NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Elf Watanabe Volume 1 Chapter 6

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 6

Fuka Watanabe Tidak Dapat Melihatnya


Aku pernah mendengar cerita di suatu tempat bahwa manusia yang tidak sadar jauh lebih berat daripada manusia yang sadar.


Meskipun secara massa tidak ada perubahan, aku berpikir saat pertama kali mendengar cerita itu bahwa masalahnya adalah hilangnya kemampuan mengendalikan postur tubuh dari pihak yang harus digendong.


Dan sekarang, saat aku benar-benar menggendong seseorang yang tidak sadarkan diri, aku tanpa alasan tertentu merasa kesal dengan diriku sendiri yang di masa SMP dulu sempat memikirkan teori kosong seperti itu.


Lagi pula, seorang anak SMA laki-laki yang bahkan tidak terlalu kuat menggendong seorang perempuan seumurannya terus-menerus adalah hal yang mustahil, terlepas dari berat atau apakah dia sadar atau tidak.


"Se... Senpai... apa kamu baik-baik saja? Masih hidup kan?"


"Fuh... fuh... fuh..."


Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Yukuto benar-benar tidak mampu merespons suara Izumi yang penuh perhatian, sambil berbaring telentang di bawah pohon yang tumbuh di padang rumput, bernafas dengan terengah-engah.


Setelah berjalan sekitar satu jam dari titik awal, semua sendi dan otot tubuh Yukuto terasa seperti berteriak.


Tahap pertama, yaitu hanya untuk menggendong Watanabe yang pingsan, sudah merupakan tantangan besar.


Hanya dengan menyentuh tubuh seorang perempuan yang tidak sadarkan diri saja sudah merupakan tugas yang sulit.


Meskipun Izumi membantunya untuk mencoba mengangkat tubuh Watanabe, tubuh seseorang yang tidak sadar sangat mudah goyah, membuat proses hanya untuk memindahkan ke punggung Yukuto saja menjadi sulit.


Awalnya Izumi sempat cerewet, melarang Yukuto menyentuh kulit Watanabe atau bagian tubuh tertentu. Namun, setelah lelah karena sulitnya menjaga postur Watanabe, akhirnya mereka berhasil memindahkan ke punggung Yukuto.


"Kalau begitu, semangat ya. Aku serahkan padamu senpai.," 


Sementara Yukuto, dalam tiga menit pertama, merasa sangat gugup karena bersentuhan langsung dengan tubuh Watanabe —tangan yang memegangnya, kulit, bentuk tubuh, dan aroma yang dirasakan.


Namun, tiga menit kemudian, jantungnya berdebar bukan karena hal itu, tetapi karena beban yang tidak biasa di seluruh tubuhnya, yang membuat fungsi jantung dan paru-parunya terasa seperti menjerit.


Ini bukan soal berat tubuh Watanabe atau apakah dia sadar atau tidak.


Menggendong seseorang selama puluhan menit di jalan yang tidak beraspal adalah sesuatu yang baru bisa dilakukan oleh seorang tentara atau tim penyelamat terlatih. Untuk seorang ketua klub fotografi yang masih kelas dua SMA, itu benar-benar terlalu berat.


Meski begitu, Yukuto berhasil berjalan selama lima belas menit, meskipun harus berjuang dengan sandal yang tidak biasa dipakainya.


Namun, ketika dia mengusulkan untuk beristirahat sejenak, Izumi yang mengikutinya dari belakang mulai mengejeknya.


"Baru segini sudah istirahat? Senpai, latihanmu benar-benar kurang banget, ya?"


"Kalau gitu... coba, ganti... Kotaki-san, tolong... aku... ganti gendong deh..."


"Eh? Maksudnya, kamu mau bilang kalau Fuka-chan berat?"


"Berat!"


Jawaban Yukuto terhadap pertanyaan itu sangat sederhana dan jelas.


"Ini bukan soal Watanabe-san atau siapa pun, tapi memang manusia itu berat tau!"


"Hei, jangan teriak-teriak begitu... Ya sudah, kalau kamu segitu ngomelnya, biar aku yang ganti."


Dengan sedikit ragu, Izumi akhirnya mendukung tubuh Watanabe yang bersandar di punggung Yukuto, lalu menggantikan posisi untuk menggendong.


"Dulu aku sering main sama Fuka-chan, saling menggendong sampai taman dekat rumah. Ini mah gampang...!"


Berusaha tampak percaya diri, Izumi mencoba berdiri, tapi dia hampir jatuh ke depan dan harus dengan cepat melangkah untuk menjaga keseimbangannya.


Setelah berhasil berdiri, matanya melebar dan nafasnya tertahan.


"Lehernya miring, biar aku luruskan. Jangan bergerak."


"Uh, oke..."


Saat berdiri, leher Watanabe tampaknya terjatuh ke satu sisi. Yukuto meluruskannya, tapi itu tidak membuat beban menjadi lebih ringan.


"Kalau condong ke depan, beban memang lebih mudah ditahan, tapi kamu bisa jatuh. Jadi lebih baik letakkan beban di pinggul, dorong dada ke depan, dan lengkungkan tubuh sedikit ke belakang. Dengan begitu, keseimbangan akan lebih baik."


"Jangan kasih tahu hal sulit kayak gitu sekarang. Aku tahu kok. Tubuhku dan senpai beda, jadi jangan ngomel-ngomel."


Izumi, dengan nada terburu-buru yang jelas menunjukkan dia mulai kehilangan kesabaran, akhirnya berhasil melangkah satu langkah ke depan.


Lalu dua, tiga langkah lagi. Setelah mulai menemukan ritme, secercah harapan dan rasa percaya diri muncul di wajahnya.


"Ternyata bisa juga, ya."


Namun, perasaan itu langsung pupus hanya satu menit kemudian, ketika otot-otot lengannya mulai terasa nyeri karena menahan beban langsung dari tubuh yang digendongnya, sementara kakinya yang beralas sandal hampir tidak mampu menjaga keseimbangan di tanah yang tidak rata.


Seperti saat orang yang tidak pernah berolahraga mencoba melakukan push-up atau sit-up, pada sepuluh repetisi pertama mereka merasa itu mudah. Tapi pada sepuluh repetisi berikutnya, mendadak bebannya terasa berat, dan sepuluh terakhir hampir mustahil dilakukan.


Fenomena yang sama dialami oleh Yukuto dan Izumi. Dan Izumi, yang tidak kuat lagi, akhirnya menyerah kurang dari lima menit.


"...Maaf ya, tadi aku mengejekmu."


Izumi, yang berlutut di tanah dengan lututnya kotor sambil seluruh wajahnya penuh keringat, meminta maaf dengan jujur atas ucapannya sebelum Yukuto, yang mengejarnya dari belakang, mengatakan sesuatu.


"Kita jalan sambil istirahat saja ya. Kalau Kotaki-san yang menggendong, mungkin Watanabe bakalan jatuh dan terluka di suatu tempat."


"Iya, aku paham. Sebagai gantinya, saat kita istirahat, aku yang menopang tubuh Fuka-chan. Jadi, Senpai, istirahatlah dengan benar."


