-kun, meski ini hari yang seharusnya istimewa.”
“Nggak...”
Suasana tegang dan penuh ketidakpastian hilang.
Tapi udara berat akibat pengakuan kesalahan masih terasa di ruangan itu.
Aku ingin melakukan sesuatu.
Aku ingin kembali seperti beberapa menit yang lalu...
Kenapa aku sampai menyebut nama Tsuyu...
Saat Kamome memikirkan itu, di saat itu juga.
“Kamome... kalau boleh, aku ingin minta sesuatu.”
Dengan ragu, sambil menundukkan kepala, Himawari berkata.
“Permintaan?”
“A-Aku minta maaf, aku sudah dapat hadiah, dan aku tahu ini kurang pantas di saat seperti ini.”
Himawari berkata penuh penyesalan, tapi Kamome tak punya alasan untuk menolak.
Faktanya, dia merasa ingin memenuhi permintaannya karena rasa bersalahnya.
“Nggak apa-apa. Ada yang kamu inginkan?”
“...Aku ingin kamu menciumku.”
Himawari berkata sambil menatap mata Kamome.
“Eh...”
“Aku ingin kamu menciumku. Di kencan kita yang terakhir dan sebelumnya, saat pertama kali kamu bertemu dengannya... Kamome-kun, kamu sudah cium Tsuyu dua kali, bukan?”
“...I-Iya.”
“...Tapi aku belum pernah mencium Kamome-kun.”
Dengan mata berkaca-kaca, penuh permohonan, Himawari menatap Kamome.
“Jadi, aku ingin kamu menciumku juga... Kalau bisa... ciuman yang lebih berkesan dari ciumanmu dengan Tsuyu.”
Kamome tersentak melihat Himawari memohon dengan tatapan yang menggoda.
Inilah pertama kalinya dia melihat wajahnya seperti ini.
Ekspresi yang penuh gairah, sedikit nakal.
“...Oke.”
“Kalau begitu, aku akan mulai.”
“Ya...”
Di tengah ruangan, Kamome dan Himawari berdiri saling berhadapan.
Bagi Kamome, ini seakan mengulang hari itu.
Kemudian, mengingat apa yang Tsuyu lakukan padanya, dia mencium Himawari.
Dia berharap bisa menciptakan ciuman yang lebih berkesan dari yang pernah dia lakukan dengan Tsuyu... Kalau dia mencoba membuat ciuman seperti itu... Maka secara alami, ciuman itu akan menjadi seperti itu.
Dia menggantikannya.
...Ya, ini pasti, sebagai bentuk penebusan.
Dengan makna itu, ini juga permintaan Himawari.
“Fuua...”
Dari celah bibir mereka yang bertemu, suara Himawari mengalir.
Suara itu menyentuh telinganya, menyalakan sebuah saklar dalam diri Kamome.
Dia mengelus langit-langit mulutnya dengan ujung lidahnya, dan mencium Himawari seolah-olah sedang menyedot bibirnya.
Rasa menggigil terasa menjalar di tulang belakangnya.
Ini buruk... Aku tak bisa berhenti.
Melawan segala logika, tubuhnya tidak mau menurut.
Seolah-olah kelembutan dan perhatian yang dia tunjukkan saat mereka berpegangan tangan di kencan sebelumnya adalah dusta, Kamome menyerahkan hasratnya pada Himawari.
Lidah Kamome menjelajahi setiap sudut mulut Himawari.
Seakan menikmati manis dan lembutnya mulutnya, dia menjilat pipi bagian dalamnya dan mengaitkan lidahnya dengan lidah Himawari.
Sambil mencium Himawari, Kamome mengelus lembut kepala dan punggungnya.
Sementara itu, pikiran Himawari kosong. Ini pertama kalinya dalam hidupnya dia diperlakukan seperti ini.
Bukan hanya sekadar ciuman, tapi juga dibelai lembut.
