Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 3
"Suka Banget" yang Polos
Pagi hari. Saat aku keluar rumah, mataku langsung silau oleh sinar matahari yang terang benderang.
Awal bulan Juli. Berita mengatakan musim hujan akan berakhir sekitar satu minggu lagi, tapi rasanya seperti sudah selesai. Beberapa hari terakhir, cuaca terus cerah.
Aku tidak suka musim hujan. Tapi bukan berarti aku menyukai musim panas. Jika harus memilih, aku lebih menyukai musim dingin karena lebih nyaman. Jadi, musim seperti sekarang ini bukan favoritku.
"Panas sekali."
Tanpa sadar, aku mengeluh pada diri sendiri karena suhu yang sangat tinggi. Awan hujan yang baru saja kuejek kini terasa dirindukan. Sebagai bentuk perlawanan kecil, aku berjalan menyusuri bayangan dinding menuju minimarket.
Di dalam toko, udaranya sangat dingin. Begitu dingin hingga hampir terasa seperti musim dingin. Perbedaan suhu ini rasanya bisa membuatku masuk angin.
Seperti biasa, aku datang untuk membeli makan siang dan camilan. Aku mengambil bekal yakiniku yang langsung menarik perhatianku, lalu menuju ke bagian camilan. Untuk memudahkan Hime membawanya, aku memilih camilan yang berukuran kecil dan dikemas satu per satu… Namun, tanganku tiba-tiba berhenti.
(Mulai hari ini, Hime akan tinggal di sekolah lagi setelah jam pelajaran selesai.)
Sepertinya penelitian yang ia kerjakan sudah mencapai tahap akhir. Artinya, kami punya waktu untuk makan cemilan bersama lagi. Jadi, aku tidak perlu terlalu memikirkan ukuran atau kemasan camilan yang kupilih.
Sudah seminggu sejak terakhir kali kami melakukannya. Rasanya sudah lama sekali.
Tentu saja, selama ini kami masih berbicara di sela-sela jam pelajaran, atau makan siang bersama Hijiri-san di ruang kepala sekolah. Tapi, waktu berdua saja setelah jam sekolah selesai terasa lebih spesial.
Aku benar-benar menantikannya.
(Tunggu, ini terlalu banyak untuk dimakan.)
Aku baru sadar kalau aku hampir membawa semua camilan ke kasir. Secara tidak sadar, tanganku terus memilih ini dan itu untuk Hime. Dengan berat hati, aku mengembalikan sebagian ke rak.
Setelah membayar, aku keluar dari minimarket dan langsung disambut oleh udara panas yang menyelimuti kulitku.
Panas. Tapi anehnya, kali ini rasanya tidak terlalu mengganggu.
Langkahku menuju sekolah terasa lebih ringan dari biasanya.
"Entah kenapa rasanya sudah lama sekali."
Setelah jam sekolah selesai, sementara yang lainnya bersiap untuk pulang, Hime menempelkan kedua tangannya di mejaku.
Gerakannya membuat rambutnya terangkat, dan samar-samar aku mencium aroma sampo citrus yang menyegarkan.
Jarak sedekat itu menunjukkan perasaannya yang terbuka.
"Aku sangat senang bisa berbicara santai dengan Yohei-kun lagi."
"Kerja keras dengan penelitiannya, ya? Baguslah kalau kamu sekarang punya waktu untuk bersantai, Hime."
"Ah, tapi… kalau kamu ingin pulang cepat, tidak perlu sungkan untuk mengatakannya, ya?"
Perhatian Hime yang terkadang terlalu hati-hati ini terasa lucu.
"Tidak perlu khawatir soal itu."
"Kalau begitu, baguslah."
"Aku juga senang mengobrol santai denganmu, Hime."
"...Senang, ya?"
Mendengar itu, wajah Hime langsung memerah, dan ia menekan kedua pipinya dengan tangannya.
"Yohei-kun itu jenius."
"Eh? Aku pikir aku hanya orang biasa."
"Tidak, karena meskipun kita hanya berbicara sedikit, aku merasa tubuhku mulai rileks. Yohei-kun adalah jenius yang membuatku jadi lemas."
Sepertinya aku punya bakat luar biasa yang tidak kusadari sebelumnya.
Tentu saja, aku tahu dia hanya bercanda. Tapi mendengar pujiannya tetap membuatku merasa senang.
Aku benar-benar orang yang sederhana ya.
"Kalau tidak aku tahan, pipiku mungkin akan jatuh."
"Kalau begitu, biar aku yang menahannya."
Hime yang imut membuatku tidak bisa menahan diri untuk menggoda. Selain itu, pipinya terlihat begitu lembut, jadi aku benar-benar ingin menyentuhnya.
"Kalau begitu, pipiku malah bisa meleleh."
"Hmm, aku malah jadi makin penasaran."
"Nya-nya... apa?!
Godaan kecilku berhasil. Hime terlihat sangat malu, dan cara bicaranya jadi belepotan lebih dari biasanya.
Melihatnya seperti itu membuatku merasa gemes.
"Ehh, umm…"
Hime tampak ragu. Dia memalingkan pandangannya ke kanan dan kiri, sesekali melirik ke arahku, tapi setiap kali mata kami bertemu, dia buru-buru mengalihkan pandangannya lagi. Hal itu terus berulang.
Setelah beberapa menit, teman-teman sekelas kami sudah pulang, meninggalkan kami berdua di dalam kelas.