Izumi mengangguk setuju pada perkataan Yukuto. Setelah beristirahat selama lima menit, Yukuto kembali menggendong dan mulai berjalan lagi.


Namun, jarak yang bisa mereka tempuh semakin pendek, dan dengan air minum yang habis karena banyak berkeringat, mereka akhirnya tak bisa lagi bergerak setelah berjalan selama satu jam dari titik awal.


"Kotaki-san... desa para elf itu, ada di dekat pintu masuk hutan, kan?"


"Bagaimana, ya. Rasanya kita harus berjalan cukup jauh."


"Seriusan? Ini gawat."


Yukuto bangkit dengan wajah kesulitan dan melihat ke arah hutan yang mereka tuju.


Meskipun jarak mereka jelas semakin dekat, pada waktu sore ini, mereka masih belum melihat tanda-tanda lampu rumah penduduk sama sekali.


"Masuk ke hutan yang gelap nggak berbahaya, kan?"


"Nggak tahu. Waktu itu aku pergi di siang hari dengan panduan Fuka-chan... Tapi, kalau nggak salah, di dalam hutan ada jalan."


"Serius? Wah, kacau ini."


"Kacau kenapa? Kalau ada jalan, kan kita nggak bakal tersesat."


"Memang. Tapi, kalau gitu, kenapa dari padang rumput ini kita nggak nemuin jalan ke hutan itu?"


"Apa... eh?"


Izumi akhirnya memahami maksud Yukuto.


"Tapi, aku yakin kok! Soalnya waktu itu, dari tempat sebelumnya pintunya kebuka, kita jalan ke jalan itu... normalnya cuma butuh waktu lima belas menit buat sampai hutan, terus Fuka-chan yang memandu kita lewat jalan itu... eh?"


Seperti saat mencari ponsel yang hilang, wajah Izumi mulai menunjukkan ketidaknyamanan.


Menurut pengalaman Izumi, mereka seharusnya sudah sampai di hutan sejak tadi.


Namun, meski Yukuto menggendong satu orang, mereka tetap belum mencapai hutan bahkan setelah berjalan selama satu jam, dan bahkan belum menemukan jalan yang pernah dilewati sebelumnya. Hal itu membuat Izumi merasa gelisah tanpa alasan yang jelas.


Bagi Yukuto, melihat satu-satunya pemandu mereka menunjukkan ekspresi cemas juga membuatnya tidak bisa tetap tenang, ditambah dengan kelelahan yang dirasakannya.


"Jangan-jangan, kalau nggak ada elf yang memandu, kita nggak bisa masuk, ya?"


"Hah? Maksudnya apa itu?"


"Di cerita-cerita fiksi yang aku tahu, ini sering terjadi. Buat menyembunyikan desa atau pemukiman mereka dari orang asing, mereka pakai sihir yang bikin hutan atau jalannya berputar. Yang bisa masuk cuma orang yang diundang oleh penduduk atau penyihir yang bisa mematahkan sihir itu."


"Nggak mungkin! Karena... soalnya waktu masuk hutan jalannya hampir lurus semua... harusnya..."


Nada suara Izumi kini benar-benar kehilangan kekuatan dan keberaniannya yang biasa.


"Tapi, kalau dipikir-pikir... waktu itu, aku terus-terusan menggandeng tangan Fuka-chan... Jangan-jangan, itu alasannya?"


"Mungkin saja."


Sambil mendengarkan cerita Izumi, Yukuto teringat perjalanan mereka dari sekolah ke rumah Watanabe.


Saat elf Watanabe mengusulkan untuk menggandeng tangan, Yukuto merasa senang, tapi kalau dipikir lagi, itu adalah tindakan yang cukup mendadak.


Dalam situasi di mana Watanabe menegur Izumi karena perkataannya, dia menggandeng tangan Yukuto, lalu segera setelah itu, dia juga membuat Izumi memegang tas sekolahnya.


Selama beberapa menit perjalanan ke rumah Watanabe, Yukuto tidak bisa mengingat apa yang dilihatnya.


Tentu saja, dia terlalu terbuai oleh situasi menggandeng tangan seorang gadis elf, sesuatu yang harus diakuinya.


Namun, meskipun Yukuto berusaha mengingat lokasi rumah Watanabe, dia tidak menemukan bangunan atau persimpangan yang bisa menjadi penanda.


Mungkin saja rumah Watanabe di dunia ini disembunyikan dari pandangan umum oleh alasan magis.


Saat dia memikirkan itu, langit semakin gelap, dan suara makhluk yang tidak dikenalnya mulai terdengar entah dari padang rumput yang kosong atau dari dalam hutan yang jauh.


Izumi mulai panik dengan jelas.


"Gimana dong... Hei, Senpai, menurutmu kita harus gimana?"


Mendengar itu, Yukuto tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Tapi memarahi Izumi karena rasa frustrasi akibat lelah juga tidak ada gunanya.


"Ya, aku juga nggak tahu harus gimana."


Dia mengeluarkan smartphone dari sakunya, yang sampai sekarang hampir terlupakan. Namun, seperti yang diduga, sinyalnya menunjukkan "tidak ada layanan," dan waktu hampir menunjukkan pukul tujuh malam.


"Ini parah. Sial."


Meskipun tidak berharap banyak, dia tetap merasa kesal dan ingin membuang smartphone yang basah oleh keringat itu ke tanah.


"Tunggu, huh?!"


Entah bagaimana, saat jarinya tergelincir, sebelum smartphone itu jatuh ke tanah, suara shutter kamera terdengar.


"Kotaki-san."


"Ada apa?"


"Tolong pegang Watanabe-san. Lalu, kembalikan kameraku."


"Hah? Uh, oke."


Izumi, dengan wajah yang tampak khawatir, tetap mendengarkan Yukuto dengan patuh. Dia menyerahkan kamera film yang terus dipegangnya selama Yukuto menggendong elf Watanabe di punggungnya.


Yukuto menerima kamera itu kembali setelah satu jam, lalu memeriksa apakah filmnya masih tersisa. Dengan kedua lengannya yang sudah mulai terasa nyeri otot, ia mengangkat kamera ke depan wajahnya dengan penuh tenaga dan mulai mengintip melalui jendela bidik.


"......"


Gerakan Yukuto yang perlahan melihat sekeliling terhenti di satu titik. Izumi, merasa cemas, bertanya kepadanya.


"Senpai, ada apa?"


"...... Seriusan nih?"


Saat hendak menjawab pertanyaan Izumi, kekaguman lebih dulu keluar dari mulutnya.


"Kotaki-san, lihat ini."


Yukuto mengembalikan kamera itu kepada Izumi, sementara dia sendiri menopang tubuh elf Watanabe.


"Ini bakalan tidak terjadi apa-apa kan?"


"Mungkin tidak apa-apa."


Izumi menerima kamera itu dengan bingung, tetapi tetap mengarahkan lensa ke arah yang dilihat Yukuto sebelumnya, lalu dengan hati-hati melihat melalui jendela bidik.


"Ah!"


Izumi melihat "cahaya" yang dimaksud Yukuto di dalam jendela bidik.


Tanah padang rumput yang sudah mereka lihat berkali-kali hingga terasa membosankan, kini memiliki satu jalur cahaya seperti Milky Way, memanjang lurus menuju hutan.


