NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Elf Watanabe Volume 1 Chapter 1

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 



Chapter 1

Fuka Watanabe adalah Ketua Klub Berkebun


Punggungnya yang tegak dan lurus sangat indah.


Yukuto Oki menjawab secara refleks ketika Fuka Watanabe bertanya tentang kesan pertama dirinya.


"Aku sendiri sebenarnya nggak terlalu sadar soal itu, mungkin karena ibuku dulu sangat ketat soal hal-hal seperti itu."


Itu terjadi pada bulan April, tepat ketika Yukuto baru saja naik ke kelas dua di SMA Negeri Minami Itabashi.


Percakapan antara Yukuto dan Fuka Watanabe mengalir pada topik tentang kesan pertama mereka satu sama lain.


Ketika Yukuto dengan jujur menyebutkan betapa indahnya postur tegak Fuka sehari-hari, wajah Fuka menunjukkan ekspresi seolah-olah perkataan itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan baginya.


"Padahal sekarang selama kegiatan klub, punggungku sering bungkuk terus. Aku rasa posturku sekarang sudah jauh dari baik."


Sambil tersenyum, Fuka, dengan sarung tangan kerja, seragam olahraga sekolah, dan pipi yang berkilau oleh keringat bercampur tanah, kembali melanjutkan pekerjaan memperbaiki taman bunga dan pot tanaman.


"Yukuto-kun, kamu benar-benar mau memotret punggungku yang bungkuk setelah percakapan itu?"


Yukuto menangkap sosok itu melalui jendela bidik kamera SLR film lamanya.


"Aku ingin mencoba mengambil beberapa foto aktivitasmu."


Meski mengeluh dengan nada tidak puas, Watanabe tidak menolak lensa yang diarahkan kepadanya.


"Kalau memang mau memotret untuk kontes, setidaknya potretlah aku saat mengenakan pakaian yang lebih lucu. Bukan saat berkeringat dan penuh tanah seperti ini."


Hal itu dikatakan karena Watanabe telah setuju menjadi model Yukuto untuk foto yang akan ia kirimkan ke "Tokyo Student Usual Life Photo Contest."


Kontes foto ini hanya diperuntukkan bagi pelajar yang tinggal atau bersekolah di Tokyo, hingga tingkat SMA. Ini adalah kontes foto pertama yang Yukuto ikuti sejak ia naik ke kelas dua.


Ketika Yukuto memutuskan ingin mengikuti kontes ini, ia membayangkan potret Fuka Watanabe yang sibuk dengan kegiatan klub berkebunnya.


"Menurutku, momen ketika seseorang melakukan hal yang mereka sukai itu jarang terjadi, dan justru itulah saat daya tarik mereka benar-benar terpancar. Dalam hal ini, menurutku Watanabe-san sangat mempesona."


"Me-me-mempesona?!"


Di bawah sinar matahari musim semi yang terasa cukup terik, Watanabe buru-buru memalingkan wajahnya dari lensa kamera.


"Kalau kesan pertama tentang Yukuto-kun ya, hmm, kamu kelihatannya kalem, tapi ternyata cukup berani dan nggak takut bicara ya."


Apa aku mengatakan sesuatu yang membuatnya kesal? Jika dipikir-pikir, aku menyebutkan bahwa aku lebih menyukai penampilannya yang ia anggap tidak cantik. Jadi mungkin memang bukan kesan yang baik.


Sambil memikirkan itu, Yukuto tetap membidik kamera. Dalam jendela bidik, Watanabe kembali menatapnya dengan sedikit cemberut.


"Jangan-jangan, kamu bilang hal seperti itu ke semua model fotomu ta?"


Meski sedang dimarahi, Yukuto secara refleks memotret wajah cemberut Watanabe, yang malah membuatnya kembali mendapat tatapan tajam.


Meskipun kamera film tidak memungkinkan untuk langsung melihat hasil foto, Yukuto merasa ia telah menangkap ekspresi yang bagus.


Saat Yukuto sedang mengatur eksposur pada lensanya, Watanabe kembali bertanya.


"Yukuto-kun, kamu dengar nggak sih?"


"Ah, maaf, tapi aku nggak bilang hal itu ke semua orang. Lagipula, cuma Watanabe-san yang setuju jadi modelku, jadi aku hanya bilang itu ke Watanabe-san... yah, begitulah."


"Begitu ya...."


Entah dia sudah puas atau tidak, Watanabe sedikit melunak dan kembali ke pekerjaannya.


Waktu berlalu.


Melalui jendela bidik kamera, Yukuto melihat keringat di pipi Watanabe yang bercampur tanah berkilauan.


Waktunya sudah melewati siang hari, namun masih belum mencapai sore. Sinar matahari yang sedikit teduh dan angin yang berhembus di sekitar gedung sekolah menyapu lembut rambut depan Watanabe, memperlihatkan matanya yang indah, yang biasanya tersembunyi di balik poni nya.


"Watanabe-san."


Jari Yukuto secara alami menekan tombol rana, dan tangannya yang memegang kamera perlahan menurun.


Pada saat yang sama, Watanabe mengangkat salah satu bibit bunga yang ada di dekatnya dengan kedua tangannya, hendak menanamnya di taman.


"Eh? Apa?"


Itu adalah momen yang tak boleh dilewatkan oleh Yukuto, yang sedang berusaha memotret Watanabe sebagai modelnya.


Di dalam jendela bidik, Fuka Watanabe tampak bersinar.


Ah, benaran deh.


Kamera ini seolah memberi tahu bahwa objek yang dilihat oleh Yukuto benar-benar indah dan luar biasa.


Momen itu tanpa disangka menjadi waktu terbaik untuk mengambil foto sepanjang hari ini.


"......"


"Yukuto-kun, fotonya sudah cukup, ya?"


Namun, Yukuto tidak menekan tombol jepret. Dia malah menurunkan kameranya perlahan.


Yukuto yang sebelumnya terus memotret tanpa henti, tiba-tiba terdiam. Melihat itu, Watanabe tampak sedikit bingung.


"Aku..."


Di era modern ini, di mana segala hal terlihat melalui kamera, Yukuto merasa bahwa momen ini adalah sesuatu yang harus ia lihat langsung dengan matanya sendiri, tanpa perantara lensa.


"Aku menyukaimu, Watanabe-san."


Waktu seolah berhenti. Atau setidaknya, itu yang dirasakan oleh Yukuto.


Namun, hanya Yukuto yang merasa demikian, karena wajah Watanabe yang awalnya bingung kini mulai memerah malu seiring ia memahami kata-kata Yukuto.


Detak jantung Yukuto pun berdegup semakin cepat.


"Eh, tunggu... barusan, Yukuto-kun, suka... suka... bilang suka padaku... eeehh?!"


