Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 2
Saudari yang Akrab
Hoshimiya Hijiri. Kakak dari Hime sekaligus teman sekelas yang terkenal sebagai gadis tercantik di sekolah.
Memimpikan untuk bisa berpacaran dengannya saja terasa terlalu sombong. Bahkan hanya berpikir untuk mendekatinya pun rasanya seperti suatu penghinaan. Ia adalah bunga di puncak gunung yang tak terjangkau.
("Tolong menikah dengan kakakku.")
Tidak ada tanda tanya dalam pernyataannya. Dengan nada santai seperti saat seseorang meminta tolong mengikatkan tali sepatu yang lepas, Hime mendorongku untuk menikahi kakaknya.
Aku tidak tahu bagaimana reaksi yang seharusnya aku berikan.
"…Aku tidak bisa tidur."
Entah kenapa aku merasa gelisah, sehingga tidak bisa akur dengan rasa kantuk.
Ketika bangun pagi, kata-kata Hime masih berputar-putar di kepalaku, membuatku tidak tenang.
Aku terus memikirkannya. Apa sebenarnya maksud dari ucapan Hime?
Mungkin ini semua salahku karena mengatakan hal aneh kemarin.
("Kamu sangat imut sampai aku ingin menjadikanmu adik perempuanku.")
Aku mengingat kembali perkataan itu.
Ya, sepertinya aku tidak seharusnya mengatakannya.
Namun, Hime tampaknya senang mendengarnya. Ia menerima perasaanku dengan tulus tanpa salah paham.
Hime adalah gadis yang jujur dan baik. Ekspresi serta gerak-geriknya sangat menggemaskan, dan yang paling penting, berada di dekatnya selalu membuatku nyaman.
Aku tidak ingin membuatnya sedih.
Namun, itu juga yang membuatku kesulitan. Aku belum sepenuhnya memahami maksud dari perkataan Hime.
Apakah ia sungguh-sungguh? Atau itu hanya ucapan yang tak sengaja terlontar?
Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi pernyataannya untuk "menikah dengan kakakku". Jawabannya tidak mudah ditemukan.
Hmm... Tapi memikirkannya terus-menerus juga tidak ada gunanya.
Dengan pemikiran itu, aku mulai bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
"Hime, selamat pagi."
Begitu tiba di kelas, saat berjalan menuju mejaku, aku melihat seorang gadis berambut perak panjang dan langsung menyapanya.
Mungkin karena aku memang sedang memikirkan Hime, jadi mataku otomatis mencari keberadaannya.
Seperti biasa, aku menyapa Hime dengan kata-kata itu. Ia pun berdiri dengan lincah dan membungkukkan kepala.
"Yohei-kun, selamat pagi!"
Eh? Biasanya ia hanya menyapa sambil duduk. Ini sesuatu yang langka.
Suaranya juga terdengar ceria. Ia terlihat sedang dalam suasana hati yang sangat baik.
"…Senang sekali rasanya dipanggil dengan nama."
Oh, benar juga. Hari ini pertama kalinya aku memanggil namanya saat menyapa.
Setelah mengatakan hal yang lebih memalukan kemarin, memanggilnya langsung seperti ini terasa biasa saja sekarang. Apalagi Hime tampak senang, sehingga sisa rasa malu itu benar-benar lenyap.
"Kamu terlihat sedikit mengantuk hari ini ya, Yohei-kun."
"Kelihatan, ya? Sebenarnya aku memang kurang tidur."
"Aku khawatir tentang itu. Semoga kamu tidak sampai jatuh sakit."
"Sepertinya aku akan baik-baik saja. Aku sudah sarapan pagi tadi kok."
"Oh, begitu ya. Sarapan adalah sumber energi, ya."
…Benar-benar hal yang jarang terjadi.
Biasanya, di kelas, Hime jarang berbicara. Pagi hari kami hanya saling menyapa, lalu ia menghabiskan waktunya membaca buku. Aku biasanya hanya duduk diam dan melihatnya dari samping.
Namun, hari ini berbeda. Meski kursinya berada di sebelahku, ia tidak duduk. Sebaliknya, ia berdiri dengan tangannya bersandar di mejaku, berbicara dengan semangat.
Aku merasa pemandangan ini menggemaskan, namun aku juga merasakan tatapan teman-teman sekelas yang tertuju pada kami.
(Mereka melihat ke sini, kan?)
Aku bisa memahaminya.
Bagaimana tidak? Gadis seperti Hoshimiya Hime sedang tersenyum dan berbicara.
Apalagi lawan bicaranya adalah seorang siswa laki-laki yang biasa-biasa saja. Dari sudut pandang mereka, ini adalah pemandangan yang aneh.
(Semoga Hime tidak terganggu oleh ini.)
Aku tidak peduli dengan diriku sendiri.
Namun, Hime tampaknya merasa tidak nyaman berada di tempat yang ramai. Aku hanya khawatir jika perhatian ini akan membuatnya stres.
"Kalau boleh, bagaimana kalau kita makan siang bersama hari ini?"
Namun, tampaknya Hime tetap tenang.
Dia sama sekali tidak peduli dengan tatapan orang lain. Matanya yang besar menatapku lurus, penuh keyakinan.
…Tampaknya kekhawatiranku tadi tidak perlu.
Hime tetap tenang seperti biasanya. Ia benar-benar tampak lebih dewasa daripada umurnya yang delapan tahun.
"Tentu saja, aku mau."
"…Aku tidak menyusahkanmu, kan?"
"Tidak, aku malah senang karena sebenarnya aku merasa sedikit canggung makan sendirian."
"Benarkah? Wah… senang sekali!"
Namun, melihatnya begitu senang hanya karena janji makan siang bersama, dengan mata yang berkilauan, ia terlihat benar-benar seperti anak kecil.
Melihat Hime seperti ini selalu membuatku merasa lebih bersemangat.
…Oh iya, soal kakaknya, Hoshimiya Hijiri, tidak muncul sama sekali dalam percakapan ini.
Mungkin kemarin itu hanya kata-kata yang tak sengaja terlontar dari mulut Hime. Kalau begitu, aku tidak perlu terlalu memikirkannya lagi.
Syukurlah. Rasanya sekarang aku bisa menikmati hari seperti biasa.
Waktu makan siang telah tiba.
Biasanya, ini adalah waktu di mana aku duduk sendiri di kelas dan memakan bekal dari toserba diam-diam. Bukan karena aku sengaja menikmati makan siang sendirian, tetapi karena setelah pergantian kelas, aku tidak sempat menjalin pertemanan baru.
Saat aku menyadarinya, hubungan antar teman-teman sekelas sudah terbentuk. Aku merasa salah langkah.
Namun, hari ini akan berbeda. Aku punya janji dengan Hime, jadi sepertinya aku tidak akan merasa kesepian.
...Ngomong-ngomong, aku ingat bahwa Hime selalu meninggalkan kelas saat makan siang. Mungkin saja dia tidak makan di kelas. Untuk memastikan, aku memutuskan untuk bertanya padanya.
"Hime, di mana kamu biasanya makan siang?"
"Aku biasanya makan di ruang kepala sekolah. Jadi, mari kita menuju ke sana, yul"
Ruang kepala sekolah?
Kenapa dia makan di tempat seperti itu?
Alasannya dijelaskan olehnya dalam perjalanan ke sana.
"Kalau disederhanakan, mungkin karena pertimbangan khusus."
"Pilihan kata yang aneh," gumamku.
"Tidak dilebih-lebihkan kok. Ini mungkin seperti bentuk perhatian terhadapku… meskipun aku tidak memintanya."
Bunyi langkah kecil dari sepatunya yang ringan bergema di lantai.
Dia berjalan di depanku dengan langkah kecil khasnya, dan rambut peraknya berkilauan saat terkena pantulan lampu neon.
Aku mengikuti punggungnya sambil memperhatikan langkah-langkahnya yang cepat namun ringan.
"Karena posisiku yang sedikit unik, mungkin kepala sekolah memberiku kemudahan ini."
"Begitu ya. Tapi rasanya pasti tidak nyaman, ya."
"Tidak nyaman? Tidak juga, kok."
"Benarkah? Jadi kepala sekolah orang yang ramah ya?"
"Hmm, tidak juga. Tapi… kenapa kamu membahas kepala sekolah?"
"Eh?"
"Eh?"
Pembicaraan kami tiba-tiba terasa aneh. Hime berhenti berjalan, memutar tubuhnya, dan menatapku sambil memiringkan kepalanya.
"Kamu pikir aku makan siang bersama kepala sekolah, ya?"
"Bukan begitu?"
"Tentu saja tidak. Aku hanya menggunakan ruangannya saja. Beliau sendiri tidak ada di sana."
Oh, aku salah paham. Karena itu ruang kepala sekolah, kupikir dia pasti makan bersama kepala sekolah.
"Aku sebenarnya merasa tidak nyaman mendapatkan perlakuan khusus seperti ini. Rasanya seperti memanfaatkan posisiku. Tapi sulit juga untuk menolak niat baik mereka," katanya sambil tersenyum masam dan menghela napas kecil.
Melihat ekspresinya yang agak berat, aku menyadari sesuatu.
(Hime sepertinya tidak suka diperlakukan istimewa oleh orang-orang yang lebih tua.)
Dia bahkan tidak suka dipanggil "Hoshimiya-san" olehku, jadi bisa kubayangkan bagaimana perasaannya saat mendapatkan perhatian berlebihan dari orang dewasa.
Namun, meskipun dia tidak menyukainya, dia tidak ingin menyinggung perasaan orang lain. Jadi, dia memilih untuk tidak mengeluh. Sikap ini menunjukkan betapa dewasa dirinya, meskipun masih sangat muda.
Saat kami tiba di ruang kepala sekolah, pintu terbuka, dan kepala sekolah muncul dengan tergesa-gesa.
"Oh, ini dia, Hoshimiya-san! Maafkan saya, rapatnya molor, jadi saya baru keluar sekarang."
"Tidak apa-apa," jawab Hime dengan suara datar tanpa ekspresi, sangat berbeda dari saat dia berbicara denganku.
"Kami hanya menggunakan ruangan ini. Jadi, jangan khawatir."
Melihat sikap Hime yang sedingin itu membuatku tidak nyaman. Namun, dia tetap sopan dan menghormati kepala sekolah, meskipun terlihat jelas bahwa dia sedang menekan emosinya.
"Jangan sungkan, Hoshimiya-san. Kehadiran Anda di sekolah ini sudah menjadi kehormatan besar bagi kami. Ini adalah bentuk pelayanan kami untuk Anda!"
seru kepala sekolah, membungkukkan tubuhnya dengan tangan tergenggam seperti memohon.
"…Begitu, ya."
Aku tidak tahan melihat Hime yang tampak tertekan, jadi aku memutuskan untuk campur tangan.
"Bolehkah aku ikut makan di sini juga?"
Kepala sekolah tampak terkejut, seperti baru menyadari keberadaanku.
"Siapa kamu?" tanyanya, dengan nada sedikit kasar.
"Dia temanku." jawab Hime cepat, membelaku.
"Dia juga ingin makan di sini, boleh, kan?"
"Oh, teman ya… tentu saja, tidak masalah. Silahkan masuk. Ngomong-ngomong, ada yang ingin kubicarakan denganmu, jadi ikut aku sebentar," katanya, sambil menunjuk ke arahku.
Aku tahu perbedaan sikapnya antara aku dan Hime sangat mencolok, tapi aku memutuskan untuk mengikuti saja agar masalah ini cepat selesai.
"Hime, kamu masuk duluan saja."
"…Oke"
Dia memang cerdas. Dia tahu aku ingin menyelesaikan ini dengan cepat agar dia tidak perlu menghadapi lebih banyak tekanan. Hime pun masuk ke ruangan tanpa banyak bicara.
Aku berjanji dalam hati untuk mendengarkan apa pun yang ingin dia sampaikan nanti.
Sementara itu, aku harus menghadapi kepala sekolah terlebih dahulu.
"Jadi, kamu benar-benar temannya?" tanyanya, dengan nada yang masih terdengar meremehkan.
Ya, seperti yang kuduga, sikapnya terhadap Hime sangat berbeda. Namun, nada bicaranya yang terkesan sombong tidak membuatku marah.
Lagipula, kurasa wajar jika pria paruh baya berbicara pada seorang siswa SMA seperti itu. Yang tidak wajar justru sikapnya yang berlebihan terhadap Hime.
"Jangan sampai membuatnya kesal."
Aku tidak berpikir buruk tentang orang yang memperlakukan seseorang secara berbeda. Namun, sikap penuh perhitungan seperti ini dari seorang dewasa terasa sangat menjijikkan jika dilihat dari sudut pandang seorang anak.
