NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Shujinkou no Osananajimi ga, Wakiyaku no Ore ni Guigui Kuru V1 Chapter 3

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 3

Jika Aku Memiliki Keberanian untuk Terus Dikejar, Tragedi Akan Menimpaku


"Aku hanya akan mencintai teman masa kecilku."


Tokoh utama: Amada Teruhito

Heroine utama: Hidaka Mikoto 

Heroine tambahan: Banyak

Sahabat dekat: Tsukiyama Ouji

Peran penjahat kecil untuk meramaikan cerita: Ishii Kazuki


Dalam kehidupan pertamaku, kira-kira begitulah peran masing-masing tokoh dalam cerita ini.


Sebagai penjahat kecil dalam cerita, aku benar-benar "selesai" setelah menjalankan peranku. Rasanya seperti dunia ingin menghapus keberadaanku, dan aku pun terlempar dari panggung kehidupan, menanggung penderitaan yang luar biasa.


Kalau ini adalah sebuah cerita, akhir hidupku pasti hanya disebutkan dalam satu kalimat:


"Ishii yang mengancam siswi sekolah akhirnya kehilangan keluarganya dan mengakhiri hidupnya sendiri."


Penonton pasti tidak peduli pada nasibku, dan hanya terus menantikan bagaimana Amada dan Hidaka akhirnya bersatu.


Itulah sebabnya, dalam kehidupanku yang kedua ini, aku memutuskan untuk mengubah peranku.


Silakan saja bermain-main dengan romansa komedi kalian. Jalankan ceritanya sesuka hati. Tapi jangan libatkan aku.


Demi menghindari "event hukuman tanpa alasan" yang menungguku satu setengah tahun lagi, aku berusaha menjadi karakter pendukung yang tidak terlihat, bahkan sampai wajahnya tidak digambar.


Syarat untuk menjadi karakter pendukung yang benar-benar tidak terlihat:


Jangan berinteraksi dengan tokoh utama.


Idealnya, aku bisa lulus dari SMA Hirasaka tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Amada. Tapi karena nasib buruk, aku dan Amada selalu berada dalam satu kelas karena urutan nomor absen.


Bahkan setelah dua kali pergantian kelas, aku tetap berada di kelas yang sama dengannya.


Seolah-olah dewa telah memberiku tugas untuk terus menjadi latar bagi Amada.


Jadi, aku memutuskan untuk mengambil posisi yang cukup dikenal oleh Amada, tetapi tidak membuatnya tertarik untuk berinteraksi denganku secara aktif.


Tiga pilar strategi untuk menjadi pendukung yang tidak terlihat:


Jangan terlalu akrab dengan Amada.


Hindari berhubungan dengan teman-teman sekelas sebanyak mungkin.


Mulai bekerja paruh waktu untuk mengisi jadwal agar tidak terlibat dalam event romansa komedi.


Dengan ini, seharusnya aku bisa bertahan. Orang mungkin akan menganggapku sebagai orang yang tidak asyik, tapi itu tidak akan cukup membuatku menonjol.


Kamu pasti pernah melihat tipe orang ini di kelas, kan? Orang yang ada di sana, tapi kamu tidak pernah merasa ingin mendekatinya.


Itulah posisi yang ingin kucapai. Namun... sebuah insiden terjadi.


Saat aku mencoba melarikan diri dari cerita romansa komedi, cerita lain sudah menungguku.


Tanpa diduga, heroine utama dari "Aku hanya akan mencintai teman masa kecilku", Hidaka Mikoto, justru menyatakan cinta padaku, karakter pendukung.


Lebih parahnya lagi, Hidaka adalah seorang stalk—ehm, seorang "pekerja keras agresif" yang cukup ekstrem.


Kenapa aku malah mendapatkan "peralatan awal" yang berbahaya ini?


Apakah aku tidak sengaja membeli semacam DLC yang aneh sebelum tiba di kehidupan keduaku?


Yang jelas, situasi ini sangat berbahaya.


Dicintai oleh Hidaka Mikoto, seorang gadis tercantik di SMA Hirasaka, bahkan sampai dia menyatakan cinta, memang terdengar seperti keajaiban bagi semua siswa laki-laki.


Namun, peluang hal ini berubah menjadi tragedi besar bagiku jauh lebih tinggi.


