NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kono Koi, O Kuchi Ni Aimasu Ka? Volume 2 Chapter 9

Penerjemah: Dhee

Proffreader: Dhee


Chapter 9 - Lilac


Ichigo adalah teman masa kecil dari teman SMP-ku yang akrab denganku saat itu.


Karena pengaruh teman dari SMP tersebut, aku menjadi anak nakal.


Teman itu, yang selalu melakukan apa yang dia mau, pernah berkata kepadaku, “Jika ada sesuatu yang ingin kau lakukan, lakukanlah sampai selesai.” Karena itu, aku mulai melawan ayahku.


Dia adalah teman pertama dalam hidupku, dan aku sangat senang.


Namun, aku tidak bisa mengikuti kenakalannya. Tanpa sadar, kami berpisah jalan.


Saat aku merasa terpuruk dan berpikir aku tidak akan pernah bisa akrab dengan siapa pun lagi, orang terakhir yang tetap berada di sisiku adalah Ichigo.


Ketika keluargaku memutuskan untuk pindah ke Tokyo, Ichigo mengusulkan ide bahwa aku bisa tetap tinggal di sini jika aku kabur dari ujian masuk SMA di Tokyo dan masuk ke SMA di sini yang aku daftarkan.


Itulah sebabnya aku bisa tinggal di kota ini.


Di sekolah, aku sendirian, dan di Maison juga sendirian, Ichigo bergabung dengan Maison agar aku tidak merasa sendirian.


Kami selalu bersama. Saat sedih maupun senang, Ichigo selalu merasakan kesedihanku dan merayakan kebahagiaanku.


Aku ingin mendukung kebahagiaan Ichigo.


Namun.


Setiap kali aku memikirkan perasaanku sendiri, aku merasa sangat tidak pantas dan merasa muak dengan diriku sendiri.


Festival kembang api yang tidak bisa kami datangi akan segera dimulai.


Seperti biasanya, tokonya juga tutup pada hari libur.


Ketika aku merana sendirian di kamar sehari setelah berpisah dengan Ichigo, aku melihat surat yang Ichigo berikan kepadaku yang tergeletak di atas meja.


──Untuk Rira dan Toui-kun.


──Untuk Toui-kun.


Aku mulai dengan membaca surat yang ditujukan untuk Shirahime dan aku.


────


‘Untuk Rira


Maafkan aku karena harus pergi lebih dulu.


Saat masih kecil, kamu sering bersikap manja, namun sekarang kamu telah tumbuh menjadi seseorang yang sangat hebat, aku sangat bahagia. Mungkin ini berkat bertemu dengan Masato-san. Namun, aku merasa sedikit sedih karena tidak bisa membuatmu bahagia seorang diri.


Sebagai seorang ibu, aku ingin memberikan lebih banyak kebahagiaan untukmu. Aku ingin berbagi lebih banyak momen menyenangkan denganmu.


Namun, aku tidak bisa melakukannya.


Aku minta maaf karena menjadi ibu yang menyedihkan. Namun, aku sangat bangga telah melahirkanmu ke dunia ini.


Aku yakin Rira akan baik-baik saja meski tanpa ibu.


Semoga kamu selalu bahagia ke depannya. Temukan kebahagiaan yang kamu cari, hidupilah kebahagiaanmu sendiri, tanpa terikat oleh siapa pun.


Selamat tinggal, Rira.


Ibu akan selalu, selalu mencintaimu.


Dan, untuk Toui-kun


Maafkan aku karena tidak bisa menepati janji dan harus pergi lebih dulu.


Setelah terpisah dengan Toui-kun, setiap kali aku merasa sedih, senyummu selalu terbayang di benakku. “Aku bahagia bersama Camille-san,” “Makanan Camille-san enak,” “Aku sangat menyukai Camille-san,” kata-katamu itu selalu teringat di pikiranku sampai sekarang.


Jika memungkinkan, aku ingin sekali bertemu denganmu lagi. Aku ingin kembali ke Maison.



Namun, sepertinya itu tidak mungkin.


Sekarang, aku akan pergi ke surga. Meskipun aku telah melakukan banyak hal buruk, mungkin saja aku akan berakhir di neraka.


Tapi di mana pun aku berada, aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu, Toui-kun, lebih dari siapa pun.


Seperti bagaimana kamu memberikan kebahagiaan kepadaku dan semua orang dengan kebaikan hatimu, aku berharap suatu hari nanti seseorang yang bukan diriku akan membawakanmu kebahagiaan.