Aku jadi sedikit memahami kenapa Hime tidak menyukainya.
"Hoshimiya-san adalah aset berharga sekolah ini. Apakah kamu mengerti mengapa dia bersekolah di sini? Kurasa tidak kan."
"Ya, mungkin begitu."
"Setiap pencapaian besar yang ia torehkan akan mengabadikan nama sekolah ini di berbagai catatan sejarah. Sekolah ini akan dikenang sebagai tempat di mana seorang besar seperti dia pernah belajar. Jika dia mau lulus tanpa insiden, keuntungan bagi sekolah ini tidak ternilai."
Tanpa diminta, kepala sekolah mulai berbicara panjang lebar. Ini bisa membuat makan siangku bersama Hime tertunda. Semoga ini cepat selesai.
"Dia bukan siswa biasa seperti kamu. Jika kamu benar-benar berteman dengannya, gunakanlah kesempatan itu. Jangan membuatnya kesal. Kalau begitu, aku mungkin akan mempertimbangkan kemudahan untuk nilai atau pencapaian akademismu."
"Ah, aku tidak membutuhkan hal itu."
"Kamu tidak mengerti ya. Jika, sebaliknya, dia memutuskan untuk meninggalkan sekolah ini karena sesuatu yang kamu lakukan, aku bisa saja mengambil tindakan tegas. Ingat itu."
Jadi, ini bukan nasihat atau arahan. Ini murni ancaman.
Hime memiliki nilai yang besar. Jadi aku diminta untuk membangun hubungan berdasarkan keuntungan, menjaga sikap, dan menjilatnya demi menjaga perasaan baiknya.
Begitu maksudnya.
"Jangan khawatir."
Omong kosong seperti ini tidak akan kulakukan. Tentu saja, aku tidak sebodoh itu untuk menantangnya secara terang-terangan. Menghadapi orang dewasa yang penuh perhitungan seperti ini dengan serius tidak akan menghasilkan apa-apa.
"Hime adalah teman yang sangat penting bagiku."
Namun, entah kenapa, aku akhirnya mengatakan sesuatu yang terdengar seperti pembangkangan kecil.
"Aku tidak akan membuatnya sedih."
Yang berarti, aku juga tidak akan melakukan apa yang kamu suruh.
Kepala sekolah tampaknya menyadari makna tersirat dari kata-kataku.
"Kamu paham apa yang kamu katakan tadi?"
Oops, sepertinya aku membuatnya marah. Dengan dahi yang berkerut, ia menatapku curiga.
Apa yang harus kulakukan? Apa yang sebaiknya kukatakan untuk menyelesaikan ini dengan damai? Saat aku masih memikirkan itu...
"Maaf ya~. Aku terlambat?"
Seorang penyelamat muncul.
Suara santai dan lembut yang memecah suasana tegang itu menggema.
"Oh, Kepala Sekolah! Terima kasih selalu mengizinkan kami menggunakan ruang ini."
"Uh, tidak apa-apa... tentu saja."
Aku menoleh ke arah suara itu. Di sana berdiri seorang gadis yang tampak ringan seperti awan.
Rambut coklatnya yang indah dan sikap lembutnya sangat cocok dengannya. Dia adalah seorang gadis cantik dari kelasku, terkenal dengan kesan lembut dan keanggunannya.
Ekspresinya santai, dengan mata besar dan melankolis, tubuhnya tampak dewasa meski usianya sama denganku. Dekat dengannya saja membuatku merasa kecil.
Dia memang terkenal sebagai gadis tercantik di sekolah ini.
Kami belum pernah bicara, tetapi aku tahu banyak tentangnya karena akhir-akhir ini aku menjadi dekat dengan adiknya.
"Kamu Hoshimiya Hijiri, kan?"
"Ya, aku Hoshimiya Hijiri~."
Hime punya kakak, dan sekarang dia ada di sini.
"Apa yang kalian bicarakan? Kepala Sekolah selalu bicara panjang lebar, ya. Tolong jangan lama-lama, nanti Hime-chan bosan menunggu."
Dia tersenyum lembut dan melambai dengan santai.
Karena kehadirannya, Kepala Sekolah tampaknya kehilangan minat untuk memarahiku.
"Baiklah. Itu saja, tolong jaga dia dengan baik. Jangan biarkan dia menunggu."
Mengucapkan itu, Kepala Sekolah berjalan menuju ruang staf.
Aku melihat punggungnya dan kepalanya yang botak mulai menjauh, lalu akhirnya bisa menarik nafas lega.
"Fiuh..."
Itu tadi cukup berbahaya.
Aku mungkin sedikit bersikap menantang, meski seharusnya aku tetap tenang. Saat aku sedang menyesali tindakanku, seseorang tiba-tiba menyentuh bahuku.
"Hei, ayo masuk!"
Hoshimiya Hijiri memanggilku.
Ngomong-ngomong, sejak kapan dia datang?
Untuk sebuah kebetulan, timing-nya terasa terlalu pas. Tepat di saat suasana tegang dengan kepala sekolah tadi. Apakah aku hanya membayangkan hal itu?
"Maaf. Oh, dan terima kasih untuk tadi."
Aku mencoba mengucapkan terima kasih, berpikir mungkin dia sengaja membantuku.
"Hah? Terima kasih untuk apa?"
Namun, Hoshimiya Hijiri hanya menatapku dengan ekspresi penuh kebingungan.
Sepertinya dia tidak merasa telah membantuku dan semuanya hanya kebetulan.
Meskipun begitu, timing-nya tetap terasa terlalu sempurna.
Daripada terlalu memikirkan hal itu, lebih baik aku melupakan sejenak untuk sekarang.
……Aku lupa. Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya aku bertemu dengan Hoshimiya Hijiri.
Meskipun kami tadi sempat berbicara, apakah aku harus memperkenalkan diri lagi?
Saat aku sedang bingung, dia membuka pintu ruang kepala sekolah dan memberikan isyarat dengan matanya, seakan berkata, "Kamu tidak masuk?"
Aku pun langsung buru-buru masuk.
Ruangan itu luasnya sekitar 9x18 meter. Di bagian dalam terdapat meja dan rak buku milik kepala sekolah. Di atas dinding, ada deretan potret kepala sekolah terdahulu. Di tengah ruangan, ada meja pendek dan dua sofa kecil yang saling berhadapan.
Di salah satu sofa itu, Hime duduk dengan manis.
"……Ah."
Mata kami bertemu. Hime tampak ingin mengatakan sesuatu. Mungkin dia penasaran dengan percakapan antara aku dan kepala sekolah tadi.
Tapi sebelum aku sempat berbicara, kakaknya, Hoshimiya Hijiri, sudah lebih dulu menyapa Hime, jadi pembicaraan itu harus ditunda sebentar.
Yah, isinya tidak terlalu menyenangkan sih, jadi tidak masalah jika ditunda dulu.
"Hime-chan, maaf ya~. Kakak terlambat nggak?"
"Tidak. Aku juga baru sampai beberapa saat yang lalu."
"Kamu lapar lan? Tapi maaf yaaa. Kakak lupa bawa bekal~."
"Tidak apa-apa. Aku sudah membawanya. Sebelum ke sekolah, aku menemukannya di atas rak sepatu."
"Hebat banget, Hime-chan. Kamu memang jenius ya."
"Untuk urusan seperti ini, entah kenapa kakak selalu ceroboh ya."
"Jahat~. Kakak sebenarnya juga bisa kalau mau berusaha, tahu."
Hijiri mencubit pipi Hime dengan kedua tangannya, mungkin sebagai balasan. Pipinya yang seperti mochi itu pun tertarik memanjang.
"Hime-chan, kamu kurang menghormati kakakmu, loh."
"Aku tidak akan menghormati kakak yang lupa membawa bekal. Tapi aku tetap menyayangimu."
"Eh? Menyayangi? Kalau begitu tidak apa-apa~."
……Orang ini santai sekali.
Hanya mendengar suaranya saja membuat tubuhku terasa rileks. Sebagai gadis tercantik di sekolah, aku pikir bertemu dengannya akan membuatku gugup.
Penampilannya memang dewasa dan karismatik, membuatnya terasa sulit didekati. Tapi kepribadiannya ternyata ramah dan mudah diajak bicara.
"Kakak, bisakah berhenti mencubit pipiku?"
"Nggak mau."
"Kalau gitu, yaudah lah. Yohei-kun, ini kakakku."
Seperti yang kuduga dari Hime. Dia tidak melupakanku, bahkan memperkenalkan aku, membuatku lebih mudah memulai pembicaraan.
"Kalau begitu, perkenalkan lagi. Namaku Ozora Yohei. Eh, salam kenal…?"
"Fufu. Baru saja kita bertemu, tapi bilang ‘salam kenal’ itu aneh ya."
Hijiri tersenyum kepadaku. Ekspresi lembutnya entah mengapa membuatku ikut tersenyum juga.
"Aku Hoshimiya Hijiri. Aku kakaknya Hime-chan~."
"Baik. Senang bertemu denganmu, Hoshimiya-san."
"Bukan begitu."
Sambil berkata demikian, Hijiri akhirnya melepaskan pipi Hime. Pipi yang kembali ke bentuk aslinya itu memerah samar karena terlalu banyak dicubit.
Namun, wajah Hijiri terlihat kesal dan sedikit tidak puas.
"Bukan begitu… apa maksudnya?"
"Siapa itu Hoshimiya-san?"
Eh? Apa maksudnya?
Bukankah namamu sendiri Hoshimiya-san… oh, aku paham sekarang.
"Hime juga memiliki nama Hoshimiya kan, bukankah itu akan membingungkan?"
"Tapi aku memanggilnya Hime."
Aku mencoba meyakinkan bahwa aku tetap bisa membedakan mereka.
"……Ehehe."
Entah kenapa Hime terlihat senang. Tapi kakaknya tampak tidak puas.
"Tidak adil."
"Ti-tidak adil bagaimana?"
"Hanya Hime yang tidak adil! Kenapa aku tidak dipanggil Hijiri, saja?"
"Maaf."
Itu terlalu sulit. Tidak mungkin aku memanggil teman sekelas perempuan dengan panggilan seperti itu.
"‘Hijiri-chan, juga boleh kok."
"Maaf sekali lagi."
"Guh. Kalau begitu, bagaimana kalau ‘Hijiri-neechan’?"
"Bukankah itu agak…. berlebihan."
"Kalau begitu, ehmm…!"
Hijiri tampak masih berpikir keras. Seperti Hime, dia juga tidak suka dipanggil dengan nama belakangnya.
Apa yang harus kulakukan? Dia masih terus memikirkan panggilan yang cocok.
"Yohei-kun, kakakku cukup keras kepala, jadi dia tidak akan menyerah sampai kamu memutuskan nama panggilannya."
Melihat betapa sia-sianya perdebatan ini, Hime mencoba membantuku.
"Bagaimana kalau dipanggil ‘Hijirin’?"
Tidak. Itu sama sekali tidak membantu.
"…Kalau aku panggil Hijiri-san bagaimana?"
Nama diikuti akhiran "-san." Jujur, bahkan itu terasa canggung bagiku. Sebagai seseorang yang belum pernah memanggil teman sekelas perempuan dengan nama mereka, ini butuh keberanian.
"Membosankan~. Tapi ya, lebih baik daripada Hoshimiya-san, sih."
"Panggilan seperti itu bagus untuk permulaan. Nanti lama-lama kamu bisa lebih santai memanggilku Hijiri saja."
Meski tidak terlalu senang, kedua saudari Hoshimiya itu akhirnya setuju, setelah mempertimbangkan kesulitanku.
Syukurlah. Urusan nama panggilan selesai.
"Kalau begitu, ayo berteman baik ya, Yohei~."
Tunggu. Bagaimana Hijiri bisa begitu santai memanggilku dengan nama saja?
Mendengar namaku dipanggil langsung seperti itu, aku jadi sedikit gugup.
"Yohei-kun, mau nggak kamu ikut makan bersama juga?"
Saat Hime mengajakku dengan pertanyaan itu, kenapa aku langsung berasumsi bahwa hanya akan ada kami berdua?
"Aku biasanya makan siang bersama kakakku."
Aku tertegun dengan kebodohanku yang tak memikirkan kemungkinan itu.
Jika ada adik perempuan 8 tahun bersekolah di tempat yang sama dengan kakaknya, tentu saja kakaknya akan ada di dekatnya karena khawatir.
"Kamu terkejut ya?"
"… Sedikit sih."
Tentu saja, aku tidak berniat menyalahkannya. Namun, Hime adalah gadis yang cerdas, dan aku curiga bahwa ia sengaja menyembunyikan keberadaan kakaknya.
