NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kanojo no Ane wa... Kawatte Shimatta Hatsukoi no Hito V1 Chapter 5

Penerjemah: Chesky Aseka 

Proffreader: Chesky Aseka 


Chapter 5:

Kamu Masih Sama Seperti Dahulu


Ulang tahun Himawari semakin dekat. 

Ini adalah ulang tahun pertama yang akan mereka rayakan bersama. 

Dan Kamome harus menyiapkan hadiah ulang tahun pertama yang akan ia berikan kepadanya. 

Kita bicara tentang Himawari di sini. 

Mungkin dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal semacam ini. 

Undangannya untuk merayakan ulang tahunnya bersama mungkin hanya keinginannya untuk menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan Kamome. 

Namun, itu bukan alasan untuk mengabaikannya begitu saja. 

“Hmm...” 

Di dalam kelas, Kamome duduk di bangkunya, merenung sambil menyilangkan tangan. 

“Ada apa, lagi mikirin apa?” 

Melihat Kamome yang terlihat sedang berpikir keras, Kensuke dan Misaki mendekatinya. 

“Yah, sebentar lagi ulang tahun Himawari...” 

“Jadi itu alasan kenapa dari tadi pagi kamu kelihatan kepikiran ya?” 

Misaki menatap Kamome yang sedang menghela napas, terlihat sedikit jengkel. 

“Kapan ulang tahunnya?” 

“Tiga minggu lagi.” 

“Wah, dia ngajak kamu lumayan jauh-jauh hari ya. Mungkin dia juga belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini? Wah, pasangan polos nih.” 

“Jangan ngolok-ngolok.” 

Misaki pun menoyor bahu Kensuke. 

“Baiklah, bercanda aja kok. Masih ada waktu, udah ada ide buat hadiahnya?” 

“Yah, sebelum itu, ada masalah keuangan sih...” 

“Ah, jadi kamu belum punya dana buat beli hadiah.” 

Bukan berarti dia sama sekali nggak punya uang... 

Kamome menerima uang saku bulanan dari orang tuanya. 

Dengan uang itu, dia bisa memenuhi kebutuhan hiburan, kebutuhan sekolah, penampilan pribadi, dan kebutuhan lainnya selama masa SMA-nya. 

Tapi kali ini, dia membutuhkan uang untuk hadiah ulang tahun. 

Karena ini hadiah ulang tahun, tentu dia ingin memberikan sesuatu yang istimewa. 

“Ngomong-ngomong, Shishido suka apa aja sih? Aku nggak terlalu paham soal itu.” 

“Hmm, dia suka manga, anime, gim, dan... hal-hal lucu.” 

Hadiah apa yang cocok untuk Himawari? 

Meskipun sudah mendiskusikannya bersama Kensuke dan Misaki, mereka tidak berhasil menemukan jawaban yang memuaskan. 

“Ayo mulai homeroom.” 

Sambil mereka berbincang, wali kelas pun memasuki ruangan. 

“Yah, masih ada waktu kok, jadi pilih sesuatu yang bisa bikin kamu puas.” 

Mendengar saran dari kedua temannya, Kamome semakin bingung dan bergumam, “Iya...” 


◇◆◇◆◇◆


“Ayo bekerja!” 

Ini hadiah untuk pacarku. 

Aku ingin membeli hadiah yang benar-benar dari uang hasil keringatku sendiri. 

Kamome pun memutuskan untuk memulai pekerjaan paruh waktu. 

Namun, karena peraturan sekolah, dia membutuhkan izin dari orang tuanya untuk mulai bekerja. 

Di rumah, Kamome akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan keinginannya kepada ayahnya. 

“...Aku sudah bulatkan tekad, tapi gimana ya cara ngomong ke ayah?” 

Apakah ayahnya akan mengerti jika dia jujur mengatakan “Aku ingin kerja karena ingin menyiapkan hadiah untuk pacarku”? 

Bagaimana cara terbaik untuk menyampaikannya? 

Saat dia sedang merenungkannya─

“Ada apa? Kamome, kamu kelihatan lagi mikir keras.” 

