Penerjemah: Dhee
Proffreader: Dhee
Chapter 1 - Identitas
Sekitar sepuluh tahun yang lalu. Toui berusia enam tahun dan duduk di kelas satu sekolah dasar.
“Toui, kamu katanya tidak menyelesaikan ujian matematika kemarin, ya?”
“Ma, ma, maafkan aku...”
“Dasar anak ini...”
Pada saat hari libur, ayahnya, Isamu, yang bekerja di Tokyo, pulang ke rumah. Isamu menutupi bahu Toui dengan tangannya yang besar dan memarahinya sambil menatap matanya.
“Kamu ini, tidak boleh begitu. Pikirkan berapa banyak yang kami keluarkan untuk biaya les-lesmu. Kalau kamu tidak bisa mendapatkan nilai sempurna dalam tes semacam ini, bagaimana dengan masa depanmu? Kamu tidak akan bahagia.”
“Bahagia...?”
“Ya. Orang dewasa harus masuk ke SD, SMP, lalu SMA yang bagus, dan lulus dari universitas yang baik agar bisa masuk perusahaan yang bagus. Kalau tidak, mereka tidak akan punya uang dan akan kesulitan. Tidak akan bahagia.”
“Tapi kan...”
“Anak-anak di sekitarmu yang bermain sekarang suatu saat akan menyesal karena tidak berusaha saat mereka masih anak-anak. Tapi kamu berbeda. Ayah dan Ibu selalu ada untukmu. Kamu harus berusaha keras sekarang agar bisa bahagia di masa depan.”
“...”
Ketika Toui diam, Isamu sejenak mengerutkan kening. Tatapan itu membuat Toui takut dan jantung kecilnya berdegup kencang.
“Apakah kamu mengerti?”
“Ya...”
“Bagus, anak yang baik. Kamu harus... menjalani hidup dengan benar...”
Setelah dibebaskan oleh ayahnya, Toui menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaan rumah yang diberikan ayahnya pada pagi itu, lalu melarikan diri ke Maison untuk menemui seseorang.
Ketika pintu Maison terbuka, sebuah bel yang lembut berbunyi, dan bersamaan dengan aroma yang sedang disiapkan, wajah dari dapur muncul, itulah Camille, orang yang sangat disayangi oleh Toui.
“Ah? Toui-kun, selamat datang! Apa yang terjadi hari ini?”
“Ayahku memarahiku...”
Ketika Toui mengungkapkan alasan dia terlihat murung, Camille tersenyum lembut padanya dan mengulurkan tangan.
“Ayo, bibi akan menghiburmu.”
Atas ajakan itu, Toui berlari ke dalam toko dan melompat ke dalam pelukan Camille. Begitu Toui berada di sana, sentuhan lembut dan hangat meliputi seluruh tubuhnya.
“Yosh yosh...”
“Camille-san hangat sekali. Seperti matahari.”
“Ah, kamu imut... Toui-kun juga seperti matahari bagiku! Karena dirimu, aku jadi merasa hidup itu menyenangkan. Aku sangat menyukaimu.”
“Aku juga sangat menyukai Camille-san...!”
“Toui-kun mirip denganku di masa lalu. Itu sebabnya aku ingin mendukungmu.”
Sambil mengatakan itu, Camille menggendong Toui dan membawanya duduk di kursi tinggi di balik meja counter. Setelah menggerai rambut panjang berwarna emas yang diikat dengan karet, Camille bertanya pada Toui melalui balik counter.
“Mau makan sesuatu yang manis?”
“Mau!”
“Baiklah, tunggu sebentar ya.”
Setelah menyeka pipi Toui dengan punggung tangannya, Camille pergi ke dapur. Dan ketika Toui menunggu dengan tenang di atas kursi, Camille mendatanginya dan menempatkan piring kue di depan Toui.
“Terima kasih sudah menunggu. Ini French Toast nya.”
“Kelihatannya enak!”
Dari dua potong roti Prancis yang renyah, tercium aroma manis madu, gula, mentega, dan krim segar. Aroma segar mint yang disertakan menyatukan aroma manis tersebut. French Toast adalah hidangan ringan yang populer di Prancis.
“Selamat makan!”
Toui dengan sopan, tetapi agak kikuk, menggunakan pisau untuk memotong roti sesuai dengan ukuran mulutnya.
“Nwikmamt Swkeliw!”
Dengan permukaan yang renyah dan tekstur yang lembut di dalam, manisnya meresap ke mulut Toui dari potongan roti itu.
“Apakah cocok di lidahmu?”
“Iya! Enak sekali!”
“Bagus. Sebenarnya, roti ini seharusnya mau bibi buang.”