Setelah puas menggoda Hime, aku berniat mengatakan bahwa itu hanya lelucon. Namun, sebelum aku sempat membuka mulut…
"…Kalau hanya sebentar, boleh kok."
Apa?! Sekarang giliranku yang terkejut.
"B-benarkah...?"
"Iya. Kalau itu Yohei-kun."
Mengatakan "tidak tertarik" pasti akan menjadi kebohongan. Sebaliknya, aku sangat penasaran, bahkan bisa dibilang terlalu penasaran.
Pipi Hime. Melihat Hijiri-san selalu memencet pipinya membuatku diam-diam merasa iri. Pipinya terlihat begitu lembut hingga aku tidak bisa menahan diri untuk berpikir, "Pasti enak banget kalau bisa menyentuhnya."
"Kalau begitu, cuma sebentar saja ya."
Sebenarnya, mungkin aku seharusnya menolak. Hime juga tampak malu. Tapi aku tidak bisa menahan diri. Rasa penasaran mengalahkan akal sehat, dan aku mengulurkan jari telunjukku ke arahnya.
'Punyuu.'
Luar biasa. Apa ini? Mochi? Tidak, bukan. Sensasinya halus dan kenyal... seperti memadatkan selimut bulu angsa kelas atas ke dalam satu titik kecil. Eh, apa-apaan deskripsi ini? Bahkan aku sendiri bingung dengan pikiranku.
Rasanya tidak pernah kurasakan sebelumnya. Ada kenyamanan yang membuatku tenggelam, hingga aku terus saja memencetnya.
"Ehm."
"……"
"Y-Yohei-kun?"
"……"
"Se-sebaiknya kita berhenti sekarang deh?"
"……"
"……duh."
Ini aneh. Aku mendengar suara Hime, tapi tubuhku tidak merespons. Wajahnya jelas terlihat olehku. Tapi jariku tidak mau berhenti.
Aku bisa melakukannya selamanya. Namun, di sisi lain, Hime tampaknya sudah mencapai batas kesabarannya.
"P-pipiku... jadi lembek... banget nih."
Suaranya yang nyaris serak menyadarkanku dari lamunanku.
Saat aku akhirnya sadar, aku melihat wajah Hime yang merah padam seperti kepiting rebus.
"──Maaf!"
Tersadar, aku segera menarik jariku dengan tergesa-gesa. Tapi, sepertinya sudah terlambat. Hime memegang pipinya erat-erat, tidak bergerak.
"K-kamu baik-baik saja?"
"...Yohei-kun nakal banget deh."
Dia memandangku dengan tatapan penuh rasa kesal.
Tampaknya dia sangat malu sampai-sampai matanya sedikit berair.
"Maaf banget Hime! Pipimu jauh lebih lembut dari yang aku bayangkan, jadi aku… keterusan. Aku benar-benar minta maaf."
Aku tahu, ini keterlaluan, bahkan untuk sebuah lelucon. Merasa bersalah, aku memastikan untuk meminta maaf dengan tulus.
"T-tidak perlu minta maaf sejauh itu."
Tapi Hime adalah gadis yang sangat pemaaf.
Dia tidak marah dan bahkan memaafkan keisenganku.
"Aku juga tidak bilang tidak suka, kok."
"Hah? Jadi kamu tidak keberatan?"
"…Aku nggak bilang begitu, kan?"
Kalau begitu, bukankah itu artinya dia tidak keberatan?
"Sesekali… nggak apa-apa, kok."
Oh, benar-benar nggak apa-apa. Gadis ini sungguh luar biasa tenang dan memiliki hati yang sangat lapang.
"Ah, m-makasih?"
Menolak sepertinya tidak tepat, tapi menunjukkan terlalu banyak kebahagiaan juga rasanya salah. Jadi aku hanya mengungkapkan rasa terima kasih dengan cara yang ambigu.
"Enggak apa-apa kok. Kalau sama Yohei-kun, pipi saja sih nggak masalah."
Sepertinya reaksiku cukup tepat.
Hime mengangguk kecil. Wajahnya sudah tidak semerah sebelumnya, jadi aku merasa lega.
Syukurlah. Sepertinya suasana hatinya sudah kembali normal.
Fiuhh... itu tadi hampir saja.
Sudah lama tidak punya waktu berdua, mungkin itulah sebabnya aku jadi terlalu bersemangat.
Begitulah suasananya, aku dan Hime sama-sama tampak gembira. Untuk menenangkan diri, aku mengambil sekotak camilan dari dalam tas.
“Hime, hari ini aku bawa ini.”
“...Ah!”
Melihat camilan itu, Hime berseru kecil. Mata merahnya yang indah berkilauan, dan wajahnya langsung mendekat ke tanganku.
“Seperti biasa, terima kasih banyak.”
“Sama-sama. Yah, aku cuma ingin kamu memakannya, jadi jangan terlalu dipikirkan.”
Aku meletakkan kotak camilan itu di atas meja.
Kotaknya berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan. Aku menekan garis potong di tutupnya, lalu membuka kotak itu. Dari dalamnya, muncul beberapa potongan kecil cokelat berbentuk bulat.
“Ini... cokelat biasa, ya?”
“Bukan, di dalamnya ada kacang macadamia, jadi sedikit berbeda.”
Hari ini, aku membawa cokelat macadamia.
Selama seminggu terakhir, aku sengaja memilih camilan yang lebih praktis untuk Hime bawa pulang.
Tapi, aku sudah memutuskan untuk membawakannya cokelat ini begitu kami punya waktu untuk makan bersama lagi.
