NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Elf Watanabe Volume 1 Chapter 4

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 4

Fuka Watanabe Memberikan Penjelasan


"Fu, Fuka-chan... Hah! To, tolong, aku mohon, maafkan aku dong Fuka-chan...!"


"Tidak boleh, Izumi-chan. Meski kamu bilang begitu, aku tidak akan berhenti."


Kotaki Izumi menghela nafas berat, matanya setengah terpejam karena lelah, dan meskipun ini musim semi di sore hari, ia berkeringat deras.


Dengan suara gemetar penuh permohonan, ia memohon pengampunan, namun elf cantik itu dengan dingin menolak permohonannya.


"Uuh... Ha, haan! Ti, tidak... lagi, tidak bisa lebih dari ini... Nngh!"


"Ayo, bergeraklah yang benar. Kalau tidak, Oki-kun tidak akan puas, tahu?"


"Kuh... Kamu, kejam sekali... Nngh!"


Melihat penolakan dingin itu, Izumi dengan wajah melas melotot ke Yukuto, namun suara tajam dari Watanabe membuat Izumi gemetar ketakutan.


"Hei, Izumi-chan? Apa itu cara bicara yang pantas kepada senior? Yuk, Oki-kun sedang melihat. Gerakkan tubuhmu dengan benar!"


"Uuh... Ha, aaaah! Aku sudah tidak kuat... lagi! Ha, haan!"


"U-umm, Watanabe-san."


"Ada apa, Oki-kun?"


"Apakah tidak apa-apa jika aku... membiarkan Kotaki-san seperti ini?"


"Tidak, tentu saja tidak boleh. Nngh... Jangan terlalu semena-mena!"


"Tentu saja boleh! Soalnya, hari ini Izumi-chan adalah anggota baru sementara klub fotografi, dan dia juga juniormu. Kalau begitu, dia harus mendengarkan kata-katamu, bukan?"


"Y-ya, tapi aku merasa agak tidak enak hati... Maksudku, dia terlihat kesulitan."


"Orang yang bermain-main dengan perasaan Oki-kun duluan adalah Izumi-chan. Jadi, bukankah seharusnya dia meminta maaf dengan memuaskan Oki-kun?"


"Ya, kalau dibilang begitu sih, memang benar."


"Ayo, Izumi-chan, kamu berhenti bergerak. Kalau seperti ini, Oki-kun tidak akan merasa senang, tahu?"


"Kuh... Kamu menggunakan Fuka-chan untuk memihakmu dan berbuat semaumu... Nngh! Hah!"


"U-umm, Watanabe-san."


Yukuto tidak tahan lagi dan berkata.


"Matahari sudah hampir terbenam, dan karena kita tidak membawa lampu kilat, bagaimana kalau sesi pemotretan hari ini kita akhiri?"


"Yah, baiklah. Kalau Oki-kun bilang begitu, kita sudahi saja untuk hari ini, Izumi-chan."


"Nngh! Aku sudah tidak sanggup! Lenganku tidak bisa diangkat, bahuku gemetar, dan kalau aku tidak minum sesuatu, aku akan mati!"


Dengan izin dari Watanabe, Izumi yang mengenakan pakaian olahraga lengkap dengan handuk di leher, melemparkan cangkul yang dipegangnya, keluar dari tanah yang sudah digarap halus, lalu menjatuhkan tubuhnya di tanah.


"Eh!? Senpai, jangan bilang kau benar-benar memotretku saat bekerja di ladang!?"


"Yah, karena Watanabe-san menyuruhku."


"Jangan berpikir kau bisa memanfaatkan Fuka-chan untuk melakukan apa pun sesukamu, ya!?"


Izumi yang terengah-engah duduk sambil melotot pada Yukuto, membuatnya sedikit gentar dan mengalihkan pembicaraan.


"Ngomong-ngomong, ternyata membajak tanah keras itu sangat melelahkan, ya."


Taman kecil yang tidak jauh dari ruang klub fotografi itu sudah lama tidak terurus. Dengan luas sekitar 3x4 m², taman itu dikelilingi oleh blok bata tua. Daun dan ranting kering dari tanaman yang dulunya tumbuh di sana berserakan, hingga Yukuto awalnya mengira tempat itu hanyalah tempat pembuangan sampah tanaman.


"Katanya, pada zaman Showa, di sini ada kotak meteorologi dan kebun mawar yang mengelilinginya. Karena letaknya di belakang gedung sekolah lama, tempat ini tidak terlalu panas bahkan di musim panas. Tapi sejak klub berkebun dibubarkan, tempat ini tidak pernah diurus lagi. Sebenarnya, sejak tahun lalu, kami sudah diberi izin menggunakan tempat ini, tapi aku tidak sempat mengurusnya sendirian... Karena ada anak kelas satu yang baru bergabung, aku pikir ini kesempatan yang bagus untuk merapikannya."


"Hah…!!..."


Izumi masih belum bisa mengatur nafas dan tetap duduk di tempatnya.


"Jadi, kamu akan menanam mawar lagi di sini?"


"Tidak. Karena kita mendapatkan ruang tanah yang lumayan luas, aku berpikir untuk menanam sayuran."


Sebagai produk yang ditanam klub berkebun, sayuran terkadang bisa lebih populer dibanding bunga.


Hasil panennya mudah untuk dibagikan, dan karena tidak perlu dijadikan barang dagangan, biasanya lebih mudah untuk ditanam dibandingkan tanaman hias.


"Memanen sayuran itu memberikan rasa pencapaian, dan bunganya pun cantik saat bermekaran."


"Oh iya, aku ingat pernah belajar menanam lobak saat kecil. Tomat atau bunga dari tanaman keluarga labu juga, memang indah."


"Benar. Jadi, aku sudah memutuskan salah satu yang akan kutanam. Oki-kun, pernah dengar tentang pepo?"


"Pepo? Hmm, aku belum pernah dengar."


"Pepo itu sejenis labu kecil yang lebih sering digunakan untuk dekorasi daripada dimakan. Labu oranye yang digunakan saat Halloween juga termasuk jenis pepo."


Sambil menjelaskan, Watanabe menunjukkan ponselnya, menampilkan gambar labu kecil berwarna kuning seukuran telapak tangan yang tampak familiar.


"Oh, yang biasanya ada di kafe atau toko barang lucu itu, ya? Kukira itu cuma hiasan atau mainan."


"Memang sering disebut sebagai labu mainan sih. Kalau bisa, aku ingin memanen labu ini saat Halloween. Aku suka suasana mistis Halloween."


Mendengar Watanabe berbicara dengan penuh semangat tentang rencana masa depannya, Yukuto merasa suasana hati menjadi hangat. Namun, detik berikutnya, ia langsung membeku.


"Selain itu, mungkin Salamander... dan juga Pedang Mithril."


"Salamander...?"


"Dan Pedang Mithril."


Salamander dan Pedang Mithril.


Barusan mereka membicarakan tentang sayuran apa yang akan ditanam di ladang, tapi kenapa tiba-tiba muncul topik tentang roh api dan pedang dari logam fantasi?


"Eh? Salamander... Mithril...? Kenapa?"


"Salamander itu tahan panas, jadi kupikir dia bisa bertahan dengan baik di musim panas Jepang yang panas."


Penjelasan salamander tahan panas memang masuk akal, tetapi Yukuto ingin tahu kenapa pembicaraannya menjadi seperti ini.


Meskipun Yukuto mengakui dirinya adalah seorang penggemar kamera, ia tidak begitu mendalami hal-hal seperti anime atau game. Namun, ia tahu bahwa Salamander adalah makhluk imajiner seperti roh api atau kadal api, dan Mithril adalah logam yang tidak ada di dunia nyata.


Tetapi, fakta bahwa seorang elf nyata berdiri di hadapannya, dan elf ini tiba-tiba menyebut Salamander dan Pedang Mithril, membuat Yukuto mulai bertanya-tanya.


Apakah mungkin di dunia ini benar-benar ada Salamander atau Pedang Mithril? Dan jika ada, apakah roh atau pedang logam ini bisa ditanam di ladang?


Dengan ekspresi kebingungan, Yukuto berusaha keras untuk kembali ke kenyataan, tetapi...


"Tapi aku masih mempertimbangkan apakah mungkin bisa menanam pepo dan bawang daun secara berdekatan di ladang ini."


Watanabe baru saja melontarkan kata-kata yang mencengangkan.


Pada saat yang sama, Yukuto teringat saat Watanabe menyebut Halloween sebagai sesuatu yang "mistis."


Halloween telah menjadi acara musiman yang cukup populer di Jepang, namun biasanya lebih terkait dengan restoran atau toko makanan yang membuat banyak hidangan atau makanan penutup berbahan dasar labu. Anak-anak kecil meminta permen di lingkungan mereka, sementara mahasiswa atau anak muda melakukan cosplay. Tidak ada nuansa mistis sama sekali.


"Jangan-jangan, dengan Salamander, kamu ingin membuat labu Halloween..."


Yukuto pernah mendengar bahwa cahaya di dalam Jack-o’-lantern saat Halloween konon berasal dari roh tertentu. Dan keraguannya dijawab dengan senyuman lebar dari Watanabe.


"Benar. Mereka sebenarnya cocok sekali. Pepo, Salamander, dan Pedang Mithril, sepertinya cukup enak untuk dibuat menjadi sup miso."