“Eh?”
“Yah, karena sudah tidak bisa dijual lagi di toko, jadi seharusnya dibuang. Toast artinya ‘hilang’ atau ‘rusak’ dalam bahasa Prancis. Tapi roti itu tidak berjamur atau membusuk. Hanya sedikit mengeras, masih bisa dimakan oleh manusia. French Toast adalah hidangan yang membuat roti yang hampir dibuang itu tetap lezat!”
“Wah... Rasanya enak sekali... Sayang banget kalau dibuang, ya?”
“Hehe, pasti roti ini juga merasa bahagia karena Toui-kun bilang enak.”
“...Bahagia?”
Toui mengerutkan kening mendengar jawaban itu. Mungkin karena merasa aneh ditanya seperti itu, Camille menjawab sambil mengangguk.
“Camille-san, ‘bahagia’ menurutmu itu apa?”
“Eh? Hmm... Pertanyaan yang sulit. Mungkin saat-saat kita merasa senang atau bersenang-senang, atau saat kita merasa optimis?”
“Ayahku bilang, kalau tidak banyak belajar dan tidak masuk ke perusahaan bagus, maka tidak akan mendapatkan uang dan tidak bisa bahagia.”
“Itu salah, Toui-kun.”
“Eh?”
“Kebahagiaan itu berbeda-beda untuk setiap orang. Memang ada yang merasa bahagia karena menjadi kaya, atau bisa makan makanan enak. Tinggal di rumah besar, misalnya. Bagaimana dengan kebahagiaan Toui-kun?”
“Untukku, kebahagiaan itu...”
“Ya.”
Toui tersenyum sambil menatap Pain Perdu yang dibuat Camille.
“Waktu yang aku habiskan bersama Camille-san.”
“Kamu benar-benar lucu... Bibi sangat menyayangimu...”
“Hehe...”
Camille mengelus kepala Toui dengan lembut.
“Kebahagiaanku juga begitu. Saat kau makan makanan yang bibi buat dan bilang enak, saat kau bilang kamu menyayangi bibi, saat bi bekerja di Maison, kebahagiaan ada di sana.”
“...”
“Aku, Camille-san. Saat ini, aku merasa sangat bahagia.”
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Angin yang berhembus di atap terasa hangat, dan sinar matahari menyengat kulit dengan kuat. Musim telah sepenuhnya berganti menjadi musim panas.
Aku menggantungkan tangan pada pagar kawat tinggi yang mengelilingi area tersebut, sambil menggigit sedotan bekas minuman stroberi yang sudah kuhabiskan karena dia terlambat datang, dan aku menghitung kepala para siswa yang pulang dari atas sini.
Saat sedang melamun, aku tiba-tiba teringat dengan masalah yang menggangguku. Aku mengeluarkan foto dari saku celana panjangku.
Foto itu memperlihatkan dua orang yang tersenyum dan berpelukan di depan Maison. Salah satunya adalah orang yang kutunggu, mantan koki di Maison, Camille-san. Dan satu lagi adalah seorang gadis kecil berambut pendek pirang, yang mirip dengan Camille-san, dan juga mengingatkanku pada seseorang yang menggangguku.
Sejak saat itu, aku selalu menyimpan foto ini di sakuku, namun aku belum bisa mendapatkan kebenaran dari orang-orang yang terkait dengan Maison. Aku tidak tahu mengapa aku tidak bisa bertekad untuk menyelidiki lebih jauh, tetapi aku benar-benar tidak merasa bersemangat untuk melakukannya.
Lalu, mengenai siapa gadis kecil ini, jawabannya tidak terlalu sulit.
──Tidak salah lagi, gadis ini...
Saat aku sedang berpikir sendiri, pintu atap terbuka. Majikanku yang kutunggu, Putri S, yaitu Shirahime Lira, muncul di atap. Aku dengan cepat memasukan foto itu ke dalam saku. Shirahime melambaikan tangan dan menyapaku.
“Yo~♡”
“...Ou”
“Ada apa? Kenapa mukamu terlihat seram?”
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
“Begitu? Kalau begitu tidak apa-apa. Panas sekali ya~”
“Ya, mulai besok kan sudah liburan musim panas.”
Shirahime menyipitkan matanya terkena sinar matahari yang menyilaukan. Sambil meneduhkan matanya dengan tangan, dia berdiri di sampingku, merapat pada pagar dan melihat para siswa-siswi yang pulang sekolah di bawah.
Seragam Shirahime adalah seragam musim panas. Dari blus berlengan pendeknya, terlihat lengan Shirahime yang halus dan anggun.