Bagaimanapun juga, ini jelas bukan peran yang cocok untuk seorang karakter pendukung yang tidak terlihat.


Selain itu, Hidaka sangat populer.


Amada? Sudah pasti.


Tsukiyama yang tampan? Jelas.


Dan banyak laki-laki lain.


Jika ada yang tahu bahwa Hidaka memiliki perasaan padaku, kemungkinan besar aku akan menjadi sasaran kebencian.


Aku pernah melihat betapa busuknya sifat asli orang-orang di SMA Hirasaka dalam kehidupanku yang pertama.


Aku tahu betul bahwa mereka bisa melakukan apa saja karena rasa iri.


Jika hanya aku yang menderita, itu tidak masalah. Tapi aku tidak bisa membiarkan ayah, ibu, atau Yuzu ikut terlibat.

Bagaimanapun juga, aku harus melindungi keluargaku.


◆ ◆ ◆


Pagi hari. Saat aku tiba di sekolah tepat sebelum HR dimulai dan duduk di kursiku tanpa berbicara dengan siapa pun, Hidaka masuk ke dalam kelas sekitar sepuluh detik setelahnya.


Dalam hati, aku berdoa agar dia tidak memulai percakapan denganku. Mungkin doa itu terkabul, karena Hidaka sama sekali tidak melirikku dan berjalan langsung menuju kursinya sendiri.


Tak lama kemudian, guru wali kelas datang, dan HR pun dimulai.


Setelah upacara penerimaan siswa baru pada hari Kamis, dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan serta perkenalan klub pada hari Jumat, akhirnya pelajaran dimulai hari ini, Senin.


Dalam kehidupan pertamaku, aku biasanya menghabiskan waktu istirahat dengan anak-anak geng kecil yang kubentuk bersama Amada dan yang lainnya, sambil membahas hal-hal seperti, "Kamu sudah memutuskan akan ikut klub apa?" atau "Bukannya ikut klub itu merepotkan banget?".


Saat itu, kami merasa keren dengan tidak bergabung di klub mana pun, meski sebenarnya itu hanya kesombongan yang sia-sia.


Namun, di kehidupan kali ini, aku tidak menjadi bagian dari geng tersebut.


Aku pikir, Amada akan membentuk geng kecil itu bersama dua orang lainnya, tapi…


"Teru, kamu sudah memutuskan mau masuk klub apa?"


"Belum. Kalau kamu, Tsuki?"


"Aku masuk klub renang. Aku nggak bisa hidup tanpa seragam renang sekolah."


"Cuma kamu yang bisa ngomong gitu dan masih dimaafkan…"


Setelah HR selesai, Tsukiyama, si pemimpin tampan di kelas, dengan santai berbicara dengan Amada.


Aneh…


Di kehidupan pertama, Amada dan Tsukiyama baru menjadi sahabat setelah acara belajar bersama untuk ujian tengah semester—sebuah event dari romansa komedi cerita ini. Tapi kenapa di kehidupan ini mereka sudah terlihat begitu akrab?


"Hei, Ishii kalau kamu gimana?"


Saat aku sedang bingung dengan situasi ini, Amada menoleh dan bertanya padaku.


"Aku nggak akan ikut klub. Aku kan kerja paruh waktu…"


"Oh ya, benar juga. Ngomong-ngomong, gimana kerjaanmu?"


"Yah, lumayanlah. Tapi ngomong-ngomong…"


"Hmm?"


Aku tidak ingin terlalu dekat dengan Amada, tapi mengabaikan perubahan informasi ini juga berbahaya.


"Kenapa kalian berdua bisa begitu akrab?"


Saat aku bertanya, Amada dan Tsukiyama saling pandang dengan ekspresi heran, lalu tersenyum canggung.


Entah kenapa pemandangan itu membuatku sedikit kesal—terlalu "remaja" rasanya.


"Dua hari lalu, waktu acara perkenalan. Aku ngobrol sama Tsuki, dan ternyata kita cocok."


"Benar! Teru itu kayak tipe orang yang sama denganku. Ngobrol sama dia rasanya nyaman banget."


Aneh.


Dalam kehidupan pertama, di acara perkenalan itu, tidak ada interaksi antara Amada dan Tsukiyama. Karena jumlah peserta yang banyak, ruangan dibagi dua. Aku dan Amada malah berakhir di ruangan kecil bersama beberapa pria lainnya, menyanyikan lagu anime.