"A... apa?! Nggak, bukan begitu... atau... ya, memang begitu... tapi, tapi, aku nggak bermaksud mengatakannya seperti ini... eh, tunggu, Watanabe-san!"


"Hyaa?!"


Watanabe juga tampak terkejut, tubuhnya membeku akibat situasi yang tiba-tiba ini.


Yukuto mengambil napas dalam-dalam, lalu berlutut di hadapan Watanabe.


"Pa-pakaianmu jadi kotor tahu, kalau gitu?!"


"S-saat ini itu nggak penting! Tolong dengarkan aku dulu!"


Yukuto yang terlalu gugup sampai tergagap, wajahnya pun memerah seperti Watanabe.


"Te-tenang dulu, Yukuto-kun!"


Watanabe juga panik, ikut tergagap dengan nada yang terdengar imut.


"U-uhm..."


Setelah keduanya saling bingung untuk beberapa saat, Yukuto meletakkan kameranya dengan hati-hati di tanah, begitu juga Watanabe yang meletakkan bibit bunga yang ia pegang.


Watanabe akhirnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri lebih dulu, dan berbicara dengan nada pelan.


"Haa... uhm, Yukuto-kun..."


Suara Watanabe menghentikan pandangan Yukuto yang hampir saja jatuh ke bawah.


"Yukuto-kun bilang 'nggak bermaksud bilang seperti ini', jadi... kamu pasti sudah memikirkan cara yang lebih ideal untuk mengatakan itu, kan? Setidaknya, kamu sudah sedikit mempersiapkan diri, ya? Tapi... aku, nggak begitu."


"Itu..."


"Jujur saja, aku benar-benar deg-degan. Aku nggak pernah membayangkan mendengar hal seperti ini sama sekali."


Sambil berbicara, Watanabe hampir menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang masih mengenakan sarung tangan.


"Jadi... aku rasa, aku lebih gugup daripada kamu."


"W-Watanabe-san..."


Namun, Watanabe menahan dirinya untuk tidak menutupi matanya. Ia justru menatap Yukuto dengan pandangan yang lurus.


"Selama ini, aku nggak pernah mendengar kata-kata seperti itu dari seorang cowok... jadi, pikiranku benar-benar kacau dan aku nggak bisa berpikir jernih sekarang. Tapi..."


Watanabe menurunkan tangannya dengan penuh tekad, lalu duduk bersimpuh di tanah tanpa peduli seragam olahraganya menjadi kotor, dan berkata.


"Tolong beritahu aku. Bagian mana dari diriku yang membuat Yukuto-kun menyukaiku?"


Gemetar kecil dalam suara Watanabe membuat Yukuto sulit menebak apa emosi yang sebenarnya ia rasakan.


Namun, tatapan Watanabe yang tulus dan penuh perhatian membuat Yukuto merasa itu adalah sesuatu yang positif.


"Uhm... penjelasannya mungkin agak panjang. Apa gak masalah?"


Watanabe mengangguk pelan.


Wajah keduanya sama-sama memerah seperti bunga tulip yang baru mekar saat Yukuto mulai bercerita perlahan.


Kisahnya membawa mereka kembali ke sekitar enam bulan yang lalu, ketika mereka masih menjadi siswa kelas satu pada bulan Oktober.



Bunga adalah objek yang sangat unggul untuk latihan fotografi.


Itulah keyakinan pribadi Yukuto Oki, yang berakar dari ajaran ayahnya, Shinichi Oki, salah satu dari sedikit nasihat yang diberikan oleh sang ayah, yang menjadi awal ketertarikan Yukuto pada dunia fotografi.


Menurut ayahnya, "Selama kamu memperhatikan dan menyesuaikan pengaturan kamera, bunga dapat difoto dengan cukup indah."


Karena itu, setiap kali mendapatkan kamera baru, hal pertama yang harus dilakukan adalah berlatih dengan bunga sebagai objeknya. Ayahnya selalu menekankan hal ini.


Sejak kecil, Yukuto yang sedikit lebih akrab dengan kamera dibandingkan kebanyakan orang, karena pengaruh ayahnya, juga menggunakan bunga sebagai latihan awal setiap kali mendapatkan kamera baru atau ingin berlatih memotret.


Maka, ketika Yukuto Oki, yang sekarang seorang siswa kelas 1 SMA, pada hari Sabtu di bulan Oktober, membawa kamera tuanya untuk latihan di Festival Krisan Itabashi ke-60 yang diadakan di kuil dekat rumahnya, hal itu merupakan pilihan yang sangat alami.

(Tln:Festival Krisan Itabashi adalah acara tahunan di Tokyo yang memamerkan bunga krisan cantik dalam berbagai bentuk dan warna).


"Wahh."


Halaman Kuil Itabashi Hikawa, yang biasanya sepi karena jauh dari stasiun dan jalan utama, kini dipenuhi dengan bunga krisan yang berwarna-warni dan beraneka bentuk.


Saat mendengar kata "festival bunga krisan," Yukuto membayangkan sebagian besar pengunjungnya adalah orang tua. Namun, ternyata banyak juga pengunjung mudanya.


Beberapa di antaranya, seperti dirinya, dengan serius memegang kamera dan memotret.


Suasananya cukup ramai, tetapi tidak sampai sesak. Saat berjalan di halaman kuil, Yukuto akhirnya berhenti di sudut pameran pertama, mengangkat kameranya, dan melihat melalui jendela bidik.


"Hmm, terlalu tinggi."


Di sana, terdapat barisan bunga krisan tinggi yang ditanam dalam pot. Namun, karena tingginya, ketika mencoba memotret seluruhnya, banyak elemen lain ikut terpotret. Sedangkan jika mencoba memotret dari dekat, bunga-bunga lain yang berjejer mengganggu komposisi.


Setelah beberapa kali memotret, Yukuto menyadari hasilnya tidak memuaskan. Ia menatap kamera SLR film tua di tangannya, lalu mengangkat bahu kecilnya.


Benar, kamera yang ia gunakan adalah kamera tua, yang sudah puluhan tahun sejak diproduksi, tanpa merek atau model yang jelas.


Saat ini, dikatakan bahwa jumlah orang yang memotret melalui jendela bidik sudah jauh berkurang.


Sebagian besar kamera digital klasik bahkan tidak memiliki jendela bidik, apalagi smartphone. Bahkan pada kamera mirrorless digital SLR, kebanyakan orang menggunakan layar LCD besar untuk memotret, kecuali saat cahaya matahari terlalu terang di siang hari.


Karena itu, kecuali seseorang benar-benar menjadikan fotografi sebagai profesi atau dedikasi hidup, kebutuhan untuk menggunakan jendela bidik sudah hampir hilang. Bahkan di halaman kuil itu, tidak ada orang yang terlihat memotret melalui jendela bidik.