“Kacang macadamia... Oh, jadi cangkangnya yang keras diibaratkan dengan lapisan cokelat ini? Menarik sekali.”
Hime memperhatikan cokelat itu dengan saksama, seperti sedang menikmati sebuah karya seni.
“Kamu juga suka cokelat ini, Yohei-kun?”
“Ya, terkadang aku membelinya karena suka.”
“Wah, aku jadi makin tidak sabar untuk mencobanya. Kalau Yohei-kun bilang enak, pasti tidak salah lagi.”
Hime tersenyum ceria setelah mendengar penjelasanku.
Aku sadar, dia menaruh kepercayaan yang besar padaku. Perasaan itu membuatku senang. Aku lalu mendorongnya untuk mencoba.
“Boleh aku memakannya sekarang?”
“Tentu, silahkan saja.”
“...Kalau begitu, aku akan mencobanya.”
Namun, meskipun sudah bersemangat, Hime tidak segera mengambilnya. Dia hanya membuka mulut kecilnya.
Seperti anak burung yang menunggu makanan dari induknya…
Tunggu, ini mengingatkanku pada sesuatu.
(Hime ingin aku menyuapinya?)
Beberapa waktu lalu, setiap kali kami makan camilan bersama di kelas, Hime selalu makan dari tanganku. Bahkan, dia sempat menggigit jariku.
“......”
Dia menunggu dengan sabar. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, seolah itu adalah hal yang wajar bagiku untuk menyuapinya.
Mungkin, dia sudah terbiasa berpikir bahwa camilan harus diberikan langsung olehku.
Dia membuka mulutnya tanpa ragu, memperlihatkan lidah kecil, gigi susu yang belum sepenuhnya berubah, dan taringnya yang sedikit runcing.
...Aku mulai merasa bersalah jika terus memperhatikan ini terlalu lama.
Bukan berarti aku tidak suka menyuapinya.
Walaupun sedikit canggung, aku justru senang melihat Hime menikmati makanannya.
Aku mengambil sepotong cokelat dan mendekatkannya ke mulut Hime. Tapi tepat saat itu—
“Hime-chan, aku datang~! Kakak di sini!”
Suara pintu kelas yang terbuka terdengar keras.
Hime tampak terkejut. Dia menggigil sedikit dan langsung menutup mulutnya.
“Wah!”
“Ah, maaf ya~! Aku bikin kaget?”
Yang muncul adalah Hijiri-san, dengan senyuman santai seperti biasanya. Dia merapatkan kedua tangannya di depan Hime, meminta maaf.
“...Kakak, hari ini cepat sekali datangnya ya.”
“Hari ini pekerjaan OSIS selesai lebih awal. Yohei, hai juga!”
“Hai.”
Hijiri-san berjalan mendekat dan menyapaku juga.
Sejak kami sering makan siang bersama, aku merasa hubungan kami mulai akrab. Sekarang aku sudah cukup terbiasa dengannya.
“Jarang sekali ya. Biasanya OSIS selalu sibuk.”
“Dua minggu lagi ada ujian akhir semester, jadi semua orang sibuk belajar~.”
“...Oh, benar juga. Sudah waktunya ujian, ya.”
Di sekolah kami, ujian akhir semester diadakan tepat sebelum liburan musim panas. Sepertinya, para anggota OSIS memang sangat rajin belajar. Mungkin mereka mengurangi pekerjaan untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian.
"Sepertinya aku juga harus mulai belajar..."
"Yohei-kun, dengar deh. Kakakku tahun lalu dapat nilai merah di semua ujian, jadi liburan musim panasnya habis buat kelas tambahan dan tugas-tugas yang menumpuk."
"Ah! Hime-chan, jangan bilang begitu dong! Nanti Yohei pikir aku bodoh!"
Aku tidak sampai berpikir seperti itu, sih.
Tapi, aku memang sadar dia kurang berbakat dalam belajar, jadi aku tidak bisa membantahnya. Aku hanya tersenyum samar dan mengalihkan pembicaraan tanpa berkata apa-apa.
"Be-bagaimanapun, belajar itu bukan prioritas sekarang!"
"Itulah sebabnya, Kakak selalu kesulitan di saat-saat terakhir karena terus menunda hal-hal yang tidak disukai."
"Meskipun kamu bilang begitu, aku tidak dengar apa-apa~!"
Entah Hijiri-san menyerah atau sedang ngambek, dia mengabaikan kata-kata Hime dan malah mengarahkan pandangannya padaku.
"Hei, itu apa? Yohei, kamu bawa sesuatu yang terlihat sangat enak ya~."
"Oh, ini?, ini—"
Karena kedatangan Hijiri-san, aku sampai lupa kalau aku sedang memegang cokelat macadamia. Matanya langsung menangkap cokelat itu dengan penuh antusias, terlihat berkilauan.
"Ini camilan. Aku ingin Hime mencobanya."
"Oh, begitu. Ngomong-ngomong, Hime-chan sering dapat camilan dari Yohei, ya? Dia selalu pamer waktu makan malam di rumah~."
"A-aku tidak pamer! Aku hanya melaporkan saja!"
Hime mencoba membela diri dengan suara kecil, tetapi tampaknya tidak terdengar oleh Hijiri-san. Fokusnya sudah sepenuhnya tertuju pada cokelat yang ada di tanganku.
"Slurppp!"
"Kakak, air liurmu menetes."
"A-aku sama sekali tidak ingin makan itu!"
Hijiri-san benar-benar buruk dalam berbohong. Sambil mengelap mulutnya, matanya tetap terpaku pada cokelat itu.