Kamome yang sedang mondar-mandir di ruang tamu, tiba-tiba disapa. 

“Ah, Ayah.” 

Seorang pria berpostur kokoh muncul dari belakang Kamome. 

“Ada yang ingin kamu ceritakan?” 

Ayah Kamome adalah pria bertubuh kekar dengan rambut pendek yang tertata rapi. 

Sementara Kamome terlihat agak kekanak-kanakan, ayahnya memiliki wajah tegas dengan jenggot di dagunya. 

Dia adalah ayah Kamome. 

“Gi-Gimana Ayah tahu?” 

“Itu ikatan batin antara ayah dan anak... atau sebetulnya, wajahmu yang menunjukkan segalanya, jadi gampang ditebak.” 

Sebagai seorang polisi, kepekaan pengamatan ayahnya tajam. 

Ayah Kamome tertawa melihat rasa kagumnya. 

“Aku tahu, ini soal pacarmu, kan?” 

Ditambah lagi, ayahnya langsung menebak dengan tepat, membuat Kamome terkejut. 

“Ada apa? Ada sesuatu yang gak lancar?” 

“Nggak, kami baik-baik saja.” 

“Aku iri sama anak muda yang bisa ngomong begitu dengan percaya diri.” 

Ayahnya tertawa dan melanjutkan. 

“Jadi, apa yang membuatmu khawatir?” 

“Begini...” 

Meski sudah berpikir panjang, pada akhirnya, dia tak punya pilihan lain selain bicara terus terang. 

Lagi pula, ayahnya adalah orang yang seperti itu. 

“Ayah, aku ingin mulai kerja paruh waktu.” 

“...Kamu punya alasan?” 

Ayah Kamome menatapnya tajam, menunggu penjelasannya. 

Dia pada dasarnya menghormati keputusan putranya, Kamome. 

Ayahnya sangat membiarkan Kamome bebas melakukan apa yang diinginkan. 

Namun, untuk kerja paruh waktu, keluar ke masyarakat dan bekerja, dia agak khawatir, atau lebih tepatnya, cenderung menolak. 

Mungkin itu karena profesinya sebagai polisi. 

Meski masih di bawah umur, sekali bekerja, mau tak mau dia akan bertemu berbagai macam orang. 

Tidak semua orang adalah orang baik. 

Ayahnya sangat paham bahwa ada kemungkinan Kamome bisa terlibat dalam hal-hal yang tidak diinginkan tanpa sadar. 

“Sebenarnya, sebentar lagi ulang tahun Himawari. Jadi, aku ingin memberi hadiah pertamaku untuknya, dan aku ingin menabung uang untuk itu. Lebih dari itu, rasanya tidak enak kalau beli hadiah pakai uang saku yang aku dapat dari Ayah dan Ibu.” 

“Hmm...” 

Ayah Kamome berpikir sejenak sambil memegang dagunya. 

“...Apa benar seburuk itu beli hadiah pakai uang saku dari orang tua?” 

“Eh?” 

Akhirnya, ayahnya bertanya. 

“Alasan Ayah memberikan uang saku setiap bulan bukan hanya karena kamu butuh uang sebagai siswa SMA. Kamome, kamu hidup dengan baik setiap hari. Nilai kamu nggak buruk, kamu bukan anak nakal, kamu hidup dengan serius, dan reputasi kamu di lingkungan baik. Kamu punya persahabatan dan hubungan cinta yang bisa dibanggakan.” 

Ayah Kamome berbicara serius dengan wajah yang sangat serius. 

“Pikirkan uang saku yang Ayah berikan sebagai semacam gaji, kompensasi untuk hidup yang baik. Nggak ada bedanya dengan uang yang kamu peroleh dari bekerja, jadi seharusnya nggak ada yang salah.” 

“Ayah...” 

Kamome tersentuh dengan kata-kata ayahnya. 

“Terima kasih, Ayah... Tapi...” 

Namun, Kamome dengan tegas berkata. 