"Ini... ini yang tadi Senpai katakan..."


"Iya. Tapi ini pertama kalinya terlihat sebesar dan seluas ini. Dan jalurnya menuju ke hutan itu. Mungkin ini jalan menuju desa yang tadi kamu sebutkan, Kotaki-san."


"Entahlah... tapi mungkin saja. Aku tidak tahu."


Sambil terus mengulangi bahwa dia tidak tahu, Izumi mengembalikan kamera itu kepada Yukuto.


Ketika dia melepaskan pandangannya dari jendela bidik, yang terlihat hanyalah tanah malam seperti biasa.


"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?"


"......Kalau sudah sejauh ini, hanya ada satu hal yang bisa kita lakukan. Pegang tubuh Watanabe-san dengan erat."


Yukuto berdiri, memegang kamera dengan kuat di kedua tangannya, lalu menekan tombol rana ke arah jalur cahaya itu.


Pada saat itu, cahaya di padang rumput malam terlihat nyata, dan suara jernih yang meledak menghantam telinga Yukuto dan Izumi.


"Mustahil... jalannya...! Hutannya!"


Izumi hampir lupa menopang tubuh elf Watanabe karena terkejut.


Jalur cahaya yang mereka lihat melalui jendela bidik muncul tepat di depan mereka, kemudian jalan itu pecah dengan suara yang sama. Hutan yang tadinya jauh mendadak seolah muncul seperti tembok di depan mata mereka.


"Apa... apa ini...? Apa yang sebenarnya terjadi tadi...?"


"Uh... uh..."


"Fuka-chan! Kamu sudah sadar ya!?"


Pada saat itu, elf Watanabe terbangun, mengeluarkan suara lirih, lalu kekuatan kembali ke tubuhnya, dan dia membuka matanya.


"Uh! I-Izumi-chan! Aku... aku tidak menjatuhkan kameranya Oki-kun, kan!?"


"Hal pertama yang kamu khawatirkan begitu sadar adalah itu? Aduh... Fuka-chan, kamu bisa berdiri gak?"


Izumi menghela nafas lega sambil menunjukkan ekspresi yang campuran antara kesal, iri, dan tawa kecil, lalu membantu Watanabe berdiri dengan menahan lengannya dan pundaknya.


"Watanabe-san, apa kamu sudah tidak apa-apa?"


"Iya, aku baik-baik saja. Masih sedikit pusing sih, tapi..."


Ketika Yukuto bertanya, Watanabe menunjukkan ekspresi lega sambil melihat kamera di tangan Yukuto.


"Syukurlah kameranya Oki-kun tidak rusak."


"Yah, bener sih..."


"Mungkin kameranya tidak rusak, tapi aku rasa kamera itu memang aneh. Lihat ini."


"Ini, jalan menuju desa kan?"


"Sebelumnya jalan seperti ini tidak ada di mana pun. Tapi begitu dilihat dari jendela bidik kameranya Senpai, jalannya terlihat. Dan setelah tombol rana ditekan, jalannya muncul."


"Setelah tombol rana ditekan?"


"Ngomong-ngomong, Fuka-chan, kamu ingat kenapa kamu pingsan? Itu karena kamu melihat Senpai melalui kameranya kan?."


"Melihat Oki-kun? Itu..."


Elf Watanabe tampak bingung dengan perkataan Izumi, lalu mulai melihat sekeliling. Akhirnya, dia melihat ke arah tempat di mana Yukuto dan Izumi berjalan tadi.


Karena mereka berjalan sangat lambat selama satu jam, dan tanahnya sangat datar, mereka masih bisa melihat tempat awal batas pintu terbuka.


Saat itu juga, elf Watanabe memerah.


"Uh, uh... Apa mungkin Oki-kun yang... menggendongku sampai ke sini?"


"Tidak sepenuhnya! Aku juga membantu!"


Izumi buru-buru menyela sebelum Yukuto menjawab, tetapi tidak menyadari bahwa ucapannya justru menguatkan pertanyaan elf Watanabe.


Watanabe yang mendengar itu mukanya terlihat memerah dan kepalanya agak menunduk saat itu 


"Aku... aku berat, kan? Maaf sudah merepotkan kalian."


"I-itu..."


Karena sebelumnya dia sempat mengatakan berat di depan Izumi, Yukuto tidak bisa berbohong bahwa itu tidak berat. Namun, dia juga tidak bisa mengatakan bahwa Watanabe memang berat secara langsung.


Izumi, yang tampaknya menyadari pergolakan batin Yukuto, hanya tersenyum nakal.


"Berat, ya..."


Tentu saja, pergolakan itu juga dapat dirasakan oleh Watanabe, yang semakin menunduk.


"Ugh... Apa... aku tidak bau keringat? Tapi aku tidak sempat mandi di rumah, jadi... uh~."


"Watanabe-san?"


"Tidak apa-apa! Aku yakin aku tidak terlalu berkeringat hari ini!?"


"Hah? Apa? Keringat? Kenapa ngomongin itu?"


"Ah! Ti-tidak apa-apa! Lupakan saja tadi!"


"Y-ya, itu bukan masalah sih. Tapi, ngomong-ngomong, Watanabe-san, kalau kamu sudah merasa cukup baikan, bisa tidak membuka jalan untuk kembali ke Jepang?"


"Jalan...? Oh, iya! Benar! Karena aku pingsan, jalan itu menutup, ya? Maaf! Padahal aku bilang kita bisa pulang dengan cepat."


"Tidak apa-apa, Fuka-chan. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya."


"Aku juga, selama kita bisa pulang hari ini."


"Tapi kalau kalian terlambat pulang tanpa alasan, aku akan merasa bersalah kalian berdua!"


"Tidak apa-apa, Watanabe-san! Di rumahku, tidak ada siapa-siapa bahkan di jam segini."


"Rumahku juga tidak masalah. Aku sudah bilang akan pulang terlambat."


"Tapi, tetap saja. Tunggu sebentar, ya. Kalau aku istirahat sebentar lagi, aku pasti bisa."


Elf Watanabe menarik nafas dalam-dalam, lalu mengerutkan kening sambil memandang jalan dan hutan yang muncul karena kamera itu.


"Tapi... kenapa jalan ini ada di sini?"


"Karena kita tidak tahu kapan Fuka-chan akan sadar. Jadi, aku membawa kita ke tempat ini. Ingat waktu dulu kamu membawaku ke hutan ini kan, kamu memperkenalkannya padaku."


"Memperkenalkan... hutan... Ah!"


Saat itu, wajah Watanabe, si elf, yang sudah putih pucat, menjadi semakin biru.


"Tanpa panduanku... jika jalannya terbuka, maka... tidak mungkin! Tidak mungkin!"


Elf bernama Watanabe itu kini mulai panik sambil melihat kamera milik Yukuto.


"Tidak mungkin, kamera itu benar-benar mampu meniadakan sihir jalan tersesat...! Kalau begitu, ini bisa menjadi masalah besar! Untuk saat ini, kalian berdua harus segera kembali ke Jepang dan pulang ke rumah kalian!"


"Ada apa, Fuka-chan? Tenang dulu, wajahmu pucat tau, jadi istirahatlah dulu sebentar ya."