"Berhasil mengejutkanmu ya… ehehe."
Seperti yang kuduga, dia memang begitu.
Hime tersenyum jahil, senang karena berhasil mengerjaiku. Ia menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan riang di atas sofa.
Yah, mau bagaimana lagi, aku maafkan aja deh. Soalnya dia memang terlalu lucu sih.
"Hime! Berani sekali kamu merahasiakan ini dariku juga. Huh, aku marah lho!"
Berbeda denganku, kakaknya, Hijiri-san, tampaknya sedikit kesal. Ia menyentil ujung hidung Hime, seolah membalas dendam.
Tapi karena ia berkata "huh, aku marah" sambil ngambek, dia sama sekali tidak terlihat seperti benar-benar marah.
"Aku sudah memberitahu kakak kemarin kan."
"… Benarkah?"
"Iya. Aku bilang, ‘Aku mau mengundang Yohei-kun makan siang’ kemarin malam."
"Hmmm, mungkin aku tidak mendengarnya waktu itu, karena tiap hari kamu selalu cerita tentang Yohei."
"Ja-jangan katakan itu!"
Mendadak disindir begitu, Hime yang biasanya tenang terlihat panik. Ia buru-buru menutup mulut kakaknya dengan tangan mungilnya. Melihat itu, Hijiri-san hanya tersenyum lembut.
(Hubungan kakak-adik mereka benar-benar akrab.)
Hanya dari interaksi mereka, aku bisa melihat betapa erat hubungan mereka. Jarak yang begitu dekat sejak tadi adalah bukti ikatan kuat di antara mereka.
Hijiri-san sangat menyayangi adiknya.
Hime juga begitu menghormati kakaknya.
Melihat momen indah seperti itu, rasanya aku tidak ingin mengganggu.
Agar tidak merusak percakapan mereka, aku diam-diam berpindah tempat duduk di sofa di seberang mereka. Pemandangan ini membentuk: Hoshimiya bersaudara di depanku, aku duduk dengan meja kaca di antara kami.
Aku mengeluarkan bekal hamburger dari kantong plastik minimarket dan hendak mulai makan, tapi—
"Yohei-kun, kenapa kamu duduk di sana?"
Hime menghentikanku. Mata merahnya menatap heran.
"Duduk di sini saja."
Ia menunjuk sofa untuk dua orang tempat ia dan kakaknya sudah duduk.
"Disitu sudah tidak ada ruang lagi."
"Aku kecil, jadi tidak masalah."
"Aku juga kurus, jadi tidak apa-apa~," tambah Hijiri-san, entah kenapa ikut membela.
… Kurus, ya?
Memang benar dia tidak gemuk. Perutnya terlihat ramping. Tapi ada satu bagian yang besar. Aku tidak akan menyebut bagian mana, tapi...
"Aku tidak gemuk!"
Ia menegaskannya sekali lagi. Apakah hijiri-san sebenarnya sensitif soal penampilannya?
Aku tidak pernah berpikir dia gemuk, kok. Hanya saja, beberapa bagian tubuhnya besar, seperti dada dan paha.
"Benar, kan, Hime? Aku tidak gemuk, kan?"
"Kakak tidak gemuk kok. Hanya saja berat kakak sekitar satu kilogram di atas standar."
"Jangan sebut angkanya! Ugh... Haruskah aku diet?"
"Berat kakak masih dalam batas normal, jadi jangan khawatir. Yohei-kun, wanita dengan tubuh sehat itu menarik, bukan?"
Hime menyeretku ke dalam pembicaraan. Ini berbahaya. Topik seperti ini terlalu sensitif untuk seorang pria.
"Yah, tubuh yang sehat memang bagus."
Aku memberikan jawaban samar agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Kesehatan adalah yang terpenting, bukan soal ukuran.
"Yohei, mesum!"
"Itu tidak adil!"
Gagal. Hijiri-san memegangi perutnya dengan malu. Rasanya yang dia tutupi itu salah, tapi aku memilih diam agar tidak memperpanjang topik ini.
"Kalau begitu, aku akan ke sana saja."
Belum selesai masalah tadi, Hime bangkit dan duduk di sofa sebelahku, di sisi kanan.
"Aku juga ke sana!"
"… Rasanya itu tidak mungkin."
"Aku tidak gemuk!"
"Aku tidak bilang begitu. Ini soal kapasitas sofa."
"Di celah ini saja aku masih bisa duduk!"
Hijiri-san bersikeras. Walaupun terlihat lembut, dia cukup keras kepala. Aku bisa merasakan tekad kuatnya untuk tidak menyerah.
Ia berhasil menyelipkan tubuhnya di sisi kanan Hime.
Sekarang kami bertiga duduk berdempetan di sofa kecil itu: aku, Hime, dan Hijiri-san. Berkat tubuh kecil Hime, anehnya masih muat.
Tapi ada masalah lain.
Jarakku dengan Hime terlalu dekat. Meski aku tidak berpikiran macam-macam, rasanya aneh duduk berdempetan seperti ini. Aku menahan diri agar tidak canggung.
"Yohei-kun, ini masalah."
"Eh? Maaf, terlalu sempit ya?"
"Bukan itu. Rencana membuatmu dekat dengan kakakku gagal, karena sekarang aku yang malah duduk di sebelahmu."
Hime terlihat malu, dan aku juga ikut tersipu.
Ternyata ini semua bagian dari rencananya, tapi ia malah terjebak sendiri.
"Aku terlalu gugup, lidahku sampai keseleo."
Dia mengatakannya dengan wajah memerah. Reaksinya itu sangat menggemaskan.
Di ruang kepala sekolah yang cukup luas, kami bertiga justru berdesakan di satu sofa kecil.
Menjadikan ini adalah jam makan siang yang aneh.
Aku mulai memahami alasan mengapa Hime mengundangku ke ruang kepala sekolah.
Mungkinkah dia… mencoba menjadi perantara hubungan antara aku dan Hijiri-san?
("Tolong menikahlah dengan kakakku.")
Aku mengingat kembali ucapannya kemarin.
Sejak saat itu, Hime sama sekali tidak menyinggung masalah ini lagi, jadi aku berpikir bahwa itu hanya sesuatu yang terucap karena dorongan semata.
Namun, itu hanya harapanku saja.
Bukan omong kosong atau kebohongan, Hime tampaknya benar-benar berusaha mewujudkan kata-kata besarnya itu.
(...Apa Hijiri-san mengetahui hal ini?)
Itu sangat memengaruhi pikiranku.
Jika dia tidak mengetahuinya, biarlah tetap seperti itu. Tapi jika dia mengetahuinya... apa yang harus kulakukan?
Yah, bagaimanapun juga aku tidak memiliki cara untuk memastikannya, dan aku juga seharusnya tidak mengubah sikapku.
Bersikap terlalu ramah justru akan terlihat aneh. Aku hanya bisa bertingkah seperti biasa.
Kalau begitu, demi ketenangan pikiranku, aku akan menganggap bahwa Hijiri-san belum mendengar tentang pembicaraan pernikahan ini.
"Yohei, kamu sedang makan apa?"
"Bekal hamburger."
"Makan besar ya di siang hari~. Aku ini makannya sedikit, jadi mungkin tidak bisa menghabiskan hamburger."
"...Tapi yang kulihat sekarang Hijiri-san sedang makan bekal tonkatsu."
(Tln: Tonkatsu adalah irisan daging babi yang dilapisi tepung dan digoreng).
Justru istilah "makan besar" lebih cocok untuknya.
Tonkatsu yang terlihat megah di dalam kotak makanannya terlihat jauh lebih berat dibandingkan bekal hamburger dari toserba yang aku beli.
Sedangkan bekal milik Hime jauh lebih kecil, sehingga perbedaan ukuran itu membuat tonkatsu Hijiri-san tampak semakin besar.
"Tonkatsu itu ringan, kok."
Hijiri-san memakannya dengan sangat lahap.
...Kalau begini, mungkin semuanya baik-baik saja.
Sejak awal pertemuan, Hijiri-san yang berbicara melalui Hime selalu bersikap santai seperti ini.
Jika dia sudah mendengar tentang pembicaraan pernikahan, sikapnya mungkin akan berbeda.
Dengan senyuman yang terlihat polos dan tanpa perlindungan, aku merasa dia menganggapku tidak berbahaya.
Berkat itu, aku juga bisa tetap tenang dan bersikap seperti biasa.
"Benar, kan, Hime-chan? Tonkatsu itu termasuk camilan, kan?"
"...Tonkatsu tidak termasuk camilan. Ukurannya sudah cukup besar untuk memenuhi kebutuhan kalori."
"Ah~ aku tidak dengar~. Makan, makan, makan~."
Hijiri-san menghindari kenyataan.
Dia mengabaikan perkataan Hime dan hanya fokus makan bekalnya.
Sementara itu, Hime tampak sangat pendiam sejak tadi. Meskipun bentonya sudah terbuka di atas meja, tangannya tidak memegang sumpit.
Dia hanya menggenggam erat tangannya dan meletakkannya di pangkuannya tanpa bergerak.
Kepalanya menunduk dengan pandangan yang terpaku pada satu titik, terlihat sedang melamun.
"Hime, ada apa?"
Aku memanggilnya dengan rasa khawatir.
Dia perlahan menoleh ke arahku.
"…Aku agak tidak nafsu makan."
Padahal tadi dia terlihat baik-baik saja.
Ngomong-ngomong, wajahnya tampak sedikit aneh. Kulitnya yang putih kini terlihat jelas memerah, terutama di pipi dan telinganya. Apakah dia sedang demam?
"Kamu sakit ya?"
"Aku tidak tahu. Hanya saja, sejak duduk di samping Yohei-kun, tiba-tiba aku kehilangan selera makan."
"...Haruskah aku pindah ke sana?"
Mungkinkah ruang ini terasa sempit sehingga membuatnya tidak nyaman?
Aku berpikir untuk duduk di sofa seberang agar Hime lebih leluasa.
"…Itu akan membuatku sedih."
Dia menggelengkan kepalanya. Hime tampak tidak suka.
Dia mencubit lengan bajuku seolah ingin mengatakan bahwa seperti ini sudah cukup.
"Baiklah. Tapi, makanlah semampumu, ya."
"Iya, baiklah."
Meskipun dia mengatakan itu, tangannya tetap tidak bergerak.
Aku khawatir dengan kesehatannya, tapi... dia tidak terlihat kesakitan.
"Aneh, ya. Sebenarnya aku malah merasa lebih baik."
Dia juga tampaknya bingung dengan kondisinya sendiri.
Jika aku terlalu khawatir, itu tidak akan ada gunanya. Mungkin lebih baik aku terus mengawasinya saja untuk sementara waktu.
Jika ada sesuatu yang salah, kakaknya, Hijiri-san, yang lebih dekat dengannya, pasti akan menyadarinya terlebih dahulu. Karena dia tidak menunjukkan reaksi, kemungkinan semuanya baik-baik saja.
Berpikir begitu, aku melirik ke arah Hijiri-san.
"Hime-chan, apa kamu tidak akan menghabiskan tonkatsu itu? Yah, kalau begitu biarkan kakak saja yang menghabiskannya. Tidak perlu berterima kasih~. Sebagai kakak, ini adalah hal yang wajar dilakukan!"
Dia hanya memikirkan makanan.
Hijiri-san bahkan mengambil sepotong tonkatsu dari bekal Hime.
Dia tampaknya tidak menyadari perubahan pada adiknya.
Hijiri-san… meskipun dari penampilan terlihat seperti kakak perempuan yang dewasa, mungkin sifatnya tidak seperti itu.
Kalau begini, sekalipun dia mendengar tentang pembicaraan pernikahan, sepertinya dia tidak akan terlalu memikirkan aku.
Terlepas dari itu, aku tetap khawatir pada Hime.
Saat ini, yang bisa kulakukan hanyalah terus memperhatikannya.
Pada akhirnya, Hime hampir tidak menyentuh bekal makan siangnya.
Selain pertemuan dengan kepala sekolah, ada juga pertemuan pertama dengan Hijiri-san, sehingga waktu untuk makan lebih sedikit dari biasanya... itu mungkin salah satu alasannya. Namun demikian, Hime sama sekali tidak makan.
"Aku baik-baik saja kok. Lihat saja ini."
Namun, tampaknya bukan karena ia merasa tidak sehat.
Wajahnya terlihat segar, dan terlebih lagi, ia dengan penuh semangat menunjukkan otot kecil di lengannya seolah ingin meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. Rasanya dia cukup santai. Kalau memang tidak ada masalah, itu bagus.