“Tetap saja, rasanya memalukan kalau seorang laki-laki beli hadiah pakai uang saku dari orang tua! Itu sungguh memalukan!” 

“Aku mengerti, yah, ada benarnya sih.” 

Sepertinya ketulusan Kamome berhasil menyentuh hati ayahnya. 

“Bagaimanapun, aku ingin membeli hadiah dengan uang hasil kerja sendiri. Itu yang ingin kulakukan.” 

Kamome berkata dengan tekad kuat. 

Melihat sikapnya yang jujur, ayahnya menghela pelan. 

“Entah kamu serius atau keras kepala... kamu baru kelas satu SMA, jadi menurut Ayah kamu harusnya lebih santai saja. Sungguh, dari siapa kamu mewarisi sifat ini ya.” 

“Sepertinya bukan dari Ayah, deh. Mungkin dari Ibu.” 

“Jangan ngomong blak-blakan begitu.” 

Tapi sepertinya benar juga ya... Dengan wajah mengenang, ayah Kamome seakan tenggelam dalam kenangan manis bersama istrinya. 

Wajahnya yang tegas tampak melunak. 

“Ibumu orang yang sangat jujur dan tegas. Bahkan saat sedang kencan, kalau melihat wanita hamil yang butuh pertolongan, dia akan langsung menelepon ambulans dan menemani mereka sampai aman.” 

“Ayah, kok langsung nostalgia soal Ibu.” 

Sepertinya ayahnya masih sangat mencintai ibunya. 

Bagi Kamome, itu bukan hal yang buruk... 

“Ngomong-ngomong, Kamome, untuk referensi, hadiah pertama yang Ayah berikan untuk Ibumu adalah sepuluh tiket gratis ke buffet hotel mewah.” 

“Aku mengerti, tapi Himawari makannya sedikit, jadi kurasa nggak cocok. Tapi makasih ya.” 

Akhirnya, dia mendapat izin dari ayahnya untuk bekerja paruh waktu. 

Ayahnya akan menandatangani surat izin dari sekolah begitu Kamome menemukan pekerjaan yang tepat. 

“Kalau begitu.” 

Meninggalkan ayahnya yang masih menceritakan kisah cintanya dengan ibunya, Kamome segera mengganti sepatu di pintu masuk untuk mencari pekerjaan paruh waktu. 

Saat itu, dari belakang rumah, terdengar suara langkah kaki berlari mendekatinya─

“Ah, Barry.” 

Yang datang adalah anjing besar berbulu putih seluruh tubuhnya. 

Dia adalah Barry, anjing Samoyed yang dipelihara Kamome di rumah. 

Mungkin dia berpikir mereka akan pergi jalan-jalan. 

Kamome mengelus Barry yang dengan riang menempel padanya, mengatakan, Tidak, kita sudah jalan-jalan tadi pagi. 

Barry memang manja meski tubuhnya besar. 

“Aku mau cari kerja paruh waktu sekarang. Ayah sudah kasih izin” 

Kamome pun bertanya pada Barry sambil mengusap wajahnya. 

“...Hei Barry, hadiah apa yang cocok untuk seorang gadis, ya?” 

Tentu saja, Barry hanya menjilat wajah Kamome seolah memintanya untuk bermain, tanpa peduli dengan pertanyaan itu. 


Dengan izin untuk bekerja, Kamome pun langsung mencari pekerjaan. 

Hari ulang tahun Himawari tinggal beberapa hari lagi. 

Namun, dia tidak terlalu khawatir menemukan pekerjaan yang tepat dalam waktu singkat. 

Pasalnya, dia segera dikenalkan dengan toko olahraga tempat kenalannya bekerja. 

“Saya berharap bisa bekerja dengan baik!” 

Di sebuah toko olahraga bernama Kedogawa Sports.

Kamome menyapa pria berambut afro yang berdiri di depannya dengan semangat. 

Dia adalah Kedogawa-san, pemilik toko ini. 

“Amane-chan yang mengenalkan kamu dan aku jadi penasaran seperti apa kamu, tapi rupanya kamu sangat bersemangat. Kamu mulai hari ini?” 