Sebuah permintaan yang dia utarakan karena cemburu.
Namun, alih-alih marah, dia merasa begitu hangat hingga hampir menangis.
Himawari juga mulai menyentuh tubuh Kamome.
Keras.
Tubuh pria ternyata sekeras ini, dia terkejut merasakan perbedaan antara tubuh pria dan wanita.
Saat untuk saling memahami.
Lebih dalam dari sebelumnya.
Waktu berlalu begitu lama─
“......”
Di tengah-tengah momen itu, tiba-tiba─
Yang terlintas di pikiran Kamome adalah wajah Tsuyu.
Dia meniru cara Tsuyu menciumnya saat itu dan mencium Himawari sambil mengingat kejadian tersebut─mungkin karena itulah dia mengingatnya.
Namun, sosok Tsuyu yang terlintas dalam pikiran Kamome saat itu bukanlah yang dengan ekspresi menggoda saat setengah bercanda mendekatinya.
Yang muncul adalah Tsuyu yang tersenyum polos saat mereka menghabiskan waktu bersama di pusat permainan.
Meskipun bertahun-tahun telah berlalu dan penampilannya berubah, senyum itu, senyum seperti sinar matahari, mengingatkannya pada Tsuyu yang dulu.
Bagian dari Tsuyu yang hangat dan tulus itu, ternyata masih sama sampai sekarang.
Bagian itu tiba-tiba muncul dalam pikirannya.
‘...Apa yang kupikirkan?’
Segera, Kamome menegur dirinya sendiri.
Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal seperti itu.
Dia segera mengenyahkan bayangan itu dan kembali fokus pada Himawari, yang berada tepat di depannya─
Setelah puas menikmati ciuman tersebut, Kamome dan Himawari perlahan melepaskan bibir mereka.
“Ah...”
“......”
Mereka saling menatap, berhadapan.
Keduanya memerah dan tidak menemukan kata-kata untuk diucapkan.
Namun, dengan detak jantungnya yang masih berdebar kencang, Kamome mulai berpikir bahwa kalau bisa... dia ingin melangkah lebih jauh.
Apakah Himawari juga merasakan hal yang sama?
“Himawari...”
Sebagai seorang pria, dia merasa seharusnya dia yang membuat keputusan di sini.
Kamome memanggil namanya.
Mendengar itu, Himawari tersentak kecil.
“...Aku─”
“Aku pulang.”
Tiba-tiba, terdengar suara pintu depan di lantai bawah terbuka, disertai suara seseorang yang pulang.
Mendengar suara itu, Kamome dan Himawari langsung kembali ke kenyataan.
“Itu... itu ayahku!”
Tampaknya ayah Himawari sudah pulang.
“Tadi dia bilang dia akan pulang lebih awal karena hari ini ulang tahunku...”
Himawari tampak sedikit kecewa.
Melihat ekspresinya, Kamome hanya tersenyum kecil.
‘Entah kenapa, aku merasa sedikit lega.’
Dia sempat mengambil keputusan sejenak, tetapi mungkin memang belum saatnya.
Meski begitu, dia memahami bahwa Himawari merasakan hal yang sama dengannya, bahwa dia juga sama-sama berdebar.
Hanya dengan mengetahui perasaan itu saja, dia sudah merasa bahagia.
“Sepertinya, aku harus menyapa ayahmu dulu.”
Dengan itu, Kamome dan Himawari pun keluar dari kamar.
Saat mereka turun ke lantai pertama, mereka bertemu dengan ayah Himawari di ruang tamu.
“Maaf mengganggu, Pak.”
Ayah Himawari, yang tampak sedikit kaget melihat seorang pria bersama putrinya, berhenti membuka dasi.
“Nama saya Ooshima Kamome, saya pacarnya Himawari. Senang bertemu dengan Anda.”
Menanggapi salam sopan Kamome, ayah Himawari menyipitkan mata curiga sambil berkata, Hmm...