"Tapi tetap saja, cara ini terasa lebih seperti sedang memotret."


Setelah menyerah pada bunga krisan tinggi tadi, Yukuto memotret beberapa pameran lain, seperti bunga krisan yang dibentuk menyerupai boneka atau kubah.


Ia yakin ada istilah khusus untuk pameran-pameran ini, tetapi karena tidak terlalu paham soal bunga krisan, ia hanya bisa mengagumi keindahan keseluruhan karya dan bunga-bunga yang digunakan.


"Ketemu."


Momen itu datang begitu saja.


Melalui jendela bidiknya, Yukuto menemukan satu bunga krisan yang seolah memancarkan cahaya sendiri.


Bunga itu tidak seperti yang sebelumnya—tidak tumbuh lurus dari pot, melainkan ditempatkan dalam vas bambu kecil.


Kelopak bunganya merah di bagian dalam dan emas gelap di bagian luar, menciptakan tampilan yang sangat mencolok.


Bunga Krisan itu dikenal sebagai ‘Tomoe Nishiki.’ Rasanya seolah-olah bunga itu sendiri memintanya untuk difoto melalui jendela bidik.


Inilah alasan utama Yukuto membawa kamera tua yang sulit digunakan, tidak praktis, dan membutuhkan biaya tambahan untuk mencetak filmnya.


Melalui jendela bidik kamera itu, Yukuto merasa ia dapat menemukan objek yang bersinar.


Setidaknya, menurut pandangannya, kamera itu membuatnya dapat "melihat" sesuatu yang tak terlihat oleh mata telanjang.


Ada banyak bunga krisan Tomoe Nishiki lainnya, serta krisan yang dipamerkan dalam kategori vas tunggal.


Namun, Yukuto merasa kameranya terus memintanya untuk memotret bunga krisan tertentu itu. Dengan penuh semangat, ia berkali-kali menekan tombol rana/pencet.


Setelah selesai, barulah Yukuto memperhatikan nama pengirim yang tertera di bawah pameran itu.


Nama yang tertulis di sana adalah:


"Kelas 1-B, Fuka Watanabe."


Senin pagi minggu berikutnya, pada saat upacara pagi seluruh sekolah.


Nama salah satu teman sekelas yang berdiri di depan Yukuto Oki disebutkan. Meski bukan namanya yang dipanggil, Yukuto merasa tegang seolah dirinya yang dipanggil.


"Ya," jawab suara lembut, dan seorang siswi bertubuh kecil dengan punggung yang tegap berjalan maju, naik ke atas panggung.


Fuka Watanabe adalah seorang murid yang tidak mencolok. Karena nomor absensinya tepat sebelum Yukuto, tempat duduk mereka berdekatan saat awal masuk sekolah. Namun, Yukuto tidak memiliki kenangan tentang pernah berbicara dengannya.


Tetapi, tidak diragukan lagi bahwa di acara Festival beberapa hari yang lalu, di dekat bunga krisan bercahaya yang menarik perhatian kameranya, ada papan nama bertuliskan, "Fuka Watanabe, SMA Minami Itabashi."


"Siswa kelas 1 SMA Minami Itabashi, Fuka Watanabe. Kamu telah berpartisipasi dalam Festival Krisan Itabashi ke-60, kategori bunga potong, dan menerima penghargaan semangat juang. Dengan ini, kami memberikan penghormatan atas usahamu," kata pembawa acara.


SMA Minami Itabashi adalah sekolah negeri di distrik Itabashi, Tokyo, sekitar lima belas menit berjalan kaki dari Stasiun Kamitabashi di jalur Tobu Tojo.


Meskipun sekolah negeri, SMA ini memiliki reputasi dalam beberapa klub yang berhasil mencetak prestasi. Hari itu, penghargaan diberikan kepada klub basket yang memenangkan turnamen musim gugur, serta klub film yang meraih emas di kompetisi nasional.


Namun, mendengar kategori "bunga potong" di Festival bunga krisan, yang asing bagi sebagian besar siswa, atmosfer upacara sedikit menurun. Sebagian besar siswa kehilangan minat pada penghargaan individu dari kategori yang jarang mereka dengar.


Tetapi Fuka Watanabe tidak peduli dengan suasana itu. Diiringi tepuk tangan seadanya, ia kembali ke barisan kelasnya dengan mata yang berbinar dan senyum penuh semangat.


"Selamat ya, Watanabe," Yukuto berkata pelan, tanpa sadar dirinya telah mengucapkan selamat.


"Eh?"


Watanabe menoleh, tampak terkejut. Ia mendengar ucapan itu dengan jelas.


"Sebenarnya, penghargaan ini adalah penghargaan partisipasi untuk setiap peserta yang mengirimkan bunga."


Dia mengatakan itu sambil malu-malu, dengan wajahnya setengahnya tertutup piagam.


"Tapi terima kasih ya, Oki-kun."


Watanabe tersenyum kecil dengan cara yang membuatnya tampak begitu anggun, seolah senyum itu bercahaya.


Senyum itu mengingatkan Yukuto pada perasaan saat dia menemukan bunga yang bersinar di jendela bidik kameranya.


"... Apa itu?"


Yukuto bergumam tanpa sadar.


"Eh?"


Watanabe menoleh lagi, mendengar pertanyaan Yukuto.


"A-anu… kategori bunga potong itu apa?"


Yukuto bertanya dengan suara pelan, namun cukup terdengar oleh Watanabe.


"Oh, kategori bunga potong itu salah satu jenis utama dalam lomba bunga krisan! Bunga-bunga besar dengan kelopak yang lembut dan bulat itu masuk dalam kategori ini."


Watanabe menjelaskan dengan antusias. Suaranya terdengar penuh energi, jauh dari kesan pendiam.


Namun, penjelasan panjang lebarnya memancing perhatian guru wali kelas mereka.


"Watanabe, aku tahu kamu senang, tapi jangan ribut."


"Ah, maaf!"


Watanabe segera diam dan menghadap ke depan lagi, wajahnya memerah.


Setelah beberapa saat, ia sedikit menoleh ke belakang dan berkata pelan,


"Nanti, boleh aku jelaskan lebih banyak lagi? Kalau ada waktu, aku bisa menjelaskan dengan lebih baik."


"Y-ya."


Dengan janji untuk berbicara lagi, Yukuto merasa ini adalah ajakan yang begitu menarik.


"Fufu, Syukurlah, terima kasih, Oki-kun."


Watanabe berkata dengan senyum kecil yang manis.


Kali ini, bukan lagi senyuman malu-malu, tetapi senyuman yang sangat jelas.


Setelah apel pagi selesai, ada waktu singkat sebelum pelajaran pertama dimulai.