"Salamander dan Pedang Mithril untuk miso sup!!"


"Fuka-chan, Fuka-chan, ada yang jadi salah paham nih!"


Saat akhirnya nafasnya mulai teratur, Izumi berdiri dengan malas.


"Mungkin saja, tapi kurasa sekarang di dalam pikiran Senpai sedang terbayang Fuka-chan dengan kostum penyihir Halloween, membawa pedang panjang di pinggang, melakukan ritual untuk memanggil kadal api dengan Jack-o'-Lantern."


"Eh? Apa itu?"


Analisis Izumi cukup akurat membaca isi kepala Yukuto, sementara Yukuto sendiri merasa,


"Eh? Apa itu?"


"Senpai, tahu tidak? Sebenarnya, 'Salamander' itu adalah nama varietas bayam."


"Apa!? Bayam? Maksudmu bayam itu!?"


"Entah bayam mana lagi yang kamu pikirkan, tapi varietas bayam itu memang punya banyak nama aneh. Dan 'Mithril Sword' itu sebenarnya bawang daun."


"Bawang daun!? Kotaki-san, kamu lagi-lagi mencoba membohongiku, ya?"


"Tidak, kok! Nama-nama sayuran itu memang aneh-aneh. Ada kentang yang disebut 'Destroyer,' selada yang dinamai 'Wizard,' atau cabai bernama 'Ratai.' Kurasa itu hanya selera perusahaan benih saja."


"Perusahaan benih?"


"Perusahaan yang mengurus benih dan bibit, itu disebut perusahaan benih! Senpai kan sering nongkrong di klub berkebun, masak hal kayak gitu saja tidak tahu?"


"Ah, yah…"


"Dan Fuka-chan juga!"


"Eh? Aku!?"


"Ya, kamu. Senpai kan bisa melihat wujud elf-mu, jadi kalau kamu sembarangan menggunakan istilah fantasi yang membingungkan, Senpai pasti jadi kebingungan."


"Eh, maaf. Maksudku, istilah fantasi mana yang kamu maksud? Aku tidak begitu paham karena aku jarang main game."


Mengatakan itu dengan penampilan seorang elf benar-benar ironis. Yukuto hampir saja ingin mengomentarinya, tapi ia menahannya. Rasanya ini bukan saat yang tepat untuk mengatakannya.


"Bagaimanapun, walau tadi semuanya jadi buyar karena aku dihukum."


Tanpa alasan yang jelas, Izumi tiba-tiba menoleh kembali pada Yukuto, menatapnya dengan penuh permusuhan, dan berkata dengan tegas.


"Kalau orang seperti Senpai, yang bahkan takut dengan rahasia tentang elf dan tidak tahu banyak tentang berkebun, menjadi pacar Fuka-chan dan mengambil banyak fotonya, aku tidak akan pernah setuju!"


"Aku, um, aku mengerti maksudmu, tapi itu bukan urusanmu, Kotaki-san."


"Walaupun aku teman masa kecilnya, apa aku tidak boleh ikut campur dalam hubungan sosial temanku?"


Saat Yukuto hampir saja mengeluarkan alasan, Izumi memotongnya.


"Aku adalah satu-satunya orang yang bisa melihat wujud elf Fuka-chan. Kalau begitu, siapa lagi selain aku yang bisa melindunginya?"


Dengan menunjukkan permusuhan yang paling nyata sejauh ini, Izumi membuat Yukuto terdiam.


"Izumi-chan! Kamu keterlaluan!"


"Kalau dia tidak bisa menghadapi Fuka-chan secara langsung, aku tidak akan membiarkannya mendekati Fuka-chan! Ingat itu!"


Setelah mengatakan hal itu, Izumi melirik ke arah Watanabe, yang menunduk di bawah cahaya senja, sebelum berbalik dengan sedikit ekspresi canggung.


"Kamu mau kemana, Izumi-chan?"


"Mandi. Anak-anak klub olahraga tidak ada sekarang, dan aku tidak mau memakai seragam dalam keadaan penuh keringat seperti ini. Sampai jumpa."


Setelah itu, Izumi berjalan menuju gedung klub olahraga.


"Sampai jumpa artinya kalian akan pulang bersama?"


"Akhir-akhir ini, aku selalu pulang bersama Izumi-chan. Um, Oki-kun, maaf ya, Izumi-chan sudah bersikap sangat kasar…"


"Tidak, seperti yang kubilang, Watanabe-san tidak perlu minta maaf."


Sebenarnya memang bukan Watanabe yang perlu meminta maaf, dan sebagian besar apa yang Izumi katakan tidak sepenuhnya salah. Justru karena itu, ada satu hal yang membuat Yukuto sangat penasaran.


"Sejak kapan Kotaki-san, um, maksudku…"


Alasan Yukuto ragu untuk menyelesaikan kalimatnya adalah karena ada terlalu banyak hal yang membuatnya bingung. Namun, Watanabe tampaknya langsung menangkap apa yang Yukuto maksudkan.


"Izumi-chan mulai bisa melihat wujud elf-ku sejak kelas satu SD."


"Sejak saat itu ya…!"


Fakta bahwa Izumi telah mengetahui hal ini selama bertahun-tahun, dibandingkan Yukuto yang baru mengetahuinya dua hari, membuat perbedaannya seperti langit dan bumi.


Sebagai teman masa kecil, Izumi dan Watanabe pastinya memiliki banyak waktu dan kenangan bersama, sesuatu yang tidak dimiliki Yukuto. Maka dari itu, bagi Izumi, Yukuto mungkin hanyalah orang asing yang tiba-tiba muncul sebagai gangguan.


Namun, Yukuto juga punya waktu yang telah dihabiskannya bersama Fuka Watanabe. Dalam waktu itu, Yukuto jatuh cinta pada satu orang.


Jika menilai dari sudut pandang objektif tentang bagaimana pengakuannya hari itu berjalan, kritik Izumi bahwa perasaan Yukuto terpengaruh oleh penampilan Fuka Watanabe dan bahwa dia kurang serius memang tidak sepenuhnya salah.


Namun, di dalam hatinya, Yukuto benar-benar ingin mengakui cintanya pada Fuka Watanabe dengan tulus, bukan hanya sebagai elf, melainkan sebagai dirinya. Itulah sebabnya Yukuto memutuskan untuk tetap memanggilnya Watanabe-san dan mencoba memperlakukan dia seperti sebelumnya.


Namun, dengan munculnya Izumi, yang dapat melihat wujud elf Watanabe, Yukuto merasa ada satu hal yang harus ia pastikan.


"Bolehkah aku bertanya tentang elf?"


"Oki-kun…"


"Kotaki-san adalah teman yang sangat penting bagimu, bukan? Teman itu pasti sangat menghargai sesuatu yang aku sama sekali tidak tahu. Dan karena itu, mungkin Kotaki-san tidak bisa memaafkan aku yang menyatakan cinta pada Watanabe-san tanpa mengetahui apapun."


"Itu… aku rasa itu bukan sesuatu yang Izumi-chan bisa maafkan atau tidak…"


"Ada hubungannya kok."


Yukuto menyatakan dengan tegas.


"Kemarin siang aku sudah bilang, tapi aku ingin mencoba menyukai Watanabe-san dengan sungguh-sungguh lagi."


"Huh!? Eh, a-apa aku sudah bilang sesuatu sampai sejauh itu!?"


Watanabe yang mendengar itu terkejut, dan bahkan Yukuto yang baru saja mengatakan itu sempat terlihat panik.


"...Sekarang setelah kupikirkan, mungkin aku belum bisa mengatakannya, tapi mungkin apa yang dikatakan Kotaki-san masih membekas dalam diriku. Tapi, aku benar-benar serius tentang perasaan itu, jadi tolong dengarkan aku."


"B-baik…"


"Jadi, begini. Hanya menyukai seseorang saja tidak cukup. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku ingin Watanabe-san yang saat itu menjadi pacarku. Karena, bukankah itu wajar? Kalau kamu menyukai seseorang, kamu ingin orang itu juga menyukaimu, kan? Tapi kalau aku ingin hal itu terjadi, aku harus bisa menghargai apa yang penting bagi orang itu. Kalau aku tidak bisa melakukannya, itu tidak benar."


Yukuto menundukkan pandangan pada kamera yang dipegangnya, lalu melanjutkan.


"Watanabe-san. Kalau tidak keberatan, bisakah kamu memberitahuku? Tentang dirimu, tentang sihir, tentang elf. Hal-hal yang mungkin Kotaki-san tahu, tapi aku tidak tahu. Aku tidak memaksamu, tentu saja."


Izumi akan selalu ada di sisi Watanabe.


Dan Watanabe, mungkin juga akan selalu berada di sisi Izumi.


Jika Yukuto ingin berada di sisi kedua teman masa kecil ini sebagai seseorang yang juga mengetahui kebenaran tentang elf, maka dia harus menunjukkan kesopanan dan ketulusan.


"Aku mengerti."


Watanabe, menjawab dengan wajah serius pada perkataan Yukuto.


"Ini akan menjadi cerita yang cukup panjang, dan ada hal-hal yang harus kubicarakan dengan Izumi-chan terlebih dahulu. Jadi, aku tidak bisa langsung membicarakannya sekarang, tapi aku juga punya banyak hal yang ingin kuberitahukan pada Oki-kun. Apakah kamu mau mendengarkan?"


"Tentu saja. Terima kasih."


