NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Shujinkou no Osananajimi ga, Wakiyaku no Ore ni Guigui Kuru V1 Epilog

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Epilog

Para Sahabat Sambutlah dengan Tepuk Tangan, Komedi Romantis Telah Dimulai


Aku sempat berpikir bahwa pagi setelah balas dendam akan terasa istimewa, tetapi ternyata tidak ada yang berbeda.


Ketika turun ke lantai satu, aku mendapati Hidaka sedang membuat sarapan bersama ibu, sementara ayah melihat mereka dengan antusias. Yuzu, yang sudah terbiasa dengan pemandangan ini, menunjukkan sedikit sikap kompetitifnya dengan membantu mereka menyiapkan sarapan.


Acara penghukuman sudah selesai. Bagi diriku yang pertama, ini adalah hal yang biasa, tetapi bagi diriku yang kedua, waktu yang kuhabiskan bersama keluarga adalah sesuatu yang spesial.


Yah, meskipun dalam keluarga ini ada seseorang yang bergabung dengan langkah berani, seseorang yang pekerja keras dan agresif.


Setelah kami berlima selesai sarapan, ayah yang memakai setelan jas berangkat kerja lebih dulu. Menyusul kemudian aku, Yuzu, dan Hidaka, kami bertiga meninggalkan rumah.


Awalnya, Yuzu cukup waspada terhadap Hidaka, tetapi akhir-akhir ini dia mulai melunak. Ketika kami keluar rumah, mereka berdua saling bergandengan tangan dengan mesra menuju stasiun.


Aku juga ingin menggandeng tangan, tetapi Yuzu menolak dengan alasan, "Dua tangan sekaligus itu tidak mau," yang membuatku merasa sedikit rumit.


Saat masuk ke kelas 1-C, aku menarik perhatian sedikit, mungkin karena kejadian sebelumnya.


Meski begitu, tampaknya orang-orang paham bahwa aku adalah korban. Tsukiyama menyapaku dengan sedikit senyuman kaku.


"Selamat pagi."


Aku dan Hidaka menjawab juga salamnya.


"Selamat pagi."


Setelah itu, kegiatan homeroom dimulai. Tetapi, ada satu siswa yang tidak hadir di kelas—Amada.


Wali kelas dengan nada formal mengumumkan bahwa dia "tidak masuk karena sakit." Namun, semua orang di kelas tahu alasan sebenarnya kenapa Amada tidak masuk sekolah. Yang tidak tahu hanya wali kelasnya saja.


Apakah dia akan kembali ke sekolah?


Sebentar lagi ujian tengah semester dimulai, jadi seharusnya dia tidak bisa terus-menerus absen. Tapi aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Amada yang tidak bisa lagi menjalani komedi romantisnya.


◆ ◆ ◆


Saat jam istirahat, aku memutuskan untuk memeriksa keadaan Kanie. Ternyata, hari ini dia masih diganggu oleh Kobayakawa dan teman-temannya.


Sepertinya hal itu sudah menjadi bagian dari rutinitas Kanie. Dengan tatapan kosong, dia menanggapi percakapan mereka.


Para siswi di kelas juga tidak menunjukkan permusuhan terhadap Kanie. Mereka memperlakukannya seolah-olah dia bukan siapa-siapa.


Entah kenapa, aku bangkit dari kursiku dan bergabung ke lingkaran obrolan para siswi.


"Eh, ada apa?"


Ketika aku mendekat, mereka menunjukkan sedikit rasa waspada, mungkin karena kejadian sebelumnya.


Meski aku adalah korban dari jebakan itu, mereka tampaknya merasa takut padaku. Apakah Amada di kehidupan pertamaku dulu juga dipandang seperti ini setelah acara penghukuman selesai? Yah, dia mungkin tidak peduli apa yang dipikirkan orang selain para heroine.


"Kalau soal kejadian kemarin, kami sudah mengerti kok…" 


Salah satu siswi yang memimpin percakapan menjawab.


Aku mendekat sedikit lebih jauh, lalu berbicara dengan nada yang hanya bisa didengar oleh mereka.


"Bisakah kalian membantu Kanie?"


"Eh? Tapi, dia itu…"


"Dia tidak mencoba cari muka ke cowok-cowok. Dia hanya pemalu. Sebenarnya kalian juga sudah menyadarinya, kan?"