“Ya!” 

“Bagus. Aku akan mengandalkan kamu untuk bekerja keras.” 

Manajer Kedogawa tampaknya menyukai Kamome. 

“Yah, ini pekerjaan singkat, tapi aku berharap kita bisa bekerja sama. Oi, Amane-chan, ajari Ooshima-kun cara bekerja ya.” 

“Oke.” 

Dipanggil oleh manajer Kedogawa, seorang pegawai wanita berapron mendekat. 

Seorang wanita dengan aura kakak, berkacamata, dan rambut diikat di belakang.

Namanya Katsumata Amane. 

Meski ia tidak bersekolah di SMA yang sama, Amane adalah kakak kelas Kamome saat di SMP. 

“Aku kaget saat kamu tiba-tiba memintaku untuk mengenalkanmu pada pekerjaan paruh waktu. Kalau nggak salah, kamu mulai bekerja untuk membeli kado ulang tahun untuk pacarmu, ya?” 

Amane menepuk bahu Kamome dengan senyum menggoda. 

“Aku nggak nyangka Ooshima-kun yang polos bisa punya pacar. Waktu memang berlalu cepat, ya?”

“Terima kasih, Katsumata-senpai. Jadi, apa kamu udah dapat pacar yang selama ini kamu impikan?” 

“Jangan tanyakan itu padaku.” 

Kamome langsung mendapat tinjuan kecil di sisinya dari Amane. 

Ternyata, ia masih belum berhasil mendapatkan pacar. 

“Ngomong-ngomong, jadwal shift-mu hampir setiap hari, ya. Tapi, wajar sih karena kamu bekerja dalam waktu singkat.” 

Amane melihat jadwal shift di tangannya dan tampak terkejut. 

“Kamu meninggalkan pacarmu sendirian, nggak apa-apa?”

“Nggak masalah. Nggak harus selalu bersama setiap saat. Lagipula, Himawari punya rencananya sendiri seperti aku juga punya.” 

Benar sekali. 

Berbeda dengan Kamome, Himawari adalah anggota klub. 

Secara teknis, itu adalah klub sastra, jadi bisa dianggap sebagai kegiatan klub. 

“Heeh, pacarmu itu seorang gadis sastra, ya, Himawari-chan.” 

“Iya, tapi dari yang kudengar dari Himawari, Klub Sastra itu sebenarnya adalah ‘klub untuk belajar dan menikmati budaya yang beragam dan berbagai bidang akademik’. Mereka tampaknya bermain gim dan melakukan kegiatan di luar ruangan, tidak seperti yang kupikirkan.” 

“Itu cuma sekumpulan orang yang punya waktu luang setelah sekolah dan nongkrong.” 

“Tapi menurut Himawari, dia dan ketua klub tampaknya serius dalam menulis novel dan melakukan kegiatan sastra.” 

“Heeh.”


◇◆◇◆◇◆


Seperti itu, Kamome menghabiskan hari-harinya bekerja keras di pekerjaan paruh waktunya. 

Tujuannya adalah untuk membeli hadiah ulang tahun untuk Himawari, jadi ia merahasiakan pekerjaannya ini dari Himawari. 

Karena ini adalah kejutan. 

Namun, jika ia terus bekerja setiap hari seperti itu, hanya soal waktu sebelum Himawari mengetahuinya. 

“Omong-omong, Kamome-kun, belakangan ini kamu sibuk, ya?” 

Suatu hari sepulang sekolah. 

Hari ini mereka pulang bersama karena pekerjaan paruh waktu Kamome dan kegiatan klub Himawari sedang libur. 

Di tengah perjalanan pulang, Himawari bertanya pada Kamome. 

“Ah... Iya, karena aku mulai kerja paruh waktu.” 

“Eh, benarkah?” 

Himawari terkejut. 

Lalu, ekspresinya langsung berubah menjadi khawatir. 

“Kamu sepertinya bekerja hampir setiap hari... Apa ada yang kamu inginkan?” 