Entah bagaimana, Yukuto Oki berjalan kembali ke kelas dengan Fuka Watanabe, menjaga jarak yang tidak terlalu dekat maupun terlalu jauh.


Kemudian, Yukuto dipanggil oleh Watanabe ke kursinya, diberi selebaran yang ia ambil dari dalam mejanya, lalu mendengar:


"Silahkan duduk."


Untuk alasan tertentu, Yukuto disuruh duduk di kursi Watanabe.


Biasanya, jika ada percakapan di tempat duduk seseorang, pemilik kursi tetap duduk di kursinya sendiri, sementara yang lain meminjam kursi di depan atau di samping, atau tetap berdiri. Namun, Yukuto diperlakukan seperti tamu kehormatan, duduk di kursi Watanabe, sementara dia berdiri di sisinya, melihat ke arahnya.


"Pertama-tama, ini adalah panduan aplikasi bagi peserta pameran Festival Krisan kali ini."


Dia menunjukkan selebaran yang, seperti disebutkan, adalah untuk peserta pameran Festival Krisan.


Isinya hanya penjelasan dan panduan untuk peserta, tanpa foto, hanya teks kecil-kecil.


"Festival Krisan Itabashi tahun ini sudah memasuki tahun ke-60, menjadi festival bersejarah yang menarik banyak peserta bahkan dari luar distrik setiap tahunnya. Kategori bunga yang dapat dipamerkan ada beberapa, seperti bunga potong, Fukusuke, Bonsai, dan Daruma, yang menggunakan krisan besar yang kokoh meski jumlah bunganya sedikit."


Selebaran itu mencakup tenggat waktu pendaftaran, kontak penyelenggara dan panitia, serta penjelasan kategori pameran dan aturannya.


"E-eh… baiklah…"


Ini adalah situasi terdekat dengan seorang gadis sejak masuk SMA, tetapi dengan posisi seperti ini, rasanya seperti seorang peserta yang sedang diberi penjelasan oleh petugas.


Kalau terus begini, Yukuto mungkin akan dipaksa mengikuti pameran Festival Krisan berikutnya tanpa sempat memahami apa itu Krisan potong.


"Ada pertanyaan sejauh ini?"


"Umm, soal Krisan potong yang Watanabe-san buat…"


"Eh? Ah itu ya!"


"Ada apa?"


"Nggak apa! Maaf, hanya saja aku terlalu senang Oki-kun tertarik pada Festival Krisan, jadi aku jadi terlalu bersemangat memberi penjelasan!"


Hanya dengan bertanya tentang kata krisan yang terdengar asing, Yukuto tidak menyangka penjelasannya dimulai dari latar belakang festival hingga prosedur pendaftaran.


"U-uh, begini, bunga potong yang aku pamerkan adalah krisan besar berbentuk bulat yang disebut Atsumono. Bunganya dipotong sesuai tinggi yang ditentukan lalu diletakkan di tabung."


Fuka Watanabe menunjukkan foto di smartphone-nya, yang menampilkan krisan warna-warni berjajar di semacam rak panggung. Foto itu bukan krisan yang pernah dilihat Yukuto di pameran, melainkan dari ruang pamer lain.


"Yang bulat di kanan itu Atsumono. Yang seperti payung yang melebar itu Kanemono. Dan pot di belakang itu berbeda lagi."


"Oh begitu ya…"


Saat Festival Krisan, Yukuto pernah bertanya-tanya apakah bunga dengan kelopak tebal dan tipis berasal dari jenis yang sama. Setelah dijelaskan, dia baru sadar ada banyak jenis krisan yang tidak dia ketahui.


"Hmm, ini mungkin berbeda sekali, tapi… rasanya mirip kembang api."


"Eh! Benar!"


Ketika Yukuto dengan polosnya menyamakan foto itu dengan kembang api, Fuka Watanabe terkejut, memegang erat smartphone-nya dengan semangat, dan mendekatkan wajahnya pada Yukuto.


Ini adalah momen ketika jarak wajahnya dengan seorang gadis menjadi yang terdekat dalam hidupnya. Detak jantung dan tekanan darah Yukuto melonjak tajam.


"Aku juga berpikir seperti itu waktu pertama kali melihatnya! Bahkan, ada nama kembang api seperti ‘Krisan’. Krisan itu memiliki keindahan yang sangat dekat di hati orang Jepang, jadi…"


Namun, saat dia berbicara, Fuka Watanabe terlihat tergagap dan mulai bermain smartphone-nya lagi, lalu memasang ekspresi panik sambil menatap layar.


"Kenapa?"


"Aku ingin menunjukkan fotoku dengan krisan yang kupamerkan, tapi… ternyata baterainya habis."


Dia menunjukkan smartphone-nya menampilkan layar hitam dengan ikon baterai kosong.


Yukuto terkadang lupa mengisi daya smartphone-nya, tetapi biasanya baterai ponsel masa kini cukup bertahan selama dua hari jika tidak digunakan untuk menonton video atau bermain game terlalu lama.


Namun, Fuka Watanabe mengatakan dengan suara murung:


"Ini sudah dua hari berturut-turut aku lupa mengisi daya…"


"Itu cukup ceroboh juga, ya."


Biasanya, jika lupa mengisi daya sehari, orang akan langsung merasa waspada dan mengisi penuh keesokan harinya. Tapi mungkin dia adalah tipe orang yang tidak terlalu sering menggunakan smartphone.


"Oh, tapi aku membawa power bank untuk situasi seperti ini!"


Fuka Watanabe menunjukkan bahwa dia telah bersiap menghadapi keadaan darurat seperti ini.


Namun, Yukuto memprediksi apa yang akan terjadi.


Jika seseorang bisa lupa mengisi daya smartphone dua hari berturut-turut, apakah power bank mereka cukup terisi untuk menangani situasi darurat?


"Eh? Ini aneh. Tidak mengisi daya."


Seperti yang diperkirakan, power bank yang dikeluarkan ternyata juga kehabisan daya.


Dengan semangat yang langsung menghilang, Fuka Watanabe berkata dengan suara kecil:


"Maaf… Padahal kamu sudah tertarik, tapi aku tidak bisa menunjukkan krisannya…"


Melihat Fuka tampak begitu sedih sampai seakan tenggelam ke lantai, Yukuto buru-buru berkata:


"A-anu, sebenarnya ini!"


Dia mengeluarkan sesuatu.


"Ini… oh!"


Itu adalah kantong plastik transparan berisi foto ukuran L.


Di dalam amplop itu, terdapat dua foto pilihan bunga krisan Fuka Watanabe jenis Tomoe Nishiki yang diambil saat Festival Krisan.


"Kenapa fotoku ada di tangan Oki-kun?"