"Tapi…"


Melihat mereka masih ragu, aku mendekatkan wajahku lebih lagi, dan kali ini aku berbicara dengan suara yang hanya bisa didengar oleh gadis pemimpin tadi.


"Menolong seseorang yang kesulitan itu keren, lho."


"…Eh!"


Jaringan sosial di antara cewek jauh lebih rumit dibandingkan para pria. Sebagai pemimpin kelompok, gadis ini pasti sangat peduli pada pandangan orang lain terhadapnya.


Dalam hati, dia mungkin merasa takut bahwa suatu saat teman-temannya bisa saja mengkhianatinya. Karena itu, dia pasti mencari seseorang yang bisa dipercaya.


"Bisakah aku memintamu? Kalau gagal, salahkan aku saja."


"…Hah, baiklah…"


Meskipun dia terlihat kesal, itu hanya di permukaan. Dia bangkit dengan sedikit rasa semangat, memanggil teman-temannya, dan menuju meja Kanie.


Melihat sekelompok gadis mendekat, Kanie terlihat bingung, sementara Kobayakawa dan teman-temannya terlihat ketakutan.


"Kalian hentikan itu. Koro terganggu, tahu!"


"Eh? Tidak, kami hanya ingin berteman…"


"Meski begitu, itu tetap mengganggu! Koro, ngobrol bareng kami saja ya."


Siswi-siswi lainnya segera mengelilingi Kanie, mengusap kepalanya, dan memeluk pundaknya dengan lembut.


Kanie, yang mungkin tidak pernah menyangka akan dibantu oleh teman-temannya di kelas, mulai menangis deras sambil terus mengucapkan, "Terima kasih, terima kasih."


Sama seperti di kehidupanku yang pertama, Kanie selalu diganggu oleh Kobayakawa, tetapi siswi-siswi di kelaslah yang menyelamatkannya.


Biasanya, heroine lainlah yang akan memimpin hal ini, tetapi karena mereka tidak ada, aku mengambil peran itu.


Meskipun sebenarnya, di kehidupanku yang pertama, Amada akan memberikan dorongan terakhir dengan berkata, "Koro kamu pasti bisa," dan itu berhasil membuat Kanie sepenuhnya mengatasi rasa malu dan lebih akrab dengan teman-temannya.


Tapi sekarang, apakah dia bisa berubah atau tidak, itu terserah Kanie sendiri.


◆ ◆ ◆


Istirahat siang.


Kanie tampaknya makan siang bersama para gadis, bukan bersama Kobayakawa dan yang lainnya.


Meskipun ekspresi wajah Kanie masih tampak cemas, para gadis malah tertawa melihat reaksinya yang lucu.


"Koro, imut sekali kamu deh~."


Di tengah suasana itu, seperti biasa, Tsukiyama yang tidak percaya pada manusia mendekatiku.


"Ishii, hari ini aku boleh duduk di sini lagi?"


"Tidak boleh."


"Serius?! Bukankah semua ini berkatku?"


"Sejak kapan kau berpikir kita ini teman?"


"Aduh, itu menyakitkan sekali!"


Reaksi Tsukiyama kali ini lebih dramatis dari biasanya, mungkin karena dia masih terpukul oleh masalah Amada. Meskipun mereka sudah jarang berinteraksi, mereka dulunya adalah sahabat baik.


"Kalau begitu, kenapa kau tidak saling menghibur saja dengan orang yang lebih terluka darimu?"


"……Dasar kau ini~…"


Tsukiyama mengacak-acak rambutnya dengan kesal, lalu menghela nafas dan kembali bertanya padaku.


"Kau ini ternyata orang yang baik, ya?"


"Aku hanya menyerahkan masalah padamu."


Mendengar jawabanku, Tsukiyama tersenyum seolah merasa senang.


"Begitu ya. Ya sudah, aku pergi dulu… ke tempat Iba."


Tsukiyama dan Iba berasal dari SMP yang sama. Meski Tsukiyama punya sifat yang sulit, dia pintar, dan dulu dia melihat Iba, yang juga pandai, sebagai rival.


Iba sangat menyukai Amada, tapi dia juga cukup akrab dengan Tsukiyama, meskipun hubungan mereka sebatas persahabatan.


"Kalau kau bersikap lembut sekarang, dia pasti gampang jatuh hati."


"Tidak akan, bodoh!"


Sayang sekali. Iba tipe orang yang suka menyimpan dendam, jadi kalau dia punya pacar, itu akan lebih baik.