Perasaan lega yang besar sedikit meredakan ketegangan pada wajah dan detak jantung Yukuto.


Namun, di saat berikutnya, sesuatu terjadi yang membuat detak jantungnya meningkat drastis.


"Dan mungkin, ketika kita berbicara nanti, kamu akan datang ke rumahku, bukan di sekolah. Apakah itu tidak masalah?"


"T-tentu saja!?"


Sebuah permintaan yang benar-benar di luar dugaan membuat Yukuto langsung menyetujuinya tanpa berpikir panjang.


"Rumahku tidak jauh dari sekolah, jadi ketika waktunya tiba, aku akan menghubungimu lebih awal."


"Y-ya, aku mengerti."


"Aku tidak akan membuatmu menunggu terlalu lama, jadi apakah kamu bisa menunda sedikit pengambilan foto untuk kontes ini?"


"Tentu saja, tidak masalah..."


"Maaf, ya."


"Tapi itu bukan sesuatu yang perlu kamu minta maaf, Watanabe-san."


Mau soal elf atau bukan, keinginan Yukuto untuk memotret Fuka Watanabe hanyalah keinginan pribadinya sebagai ketua klub fotografi.


"Kalau begitu, aku akan menghubungimu lagi nanti."


Setelah mengatakan itu, Watanabe pergi dengan tubuh mungilnya sambil membawa peralatan yang ditinggalkan oleh Izumi, membuat suara gaduh saat berjalan.


Mungkin aku seharusnya menawarkan bantuan, pikir Yukuto.


Namun, penyesalan itu baru muncul setelah sosok Watanabe tak lagi terlihat. Itu semua sudah terlambat.


"Hal seperti inilah yang mungkin tidak disukai Kotaki-san dariku."


Jika dipikirkan dengan akal sehat, seharusnya aku membantunya.


Apa yang dibawa Watanabe hanyalah tiga alat; cangkul, sekop, dan garpu tanah. Bukan jumlah yang tidak bisa dibawa seorang diri, tapi membantu tentu akan membuatnya lebih mudah.


"...Memang seperti inilah diriku, ya."


Tidak ada gunanya memikirkan sesuatu yang sudah terlewatkan.


Yukuto menghela nafas panjang untuk menghapus penyesalan kecil itu, lalu membalikkan badan dari taman bunga yang telah digarap itu. Namun, dia tidak menuju jalan pulang, melainkan ke ruang klub fotografi.


"Aku rasa komposisinya cukup bagus."


Dia berhenti sejenak dan menoleh kembali ke taman bunga yang kini kosong, lalu mengintip melalui jendela bidik kamera.


Adegan saat Izumi bekerja dengan alat-alat yang dipegangnya adalah momen yang mudah untuk diatur dalam bingkai, ditambah dengan ekspresinya yang serius, Yukuto yakin itu akan menjadi foto yang bagus bahkan tanpa melalui proses pencetakan.


Namun, di dalam jendela bidik, Izumi tidak bersinar.


Apa yang ditampilkan oleh kamera dan jendela bidiknya tentang subjek yang bersinar tidak selalu sesuai dengan tingkat kepuasan hasil fotonya.


Tentu saja, ini bukan sesuatu yang bisa dia katakan pada orang lain, dan dia belum pernah memberi tahu siapa pun tentang rahasia di balik jendela bidiknya.


Saat Yukuto mengarahkan kamera ke tanah lunak yang kosong, tidak ada apa pun yang terjadi. Dia mengeluh, menurunkan kameranya, dan melangkah menuju ruang klub fotografi.


Ketika kembali ke ruang klub, selebaran perekrutan anggota baru masih belum berkurang, dan tidak ada pesan apa pun di media sosial.


"Yah, saat ini aku punya prioritas lain, sih."


Dia bergumam pelan sambil masuk ke ruang klub.


Jam di ruang klub sudah menunjukkan pukul enam sore lewat. Dia mulai merasa sedikit lapar, tetapi tidak merasa perlu untuk menghubungi rumah.


Seperti biasanya, ibunya mungkin akan pulang larut malam karena pekerjaan.


Di tempat ini, yang paling membuatnya nyaman selain kamar tidurnya di rumah, Yukuto ingin menenangkan pikirannya.


"Rumah, ya...!"


Karena ruang klub fotografi biasanya sepi, bahkan di sekitar area itu, Yukuto bisa meluapkan emosinya dengan suara keras jika diperlukan.


"Rumah, ya…!!"


Tentu saja, aku pernah membayangkannya.


Rumah Fuka Watanabe seperti apa, ya?


Sayangnya, hingga pengakuan cintanya beberapa waktu lalu, aku hampir tidak pernah berbicara tentang rumah atau keluarganya.


Mungkin, satu-satunya pembicaraan yang mendekati itu adalah saat dia mengatakan posturnya yang tegap karena ibunya mendidiknya dengan keras.


Sekarang, aku bisa menerima alasan itu sampai batas tertentu.


Jika dia benar-benar seorang elf, tentu tidak mudah untuk membicarakan rumah atau keluarganya begitu saja.


"Rumah, ya..."


Dalam situasi normal, diundang ke rumah seorang gadis yang kamu sukai adalah salah satu peristiwa yang paling menggembirakan dalam hidup.


Ketegangan saat melangkah ke zona pribadi seorang gadis dan kegembiraan karena mendapat izin itu. Ekspektasi dan kecemasan tentang percakapan apa yang akan dilakukan sebelum tiba di sana. Harapan kecil bahwa hubungan kalian akan semakin dekat.


Semuanya seharusnya menjadi momen mendebarkan yang positif dalam berbagai hal.


Tentu saja, aku tidak sepenuhnya mengabaikan pikiran-pikiran itu.


Namun, semua itu kalah jauh oleh kenyataan besar bahwa Fuka Watanabe adalah seorang elf.


Ungkapan "tidak terlalu jauh" biasanya berarti lokasi yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki sekitar sepuluh menit. Tapi dalam situasi ini, kemungkinan dia menggunakan kekuatan sihir untuk membawa aku keluar dari Jepang sama sekali bukan nol.


Bahkan, ada kemungkinan dia membawaku keluar dari Bumi.


"Yah, karena ada Kotaki-san, sepertinya itu tidak akan terjadi, sih..."


Karena mereka sudah menjadi teman sejak SD, setidaknya harus ada masa ketika mereka bersekolah di SD dan SMP yang aku kenal.


Kemungkinan bahwa Izumi adalah seorang anak yang baru pulang dari luar negeri, dan mereka sebenarnya bersekolah di luar negeri juga bukan nol. Tapi itu masih jauh lebih baik dibandingkan kemungkinan dibawa ke tempat yang disebut "dunia lain."


"Lebih baik, ya?"


Menurut internet, asal mula elf ada dalam mitologi Nordik.


Namun, tidak ada negara di kawasan Nordik di mana bahasa Jepang digunakan secara umum. Dan karena aku tidak tahu bahasa asing selain bahasa Inggris dan bahkan tidak fasih berbicara dalam bahasa Inggris, jika aku dibawa ke sana, itu juga akan menjadi akhir bagiku.


"Yah, itu tidak mungkin terjadi. Pasti tidak mungkin, kan?"


Satu-satunya dasar pikiranku adalah kotak bekal bertingkat tiga yang dibawa oleh elf Watanabe.


Bekal rumput laut, ayam goreng, dan salad kentang.


Rasanya tidak mungkin budaya di Nordik memiliki kebiasaan mengemas makanan seperti itu dalam kotak bergaya Jepang.


Namun, apel yang dimakan langsung seolah memberikan kesan ala luar negeri, yang entah bagaimana memperkuat kecemasanku. Meski begitu, apel juga bisa dibeli di supermarket kalau ingin.


"Kalau begitu... selanjutnya soal keluarganya, ya..."


Bertemu keluarga di rumah seorang gadis adalah peristiwa yang cukup menegangkan.


Bahkan lebih menegangkan dibanding mengetahui lokasi rumahnya.


Hal yang sangat sederhana, jika anaknya adalah elf, tentu saja orang tuanya juga elf.


(Orang dewasa yang benar-benar serius pasti punya alasan untuk menjalani hidup dengan sungguh-sungguh setiap hari.)


"!!"


Kata-kata ayahku, yang jarang kuingat, tiba-tiba muncul kembali dari kegelapan ruang klub.


Tubuhku menggigil seolah baru saja bangun dari tidur siang.


Benar.


Orang tua dari Fuka Watanabe, yang seorang elf, pasti punya alasan yang kuat untuk menyembunyikan jati diri anak mereka.


Namun, alasan serius apa yang membuat orang tua menyembunyikan anak mereka dari dunia?


"Tidak ada bayangan sama sekali, dan memikirkannya di sini pun tidak ada gunanya."


Aku tidak tahu apa-apa.


Bahkan tanpa Izumi memberitahuku, aku tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang Fuka Watanabe yang seorang elf.


Bahwa dia bukan manusia biasa melainkan seorang elf, makhluk yang selama ini dianggap hanya ada dalam imajinasi, dan bahwa dia menggunakan sihir untuk menipu mata manusia lainnya sehingga dapat hidup sebagai seorang siswi SMA biasa bernama Fuka Watanabe.


Yang aku tahu hanyalah itu saja.


Elf itu apa? Sihir itu seperti apa? Aku bahkan tidak tahu di mana dia tinggal atau berapa jumlah keluarganya.