Selamat tinggal, Toui-kun.


Aku akan selalu, selalu menyayangimu.


Dan akhirnya, aku berharap kalian berdua bisa saling bertemu.


Dari Camille.


──


Aku menangis saat membaca surat itu. Dan aku menyadari dari siapa surat yang satunya.


────


‘Untuk Toui-kun


Sebelum pergi ke Tokyo, ada sesuatu yang belum sempat kusampaikan padamu.


Aku khawatir kalau kukatakan secara langsung, aku akan menangis dan malah menyusahkanmu yang selalu baik. Jadi, aku memutuskan untuk menulisnya dalam surat ini. Maaf.


Aku ingin mengatakan ini sejak lama, tapi aku tidak bisa karena khawatir perasaanku ini akan menjadi beban bagimu.


Sejak pertama kali kita bicara, saat kamu menerima rambutku dengan mata yang jernih, aku sudah mulai merasakan sesuatu.


Ketika kita bertengkar di bukit, aku sempat mengira itu hanya salah paham.


Tapi setelah berkali-kali berciuman, melihat sisi manismu yang malu-malu, saat kamu menyemangatiku ketika aku sedih, dan ketika kamu menyelamatkanku di saat genting, aku menyadari bahwa perasaanku tidak salah.


Aku merasa senang ketika kamu mengatakan aku bisa menjadi bahagia dan bebas.


Tapi, sebenarnya...


Saat kamu tersenyum di sampingku, aku ikut bahagia dan tersenyum.


Saat kamu memelukku, aku berharap waktu itu bisa berhenti selamanya.


Saat kamu menciumku, rasanya begitu manis, dan aku ingin merasakannya lebih banyak lagi, sampai tak cukup.


Apapun pilihan masa depan yang kuambil, selama aku berada di sampingmu, aku bisa bahagia.


Kebahagiaan terbesarku adalah berada di sampingmu, Toui-kun.


Aku menyukaimu, Toui-kun.


Maafkan aku karena menyampaikan ini dengan cara yang pengecut.


Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang kita ciptakan sendiri.


Dengan keyakinan itu, aku akan berangkat ke Tokyo pada tanggal 31 Agustus, karena dorongan yang kamu berikan.


Aku berharap kamu dapat mencapai impianmu menjadi seorang chef dan bahagia. Aku akan selalu mendukungmu dari kejauhan.


Aku tidak akan pernah melupakanmu seumur hidupku.


Aku sangat mencintaimu.


Rira.’


────


Itulah isi surat yang ditulis oleh Shirahime.


Saat aku selesai membaca surat itu, aku melihat bahwa air mata telah membuat beberapa bagian surat tersebut basah dan buram.


Aku segera mengambil ponselku.


Setelah berpisah dengan Shirahime, ada empat kata yang selalu ingin aku ucapkan, namun tidak pernah bisa. Aku mengirimnya dalam pesan.


── Ingin bertemu.


Pesan balasan dari Shirahime datang dengan cepat.


── Aku di tempat tinggi.


Sebelum menyadarinya, aku sudah berlari keluar dari maison.


Fragmen-fragmen kenangan bersama Shirahime melintas di pikiranku:


‘...Hehe, syukurlah. Aku masih sempat.’


‘Aku juga tidak ingin menikah!’


‘Apakah kamu bersumpah untuk mencintaiku di sini?’


‘Nee, Toui-kun! Aku punya sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu tentang tadi malam!’


‘Apa kamu ingin menurut atau ditangkap sebagai tersangka tindakan pencabulan? Pilih yang mana?’


‘...Mau minum? Karena sudah ditraktir, hanya satu tegukan, ya.’


‘Toui-kun tidak seburuk yang Kazama-kun pikirkan...’


‘Toui-kun, ini rahasia, ya. Seperti yang kamu tahu, aku ini gadis yang tidak baik!’


‘Aku akan menunggu sampai Toui-kun melakukannya, ya?’


Kenangan-kenangan tersebut menambah keinginanku untuk bertemu dengannya. Aku berlari dengan seluruh tenagaku menuju tempat di mana Shirahime menunggu.


‘Toui-kun tetap saja menuruti semua yang aku katakan meskipun mungkin tidak nyaman baginya.── Sebenarnya, itu membuatku merasa sedikit nyaman.’


‘Orang ini tidak bersalah!!’


‘Ini adalah hadiahnya. Terima kasih telah menolongku, Toui-kun. Aku sangat senang.’