Musim hujan baru saja dimulai dan suhu perlahan meningkat, jadi mungkin saja tubuhnya agak lambat beradaptasi dengan panas. Bisa jadi ini gejala awal kelelahan musim panas
... Aku merasa terlalu khawatir, dan tampaknya Hime juga menyadari itu.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Yohei-kun memang baik hati ya."
Aku yang mendengarnya, entah kenapa membuat jantungku terasa hangat. Reaksinya yang jujur terasa sangat menenangkan.
Dalam perjalanan kembali dari ruang kepala sekolah, aku berjalan di koridor bersama Hime.
Hijiri-san tampaknya memiliki pelajaran olahraga pertama di sore hari, sehingga ia pergi terburu-buru. Meski ia tadi menghabiskan bekal sisa Hime, aku malah jadi khawatir padanya. Semoga saja dia tidak sampai muntah.
"Umm, ngomong-ngomong, apa semuanya baik-baik saja dengan pembicaraan bersama kepala sekolah tadi?"
Hime langsung bertanya saat percakapan kami terhenti di tengah jalan.
Karena ada Hijiri-san sebelumnya, aku belum sempat membicarakan soal kepala sekolah. Mungkin saja dia terus memikirkannya selama ini.
"Tidak ada yang aneh yang dikatakan kepadamu, kan?"
Wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir.
Sejak dulu aku merasa, Hime tampaknya sangat takut mengganggu orang lain. Karena itu, ia sering kali menekan perasaannya sendiri.
Menghormati orang lain dan bersikap sabar adalah salah satu sisi lembut Hime.
Namun, aku merasa setidaknya di depanku, dia bisa lebih manja dan bersikap seperti anak-anak.
"Memang kepala sekolah mengatakan hal yang aneh, tapi kamu tidak perlu khawatir. Apa pun yang dikatakan, perasaanku terhadapmu tidak akan berubah."
"…Perasaan, ya?"
Ucapan kemarin bukan sekadar kalimat yang terlontar tanpa sengaja.
Sebetulnya, itu adalah ungkapan tulus yang begitu murni hingga seharusnya hanya disimpan dalam hati. Tapi karena sudah terlanjur terucap, aku tak bisa lagi menyembunyikannya.
Meskipun sedikit malu, aku ingin menyampaikannya dengan benar.
"Aku merasa Hime itu sangat imut—itu."
Jadi aku langsung mengatakannya. Tanpa berbohong, aku mengungkapkan fakta dan perasaanku dengan jelas.
"Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah membencimu."
"…Ehehe."
Hime tersenyum malu-malu.
Ia meletakkan tangannya di dadanya, menatapku, dan tersenyum bahagia.
Apakah kata-kataku tadi membuatnya merasa lega? Hime tidak mengatakan apa-apa lagi.
(...Kenapa aku jadi merasa malu sekarang.)
Aku juga mulai gelisah dengan ucapanku sendiri dan tidak bisa berkata apa-apa.
Begitulah, kami berjalan dalam diam menuju kelas.
Pelajaran sore berlalu dengan cepat.
Aku sempat mengamati Hime, tetapi dia tampak sehat sepanjang waktu, jadi sepertinya aku tidak perlu khawatir lagi.
Yah, kalau dia merasa sedikit lapar karena tidak makan siang, dia bisa makan camilan.
Hari ini pun, aku membawa camilan yang ingin aku berikan pada Hime dan menyimpannya di dalam tas... tapi,
"Maaf. Sebenarnya, selama sekitar satu minggu ke depan, aku harus segera pulang setelah sekolah," katanya sambil bersiap-siap pulang dengan tergesa-gesa.
Nada suaranya terdengar sangat menyesal... atau lebih tepatnya, sedih.
"Aku ada jadwal pertemuan jarak jauh dengan kenalan dari luar negeri untuk membahas penelitian, dan jadwalnya semakin padat."
"Oh, begitu... Pasti melelahkan, ya."
Penelitian. Mendengar kata itu, aku kembali diingatkan bahwa Hime adalah seseorang yang istimewa.
Seperti apa penelitiannya, dan bagaimana Hime terlibat di dalamnya?
Aku sama sekali tidak tahu, dan itu membuat Hime terasa begitu jauh.
"Ya itu benar-benar melelahkan. Rasanya berat karena aku tidak bisa mengobrol dengan Yohei-kun setelah sekolah. Aku kehilangan hiburanku... uuh."
Aku mengkoreksi pemikiranku. Hime sama sekali tidak jauh. Bahkan, rasanya jarak di antara hati kami begitu dekat hingga kesedihan itu pun lenyap seketika.
Aku senang dengan perhatian Hime... meski aku tidak bisa mengatakannya saat dia sedang tampak murung seperti ini.
Bahkan aku ragu untuk menunjukkan bahwa menurutku, kehilangan waktu bersamaku tampak lebih berat baginya daripada urusan penelitian.
"Sebagai gantinya, aku pikir aku akan berusaha makan siang bersamamu. Tapi tetap saja, rasanya masih kurang."
Jadi alasan dia mengajakku makan siang kemarin ternyata bukan hanya untuk mempertemukanku dengan Hijiri-san. Begitu rupanya.
"Maaf ya, aku bahkan tidak bisa mengobrol lama-lama... Mobil jemputanku sudah datang, jadi aku harus pergi sekarang."
Bahkan untuk sekadar berbincang ringan, waktunya pun terasa kurang.
Aku buru-buru meraih tasku dan mengambil sesuatu di dalamnya.
"Hime, ini. Makan nanti, ya."
Yang aku berikan adalah pai cokelat. Camilan klasik dengan kue sponge yang dilapisi cokelat, dan di dalamnya terdapat krim yang sangat lezat.
Aku memberikan dua buah pai itu, dengan hati-hati menyerahkannya ke tangan kecil Hime.
"Kamu tadi tidak makan siang kan, jadi ini pas untuk camilan. Semangat untuk penelitiannya, ya."
Itu hanya dukungan kecil dariku. Aku berharap setidaknya itu bisa sedikit membantunya.
Namun, tampaknya bagi Hime, itu bukan hal kecil.
"…Rasanya, hanya dengan perhatian ini saja, aku sudah kenyang."
Hime menggenggam pai cokelat itu erat-erat di dadanya seolah-olah itu adalah sesuatu yang berharga.
Ekspresi murungnya sudah tidak ada lagi.
"Sampai jumpa besok. Yohei-kun, bye-bye!"
Bukan "sampai jumpa" yang formal, tapi "bye-bye" yang penuh kehangatan. Kata-kata yang terasa begitu akrab dan bersahabat itu aku simpan baik-baik di dalam hati.
"Iya, sampai jumpa besok."
Aku melambaikan tangan, dan Hime pun melangkah pergi dengan ringan.
Sebelum benar-benar meninggalkan kelas, dia sekali lagi menoleh ke belakang dan melambaikan tangan. Aku pun membalas lambaian itu dengan penuh semangat.
Syukurlah, Hime sudah kembali ceria.
Karena itu, perasaanku juga ikut bersemangat. Meski kurang tidur, pikiranku terasa sangat jernih hari ini.
Mungkin karena itu pula, aku langsung menyadari sesuatu yang berbeda di kelas tak lama setelah Hime pergi.
(...Diperhatikan.)
Aku bisa merasakan tatapan teman-teman sekelas.
Seperti tadi pagi, aku menjadi pusat perhatian lagi. Alasannya, tentu aku tahu.
Hime. Gadis yang sebelumnya selalu menyendiri itu, tiba-tiba terlihat akrab berbicara denganku hari ini... wajar jika semua orang penasaran.
Selama ini, dia tidak pernah benar-benar berusaha mendekati siapa pun. Meski membalas sapaan, sikapnya selalu dingin dan datar. Aku pun belum pernah melihatnya terlibat percakapan panjang dengan siapa pun.
Apalagi tersenyum. Itu adalah hal yang sama sekali baru.
"Hei, tadi Hoshimiya-san tersenyum, lho. Gemes banget~."
"Eh, sejak kapan mereka sedekat itu?"
"Menurutmu, Hoshimiya-san dan Ozora-kun... ada hubungan apa, ya? Jangan-jangan..."
Mungkin karena aku terlalu memikirkannya, meski tidak melihat langsung, pembicaraan para gadis di belakang mulai terdengar jelas di telingaku.
Isi pembicaraannya tidak terdengar buruk, tapi saat sampai di bagian penting, mereka tiba-tiba menurunkan volume suara. Rasanya membuat penasaran. Apa yang mereka katakan? Apakah itu sesuatu yang sulit diungkapkan? Kalau mereka salah paham, aku ingin meluruskannya. Tapi tanpa tahu rinciannya, aku tidak bisa melakukan apa-apa.
(Jangan-jangan... ini jadi gosip yang aneh?)
Hime itu mencolok. Dengan caranya sendiri, dia adalah sosok yang menarik perhatian banyak orang. Tak ada yang lebih sempurna untuk dijadikan bahan gosip selain dia.
Aku tidak ingin gosip buruk tentangnya tersebar. Kalau ada rumor yang bisa melukai Hime, aku ingin menghentikannya sebelum dia tahu.
Aku tidak ingin melihat ekspresinya berubah sedih. Aku harus memikirkan cara untuk mencegah hal itu.
Saat aku larut dalam pikiran, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku.
"Maaf mengganggu tiba-tiba!"
Suaranya ceria dan energik.
Tapi kalau volume suaranya terlalu keras, apalagi langsung di dekat telinga, rasanya jadi lain cerita.
"Aduh, telingaku..."
Refleks aku menutupi telingaku karena suara keras itu. Akibatnya, gosip yang tadi aku dengarkan jadi terputus.
Siapa dia tiba-tiba? Karena aku sedang berkonsentrasi, dampaknya terasa lebih besar. Aku menoleh ke arah suara itu sambil meringis, dan di sana berdiri seorang siswi yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Dia memiliki kulit kecokelatan yang tampak seperti terbakar matahari dan rambut diikat ekor kuda. Penampilannya menunjukkan sosok yang energik.
Mungkin dari klub olahraga. Tubuhnya kecil, tapi terlihat gesit.
"Kamu Ozora Yohei-senpai, kan!?"
"...Iya, benar."
"Senang bertemu, Senpai! Namaku Kumori Hane dari kelas satu!"
Nada bicaranya penuh semangat, seolah tanda seru selalu ada di setiap akhir kalimatnya.
Sepertinya dia tidak merasa terganggu dengan suaranya yang lantang. Dari tadi, dia terus tersenyum lebar.
"Ada perlu apa?"
"Iya! Sebenarnya, aku dari klub jurnalis... dan aku ingin mewawancarai Senpai, kalau boleh!"
"Me... mewawancarai aku? Kenapa?"
Penampilannya, cara bicaranya, suasananya—aku benar-benar mengira dia dari klub olahraga, ternyata bukan. Tapi, lebih aneh lagi…
Aku bukan siapa-siapa. Hanya siswa biasa yang sama sekali tidak menarik. Kenapa dia ingin mewawancaraiku?
"Karena Senpai dekat dengan Hoshimiya Hime, kan?"
Oh, jadi itu alasannya.
Bukan aku yang jadi tujuan utamanya. Yang dia incar adalah... Hime.
"Seorang gadis delapan tahun yang misterius dan jenius! Tapi tiba-tiba, dia akrab dengan Senpai. Gosip itu sudah menyebar ke seluruh sekolah. Jadi aku ingin mendengar ceritanya langsung darimu!"
"...Gosip, ya."
Bahkan gadis kelas satu seperti Kumori-san sudah tahu. Rupanya, gosip ini sudah meluas ke seluruh sekolah. Tidak heran dari tadi aku terus merasa diawasi.
Aku penasaran. Seperti apa gosip yang beredar?
Dia anggota klub jurnalis. Pasti dia memiliki kepekaan tinggi terhadap berita dan rumor.
Kalau begitu, mungkin ini kesempatan untuk bertanya lebih jauh.
(Berbicara tentang Hime kepada orang lain memang terasa seperti memanfaatkannya, dan aku tidak suka itu... tapi maafkan aku, Hime.)
Aku akan meminta maaf besok saat bertemu dengannya.
Tapi sebelum itu, aku perlu memastikan isi gosipnya. Kalau ada rumor buruk, aku harus segera meluruskannya.
Aku tidak ingin ada yang membahayakan Hime. Sebagai kakak kelas, aku merasa bertanggung jawab untuk melindunginya.
Dengan pikiran itu, aku mengangguk pada Kumori-san.
Setelah menyetujui wawancara, aku diarahkan ke sebuah ruang kelas kosong yang sudah lama tidak digunakan.