Tapi, sebenarnya aku ingin menyuapkannya untuk Hime. Saat aku ragu, Hime tampaknya menyadarinya.
"Yohei-kun, berikan saja cokelat itu pada Kakak. Aku akan mengambil yang ini saja."
Dia mengambil satu cokelat sendiri, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan karena biasanya menunggu disuapi.
(...Apa dia merasa malu kalau ada Hijiri-san?)
Mungkin ada rasa segan saat di depan anggota keluarga. Aku pun menghormati keputusan Hime, meskipun sedikit kecewa.
"Hijiri-san, ini untukmu."
"Benarkah? Waaah, terima kasih banyak!"
Hijiri-san menerima cokelat itu dengan senyum polos, berbeda dari ekspresi santainya yang biasa. Dia terlihat sangat senang.
"Aku makan, ya! Nyam-nyam... Wah, ini manis sekali!"
Dengan semangat yang tinggi, dia langsung melahap cokelat itu tanpa ragu. Tidak seperti Hime yang menikmati dengan perlahan, Hijiri-san memakannya dengan cepat, mengunyah, dan langsung menelannya.
"…Aku makan juga ya."
Hime kemudian mengambil satu gigitan kecil. Dia mengunyah pelan, lalu matanya melebar.
"Wah. Aroma dan tekstur kacangnya berpadu sempurna dengan cokelat susu yang manis. Rasanya luar biasa... Bisa-bisa aku ketagihan nih."
Seperti yang kuduga, Hime lebih pandai menjelaskan rasa dibanding Hijiri-san.
Syukurlah, kedua kakak-beradik ini sama-sama menyukai cokelat itu.
"Slurpp!"
Tapi Hijiri-san masih terlihat ingin makan lebih banyak. Karena masih ada sisa cokelat, aku menawarkan padanya.
"Aku tidak bilang aku ingin makan lagi, kok!"
"Wajahmu sudah cukup menjelaskannya."
"Kakak memang orang yang mudah ditebak ya."
"…Kalau begitu, aku ambil ya? Terima kasih~!"
Sisa ego kecil yang dimilikinya segera runtuh, dan Hijiri-san kembali memasukkan cokelat ke mulutnya. Wajahnya langsung tampak rileks seolah larut dalam rasa manisnya.
Meski berbeda dalam banyak hal, selera kedua saudara ini ternyata cukup mirip. Bahkan, reaksi mereka pun hampir sama.
Sambil makan camilan, kami bertiga mengobrol ringan.
Namun, karena Hijiri-san sudah tiba, kami tidak bisa berlama-lama.
Setelah sekitar satu jam sejak waktu pulang sekolah, akhirnya kami berpisah.
"Hari ini juga sepertinya pekerjaan OSIS akan selesai lebih cepat."
"Kalau begitu, kamu mungkin akan pulang sekitar waktu yang sama seperti kemarin."
"Aku pikir begitu."
Keesokan harinya setelah jam pelajaran selesai, Hime memberiku kabar terbaru tentang keadaan kakak-beradik Hoshimiya.
Masa-masa sibuk Hime sudah berakhir, tapi sepertinya kami tidak akan bisa menghabiskan waktu berdua setelah sekolah seperti dulu untuk sementara waktu.
"Kalau aku bilang sedih karena waktu untuk bicara dengan Yohei-kun jadi berkurang, Kakak mungkin akan ngambek."
Meskipun terdengar seperti lelucon, nada suaranya jelas lebih rendah dibanding kemarin.
Aku tahu dia tidak bermaksud buruk terhadap Hijiri-san. Itu hanyalah cara Hime menunjukkan bahwa dia menghargai waktu yang kami habiskan bersama.
Tentu saja aku merasa senang. Tapi aku juga tidak ingin dia terlihat sedih.
"Oh ya, kamu masih ingat waktu aku mengajakmu ke minimarket dulu?"
Aku menyinggung tentang janji yang kami buat saat awal-awal mulai sering berbicara. Meski hanya obrolan ringan, aku selalu memikirkannya dan berharap suatu saat bisa melakukannya.
"Tidak mungkin aku melupakannya."
Ternyata Hime juga masih mengingatnya. Entah karena dia sangat menantikannya atau memang dia tipe orang yang tidak mudah melupakan sesuatu.
Bagaimanapun, aku senang dia mengingatnya.
"Kalau nanti ada waktu luang, mau pergi bareng?"
"Boleh? Aku sangat ingin!"
Ketika aku mengajaknya lagi, Hime mengangguk dengan penuh semangat.
Melihatnya begitu gembira, aku ikut tersenyum tanpa sadar.
"Meski waktu setelah sekolah sedikit berkurang, kita bisa menciptakan waktu di lain kesempatan."
"…Hehe."
Sepertinya dia ikut tersenyum karena melihatku tersenyum. Syukurlah, karena tadi dia terlihat sedikit murung, tapi sekarang dia sudah lebih ceria.
"Yohei-kun memang luar biasa ya."
"Kalau Hime berpikir begitu, aku senang."
"Iya. Aku sudah lama berpikir seperti itu."
Kata-kata pujiannya yang murni membuatku merasa lebih baik.
Aku tidak seistimewa itu, tapi jika aku bilang begitu, mungkin dia akan tersipu sampai jadi gugup. Jadi, lebih baik aku tidak mengatakannya.
Lagipula, aku yakin dia tahu bagaimana perasaanku padanya tanpa aku harus mengungkapkannya.