Fuka Watanabe berkali-kali menatap foto itu dan Oki Yukuto dengan penuh keterkejutan.


"Sebetulnya, aku pergi ke festival itu. Saat melihat bunga krisanmu dan papan namanya, aku berpikir 'mungkinkah ini punya Watanabe-san?' Lalu, hari ini kamu menang penghargaan, jadi aku yakin itu benar."


Mendengar itu Watanabe agak terkejut.


Namun, setelah mengatakan hal tersebut, Yukuto mendadak merasa tindakannya mungkin terlihat aneh. Dia tak pernah berinteraksi dengan Fuka Watanabe sebelumnya, tetapi tiba-tiba berbicara, lalu menyerahkan foto miliknya seolah sudah tahu segalanya.


Hal ini membuat Yukuto merasa seperti seseorang yang mendekati Fuka Watanabe dengan niat tersembunyi. Dia pun mencoba memberikan penjelasan tambahan untuk membela dirinya.


"Rumahku dekat dengan Kuil Hikawa. Hari itu aku kebetulan lewat dan secara tidak sengaja melihat bunga ini. Sebenarnya aku juga memotret banyak hal lain, tapi aku cuma berpikir mungkin ini milikmu..."


Yukuto menyadari bahwa alasan yang dia berikan terdengar semakin mencurigakan. Namun, kata-kata yang telah terucap tak dapat ditarik kembali.


Respons Fuka Watanabe, bagaimanapun, jauh melebihi imajinasinya.


"Oh! Oki-kun kan anggota klub fotografi, ya? Jadi kamu ke sana untuk latihan memotret?"


"Kamu tahu aku dari klub fotografi!?"


Yukuto terkejut bahwa Fuka mengetahui aktivitas klubnya, meskipun mereka hampir tidak pernah berinteraksi hingga hari ini.


"Saat festival budaya bulan lalu, aku kebetulan melewati pameran klub fotografi. Ada fotomu tentang bunga hydrangea di taman sekolah dekat gerbang timur, dan juga bunga periwinkle merah serta putih!"


"Kamu ingat sampai sejauh itu ya?"


"Karena foto itu sangat indah. Aku pikir, 'mungkin orang yang mengambil foto ini suka bunga,' lalu aku melihat namanya dan menyadari itu milik Oki-kun, teman sekelasku."


Fuka tersenyum lembut dan mengangkat foto dalam kantong plastik di depan wajahnya, seolah akan menciumnya. Dengan pandangan penuh arti, dia menatap Yukuto.


"Foto ini boleh aku simpan?"


"Ten... tentu saja!"


Yukuto menjawab dengan nada bergetar karena gugup.


"Wah, foto yang diambil orang ahli dengan kamera bagus memang beda! Foto dari ponselku jauh lebih buruk, rasanya aku hampir malu melihatnya."


Dengan senyum tulus, Fuka memeluk erat foto itu seakan sangat berharga. Yukuto belum pernah memotret untuk orang lain sebelumnya, apalagi membuat seseorang bahagia karenanya.


"Terima kasih, Oki-kun. Aku akan menyimpan fotonya baik-baik."


"I-iyah..."


Yukuto sangat menyesali jawaban gugupnya. Sebab, pada saat itulah, dia menyadari bahwa dirinya jatuh cinta pada Fuka Watanabe, seseorang yang sebelumnya hampir tak pernah dia ajak bicara.



"Jadi, sejak penghargaan Festival Krisan tahun lalu, aku selalu merasa menyukaimu Watanabe-san saat pergi ke sekolah."


"A-ah... J-jadi begitu, ya..."


Wajah mereka memerah malu seperti kepiting rebus, masing-masing menatap lutut karena terlalu malu untuk saling menatap.


"Makanya, kalau soal daya tarik atau jadi model foto, aku cuma bilang begitu karena memang khusus untuk Watanabe-san saja."


"Aku mengerti! Tapi, tolong jangan ucapkan hal-hal memalukan seperti itu..."


"Aku cuma menjawab pertanyaanmu!"


"L-lalu, kapan tepatnya kamu mulai suka padaku...?"


"Tadi sudah kubilang kan, saat kamu menerima penghargaan dan tersenyum menerima foto itu."


"H-haaah..."


Fuka menutup wajahnya dengan tangan, lalu berpaling, seolah terkena sinar terang yang terlalu menyilaukan.


"Jujur, waktu itu aku tidak terpikir untuk mengungkapkan ini. Tapi setelah kamu berhasil menaikkan status klub taman jadi klub resmi, aku semakin kagum dan..."


"Eh? Apa hubungannya klubku dengan itu?"


"Waktu itu, aku menjadi satu-satunya anggota klub fotografi karena kakak kelas sudah lulus."


Nada suara Yukuto yang serius membuat Fuka mendongak dengan penuh perhatian.


"Sejak musim dingin tahun lalu, aku jadi satu-satunya anggota klub fotografi. Tapi... klub taman yang kamu pimpin berhasil diakui resmi, dan itu membuatmu tampak sangat bersinar."


"Aku mengerti! Jadi, tolong jangan jelaskan lagi... haah..."


Sambil mengatur nafas yang tersengal seperti habis berlari, Fuka memandang Yukuto dengan malu-malu.


"L-lalu... apakah itu saja?"


"Eh!?"


Fuka jelas menunggu sesuatu. Yukuto menelan ludah, mengepalkan tangan, dan dengan suara bergetar penuh keberanian dia berkata,


"Tol-tolong jadilah pacarku! Aku ingin kamu menjadi kekasihku!"


"He-eaaaaah...".


Pada saat itu, tiba-tiba kekuatan di kaki dan pinggang Fuka Watanabe seolah menghilang, membuatnya jatuh terduduk di tempat.


Dia celingukan dengan gugup, menyeka mulutnya dengan handuk yang tergantung di lehernya tanpa alasan, lalu terdiam selama beberapa puluh detik.


Bagi Yukuto, waktu itu terasa seperti puluhan jam sekaligus hanya sekejap mata. Kata-kata penuh tekad dari Yukuto mungkin akhirnya dapat dicerna oleh Watanabe.


Dengan pandangan ke atas, Watanabe bertanya balik.


"A-a-aku ini hanya seorang yang pendiam, tidak fashionable, pemalu, dan juga..."


"Itu juga salah satu hal yang aku sukai darimu!"


"Eh!?"


"Ah, maksudku, bukan ingin menjelekkanmu, tapi, yah... mungkin ini terdengar aneh, tapi aku tidak jatuh cinta karena penampilanmu! Tapi setelah aku jatuh cinta, aku jadi suka semuanya, termasuk penampilanmu!"


"Uhm, eh, uhm, itu..."


Itu adalah pengakuan yang sangat canggung. Namun, tidak ada kebohongan dalam kata-kata itu.