"Tidak bisa santai! Aku belum pernah mendengar tentang sihir jalan tersesat yang bisa dipatahkan! Kalau terus begini, ‘Teman-teman Hutan’ akan...!"


Elf bernama Watanabe itu tidak dapat menyelesaikan kalimatnya.


Sesaat kemudian, tiba-tiba cahaya tak terhitung jumlahnya muncul dan mengepung Yukuto dan yang lainnya.


"Se... secepat ini...!"


"Tidak! Apa-apaan ini!?"


Yukuto secara refleks melindungi Watanabe dan Izumi di belakangnya, tetapi dengan cepat menyadari bahwa tindakannya sama sekali tidak berarti.


Yang muncul dari dalam cahaya adalah prajurit bersenjata lengkap, semuanya lebih tinggi dari Yukuto.


Mereka membawa tombak, pedang, dan busur panah, mengenakan zirah ringan dengan ornamen seragam yang khas.


Meskipun Yukuto tidak memiliki pengetahuan tentang militer atau seni bela diri, ia langsung menyadari bahwa sepuluh prajurit yang muncul itu memiliki gerakan yang terlatih secara profesional. Terlebih lagi, sejak mereka muncul dari cahaya, mereka terus melayang di udara.


Dikelilingi oleh prajurit bersenjata lengkap yang bisa terbang, tidak ada peluang sedikit pun bagi Yukuto untuk menang.


Namun demikian, para prajurit tidak langsung menyerang. Mereka tampaknya mengamati situasi Yukuto dan yang lainnya dari jarak jangkauan tombak mereka.


Karena itu, Yukuto memiliki sedikit waktu untuk mengamati mereka. Namun, saat pertama kali melihat para prajurit dari dunia lain itu, Yukuto merasakan perasaan aneh yang tak dapat dijelaskan.


"Apa-apaan ini!? Ka... kami berdua tidak melakukan apa-apa, Fuka-chan juga tidak! Kalau ada yang salah, itu pasti senpai ini dan kameranya!"


Dari belakang Yukuto, Izumi berusaha melemparkan kesalahan pada Yukuto, yang membuatnya merasa tidak masuk akal. Namun, tindakan itu justru memengaruhi situasi.


"Fuka...? Apa mungkin anak ini Izumi-chan?"


Seorang prajurit dengan pakaian yang tampak lebih berstatus tinggi daripada yang lain membuka pelindung wajah helmnya.


Itu adalah suara perempuan paruh baya. Ketika wajah di balik pelindung itu terlihat, Yukuto menyadari sumber perasaan aneh yang ia rasakan.


"Dia bukan elf...?"


Wajah yang muncul adalah wajah khas orang Asia.


Bahkan, wajah itu sangat mirip dengan wajah "Fuka Watanabe" yang Yukuto ingat.


"Fuka?"

"Fuka, ya?"

"Ah, rupanya sekutu kita."

"Dia membawa manusia dari dunia sana?"


Bersamaan dengan perempuan itu menunjukkan wajahnya, prajurit lain mulai menurunkan kewaspadaan mereka dan membuka pelindung wajah helm masing-masing.


Hampir semua dari mereka memiliki wajah orang Jepang dan berbicara dalam bahasa Jepang.


Perempuan yang pertama kali menunjukkan wajahnya perlahan turun ke tanah sambil tetap waspada, tombaknya tetap diarahkan ke Yukuto. Ia melihat ke arah dua orang di belakang Yukuto.


"Fuka. Dan juga Izumi-chan. Apa yang kalian lakukan di tempat seperti ini pada waktu seperti ini?"


"Maaf mengganggu pekerjaan, Ibu."


Nada pertanyaan perempuan paruh baya itu dingin, dan jawaban Watanabe pun tidak kalah kaku.


"Faktanya, anak ini... Yukuto Oki, bisa melihat wujud asliku."


"Apa katamu?"


Ekspresi perempuan yang dipanggil "Ibu" itu menjadi tajam saat ia melirik Yukuto.


"Bagaimana bisa begitu?"


Dengan sedikit nada marah, tombak yang diarahkan kepadanya bergerak sedikit lebih dekat ke leher Yukuto.


"Siapa anak laki-laki ini?"


"Teman sekelasku... di sekolah."


"Apa maksudmu dia bisa melihat wujud aslimu?"


"Seperti yang aku katakan. Suatu hari tiba-tiba, sihirku berhenti bekerja pada Oki-kun."


"Pasti ada sesuatu yang memicunya."


"Itu... itu karena..."


Watanabe terdiam, kehilangan kata-kata.


Jika membahas soal pemicu, jelas yang ada di pikirannya hanyalah pengakuan cinta Yukuto. Namun, membicarakan hal itu kepada ibunya terlalu sensitif, terutama karena hubungan ibu dan anak ini tampak tidak terlalu akrab.


"Pemicu pastinya belum jelas. Ada beberapa kemungkinan, tapi semuanya kurang meyakinkan."


"Ceritakan dengan jelas."


"Itu... begini..."


Watanabe terlihat sangat tertekan.


Izumi, yang tampaknya khawatir melihat Watanabe terpojok, mencoba membuka mulut setelah melirik Yukuto. Namun, Yukuto menghentikannya dan bicara lebih dulu.


"Mungkin karena kamera ini."


"Oki-kun!?"


Watanabe berteriak spontan, tetapi Yukuto menghentikannya.


"Kamu siapa?"


"Namaku Yukuto Oki. Aku teman sekelas Fuka Watanabe di SMA Minami Itabashi sejak tahun lalu."


"Begitu ya. Kamera itu apa?"


Izumi menyebut perempuan itu sebagai Ryoka Watanabe, ibu dari Fuka Watanabe, yang bukan elf.


Yukuto menunjukkan kameranya kepada perempuan tersebut.


"Itu kamera milik ayahku, tetapi sekarang aku yang menggunakannya. Sebelumnya, aku sama sekali tidak tahu apa pun tentang elf atau Sun-Elf. Bahkan sekarang pun aku masih belum mengerti."


"Kalau begitu, kenapa kamu bisa melihat wajah Fuka?"


"Seperti yang Fuka-san katakan, ada beberapa kemungkinan. Tetapi aku tidak tahu pasti alasannya. Bagaimana mungkin aku tahu? Aku baru mengenal dunia ini sekitar dua jam lalu."


"Kalau begitu, mengapa kamu mengira kamera ini penyebabnya?"


"Fuka-san pingsan begitu melihat ke dalam kamera ini. Pada saat itu, pintu menuju Jepang menghilang sehingga kami tidak bisa kembali. Karena Kotaki-san mengatakan dia mengenalmu, kami datang ke sini untuk meminta bantuan."


"Jika kalian meminta bantuan, kenapa kalian menghancurkan sihir jalan tersesat?"


"Aku tidak bermaksud menghancurkannya. Aku hanya melihat sesuatu yang aneh di dalam jendela bidik, lalu mengambil foto itu."


"Hanya mengambil foto? Pasti ada alasan yang membawamu ke sana."


"Ada banyak alasan, tapi terus terang, aku lebih banyak tidak mengerti. Aku tidak bisa menjelaskannya secara detail."