Karena waktu kami berdua hari ini tidak lama, aku segera mengambil camilan dari tas untuk diberikan padanya.
"Hime, ini camilan untuk hari ini."
"Bisakah kita menunggu sampai Kakak datang?"
Aku menghentikan tanganku yang sedang mencari-cari camilan di dalam tas.
"Kakak sangat menyukai camilan itu. Bahkan kemarin, setelah sampai di rumah, dia terus membicarakannya."
"Aku sudah menyiapkan untuk Hijiri-san juga. Rencananya, aku akan memberikan itu padanya saat dia datang."
"Mungkin akan lebih baik jika kita mulai makan bersama. Kakak pasti akan lebih senang."
"Benarkah? Bukankah kamu biasanya makan pelan? Kalau kamu mulai duluan pun, aku rasa Hijiri-san tidak akan mempermasalahkannya."
"Dia memang tidak terlalu peduli soal itu... Tapi tidak apa-apa. Bukan karena aku ingin bersikap sopan. Aku hanya ingin makan bersama-sama."
Luar biasa.
Dia memahami kekhawatiranku. Aku sempat khawatir apakah dia akan merasa tidak nyaman dengan kakaknya.
Hime kemudian melanjutkan dengan malu-malu.
"Yah... Sebenarnya, keinginan untuk makan hanya berdua dengan Yohei-kun juga ada."
Dengan wajah sedikit memerah, dia mengungkapkan perasaannya.
"Tapi, karena kamu sudah mengajakku untuk pergi bersama lain kali, itu sudah cukup membuatku bahagia. Aku ingin berbagi kebahagiaan itu dengan Kakak juga."
Anak ini... kenapa dia bisa begitu menggemaskan?
"Kalau begitu, aku tidak keberatan."
"Iya. Selama Yohei-kun memikirkanku, aku sudah merasa sangat bahagia."
Sambil tersenyum lembut, Hime meletakkan tangannya di dadanya.
Wajahnya yang mencerminkan kepolosan sekaligus kedewasaan membuatku terpesona.
Aku kembali berpikir, meskipun dia memujiku sebagai orang yang luar biasa...
Aku merasa dia jauh lebih luar biasa dariku.
Akhirnya, kami memutuskan untuk menunggu Hijiri-san datang sebelum mulai makan camilan bersama-sama.
"Manis banget! Enak banget!"
Sepertinya, camilan hari ini sangat cocok dengan seleranya. Hijiri-san, yang biasanya sudah santai, hari ini bahkan kehilangan kata-kata.
Seperti yang dikatakan Hime, dia sangat senang bisa menikmati camilan bersama.
Ketika waktu pulang sekolah tiba, aku mulai membicarakan rencana jalan-jalan dengan Hime. Awalnya, rencananya hanya pergi ke minimarket.
"Aku belum pernah belanja sebelumnya. Akupun juga belum pernah pergi ke toko-toko di luar, jadi rasanya agak gugup."
Mendengar pernyataan Hime itu, aku mulai berpikir ulang. Karena ini kesempatan bagus, aku ingin mengajaknya ke tempat lain selain minimarket.
“Kalau begitu Hime, selain minimarket, apakah ada tempat lain juga yang ingin kamu kunjungi?”
"Hmm... sepertinya tidak ada tempat tertentu yang terpikirkan."
Hime meletakkan jarinya di dagu, tampak sedang berpikir keras. Dari reaksinya, aku merasa dia tidak begitu tertarik dengan dunia luar.
Begitu ya. Dalam kasus Hime, lebih tepat dibilang dia tidak punya ketertarikan daripada sekadar tidak tahu. Dia anak yang pintar, jadi jika mau, dia pasti bisa memahami banyak hal dengan cepat.
"Kalau begitu, mungkin minimarket saja cukup."
Aku mengatakan bahwa tidak perlu memaksakan untuk mencari tempat lain. Namun, Hime menatapku dengan serius dan menggelengkan kepala.
"…Sebenarnya, aku memikirkan satu hal."
"Eh? Benarkah? Tempat apa itu?"
"Aku ingin mencoba bermain game, apakah itu boleh?"
Aku terkejut. Kata yang tidak pernah aku sangka akan keluar dari mulut Hime tiba-tiba muncul.
"Tentu saja boleh. Tapi, Hime suka game?"
"Tidak. Aku juga belum pernah mencobanya. Tapi aku pernah mendengar itu adalah hobimu."
Oh, benar juga. Aku sepertinya pernah membicarakan hal itu ketika dia bertanya apa yang biasa kulakukan di rumah. Jadi itu sebabnya kata “game” muncul di pikirannya.
"Aku penasaran. Dengan hal-hal yang disukai Yohei-kun."
Bukan tentang dunia luar, tapi tentang aku, ya...
(Senangnya…)
Ketulusan murni tanpa sedikit pun keraguan atau kepalsuan. Perasaan yang lurus dan apa adanya membuat hatiku hangat.
Mendengar itu, aku jadi ingin melakukan yang terbaik untuknya.
"Baiklah, kalau begitu, bagaimana kalau hari Minggu minggu ini kita pergi ke mal dekat stasiun? Di sana ada game arcade dan supermarket yang menjual camilan."
Aku menyebutkan waktu dan tempat yang spesifik. Janji yang awalnya samar kini terasa lebih nyata.
"Jalan-jalan bersama Yohei-kun? Rasanya seperti mimpi. Aku sangat menantikannya… Oh, tapi aku juga ingin mengunjungi minimarket yang biasa kamu datangi."