"A-anu, maaf ya, aku terus-terusan membuat suara aneh... Bukannya aku tidak suka atau apa, hanya saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan atau kukatakan..."


Yukuto bisa memahami perasaannya.


Meskipun dia yakin telah mendapatkan perlakuan baik darinya di sekolah, hubungan mereka hanya sebatas itu—tidak saling mengetahui banyak hal tentang satu sama lain.


Kesadaran itu membuat Yukuto merasa sedikit lebih tenang, meskipun rasa malu dan benci pada dirinya sendiri mulai muncul. Namun, waktu tidak dapat diputar kembali.


Dan sekali lagi, keheningan melanda.


Melihat Watanabe seolah sedang mencari kata-kata, Yukuto mulai berpikir bahwa mungkin dia sedang mencari cara untuk menolaknya. Tidak tahan dengan keheningan itu, Yukuto berkata:


"‘Green Fingers’—itu sebutannya, kan?"


"Hah?"


"Orang yang ahli dalam berkebun disebut ‘Green Fingers’ baik dalam bahasa Inggris maupun Jepang. Aku sangat menghormati kemampuan dan cara hidupmu. Aku suka senyummu saat sedang berbicara atau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan berkebun!"


Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku, darah mengalir deras ke kepalaku, membuat pandanganku terasa kabur.


Namun, Yukuto merasa bahwa jika dia tidak mengungkapkan perasaannya sepenuhnya sekarang, dia akan menyesalinya seumur hidup.


"Te-tenang saja. Aku mengerti. Aku mengerti kok..."


"Ma-maaf...!"


Apakah aku terlalu agresif? Apakah aku membuat Watanabe yang pemalu merasa takut? Pikiran itu membuat Yukuto menundukkan kepalanya. Namun, suara lembut namun gemetar memecah keheningan.


"Aku memang kaget, tapi... aku senang mendengar perasaanmu, Yukuto-kun."


"Eh...!"


"Tapi... aku rasa kita masih belum terlalu saling mengenal. Namun..."


‘Tapi’, ‘Namun’, kata penghubung yang menunjukkan kontradiksi. Hati Yukuto menjadi berat, dan keringat dingin mulai menetes ke tanah.


"Ah..."


"Bagaimana kalau kita mulai perlahan-lahan saling mengenal sambil menjalin hubungan?"


"........................Apa?"


Dia mengira akan ditolak. Namun, kata-kata yang mengikuti adalah ajakan untuk saling mengenal lebih dalam, sebuah respons positif.


"Ja-jadi maksudmu..."


Suaranya bergetar. Kegelapan yang sempat menyelimuti hatinya kini tersapu oleh cahaya terang yang tiba-tiba.


"Yukuto-kun... mulai sekarang, mohon bantuannya, ya."


'Awal Penciptaan Langit dan Bumi.'


Itulah satu-satunya ungkapan yang dapat menggambarkan perasaan Yukuto pada saat itu.


Dunia baru terasa terbuka lebar. Semua inderanya menjadi tajam, menyatu dengan dunia di sekitarnya, namun seluruh fokusnya hanya tertuju pada Fuka Watanabe yang ada di depannya.


Saat itu juga, Watanabe mengulurkan tangan kanannya yang kecil namun menggemaskan ke arah Yukuto. Itu adalah simbol keajaiban dan keberuntungan bahwa orang yang dia sukai telah menerima perasaannya.


Yukuto dengan hati-hati meraih tangan itu dan menggenggamnya.


Tangan itu kecil, hangat, lembut, dan penuh kekuatan.


"Te-terima kasih, Watanabe-san!"


Dia lalu mengangkat wajahnya.


"Mulai sekarang, aku berharap kita bisa saling bersama...!"


Namun, sesuatu terjadi pada saat itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh Yukuto.


"Eh, siapa ini?"


Fuka Watanabe yang seharusnya ada di hadapan Yukuto Oki tiba-tiba menghilang. Sebagai gantinya, sebuah "wajah" yang belum pernah dilihatnya muncul.


Di dada jaket olahraga orang itu, terdapat papan nama bertuliskan "Watanabe".


Meskipun pandangannya sempat berpaling, Oki terus bisa melihat lutut Watanabe yang masih terlipat di hadapannya.


Suaranya pun, dari tadi tidak pernah berubah, tetap suara Fuka Watanabe.


Namun, saat Yukuto mengangkat wajahnya, wajah Watanabe yang polos dan manis telah berubah menjadi wajah seorang perempuan dengan rambut pirang berkilauan seperti sutra yang tertiup angin, mata hijau zamrud, kulit seputih porselen, dan telinga panjang.


"Eh?"


Handuk di leher perempuan itu tetap sama, tapi tidak dengan wajahnya. Tidak, lebih tepatnya, seluruh bagian dari leher ke atas benar-benar berbeda.


Saking terkejutnya, Yukuto mengulang pertanyaannya.


"Eh, siapa ini ya?"


"O-Oki-kun, ada apa?"


"Ya, tidak, tunggu, eh!? W-Watanabe-san!? Watanabe-san!?"


"A-Apa?"


"Jangan 'apa'! Apa-apaan ini!? Watanabe-san ke mana!?"


Meski suara itu adalah suara Watanabe, wajahnya benar-benar berbeda. Bahkan meski Yukuto mendengar suaranya, wajah asing itu membuatnya merasa seakan-akan suara Watanabe pun ikut berubah.


Namun, ada sesuatu yang terasa familier dari elemen-elemen wajah itu: kecantikan yang tampak tidak berasal dari dunia ini, rambut pirang keemasan, mata hijau zamrud, dan, yang paling menonjol, telinga panjang.


"Seorang elf..." bisiknya.


Elf—makhluk dengan usia panjang, pengetahuan, dan kekuatan magis, serta kecantikan yang melampaui manusia. Mereka adalah entitas fiksi yang sering muncul dalam anime, manga, dan novel.


"Jadi, kamu bisa melihatku seperti ini ya?"


Suara lembut itu terdengar seperti seorang pria yang tanpa sengaja melihat hal yang tidak seharusnya dilihat.


"Apa yang sebenarnya terjadi? Ke mana Watanabe-san pergi?"


"Maaf membuatmu bingung. Tapi... aku adalah Fuka Watanabe. Ini adalah bentuk asliku."


"Bentuk asli? Apa maksudmu? Kamu pasti sedang melakukan trik sulap, kan? Watanabe-san itu orang Jepang!"


Yukuto secara refleks berbicara dengan nada formal karena wajah asing itu membuatnya merasa gugup.


"Tapi, aku ini Fuka Watanabe! Yukuto-kun, jangan lihat wajahku. Dengarkan suaraku!"


"Uwaaah, suara Watanabe-san!"