Dia menyukai berkebun, dan nilai-nilainya di sekolah tidak mencolok baik di bidang akademik maupun olahraga.


Dan hari ini aku baru mengetahui fakta yang sebenarnya tidak ingin aku tahu, bahwa dia memiliki popularitas besar di kalangan beberapa anak laki-laki.


Dulu, di tahun pertama, ada hari-hari ketika aku bahkan tidak bisa menyapanya.


Namun sekarang, aku mengetahui fakta tentang dirinya yang hanya diketahui oleh Kotaki Izumi.


"Aku harus mengenalnya dengan baik mulai dari sekarang."


Aku memutuskan untuk mencetak foto yang kuambil hari ini di toko kamera langgananku, kemudian aku menyentuh meja dan...


"Ah."


Aku menyadari tanganku menjadi berdebu karena meja itu penuh dengan debu tipis.


"Yah, Kotaki-san memang sudah tidak akan bergabung dengan klub fotografi."


Aku teringat bahwa aku pernah berkata kepada Tetsuya bahwa aku akan membersihkan ruang klub setelah jam pelajaran selesai, jadi aku menghentikan langkahku yang hendak pulang dan menuju ke lemari penyimpanan alat kebersihan.


Di sana terdapat beberapa sapu panjang, beberapa kain lap tua yang sudah kering, dan ember penyok.


Tahun lalu, aku menggunakan alat-alat ini bersama para kakak kelas untuk membersihkan ruangan ini setiap hari.


"Aku tidak boleh mencari alasan hanya karena sendirian."


Aku tidak bisa membersihkan semuanya, tapi setidaknya aku akan membersihkan meja dan debunya. Aku mulai mengambil sapu dan...


"Apa-apaan, kamu sendirian ya?"


Suara tak terduga terdengar, membuatku melihat ke arah pintu masuk ruang klub.


"Tetsuya? Kenapa kau ke sini?"


"Kenapa? Ah, um..."


Komiyama Tetsuya, yang tampaknya baru saja selesai berlatih klubnya, bersandar di pintu sambil memandang ruang klub yang kosong kecuali aku dengan ekspresi aneh.


"Yah, aku cuma khawatir denganmu, jadi aku ke sini."


"Apa? Kenapa khawatir?"


"Yah, aku penasaran apakah kamu yang tidak terbiasa dengan perempuan bisa mengajak siswi cantik tahun pertama untuk bergabung dengan klub."


Ngomong-ngomong, aku baru ingat bahwa alasan elf Watanabe datang ke Moonbucks adalah karena Tetsuya yang menceritakan tentang Izumi padaku.


"Kenapa itu sampai membuatku bicara dengan Watanabe-san?"


"Oh, jadi kamu tahu soal itu. Berarti..."


Tetsuya tersenyum licik saat mendekatiku, lalu merebut sapu di tanganku dan mulai menyapu lantai.


"Kau gagal mengajaknya, ya?"


"Memang benar, tapi kenapa kamu terlihat senang?"


"Ya jelas, aku benar-benar senang bahwa kau tidak jadi menghabiskan waktu di klub hanya berdua dengan siswi cantik tahun pertama itu."


"Benar-benar perkataan yang tulus ya. Wajahmu sudah cukup menjelaskan itu."


"Yah, begitu lah."


Klub olahraga benar-benar luar biasa, ruang klub yang sempit bisa mereka bersihkan dengan cepat.


Saat Yukuto masih bersih-bersih, Tetsuya sudah mengambil ember dari loker, lalu mengisinya dengan air dari keran di lorong, dan kembali lagi. Dia mengambil dua kain pel kering, lalu melempar salah satunya ke arah Yukuto.


"Tapi pada akhirnya, aku pikir itu keputusan yang tepat. Anak itu juga masuk sebagai anggota sementara di klub berkebun, kan? Kalau sesama klub satu anggota saling berebut anggota baru, kita jadi nggak bisa memotret apa yang kita mau, kan?"


Yukuto tidak pernah membicarakan secara rinci tentang ‘hal yang ingin dipotretnya’ kepada Tetsuya. Tapi mungkin Tetsuya memikirkan hubungan Yukuto dengan Fuka Watanabe dari sudut pandangnya sendiri.


"Terima kasih ya."


"Buat apa?"


"Karena udah bantuin bersih-bersih."


Berkat bantuan Tetsuya, pembersihan sederhana itu selesai kurang dari sepuluh menit, dan Yukuto bisa meninggalkan sekolah sebelum matahari benar-benar tenggelam.


"Aah, lapar. Yukuto, makan yuk?"


"Maaf, belakangan ini aku sering mencetak foto, uangku lagi tipis."


"Mencetak, ya. Kamu kan pakai kamera film, ya? Kalau pakai kamera digital, kan tinggal cetak pakai printer. Itu nggak bisa ya?"


"Bukan nggak bisa, tapi dengan kecepatan kerjaku, tetap aja printer nggak bakal murah. Kalau untuk lomba, aku juga harus pakai kertas yang bagus."


Setelah berkata demikian, Yukuto mengangkat bahunya.


"Lagi pula, hari ini aku kebagian tugas masak malam."


"Oh iya, ya. Kalau gitu, aku pamit sampai di sini aja. Kalau nggak makan, aku bisa tumbang."


"Perut anak klub olahraga memang luar biasa ya. Pulang ke rumah juga pasti makan lagi, kan?"


"Sama aja. Menurutku, punya sesuatu yang sampai rela menghemat uang makan demi hal itu, itu keren banget, tahu. Sampai jumpa."


Dalam perjalanan pulang dari sekolah, di depan kedai gyudon di jalan perbelanjaan menuju Stasiun Kamiitabashi, Yukuto berpisah dengan Tetsuya.


Melihat waktu, godaan aroma dari kedai gyudon itu memang menggiurkan. Tapi kalau mampir, toko kamera langganannya bisa tutup sebelum dia selesai mencetak foto.


Setelah berhasil menyerahkan filmnya tepat sebelum toko tutup, Yukuto langsung menuju supermarket sembari menunggu proses pencetakan selesai.


"Persediaan susu hampir habis, telur juga harus beli. Terus, sarapan besok pakai apa ya? Mau masak nasi lebih banyak malam ini atau beli roti?"


Di supermarket di jalan perbelanjaan yang sama, dia memilih bahan makanan sambil mengingat daftar belanja di ponsel dan isi kulkas di rumah, juga menyesuaikannya dengan rencana esok hari dan isi dompetnya.


Setelah selesai, waktunya pas untuk mengambil foto yang sudah selesai dicetak. Dengan foto dan film rool di tangan, dia berjalan kaki selama lima belas menit pulang ke rumah, langkahnya terasa sedikit lebih berat.


"Aku pulang!"


Dia membuka pintu rumahnya, yang terletak di kawasan perumahan arah Tokiwadai dari Kawagoe Kaido.


Tidak ada jawaban atas salamnya. Rumah gelap tanpa satu pun lampu menyala.


Ketika melihat ponselnya, ada pesan dari ibunya.


[Sepertinya aku bisa pulang sebelum jam sembilan].


[Kalau begitu, santai saja].


Karena tahu ibunya akan pulang larut seperti biasanya, dia memutuskan untuk tidak perlu buru-buru menyiapkan makan malam.


Setelah membereskan belanjaan ke dapur dan kulkas, Yukuto kembali ke kamarnya untuk mengatur barang-barangnya dan memeriksa hasil cetakan foto.


Dia meletakkan tas kamera dengan hati-hati di lantai, mengambil kameranya, dan menaruhnya di tempat yang biasa di meja belajarnya. Lalu, dia mengeluarkan foto-foto hasil cetakan.


"Hasilnya cukup bagus. Entah Kotaki-san akan suka atau tidak, sih."


Foto itu menunjukkan Izumi Kotaki, dengan mata yang tajam menatap tanah, mengenakan pakaian olahraga, dan memegang cangkul dengan serius, sementara keringat di tubuhnya memantulkan cahaya seperti pelangi di bawah sinar senja.


Dari sudut pandang kontes, kurangnya cahaya akibat waktu dan tempat pengambilan gambar mungkin memengaruhi penilaian. Namun, untuk menyampaikan daya tarik seseorang, hasilnya sudah lebih dari cukup.


"Tapi… maaf ya, Kotaki-san, kali ini cahaya itu nggak muncul."


Yukuto menatap kotak kamera di atas mejanya dan kembali merasa bingung.


Dalam setahun terakhir, dia sudah memahami bahwa kilauan yang dia lihat dari balik lensa kamera itu tidak ada hubungannya dengan hasil foto yang diambil.


Kadang objek yang jelas-jelas bagus tidak bersinar, sementara objek yang tampaknya biasa saja justru memancarkan kilau.


Ketika dia memotret objek yang bersinar, bahkan jika dia sengaja menyusun komposisi yang buruk, hasil fotonya tetap terlihat memiliki keunikan tersendiri. Apakah itu hanya perasaannya?


Hari ini, dia tidak hanya memotret Izumi. Karena penasaran bagaimana Watanabe yang dalam wujud'Elf' terlihat di kamera film, dengan izinnya, dia memotret Watanabe bersama Izumi.


"Bukan Elf, ya."


Watanabe sendiri pernah mengatakan bahwa kamera film tidak akan menangkap wujud Elfnya. Dan benar saja, hasil foto yang dicetak hanya menunjukkan Fuka Watanabe sebagai seorang gadis Jepang biasa.