Aku juga mengenakan pakaian yang sama. Dengan cuaca yang panas seperti ini, tidak mungkin memakai hoodie seperti biasanya, jadi aku mengenakan kemeja lengan pendek dengan kaus dalam merah di dibaliknya, dan menggulung celana panjangku sampai setinggi betis, sekitar tujuh per delapan panjangnya.
Aku mulai berbicara dengan Shirahime, berusaha untuk melupakan soal foto itu.
“Bagaimana kalau kita cari tempat lain selain di atap? Terlalu tergantung pada cuaca.”
“Tidak ada pilihan lain. Bangunan lama kan sudah dilarang dimasuki.”
Setelah insiden itu, bangunan lama dilarang dimasuki oleh siswa. Untuk sementara waktu, kami bertemu di atap sebagai tempat darurat. Meskipun begitu,
“Atap juga sebenarnya dilarang untuk dimasuki.”
“Ya, kita harus mencari tempat yang sepi dan aman.”
Tempat sepi di sekolah. Alasan kami memerlukan tempat seperti itu hanya satu.
Setelah percakapan selesai dan jeda singkat, Shirahime menggenggam sikuku.
Melihat ke arah Shirahime, dia menatapku dan tersenyum lembut.
──Sial, aku mengerti kok...
Shirahime mengarahkan tubuhnya ke arahku, matanya yang indah bergetar. Karena aku tidak bisa melawannya, jadi aku pun berbalik menghadap Shirahime, sehingga kami saling berhadapan.
Seperti boneka bisque yang dibuat dengan sangat teliti, wajah Shirahime begitu sempurna. Bahkan setelah sekian lama tidak bertemu, aku masih merasa terintimidasi hanya dengan mendekatinya.
Shirahime mendekatkan wajahnya dan sedikit memiringkan kepala, kemudian perlahan-lahan semakin dekat. Akhirnya, dia hanya beberapa sentimeter dari wajahku. Shirahime mengisi jarak yang tersisa dengan berjinjit.
──Chuu.
Akupun juga menutup mata. Berusaha menahan detak jantung yang tak berhenti, tubuhku secara alami menegang.
Aroma vanilla yang harum, bibirnya yang panas dan lembap, serta sentuhan lembut yang menekan. Meskipun aku tahu tak ada perasaan di baliknya, kenikmatan itu tetap membuatku ketagihan.
Saat bibir kami berpisah, aku hanya bisa menghela nafas sedih. Saat aku perlahan membuka mataku, wajah Shirahime kembali terlihat di depan mataku.
Shirahime tersenyum melihat wajahku, lalu mengalihkan pandangannya ke pemandangan dari atap.
Aku mengerutkan mata. Meski ada pemikiran dengan foto itu, bagaimanapun juga, aku tidak bisa menjadi koki kecuali aku menyelesaikan masalah ciuman ini dengannya.
“Ngomong-ngomong.”
“Ah... ya.”
Shirahime mengubah topik, dan aku menggelengkan kepala untuk mengikuti pembicaraan. Kami melakukannya setiap hari. Sudah tidak ada lagi yang perlu dikatakan setiap kali kami berciuman.
“Minggu ini, apakah kamu punya waktu luang?”
“Uh, sampai jam buka toko...”
“Ah, aku meminta Mabuchi-san untuk mengambil cuti dari Maison.”
... benar-benar persiapan yang matang.
“...Ada apa? Apa yang sedang kau rencanakan?”
“Papa mengatakan Toui-kun harus datang ke Tokyo bersamaku. Kau tahu kan, kita sudah bertunangan, tapi Toui-kun belum bertemu Papa sejak itu, kan? Papa ingin berbicara dengan Toui-kun.”
“Jangan membuat keputusan sendiri tentang pertunangan itu... Sudah kukatakan berkali-kali, aku tid
ak akan mengikuti semua keinginanmu. Aku tidak akan dengan mudah menyerahkan Maison begitu saja.”
“Tapi, hari ini juga kau menciumku, kan?”
“...Eh?”
“Selama ada ciuman ini, semua yang kukatakan adalah?”
“Mutlak...?”
“Bagus, kamu mengingatnya!”
“Hanya untuk sementara! Hanya untuk sementara saja, ingat itu!”
Setelah berhasil membujukku, Shirahime mulai menjelaskan rincian perjalanannya ke Tokyo dengan penuh kepuasan.
“Aku akan berada di Tokyo untuk beberapa waktu mulai besok karena pekerjaan modelku, jadi kita akan bertemu langsung di sana pada hari itu. Toui-kun, bisa datang ke Tokyo sendirian?”