Ryoka Watanabe menurunkan tombaknya, tetapi merampas kamera yang Yukuto sodorkan dengan kasar.


"Ibu!"


Watanabe memprotes ibunya yang memperlakukan barang milik temannya dengan kasar.


"Sepertinya ini kamera film yang sangat tua. Tidak ada logo mereknya, dan sepertinya bukan buatan Jepang. Setelah datang ke sini, apa kamu memotret sesuatu?"


"Foto pertama yang kuambil adalah jalan ini. Selain itu, tidak ada."


"Kamu melihat melalui jendela bidik ya?"


Seolah tidak mempercayai kata-kata Yukuto, Ryoka Watanabe mencoba melihat ke dalam jendela bidik kamera itu, tetapi dengan cepat mengalihkan wajahnya.


"Kamera ini memiliki mekanisme yang menyerap kekuatan sihir penggunanya. Jelas ini bukan sesuatu dari Jepang… atau bahkan dari Bumi. Apa ayahmu tidak mengatakan apa-apa? Tentang kapan dan di mana dia mendapatkannya? Jika dia pernah menggunakan kamera ini, kamu pasti pernah mengalami sesuatu yang tidak biasa juga."


Yukuto menggelengkan kepala dan menjawab dengan nada biasa.


"Aku tidak sempat bertanya padanya. Aku baru mulai memotret dengan kamera ini setelah ayahku meninggal."


"Apa?!"


Watanabe dan Izumi terkejut, mendengar itu.


"Memang aku pernah mengalami hal-hal yang tidak biasa. Kamera ini bisa menunjukkan objek foto yang bagus melalui cahaya yang berkilauan. Tapi hanya itu saja. Semua fenomena aneh lainnya hanya terjadi setelah aku masuk ke dunia ini."


Ryoka Watanabe bergantian melihat kamera yang dia ambil dan Yukuto beberapa kali.


"Aku mengerti. Di Bumi, sudah ada beberapa kasus di mana benda-benda yang berhubungan dengan 'Raja Iblis' atau leluhur kami ditemukan. Mungkin ini salah satunya."


Dia memberi isyarat kepada prajurit lainnya untuk menurunkan senjata, lalu menaruh tombaknya di punggung dan memerintahkan prajurit-prajurit itu mundur.


Dia melambaikan tangan di belakangnya, dan cahaya persegi panjang yang besar muncul, memperlihatkan ruangan elf Watanabe di sisi lain.


"Malam juga sudah larut ini. Fuka dan Izumi-chan, cepatlah kembali."


"Tunggu, apa maksudnya ini, Ibu?"


Sebelum Watanabe benar-benar pulih, jalan untuk Yukuto dan Izumi kembali sudah dibuka. Namun, putrinya menentang ibunya dengan nada tajam.


"Kenapa hanya aku dan Izumi-chan saja?"


"Aku ada urusan dengan Yukuto-kun."


"Kalau begitu, biarkan Izumi-chan saja yang pulang. Aku juga ingin mendengarnya."


"Ehh… tunggu, itu agak… Kalau pembahasannya tidak lama, aku juga mau…"


"Izumi-chan, tolonglah, saat ini…"


Izumi, yang tampaknya tidak menangkap suasana, mendapat tatapan tajam dari Fuka Watanabe dan Ryoka Watanabe. Dia buru-buru menggelengkan kepala.


"Bukan, bukan itu maksudku! Rumah Fuka-chan sedang kosong, kan? Kalau aku pulang sendirian, pintu rumah Fuka-chan akan tetap terbuka, itu kan berbahaya."


"……"


Yukuto, Fuka Watanabe, dan Ryoka Watanabe saling bertukar pandang.


"Kunci dengan gantungan bunga plum ada di rak aksesori paling atas di meja belajarku. Ambil itu, dan kembalikan padaku di sekolah besok ya."


"O-oke. Kalau begitu, aku pergi dulu."


Dengan ucapan perpisahan dari tiga orang itu, Izumi melewati batas dunia tadi.


"Fuka-chan, Yukuto-senpai… sampai ketemu besok di sekolah ya."


Setelah Izumi melintasi batas itu dengan sedikit khawatir, Ryoka Watanabe menutup jalan itu.


"Ibu, kalau ingin bicara, kembalikan kamera Oki-kun."


Setelah sosok Izumi menghilang, elf Watanabe berkata dengan tegas pada ibunya.


"Aku tidak bisa mengembalikannya sekarang."


Namun, Ryoka Watanabe dengan lembut menolak, membuat wajah putrinya semakin tegang.


"Apa maksud Ibu? Kamera Oki-kun belum tentu berasal dari Raja Iblis. Lagipula, sekalipun itu benar, kamera itu adalah peninggalan dari ayahnya. Kita tidak berhak memutuskan sesuka hati."


"Fuka."


"Itu cuma kamera. Bahkan kalau menyerap kekuatanku, hal terburuk yang bisa dilakukan adalah menghancurkan sihir jalan tersesat tadi. Kamera seperti itu tidak akan menjadi masalah besar."


"Dengar, Fuka. Kamera ini mengandung takdir Sun Elf kita…"


"Aku sudah muak dengan semua takdir Sun Elf, Raja Iblis, atau peninggalan leluhur!"


Itu adalah teriakan terbesar yang pernah Yukuto dengar dari Fuka Watanabe.


"Sampai kapan kita harus memikul dosa leluhur yang bahkan wajahnya tidak kita kenal?! Apa yang telah dilakukan Sun Elf yang hidup sekarang terhadap dunia ini?! Apa yang telah dilakukan Sun Elf terhadap Nache Rivira?!"


"Fuka..."


Tatapan Ryoka Watanabe pada putrinya bukanlah tatapan jengkel atau marah, melainkan mengandung simpati yang bercampur dengan rasa bersalah.


"Kalau aku saja, tidak masalah! Tapi, aku tidak akan pernah memaafkan jika ibu mengambil sesuatu yang berharga dari teman-temanku!"


Detik berikutnya, di bawah kaki Watanabe yang berwujud elf, cahaya dan pusaran angin muncul, mengibarkan rambut panjangnya. Para prajurit lain yang menyaksikan, selain Ryoka Watanabe, secara refleks mengambil sikap waspada.


"Jika ibu membenci Raja Iblis karena dia telah mengambil sesuatu dari dunia, maka jangan menjadi seperti Raja Iblis dengan mengambilnya juga! Kembalikan kamera itu kepada Oki-kun sekarang juga! Kalau tidak...!"


"W-Watanabe-san!"


Dalam sekejap, pusaran angin yang begitu kuat mengitari elf Watanabe, sampai-sampai membuat Yukuto kesulitan berdiri tegak.


Dalam sekejap mata, Watanabe yang berpakaian santai dengan sweater longgar berubah penampilannya.


Ia mengenakan perlengkapan perang elf: sebuah mahkota kecil, sarung tangan, sepatu bot, serta pedang pendek berwarna hijau zamrud yang dihiasi bunga sakura berkilauan. Semua perlengkapan itu tampak seperti tercipta dari pepohonan di hutan.


"Meskipun kamu sudah menguras sebagian besar kekuatan magismu, kamu masih memaksakan diri, ya, Fuka. Atau mungkin, sebaiknya aku memanggilmu Reguni Funigu Fuka."