‘Aku ada di pihakmu, Toui-kun──percaya padaku.’


‘Aku ingin bersama denganmu, Toui-kun!’


‘Apakah aku cocok denganmu, Toui-kun?’


Berbagai kenangan muncul dengan jelas dalam pikiranku. Bukan hanya kenangan saja. Kelembutan bibir saat berciuman, kehangatan pelukan, kegembiraan ketika bersamanya, keindahan senyumannya, kebahagiaan masa muda yang kita lalui bersama, semua itu tidak pudar dan tetap hidup dalam hatiku hingga sekarang.


Aku melewati gerbang kuil, mendaki bukit, melewati taman, dan mendaki bukit lagi. Aku berlari melintasi jembatan pejalan kaki yang tergantung di udara, dan akhirnya sampai di tempat di mana seorang gadis berambut pirang pendek berdiri.


“Shirahime!”


“Toui-kun...”


“Apa yang kamu lakukan di sini? Setelah mengenakan gaun, sekarang kamu mendaki gunung dengan yukata... oh, Tuhan...”


“Aku sebenarnya berencana pergi dengan teman-temanku... tapi aku tidak bisa melakukannya...”


Shirahime mengenakan yukata berwarna merah muda dengan pola bunga merah yang mekar di atasnya. Dia terlihat sangat cantik. Aku ingin segera memeluknya, tetapi sebelum itu, dia mulai berbicara. Sambil bertumpu pada lututku dan terengah-engah, aku mendengarkan.


“Ichigo-chan bertanya padaku tentang detail kencan yang kalian berdua lakukan. Jadi, aku menceritakan semuanya.”


“Aku melakukan kencan yang persis sama seperti waktu itu. Lalu Ichigo bertanya apakah lebih menyenangkan dibandingkan saat bersama Shirahime, dan aku tidak bisa menjawab.”


“...Kamu tidak seharusnya begitu. Seharusnya kamu mengatakan bahwa kamu bersenang-senang.”


Aku berdiri tegak dan mengatur napas.


“Aku sudah membaca suratnya. Keduanya.”


“Ichigo-chan memberikannya padamu ya. Rasanya memalukan.”


Shirahime tersenyum kecut dan meletakkan tangannya di pipinya. Setiap gerakan Shirahime membuatku semakin mencintainya, membuatku hampir gila, namun aku berusaha sekuat tenaga untuk mengungkapkan apa yang selama ini tak bisa kukatakan.


“Maafkan aku karena tidak menyadarinya, Shirahime.”


“Tidak apa-apa, kalau kamu menyadarinya, mungkin itu akan menjadi lebih rumit.”


“Aku juga minta maaf karena tidak pernah mengatakannya.”


“...Apa?”


“Aku juga tidak bisa mengatakannya karena alasan yang sama. Aku takut kalau aku mengatakannya, kamu akan semakin mencoba menyesuaikan dirimu denganku, dan aku takut setelah berpisah, itu akan mengganggu kebahagiaanmu di masa depan.”


“...Iya.”


Shirahime yang tadinya memandang ke arah pemandangan, kini berbalik menatapku.


Sekarang aku bisa mengatakannya.


Dengan dorongan dari Camille-san, ayahku, Masato-san, Mabuchi-san, dan terutama dari Ichigo.


Satu-satunya perasaan yang selalu ada di pusat hatiku, yang selama ini tidak pernah bisa kuungkapkan.


“Aku juga mencintaimu. Aku mencintaimu sampai mati.”


Mendengar itu, Shirahime meneteskan air mata. Aku segera mendekatinya, mengusap air matanya dengan ibu jariku, lalu memeluknya erat.


“Aku sangat mencintaimu. Aku sendiri bahkan tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku benar-benar mencintaimu. Aku mencoba melupakanmu, tapi memikirkanmu sudah menjadi kebiasaan yang tak bisa hilang dari kepalaku.”


“Aku juga... aku juga mencintaimu... Waktu kita berjauhan, rasanya hampir tidak tertahankan...”


*Shuu*


Suara seperti peluit terdengar, membuat kami berdua secara refleks menoleh ke arah pemandangan.


*Don, dodon, parapara*


Kembang api mulai di pelabuhan. Suara gemuruhnya menggema dan membuat jantungku berdetak lebih kencang. Bunga api yang panas menerangi kegelapan kota.