Tsukiyama kemudian melangkah dengan semangat menuju ruang kelas B.


"Kalau begitu, kita juga pergi, Hidaka."


"Ya."


Seperti biasa, kami menuju meja luar kantin untuk makan siang.


◆ ◆ ◆


Setelah sekolah.


Saat aku melirik ke dalam ruang kelas A, seperti yang sudah kuduga, suasana di sana kacau.


Oh, bukan suasana kelasnya, tapi keadaan Ushimaki Fuuka.


Dia benar-benar terisolasi. Bukan dibenci, tapi diperlakukan seperti orang yang tidak boleh disentuh.


Wajar saja. Insiden penghakiman di kelas 1C dulu ditonton oleh siswa dari kelas lain juga. Artinya, seluruh murid tahun pertama tahu apa yang terjadi.


Ushimaki, yang mengorbankan dirinya demi menjadikan Amada seorang pahlawan, kini dianggap sebagai sosok yang tidak ingin didekati. Bahkan, menurutku patut diapresiasi bahwa dia masih datang ke sekolah.


Namun, sorot matanya kehilangan semangat seperti dulu.


Orang yang telah dia cintai dan selamatkan, mengetahui segalanya, hanya memanfaatkannya.


Jika itu hanya kenangan buruk, mungkin dia bisa melupakannya. Tapi, Amada yang membantu mengatasi kebuntuan mentalnya dulu tetap menjadi sosok yang dia syukuri.


Itulah yang membuatnya bingung.


Saat aku masuk ke kelas A, para siswa langsung menoleh.


Ushimaki yang tertarik oleh suasana itu menyadari kedatanganku, tapi tidak menunjukkan reaksi berarti.


"Halo."


"Apa?"


Tatapan tajam dan nada penuh kebencian. Tapi, tidak ada semangat di dalamnya.


Reaksi itu sangat wajar.


"Pertama-tama, bukannya kau harus meminta maaf dulu?"


"……!"


Saat penghakiman palsu itu terbongkar, Iba dan Ushimaki hanya terdiam mengetahui kebenaran tentang Amada. Mereka tidak pernah meminta maaf atas rencana mereka menjebakku.


"Sudah gagal, tidak minta maaf, lalu ngambek juga? Itu benar-benar buruk. Tidak heran kau mudah dimanfaatkan, perempuan dongo."


"Diam! Apa yang kau tahu──"


"Kalau aku benar-benar dijebak waktu itu, apa kau tahu apa yang akan terjadi padaku?"


"……"


"Jelas sekali, kaulah yang salah. Kalau begitu, kau seharusnya datang meminta maaf lebih dulu. Apa kau pikir minta maaf itu kekalahan? Kau sudah kalah sejak awal."


"Diam! Diam, diam, diam!"


"Yang beneran berisik itu kau tahu. Ngomong-ngomong, kau benar-benar melakukan hal sejauh itu, ya? Apa kau pikir kalau melakukan semua itu, dia akan bersimpati dan jatuh cinta padamu?"


"Tutup mulutmu!"


Ushimaki berdiri dan meraih kerah bajuku dengan kedua tangan. Aku tidak peduli meskipun dia ingin memukulku.


Dari jarak dekat, dia menatapku dengan marah sambil terengah-engah. Tapi, dia segera melepaskan tangannya dan berpaling dengan ekspresi penuh penyesalan.


"Maaf…"


"Sudah terlambat. Meminta maaf setelah disuruh? Nilaimu benar-benar jatuh."


"……! Kalau begitu, aku harus bagaimana…?"


"Sudahlah. Dari awal aku tidak mengharapkan apa pun dari perempuan rendah sepertimu. Kau mencoba menghancurkan hidup seseorang, tapi setelah gagal, malah merasa seperti korban? Benar-benar menjijikkan."


"Bukan itu maksudku──"


"Kalaupun itu bukan maksudmu, kalau orang lain sudah menganggapmu begitu, kau tetap salah."


Tanpa ampun, aku terus menyalahkan Ushimaki. Dia sudah hampir mencapai batas mentalnya.


Apa pun yang kukatakan, dia tidak punya kata-kata untuk melawan.


Ketika aku hendak menambah kritikanku, seorang siswa laki-laki angkat bicara.


"Kau tidak perlu berkata sejauh itu."


Sambil menarik perhatian seluruh kelas, dia berjalan mendekatiku.