Hari ini, berapa kali pun dia mengarahkan lensa ke Watanabe, sosok Elfnya tidak pernah bersinar.


"Ngomong-ngomong, kamera ini sebenarnya apa sih?"


Kamera ini dulunya milik ayahnya, tapi tidak ada logo atau cap dari pabrik mana pun. Bahkan setelah mencarinya di internet atau menanyakannya ke toko kamera langganan, asal-usul kamera ini tetap misterius.


Di antara koleksi kamera ayahnya, hanya kamera ini yang masih bisa digunakan dengan film yang dijual umum. Jadi, meskipun asal-usulnya tidak jelas, tidak ada masalah saat memakainya.


Namun, dari semua koleksi lensa ayahnya, hanya satu lensa yang cocok dengan kamera ini. Jadi, jika suatu hari dia membutuhkan lensa berbeda, mungkin dia harus beralih ke kamera lain.


"Yah, sejauh ini aku belum perlu lensa khusus, jadi nggak apa-apa… Hah?"


Saat itu, ponselnya bergetar. Dia berpikir itu pesan dari ibunya tentang menu makan malam, tapi saat melihat layar, ternyata bukan.


"Selamat malam. Maafkan Izumi-chan atas kejadian hari ini. Besok setelah pulang sekolah, aku ingin kamu datang ke rumahku untuk membahas urusan seputar situasi di sekitarku. Rumahku hanya sekitar lima belas menit berjalan kaki dari sekolah. Kutunggu balasanmu."


"Cepat sekali!? Dan ternyata rumahnya dekat banget!"


Sepertinya izin Izumi diperlukan, seperti yang pernah disebutkan. Tapi apakah keluarganya tidak terlibat dalam rahasia seputar Elf?


"Mungkin rahasia tentang Elf ini nggak seberat yang aku pikirkan."


Apa yang awalnya dibayangkan ternyata menjadi hal yang berbeda, dengan arah pertanyaan yang saling berujung pada keraguan. Namun, karena pesan sudah terbaca, aku harus segera membalasnya.


"Tidak apa-apa. Besok aku akan datang…."


Setelah aku mengirim balasan itu, sebuah stiker karakter populer berbentuk beruang bertuliskan "Terima kasih" langsung terkirim sebagai jawaban.


Stiker itu sudah sering aku lihat sejak mulai berkomunikasi dengan Watanabe melalui ponsel.


Karena semuanya terasa biasa saja, aku tidak bisa melanjutkan dengan pertanyaan lebih jauh, dan entah kenapa, aku merasa kelelahan.


"Masak dulu ah, lalu tidur lebih awal malam ini."


Aku membagi foto hasil kerjaku ke dalam kantong plastik kecil untuk Watanabe dan Izumi, kemudian melepas blazer seragamku. Dengan langkah berat, aku menuju dapur.


Aku menyiapkan sup miso dengan tahu dan daun bawang yang sudah dipotong-potong. Nasi beku kuhangatkan di microwave, sementara aku memotong-motong bacon yang hampir habis masa berlakunya, wortel yang hampir mengering, dan setengah bawang bombai yang tersisa. Semua itu kemudian aku tumis dengan saus tomat.


Terakhir, aku membuat dua lembar omelet dengan susu dan sedikit dashi putih, lalu meletakkannya di atas nasi tomat. Jadilah omurice sederhana. Sempat terpikir kalau dua menu ini saja tidak seimbang, tetapi pada saat itu…


"Aku pulang!"


Tepat saat itu juga, ibuku pulang kerja. Aku memutuskan menyerah dan hanya menyajikan makanan yang sudah ada di meja.


"Selamat datang. Makanannya sudah siap."


"Ah, terima kasih. Tapi, kombinasi omurice dengan sup miso itu apa-apaan?"


Ibuku, Yukiko Oki, seorang wanita pekerja dengan setelan semi-kasual berwarna abu-abu, menurunkan tas kerjanya yang berisi laptop dan dokumen-dokumen. Ia langsung duduk di meja makan.


"Itu sisa-sisa bahan dari kulkas. Besok semuanya akan diperbarui, jadi harap maklum. Dan meskipun aku tahu ibu lelah, setidaknya cuci tangan dulu sebelum makan."


"Iya, iya. Jangan seperti ibu-ibu, aku ini sudah dewasa."


Ibuku mendengus, tapi tetap menurut. Ia pergi ke wastafel, dan dalam hitungan detik kembali lagi.


"Ibu benar-benar sudah cuci tangan? Apa ibu juga berkumur?"


"Sudah, sudah. Jangan seperti ibu-ibu cerewet. Ah, aku lapar. Mari makan!"


Dengan cepat, ibuku mengambil sumpit dan mulai makan tanpa basa-basi.


"Hmm. Enak. Telurnya, kamu tambahkan sesuatu ya?"


"Aku tadi sedikit menambah sedikit bumbu penyedap, agar rasanya tambah lebih terasa"


"Fufu, kamu kalau dalam urusan memasak selalu jagonya ya."


Ibuku tertawa sambil melanjutkan makan, lalu tiba-tiba berkata,


"Oh iya, di klub fotografi sekolahmu, ada anggota baru yang masuk?"


Tangan yang kupegang untuk memulai makan langsung berhenti.


"Belum… sejauh ini belum ada."


"Begitu. Yah, kalau kamu merasa tidak sanggup sendirian, sebaiknya kamu tahu batasan dan jangan memaksakan diri. Bagaimanapun, fotografi tidak akan membawamu jauh kemana-mana."


Aku tidak menjawab apa-apa, tapi ujung sendok di tanganku turun.


"Aku tidak ingin mengatakannya berulang-ulang, tapi jangan pernah berpikir untuk hidup dari fotografi. Aku bahkan lebih rela kamu bilang ingin jadi komedian atau mangaka."


"Berapa kali aku bilang, aku tidak punya niat seperti itu."


"Baguslah kalau begitu. Yah, masa depan tidak ada yang tahu, tapi fotografer terkenal pun biasanya mulai dari pekerjaan kantoran. Jadi, fokuslah pada pendidikan dulu."


Pembicaraan ibuku beralih ke cerita dan keluh kesah di kantor. Aku akhirnya mulai makan omurice, sambil memberikan respons asal untuk ceritanya.


Makan malam sederhana itu selesai dengan cepat.


"Terima kasih untuk makanannya. Aku capek banget. Aku mau mandi, lalu tidur."


"Ibu…"


Aku memanggil ibuku yang berjalan cepat ke kamar mandi.


"Apakah ayah juga begitu?"


"Maksudmu?"


"Soal fotografer terkenal yang memulai dari perusahaan."


"Oh."


Ibuku menjawab malas.


"Bagaimana pun ayahmu, kamu jangan banyak terlalu memikirkannya. Fokus saja ke universitas yang bagus."


Tanpa menjawab pertanyaanku, ia masuk ke kamar mandi, mengakhiri pembicaraan.


Aku sebenarnya tidak ingin memperpanjang topik itu, hanya mencoba melawan tekanan dari ibuku.


Namun, aku sudah tahu jawabannya.


"Aku tidak punya ambisi besar. Tapi..."


Suara kecilku tidak membawa emosi besar, tapi hanya terdengar kecil.


"Semakin ditekan, semakin ingin melawan. Itu sifat alami anak-anak."


Aku tahu ibuku bukan orang bodoh. Ia hanya lelah dan ingin berkata-kata di momen singkat itu. Tapi tetap saja, waktu ucapannya terasa tidak tepat.


"Aku harus memenangkan lomba fotografi ini."


Sambil mematikan lampu ruang makan dan naik ke kamar, aku melewati ruang kerja ayahku.


"Entah bagaimana ini akan mempengaruhi fotoku, tapi aku sudah memutuskan."


Pintu ruang kerja itu hanya diam menerima kata-kataku. Aku mengangguk dan masuk ke kamarku tanpa melihat ibuku lagi malam itu.



Keesokan harinya setelah jam sekolah. Watanabe sedang menunggu di depan gerbang depan sambil membolos dari kegiatan klub, dan seperti yang sudah diduga oleh semua orang, di sampingnya ada Izumi Kotaki.


"Yah, sebenarnya aku sudah menduga ini."


"Hmph. Tidak mungkin aku membiarkan Fuka-chan berduaan dengan Senpai!"


Seperti induk kucing yang melindungi anaknya, ia terlihat siap untuk mencakar dan menggigit kapan saja.


"Izumi-chan!"


"Hmm!"


"Karena aku yang mengundang Oki-kun, jangan berlaku kasar! Lagipula, Izumi-chan! Oki-kun itu senpai mu, jadi jangan berkata kasar. Kalau begini, kita tidak bisa lanjut berbicara, jadi tolong minggir sebentar!"


"Ta-tapi kan nggak apa-apa. Sepertinya Senpai juga nggak masalah!"


"Yah, memang aku nggak terlalu mempermasalahkan, tapi kalau itu yang kamu katakan, rasanya beda... Yah, sudahlah."


Meskipun sudah dimarahi oleh Watanabe, Izumi masih mencoba menyela di antara mereka, sehingga Yukuto hanya bisa pasrah.


"Aduh… Maaf ya, Oki-kun. Sejujurnya, Izumi-chan itu tidak terlalu penting hari ini, entah dia ada atau tidak."