Dia adalah pria serius, berkacamata, dengan penampilan khas pegawai kantoran.
‘...Jadi ini ayahnya Himawari’
Meskipun telah menikah lagi, dia adalah orang tua yang memenangkan hak asuh Himawari saat bercerai.
Dengan kata lain, dia adalah ayah kandung Himawari, yang memiliki ikatan darah dengannya.
Di sisi lain, ayah Himawari menyipitkan mata di balik kacamatanya, menatap Kamome seolah-olah sedang mengamatinya.
“Jadi, kamu pacar Himawari, ya...? Aku sudah mendengar tentangmu dari Himawari.”
“Saya senang Anda mengingat saya.”
“Saat kamu baru masuk SMA, kamu menyelamatkan putriku dari pencopet, bukan?”
“Ah, iya.”
Sepertinya itulah yang diceritakan Himawari padanya.
Kamome menoleh pada Himawari yang berada di sampingnya, dan dia tampak sedikit malu.
“Saya sangat berterima kasih untuk itu. Terima kasih sudah menyelamatkan putriku.”
“Ah, sama-sama, Pak. Itu kehormatan bagi saya.”
“Tapi, kamu masih siswa. Meski kalian pacaran, tetaplah ingat untuk menjaga hubungan yang sewajarnya.”
“I-Iya, Pak.”
“Ngomong-ngomong, hari ini ulang tahunnya Himawari, kan? Sepertinya kalian merayakannya bersama.”
Ayah Himawari berkata dengan nada rendah sambil mendorong bingkai kacamatanya.
“Kalian nggak melakukan hal yang aneh, kan?”
“Eh?!”
Kamome terkejut mendengar pertanyaan ayah Himawari.
Hal aneh... mendengar itu, Kamome tidak bisa menahan diri untuk tidak mengingat kejadian tadi.
“Itu, eh, begini...”
“Sudah, Ayah! Jangan ngomong yang aneh-aneh!”
Di situ, Himawari berteriak menggantikan Kamome yang kebingungan.
Kamome adalah orang yang jujur, jadi kalau dia ditanya seperti itu, mungkin dia akan mengaku.
Tampaknya Himawari sudah mengantisipasi hal ini dan membelanya.
“Apa sih, Himawari. Aku juga percaya Kamome anak yang bisa dipercaya. Tapi aku tetap khawatir...”
“Ayah ini terlalu protektif! Sudah, waktunya Kamome pulang, aku mau mengantarnya!”
Dengan setengah memaksa.
Akhirnya, Kamome pun harus pulang.
“Maaf ya, ayahku bilang yang aneh-aneh...”
“Nggak apa-apa kok, dia ayah yang baik. Aku yakin dia sangat menyayangimu.”
Di pintu depan.
Dari sudut matanya, Kamome melihat ayah Himawari berdiri di balik bayangan pintu ruang tamu, mengawasinya.
Saat Himawari menyadari hal itu dan menoleh sambil berteriak, Ayah! dia segera mundur.
“Aku benar-benar minta maaf... Aku akan senang kalau kamu tidak membenci ayahku...”
Kepada Himawari yang terlihat sedih seperti itu, Kamome menjawab dengan ceria, Nggak kok, tenang aja.
Mungkin ayah Himawari merasa bersalah atas beban yang harus ditanggung Himawari akibat perceraiannya.
Itulah mengapa dia merasa harus menjaga Himawari dengan baik.
Karena Kamome mengerti hal ini, dia sama sekali tidak merasa kesal.
Jadi.
“Sampai jumpa.”
Mereka berpisah di depan pintu, dan Kamome pulang ke rumah.
Setidaknya, dia merasa bisa membuat ulang tahun pertama Himawari yang dia rayakan bersama menjadi kenangan yang indah.
Tampaknya Himawari juga menyukai hadiahnya.