Ruangan itu terletak di sudut lantai kelas satu. Akibat dampak penurunan angka kelahiran, ruangan ini tidak lagi dipakai untuk kegiatan belajar mengajar dan kini dimanfaatkan sebagai gudang sekaligus ruang kerja.
Di sepanjang dinding, terlihat peralatan yang sepertinya digunakan untuk festival budaya atau olahraga, diletakkan begitu saja tanpa banyak diatur.
"Kalau mengajukan izin, siapa pun boleh memakai ruangan ini! Jadi, biasanya ruang ini dipakai oleh klub jurnalis!"
Bagian tengah ruangan tampak lebih rapi. Beberapa meja ditata membentuk segi panjang, menciptakan area terbuka di sekitarnya. Kumori-san menarik salah satu kursi dan mengisyaratkanku untuk duduk di sana.
Aku menurut dan duduk. Namun, Kumori-san malah berdiri tegap di sebelahku, tidak bergerak sedikit pun.
Keadaan ini terasa canggung—aku duduk, sedangkan dia tetap berdiri.
"Kenapa kamu tidak duduk juga?"
"Aku? Ah, tidak mungkin aku melakukan hal yang tidak sopan seperti itu di depan Senpai!"
"… Klub jurnalis kok rasanya seperti klub olahraga, ya."
"Sampai SMP aku memang di klub atletik! Bekas didikan—eh, maksudku bimbingan dari pelatih, masih membekas sampai sekarang. Jadi, abaikan saja, Senpai!"
Oh, jadi begitu. Dari awal aku memang berpikir kulitnya yang cokelat dan gaya rambut ekor kudanya cocok dengan anak klub olahraga. Ternyata dugaanku benar.
"Aku mengalami cedera, jadi aku tidak bisa berlari lagi. Karena itu, sekarang aku mengalihkan fokus ke klub jurnalis, menulis artikel secepat aku dulu berlari!"
"...Begitu, ya."
"Hah? Eh, tadi aku merasa kata-kataku cukup keren, tapi kenapa Senpai terlihat tidak tertarik, ya?"
Karena reaksiku yang datar, Kumori-san tampak sedikit malu.
Aku sebenarnya berpikir itu cukup bagus, tapi aku memang tidak sedang dalam suasana hati untuk tertawa. Entah kenapa, sikapku jadi sedikit kasar.
"Ngomong-ngomong soal klub, kalian nggak punya ruang khusus, kah?"
"‘Klub dengan satu anggota saja tidak bisa dapat ruang khusus,’ kata sekolah."
"Hanya kamu sendiri di klub ini?"
"Jumlahnya satu, tapi semangatku serasa seratus orang, kok!"
Dia ceria sekali. Walaupun berada dalam situasi yang tidak ideal, Kumori-san tetap terlihat optimis.
Hanya dengan berbicara sebentar, aku bisa tahu bahwa dia bukan orang yang buruk.
Namun, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia dari klub jurnalis. Sebagai bagian dari media, mereka cenderung mencari sensasi.
Jika dia ingin menulis tentang Hime, kemungkinan besar itu untuk artikelnya. Aku masih khawatir kalau-kalau Hime ditulis dengan cara yang tidak baik. Kekhawatiran ini membuat sikapku terasa dingin.
"Soal wawancara, aku ingin bertanya sesuatu lebih dulu."
Sebelum sikapku semakin buruk, aku memutuskan untuk langsung berbicara.
"Kamu mau menulis artikel seperti apa?"
"Tentu saja tentang Hoshimiya Hime, Senpai!"
"Itu untuk sekadar bersenang-senang, ya?"
"…Hah?"
Kumori-san yang biasanya tidak peka akhirnya menyadari bahwa aku sedang berhati-hati. Senyum di wajahnya seketika menghilang, tergantikan oleh ekspresi tegang.
"Itu… tidak, maksudku…"
"Kalau kamu berniat menulis artikel yang mempermainkan Hime, aku minta jangan lakukan itu."
Aku sengaja memperingatkannya. Aku ingin dia menghindari hal-hal yang bisa merugikan Hime.
Seharusnya, peringatan ini cukup untuk membuatnya berpikir ulang.
Namun, Kumori-san tampak terpukul. Wajahnya menunjukkan kesedihan, dan matanya mulai terlihat berkaca-kaca. Eh, dia menangis?
"Artikel yang mempermainkan? Tidak mungkin aku melakukan itu. Aku malah kaget karena Senpai berpikir begitu…"
Dia terlihat sangat sedih. Air matanya hampir jatuh, tapi dia berusaha keras menahannya sambil menggigit bibirnya.
"Bulan lalu, Hoshimiya-senpai sempat menjadi topik di berita online, kan? Aku juga pernah mewawancarainya waktu itu. Artikel di koran sekolah mendapat respons yang bagus. Jadi, kali ini aku ingin menulis tentang sisi pribadi Hoshimiya-senpai yang lebih manis dan menggemaskan..."
Nada bicaranya pelan dan kehilangan semangat. Mendengar penjelasan itu, aku baru sadar.
(Gadis ini… orang baik!)
Stereotip soal media yang suka mencari sensasi ternyata tidak berlaku untuk Kumori-san.
Aku merasa malu karena langsung menilainya negatif hanya karena dia dari klub jurnalis.
"Hoshimiya-senpai itu sosok yang misterius. Karena itu, kebanyakan orang hanya tahu tentang dirinya dari gosip. Tapi Senpai berbeda. Karena itu, aku ingin tahu sisi menarik Hoshimiya-senpai dari sudut pandang Senpai. Maaf kalau aku jadi merepotkan…"
"Ti-tidak, aku yang harusnya minta maaf. Mungkin aku terlalu suudzon."
Aku buru-buru meminta maaf, tapi sepertinya sudah terlambat.
"Senpai tidak salah. Aku yang terlalu lancang…"
Dia tampak sangat lesu.
Ini tidak bagus. Dalam situasi ini, jelas aku yang salah.
Kekhawatiranku yang tidak perlu malah melukai perasaannya. Aku merasa sangat bersalah.
"Hime… Hime sangat suka makanan manis."
Sebagai bentuk permintaan maaf, aku memutuskan untuk membagikan satu fakta lucu tentang Hime.
"Terutama makanan berbahan cokelat. Kalau sedang memakannya, dia terlihat sangat bahagia."
"Wah!"
Ekspresi Kumori-san langsung berubah. Matanya bersinar penuh antusiasme.
"Itu sangat imut! Membayangkannya saja sudah bikin aku tersenyum."
"Kadang-kadang, dia terlalu tidak sabar. Sebelum mengunyah satu, dia sudah memasukkan yang lain. Pipi Hime jadi menggembung seperti tupai."
"Wow, keren! Ini yang aku ingin dengar dari tadi!"
Wajah suram Kumori-san benar-benar hilang. Dia kembali ceria sambil mencatat apa yang aku katakan dengan penuh semangat.
(Ternyata dia tidak berniat buruk sama sekali.)
Aku merasa malu karena sempat berpikiran negatif tentangnya.
Sebagai permintaan maaf, aku memutuskan untuk menjawab pertanyaannya sejauh yang aku bisa.
Aku tadinya mengira akan mendapat pertanyaan yang lebih sensasional.
Tentang rahasia Hime, sisi negatifnya, atau kekurangannya —hal-hal yang bisa membuatnya menjadi bahan ejekan yang lucu.
Namun ternyata tidak.
"Dia suka permen, sangat menyayangi kakaknya, dan sering tertawa saat hanya berdua dengan kakaknya... fuhaha. Hal-hal seperti ini yang ingin kudengar."
Yang ditanyakan Kumori-san kebanyakan hanya sisi sehari-hari dari Hime.
Dia menginginkan cerita-cerita ceria. Sama sekali tidak ingin mengganggu Hime, malah berusaha menemukan sisi manis yang akan membuatnya lebih dihargai.
"Judul artikelnya, mungkin begini... 'Sisi Tak Terduga dari Sang Hime!' Bagaimana? Ah, tentu saja aku akan meminta izin langsung kepada yang bersangkutan. Jangan khawatir soal itu!"
"Uh, iya. Aku mengerti. Maaf ya, tadi aku terlalu curiga."
"Ah, tidak masalah! Wajar saja jika aku dicurigai, karena tiba-tiba pada pertemuan pertama langsung meminta wawancara. Jangan terlalu merasa bersalah!"
Kumori-san tampaknya tipe orang yang tidak memusingkan hal kecil. Dia benar-benar terlihat tak mempermasalahkan kesalahanku tadi.
Setelah selesai bertanya, dia tampak puas sambil memeriksa memo yang telah ditulisnya.
Namun, saat memeriksa salah satu halaman, tangannya berhenti.
"…Senpai menganggap Hime sebagai teman yang sangat berharga, bukan?"
"Iya, tentu saja."
Pertanyaan itu mendadak, tapi jawabannya jelas. Aku sangat menghargainya.
Mendengar jawabanku, ekspresi Kumori-san berubah sedikit serius sebelum dia melanjutkan,
"Sebenarnya, ada rumor aneh yang beredar tentang Hime."
"Rumor aneh?"
"──Katanya, saat makan siang, dia selalu dijamu makan oleh kepala sekolah..."
Dia membaca memonya. Rupanya itu kumpulan rumor tentang Hime.
Mendengar suaranya yang seperti membaca tulisan, aku jadi yakin.
"Katanya juga, dia terus membaca buku sampai lewat waktu pulang, dan guru-guru tidak bisa menegurnya karena takut padanya…"
Itu rumor tanpa dasar—meskipun ada sedikit kebenaran yang dibelokkan, sehingga terkesan seperti kebohongan yang dibuat-buat.
"Karena aku tidak suka cerita tanpa bukti, aku tidak akan menyebarkannya, tapi… banyak yang percaya rumor seperti itu."
"Kumori-san, kau tidak suka rumor, ya?"
"Aku ini dari klub surat kabar! Informasi tanpa bukti itu sama saja dengan imajinasi liar."
Mendengar itu, aku merasa lega.
Aku tahu Kumori-san adalah seseorang yang bisa dipercaya untuk berada di pihak Hime.
"…Hime tidak makan siang dengan kepala sekolah. Dia hanya makan di ruang kepala sekolah bersama kakaknya, Hijiri-san."
Maka, aku memberitahunya. Lebih tepatnya, aku meluruskan fakta. Aku ingin menghilangkan rumor tak berdasar itu dengan memberikan kebenarannya.
"Dia membaca buku sampai waktu pulang karena menunggu kakaknya, Hijiri-san, yang sering terlambat pulang karena tugas OSIS. Dan juga Hime sendiri tidak pernah tinggal di sekolah sampai lewat jam."
"…Jadi cuma rumor kosong, ya."
Setelah mendengarnya, Kumori-san tersenyum kecil sambil mengangkat bahu.
"Baguslah. Dengan konfirmasi ini, aku jadi tahu kebenarannya. Kata-kata dari Ozora-senpai, yang dekat dengan Hime, tentu bisa dipercaya. Kalau aku mendengar rumor itu lagi, aku akan meluruskannya."
Baru saat itu aku sadar. Kumori-san menanyakan rumor itu padaku untuk memastikan kebenarannya.
Aku semakin yakin dia adalah orang yang bisa dipercaya.
Karena itu, aku akhirnya memutuskan untuk jujur dan bertanya tentang kekhawatiranku.
"Apakah ada rumor buruk tentang Hime, tidak?"
Jika memang ada, aku berharap Kumori-san mengetahuinya.
Itulah alasan aku bertanya.
"Hmm… yah, rumor yang realistis dan berpotensi disalahpahami sudah kudengar tadi. Tapi, ada satu rumor aneh lagi."
Tebakanku benar. Ada rumor aneh tentang Hime.
Kumori-san membalik-balik memonya, lalu berhenti di salah satu halaman. Tampaknya dia telah menemukan rumor yang dimaksud.
"Ada. Ini dia… Meski kelihatannya tidak masuk akal, dan sepertinya tidak ada yang benar-benar percaya, ini bisa sangat merusak citra Hime."
"Itu… apa?"
Seperti yang diharapkan dari klub surat kabar, dia memiliki banyak informasi. Berkat itu, aku akhirnya mendengar rumor yang sebelumnya tak kuketahui.
"──Katanya, Hime masuk sekolah ini hanya untuk menyelamatkan kakaknya, Hijiri-san, dari masuk dengan jalur belakang."
Kumori-san membaca memo itu dengan suara datar.
Namun, aku tidak bisa langsung memahaminya. Apa maksudnya masuk dengan jalur belakang?
"Itu maksudnya apa?"