“Jangan menghinaku. Aku bukan anak kecil.”
“Baiklah kalau begitu. Meskipun akan ada banyak hal yang harus dibicarakan pada hari itu, ada satu hal yang perlu kau lakukan. Papa berpikir bahwa hubungan kita berjalan dengan baik, dan tentu saja, dia percaya bahwa Toui-kun juga memiliki pandangan positif tentang pernikahan kita. Jadi, Toui-kun harus sepenuhnya mengikuti arah pembicaraan tersebut. Ini tiket untuk kereta Shinkansen. Jika tidak tahu, tanyakan saja pada petugas stasiun. Oh, pakai seragam ya. Seragam musim panas juga tidak apa-apa. Dan untuk oleh-oleh, aku yang akan menyiapkannya, kau tinggal memberikannya. Dan juga—“
“Haa...”
Aku merasa lelah pada sifat Shirahime yang seperti ibu penuh perhatian, jadi aku hanya perlu mengangguk tanpa mengatakan apa-apa lagi, menyadari bahwa mengutarakan keluhanku hanya akan menghabiskan energi yang sia-sia.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Beberapa hari kemudian, tiba saatnya untuk pergi ke Tokyo. Setelah menaiki Shinkansen dan berbagai kereta lainnya, akhirnya aku tiba di stasiun tujuan. Dengan bantuan aplikasi peta di ponsel, aku berhasil keluar dari stasiun besar yang mirip labirin itu, dan menunggu mobil yang akan menjemputku di tempat yang sudah diberitahu oleh Shirahime.
Tak lama kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di dekatku. Pintu belakang mobil terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan Shirahime yang mengenakan seragam.
“Maaf menunggu, Toui-kun. Ayo masuk!”
“...Ah, i-iya.”
Seperti yang diminta, aku duduk di kursi belakang di samping Shirahime.
“Kouno-san, ayo berangkat.”
“Baik, mengerti!”
“Terima kasih...”
Sungguh, benar-benar seperti seorang putri.
Entah kenapa, seorang pria berjas mendengarkan Shirahime dan menyalakan mobil. Aku tidak begitu tahu, tapi sepertinya dia adalah sopir pribadi. Ayahku juga punya orang seperti itu.
Sambil mengenakan sabuk pengaman, aku memberi salam dan melihat gedung-gedung yang tidak biasa dari jendela mobil. Meskipun merasa sedikit tidak nyaman dengan pemandangan kota, kehadiran Shirahime di sampingku membuatku merasa lebih tenang.
“Tadi tidak tersesat di stasiun?”
Ketika Shirahime menanyakan hal itu padaku, aku mengalihkan pandanganku dari jendela, duduk kembali di kursi.
“Dengan melihat aplikasi, aku bisa mengatasinya.”
“Syukurlah.”
“Aku datang dengan tangan kosong, tapi tidak apa-apa kan? Kau bilang untuk membawa oleh-oleh, kan?”
“Iya! Oh, ini oleh-olehnya! Mau aku serahkan dulu?”
“Baiklah.”
Tanpa perubahan berarti di pemandangan sekitar kantor, mobil berhenti di depan sebuah gedung besar yang termasuk kategori terbesar di antara gedung-gedung lainnya. Dalam waktu singkat, kami tiba di tujuan.
“Terima kasih, Kouno-san.”
“Sama-sama, saya akan menjemput kembali jika sudah ada pemberitahuan.”
“Terima kasih...”
Mendengar terima kasih dariku yang mengikuti ucapan Shirahime, sopir itu pun pergi. Ternyata mobil tidak bisa berhenti lama.
“Ayo, kita masuk.”
“O... oke...”
Sementara aku terpesona oleh gedung yang menjulang tinggi, Shirahime dengan tenang masuk ke dalam gedung tanpa ragu sedikit pun. Aku mengikuti Shirahime dengan canggung. Jarak lebih dari 30 centimeter dari Shirahime membuatku merasa tidak nyaman.
Dengan menggunakan face lock, Shirahime melewati beberapa lapisan keamanan. Kami juga mendapatkan seorang pemandu dalam perjalanan, dan akhirnya tiba di sebuah tempat setelah naik beberapa lift. Aku kehilangan orientasi karena berputar-putar terlalu banyak. Kenapa perlu ada dua atau tiga lift? Kenapa ada lantai yang tidak berhenti? Bawa saja langsung ke atas.
Sambil memikirkan hal-hal tersebut, kami akhirnya tiba di tujuan.
Pemandu mengetuk sebuah pintu di ujung lantai, bertuliskan “Ruang Direktur”. Suara lembut terdengar dari balik pintu, “Masuklah!”