Sebuah pot tanaman tiba-tiba terangkat, seolah-olah menyembunyikan wajah perempuan itu, tetapi suaranya tetap Watanabe.


Namun, ketika Yukuto membuka matanya, rambut pirang dan telinga panjang itu tidak dapat sepenuhnya tertutupi oleh pot. Kebingungan Yukuto mencapai puncaknya.


"Ini tidak masuk akal! Elf tidak nyata! Di mana Watanabe-san!?"


"Apa yang harus kulakukan agar kamu percaya padaku!?"


Perempuan itu, yang wajahnya tampak seperti dewi, perlahan-lahan menunjukkan wajahnya di balik pot dengan ekspresi sedih.


Meskipun Yukuto tidak bersalah, rasa bersalah muncul dalam dirinya tanpa alasan.


Namun, situasi ini terlalu aneh.


Jika gadis yang dia suka ternyata seorang idol yang menyamar, atau teman masa kecil yang terpisah, mungkin dia bisa menerima itu.


Namun, gadis yang dia suka ternyata seorang elf? Itu seperti membayangkan seekor anak kucing yang dibesarkannya berubah menjadi pterosaurus!


"Tapi... kamu terlihat seperti orang lain..."


"Aku biasanya menggunakan sihir untuk mengubah penampilanku! Tapi yang kamu lihat sekarang adalah bentuk asliku. Aku adalah Fuka Watanabe yang selalu berbicara denganmu tentang tanaman dan fotografi sejak musim gugur lalu!"


"Ini... ini terlalu aneh..."


"Yukuto-kun, tadi kamu bilang, kan? Kamu menyukaiku bukan karena penampilanku, kan?"


"......!"


Yukuto tanpa sadar menahan nafas, kembali menatap elf di depannya, lalu menggertakkan giginya dan menundukkan kepala.


Meskipun dia mengatakan bahwa dia tidak menyukai seseorang hanya karena penampilannya, tetap saja ada batasnya! Dalam arti yang berbeda dari biasanya!


"Memang... aku memang mengatakan itu, tapi tetap saja!"


Namun, awal Yukuto menyukai Fuka Watanabe adalah senyum sederhananya yang tulus. Lewat hobi berkebun, ia menyentuh sisi hati Watanabe yang sederhana, yang akhirnya membuat penampilannya juga menjadi bagian dari daya tarik cinta tersebut.


Namun, jika penampilan berubah drastis seperti ini, sehingga benar-benar seperti orang yang berbeda (atau bahkan mungkin bukan manusia), ungkapan "yang penting adalah isi hati, bukan penampilan" tidak cukup untuk menyelesaikan situasi ini.


Sama sekali tidak ada bekas dari penampilan sebelumnya; wajahnya benar-benar menjadi orang lain.


Sebagai analogi, bayangkan seorang pahlawan anak-anak dengan kepala roti manis. Selama bertahun-tahun, ia memperbarui kepala rotinya untuk memulihkan kekuatan dan terus dicintai oleh anak-anak. Tetapi suatu hari, tanpa penjelasan, kepalanya berubah menjadi sushi tuna premium. Akankah dia tetap dicintai sebagai karakter yang sama? Tentu saja tidak.


Roti manis dan sushi tuna sama-sama lezat, tetapi mereka bermain di arena yang berbeda. Jika seorang anak lapar ingin makan roti manis tetapi diberi sushi tuna, mungkin anak itu akan memakannya, tetapi pasti dia akan berkata, "Ini bukan yang aku inginkan."


"Tentu saja aku mencintai roti manis dan sushi tuna juga, tapi tetap saja!"


"Eh? A-apa? Roti manis dan sushi tuna?"


Elf yang mengaku sebagai Fuka Watanabe terlihat sangat cantik bahkan bagi Yukuto yang sedang panik.


Jika dia berjalan di jalan, sepuluh dari sepuluh pria pasti akan menoleh karena kecantikannya, meskipun ada ketidakbiasaan pada bentuk telinganya.


Namun, meskipun Yukuto menganggap elf ini cantik, itu tidak berarti dia jatuh cinta padanya.


Yang membuatnya jatuh cinta bukanlah kecantikan yang universal, melainkan senyuman tulus yang bagi Yukuto sangat istimewa.


"Tadi kamu bilang... kamu menggunakan sihir untuk mengubah penampilanmu, kan?"


"Eh, ah, iya... "


"Kalau begitu, bukankah kamu bisa menggunakan sihir untuk kembali ke penampilanmu yang biasa? Penampilan Watanabe-san yang aku kenal?"


Jawaban atas saran Yukuto yang gemetar itu kejam.


"Itu tidak mungkin bagiku. Aku sendiri tidak menyangka kalau kamu bisa melihatku dalam bentuk asliku ini..."


"Tidak mungkin..."


"…Tapi, aku sangat senang. Beneran deh. Ketika kamu mengatakan bahwa kamu menyukaiku, aku sangat bahagia. Karena aku juga..."


"Eh?"


Dengan suara Fuka Watanabe, elf yang memiliki wajah berbeda itu menggenggam kedua tangannya di depan dadanya, tampak malu-malu.


"Sebenarnya, bahkan sebelum kita jadi dekat setelah festival krisan tahun lalu, aku sudah memperhatikanmu sejak tahun pertama, sejak kita sekelas..."


"Eh?"


"Namamu, Yukuto Oki... sangat mirip dengan 'Yggdrasil', pohon dunia!"


"Kenapa kamu malu-malu dan bicara hal yang tidak masuk akal seperti itu?"


"Apa kamu belum pernah mendengarnya?"


"Itu hal yang sangat tidak terduga, sampai aku bahkan tidak bisa memprediksinya."


Tentu saja, Yukuto tahu tentang Yggdrasil, setidaknya dari cerita-cerita fantasi. Namun, dia tidak pernah menghubungkannya dengan namanya sendiri.


"Jadi... Oki-kun, apa itu berarti... kamu tidak menyukaiku lagi?"


Untuk pertama kalinya, Yukuto benar-benar kehabisan kata-kata.


Perasaannya pada Fuka Watanabe tidak berubah. Jika mempertimbangkan semua yang terjadi di depan matanya dan semua yang dikatakan elf ini, sulit untuk menyangkal bahwa dia adalah Fuka Watanabe.


Namun...


"Jika kamu benar-benar seorang elf, kumohon pahami. Jika seseorang memintaku untuk percaya bahwa kamu adalah seorang elf, aku sulit untuk mempercayainya. Dan meskipun aku percaya, itu terlalu sulit untuk kupahami..."


"Oki... kun..."


"Maaf. Aku tahu aku yang menyatakan cinta duluan, tapi... aku butuh waktu untuk merenung..."