“Nggak gitu... Tempat aku bekerja adalah toko peralatan olahraga bernama Kedogawa Sports, diperkenalkan oleh salah satu senpai-ku dari SMP...” 

Saat Himawari bertanya dengan rasa khawatir, Kamome mencoba tetap tenang dan melanjutkan percakapan seperti biasa, sambil berpikir cara mengelak dari pertanyaan itu. 

Namun, ia tidak menemukan alasan yang baik. 

“Maksudku... Nggak usah khawatir. Atau lebih tepatnya, ini untuk Himawari...” 

“Eh?” 

Dalam keraguannya, kata-kata itu terlontar tanpa sengaja. 

Melihat Himawari yang terdiam setelah mendengar kata-kata itu, Kamome melanjutkan dengan sedikit gugup. 

“Maksudku... Sebentar lagi kan ulang tahunmu?” 

Mendengar itu, Himawari sepertinya sudah bisa menebak alasan Kamome mulai bekerja paruh waktu. 

Wajahnya memerah dan ia menunduk. 

“E-Eh... S-Serius?” 

Sepertinya rahasianya sudah terbongkar. 

Tapi sudah terlanjur, jadi ia memutuskan untuk tidak berusaha menyembunyikannya lagi. 

“...Maaf, kalau saja aku lebih pintar dalam mengelak, mungkin aku bisa mengejutkanmu di hari itu.” 

“N-Nggak! Sama sekali enggak begitu! Sekarang aku senang sekali!” 

Nada Himawari berubah menjadi lebih bersemangat, ia mengatakan hal itu dengan gembira. 

Melihatnya begitu, Kamome pun merasakan kepuasan tersendiri. 

Syukurlah. 

Apa yang kulakukan ternyata nggak sia-sia, pikirnya. 

“Himawari. Makanya, aku ingin kamu menantikannya.” 

Setelah menyampaikan itu, Himawari mengangguk dan menjawab, Iya, aku akan menantikannya.


◇◆◇◆◇◆


─Malam itu. 

Di rumah keluarga Shishido. 

“...Uuuh.” 

Di kamarnya, Himawari berbaring sambil menggeliat di tempat tidurnya. 

Ia memegang ponsel, menampilkan foto yang diambil saat kencan mereka kemarin. 

Melihatnya, wajahnya melunak penuh kebahagiaan. 

Ia teringat pada apa yang Kamome katakan sore tadi. 

Ia berpikir bahwa Kamome, yang belakangan ini mulai bekerja paruh waktu, sedang berusaha mempersiapkan hadiah untuk merayakan ulang tahunnya. 

Percakapan itu memang terasa samar-samar, tapi sepertinya memang begitu. 

Mungkin ia hanya terlalu berpikir berlebihan... Ada kemungkinan ia salah mengerti, dan jika ternyata tidak seperti yang ia bayangkan, itu akan terasa sangat menyakitkan. 

Tapi semakin ia memikirkannya, semakin hatinya berdebar, kepalanya serasa mendidih... dipenuhi oleh kegembiraan. 

Ia begitu bahagia sampai-sampai rasanya ingin gila. 

“Huh... Kamome-kun, kamu keren banget.” 

Ia berguling-guling di tempat tidur, ke kanan dan ke kiri. 

Tanpa sengaja, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari ranjang dengan suara gedebuk. 

Namun, Himawari yang sedang bahagia seperti orang mabuk, bahkan tidak menyadari bahwa dirinya telah terjatuh. 

“Dia bahkan mulai kerja paruh waktu untukku, berusaha membuatku bahagia... Apa pantas pria sekeren itu jadi pacarku...” 

“Apa yang kamu gumamkan sendirian di situ?” 

Tanpa disadari, Tsuyu sudah membuka pintu kamar Himawari dan menghampirinya. 

“W-Waaahh!? T-T-T-T-Tsuyu!? Kok bisa!?” 

“Ya, aku dengar suara keras. Aku penasaran apa yang terjadi.” 

“N-Nggak ada apa-apa...” 