"Aku tahu Ushimaki salah, tapi dia sudah meminta maaf. Sudah cukup, kan? Memang dia terlalu berlebihan, tapi Ushimaki juga punya sisi baik…"


"Ya, terserah sih."


Setelah menjawab dengan dingin, aku meninggalkan kelas A tanpa berkata apa-apa lagi.


Dari dalam kelas, terdengar suara tangis dan ucapan "maaf" dari Ushimaki.


◆ ◆ ◆


Pekerjaan paruh waktuku hari ini selesai sampai pukul 10 malam.


Sudah sekitar satu bulan sejak aku mulai bekerja, jadi aku dan Hidaka sudah cukup akrab dengan para senior di tempat kerja.


Salah satu senior, yaitu Takeumi-san, yang paling tua di antara pekerja paruh waktu muda, pernah berkata, "Nanti kita adakan pesta penyambutan untuk Kazuki dan Mikoto-chan. Ada izakaya yang bagus, lho!"

(Tln: Izakaya adalah tempat bernuansa khas Jepang yang menyediakan minuman beralkohol berserta hidangan sederhana untuk teman minum-minum)


Tapi saat aku bilang kami masih anak SMA dan lebih baik memilih tempat lain, dia tertawa.


"Kalian serius sekali, ya~."


Setelah selesai kerja, manajer berkata dengan senyuman,


"Masa pelatihan kalian hampir selesai, jadi gaji per jamnya akan naik."


Karena aku baru saja mengganti smartphone untuk menghadapi Amada, tabunganku sudah menipis, jadi ini kabar baik. Setelah itu, aku dan Hidaka meninggalkan tempat kerja bersama.


"Kazupyon hari ini kamu sangat luar biasa."


Hidaka dengan ceria menuju ke stasiun.


Seperti biasa, aku merasa penilaian Hidaka terhadapku agak aneh.


"Menurutku aku hanya bekerja seperti biasa, kok."


"Bukan, aku bicara tentang di sekolah. Kamu selalu membantu semua orang."


Mendengar itu, aku merasa sedikit tidak nyaman.


Dalam kehidupanku yang pertama, aku kehilangan segalanya, termasuk keluargaku, karena mereka.


Tapi akar semua kejahatan adalah Amada. Jadi, tentang mereka yang dulu dimanfaatkan oleh Amada... yah, kalau mereka bisa menjalani masa sekolah yang menyenangkan, itu lebih baik, menurutku.


"Kebetulan saja. Situasinya pas, jadi aku bisa membantu."


"Pembohong. Kamu memang berniat melakukannya sejak awal, kan?"


"Sejak awal?"


"Sejak kasus Tsukiyama pertama."


Tanpa sedikit pun keraguan, Hidaka menatapku lurus dan berkata begitu.


"Maksudmu apa?"


"Kalau kamu mau, kamu bisa membuat Tsukiyama lebih terpojok. Kamu bisa menghancurkan posisinya di kelas sepenuhnya dan membuat keadaannya jauh lebih buruk, tapi kamu tidak melakukannya, kan?"


"Itu karena tanpa bantuan Tsukiyama..."


"Bukan itu maksudku. Rencanamu cuma menukar tas dan ponsel seseorang, kan? Kamu seharusnya bisa meminta Kobayakawa atau bahkan aku untuk menukarnya, tapi kamu memilih Tsukiyama. Itu karena sejak awal, kamu berencana membantu semua orang pada akhirnya. Kamu tahu mereka sedang dimanfaatkan dan ditipu oleh dia, jadi kamu sengaja tidak memojokkan Tsukiyama terlalu jauh."


"Berbahaya seperti apa maksudmu?"


"Ada kemungkinan kalau dia dan Tsukiyama terhubung di belakang layar. Berpura-pura menjauh, tapi sebenarnya mendekati Tsukiyama untuk menjebakmu. Meski tahu resikonya, kamu tetap membantu Tsukiyama."


"......"


"Salahkah aku?"


Hidaka berjalan di sampingku, melirik wajahku. Wajahnya menunjukkan ekspresi kemenangan, seperti sedang menyelesaikan lelucon yang sempurna.


"Yah, mungkin ada benarnya."


Apa yang dikatakan Hidaka memang benar, hanya saja masih kurang sedikit.


Aku tidak memojokkan Tsukiyama terlalu jauh dan malah menjadikannya sekutu karena pengetahuanku dari kehidupan pertama.