"Fuka-chan kejam!"


Dengan sikap yang tidak biasa dari seorang Watanabe, Izumi tampak benar-benar merasa terpukul.


"Dia tetap bersikeras ingin ikut, jadi kupikir mungkin dia bisa membantu menambahkan sesuatu. Akhirnya aku menyerah dan mengizinkannya ikut."


"Yah, aku memang sudah menduga dia pasti akan ada di sini, jadi tidak masalah."


"Senpai kok malah memperlakukan orang seperti pengganggu aja sih!"


"Sebagai junior, jangan berkata seperti itu. Kalau kamu terlalu kasar, aku nggak akan mengizinkanmu masuk rumah."


"Hanya karena lahir setahun lebih dulu, kamu pikir kamu sehebat itu!"


"Kita berangkat sekarang. Yuk, Oki-kun, ayo pergi."


"A-ah, iya."


Mengabaikan Izumi yang terus saja ribut, Watanabe menggenggam tangan Yukuto dan mulai berjalan.


"Eh, tunggu! Fuka-chan, tunggu aku!"


Untuk memastikan Izumi tidak bisa berdiri di sampingnya, Watanabe menggantungkan tas-nya di pundak kanannya, sementara tangan kirinya terus memegang tangan Yukuto tanpa melepasnya.


Dia benar-benar tidak melepaskannya. Dengan menggenggam jari Yukuto erat-erat, dia berjalan cepat sambil sedikit menarik Yukuto yang setengah langkah di belakangnya.


Yukuto bisa merasakan kelembutan tangan Watanabe dari ujung jarinya, sementara dari belakang dia merasakan tatapan penuh kebencian dan rasa cemburu dari Izumi. Perbedaan emosi itu membuat pikirannya campur aduk.


"A-anu, Watanabe-san?"


"Kalau sampai tersesat, itu akan jadi masalah besar."


Watanabe menjawab cepat tanpa menoleh ke arah Yukuto, matanya menunduk malu.


"Ta-tapi, aku bukan anak kecil, dan kita sedang di kota, jadi nggak mungkin aku tersesat…"


"Nggak apa-apa kan! Atau... Oki-kun nggak suka kalau kita bergandengan tangan?"


Untuk pertama kalinya dia menoleh ke arah Yukuto dan menanyakan itu dengan pandangan sedikit mendongak.


"Ti-tidak, a-aku nggak masalah, tentu saja…"


Itu adalah jawaban dari perasaan jujur seorang siswa laki-laki SMA yang tak bisa dihindari.


"Syukurlah."


Melihat Watanabe tersenyum bahagia, tidak ada pilihan lain selain membiarkannya berbuat semaunya.


"Fuka-chan, aku juga takut tersesat~!"


"Izumi-chan, pegang saja ujung tas sekolahku."


Dengan suara manja, Izumi mematuhi perkataan Watanabe. Dia mencubit ujung tas Watanabe dengan jari-jarinya, lalu melirik Yukuto sekali lagi sebelum akhirnya diam.


"Kita hampir sampai."


Menurut Yukuto, mereka belum berjalan selama lima belas menit. Mungkin karena langkah mereka cepat, jarak itu terasa lebih pendek.


"Oh, begitu ya. Tapi, ini sudah di kawasan Nerima, kan?"


SMA Minami Itabashi terletak di Itabashi, tetapi berada di dekat perbatasan Nerima, sehingga banyak siswa yang tinggal di kedua wilayah tersebut.


Di sisi barat sekolah, wilayah Nerima adalah kawasan perumahan yang belum pernah dimasuki Yukuto.


"Rasanya rumah-rumah di sini terlihat mirip, ya."


"...Ya, mungkin."


Mereka berjalan beberapa menit melalui deretan rumah dengan ukuran dan desain serupa.


Tiba-tiba terdengar suara pesawat melintas di atas mereka, membuat Yukuto mendongak.


Biasanya dia selalu mendengar suara pesawat saat berangkat dan pulang sekolah, tetapi kali ini dia tidak menyadarinya selama beberapa menit karena suasana menegangkan saat berjalan bersama seorang gadis menuju rumahnya.


"Kita sudah sampai."


Saat mendengar itu, Yukuto segera menoleh ke depan. Mereka kini berdiri di depan salah satu rumah di kawasan perumahan yang biasa-biasa saja.


"Oh, jadi ini..."


Mengatakan rumah itu tidak memiliki ciri khas mungkin terdengar kasar, tetapi memang rumah itu terlihat sangat biasa.


Rumah berlantai dua dengan tembok luar berwarna krem dan atap genteng hitam. Lantai pertama sebagian besar digunakan untuk garasi, di mana sekarang tidak ada mobil, hanya ada dua sepeda yang terparkir. Namun, bayangan seorang Elf bersepeda terasa sulit dibayangkan.


Meskipun tidak besar, taman rumah itu terawat dengan baik, dengan rumput dan tanaman yang rapi. Ada bunga-bunga merah dan putih kecil yang tampaknya ditanam oleh Watanabe sendiri.


Di dekat gerbang terdapat papan nama bertuliskan "WATANABE" dan tanda alamat dari kantor distrik.


Jika Yukuto datang sebagai tamu ke rumah "Fuka Watanabe", rumah itu akan terasa elegan dan sesuai dengan citra pemiliknya.


Namun, sebagai rumah "Watanabe", rumah itu terlalu biasa sehingga Yukuto tidak menemukan apa pun yang mengejutkan.


Secara jelas, hanya taman yang rapi menjadi perbedaan rumah itu dengan rumahnya sendiri.


Ketika pintu masuk dibuka, suasananya sangat mirip dengan rumah Yukuto. Bahkan, di atas rak sepatu terdapat pengharum ruangan yang sama dengan yang digunakan keluarganya.


"Silahkan masuk, kalian berdua."


"Permisi." "Permisi~."


Yukuto yang gugup dan Izumi yang tampak terbiasa melangkah masuk ke rumah, lalu Watanabe membuka pintu geser yang ada di dekat pintu masuk.


"Silahkan masuk, Oki-kun."


Ruangan itu memiliki aroma jerami khas tatami.

(Tln: Tatami adalah tikar tradisional Jepang berbahan jerami anyaman).


Di tengah ruangan ada meja bundar rendah yang dikelilingi bantal duduk berwarna oranye. Di sisi lain ruangan terdapat meja belajar yang terlihat sering digunakan, tetapi tidak ada tempat tidur. Hanya ada rak buku besar dan lemari pakaian tinggi.


"Silahkan duduk di mana pun. Aku akan membuatkan teh."


Yang mengejutkan adalah, itu sebuah ruang bergaya Jepang.


Yukuto tidak keberatan dengan gaya ruang tersebut, karena rumahnya juga memiliki ruang tatami.


Namun, bayangan seorang Elf yang tidur di atas futon di ruangan itu terasa asing baginya.


"Sudah lama aku tidak ke kamar Fuka-chan~."


Izumi dengan santai duduk di salah satu bantal duduk setelah meletakkan tas sekolahnya di pojok ruangan dengan rapi.


Yukuto juga ikut duduk di bantal yang tidak terlalu dekat dengan Izumi sambil meletakkan tasnya di samping.


"Aku segera kembali. Izumi-chan, jangan sampai berbuat yang tidak sopan kepada Oki-kun, ya."


Setelah memperingatkan Izumi, pintu geser di pintu masuk ditutup, suara langkah cepat menuruni tangga terdengar, dan suasana canggung antara Yukuto dan Izumi pun tercipta.


"U-umm, Kotaki-san, apa kamu sering datang ke rumah Watanabe-san?"


"Iya, aku terakhir kali kerumah ini 3 bulan yang lalu, karena harus menyiapkan ujian akhir di SMP. Kenapa memangnya?"


"Ah, tidak, aku hanya penasaran saja."


Percakapan singkat berakhir, dan Watanabe si belum juga kembali. Izumi mulai sibuk dengan ponselnya, sementara Yukuto tampak tidak tenang, memandang sekeliling ruangan.


Setidaknya, di dalam ruangan itu, tidak ada elemen yang mengingatkan pada "elf" sama sekali.


Meja belajar tampak seperti masih digunakan sejak sekolah dasar, terbuat dari papan kayu berwarna cokelat muda. Kursi belajarnya memiliki bantal biru muda yang sudah terlihat kusam dengan bulu-bulu kecil keluar di permukaannya.


Meja kecil yang mereka kelilingi tampak relatif baru, ditempatkan di atas karpet bermotif tradisional Jepang.


Buku-buku di rak semuanya dapat dimengerti oleh Yukuto.


Ada buku pelajaran, buku referensi, serta banyak buku dan ensiklopedia tentang tanaman dan berkebun, dengan judul pada sampul semuanya tertulis dalam bahasa Jepang.


Sekilas, ia tidak menemukan manga atau buku hiburan lainnya.


"Foto Watanabe-san…"


Di dinding, banyak foto terpajang.


Fotonya kemungkinan diambil saat perjalanan sekolah SMP, sebuah foto grup di lokasi yang tampak seperti kuil atau tempat suci di Kyoto. Ada juga foto masa kecil yang sepertinya diambil saat upacara masuk sekolah dasar, menampilkan Watanabe kecil dengan tas ransel di punggungnya.


Dan tentu saja, foto dari Festival Krisan, yang pada dasarnya menjadi penyebab situasi ini.