Ia buru-buru berusaha menutupi, namun Tsuyu sudah sepenuhnya menangkap alasan di balik itu. 

Hm..., gumam Tsuyu sambil memandangi Himawari. 

“...Kamome, mulai kerja paruh waktu.” 

“Eh?” 

Mungkin Tsuyu mendengar gumaman Himawari sebelumnya. 

Himawari kaget saat Tsuyu melanjutkan percakapan mengenai topik itu. 

Bersamaan dengan itu, wajahnya sedikit tegang karena topik tentang Kamome. 

“I-Iya. Kayaknya dia dikenalin ke toko olahraga bernama Kedogawa Sports oleh salah satu senpai-nya dari SMP...” 

“Heeh...” 

Sepertinya Tsuyu menebak alasan Kamome mulai kerja paruh waktu dari komentar dan reaksi Himawari sebelumnya. 

“Oh gitu, sebentar lagi ulang tahunmu, ya?” 

Setelah berkata demikian, ia berniat menutup pintu. 

“Ah, Tsuyu-san.” 

Sesaat sebelum pintu tertutup, Himawari menghentikan Tsuyu. 

“Ada apa?” 

“Umm... anu...” 

Mendengar pertanyaan Tsuyu, Himawari sempat kehilangan kata-kata dan akhirnya menjawab dengan ragu, N-Nggak jadi.

“...Apa? Apa kamu disuruh mengorek informasi tentangku oleh mereka lagi?” 

Tsuyu bertanya dengan nada sedikit kesal. 

Himawari memang sering diminta oleh ayah dan ibu tirinya untuk mencari tahu keadaan Tsuyu belakangan ini. 

Tsuyu jarang membicarakan tentang dirinya sendiri kepada keluarga. 

Jadi, jika ada kesempatan berbicara dengannya, Himawari diminta untuk menyelidiki keadaan pertemanannya dan memastikan ia tidak terlibat dalam hal yang aneh. 

“N-Nggak gitu...” 

“Aku nggak melakukan hal yang aneh atau berbahaya. Mereka terlalu khawatir.” 

“Bukan itu maksudku...” 

Yang paling ingin Himawari tanyakan sebenarnya bukan soal itu. 

Ia meremas tangannya yang terkatup erat di dada. 

Seolah menahan detak jantungnya yang melonjak karena gugup. 

“Tsuyu-san... Bagaimana perasaanmu tentang Kamome-kun?” 

Mendengar pertanyaan itu, Himawari tahu Tsuyu memandang ke arahnya. 

Namun, Himawari menunduk sehingga ia tidak bisa langsung melihat ekspresinya. 

Belum lama ini, Kamome menceritakan bahwa Tsuyu mengikutinya di taman bermain dan tiba-tiba menciumnya. 

Setelah pulang dari kencan, ia sempat berpikir untuk bertanya pada Tsuyu tentang hal itu, tetapi Himawari selalu merasa canggung untuk berinteraksi dengan Tsuyu. 

Meskipun di antara anggota keluarga mereka yang paling sering berbicara, mereka hanya melakukan obrolan ringan yang sekadarnya. 

Karenanya, ia tidak bisa membicarakan masalah itu dengan Kamome secara mendalam, dan karena sifatnya yang pemalu, ia berusaha tidak terlalu memikirkannya. 

Namun, seaneh apa pun ia berusaha menghindarinya, perilaku itu tetap terasa ganjil. 

Mungkin, sejak awal. 

Saat ia mengundang Kamome ke rumah ini dan Tsuyu bertemu dengannya...

Saat itu, ketika ia melihat Tsuyu dan Kamome berada begitu dekat...

Sebenarnya bagaimana perasaan mereka satu sama lain? 

Apa mereka benar-benar hanya teman masa kecil yang baru saja bertemu kembali setelah bertahun-tahun? 

Jika mereka menyimpan perasaan yang bukan sekadar itu...

“Aku nggak merasa... apa pun padanya.” 

Setelah hening sejenak, Tsuyu menjawab begitu. 

“Himawari... Jangan bilang kamu kira aku tertarik pada Kamome?” 