Mendengar itu, pemandu membuka pintu.
“Saya membawa Lira-sama dan Kiminami Toui-sama.”
“Terima kasih!”
“Permisi.”
Pemandu membawa kami dengan aman ke ruang direktur, memberi hormat, dan kemudian meninggalkan ruangan.
“Nah, kalian berdua sudah datang, ya. Terima kasih banyak sudah datang jauh-jauh, Toui-kun.”
“U-uh, ya... Ini saya membawa oleh-oleh...”
“Oh, terima kasih banyak.”
Ayah Shirahime, Masato-san, menyapa dengan ramah. Aku menyerahkan oleh-oleh itu dengan canggung. Isi barangnya sepertinya puding.
Namun, ada sesuatu yang lebih menggangguku.
Di dalam ruang direktur yang memanjang, ada meja direktur di ujung ruangan, dan di ruang tamu depan meja tersebut terdapat empat kursi sofa yang diatur berhadap-hadapan dengan meja di tengahnya.
Di salah satu sudut sofa, duduk seorang pria tua yang mengenakan kimono, dengan wajah serius yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Siapa dia sebenarnya?
“...Kamu Kiminami Toui?”
“...Hah? Oh, ya.”
“Hah... Balasan yang buruk sekali, anak muda zaman sekarang.”
“...Apa?”
“Tunggu, Ayah!”
Ayah Shirahime menenangkan pria tua yang berdiri. Sepertinya dia adalah kakek Shirahime.
“Mereka bilang mereka punya pewaris, tapi ternyata hanya anak kecil yang tak berpotensi seperti ini.”
“Apa...?”
Pria tua itu berdehem dua kali, memutar lehernya, dan menatapku lagi. Jelas dia tidak menyambut kedatanganku. Aku memasang sikap waspada dan menatapnya tajam, tetapi pria tua itu tidak gentar. Dia berjalan mendekat dengan menggunakan tongkat, dan ketika sampai di depanku, dia menarik ujung rambutku.
“Rambut aneh macam ini. Aku tidak tahu apa yang membuatmu berpikir gaya rambut seperti ini bisa diterima di masyarakat.”
“Tua bangka ini──Adududuh…”
Saat aku kehilangan kesabaran dan mencoba membalas, Shirahime mencubit kuat punggung tanganku. Kuku kukumu menusuk kulitku...
Kurasa dia mungkin menyuruhku untuk tidak mengatakan apa pun, jadi aku menekan perasaanku dan tetap diam.
“Masato, jika kau yang mengusulkan, kau yang harus mendidiknya. Jadikan dia pria yang sempurna untuk memimpin perusahaan ini.”
“…Aku selalu bilang, Toui-kun anak baik.”
“Hmph. Aku tidak akan pernah mengakui bocah seperti ini.”
Pria tua itu berkata demikian dan meninggalkan ruangan. Ayah Shirahime menghela napas panjang di tengah ruangan yang kembali tenang. Suasana tegang langsung mereda.
“Maaf ya, Toui-kun…”
“…Siapa sih pria tua itu?”
Serius, siapa pria tua menjengkelkan itu? Dia meremehkan ujung rambutku? Gaya rambut serigala ini sedang tren, tahu? Pakaian tradisionalnya lebih aneh di jalanan.
“Dia ayahku dan ketua perusahaan ini. Dia sedang tegang soal penerus perusahaan... seperti yang kamu lihat, kami tidak akur. Dia keras kepala. Jadi, sejujurnya, aku mengerti perasaanmu yang terganggu oleh ayahmu. ──Meski aku yang memaksamu bertunangan, jadi mungkin itu terdengar aneh.”
“Begitu ya?”
Ayah Shirahime tersenyum kering. Aku tidak terlalu mengerti, tapi sepertinya keluarga Shirahime tidak begitu akur. Ya, aku juga tidak dalam posisi untuk bicara...
──Ngomong-ngomong, pria tua tadi bahkan tidak berbicara dengan Shirahime.
Masato-san berdiri di depan salah satu sofa dan menunjuk ke dua sofa di depannya, “Silakan duduk.”
“Toui-kun, duduk di dalam,” kata Shirahime, memintaku untuk duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan Masato-san.
“Ya...”
Shirahime mengarahkanku ke sofa yang berhadapan langsung dengan Masato-san.
“Sudah cukup lama sejak hari kita membicarakan kesepakatan itu. Maaf baru bertemu sekarang, Toui-kun,” katanya.
“Ah, tidak masalah...”
Tidak seperti aku benar-benar ingin bertemu juga...