"Camilan juga dijual di supermarket, tahu?"
"Aku tahu. Bukan karena itu. Aku hanya ingin melihat tempat di mana Yohei-kun biasanya berbelanja."
Yah, kalau begitu aku rasa tidak masalah.
Bukan karena merasa sungkan atau karena merasa tidak enak untuk menolak. Melihat Hime yang tampak begitu bersemangat dan mendekatkan dirinya padaku, aku bisa merasakan ketulusan dan kebahagiaannya.
Aku tersenyum hangat. Tentu saja, aku tidak punya alasan untuk menolak.
"Baiklah. Setelah ke mal, kita pergi ke minimarket. Lagipula jaraknya dekat."
"…Iya, pasti!"
Aku mengangguk, dan Hime membalasnya dengan anggukan besar yang penuh semangat.
Hari ini ekspresinya cerah sepanjang waktu. Melihatnya saja sudah membuatku merasa lebih bersemangat.
"Kalau begitu, sampai jumpa hari Minggu. Bagaimana dengan waktu dan tempat bertemunya?"
"Aku bisa di mana saja dan kapan saja… Ah, tunggu sebentar."
Hime tiba-tiba tampak teringat sesuatu dan menepuk tangannya.
"Kakak. Ya, kakakku."
Apa yang terjadi dengan Hijiri-san?
"Bolehkah kakakku ikut bersama kita?"
"Tentu saja boleh. Tapi… kamu khawatir, ya?"
Berduaan denganku tidak mengandung arti negatif sama sekali. Aku tahu dia tidak membenci itu. Perasaan tulus Hime terlalu murni untuk membuatku berpikir negatif.
Namun, mungkin Hime merasa lebih nyaman jika kakaknya ikut bersama. Aku berpikir begitu, tapi—
“Bukan karena aku merasa tidak nyaman, melainkan karena aku ingin kakak dan Yohei-kun semakin akrab.”
Sepertinya dia sedang mengingat sesuatu.
“Aku pikir, jalan-jalan bersama seperti ini adalah cara yang baik agar kalian berdua bisa menikah nantinya.”
Hime masih menjalankan rencananya. Dia memang sering memikirkan strategi untuk menjodohkan aku dan Hijiri-san.
“Kalau kamu terlalu memikirkannya, situasinya malah bisa jadi canggung, tahu?”
“Tidak apa-apa. Kalau kalian memang akan menjadi suami-istri, hal seperti ini pasti mudah untuk diatasi.”
Dari diriku sendiri, aku tidak terlalu antusias dengan ide itu.
Walaupun Hijiri-san mengetahui maksud Hime, dia tidak pernah mengungkit soal pernikahan, mungkin karena dia mempertimbangkan jarak di antara kami.
Hubungan kami saat ini sudah cukup nyaman untuk kami berdua.
“Setiap kali aku berbicara denganmu, setiap kali kamu memperlakukanku dengan baik, aku selalu berpikir seperti ini…”
Namun, tampaknya Hime merasa sedikit tidak puas dengan keadaan ini.
“Akan sangat indah jika Yohei-kun menjadi kakakku.”
Dia terlihat sangat senang setiap kali aku menganggapnya seperti adik kecil.
Perasaan tulus yang belum ternodai.
Meski Hime adalah gadis yang tampak dewasa, dalam beberapa aspek emosional, dia masih menunjukkan sisi kekanak-kanakannya.
Namun, karena dia memiliki kepolosan seperti anak kecil, mungkin dia belum sepenuhnya memahami jarak yang rumit dalam hubungan antara pria dan wanita.
“Tentu saja, aku rasa itu tidak perlu terburu-buru. Aku tidak meminta kalian untuk segera menjadi pasangan, jadi jangan terlalu memikirkannya. Aku hanya ingin mendukung kalian berdua dengan caraku sendiri!”
Jarang sekali Hime menunjukkan semangat sebesar ini.
Meskipun tindakannya terlihat agak berlebihan, aku tidak bisa tidak menganggapnya menggemaskan.
(Jadi karena itu ya, Hijiri-san tidak bisa menolaknya…)
Aku tahu Hijiri-san memiliki pandangan positif terhadapku.
Namun, aku juga tahu bahwa perasaannya lebih sebagai manusia kepada manusia, bukan sebagai pria kepada wanita.
Mungkin kami berdua memang tidak memiliki perasaan romantis terhadap satu sama lain.
Namun, Hime belum sepenuhnya menyadarinya. Menjelaskan perasaan cinta kepada anak berusia delapan tahun tentu tidak mudah. Aku pikir itulah mengapa Hijiri-san membiarkannya tetap samar-samar.
Karena dia tidak memaksaku untuk menikah, aku juga tidak merasa perlu menyangkalnya dengan tegas.
Aku hanya tertawa kecil untuk meresponsnya.
“Yahuu! Kakak datang nih~! Kalian sudah lama menunggu, ya!”
Tepat pada saat itu, Hijiri-san muncul. Kami pun mulai membahas rencana untuk hari Minggu.
“Jalan-jalan? Aku mau, aku mau! Maksudku, aku pasti ikut! Jangan coba-coba meninggalkanku sendirian. Aku tidak akan membiarkan Hime-chan jadi milik Yohei begitu saja!”
Hijiri-san langsung setuju tanpa ragu. Tapi entah kenapa dia menunjukkan sikap penuh persaingan kepadaku, sambil memeluk Hime erat-erat seolah tidak mau kehilangannya.