"Bukannya acara itu cukup ramai? Aku ingat ruangannya sampai harus dibagi dua, kan?"


"Eh? Ishii, kok kamu tahu kalau acara itu di karaoke?"


Gawat. Itu tadi kesalahan. Amada langsung menembak dengan pertanyaan tajam.


"Oh, begini! Kalau acara perkenalan kan biasanya karaoke atau boling. Selain itu, ada juga yang ngomongin soal nyanyi, jadi aku tebak karaoke."


"Ooooh, kamu peka juga ya, Ishii."


Tidak. Aku malah sangat tidak peka. Bahkan aku gagal menyadari perasaan cinta yang berat dari seorang gadis tertentu.


Untungnya, aku berhasil mengalihkan pembicaraan.


"Tapi nggak sih, ruangan nggak dibagi kok. Untungnya ada satu ruangan besar yang cukup untuk semua orang. Kalau satu orang lagi datang, mungkin baru dibagi."


"Aah!"


Jadi itu penyebabnya.


Dalam kehidupan sebelumnya, aku dan Hidaka menghadiri acara itu, jadi ruangan terpaksa dibagi. Tapi di kehidupan ini, kami berdua absen, sehingga semua orang masuk ke ruangan yang sama.


Tanpa kehadiran Hidaka, Tsukiyama juga tidak punya siapa pun untuk didekati, dan akhirnya ia malah akrab dengan Amada.


"Ugh… bagaimana ya? Yah, tidak terlalu buruk sih…"


"Hei, Teru. Apa yang dia omongin?"


"Nggak tahu. Aku juga nggak begitu dekat sama dia."


"Iya kan, Amada!"


"Ugh!"


Lho, apa ini? Kukira ini hanya rangkaian masalah, tapi ada juga kabar baiknya.


"Aku dan kamu nggak terlalu akrab, kan! Jadi ayo terus jaga hubungan seperti itu, hanya bicara kalau nggak ada pilihan lain."


"Kenapa kamu bilang itu dengan senyum lebar dan berharap aku menerimanya?"


Ah, sial. Aku terlalu bersemangat. Aku harus hati-hati.


"Lupakan. Tapi dengar, Amada, aku ini orang yang sangat pemalu. Kalau ada orang yang jarang aku ajak bicara, aku akan sangat gugup. Jadi, jangan pedulikan aku. Anggap saja aku seperti lalat yang hinggap di kotoran anjing di pinggir jalan, dan nikmati obrolanmu dengan Tsukiyama."


"Kalau begitu, mending anggap aku kerikil saja, ya…"


Fiuuuh. Setidaknya aku berhasil mengumpulkan informasi.


Saat aku berpikir bahwa ini berjalan baik, ponselku tiba-tiba bergetar.


Pesan itu datang dari… Hidaka, yang kemarin bertukar kontak denganku.


[Aku punya masalah besar. Boleh cerita?]


Oh tidak. Aku tak berani menatapnya.


[Ada apa?]


[Sebenarnya aku ingin bicara langsung sama Kazupyon, tapi aku malu. Tapi kalau aku menahan diri, rasanya lebih menyakitkan. Aku harus bagaimana?]


Tunggu. Jadi dia punya rasa malu juga?


[Bagaimana kalau kamu coba menahan diri?]


[Kazupyon suka melihatku menderita, ya? Kamu tipe yang menikmati itu, kan?]


[Tentu tidak!]


[Tapi kamu masih bicara formal kayak gini buat menyiksaku, kan?]


[Bukan! Aku cuma bingung harus gimana!]


[Oh, jadi kamu memikirkanku. Bagus]


Gawat. Kalau Hidaka bicara langsung denganku, Amada dan Tsukiyama pasti penasaran dan mulai mendekat.


Aku harus mengambil tindakan…


[Dengar aku baik-baik. Aku nggak mau terlibat denganmu di SMA Hirasaka.]


[Kau pasti sudah tahu, Hidaka, bahwa Amada menyukaimu, kan?]


[Tahu. Itu sangat mengganggu sekali. Dia hanya tetangga dekat, tapi tetap memaksakan gelar "teman masa kecil" yang menjengkelkan itu. Otaknya seperti surströmming. Bau dan tidak tertahankan.]


Amada, kenapa bisa sampai dibenci seperti ini?