Ryoka Watanabe kembali meraih tombak yang sebelumnya sudah ia simpan.


"Namun, meskipun kamu adalah pemilik nama 'Green fingers,' apa kau benar-benar yakin mampu menghadapi jumlah ini sendirian?"


"Green fingers (jari hijau)...?"

(Tln: fyi, green fingers adalah istilah untuk orang yang berbakat dalam bercocok tanam atau berkebun dengan hasil yang sukses).


Kata itu terdengar akrab bagi Yukuto.


Itu adalah julukan yang ia gunakan sendiri untuk mendeskripsikan Fuka Watanabe.


"Jika Ibu berniat mengambil barang berharga milik Oki-kun dan orang-orang Jepang dengan paksa, maka aku akan melindunginya dengan kekuatan yang sama. Itu saja."


Meski wajahnya pucat karena belum pulih sepenuhnya, elf Watanabe berdiri di depan Yukuto untuk melindunginya, sambil mengarahkan pedangnya ke ibunya.


"…Haha, sekarang kamu bisa bicara seperti itu, ya? Tapi…"


Dalam kecepatan luar biasa, Ryoka Watanabe mengarahkan tombaknya dan dengan tiba-tiba melemparkan kamera milik Yukuto ke arah elf Watanabe.


"Ah! T-tunggu!"


Elf Watanabe melepaskan posisi bertahannya untuk menangkap kamera itu, tetapi—


"Seharusnya kamu lebih tenang dan dengarkan ibumu berbicara."


Dengan kecepatan yang bahkan lebih tinggi, Ryoka Watanabe melompat dan meraih kamera itu di udara. Ia menghentikan gerakan kamera tepat di depan wajah elf Watanabe, tepat di mata kanannya.


"Mbghh!?"


Dalam sekejap, perlengkapan perang elf Watanabe yang terlihat begitu kuat lenyap seperti kabut. Ia berteriak aneh dan jatuh berlutut.


"Watanabe-san!"


Yukuto yang buru-buru menghampiri Watanabe yang hampir jatuh terlentang, berhasil menopangnya tepat waktu dari belakang.


"Apa yang kamu lakukan!?"


"Tenang saja. Kaum Sun Elf tidak akan mati hanya karena itu."


"Bukan itu masalahnya!"


Yukuto ingin mengungkapkan berbagai keluhannya, seperti dampak keras kamera terhadap wajah Watanabe, atau fakta bahwa Ryoka kembali membiarkan kamera itu menyerap sihir. Namun, setelah menyaksikan pertengkaran sengit antara ibu dan anak yang hampir berakhir dengan pertempuran, ia akhirnya tidak bisa menahan nada protesnya.


"...Sejak dulu, kami memang tidak pernah cocok. Bahkan tanpa niat apa pun, entah kenapa selalu berakhir dengan pertengkaran. Baik aku maupun dia, kami sama-sama keras kepala dan buruk dalam menyampaikan maksud."


Namun, tanggapan Ryoka Watanabe justru lebih tenang dan lembut dari yang diharapkan.


"Maaf karena telah memperlakukan barang peninggalan ayahmu dengan kasar. Tapi, tolong tunggu sebentar sebelum aku mengembalikannya. Jika kamu masih punya waktu untuk tinggal sedikit lebih lama."


Sambil berbicara, Ryoka menancapkan ujung tombaknya ke tanah dengan lembut.


Saat itu juga, jalan bercahaya yang sebelumnya dipotret oleh Yukuto kembali bersinar, dan cahaya-cahaya kecil yang damai menyala di kedalaman hutan.


"Bisakah kamu menggendong anak itu sebentar, Oki-kun?"


Jalan itu, bersama rerumputan, angin, dan pepohonan, membuka jalur seolah memberi penghormatan kepada seorang raja, memperlihatkan pemandangan luar biasa ke mata Yukuto.


"Selamat datang di Desa Sun Elf, Ireph, yang terletak di Hutan Besar Timur, Pulau Penjara Terapung Astotiran. Ini hanya akan memakan sedikit waktumu, jadi bisakah aku memintamu untuk memenuhi permintaanku ini?"



Desa tempat tinggal para elf, Ireph, hidup berdampingan dengan pohon-pohon raksasa.


Itu adalah sebuah desa elf yang tanpa diragukan lagi hanya ada dalam mimpi, khayalan, dan cerita-cerita.


Hutan pohon raksasa yang layak disebut sebagai hutan lebat di timur ini, entah karena sihir elf atau keajaiban dunia lain, tetap lembut dan terang di malam hari meskipun tanpa penerangan seperti lampu jalan.


Bangunan dan fasilitas yang membentuk desa tampaknya dibangun menempel pada batang pohon raksasa. Jika melihat ke atas, terlihat jembatan-jembatan yang menghubungkan pohon-pohon raksasa itu saling bersilangan. 


Jembatan-jembatan itu tampak bercahaya samar dengan warna oranye dan hijau muda, seolah-olah dihiasi oleh kunang-kunang atau lentera, yang menerangi hutan di malam hari.


Di desa itu, banyak orang berlalu lalang baik di tanah maupun di jembatan-jembatan di atas pohon. Dilihat dari jumlah bangunan yang tampak seperti rumah menempel pada batang pohon, dapat diperkirakan bahwa ratusan orang tinggal di desa ini.


"Apakah kamu baik-baik saja, Oki-kun? Anak itu tidak berat, kan?"


"Tidak... sih?"


Hanya butuh beberapa menit berjalan kaki dari pintu masuk hutan hingga desa.


Yukuto, yang menggendong Watanabe, tidak merasakan berat tubuhnya sampai hal itu disebutkan.


Awalnya tadi, bahkan hanya beberapa menit berjalan saja ia hampir kelelahan karena beratnya.


"Ini karena kekuatan magis hutan menerima kalian berdua."


"Begitukah? Apakah kekuatan magis juga bisa mempengaruhi orang biasa seperti aku?"


"Sun-Elf juga hanya manusia biasa. Hanya saja, sejarah mereka terkait dengan kekuatan magis lebih lama sedikit dibanding kalian. Ngomong-ngomong, Oki-kun, apakah kamu takut pada ketinggian?"


"Tidak, aku tidak terlalu takut."


"Syukurlah. Di sini tidak ada hal seperti lift, jadi untuk mencapai bagian atas desa, kita perlu sedikit terbang."


"Apa? Eh, uaaah!"


Belum selesai ia berbicara, Yukuto, masih menggendong Watanabe, tiba-tiba merasakan tubuhnya terangkat ke atas.


"Apa? Eh? Eh!?"


Rasanya seperti menaiki lift tak terlihat. Yukuto berdiri tegak sambil menggendong Watanabe, dan tubuhnya terangkat tanpa kehilangan keseimbangan, entah bagaimana caranya.


Ryoka Watanabe juga tampak seperti berada di lift transparan yang sama, memandang ke atas.


"Aku tidak tahu sejauh mana Fuka menjelaskan semuanya padamu, tapi aku ingin mengatakan satu hal. Kami, Sun-Elf, sama sekali tidak berniat menyakiti orang-orang dari Jepang atau negara lain di bumi."