“Saat aku tahu bahwa kamu belum mendengar tentang kesepakatan itu, aku cukup panik. Aku tahu betapa besar artimu pada Maison, jadi aku tahu sekali negosiasi saja tidak akan cukup. Jadi, terima kasih banyak untuk kali ini.”
“Ah...”
Masato-san memasukkan kantong teh hijau ke dalam tiga cangkir di meja dan menuangkan air panas dari teko sambil bertanya padaku.
“Bagaimana hubunganmu dengan Rira?”
“Baik, cukup baik...”
“Kita akur! Benar, Toui-kun?”
“............Iya☆”
Aku tidak mau dicubit lagi.
Shirahime ikut campur dalam pembicaraan untuk membantu aku yang terlihat canggung. Ketika aku menjawab dengan asal, Masato-san mengangguk dengan senang, “Ya, ya, itu bagus.”
Masato-san meletakkan teh yang telah disiapkan di depanku dan Shirahime, lalu melanjutkan.
“Rira adalah anak yang peduli pada orang lain, jadi mungkin kadang-kadang sulit untuk membaca emosinya, bukan?”
“Eh? Ah...”
“Sudahlah, Papa... Tidak seperti itu, kan, Toui-kun?”
“Ya☆”
Shirahime tersenyum kecut sambil menutupi pernyataan ayahnya. Memang tidak begitu, dia benar-benar sering menyuruhku melakukan banyak hal.
“Kalian akan menjadi keluarga. Jika ada masalah, aku selalu siap membantu.”
“Belum terlalu cepat untuk itu...”
“Kita baik-baik saja, kan?”
“Ah, ya☆”
Meski terbawa arus oleh keluarga mereka, aku tetap berusaha mengikuti pembicaraan dengan berpura-pura bersiap untuk menikah. Sebenarnya aku tidak suka, tapi aku benar-benar berusaha keras. Rasanya ingin membagi diriku dan memberikan pelukan sebagai penghargaan.
Namun, pertanyaan Masato-san berikutnya membuat suasana di antara aku dan Shirahime tiba-tiba menegang.
“Ngomong-ngomong, kenapa Toui-kun, memutuskan untuk meninggalkan Maison yang sangat kamu sayangi dan memutuskan untuk menikahi Rira serta meneruskan perusahaanku?”
“Ya☆ ... ... ... Eh!?”
Aku terdiam, tak bisa berkata-kata.
Karena, sebenarnya...
Ada ciuman─. Tidak mungkin aku bisa mengatakan itu.
Aku hanya mengikuti Shirahime. Tidak ada sedikit pun elemen positif dalam perasaanku terhadap kesepakatan ini.
Pada hari makan malam yang bermasalah itu, setelah kembali ke Maison dari bukit tinggi, aku terus-menerus dikerumuni oleh pertanyaan dari para pihak terkait. Yang perlu kulakukan hanyalah mengatakan, “Aku memutuskan untuk menikah,” dan Shirahime akan menutupi semuanya dengan kata-kata yang terdengar masuk akal. Tapi, jika aku ditanya seperti ini... jika Shirahime harus menutupi semuanya saat aku tidak ada, itu mungkin akan menjadi tidak konsisten...
“Tapi, aku sudah bilang sebelumnya, kan! Aku yang terus-menerus membujuknya... dan Toui-kun yang baik hati akhirnya setuju... jadi...”
“Rira, sekarang aku sedang bertanya kepada Toui-kun.”
Upaya Shirahime untuk membantu tidak diterima. Pembicaraan ini tidak akan selesai sampai aku mengatakan sesuatu.
Aku harus mengatakan sesuatu...
Kenapa aku memilih untuk bersama Shirahime──.
“…Karena aku…”
Aku membuka mulut dengan ragu-ragu. Masato-san menunggu jawabanku dengan senyuman hangat.
“Karena aku ingin mewarisi Maison, dan jika Shirahime memiliki perasaan yang tulus tentang Maison atau tentang Masato-san, aku pikir aku harus mendengarkan ceritanya juga…”
“──Begitu ya.”
“Toui-kun…!”
Masato-san memandangku dengan tatapan terkejut, sementara Shirahime di sebelahnya melihatku dengan ekspresi kagum. Pandangan mereka begitu intens hingga aku memalingkan wajah ke samping meja.
Aku memang masih ingin mewarisi Maison. Tapi yang kukatakan tadi juga berasal dari perasaanku yang sebenarnya.
“Senang mendengar itu. Benar, Rira?”
Masato-san tersenyum lembut kepada Shirahime, seolah berbicara kepada anak kecil.
“Rira, bisakah kamu memanggil Yasumi-kun?”
“Iya, baiklah!”