Aku tidak berniat mengambil Hime, tapi… Hime terlihat kesulitan karena tiba-tiba dipeluk begitu erat.
“Oh iya, aku bawa camilan hari ini.”
Untuk menyelamatkan Hime dari pelukan Hijiri-san, aku mengeluarkan camilan dari tas.
Hari ini, aku membawa camilan berupa kue lembut dengan cokelat chip yang lezat—kue Country Ma’am.
“Waaah, aku sudah menunggu ini~!”
Seperti yang kuharapkan, Hijiri-san langsung melepaskan Hime dan melompat ke arah camilan itu.
Untung saja, Hijiri-san mudah dialihkan seperti ini.
"Fiuuh... Yohei-kun, terima kasih banyak."
"Ah, tidak perlu santai saja. Hime, ini untukmu."
Aku menerima ucapan terima kasih yang penuh makna dari Hime, lalu memberikan sebuah kue kering sebagai balasannya.
Selanjutnya, kuletakkan juga satu kue di tangan Hijiri-san. Dengan mulut terbuka lebar, dia langsung memakannya bulat-bulat.
"Hoihihii!"
"Kakak, itu tidak sopan."
"Hihihanhohahahe!"
"Aku tidak mengerti apa yang kakak bilang, tapi... terima kasih."
Hijiri-san makan dengan lahap, hingga membuatnya terlihat seperti menikmati makanan itu lebih dari siapa pun.
Sementara itu, Hime menggigit kue itu dengan lembut, meskipun cara makannya sedikit-sedikit.
Seolah berkata, "Aku berbeda dari kakakku."
"...Konsep tentang kue ini rasanya hancur di kepalaku. Rasanya lembut, lumer di mulut. Adonan kuenya krispy dengan sempurna. Ditambah lagi, potongan cokelatnya sungguh menjadi sentuhan akhir yang luar biasa."
Setelah memberikan ulasan mendetail, pada gigitan kedua, Hime juga akhirnya memakan kue itu bulat-bulat seperti kakaknya.
Yah, yang penting mereka menikmati camilannya.
"Enak banget~. Setelah mikir keras, makanan manis terasa lebih lezat, ya."
"Kakak, memangnya ada saat di mana Kakak berpikir keras?"
"Ada kok! Kakak juga mikir keras selama pelajaran sampai otakku rasanya muter-muter, tahu~."
"Benarkah? Aku kira Kakak hanya hidup berdasarkan nafsu makan dan tidur saja."
"Jahat banget! Hime-chan pikir aku ini bodoh, ya? Huuu~!"
"Iya. Aku suka saat Kakak tidak memikirkan apa pun."
"Suka? Hmm~. Kalau begitu, ya sudah deh, nggak apa-apa."
Santai sekali. Percakapan antara kakak-beradik Hoshimiya ini terasa seperti sihir yang bisa meluruhkan semua tenaga hanya dengan mendengarnya.
Hime yang kadang sedikit kejam karena percaya pada kakaknya, dan Hijiri-san yang sangat menyayangi adiknya... melihat mereka berdua benar-benar membuat hati terasa hangat.
"Di hari Minggu nanti, aku pikir kita akan pergi ke mal. Hijiri-san, apa kamu ada waktu?"
Aku ingin merencanakan semuanya sekarang. Hari ini sudah hari Jumat, dan besok aku tidak bisa bertemu mereka. Jadi, ini satu-satunya kesempatan untuk mendiskusikannya.
"Mal? Tidak masalah sih~. Ngomong-ngomong, sudah tahu mau ke toko mana saja?"
"Untuk sekarang, mungkin hanya arcade dan bagian permen di supermarket. Kalau kamu ada tempat lain yang ingin dikunjungi, bilang saja."
"Hmm... Aku pernah ke sana sama teman sebelumnya, jadi nggak ada yang terlalu ingin aku kunjungi."
Sepertinya Hijiri-san lebih mengenal dunia luar dibanding Hime. Dia tampaknya memiliki lingkaran pertemanan yang luas, jadi mungkin sudah sering keluar rumah untuk bermain.
"Mal itu besar banget, kan? Jalan-jalan terlalu lama bikin capek, jadi aku nggak mau pergi ke banyak tempat."
Koreksi. Dia sebenarnya malas. Mungkin dia hanya tahu tempat-tempat itu tanpa benar-benar memahaminya.
Aku memang tidak berencana mengunjungi terlalu banyak tempat. Justru aku ingin mendengar keinginannya agar bisa menghindari jalan-jalan yang sia-sia.
"Hime juga masih kecil, jadi kita nggak akan terlalu lama di sana. Tenang saja."
Pergi bersama seorang gadis delapan tahun berarti aku harus mempertimbangkan tenaganya juga. Ini adalah perjalanan pertama Hime, jadi aku ingin menjaga semuanya agar tetap menyenangkan.
"...Yohei-kun itu baik sekali ya."
Hime tampaknya menyadari perhatianku. Dengan malu-malu, dia menutupi mulutnya dengan kue, tapi ukuran kue itu terlalu kecil sehingga senyumannya tetap terlihat jelas. Lucu sekali.
"Kalau Kakak gimana? Hime-chan, kamu juga boleh bilang Kakak baik, lho!"
Sepertinya Hijiri-san iri karena aku dipuji. Namun, kali ini, peluangnya kecil.
"Kakak... Kalau memang Kakak sengaja berkata malas untuk membiarkan aku beristirahat, aku akan berterima kasih."
"...Tentu saja begitu~."
"Tapi aku tahu Kakak hanya malas keluar saja."