“T-Tentu saja, aku nggak ngira begitu.” 

“Nggak, nggak mungkin. Kemarin aku hanya iseng menggodanya karena bosan, setengahnya hanya bercanda. Aku nggak akan melakukannya lagi, jadi jangan khawatir.” 

Setelah berkata dengan datar, Tsuyu menutup pintu dan kembali ke kamarnya di sebelah. 

“Ah...” 

Tsuyu pergi sebelum Himawari sempat menahannya. 

Nada bicaranya tidak berubah dari biasanya. 

Kalau begitu, apa itu benar...? Apa Himawari harus mempercayainya? 

“......”

Rasa penasaran Himawari tentang hubungan Kamome dan Tsuyu serta tentang kebenaran di baliknya tumbuh semakin besar. 

Bersamaan dengan perasaannya yang semakin kuat pada Kamome, sesuatu yang mengganjal mulai terbentuk di hati Himawari. 


“Ngomong-ngomong, Ooshima-kun, kenapa kamu berhenti dari klub atletik?” 

Suatu hari. 

Hari ini juga, Kamome bekerja keras di pekerjaan paruh waktunya di Kedogawa Sports. 

Saat ia sedang membawa stok sepatu olahraga dari gudang untuk disusun di area penjualan, Amane yang sedang membersihkan rak menanyakan sebuah pertanyaan. 

“Di SMA-mu sekarang, nggak ada klub atletik?” 

“Ada, kok.” 

Kamome dulunya ikut klub atletik sampai SMP, tapi kini ia sudah berhenti. 

“Dulu kamu cukup bagus, kan? Sayang sekali. Apa kamu bosan? Atau apa kamu ingin lebih banyak waktu dengan pacarmu?” 

“Bukan begitu...” 

Wajah Kamome sedikit berubah. 

“Sebenarnya, alasan awal aku ikut atletik adalah karena ada seseorang yang kukagumi yang juga mengikuti atletik.”

Kemudian, ia mulai bercerita tentang alasannya berhenti dari klub atletik. 

“Orang itu adalah atlet terkenal yang bahkan pernah dimuat di koran. Aku mulai masuk klub atletik karena diam-diam aku mengikuti dan ingin menjadi seperti orang itu. Tapi, di suatu titik, aku berhenti mendengar kabar tentangnya, gosip atau cerita apa pun...” 

Seiring waktu, Kamome menyadari bahwa semangat, atau lebih tepatnya perasaannya terhadap atletik, mulai mendingin. 

“Saat itulah aku menyadari, alasan aku begitu bersemangat dengan atletik adalah karena aku ingin bertemu dengan orang itu. Karena orang itu juga berada di atletik, aku pikir selama aku terus berjalan di jalur yang sama, kami akan bertemu suatu hari nanti. Aku berpikir, kalau kami bertemu di suatu kompetisi, aku bisa menunjukkan perkembangan diriku. Tapi aku sadar alasan itu terasa kurang murni, seolah aku tidak tulus dengan atletik. Jadi aku memutuskan untuk berhenti saat memasuki SMA.” 

“Huuh, aku nggak tahu apakah kamu ini tulus atau bodoh, ya.” 

Amane mendengarkan ceritanya dan memberikan komentar jujur tanpa basa-basi. 

“Kalau begitu, Katsumata-senpai, kenapa kamu berhenti dari klub atletik?” 

“Karena aku nggak populer. Latihannya setiap hari, aku selalu berkeringat, dan nggak ada waktu buat cari pacar.” 

“Kenapa nggak pacaran saja sama seseorang yang juga ada di atletik?” 

“Aku juga mikir gitu. Tapi hasilnya, setelah aku mengabdikan diri selama tiga tahun di SMP, aku nggak pacaran sama siapa-siapa, kan?” 

“Begitu, ya. Jangan khawatir.” 

“Jangan menghiburku dengan muka berseri-seri gitu, dong.” 

Kamome akhirnya menerima pukulan kecil di bagian rusuknya.


◇◆◇◆◇◆


─Malam hari. 