"Pernahkah Ozora-senpai memikirkan alasan Hoshimiya Hime-senpai mendaftar di sekolah ini?"
Karena ditanya, aku mulai berpikir.
Alasan dia masuk? Hm? Alasan?
"Seorang gadis jenius yang bisa lulus lebih cepat dari universitas luar negeri, menurutmu, apa alasannya memilih sekolah ini?"
"Sepertinya… tidak ada."
Sekolah ini dikenal sebagai Shirakumo Gakuen. Nama resminya adalah Shirakumo International High School. Meski begitu, aktivitas pertukaran internasional yang sempat aktif dulu kini tidak lagi menonjol. Standarnya tidak berbeda jauh dari sekolah menengah biasa. Yang membuatnya sedikit berbeda hanyalah jumlah pelajaran yang berhubungan dengan hubungan internasional.
Secara tingkat akademik, sekolah ini tergolong "atas rata-rata" di tingkat kota, tetapi jelas bukan salah satu yang terbaik secara nasional.
Aku sendiri memilih sekolah ini hanya karena letaknya yang paling dekat dengan rumahku.
Jadi, tidak ada alasan jelas kenapa Hime harus repot-repot memilih sekolah ini.
"Yang tahu alasannya mungkin hanya Hime sendiri. Tapi ini memang hal yang membuat penasaran, kan? Kenapa Hoshimiya Hime ada di sekolah ini?"
"Iya, benar juga. Aku penasaran."
"Itulah kenapa rumor yang dianggap paling masuk akal adalah 'dia masuk untuk menyelamatkan kakaknya lewat jalur belakang'."
"…Tapi, itu rasanya jauh dari masuk akal."
Rumor ini terdengar terlalu mengada-ada bagiku.
Namun, mungkin aku berpikir begitu karena aku belum tahu banyak.
"Ozora-senpai, kamu tidak tahu? Ini sebenarnya cerita yang cukup terkenal."
Kumori-san tampak sedikit canggung sambil mengamati reaksiku.
Aku benar-benar tidak paham apa maksudnya. Saat aku diam, dia mendekatkan wajahnya sedikit dan berbisik pelan.
"Kakaknya, Hoshimiya Hijiri, ternyata… cukup bodoh."
Bodoh? Bodoh…?
Tidak, tidak mungkin. Aku hampir menyangkalnya—sampai bayangan Hijiri-san saat jam makan siang melintas di pikiranku, dan gerakan kepalaku berhenti.
Secara penampilan, dia adalah sosok kakak yang dewasa, anggun, dan tenang. Meskipun memiliki kepribadian santai, auranya menunjukkan kesopanan dan keanggunan, seolah dia adalah orang yang sangat cerdas.
Namun, setelah lebih sering berinteraksi dengannya, aku menyadari ada sisi ceroboh pada dirinya.
Kalau boleh jujur, mungkin ada sedikit sisi "bodoh" yang tak bisa diabaikan.
"Nilainya kabarnya yang terendah di angkatannya. Bahkan, katanya, teman-temannya tidak mau memperlihatkan nilai tes mereka kepadanya karena terlalu buruk."
"…Itu kan cuma rumor. Mungkin kenyataannya tidak separah itu?"
"Aku ingin percaya begitu, tapi... saat liburan musim semi, dia mengikuti semua kelas tambahan untuk siswa yang mendapat nilai merah. Aku tahu ini dari seseorang yang pernah cuti sekolah dan kebetulan mengambil kelas yang sama dengannya."
Oh tidak. Rumor ini rupanya cukup mendekati kebenaran.
Sepertinya cerita tentang Hijiri-san yang "bodoh" bukanlah sepenuhnya karangan.
"Tapi tetap saja, mengatakan dia masuk lewat jalur belakang itu terlalu berlebihan. Tak ada yang benar-benar mempercayainya, sih. Tapi mungkin karena terdengar menarik, cerita ini sering muncul kembali."
Hal ini mungkin terjadi karena Hime sendiri terlalu istimewa.
Keberadaannya yang mencolok membuatnya mudah dijadikan bahan pembicaraan, bahkan untuk rumor yang paling tak masuk akal sekalipun. "Kalau itu Hime, mungkin saja,"—begitulah pikiran orang-orang.
Ditambah lagi, fakta bahwa nilai Hijiri-san buruk membuat cerita ini seolah semakin masuk akal.
"Aku tahu Ozora-senpai memikirkan Hime, jadi aku hanya ingin memberitahumu."
"Hime tidak mungkin melakukan hal seperti itu."
"Tentu saja! Orang seperti Hoshimiya Hime tidak akan pernah melakukan hal selicik itu."
Kumori-san langsung memahaminya tanpa perlu penjelasan panjang.
Kalau begitu, sepertinya tak perlu ada yang aku tambahkan.
"Oh, sudah semakin sore, ya. Terima kasih banyak sudah mau berbagi banyak cerita hari ini! Kalau ada apa-apa lagi, aku harap aku bisa mewawancaraimu lagi!"
"Aku juga, terima kasih."
Dia telah berbagi informasi tentang berbagai rumor.
Dan yang lebih penting, dia tidak memperburuk atau menyebarkan rumor tersebut.
Kumori-san adalah salah satu dari sedikit orang yang membantu mencegah rumor-rumor aneh ini menyebar lebih jauh. Lagipula, aku sendiri tidak pernah mendengar rumor ini sebelumnya karena lingkaran pertemananku yang kecil.
Sepertinya tidak ada masalah besar.
Rumor yang ada, meski tidak benar, tidak termasuk dalam kategori berbahaya.
Aku mungkin terlalu waspada dan menjadi terlalu sensitif karenanya.
Aku merasa lega hingga tubuhku terasa lebih ringan.
(Untunglah, sepertinya ini tidak akan menyulitkan Hime.)
Mungkin karena aku terus memikirkan Hime, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Saat kembali ke kelas untuk mengambil barang-barangku, aku melihat sesuatu yang membuatku terkejut.
"…Hime?"
Seorang siswi perempuan duduk di sana. Lebih tepatnya, dia duduk di kursi Hime.
Karena dia sedang menelungkup di meja, aku hanya bisa melihat punggungnya. Ditambah lagi, kelas sedang gelap karena lampu dimatikan, membuat sosoknya sulit terlihat dengan jelas.
Itulah sebabnya aku tanpa sadar memanggilnya, meskipun aku tahu bahwa Hime sudah pulang hari ini. Aku tak sengaja mengucapkan namanya.
Namun, segera aku menyadari sesuatu.
Rambutnya berwarna cokelat, dengan gelombang lembut yang tidak asing.
"Bukan Hime-chan, tahu~."
Mendengar suara itu, aku menyalakan lampu kelas dan akhirnya bisa memastikan.
Dia bukan Hime. Namun, karena dia adalah orang yang dekat dengan Hime, dugaanku tidak sepenuhnya salah.
"Maaf. Jadi Hijiri-san, ya."
"Iya~ ini Hijiri-san~... Tapi, hei, kenapa kelihatannya kamu kecewa sih?"
Nada bicaranya yang santai dan candaannya lebih membuatku lemas daripada tertawa.
Hanya berbicara dengannya saja sudah cukup untuk membuatku merasa rileks—bahkan tubuhku seakan kehilangan tenaga.
"Mengapa Hijiri-san ada di sini?"
"Karena aku ingin bertemu Yohei~."
"Ha? Kenapa?"
"Itu bohong~," katanya sambil tersenyum.
"Jadi bohong, ya..."
"Fufu, jadi deg-degan? Atau malah kesal?"
Yah... mungkin sedikit dari keduanya.
Di ruang kelas setelah jam sekolah, biasanya ini adalah waktu aku sendirian bersama Hime. Namun, kali ini aku bersama kakaknya, Hijiri-san. Rasanya sedikit aneh.
"Tapi, kelihatannya Yohei lebih ingin bertemu Hime-chan daripada aku, ya. Jadi, nggak mungkin deg-degan, kan?"
"Bukan seperti itu."
"Tapi mukamu kelihatan seperti itu, loh~."
Sepertinya dia sedang menggodaku.
Ini pertama kalinya aku berbicara dengan Hijiri-san tanpa Hime di sekitar.
Berdua dengan Hijiri-san, yang terkenal sebagai gadis tercantik di sekolah.
Kalau ini terjadi kemarin, aku pasti gugup. Ditambah lagi, digoda seperti ini rasanya seperti mimpi.
Tapi karena aku sudah cukup tahu kepribadiannya, anehnya aku merasa tenang sekarang.
(... "masuk lewat jalur belakang.")
Gosip yang diceritakan Kumori-san terus terngiang di kepalaku.
Bahkan saat aku bertatap muka langsung dengannya sekarang, aku tidak bisa menghilangkan pikiran itu.
Jika dibilang secara baik, dia terlihat sedikit pelupa. Kalau dibilang secara buruk... yah, dia terlihat cukup ceroboh.
Tentu saja, aku sama sekali tidak berniat menanyakannya langsung. Tapi pikiran itu tetap mengganjal di sudut pikiranku. Mungkin karena gosip itu masih baru, aku belum bisa memprosesnya sepenuhnya.
Aku harus melupakannya. Itu cuma gosip.
"Jadi, kenapa kamu ada di sini? Bukannya kelasmu sama aku beda ya, Hijiri-san?"
Hari sudah semakin malam, dan aku tidak punya banyak waktu untuk mengobrol. Jadi aku langsung menanyakan hal yang ingin kutahu.
"Aku di sini karena alasan yang sama denganmu, Yohei~. Aku sedang menunggu Hime-chan."
"Tapi Hime bilang dia ada rapat penelitian dan sudah pulang lebih dulu."
"......?????"
Ekspresi Hijiri dipenuhi kebingungan. Seperti seseorang yang diminta arah jalan dengan bahasa asing.
"Hime bilang dia ada rapat online. Katanya, jemputannya juga sudah datang."
Aku mencoba menjelaskan ulang dengan perlahan.
"Lalu, kenapa kamu masih di sini? Bukannya kamu menunggu Hime-chan?"
"Aku baru saja selesai dengan urusanku."
"Umm... ah!"
Hijiri-san akhirnya tampak mengingat sesuatu.
"Oh iya, kayaknya dia memang bilang kalau hari ini dia pulang cepat."
"Kamu lupa, ya, Hijiri-san?"
"Nggak, aku nggak lupa! Aku dengar, cuma aku nggak ingat saja!"
Tapi bukankah itu artinya lupa?
"Kamu nggak curiga waktu lihat Hime nggak ada di sini?"
"Umm... aku pikir dia mungkin lagi ke toilet. Aku sudah di sini sekitar sepuluh menit, sih. Sempat merasa dia agak lama, sih, tapi..."
"Yah, aku nggak meragukannya kok."
Karena lampu kelas masih mati, aku tahu Hijiri-san belum lama di sini. Sepertinya dia berniat menemui Hime dan langsung pulang setelahnya.
"Hari ini kamu juga punya tugas OSIS, kan?"
"Iya. Karena selesai lebih awal, aku pikir aku bisa jemput Hime-chan. Tapi ternyata..."
Hijiri-san terlihat sangat kecewa karena melupakan Hime. Dia menghela napas panjang dan terlihat benar-benar lemas.
"──Aku ini benar-benar nggak berguna, ya."
Daripada berbicara padaku, ini terdengar lebih seperti gumaman kecil yang tanpa sengaja keluar dari mulutnya.
Hijiri-san yang biasanya santai dan ceria kini melontarkan komentar yang negatif.
"Aku bukannya mengabaikan Hime-chan, kok. Aku selalu mendengarkan dia dengan serius. Tapi entah kenapa, tanpa sadar, aku sering lupa hal-hal yang dia katakan."
Aku tahu Hijiri-san tidak bermaksud meremehkan Hime. Dia hanya ingin menjelaskan bahwa dia peduli dengan adiknya. Dari sikapnya, aku paham bahwa Hime sangat berarti baginya.
Tapi mungkin, karena dia begitu menyayangi adiknya, dia merasa kecewa pada dirinya sendiri sebagai seorang kakak.
"Aku ini buruk dalam mengingat sesuatu. Bukan cuma soal belajar, tapi juga janji-janji kecil. Hari ini saja, aku lupa membawa bekal makan siangku. Untung Hime memperhatikanku dan membawakannya."
...Rasanya suasana berubah.
Biasanya, Hijiri-san selalu ceria saat bersama Hime. Tapi sekarang, dia terlihat murung dan sering menghela nafas.
"Aku suka makan, jadi aku selalu yakin kalau aku nggak akan lupa bawa bekal. Karena itu, aku bahkan menawarkan diri untuk membawa bekal kita berdua. Tapi belum lama ini aku lupa, dan akhirnya aku dan Hime jadi lapar bersama."