"Debu? Kamu barusan bilang aku debu? Aku bukan debu!"
"Aku tidak bilang hal seperti itu. Yang aku maksud adalah ‘debusyou’. Artinya orang yang malas keluar rumah, seperti Kakak."
"...Hehe."
"Tapi, Kakak tidak gemuk kok. Kakak sudah cukup baik seperti ini."
"Hime-chan... Aku sayang kamu!"
Hijiri-san kembali memeluk adiknya dengan mata berkaca-kaca.
Percakapan mereka berdua sungguh menyenangkan untuk didengar, sampai aku ragu apakah harus menyela atau tidak. Untungnya, Hime memperhatikan kegelisahanku.
"Maaf sudah memotong pembicaraan. Yohei-kun, silahkan lanjutkan."
Karena Hime mengembalikan topiknya, aku melanjutkan.
"Jadi, bagaimana dengan waktunya?"
"Pagi nggak bisa. Hari libur itu hari bahagia kalau bisa tidur sampai siang, kan?"
"Maafkan kakakku yang malas ini. Kalau siang, aku bisa kok."
"Kalau begitu, sekitar jam 2 siang saja, ya."
Pertama, kami menentukan waktu berkumpul.
Aku juga berpikir tidak ada gunanya pergi terlalu pagi, jadi ini waktu yang pas.
"Ngomong-ngomong, rumah kalian jauh nggak dari sana?"
Karena Hime ingin pergi ke minimarket tempatku biasa berbelanja, tanpa sengaja aku memilih tempat yang dekat dengan rumahku.
"Bagaimana kalau pilih tempat lain?"
Aku khawatir soal waktu tempuh mereka, jadi aku menanyakannya.
"Kalau naik mobil, sekitar tiga puluh menit sih. Kami bisa meminta sopir untuk mengantar, jadi tidak perlu khawatir. Rumah kami berada di pinggiran kota, jadi tidak ada toko besar di dekatnya."
"Rumah Yohei ada di sekitar sini, kan? Kalau begitu, dekat kok. Aeon juga tidak masalah lho~."
(Tln: Aeon itu perusahaan ritel dan keuangan di jepang gitu deh, dan juga Aeon punya anak perusahaan di bagian mal yaitu ÆON Mall Co, Ltd).
Kalau mereka naik mobil, itu bagus saja. Karena aku berjalan kaki, aku senang mereka menyesuaikan denganku.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita janjian di pintu masuk toko?"
"Oke. Kita janjian jam dua di pintu masuk ya... Tapi, agak menakutkan kalau kita tidak bertemu atau terjadi sesuatu. Bagaimana kalau kita tukaran nomer saja agar bisa saling menghubungi?"
"Itu benar. Tapi, Hime bilang tidak punya ponsel, kan?"
Aku ingat Hime pernah mengatakan kalau dia tidak terlalu suka perangkat elektronik. Aku juga belum pernah melihat dia menggunakan ponsel.
"Di rumah ada kok. Aku hanya tidak suka, tapi aku bisa menggunakannya. Hanya saja, saat ini aku tidak membawanya... Kakak, bolehkah bertukar kontak dengan Yohei-kun?"
...Oh, jadi itu alasannya.
Aku merasa Hime sedang mencoba mendekatkan aku dan Hijiri-san.
Meskipun ekspresinya tidak banyak berubah, belakangan ini aku mulai bisa membaca apa yang dia pikirkan. Meski begitu, apa yang dikatakan Hime memang masuk akal.
Kalau terjadi sesuatu, kami harus bisa saling menghubungi. Jadi, aku memutuskan mengikuti rencana Hime.
"Eh? Tapi, aku kan sudah tahu kontak Yohei."
"Tidak, aku tidak ingat pernah bertukar kontak denganmu."
"Hah? Masa sih... Benar juga! Yohei, kenapa tidak memberitahuku sih? Huh~. Ayo, pinjamkan ponselmu!"
Hijiri-san tidak tampak keberatan, jadi aku merasa lega. Mungkin ini waktu yang tepat untuk bertukar kontak.
Yah, meskipun Hijiri-san tadi yakin kami sudah melakukannya.
(...Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya aku bertukar kontak dengan seorang gadis.)
Dan ternyata gadis pertama itu adalah Hijiri-san, yang dikenal sebagai gadis tercantik di sekolah.
Dunia ini memang penuh kejutan ya.
"...Kakak, nanti tolong kirimkan kontak Yohei-kun ke ponselku juga ya."
"Fufu~. Hime-chan, kamu ingin banget dapet kontak Yohei ya? Kenapa tidak langsung minta sendiri saja daripada menggunakan aku sebagai alasan~."
"B-bukan seperti itu, hanya saja… mungkin ini sedikit keberuntungan."
Percakapan seperti itu sebaiknya dilakukan di tempat yang tidak bisa didengar oleh orangnya langsung.
(Aduh, jadi malu…)
Rasanya lucu saja, hingga aku harus menahan diri agar tidak tersenyum.
Pertukaran kontak ini tampaknya bukan hanya tentang mendekatkan aku dengan Hijiri-san, tetapi juga ada niat Hime di dalamnya.
Gadis kedua yang akan bertukar kontak denganku mungkin adalah Hime.
Benar-benar anak yang menggemaskan. Mungkin saat jalan-jalan nanti, aku bisa melihat lebih banyak ekspresi berbeda darinya.
Memikirkan itu, aku jadi semakin tidak sabar menantikan hari itu tiba──
Post a Comment