“Terima kasih atas kerja kerasnya!” 

Kamome baru saja menyelesaikan pekerjaan paruh waktunya hari itu dan saatnya untuk pulang. 

Ia bersiap untuk pergi dan keluar lewat pintu belakang. 

Lalu... 

“Hmm?” 

Ia melihat seseorang berdiri bersandar pada dinding gang di belakang toko. 

Seperti sedang menunggu seseorang. 

Saat ia mendekat, ia menyadari siapa orang itu. 

“...Tsuyu?” 

Tsuyu mengenakan hoodie hitam di atas tube top dan celana denim terang yang robek-robek. Ia memegang tas kecil di tangannya yang tampak berisi kotak kecil. 

Begitulah penampilan Tsuyu malam itu. 

Di sisi lain, Tsuyu juga menyadari bahwa Kamome telah keluar. 

“Kenapa kamu di sini, Tsuyu...”


 “Himawari bilang kalau kamu kerja di toko yang namanya Kedogawa Sports... Dan saat aku benar-benar datang ke sini, aku melihat kamu benar-benar bekerja di sini...” 

Ia bergumam ragu sambil menghindari tatapannya.

“Begitu, jadi kamu dengar dari Himawari...” Kamome hampir percaya, namun kemudian merasa curiga lagi. 

“Kamu tahu aku kerja di sini... Kenapa kamu menunggu aku keluar?” 

Hingga saat ini, Kamome sering berselisih dengan Tsuyu. 

Karena kecemasan dan perasaan yang terbelit, pikirannya mulai mengarah pada kemungkinan buruk. 

Tsuyu pasti juga menyimpan dendam terhadapnya...

“Jangan-jangan, kamu mau memancingku lagi untuk mengambil foto aneh dan mengadu ke toko atau semacamnya?” 

Dengan nada datar, dia mengucapkan kata-kata yang kasar itu. 

“Hah!? Apa-apaan!?” 

Mendengar ucapan Kamome, Tsuyu menjadi emosional. 

“Aku sama sekali nggak berniat seperti itu! Aku cuma...” 

Suaranya mulai mengecil. 

“Aku cuma ingin minta maaf.” 

Dengan suara yang semakin pelan, akhirnya ia mengucapkan itu. 

Namun, sekarang Kamome sulit mempercayai kata-katanya. 

“Benarkah? Kalau memang begitu, kenapa kamu nggak langsung masuk ke toko dan meminta maaf ketika melihatku?” 

“Itu...” 

“Sekarang, aku nggak bisa percaya sama Tsuyu.” 

Mendengar perasaannya yang diungkapkan dengan tegas, ekspresi Tsuyu berubah menjadi sedih, seolah terluka. 

Dan sesaat kemudian... 

“Aku muak!” 

Dengan amarah, ia melemparkan tas yang dibawanya ke arah Kamome. 

Kotak di dalam tas itu mengenai tubuh Kamome. 

“Tsuyu!” 

Kamome memanggilnya, namun Tsuyu sudah tidak ada di depannya lagi. 

“Apa-apaan ini?” 

Dia memungut tas yang jatuh di kakinya. 

Lalu bertanya-tanya, apa sebenarnya ini. 

Tiba-tiba, aroma manis tercium. 

Saat dia mengambil kotak di dalam tas itu, seolah tak percaya, ia menemukan kue yang sudah hancur di dalamnya. 

“...Tsuyu.” 

Melihat ini, Kamome terguncang. 

Apakah dia benar-benar datang untuk meminta maaf? 

“...Nggak mungkin.” 

Jika itu benar, berarti dia telah melakukan hal yang sangat buruk. 

Dia melukai perasaannya dengan prasangka-prasangkanya sendiri. 

Rasa bersalah yang mulai tumbuh menyebar cepat dalam hatinya. 

Malu dengan dirinya sendiri, Kamome bergegas meninggalkan tempat itu. 

Namun, ketika ia melihat-lihat di jalan utama, sosok Tsuyu sudah tidak terlihat lagi.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close