"Ah, begitu."


"Sejauh mana kamu memahami dunia ini?"


"Ya, aku mendengar dari Fuka-san bahwa elf di Nache Rivira, yaitu Sun-Elf, punya tanggung jawab untuk menebus dosa leluhur mereka. Konon, leluhur Sun-Elf adalah seorang raja iblis yang menyebabkan kekacauan di Nache Rivira. Sebelum dia dikalahkan, dia melarikan diri ke bumi. Selama 200 tahun sejak itu, Sun-Elf tidak diizinkan meninggalkan pulau penjara terapung Astotiran, tempat kita berdiri sekarang. Mereka terpaksa menyembunyikan diri di berbagai tempat di bumi untuk mencari raja iblis sebagai bentuk penebusan dosa. Watanabe-san juga termasuk salah satu dari mereka, dan rahasia keluarganya adalah rahasianya."


"Oh, begitu."


Ryoka Watanabe menunjukkan ekspresi sedikit terkejut melihat jawaban Yukuto yang lancar tanpa ragu.


"Kau tampaknya cukup paham."


"Tidak juga. Aku hanya tahu sejauh yang Fuka-san ceritakan. Aku tidak tahu seperti apa raja iblis itu sebenarnya, atau apa yang dia lakukan. Aku juga belum benar-benar paham seperti apa Sun-Elf itu sebagai ras. Tentang sihir dan kekuatan magis, aku hanya menerima bahwa hal itu ada karena bukti dan cerita, tapi aku tidak tahu apa sebenarnya itu."


"...Jika aku mengatakan ini, mungkin Fuka akan salah paham, tapi kamu tidak perlu memahami semua itu. Karena ini adalah masalah kami, Sun-Elf. Bahkan jika kamu memahami semuanya, kami tidak akan pernah meminta manusia bumi untuk membantu mencari atau mengalahkan raja iblis."


Memang benar demikian.


Baik Watanabe maupun Ryoka Watanabe, atau Sun-Elf lainnya, meski terlihat seperti orang Jepang, mereka memiliki kemampuan yang jelas berbeda dari orang Jepang atau manusia bumi biasa, seperti bisa terbang, menggunakan sihir, atau mengayunkan senjata besi dengan satu tangan.


Jika mereka, yang sudah menghabiskan 200 tahun untuk mengatasi masalah ini, belum bisa menyelesaikannya, maka tidak ada ruang bagi seorang siswa SMA biasa seperti Yukuto, yang hanya tahu sedikit tentang kamera, untuk ikut campur.


"Kalau begitu, mengapa aku dan Kotaki-san diterima di desa ini? Kami masih anak-anak. Bisa saja tanpa sengaja kami membocorkan rahasia."


"Izumi-chan bertemu Fuka sejak SD, tapi dia sering tak sengaja membocorkan rahasia tentang Fuka."


"Begitukah?"


"Tapi, bukankah kami terlihat seperti ini?"


Sambil berbicara, Ryoka Watanabe menunjuk wajahnya sendiri.


Mengatakan itu, Ryoka Watanabe menunjuk wajahnya sendiri.


Saat ini, dengan situasi yang melibatkan baju zirah, tombak, dan desa para elf, masuk akal untuk menganggapnya sebagai seorang elf. Namun, jika bertemu dengannya di tengah kota seperti di minimarket atau supermarket, wajahnya adalah tipe yang begitu biasa hingga tidak meninggalkan kesan apapun.


Entah sejak kapan, ketiganya telah keluar dari naungan ranting dan dedaunan lebat hutan pohon raksasa, sampai ke tempat di mana langit terlihat jelas.


"Wow."


Dengan latar belakang langit malam penuh bintang yang jelas berbeda dari langit Jepang, sesuatu yang luar biasa ada di sana.


Sebuah pohon raksasa, ukurannya mungkin dua kali lebih besar dari pohon-pohon di lautan pohon ini, berdiri menjulang seperti pilar raksasa. Ryoka Watanabe tampaknya berusaha membawa Yukuto menuju pohon itu.


"Jangan-jangan... itu Yggdrasil?"


"Kamu tahu tentang itu?"


"Ya. Fuka-san pernah berkata bahwa namanya mirip dengan nama belakangku."


"Oh, begitu. Hehe, jadi itu alasannya."


"Apa maksudnya?"


"Bukan apa-apa. Kita hampir sampai."


Yang ditunjuk oleh Ryoka Watanabe adalah sebuah teras di dalam desa.


Meskipun tempat itu dibuat secara artifisial, permukaannya ditutupi oleh tanah dan rumput seperti padang rumput. Cahaya lembut yang memenuhi desa perlahan-lahan terangkat seperti kunang-kunang.


Ketika mereka mendarat di teras itu,


"...Hmm…"


Watanabe yang berada di punggung Yukuto bergerak gelisah.


"Hah? Ah! Wah! O-Oki-kun!? K-Kenapa aku!?"


"Jangan-jangan bergerak! Nanti yang ada kamu jatuh! Wah! Hati-hati!"


"Kyaa!"


Saat menyadari bahwa dirinya telah pingsan lagi dan digendong di punggung Yukuto, Watanabe, karena rasa malu, mencoba turun dari punggung Yukuto, tetapi malah terjatuh. Karena itu, keseimbangan tubuh Yukuto yang masih terikat dengan sihir melayang juga terganggu, membuat mereka berdua terjatuh.


"Kalian berdua, tidak terlalu berlebihankah melakukan itu di depan orang tua?"


"Ibu! Ini di luar kendaliku!"


"M-Maaf, Watanabe-san! Aku akan segera bangun!!"


Meskipun tidak sengaja, posisi jatuh Yukuto sepenuhnya menimpa tubuh Watanabe.


Karena tidak ingin menunjukkan sikap yang lebih memalukan di depan Ryoka Watanabe, Yukuto dengan hati-hati dan cepat menopang tubuhnya dengan tangan, lalu menjauh dari tubuh Watanabe dengan penuh kehormatan.


"Kali ini memang Fuka yang salah. Tidak sopan kepada Oki-kun yang telah membawamu ke sini."


"T-Tapi... Aku hanya terkejut dan tidak siap…"


"Meski begitu, tidak bijak bertingkah panik dalam situasi seperti itu. Kalau kamu sudah tua, jangan menyetir mobil. Kamu tipe orang yang akan salah menginjak rem dan gas lalu panik."


"Berhenti mengatakannya, Bu!! ...Ah."


"K-kamu tidak apa-apa?"


Saat Watanabe mencoba berdiri, Yukuto mengulurkan tangan padanya.


"Te-terima kasih…"


Watanabe melirik ibunya dan, dengan wajah yang memerah, mengambil tangan Yukuto untuk berdiri.


Bahkan Ryoka Watanabe tidak mengucapkan sindiran apa pun pada saat ini.


"Ibu, kamu belum mengembalikan kamera itu pada Oki-kun. Membawanya ke teras pohon ini, apa maksud ibu?"


"Tenanglah, Fuka. Jangan khawatir. Kamera itu akan kukembalikan pada Oki-kun nanti. Tapi… ada permintaan yang ingin kusampaikan padanya."