Foto itu diambil di kuil bersama satu tangkai bunga Krisan Tomoe Nishiki. Ada juga foto lain yang diambil di depan pintu masuk rumah bersama sertifikat penghargaan untuk juara keberanian.


Dalam semua foto itu, tampak sosok Fuka Watanabe berambut hitam yang dikenal Yukuto, selalu dengan senyuman di wajahnya.


Di rak buku meja belajar, ada bingkai kecil dengan foto yang diambil Yukuto di Festival Krisan, memperlihatkan bunga Tomoe Nishiki yang sama.


"Senpai, kamu terlalu memandangi kamar Fuka-chan, lho."


"Tidak, aku tidak sedang melakukan itu."


Lagi pula, ini semua karena Izumi sama sekali tidak menunjukkan minat untuk berbicara.


"Kamu tertarik dengan foto-foto Fuka-chan?"


"Ah, ya, mungkin... karena dipajang di sana."


"Itu saja?"


"Eh? Maksudmu 'itu saja' apa?"


Nada suara Izumi, seperti biasanya, terdengar tidak puas. Namun, Yukuto tidak tahu bagian mana dari percakapan tadi yang membuat Izumi tersinggung, sehingga ia kebingungan.


"Ngomong-ngomong, Senpai, menurutmu ini bagaimana?"


Izumi menyodorkan ponselnya. Di layar, ada foto yang ditampilkan.


Foto itu menunjukkan Izumi dan Fuka Watanabe berdiri berdampingan. Namun, ini bukan Watanabe dalam wujud elf.


Karena fokus pada dua orang tersebut, latar belakang foto tidak terlalu jelas. Namun, mereka berdua mengenakan seragam olahraga SMA, jadi kemungkinan foto itu diambil di sekolah.


"Maksudmu bagaimana?"


"Aku tanya, Fuka-chan terlihat seperti apa? 'Elf'? Atau berambut hitam?"


"Dia terlihat berambut hitam."


Yukuto menjawab dengan jujur.


"Begitu, ya. Omong-omong, lihat rak buku itu."


"Apa?"


"Di sana ada album kelulusan SD dan SMP Fuka-chan."


"Terus kenapa?"


"Maksudku, bukankah dalam situasi seperti ini, ketika seorang gadis tidak ada di ruangan, biasanya orang diam-diam melihat atau membuka sesuatu, lalu gadis itu kembali dan berteriak, 'Hei, apa yang kamu lakukan?!' Itu seperti aturan standar, kan?"


"Aturan standar apanya?"


Yukuto menggelengkan kepala dengan ekspresi heran.


"Bukankah itu tidak sopan menyentuh atau membuka barang di kamar teman tanpa izin pemiliknya, terutama saat pertama kali datang, baik itu laki-laki ataupun perempuan."


"Kamu membosankan ya senpai. Yah, aku sudah melihatnya berkali-kali, jadi aku akan membukanya."


"Apa maksudmu?"


Sambil berbicara, Izumi menarik sebuah album besar yang tampaknya adalah album foto dan hendak membukanya tepat di depan Yukuto.


"Aku tidak akan melihatnya."


"Kamu bilang begitu, tapi aku yakin senpai penasaran. Ayo, lihatlah foto lama Fuka-chan."


Saat itu, pintu geser di pintu masuk terbuka dengan agak keras, dan Watanabe muncul dengan ekspresi kesal.


"Izumi-chan! Aku mendengarnya, tahu!"


"Ups."


Watanabe tampaknya telah mengganti pakaian dan mengenakan pakaian santai.


Di tangannya ada nampan kayu dengan bentuk melengkung unik, membawa tiga cangkir tanpa pegangan yang mengeluarkan uap.


Melihat penampilannya, Yukuto menahan nafas kecil.


Sweater yang dikenakan Watanabe membuat beberapa hal tampak lebih besar daripada saat di sekolah.


Namun, pikiran itu hanya berlangsung kurang dari satu detik. Dalam situasi ini, jika ia menunjukkan sedikit saja niat tidak baik, Izumi pasti akan bereaksi dengan cara yang merepotkan.


Dengan kendali diri yang kuat, Yukuto menenangkan pikirannya.


"Oki-kun bukan tipe orang yang melakukan hal semacam itu tau!"


Watanabe meletakkan nampan ke meja kecil dengan sedikit kasar, lalu membagikan cangkirnya masing-masing.


"Terima kasih… Eh?"


Yukuto memperhatikan bahwa cangkir-cangkir itu memiliki bentuk yang tidak biasa, dan ada sesuatu yang tidak biasa menyertainya.


Minuman itu tampaknya sejenis teh hangat dengan aroma buah yang tidak familiar, dan sebuah sedotan logam diletakkan di setiap cangkir. Di dasar cangkir, terlihat sejumlah daun teh mengendap.


"Hangat?"


Saat Yukuto mengangkat cangkir dan memegang sedotan logam, ia merasakan suhu yang tidak terlalu panas tetapi juga tidak dingin, cukup hangat untuk diminum.


"Minumannya masih sedikit panas, jadi hati-hati, ya."


"Aromanya seperti teh, tapi minum teh hangat pakai sedotan?"


"Benar, bentuknya memang seperti ini."


Watanabe mengangkat sedotan logam dari cangkirnya, memperlihatkannya kepada Yukuto.


Sedotan logam itu memiliki desain rumit, dengan ujung yang melebar menyerupai sendok, lengkap dengan saringan logam yang menutupi bagian tersebut.


"Oh, jadi sedotan ini juga berfungsi sebagai penyaring teh, ya."


Biasanya, untuk menyeduh teh hijau atau teh hitam dari daun teh, digunakan teko dengan saringan di bagian cerat untuk menyaring daun teh sebelum diminum.


Namun, untuk teh ini, daun teh dan air panas langsung dimasukkan ke cangkir, dan saringan pada ujung sedotan logam digunakan untuk menyaring daun teh saat diminum.


"Fuka-chan suka sekali minuman ini, ya."


Izumi tampaknya sudah terbiasa, dengan santai menyentuhkan bibirnya pada sedotan logam yang cukup panas dan perlahan meminum teh.


Mengikuti contohnya, aku mencoba menyentuhkan bibirku ke sedotan dengan ragu-ragu, tapi ternyata tidak sepanas kesanku saat menyentuhnya dengan jari.


Tehnya memiliki aroma segar dan buah, sesuai dengan kesan pertama, bahkan ada rasa manis yang bukan berasal dari gula. Ini teh yang sangat enak.


"Wah , ini pertama kalinya aku minum teh seperti ini, dan rasanya enak!"


"Benarkah? Aku senang kamu menyukainya."


"Peralatan ini juga pertama kali aku lihat. Bentuknya unik sekali."


"Ya, cangkir ini disebut 'cuia', dan sedotannya dikenal sebagai 'bombilla' atau 'bombija' dalam bahasa Spanyol."


Penjelasan itu tidak terlalu membantu, tapi aku menyadari bahwa peralatan ini adalah sesuatu yang belum pernah kulihat atau dengar sebelumnya.


Karena peralatan makan ini berasal dari budaya yang tidak kukenal, aku berpikir, mungkin teh ini dan peralatannya memiliki kaitan dengan dunia elf atau sihir, sesuatu yang mungkin menjadi inti pembicaraan hari ini.


Watanabe, tampak sangat cocok dengan pemandangan: meminum teh beraroma segar dari cangkir kayu yang sudah usang dan sedotan logam berukir indah.


"Watanabe-san, teh ini...?"


"Ini teh favoritku. Aku sudah meminumnya sejak kecil."


"Begitukah? Kalau begitu, apakah ini mungkin ada kaitannya dengan asal-usulmu, Watanabe-san...?"


"Asal-usulku? Apa maksudmu?"


Saat aku terpana oleh sosoknya, tiba-tiba suara Izumi yang tenang tapi tegas menusuk telingaku.


"Ini adalah mate, teh dari Amerika Selatan. 'Cuia' dan 'bombilla' adalah istilah dalam bahasa Spanyol yang digunakan untuk peralatan minum mate di Argentina."


"Tunggu Fuka-chan, bukankah penjelasanmu itu agak menyesatkan!!"


Saat penjelasan Izumi mulai masuk akal di pikiranku, Izumi tidak bisa menahan diri untuk menyela.


Watanabe tampak kecewa dengan ekspresi terluka, tapi ini sudah seperti membicarakan salamander atau pedang mithril.


Dan untuk pertama kalinya, Izumi memberikan tatapan dingin kepada Watanabe.


"Fuka-chan, untuk penjelasan teh mate itu tidak masalah, tapi mempresentasikan 'cuia' dan 'bombilla' dengan cara seperti ini benar-benar menyesatkan. Kalau ada kesempatan lain, lebih baik jangan lakukan lagi. Apalagi bombilla ini, kelihatannya cukup bagus. Ukirannya cantik, jadi terlalu berbau fantasi."


"Tapi teh mate disebut sebagai 'salad dalam cangkir' karena kandungan nutrisinya yang tinggi, lho!"


"Aku bukan sedang membahas itu. Lagipula, Senpai sudah cukup santai sekarang untuk mulai bertanya lebih jauh, jadi mungkin ini saatnya untuk bicara tentang dirimu."


Dengan satu kalimat, Izumi mematahkan protes Watanabe, lalu mengisyaratkan padaku dengan gerakan dagunya.