Shirahime yang merasa lega, keluar dari ruangan setelah ayahnya memintanya.
“Siapa itu?”
“Oh, dia hanya bawahanku. Tidak ada hubungannya dengan pembicaraan ini. Maafkan aku, waktu kita terbatas... tapi aku ingin bicara denganmu.”
“Tidak masalah...”
Aku merasa tidak nyaman dan menggeliat di sofa. Masato-san masih berbicara dengan lembut.
“Jadi, apa yang dikatakan Rira padamu...?”
“Eh...”
Masato-san tertawa kecil melihat reaksiku.
“Aku bisa melihatnya. Kamu berusaha keras, bukan?”
Dia mengangguk seolah bersimpati. Sangat baik hati.
“Tapi, kamu tahu, itu bukan masalahku saja... aku tidak bisa berkata apa-apa...”
“Oh, begitu? Kalau begitu, kalau kamu merasa terlalu dipaksa, beritahu aku, ya?”
“Ya, baiklah.”
Sebenarnya tidak baik... tapi aku tidak punya pilihan lain karena ciuman itu.
'Berciuman, dong'
Jika itu terbongkar, aku bisa kehilangan kepercayaan dari orang ini dan mungkin juga kehilangan segalanya...
Ini kesempatan untuk bertanya banyak hal. Orang ini sangat baik, mungkin dia bisa menjadi sekutuku.
Pertama-tama, aku ingin bertanya sesuatu yang sudah lama menggangguku.
“Masato-san, apakah kamu benar-benar serius tentang meninggalkan posisi direktur untuk menjalankan kafe di Maison? Atau ada alasan lain?”
Masato-san tersenyum canggung dan menjawab.
“Begini, tujuan pernikahan sebagai keluarga Shira adalah 'untuk mengamankan penerus perusahaan ini dalam manajemen keluarga'. Meskipun sudah tidak lazim, itu adalah kebijakan perusahaan. Karena aku tidak punya anak laki-laki, ada dua pilihan, membuat keluarga baru atau mengadopsi suami untuk Rira.”
“Jadi, intinya adalah memiliki seorang anak laki-laki, entah bagaimana caranya.”
“Benar. Tapi aku tidak berniat menikah lagi.”
“Jadi kamu bercerai── Maaf...”
Masato-san tidak tersinggung dan melanjutkan dengan senyum ramah.
“Jadi, Rira yang mengambil tanggung jawab untuk menikah. Itu bukan karena dia ingin, tapi karena aku memintanya. Yang kamu katakan di Maison benar.”
'Semua ini hanya untuk kepentingan kalian!'
Aku teringat perkataanku. Meskipun mungkin benar, aku merasa empati terhadap keluarga Shira.
Sama seperti aku ingin menjaga Maison, Masato-san punya keinginan yang sama tentang perusahaan dan tidak ingin menikah lagi. Mungkin semua ini karena kakek yang keras kepala.
“Tapi itu hanya tujuanku pribadi. Ada alasan lain mengapa aku tertarik pada Maison. Omong-omong, aku tidak serius tentang menjalankan kafe.”
“Jadi alasan lain itu bukan hanya masalah pribadi?”
Benar, dari apa yang dikatakannya, masih belum jelas kenapa dia sangat menginginkan Maison.
...Tunggu, jika alasan lainnya adalah...
Aku meraba-raba di saku, memegang foto yang selalu kubawa.
“Benar, tapi itu──”
Ketukan pintu mengganggu pembicaraan.
“Oh, iya! Masuk!”
“Permisi. Rira-sama memanggilku... Apakah Anda memerlukan sesuatu?”
“Oh, iya... Kurasa sudah waktunya untuk pertemuan selanjutnya, ya?”
“Iya, sudah hampir tiba.”
“Baiklah, mari bersiap-siap.”
Shirahime melirikku dari belakang sekretaris, seolah bertanya.
“Maaf, Rira, Toui-kun. Kami harus mengadakan rapat sekarang... maaf, kita bicara lagi lain kali.”
Shirahime mendukung ayahnya dengan penuh semangat.
“Yuk pulang, Toui-kun.”
“Eh, iya...”
Saat kami hendak meninggalkan ruangan, Masato-san memanggilku.
“Toui-kun, soal pembicaraan tadi...”
Masato-san tersenyum penuh keyakinan.
“Aku ingin kamu mencari tahu sendiri alasan lainnya. Aku ingin mendengar pendapatmu yang jujur.”
Aku mengangguk. Masato-san menambahkan satu kata lagi, "Jaga Rira baik-baik."
Kemudian, aku dan Shirahime meninggalkan kantor.