Mengatakan itu, Ryoka Watanabe tiba-tiba berlutut di tempat, menundukkan kepala pada Yukuto.


"Bisakah kamu mengambil foto kami, aku dan Fuka, dengan kamera ini?"


Mendengar permintaan tak terduga itu, Yukuto terkejut.


"Mulai sekarang, kamera ini akan kuserap dengan kekuatan sihirku. Dengan begitu, kekuatan sihir dua pejuang Sun Elf akan terkumpul di kamera itu. Oki-kun, kamu telah menggunakan kamera yang mengandung sihir Fuka untuk memecahkan sihir Jalan tersesat. Maka mungkin saja… kamu juga dapat memecahkan sihir yang ada di tubuh kami…"


"Sihir di tubuh kalian… maksudnya, mengubah bentuk kalian?"


Ryoka Watanabe mengangkat wajahnya dan mengangguk, lalu memandang putrinya, Fuka Watanabe.


"Kamu bisa melihat wujud asli Fuka, bukan? Bagaimana dia terlihat?"


Dengan ragu, Yukuto melihat ke arah Watanabe.


"Dia memiliki rambut panjang berwarna emas, mata hijau yang indah… telinga yang panjang, dan, um, dia sangat cantik."


"B-Berhenti, Oki-kun, jangan…"


"Oki-kun. Kamu menyukai putriku, ya?"


"Eh!? A, tidak, itu…, maksudku…"


Yukuto yang bingung karena tiba-tiba perasaannya terhadap Fuka Watanabe ditebak, terdiam mendengar kata-kata berikutnya.


"Aku tidak dapat melihat wujud asli Fuka."


"Apa?"


"Bukan hanya aku. Fuka juga tidak dapat melihat wujud aslinya sendiri."


Yukuto terdiam dan melihat ke arah Watanabe, yang mengangguk kecil tanpa menyangkal pernyataan itu.


"Kenapa… bisa begitu…"


"Itulah salah satu dari sekian banyak hukuman yang dijatuhkan pada Sun Elf yang melahirkan Raja Iblis. Kami tidak dapat melihat wajah dan wujud asli kami sendiri. Fuka juga tidak pernah melihat wajah asli Sun Elf-ku."


"Tidak mungkin…"


"T-Tapi, jangan terlalu serius memikirkannya! Maksudku, sejak lahir kami hidup dengan wajah ini, jadi dibandingkan generasi pertama, kami sudah sepenuhnya terbiasa. Bahkan, kami tidak bisa menganggap wajah lain sebagai wajah keluarga kami!"


Wajah yang disebut sebagai "wajah ini" bukanlah wajah Elf Watanabe yang dilihat Yukuto sekarang, tetapi wajah Fuka Watanabe yang dicintai Yukuto.


Meski mereka adalah Sun Elf dari dunia lain, Nache Rivira, waktu yang mereka habiskan hidup sebagai Ryoka Watanabe dan Fuka Watanabe di Jepang lebih lama. Oleh karena itu, identitas mereka juga berakar pada nama dan wujud tersebut.


"Jadi, ini bukan berarti kami tidak suka dengan wujud kami sebagai orang Jepang! Hanya saja… jika Izumi-chan dan Oki-kun bisa melihatnya… aku ingin tahu, seperti apa aku terlihat di mata kalian. Wajah asliku."


"Watanabe-san…"


Karena kenyataan yang luar biasa ini, Yukuto tidak bisa langsung memahami situasinya dengan jelas.


"Lalu, tidak bisakah kita menunggu sampai sihir itu hilang dengan sendirinya? Bukankah sebelumnya Watanabe-san mengatakan bahwa dia harus makan banyak untuk mempertahankan sihir itu...?"


"Jika aku berhenti makan dan kekuatan magisku habis, sihir itu tidak akan hilang. Sebaliknya, sihir itu akan terus menyerap kekuatan tubuhku sampai aku mati."


"Apakah keluarga Watanabe memiliki aturan untuk memperlakukan hal-hal serius dengan begitu santai!?"


Yukuto tanpa sadar memprotes ketika mendengar pernyataan mengerikan yang diungkapkan dengan mudah oleh Ryoka Watanabe.


"Soalnya, memperlakukan sesuatu dengan serius tidak akan membuatnya jadi lebih ringan, bukan?"


"Yah, itu memang benar, tapi!"


"Sihir penyembunyian wujud adalah semacam kutukan yang dikenakan pada bangsa Sun Elf. Kami tidak bisa melepaskannya sendiri. Cara untuk memutuskannya pun tidak diketahui. Namun, kadang-kadang ada orang seperti kamu atau Izumi-chan, yang dapat mematahkan sihir itu dan melihat wujud asli kami. Fuka beruntung. Dia memiliki dua orang seperti itu dalam hidupnya. Aku hanya memiliki satu orang saja..."


Dengan nada penuh kesepian, Ryoka Watanabe berkata sambil memegang kamera Yukuto. Tanpa melihat ke dalam jendela bidik, suara kering yang sama seperti ketika dia menyerap kekuatan magis milik Fuka Watanabe terdengar, dan cahaya lembut berpindah dari tubuh Ryoka ke dalam kamera.


"Bisakah kamu mencobanya?"


Dengan hati-hati, Yukuto menerima kamera yang diberikan kepadanya, seolah-olah itu bukan miliknya sendiri. Sambil memegang kamera dengan kedua tangannya, dia bertanya pada Fuka Watanabe.


"Apakah aku boleh memotretmu?"


"Aku sudah menjadi modelmu sejak lama, Oki-kun."


Senyuman Fuka Watanabe begitu cerah.


Senyuman itu bertumpang tindih dengan senyuman 'Fuka Watanabe' yang terlihat olehnya, tetapi tidak terlihat oleh Yukuto.


Ibu dan anak yang tadi saling bertengkar dengan semangat membara seakan-akan siap bertarung sampai mati, kini berdiri dengan tenang bersebelahan, menunggu Yukuto untuk menekan tombol rana.


"Sebenarnya, aku tidak tahu apakah kamera ini benar-benar memiliki kekuatan seperti itu."


Yukuto perlahan melihat ke dalam jendela bidik.


Di dalamnya, terlihat lantai teras yang bercahaya bagaikan mimpi, pohon besar, dan langit malam penuh bintang.


Dan di sana, bayangan kecil seorang ibu dan anak yang saling bersandar dengan canggung.


Semuanya bersinar dengan keindahan yang luar biasa.


"Kalian berdua, tersenyumlah."


Permintaan itu bukan sekadar arahan seorang fotografer, melainkan sebuah doa.


Doa agar kutukan menyedihkan yang menimpa bangsa dengan kekuatan luar biasa yang tidak dapat dibayangkan oleh manusia di Bumi dapat diringankan, meski hanya sedikit.


Jika kamera ini benar-benar memiliki kekuatan untuk mematahkan sihir, semoga itu dapat memusnahkan kutukan ini sepenuhnya.


Foto yang diambil itu, semoga dapat membuat orang-orang di dalamnya tersenyum.


Di ujung doanya, suara yang terdengar adalah,


"Baiklah, peace."


Sebuah ungkapan yang sudah sering digunakan di Jepang.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close