[Lalu──]


[Aku mengerti. Berkatmu, bukan kesedihan yang muncul, tapi kemarahan.]


[Padahal aku belum selesai menjelaskan…]


[Maksudnya, ketika aku berbicara dengan Kazupyon, surströmming itu akan memanfaatkan Kazupyon untuk mendekatiku, kan? Akibatnya, aku jadi tidak bisa bicara dengan Kazupyon. Menyebalkan.]


Amada tidak lagi dianggap manusia.


[Kamu paham sekali ya.]


[Bagi seseorang yang bekerja keras seagresif aku, memahami hal seperti ini bukan masalah.]


Seorang pekerja keras yang agresif akhir-akhir ini memang luar biasa….


[Tapi, ada satu masalah.]


[Apa itu?]


[Bagaimana aku bisa memberikan bekal makan siang yang kubuat untuk Kazupyon?]


Ini masalah besar. Kau terlalu memaksakan diri, Hidaka.


[Aku ingin memberikannya. Harus diberikan.]


Yah, kalau hanya memberikannya, mungkin bisa dilakukan secara diam-diam.


[Kalau bisa, aku ingin memastikan kamu menyuapi ku.]


Apakah kau benar-benar mengerti arti dari "kalau bisa"?


[Baru saja, aku bilang aku tidak ingin terlibat di sekolah.]


[Bagaimana kalau aku berpura-pura? Aku bisa berpura-pura tersandung di dekat Kazupyon dan menjatuhkan isi bekalnya. Lalu Kazupyon bisa menangkap semuanya dengan mulutnya, dan aku bisa mencapai tujuanku untuk menyuapinya.]


Apakah itu bisa dianggap sebagai menyuapi?


Ketika aku melihatnya sekilas, dia sudah mengeluarkan kotak bekal dari tasnya, dengan pandangan penuh antusiasme, seolah berkata, "Aku bisa menjatuhkannya kapan saja." 


Jangan memperlakukan makanan dan usahamu dengan sembarangan.


[Apa kamu tidak bisa menahan diri?]


[Aku tidak percaya diriku bisa mengendalikan kekuatan yang berkecamuk dalam diriku.]


Ini kan, cerita cinta, kan?


[Kalau Kazupyon tidak yakin bisa menangkapnya, bagaimana kalau aku menyimpannya di mulutku lebih dulu? Saat aku terjatuh, aku bisa langsung menghubungkan bibirku dengan Kazupyon, dan itu akan menjadi momen yang sempurna.]


Berhenti, jangan memasukkan ayam goreng ke dalam mulutmu dengan gerakan sensual seperti itu.


[Aku tidak ingin ciuman pertamaku beraroma karaage.]


[Untungnya, aku juga membawa lemon. Tidak ada yang terlewat.]


Bagian terpenting justru banyak yang terlewat.


[Mari kita cari cara lain saja ya.]


[Ini adalah kerja sama pertama kita. … Indah.]


Bahaya… Hidaka memang menghormati keinginanku untuk tidak terlibat di sekolah, tapi dia juga berusaha keras untuk memenuhi keinginannya sendiri.


Dan karena aku yang memicu pengakuannya, aku hanya bisa meratap.


Apa yang harus kulakukan? Jika hubungan ini sampai ke tahap ikatan, aku pasti akan hancur.


Adakah cara agar aku dan Hidaka bisa berinteraksi tanpa masalah?


[Bagaimana kalau tidak siang, tapi sore?]


[Maksudmu?]


[Hidaka kan mulai kerja paruh waktu jam lima sore? Hari ini sekolah selesai sekitar jam tiga. Kamu bisa pergi lebih awal ke toko dan memberikan bekalnya di sana. Itu bisa mencapai tujuanmu, kan?]


[……Bagus.]


Tampaknya Hidaka puas dengan jawabanku.


[Rahasia kita berdua. Diam-diam mesra, impianku makin berkembang. Aku bisa menyuapi sepuasnya.]


Ketika aku memeriksa Hidaka lagi, dia sudah kembali ke ekspresi dinginnya yang biasa, tapi dia tampak sedikit bersemangat. Untunglah, dia menerima usulanku.


[Kalau begitu, ayo makan bersama di tempat kerja nanti. Sebenarnya aku ingin berjalan bersamamu, tapi aku akan menahan diri hanya dengan pergi bersamamu secara normal.]


[Normal, maksudmu?]