(Mungkinkah saat itu...)
Mendengar cerita itu, sebuah kenangan muncul di benakku. Saat aku pertama kali memberikan camilan kepada Hime, perutnya berbunyi "grrr~". Rupanya, penyebabnya adalah Hijiri-san.
"Sejak saat itu, setiap kali Hime akan pergi, dia selalu memastikan aku sudah membawa bekal. Jadi, meskipun aku lupa, seperti hari ini, Hime akan membantuku. Tapi rasanya aku benci pada diriku sendiri yang bahkan tidak bisa membawa bekal makan siang."
Hijiri menatap ke arahku, tetapi matanya tampak kosong. Fokusnya seperti melayang, seakan kata-katanya bukan ditujukan langsung padaku. Mungkin dia sedang meluapkan keluh kesah yang selama ini terpendam. Sekali keluar, sulit untuk dihentikan.
"Hime punya ingatan yang sangat baik, sementara aku... kenapa aku seburuk ini? Sebagai kakak, aku benar-benar memalukan, ya."
Mungkin ini adalah beban yang dialami oleh seseorang yang memiliki adik yang begitu berbakat. Dibandingkan dengan adiknya sendiri, Hijiri-san tampak semakin tenggelam dalam rasa tidak percaya diri.
"Aku rasa kamu tidak memalukan. Kamu bahkan bisa menjadi wakil ketua OSIS."
"…Itu hanya untuk meningkatkan nilai tambahku. Aku buruk dalam pelajaran, jadi setidaknya aku perlu meninggalkan kesan baik kepada guru-guru, supaya bisa tetap naik kelas."
Nada bicaranya lembut, tetapi dengan jelas dia menolak simpati dangkalku.
"Bahkan, karena tugas OSIS itu, aku sering membuat Hime menunggu sampai sore. Meski dia selalu berkata 'tidak masalah,' aku tahu aku menyusahkan dia. Kalau saja aku lebih kompeten, aku tidak perlu mengkhawatirkan nilai tambah atau tugas OSIS, dan aku bisa langsung pulang bersama Hime. Aku benar-benar kakak yang buruk."
"Tidak, aku rasa—"
Aku tahu Hijiri-san tidak mencari penghiburan, tetapi aku tetap merasa ingin mengatakan sesuatu. Namun, reaksinya tajam.
"Tidak, aku memang seperti itu."
Kali ini, dia menolak dengan tegas. Tidak ada nada bercanda seperti biasanya.
"Karena aku kakaknya yang bodoh, aku selalu membebani Hime-chan. Aku tidak bisa membawa bekal sendiri, jadi aku menyusahkannya. Dia tidak pernah marah, tapi aku tahu dia khawatir."
Hijiri-san terus berbicara, seolah-olah perasaannya yang terpendam meledak.
"Dia bahkan memilih sekolah yang sama denganku karena tidak bisa meninggalkanku sendiri. Ah…"
Hijiri-san tiba-tiba berhenti, menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sepertinya dia tidak bermaksud mengatakan itu.
"Maaf, Yohei. Kamu enak diajak bicara, jadi aku jadi kebablasan. Lupakan saja, ya? Tolong lupakan!"
Dia tampak cemas, seperti berharap aku tidak melanjutkan percakapan ini.
Seandainya aku mengangguk setuju, dan berkata, "Iya, Hijiri-san. Kamu hanya terlalu memikirkan ini," mungkin itu bisa menyelesaikan masalah tanpa membuatnya semakin tidak nyaman.
Namun, mengabaikan sesuatu yang penting hanya akan menimbulkan penyesalan. Aku tahu itu dari pengalaman masa lalu.
"Untuk melupakan ini... aku rasa aku sudah terlalu dekat dengan Hime."
Aku menatap matanya dan menggeleng pelan.
"Kalau aku mengabaikannya, apa itu tidak apa-apa?"
"Kalau boleh, aku ingin mendengarnya. Tapi, kamu tidak harus memaksakan diri."
"Tidak adil banget, sih. Ya sudahlah."
Hijiri-san menghela nafas, lalu perlahan mengangkat tubuhnya.
"Ini bukan cerita yang besar, kok. Hanya tentang betapa menyedihkannya aku dan betapa Hime itu seperti malaikat."
"Hime itu malaikat? Kalau begitu, aku makin penasaran."
"…Sebenarnya, Hime tidak perlu sekolah di Jepang. Dia sudah mendapat gelar setara lulusan universitas di luar negeri. Tapi, ketika aku memutuskan untuk bersekolah di sini, dia tiba-tiba berkata ingin sekolah di sini juga."
Pernyataannya mengingatkanku pada gosip yang Kumori-san ceritakan tentang alasan sebenarnya Hime bersekolah di sini.
"Hime-chan ada di sekolah ini karena aku."
Jadi, karena ada kakaknya di sini, Hime memutuskan untuk masuk ke sekolah yang sama.
"Dia khawatir padaku, tidak bisa meninggalkanku sendirian, jadi dia ingin tetap dekat denganku. Kalau aku melakukan kesalahan, dia langsung membantu. Dia itu adik yang baik, manis, dan sangat aku sayangi. Karena itu, sebagai kakak, aku merasa menyedihkan dan menyesal karena membebani dia."
Mendengar pengakuan itu, aku… tanpa sadar tertawa kecil.
Tentu saja, aku tidak bermaksud mengejeknya. Hanya saja, cerita itu terasa sulit dipercaya.
"Menurutku Hijiri-san bukan seperti itu kok."
Kata-kata penolakan itu keluar tanpa kusadari, sama seperti sebelumnya.
"…Aku bilang memang seperti itu, kan?"
Ekspresi Hijiri-san berubah sedikit tegang. Sepertinya dia merasa kesal karena pendapatnya dianggap tidak serius.
Namun kali ini, aku benar-benar tulus dengan ucapanku.
"Tidak, Hime tidak mungkin menganggapmu sebagai beban."
Aku bisa mengatakan itu dengan yakin.
Meski aku tidak bisa memastikan isi hati Hime yang sesungguhnya, aku merasa tidak mungkin salah menebak perasaannya terhadap Hijiri-san.
"Soalnya, Hime sangat menyayangimu."
Saat makan siang bersama tadi, aku menyadarinya. Mereka benar-benar terlihat seperti kakak beradik yang sangat dekat.
"Memang benar dia mengkhawatirkanmu, tapi itu bukan satu-satunya alasan. Hime menyayangimu, makanya dia mau bersekolah di sini bersamamu."
"…Kenapa kamu berpikir begitu? Kalau dia hanya menyayangiku, dia tidak perlu sampai masuk sekolah yang sama, kan?"
"Benarkah begitu? Menurutku, begini alasannya."
Saat Hime bersama Hijiri-san, dia terlihat jauh lebih alami dibanding saat bersama orang lain, termasuk aku.
Hime tampak seperti benar-benar nyaman berada di sisi kakaknya.
"Dia tidak mau jauh dari kakak yang sangat disayanginya. Dia ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersamamu. Karena itulah dia memilih sekolah yang sama."
Meskipun Hime terlihat dewasa, usianya sebenarnya baru delapan tahun.
Menurutku wajar jika seorang anak seusianya ingin selalu berada di dekat orang yang paling dia sayangi karena rasa takut kesepian.
"Kamu tidak menjadi beban untuknya. Malahan, keberadaanmu membantu Hime."
"Aku… membantu Hime?"
"Ya, aku yakin begitu."
Jangan salah paham.
Sebagai orang luar, aku melihat hubungan mereka sebagai kakak beradik yang luar biasa. Karena itu, aku ingin meluruskan pandangan Hijiri-san.
Aku bisa memahami perasaan Hijiri-san yang merasa tidak cukup baik jika dibandingkan dengan adiknya yang begitu berbakat.
Sudut pandang Hijiri-san juga tidak sepenuhnya salah. Jika dilihat dari sisi tertentu, mungkin memang bisa dianggap seperti itu.
Namun, aku ingin Hijiri-san tahu bahwa ada sudut pandang lain.
Dan aku percaya, karena Hijiri-san sangat menyayangi Hime, dia pasti bisa mengerti dari sudut pandang ini juga.
"……"
Hijiri-san terdiam beberapa saat, menatapku dengan pandangan kosong.
Mungkin dia sedang mencoba mencerna apa yang baru saja kukatakan.
Setelah sekitar sepuluh detik berlalu, dia tiba-tiba menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya.
"Aku nggak nangis, kok."
"Aku bahkan nggak bilang apa-apa."
"Aku nggak nangis… hiks…"
Mungkin kata-kataku benar-benar menyentuh hatinya.
Kalau memang begitu, aku senang sekali.
Aku rasa, jauh di lubuk hatinya, Hijiri-san sudah tahu.
Kalau tidak, kata-kataku tidak akan berdampak sebesar ini.
…Sepertinya, baik kakak maupun adik, mereka saling menyayangi satu sama lain dengan sangat dalam.
(Pada akhirnya, gosip hanyalah gosip.)
Apa-apaan tentang masuk sekolah lewat jalur belakang? Jelas itu bukan alasan sebenarnya.
Hime bersekolah di sini karena dia sangat menyayangi kakaknya.
Aku yakin, mereka akan baik-baik saja.
Melihat hubungan mereka yang begitu dekat membuatku lega.
Aku percaya, mulai sekarang dan seterusnya, kedua kakak beradik Hoshimiya ini akan terus menjaga hubungan baik mereka.
Saat aku menyadari sekeliling, langit sudah berwarna jingga keemasan.
Musim panas semakin dekat, dan hari-hari menjadi lebih panjang. Waktunya sudah melewati sore, dan para anggota klub baseball di lapangan telah menyalakan lampu.
Aku sedang memikirkan betapa mengagumkannya para pemain baseball SMA itu… ketika sudah kusadari Hijiri-san sudah berhenti menangis.
Atau mungkin dia memaksa dirinya untuk berhenti menangis.
Dengan wajah datar, dia menatapku. Seolah ingin mengatakan,
"Aku nggak menangis, kok."
"…Tapi ingusmu kelihatan tuh."
Banyak bukti yang tersisa: sisa air mata di pipinya, ingus yang menetes, mata dan hidung yang memerah. Membiarkan semuanya tanpa komentar akan terasa aneh.
"Bilang aja aku nggak nangis, ya?"
Hijiri-san akhirnya menyerah mempertahankan gengsinya. Dengan suara pelan, dia memohon sambil menekan hidungnya dengan saputangan.
"Menurutku, menangis itu nggak memalukan, kok."
"Bukan begitu. Kakak itu adalah seseorang yang nggak boleh nangis. Kalau aku nangis, adikku jadi cemas, kan?"
Perkataan itu mengingatkanku pada kakakku sendiri.
Dulu, aku ingat kakakku selalu tersenyum. Mungkin karena perbedaan usia kami cukup jauh, tapi aku tidak pernah melihat dia menunjukkan wajah sedih di depanku.
Mungkin itu semacam kebanggaan sebagai seorang kakak.
"Aku lengah banget, ya. Nggak nyangka aku sampai dibuat nangis sama Yohei."
Hijiri-san mengatakannya dengan sedikit tertawa kecil, tapi pandangannya terlihat agak menyalahkan.
"Aku kan berusaha keras jadi 'kakak' yang baik. Kamu harusnya sedikit lebih peka dong."
…Dari tadi aku terus memikirkan satu hal.
(Memang berbeda.)
Atmosfernya, cara bicaranya, sikapnya… semua terasa berbeda dibanding saat Hijiri-san bersama Hime.
Jujur, aku sedikit terkejut.
Biasanya dia terlihat seperti gadis cantik yang selalu ceria, santai, dan tanpa beban. Aku pikir dia adalah tipe orang yang tidak punya kekhawatiran apa pun—hidup hanya untuk makan, tidur, dan bahagia. Tapi kenyataannya tidak begitu.
Hijiri-san memiliki alasan tersendiri mengapa dia bertindak seperti itu.
Artinya, dia bukan seseorang yang bodoh atau hidup tanpa memikirkan apa pun.
"Meski aku ini kakak yang nggak bisa apa-apa, aku ingin memastikan Hime-chan nggak pernah merasa cemas."
Itulah alasan Hijiri-san selalu tersenyum.
Dengan sikapnya yang lembut dan santai, dia ingin membuat semua orang di sekitarnya… atau lebih tepatnya, Hime, tetap tersenyum bahagia.
"Oh, jadi begitu ya," gumamku tanpa sadar.
Anehnya, Hijiri-san juga mengatakan hal yang sama pada saat yang bersamaan. Kami bertukar pandang dan spontan tertawa bersama.