"Senpai ingin tahu tentang apa itu elf dan siapa sebenarnya Fuka-chan, kan?"


"Ya, benar."


Aku benar-benar bersyukur Izumi ada di sini saat ini.


Watanabe meletakkan cangkirnya di atas meja dengan wajah serius, lalu menghela nafas panjang seperti sedang mengambil keputusan.


"Oki-kun. Kamu tahu dari mana kata 'elf' berasal?"


"Dari mana kata itu berasal? Maksudmu etimologi?"


"Ya. Dalam bahasa Jepang, kata itu ditulis dalam katakana sebagai 'エルフ' (Erufu), tapi kalau ditelusuri, konsep ini berasal dari kata 'álfr' dalam bahasa Norse Kuno sekitar abad ke-8, yang muncul dalam mitologi Nordik. Dari situ, istilah ini berubah ke berbagai bahasa lain."


"Oh, begitu."


Aku tidak pernah memikirkan asal-usul kata-kata seperti elf, dwarf, goblin, atau dragon yang sering muncul dalam cerita fantasi di Jepang.


Aku hanya berpikir secara samar bahwa istilah-istilah itu mungkin berasal dari suatu tempat di Eropa. Tapi sekarang, dengan periode dan wilayah yang lebih spesifik, konsep itu tiba-tiba terasa lebih nyata.


"Kalau begitu... apa ini berarti elf benar-benar ada? Maksudku, apakah ada manusia dengan telinga panjang, rambut indah, dan kemampuan menggunakan sihir?"


"Indah? Ah, Oki-kun..."


"Aku sudah tidak tahan lagi."


Aku hanya ingin memastikan sesuatu yang sulit dipercaya, tapi Watanabe malah terlihat malu, dan Izumi mendengus bosan.


"Tenang, Oki-kun. Penilaian itu aku terima, tapi ini bukan tentang itu. Yang sebenarnya adalah, nenek moyang kami yang kemudian dikenal sebagai elf mulai datang ke Bumi sekitar abad ke-8."


"Datang ke Bumi?"


Aku yang mengira ini cerita fantasi, tiba-tiba merasa seperti mendengar cerita fiksi ilmiah.


"Maksudmu, mereka makhluk luar angkasa? Alien?"


"Apakah mereka alien... aku sebenarnya tidak tahu. Tapi dalam hal ini, kami hanya bisa menyebutnya 'Bumi', karena tidak ada nama lain untuk dunia ini dalam bahasamu."


Watanabe mengangkat tangannya untuk menghentikan pertanyaanku, lalu berdiri.


"Ras yang kalian sebut 'elf', yang dalam bahasa kami disebut 'San-Álfr', memperoleh kekuatan untuk melintasi dunia sekitar 1.200 tahun yang lalu."


Berdiri di depan lemari geser, Watanabe berkata dengan tegas.


"Aku datang ke Jepang ini dari dunia lain."


"Dunia lain...?"


"Izumi-chan bilang bahwa istilah 'dunia lain' adalah cara termudah untuk menjelaskan ini sekarang. Dunia tempat aku dilahirkan disebut 'Náche Rivira'. Elf melintasi dunia untuk datang ke Bumi ini."


Aku memahami konsep dunia lain, setidaknya dalam imajinasi.


Tempat yang berbeda dari sini. Kadang sebagai tempat reinkarnasi setelah mati, kadang tempat yang dilintasi waktu dan ruang, atau kadang tempat yang seseorang dipanggil secara ajaib.


Tempat di mana logika dan norma dunia nyata kadang berlaku, tapi juga kadang tidak.


"Mungkin sulit dipercaya untuk mendengar hal seperti ini secara tiba-tiba. Rasanya seperti seseorang yang tidak bisa membedakan antara fantasi dan kenyataan."


"Tidak, bukan begitu. Tapi, ya, aku akui ini cukup mengejutkan..."


Elf dan sihir memang sudah aku lihat dan alami sendiri.


Namun, yang aku lihat dengan mataku sendiri hanya penampilan Watanabe dalam wujud elf dan fakta bahwa penampilannya itu hanya terlihat olehku dan Izumi. Hanya dua fakta ini yang menjadi dasar untuk membuktikan adanya semua elemen fantasi lainnya.


"Itulah sebabnya aku ingin mengundangmu ke kampung halamanku hari ini, Oki-kun."


"Apa?"


"Aku ingin melanjutkan cerita ini di dunia lain, Náche Rivira. Apakah kamu bersedia?"


Belum pernah sebelumnya ada pertanyaan "apakah kamu bersedia" yang sebingung ini untuk dipahami maksudnya.


Dunia lain bernama Nache Rivira. Nama unik yang sama sekali baru didengar ini tiba-tiba dimunculkan begitu saja, membuat pemikiran Yukuto langsung terhenti.


Mungkin karena merasa khawatir melihat kondisinya, si Elf bernama Watanabe segera berbicara dengan nada terburu-buru.


"Ah, anu, aku tahu ini mendadak dan mungkin bikin cemas, tapi jaraknya dekat kok, tidak perlu bayar, tidak perlu bawa apa-apa, dan kalau tidak suka, kita bisa langsung kembali!"


"Bukannya ini seperti promo pengalaman gratis dari gym olahraga dekat stasiun?"


Menanggapi kecemasan Yukuto, si Elf Watanabe berkata cepat-cepat, lalu tanpa basa-basi menggeser pintu geser dari lemar itu dengan bunyi "glarrr."


"Lihat, tidak ada yang berbahaya. Dan, ini bisa kita gunakan untuk pergi ke sana!"


Lemari biasa di sebuah ruangan bergaya Jepang. Pintu geser itu, yang seharusnya menampilkan ruang gelap untuk menyimpan barang-barang, kini bersinar samar-samar, memperlihatkan pemandangan luas yang dipenuhi pohon, rumput, tanah, bunga, serta cahaya matahari yang tidak diketahui dari mana asalnya.


"Di sini juga ada sandal untuk dipakai kita bertiga,"


kata Watanabe sambil membuka pintu geser sisi lain lemari.


Kali ini isinya lebih normal: tumpukan futon dan kotak penyimpanan plastik. Ia mengeluarkan tiga pasang sandal dari celah di antara barang-barang itu.


"Bagaimana? Keren, kan?"


Kisah tentang portal waktu di laci meja belajar, pintu menuju dunia sihir di tiang stasiun kereta, atau wormhole yang menghubungkan sudut-sudut tertentu di alam semesta memang sudah ada jauh sebelum Yukuto lahir.


Namun, seorang Elf yang menghubungkan portal menuju dunia lain ke pintu lemari di sebuah ruangan bergaya Jepang? Itu jelas pertama kalinya dia mendengar hal seperti itu.


"Kenapa kamu hubungkan portal itu ke lemari!?"


Namun, Watanabe mengabaikan pertanyaan itu. Ia menata dua pasang sandal bersol tebal untuk Yukuto dan Izumi di ambang batas dunia, lalu dengan lembut meletakkan sandalnya sendiri dan melangkah melintasi portal itu. Gerakannya begitu alami, seolah hanya sedang melangkah ke balkon dari sebuah jendela.


"Pokoknya, Oki-kun, ayo sini."


Gerakan Watanabe yang begitu santai saat melintasi portal itu membuat semua pertanyaan Yukuto terhenti. Dia tanpa sadar mengulurkan tangan untuk menyambut tangan Watanabe, yang lembut menariknya ke dunia lain, melangkah keluar seolah memasuki balkon.


Begitu Yukuto melewati portal itu, semua inderanya langsung berubah—suara yang didengar, aroma yang dihirup, angin yang dirasakan di kulit, suhu udara, hingga cahaya tujuh warna yang terlihat oleh matanya.


Di atasnya, langit luas membentang. Di depannya, padang rumput tak berujung terbentang sejauh mata memandang.


"Selamat datang di Nache Rivira."


Sambut Watanabe, dengan pipi yang sedikit memerah. Ketika ia melepaskan tangan Yukuto, kesadaran bahwa dirinya kini berada di dunia lain langsung menyergap.


"Ini… luar biasa…," bisiknya dengan takjub. Pemandangan yang memukau, yang tidak membutuhkan lensa kamera untuk terlihat begitu indah, membuatnya bergetar hingga berkata tanpa sadar.


Watanabe tersenyum melihat ekspresi Yukuto dan berkata dengan lembut,


"Kami, Elf dari Nache Rivira, atau yang disebut sebagai ‘Sun Elf,’ memikul tanggung jawab untuk menebus dosa leluhur kami. Dahulu, ada seorang ‘Raja Iblis’ dari kaum Sun Elf yang menyebabkan kekacauan besar di Nache Rivira. Sebelum berhasil dikalahkan, ia melarikan diri ke suatu tempat di Bumi. Sejak itu, selama 200 tahun, kami dilarang meninggalkan pulau penjara terapung Astotiran dan harus menyamar di Bumi, mencari dan mengalahkan Raja Iblis tersebut. Ini adalah dosa kami dan penebusan kami. Aku adalah salah satu dari Sun Elf itu, dan rahasia leluhurku adalah rahasiaku juga. Kalau gitu, bagaimana kalau kita kembali sekarang?"


"Mana bisa aku langsung pulang begitu saja!!"


Setelah semua penjelasan itu, yang keluar dari mulut Yukuto adalah salah satu komentar penuh emosi terbesar dalam hidupnya.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close