Lalu, aku kembali menatap matanya. Matanya yang basah bercahaya dengan warna yang sama lembutnya seperti kembang api.


“...Rira”


“Toui-kun...”


Dan kami pun berciuman.


◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆


“Berat?”


“Ringan.”


Kali ini, aku tidak akan salah. Aku menggendong Rira di punggungku sambil menuruni bukit yang kami daki.


“Kalau aku bilang berat, kamu bakal mencekikku, kan?”


“Mau coba?”


“…Ber... be... berat banget... maaf, maaf...”


Ketika aku mencoba mengatakan itu, sesuai dugaan, aku langsung mendapat kunci leher.


“Hahaha!”


“Serius... kamu ringan, ringan.”


Rira menggantungkan geta (sandal tradisional Jepang) di tangannya. Ternyata saat kami naik, dia sempat berjalan tanpa alas kaki.


“... Kakimu baik-baik saja?”


“Ya, hanya sedikit perih.”


“Pasti begitu... kamu nekat sekali.”


“Karena aku ingin pergi ke sana.”


“Kamu memang bebas.”


“Kamu nggak bisa ngomong gitu, Toui-kun.”


Rira memelukku erat-erat dari belakang.


“Aku senang kamu bilang ingin bertemu.”


“Aku juga senang bisa bertemu. Kupikir aku tidak akan bisa bertemu lagi.”


“Aku mencintaimu.”


“Ya, aku juga mencintaimu.”


Rira tidak lagi menyembunyikan perasaannya, dia mengungkapkan perasaannya dengan jujur.


“Aaah... andai aku tidak bilang ingin ke Tokyo...”


“Kamu sudah memutuskan untuk pergi, kan?”


“Iya, tapi itu karena aku pikir cinta bertepuk sebelah tangan... ah, tapi proses pendaftaran sekolah pindahan sudah selesai, dan persiapan pindah juga sudah berjalan... liburan musim panas tinggal seminggu lagi...”


Rira tampak lesu, dan dia bergumam, “Padahal kami baru saja menjadi pasangan... Toui-kun...”


“Rira.”


“…Ya?”


“...Aku akan menyelesaikan sekolah dalam satu setengah tahun, lalu pergi ke sekolah kuliner. Setelah lulus, aku akan magang dengan ayah, dan jika dia mengakuiku, aku akan membuka toko sendiri.”


“Ya?”


“…Sekolah kuliner itu, akan aku ambil di Tokyo.”


“Serius!?”


“Ya. Lagipula, kamu juga sering bolak-balik kerja kan? Jadi meskipun kamu ke Tokyo, aku akan selalu mencari waktu untuk bertemu denganmu.”


“Toui-kun…! Aku sangat mencintaimu!”


“Ugh, ini… sakit…”


Rira berkata demikian sambil memeluk leherku erat-erat. Aku hampir mati lemas...


Sambil bercanda, kami akhirnya sampai di Maison.


“Kamu tidak bisa pulang dengan kaki seperti itu.”


“Aku akan mengatur sesuatu.”


“Jangan bercanda. Setidaknya, bersihkan kaki di rumahku.”


“Itu juga benar...”


Aku meninggalkan kunci pintu rumah yang terbuka. Dengan Rira di punggungku, aku membuka pintu rumah dan menyalakan lampu. Aku membawanya ke kamar mandi dan duduk di tepi bak mandi.


“Aku akan mengangkat yukata.”


“Ya.”


Ketika aku mengangkat yukata dari bawah, kaki Rira yang putih dan cantik terlihat.


Aku menunggu hingga air hangat siap, meletakkan tumitnya di lututku, dan mulai membersihkan kaki Rira dengan tekanan air yang lembut.


“Perih… agak terasa.”


“Memang seperti luka goresan kecil. Sabar ya.”


“Toui-kun, celanamu basah...”


“Tak apa, ini tidak masalah. Nanti tinggal ganti baju.”


Kaki Rira sangat cantik, namun kulit di beberapa bagian telapak kakinya terkelupas dan terlihat sakit. Aku membersihkannya dengan lembut, dan Rira tertawa kecil sambil berkata, “Geli.”


Setelah selesai membersihkan kaki Rira, aku berpikir apakah dia akan pulang. Aku terus menyentuh kakinya dalam waktu yang lama.


“Sudah cukup, terima kasih.”


“…Ah, iya.”


Setelah Rira mengatakan demikian, aku mematikan air.


“Kamu bisa berjalan?”


“Ya, terima kasih.”