"…Aku rasa sekarang aku tahu kenapa Hime-chan sangat dekat denganmu, Yohei."
"…Dan aku rasa aku tahu kenapa Hime begitu menyayangimu, Hijiri-san."
Dengan mengucapkan itu, aku sadar bahwa kami memikirkan hal yang sama. Tawa kami semakin lepas.
"Fufu. Jadi, siapa yang mau duluan?"
"Kalau begitu, aku saja dulu."
Aku ingin menjelaskan kepada Hijiri-san dengan kata-kata, kenapa Hime begitu menyayanginya.
"Hime tahu, lho. Dia sadar bahwa kamu sengaja bertingkah ceria di depannya. Karena dia anak yang cerdas, dia juga memahami perasaan lembutmu itu. Karena itulah, dia sangat menyayangimu."
"Hmm. Itu membuatku merasa… cukup tersanjung, ya."
Hijiri-san tersenyum lebar, wajahnya penuh kebahagiaan.
Kakak beradik yang saling menyayangi. Meskipun Hijiri-san mencoba menyembunyikannya dengan sikap bercanda, wajahnya yang berseri-seri menunjukkan segalanya.
Entah Hime yang mirip Hijiri-san, atau Hijiri-san yang mirip Hime.
Yang jelas, mereka adalah kakak beradik yang polos dan tulus.
"Haaa… kalau ada Yohei, semuanya jadi terasa ringan. Pipiku, kewaspadaanku, bahkan hatiku, semuanya jadi santai."
"Termasuk saluran air matamu?"
"Apa itu? Aku nggak tahu istilah kayak gitu!"
Kini gilirannya memujiku… atau mungkin mengejekku, aku kurang yakin.
"Yah, aku sadar sih kalau aku nggak punya kewibawaan."
"Dalam arti yang baik."
"Itu benar-benar pujian, ya?"
"Fufu. Kamu mungkin merasa itu aneh sebagai laki-laki. Tapi, berada di sampingmu membuatku merasa sangat nyaman. Aku jadi bisa benar-benar rileks, entah itu baik atau buruk."
"Begitu ya? Kalau begitu, mungkin itu hal yang baik."
"Benar. Itu sebabnya Hime selalu nyaman saat bersamamu."
…Jadi itulah alasan Hime begitu dekat denganku, ya.
Aku langsung menyadarinya. Ekspresi serius yang tadi terlihat di wajah Hijiri-san kini sudah tidak ada.
Seolah-olah dia ingin mengatakan, "Waktunya menunjukkan sisi yang serius sudah selesai."
"Ya, ya. Aku sudah tahu kamu bukan orang jahat karena Hime-chan suka padamu. Tapi setelah berbicara langsung denganmu, aku merasa lega."
Mungkin tadi dia sedang mengamatiku untuk memastikan apakah aku adalah teman yang aman bagi adik tercintanya.
Dan mungkin aku sudah "lulus ujian" itu.
Kalau begitu, mendapatkan persetujuan dari kakaknya adalah sesuatu yang patut disyukuri.
"Aku juga senang kita bisa akrab, Yohei"
Aku pun merasa lega. Hubunganku dengan Hijiri-san tampaknya akan berjalan baik.
Sepertinya dia juga merasakan hal yang sama. Itu kabar baik.
"……..."
Ada jeda sesaat. Pembicaraan terhenti, menciptakan keheningan di antara kami.
"Eh… anu…"
Di saat itu, Hijiri-san berdiri dari tempat duduknya dan melangkah mendekat ke arahku. Hanya satu langkah.
Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, menerangi wajahnya. Mungkin karena efek cahaya itu, wajahnya terlihat lebih merah dari biasanya. Dengan ekspresi seperti itu, dia berkata dengan pelan:
"Jadi… apa pun yang Hime-chan bilang ke kamu, jangan terlalu dipikirkan, ya. Jangan merasa aneh atau terlalu sadar, cukup mulai saja sebagai teman biasa… aku akan senang kalau begitu."
"Hah? Maksudnya… apa?"
Aku tidak mengerti apa yang dia maksud.
Tentu saja aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi…
"Pokoknya begitu, ya! Sampai jumpa, Yohei."
Hijiri-san langsung berbalik dan berjalan pergi dengan langkah cepat, seolah melarikan diri.
Aku bahkan tidak sempat menanyakan apa pun.
"Eh, sampai besok…"
Yang bisa kulakukan hanya melambaikan tangan. Apa yang barusan terjadi?
Apakah ada sesuatu yang Hime katakan tentangku sehingga aku harus memikirkannya? Tunggu, mungkin ada…
("Tolong menikahlah dengan kakakku!")
Kejadian kemarin langsung terlintas di pikiranku. Suara Hime kembali terngiang-ngiang di kepala.
"──Jadi soal pernikahan, ya."
Setelah mengucapkannya dengan suara keras, aku semakin yakin.
Kemungkinan besar aku benar. Sepertinya, Hijiri-san sudah mengetahui soal pernikahan itu sejak awal.
"Benar-benar aku tidak menyadarinya…"
Aku benar-benar mengira dia tidak tahu soal pembicaraan tentang pernikahan itu. Sikap Hijiri-san yang begitu alami membuatku salah paham.
Dia tidak menunjukkan kewaspadaan aneh terhadapku, juga tidak berlebihan dalam bersikap. Dia berinteraksi denganku dengan tenang, seperti teman sekelas yang baru pertama kali bertemu.
Dan itu terhadap seseorang yang tiba-tiba diminta adiknya untuk menjadi calon suaminya.
(Sejujurnya, aku tidak bisa memahami dia.)
Rasanya seperti punggungku sedikit merinding.
Hijiri-san sebenarnya telah mengamati aku sepanjang hari ini.
Jika ada sedikit saja tingkah laku yang mencurigakan dariku, dia mungkin akan menyarankan Hime untuk menjaga jarak dariku.
Dia pasti ingin melindungi adiknya sebagai seorang kakak.
Aku tidak bermaksud menyalahkannya atas hal itu. Bahkan, aku merasa lega mengetahui dia jauh lebih perhatian dari yang kuduga. Dengan kakak seperti Hijiri-san, aku yakin Hime berada dalam perlindungan yang baik.
Namun, aku benar-benar lengah. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa aku sedang diawasi olehnya.
(Apakah mungkin dia juga melihat saat aku berbicara dengan kepala sekolah?)
Aku teringat ketika pertama kali bertemu Hijiri-san.
Dia muncul tepat ketika aku hampir terlibat adu argumen dengan kepala sekolah. Kehadirannya menghentikan situasi itu sebelum menjadi buruk. Waktu itu, aku merasa kemunculannya terlalu tepat. Dan sekarang, aku semakin yakin bahwa itu disengaja.
Sejak saat itu, aku sudah mulai dinilai olehnya.
"‘Lulus’, ya."
Kupikir itu berarti aku diterima sebagai teman Hime. Tapi… apakah mungkin penilaian itu juga termasuk sebagai calon pasangan…? Tidak, itu terlalu jauh.
Tidak mungkin dia bisa menilai sejauh itu hanya dari interaksi sederhana ini. Aku tahu itu hanya pikiranku yang terlalu jauh.
Tapi tetap saja, kesadaranku meningkat tiba-tiba, dan detak jantungku terasa lebih cepat. Aku sangat terkejut karena tidak menduga hal ini sama sekali.
"Haaah… pulang saja, deh."
Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu meraih tasku. Meski jantungku masih berdetak cepat, aku tahu tidak ada gunanya memikirkan ini terlalu dalam.
Hijiri-san sudah mengatakan agar aku tidak terlalu memikirkannya dan memulai sebagai teman biasa.
Kalau begitu, aku akan berusaha bersikap natural. Itu akan lebih baik, baik untukku maupun untuk Hijiri-san.
(…Entah kenapa, aku ingin bertemu Hime.)
Banyak yang terjadi setelah jam sekolah hari ini.
Wawancara dengan Kumori-san, mendengar gosip aneh, menenangkan Hijiri-san, dan dinilai olehnya… Jika aku bilang aku tidak lelah, itu pasti bohong.
Aku ingin sedikit menenangkan diri.
Mungkin karena itulah, aku merasa sangat ingin berbicara dengan Hime sekarang.
Keesokan harinya, aku berangkat lebih pagi dari biasanya.
Karena kurang tidur, semalam aku tertidur dengan nyenyak, jadi pagi ini aku merasa segar.
Aku bangun lebih pagi, sarapan dengan baik, tetapi entah kenapa ibuku masih saja mengeluh, "Kalau saja kamu selalu seperti ini."
Aku hanya menanggapinya dengan santai, lalu seperti biasa mampir ke minimarket sebelum menuju sekolah.
Biasanya, aku tiba di sekolah sekitar sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi.
Hime biasanya sudah ada di sekolah pada waktu itu, dan bertukar salam dengannya sudah menjadi rutinitasku. Tapi hari ini, karena aku tiba tiga puluh menit lebih awal, Hime masih belum ada di sana.
Sepertinya aku memang datang terlalu pagi. Dengan sedikit rasa kecewa karena tidak melihatnya, aku pun duduk di kursiku.
Saat itulah:
"...Ah!"
Baru beberapa detik aku duduk, mataku tertuju pada pintu kelas.
Di sana berdiri seorang gadis berambut perak yang sedang menatapku dengan mata terbelalak. Namun, keterkejutannya hanya berlangsung sesaat. Ia segera berjalan cepat mendekatiku.
"Selamat pagi, Yohei-kun."
Hime membungkukkan tubuhnya dengan sopan seperti biasa. Tapi ketika dia mengangkat kepalanya, dia melompat sedikit, dan senyumnya yang cerah membuatnya tampak sangat bahagia.
Melihat rambut peraknya yang bergoyang lembut, aku secara alami tersenyum.
(Memang imut sekali ya Hime.)
"Selamat pagi, Hime."
"Aku terkejut karena kamu datang lebih awal dariku."
"Sebetulnya, aku tidur terlalu lama dan bangun pagi-pagi sekali."
"Tidur lebih awal dan bangun lebih awal itu kebiasaan yang baik. Yohei-kun, hebat, hebat."
Hime menepuk-nepuk lenganku dengan lembut, seolah memujiku.
Dipuji seperti itu rasanya menyenangkan, bahkan meskipun yang memujiku adalah gadis berusia delapan tahun.
"Bagaimana kabarmu, Hime? Kemarin saat makan siang kamu tidak makan apa-apa, jadi aku agak khawatir."
"Tenang saja, aku sangat sehat! Berkat camilan yang Yohei-kun berikan, diskusi untuk penelitian juga berjalan lancar. Terima kasih banyak."
"Kalau aku bisa membantumu, aku senang sekali."
"Iya. Ditambah lagi, hari ini aku bisa bertemu dengan Yohei-kun sejak pagi-pagi, jadi aku jadi semakin semangat!"
…Ah, rasanya nyaman sekali.
Perasaan tulus tanpa kepura-puraan ini membuat hatiku hangat.
Berada di dekat anak ini selalu membuatku merasa tenang.
Tentu saja, ini bukan berarti Hijiri-san atau Kumori-san sulit didekati, hanya saja Hime memiliki keistimewaan tersendiri... Ngomong-ngomong soal itu.
"Hime, sebenarnya aku ingin minta maaf untuk sesuatu."
Aku tiba-tiba teringat soal Kumori-san.
"Kemarin, Kumori-san dari klub koran mewawancarai aku dan memintaku menceritakan tentangmu. Saat itu, aku banyak berbicara tentangmu… Maaf ya, aku melakukannya tanpa izin."
Aku memutuskan untuk meminta maaf secara langsung atas tindakan itu.
Meskipun aku tidak mengatakan hal yang buruk, tetap saja aku merasa harus menyampaikan permintaan maafku.
"Tidak masalah kok! Tidak perlu minta maaf."
Hime tampak sama sekali tidak marah.
Dia malah terlihat bingung, seolah tidak mengerti kenapa aku meminta maaf.
"Kumori-san juga pernah mewawancarai aku sebelumnya."
"Oh ya, dia sempat menyebutkan itu. Katanya dia mewawancara soal penelitianmu."
"...Ngomong-ngomong, apa yang Yohei-kun ceritakan tentang aku?"
"Banyak bicara tentang betapa imutnya kamu."
"Eh? Aku imut, katanya… Ehehe…"
Bukannya marah, dia malah terlihat senang.
Sepertinya, Hime juga tidak tahan kalau dipuji.
Wajahnya langsung memerah karena malu, membuatnya semakin terlihat manis dan imut, benar-benar seperti dirinya yang biasa──.
Post a Comment