Secara umum, jika seseorang yang menyatakan cinta meminta untuk menunda jawabannya, itu adalah sikap yang pantas mendapatkan kritikan. Namun, apa lagi yang bisa dilakukan?


Yukuto mengambil kamera yang diletakkannya di tanah dan berdiri dengan lesu. Elf yang mengaku sebagai Fuka Watanabe memandang Yukuto dengan tatapan sedih, lalu menunduk dan mengangguk.


"Ya... benar juga."


Nada suaranya yang penuh kesedihan membuat Yukuto tak sanggup menahannya.


"Foto hari ini... akan aku cetak."


Setelah mengatakan itu, Yukuto langsung berlari tanpa menunggu jawaban. Dia melarikan diri.


Apa lagi yang bisa dia lakukan? Dia berhadapan dengan seorang elf. Wajah orang yang dia cintai tiba-tiba berubah total tanpa peringatan. Bukankah aneh jika dia bisa tetap tenang?


Apa yang lebih bisa dia lakukan? Apa yang seharusnya dia katakan?


Semakin dia memikirkannya, semakin dia tidak menemukan jawaban.


Pengakuan cintanya seharusnya berjalan dengan baik, tetapi mengapa dia merasa begitu kacau?


Dengan perasaan kosong, Yukuto berjalan pulang. Di tengah jalan, dia berhenti di persimpangan yang memiliki toko kamera besar langganannya.


Dia menunduk ke arah kamera yang masih dipegangnya. Meskipun filmnya belum habis, dia tetap menyerahkannya untuk dicetak.


Sekitar satu jam kemudian, hasil cetakan fotonya selesai. Dalam foto-foto tersebut, "Fuka Watanabe" yang Yukuto cintai tersenyum cerah.


Dengan hampir menangis, Yukuto keluar dari toko kamera, pulang ke rumah, lalu melemparkan foto-foto itu ke atas meja belajarnya. Tanpa berganti pakaian, dia langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur, memeluk kepala dan lututnya, tertidur tanpa makan malam.


Dia tidak bermimpi. Jika saja Fuka Watanabe muncul dalam mimpinya, mungkin dia bisa merasa bahagia setidaknya di dalam mimpi.



Itu adalah pagi yang terasa seperti bangun di dalam lumpur.


Apakah kejadian kemarin hanyalah mimpi buruk? Namun, saat memeriksa ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Fuka Watanabe.


Karena dia tertidur masih memakai seragam, seperti yang diingatnya, kejadian kemarin memang nyata.


Namun, semakin dipikirkan, keberadaan elf itu terasa tidak masuk akal. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin.


Sambil memikirkan hal itu, Yukuto mandi, berganti ke seragam cadangan, namun rasa berat di hatinya membuatnya kehilangan nafsu makan. Dia bahkan tidak punya energi untuk menyiapkan bekal makan siangnya seperti biasa, sehingga keluar rumah dengan tangan kosong.


Dia memasukkan foto yang dicetak kemarin ke dalam kantong plastik dengan hati-hati, lalu meninggalkan rumah dengan langkah lesu, seperti arwah gentayangan, hingga tiba di sekolah tanpa sadar.


"Hei, Yukuto, apa kabar?"


Saat itu, di pintu masuk sekolah, dia disapa oleh teman sekelasnya, Tetsuya Komiyama, yang juga teman dari SMP.


"Oh… ah, Tetsuya. Selamat pagi."


"Eh, kamu sakit, ya? Mukamu pucat banget."


Yukuto sadar bahwa wajahnya memang terlihat buruk, tapi dia tidak punya niat untuk menjelaskan alasannya.


Baik soal pengakuan cintanya kepada teman sekelasnya, atau soal bagaimana gadis itu berubah menjadi elf, rasanya hanya akan merepotkan jika dia ceritakan kepada orang lain.


"Dengar-dengar, flu sedang menyebar lho. Hati-hati, ya. Ngomong-ngomong, tadi aku lihat Watanabe-san. Dia juga kelihatan pucat."


"Apa?"


"Kamu kan belakangan ini sering bantu-bantu klub berkebun, kan? Mungkin kamu ketularan flu dari Watanabe-san?"


"Nggak, nggak mungkin… aku rasa."


"Memang bantuin apa sih sampai bisa ketularan flu? Hei?"


"Bantuin apa sih yang bisa bikin ketularan flu?! Tetsuya! Aku cuma mau tanya. Watanabe-san kelihatan gimana tadi?"


"Hah? Ya, kelihatannya sih mukanya pucat."


"Bukan soal pucat atau nggaknya! Eh, ya sih, dalam situasi ini itu penting juga, tapi—"


"Apa sih maksudmu?"


"Apa ada yang aneh dari Watanabe-san? Sesuatu yang jelas-jelas nggak normal, bahkan cuma dengan sekali lihat!"


"Eh, aku cuma lihat dari jauh sekilas, sih. Aku nggak kenal dia sedekat itu buat bisa bilang dia aneh atau nggak. Kenapa tiba-tiba kamu jadi ceria gini?"


"Nggak, aku cuma… kayaknya kemarin itu, aku aja yang nggak beres."


"Hah? Eh? Apa sih? Kok kamu malah senang Watanabe-san sakit?"


Wajar saja kalau Tetsuya bingung, tapi wajar juga kalau Yukuto menjadi ceria.


Perubahan besar Watanabe kemarin itu jelas-jelas tidak masuk akal, bahkan dari jarak jauh. Siapa pun manusia yang melihatnya pasti langsung menyadari ada yang aneh.


Jadi, masuk akal jika Watanabe yang dilihat Tetsuya tadi tidak menunjukkan tanda-tanda aneh.


Apa yang terjadi kemarin hanyalah ilusi akibat ketegangan berlebihan. Itu hanya halusinasi.


"Ah, bukan apa-apa kok! Aku cuma… fotoku kemarin nggak terlalu bagus. Jadi aku agak sedih, ya, begitulah! Kontesnya sudah dekat, jadi aku sedikit gugup!"


"Ya udah deh, terserah."


Meninggalkan Tetsuya yang masih terlihat bingung, Yukuto berjalan menuju kelas dengan penuh semangat.


Berpura-pura bahwa kejadian kemarin tidak pernah terjadi, Yukuto merasa cukup percaya diri untuk mencoba mengulang pengakuannya.


Namun, saat dia masuk ke kelas,


"Se-selamat pagi, Oki-kun."


Dia melihat seorang elf cantik duduk meringkuk di bangku Fuka Watanabe.


"Elf lagi?!"


Yukuto tak bisa menahan diri untuk berteriak, melihat "Elf Watanabe" sambil mengamati Tetsuya dan teman-teman sekelas yang sama sekali tidak bereaksi aneh terhadap keberadaan gadis itu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close