Aku membantu Rira berdiri di atas karpet mandi.


“…Aku akan ambilkan handuk.”


“Ya…”


Sambil mengeringkan kaki Rira dengan handuk, dia menyesuaikan posisinya dengan tinggi badanku dan berjongkok di depanku.


“…Ada apa?”


*Chuu*


Rira memberikan ciuman.


“Jangan bercanda.”


“Aku ingin melakukannya. Ketika disentuh oleh Toui-kun, rasanya dadaku berdebar.”


“Ha ha, apa itu…”


Namun, melihat Rira yang jujur, aku merasa bahwa aku juga bisa jujur. Aku secara alami mengucapkan kata-kata berikut.


“Aku tidak mau kamu pergi.”


Rira berlutut di tempat itu, membungkuk ke depan, dan memberi ciuman lagi kepadaku.


──chuu, chuu, hamu, chuppu.


Dia menciumku seolah-olah ingin mencubit bibirku dengan bibirnya. Aku membalasnya dengan meletakkan tanganku di belakang kepala Rira.


Lidah Rira menjilat bibirku, meminta lebih banyak. Aku menjilat lidahnya.


──chuu, chuppu, ruru.


Saat aku mencoba membalas, Rira mengubah posisinya menjadi duduk bersila, dan aku membungkuk ke arahnya. Aku terus menekan, dan Rira menghentikanku dengan mengatakan, “Tunggu…”


“Ah, maaf…”


“Bukan itu… tempatnya kurang tepat, ayo ke tempat tidur.”


“──Ya.”


Aku menarik tangan Rira dan membantunya duduk di tempat tidur.


“Matikan lampunya?”


“Ya.”


Aku mematikan lampu ruangan. Karena terlalu gelap, aku hanya menyalakan lampu kecil, dan Rira tidak mengatakan apa-apa.


Aku berjalan menuju Rira, berlutut di sampingnya, meletakkan tanganku di pipi Rira dan mengangkat wajahnya ke atas.


“Rira, yukata-mu sangat cantik.”


“Mm, senang…”


“Berbaring di situ.”


“Ya…”


Aku membaringkan Rira di tempat tidur, dan saat aku menindihnya, Rira tersenyum dan berkata.


“…Akhirnya kamu memanggil namaku.”


“Karena ada masalah dengan Camille-san, aku rasa lebih baik memanggilmu seperti itu daripada memanggilmu Shirahime.”


“Ya, panggil namaku seperti itu terus.”


“…Rira.”


“Ya…”


“Kemarin kita mau melakukannya, tapi tidak jadi.”


“Ya.”


“Itu karena aku menyukaimu, tapi aku merasa kasihan jika kamu tidak merasakannya seperti itu.”


“…Padahal aku sudah siap.”


“…Kita balas dendam?”


“──Boleh!”


Kemudian, aku kembali menikmati bibir Rira.


“Rira,──bolehkah aku melepas pakaianmu?”


“Ya──”


◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆


Aku tinggal bersama Rira di Maison hanya selama satu minggu.


Namun, satu minggu berlalu dengan cepat, dan hari keberangkatan Rira ke Tokyo segera tiba. Aku mengantarnya ke Tokyo.


Setelah itu, liburan musim panas berakhir, dan hari-hari yang biasa kembali seperti biasa, namun hari-hari yang biasa ini kini terasa sangat berharga dan mulia.


“Kiminami Toui!!”


Aku merengut wajahku mendengar suara yang familiar.


Saat pelajaran sejarah Jepang, teriakan Kondo-sensei menguasai ruang dan menyakitkan telinga.


“Hei! Apakah kamu tidak akan melepas anting-antingmu meskipun sudah memasuki semester baru? Hari ini aku tidak akan memaafkanmu! Lepaskan anting-anting itu! Jika tidak, aku tidak akan memulai pelajaran!”


Semua mata tertuju padaku seolah-olah ingin melihatku segera melepasnya.


Aku menghela napas.


Namun kini aku merasa bisa merasa simpati terhadap mereka. Mungkin setiap orang memiliki hal-hal yang tidak bisa mereka kompromikan, yang membuat mereka hidup, dan mereka harus menghadapi situasi di mana mereka harus mengalah, mengenakan topeng mereka, dan menjalani hari demi hari.


Jadi, orang tua ini sekarang ingin aku melepas anting-antingku, ya?


“……Maafkan saya.”


Memahami hal itu, aku melepas anting-antingku.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close