◇
Di stasiun Tokyo, Shirahime mengantarku ke gerbang tiket untuk kembali ke kampung halaman lebih awal.
Kami berjalan menuju gerbang tiket Shinkansen di tengah kerumunan orang yang bergerak ke berbagai arah.
Shirahime mendahuluiku dalam berbicara.
“Apa yang kamu bicarakan dengan ayah saat aku pergi memanggil Yasumi-san?”
“Ah...”
'Cari tahu sendiri alasan lainnya.'
Setelah kata-kata itu, Masato-san memintaku menjaga Shirahime. Itu berarti alasan lainnya ada dalam jangkauanku, dan mungkin terkait dengan Shirahime yang selalu ada di dekatku.
Shirahime sangat gigih tentang pernikahan ini. Jika hanya untuk penerus, bisa saja mencari orang lain.
Kata-kata Shirahime saat memasak bersama:
'Aku ingin mewujudkan impianku...!'
Itu bukan hanya omong kosong. Shirahime menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar aku dan Maison.
──Mungkin ayahnya dan Masato-san tidak tahu, tapi Shirahime punya tujuan sendiri dalam pernikahan ini.
Jadi apa itu...
Aku meraba-raba di saku, memegang foto.
Dan 'cari tahu sendiri' berarti aku harus menanyakan langsung pada Shirahime.
Aku berhenti berjalan, dan Shirahime juga berhenti beberapa langkah di depanku. Kami berdiri di tengah kerumunan yang berlalu-lalang.
“Toui-kun?”
“Aku mencoba mencari tahu tujuan sebenarnya dari transaksi ini dari Masato-san.”
“Eh?”
Ekspresi Shirahime berubah suram.
“Tujuan sebenarnya... Bukankah sudah kukatakan? Penerus perusahaan, Maison yang kesulitan keuangan, dan solusi yang menguntungkan keduanya...”
“Alasan di balik pertemuan itu tidak cukup untuk menjelaskan kenapa kalian begitu berkeras menginginkan Maison. Kalau hanya untuk penerus, kalian bisa mencari orang lain saat aku menolak. Kalau hanya ingin kafe, kalian bisa menyerah saat aku menolak. Tapi keluarga Shira tetap menginginkan Maison. Itu selalu aneh.”
“......”
“Tapi aku tidak berhasil mendapatkan jawaban. Penerus memang penting, tapi alasan menginginkan Maison berbeda. Itu yang aku tahu dari Masato-san. Dia bilang aku harus mencari tahu sendiri.”
Aku mengeluarkan foto dari saku, memegang foto Camille dan seorang gadis kecil.
Aku tidak ingin tahu dan menerima kebenaran yang sudah jelas ini. Aku menganggap Shirahime sebagai tempat pelarian yang berbagi masalah denganku, tapi kata-kata Masato-san membuatku menyadari sesuatu.
Aku harus tahu dan menerima kenyataan ini.
Jika tidak penting, Masato-san pasti akan terus menyembunyikannya. Tapi dia mendorongku untuk mencari tahu, itu berarti ini adalah sesuatu yang penting.
Aku menunjukkan foto itu pada Shirahime.
“Toui-kun... Kenapa kamu punya foto itu...?”
“Gadis kecil yang bersama Camille-san dalam foto ini, apakah itu kamu?”
Shirahime melihat foto itu dan matanya melebar, wajahnya pucat.
“Kenapa... Kenapa kamu punya foto itu...?”
“Foto ini ditemukan di gudang Maison. Tidak tahu kenapa ada di sana.”
Aku mendesaknya untuk menjawab.
“Shirahime, apakah kamu anak dari Camille-san?”
Shirahime terdiam.
Itu sudah cukup sebagai jawaban.
“Jadi benar.”
Aku menyerahkan foto itu padanya.
“Kembalikan. Aku selalu berpikir kamu hanya ingin menikah karena perintah orang tua. Tapi sebenarnya kamu punya perasaan yang jauh lebih penting.”
“......”
“Apa yang ingin kamu lakukan dengan Maiso
n?”
“Toui-kun, tidak... aku...”
“Tidak? Apa maksudmu? Jika ada sesuatu, katakan yang sebenarnya...”
“Aku tidak bisa... mengatakan...”
...Jadi memang begitu.
“Apa tujuan kalian sebenarnya?”
Shirahime terdiam, bingung. Dia terlihat sangat terkejut dan tidak tahu harus berkata apa.
“Aku pulang.”
Aku memutuskan untuk pergi, melewati Shirahime dan menuju gerbang tiket Shinkansen.
Pada hari itu, aku dan Shirahime tidak berciuman.
Post a Comment