“...Aku harap dia sudah memaafkanku.”
Pengakuan bahwa dia telah berbohong.
Pada akhirnya, suasana tegang hilang.
Semua berakhir baik, dan tampaknya dia berhasil menyelesaikan salah satu masalah yang selama ini dia pendam.
“...Tapi, memang tak terduga.”
Kamome teringat pada ciuman itu.
...Tak kusangka Himawari bisa bilang hal seperti itu.
◇◆◇◆◇◆
─Keesokan harinya.
“Haa...”
Himawari berjalan menuju sekolah.
Ekspresinya sedikit muram.
Pesta ulang tahun kemarin bersama Kamome.
Suasana begitu menyenangkan, tapi berubah canggung saat ayahnya pulang.
Setelah itu, dia mengirim pesan ke Kamome untuk meminta maaf lagi, tapi...
“Kamome-kun... Semoga dia nggak terlalu memikirkan perkataan ayahku.”
─Kalian nggak melakukan hal yang aneh, kan?
‘Apa jadinya kalau Kamome benar-benar terlalu memikirkannya, sampai nggak berani melakukan apa-apa padaku... Apa yang kupikirkan ini!?’
“Yosh, Himawari. Selamat pagi.”
Tiba-tiba, temannya Tachibana Risa yang sedang lewat menyapanya.
“Ah, Risa-chan. Pagi.”
“Hm?”
Risa menatap Himawari dengan tajam.
“Ada apa?”
“Himawari... Kamu habis ciuman, ya?”
“Huh!?”
Himawari terkejut mendengar Risa tiba-tiba menebaknya.
“Ke-Kenapa!?”
“Karena, bibirmu agak bengkak.”
Risa berkata sambil menunjuk bibirnya sendiri.
“Pasangannya Kamome-kun, kan? Hmm... Meski kelihatannya pendiam, dia lumayan bersemangat, ya.”
Sambil berkata begitu, Risa pun ikut memerah.
“Aduh, nggak usah pamer dari pagi dong, Himawari~. Nih, sudah terlihat kalau kamu lagi berbunga-bunga.”
“E-Eh, permisi dulu!”
Himawari segera lari menghindar dari godaan Risa.
Sesampainya di sekolah, dia langsung menuju kamar mandi.
Dan ketika melihat di cermin, ternyata benar seperti kata Risa, bibirnya agak memerah dan sedikit bengkak.
Ini memang... karena ciuman itu.
“K-Kalau ciuman, jadinya kayak gini...”
Ciuman yang bukan sekadar ciuman biasa, tapi yang melahap bibirnya sepenuh hati...
Mengingat ciuman dengan Kamome kemarin, dia merasa malu dan buru-buru mengeluarkan masker untuk menutupi bibirnya.
Selama ini tanpa menyadarinya, dia sudah memperlihatkan bibirnya itu saat berangkat ke sekolah, di kereta, dan di jalan dari stasiun.
Dan mungkin saja orang-orang seperti Risa, sudah menyadarinya.
Wajahnya memerah.
Malu rasanya.
Kenapa dia membuat permintaan seperti itu kemarin?
Karena dia merasa cemburu pada Tsuyu.
Melihat Kamome yang awalnya tidak berani mengakui kebenaran padanya dan tampak merasa bersalah, dia merasa bahwa mungkin dia bisa memanfaatkan momen itu untuk mengutarakan keinginannya.
Saat itu, dia memang sedikit tidak rasional.
‘Tapi...’
Kehangatan yang dia rasakan saat itu.
Dia mengingat ciuman-ciuman itu, kehangatan tubuh Kamome, dan berbagai sentuhan yang dia rasakan.
Tatapan lembut Kamome dan keinginannya yang penuh gairah untuknya membuat hatinya berdebar.
“...Aku ingin melakukannya lagi.”
Di balik maskernya, Himawari berbisik lirih.
Post a Comment