Tsukiyama, meski punya kekurangan, adalah pria dengan rasa keadilan yang kuat. Di kehidupan pertama, rasa keadilan itu dimanfaatkan, tapi di sisi lain, itu juga membuatnya sulit ditangani oleh Amada.


Saat Amada menjebakku di semester kedua tahun kedua SMA, dia mungkin sengaja tidak memberitahu atau meminta bantuan Tsukiyama untuk rencananya.


Dia tahu bahwa Tsukiyama yang berjiwa keadilan tidak akan menyukai cara licik.


Kemungkinan besar, kali ini juga sama.


"Aku sudah cukup mengerti, kan?"


"Ya, sudah cukup jelas."


"Hmph, itu karena aku orang yang berusaha keras secara agresif."


Namun, aku tidak berniat memberi tahu Hidaka fakta tersebut.


Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa aku sedang menjalani kehidupan kedua. Lagipula, dia terlihat sangat senang.


Meskipun aku ingin bilang dia kurang berpikir, aku tak tega mengatakan itu.


"Jadi, umm... Kazupyon."


"Ada apa?"


"Sebenarnya, aku ingin meminta sesuatu."


Ekspresi Hidaka berubah dari ceria menjadi sedikit muram.


"Bisakah kamu memberiku gelang yang kamu ambil darinya?"


Dia menatapku lurus dengan mata serius.


Di akhir drama penebusan itu, aku mengambil gelang dari Amada.


Setelah mengambilnya, aku menyadari gelang itu sudah sangat usang, penuh jahitan perbaikan, dan tampaknya pernah digunakan saat dia masih anak-anak.


"Tidak mau. Lagipula, aku sudah membuangnya. Aku pikir benda itu tidak berguna."


"......Begitu, ya......"


Aku pikir dia akan terus memaksa, tapi Hidaka langsung menerima jawabanku.


Namun, dia terlihat kecewa, wajahnya menunjukkan kesedihan.


Melihat ekspresi seperti itu, aku merasa sedikit bersalah.


Sambil memikirkan itu, aku mengeluarkan sesuatu dari tas.


Benda itu adalah gelang wanita yang kubeli saat mengganti smartphone bersama Yuzu.


"Nih, sebagai gantinya."


Hidaka tampak bingung.


"Ini...?"


Karena aku tidak tahu gaya seperti apa yang cocok untuknya, aku berkonsultasi dengan Yuzu, tapi dia malah berkata,


(Kalau Kazuki yang tidak memilih sendiri, itu tidak ada artinya).


Hidaka memandang gelang itu di bawah lampu jalan dan sinar bulan, wajahnya terlihat seperti bayangan indah yang menyelimuti kenyataan.


"Yah... anggap saja ini gelang persahabatan untuk membuat hubungan baik dengan semua orang."


"......Kamu ingat ya?"


"Aku baru saja mengingatnya. Maaf kalau sudah lupa."


Hidaka menggenggam gelang itu erat, menahan air mata yang hampir tumpah.


Melihatnya, aku teringat gadis kecil yang kutemui di taman pada hari itu, membuatku merasa nostalgia.


"Jangan khawatir. Aku di sini, jadi menangis saja kalau mau."


"Benarkah?"


Aku menjawabnya dengan tindakan, memeluknya seperti saat itu.


"Ya, menangislah."


"Uwaaahhh..hiks..hiks!!"


Hidaka menangis keras-keras, membuatku lega karena tak ada orang di sekitar.


"Maaf! Aku takut dan tak bisa mengambilnya kembali! Padahal itu harta yang kamu berikan!"


"Jangan khawatir, aku bisa memberimu yang baru lagi kok."


Aku tak sekuat tokoh utama, jadi aku tak bisa merebutnya kembali. Tapi aku bisa mengganti yang hilang.


"Terima kasih! Aku akan membalas semuanya!"


"Balas apa?"


"Maksudku semua yang kamu berikan padaku! Perasaan yang kamu ajarkan! Aku akan membalas semuanya dengan penuh!"


Hidaka memelukku dengan erat, tersenyum meski wajahnya berantakan karena air mata.


Jika ada protagonis di dunia ini, Hidaka adalah tipe yang akan menjadi heroine utama, tapi kenapa dia memilihku, seorang karakter sampingan?


Mungkin dia tidak menyadari perasaan itu.


"Aku mencintaimu, Kazupyon!"


Teman masa kecil sang protagonis kini menyerbu masuk ke hati karakter sampingan sepertiku.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close