[Seperti biasa, aku akan diam-diam mengikutimu dari belakang.]


Sepertinya konsep "normal" antara aku dan Hidaka sangat berbeda.


Mungkin ini yang disebut perbedaan budaya antar negara? Meskipun kami berasal dari negara yang sama, aneh sekali.


◆ ◆ ◆


Waktu istirahat.


Aku berhasil menghentikan operasi "docking" oleh Hidaka, dan kini menikmati ketenangan sesaat.


Di kehidupan pertamaku, aku biasa menghabiskan waktu ini ngobrol dengan Amada, yang duduk tak jauh dariku. Namun, di kehidupan kali ini, semuanya berbeda.


Kenapa? Karena Amada sekarang berbicara dengan Tsukiyama, bukan denganku.


"Hei, Tsuki. Boleh nggak aku main ke rumahmu? Kelihatannya rumahmu megah banget deh."


"Boleh saja, tapi sebenarnya nggak seheboh itu. Biasa aja kok."


Mana mungkin. Aku hanya pernah mendengar cerita dari Amada, tapi rumah Tsukiyama itu katanya memang mansion yang luar biasa. Ditambah lagi, dia punya villa di Okinawa dan Nagano. Sebelum ujian, mereka sering berkumpul di rumah Tsukiyama untuk belajar bersama. Saat liburan musim panas, mereka menikmati laut berwarna hijau zamrud di villa Tsukiyama, dan saat liburan musim dingin, mereka bersenang-senang dengan olahraga musim dingin di villa lainnya.


Sebagai karakter serba guna dalam kisah romansa komedi, Tsukiyama sangat aktif berkontribusi.


"Biasa aja itu standar kamu, kan? Mungkin bagi kamu yang biasa, tapi bagiku yang orang biasa jelas beda."


"Mungkin ya. Ngomong-ngomong, kamu mau datang sendirian?"


Ah, aku mengerti semuanya sekarang.


"Sendirian sih... Eh, tunggu! Hei, Mikoto. Mau ikut nggak?"


Dan begitulah, kerja sama antara Tsukiyama dan Amada terjalin.


"Tidak."


Namun, seperti biasa, sang "Ratu Es" menolak undangan Amada dengan tegas. Tsukiyama langsung bergerak dengan strategi selanjutnya.


"Jangan gitu, Hidaka. Kamu nggak bisa datang ke acara keakraban kemarin, kan? Jadi, kali ini kamu ikutlah. Aku juga ingin lebih mengenalmu."


"Aku nggak tertarik sama kamu."


Kuat. Hidaka memang sangat tegas. Bahkan undangan dari pria tampan seperti Tsukiyama dia tolak mentah-mentah.


Dengan penolakan yang jelas seperti itu, Tsukiyama tak punya pilihan selain mundur. Meski begitu, dia tetap berusaha tersenyum walau terlihat kaku.


"Begitu ya..."


"Yah, kalau Mikoto nggak mau, maka... Ah, ya!"


Saat itu, Amada tampaknya mendapat ide dan mendekatiku dengan senyum lebar.


Hei, hentikan. Jangan datang ke sini. Karena kamu mendekatiku, Tsukiyama juga pasti ikut mendekat.


"Hei, Ishii. Mau nggak kamu ikut aku ke rumah Tsuki?"


"Eh? Aku? Kenapa aku?"


Aku bertanya, dan Amada berbisik pelan di telingaku.


"Lihat, kamu kan nggak punya banyak teman di kelas. Tapi kalau kamu akrab sama Tsuki, kamu nggak bakal terlihat menyendiri. Lagipula, aku juga ingin lebih dekat dengannya."


Kebaikan hatinya ini menyebalkan! Amada benar-benar orang baik yang menyebalkan!


"Terima kasih, tapi aku ada kerja part-time..."


"Kalau gitu, kosongkan jadwalmu. Kamu belum menyerahkan semua shift, kan? Bagaimana kalau sebulan lagi?"


Berhenti! Jangan terlalu gigih! Kalau kamu terus memaksa... ah, lihatlah!


Hidaka sedang melihat ke sini, matanya seolah berkata, "Kalau Kazupyon ikut, aku juga mau ikut."


"Tidak. Aku ingin menghabiskan waktu dengan adikku di hari libur."


"Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke rumah Ishii saja?"


Hiii! Hidaka tampak setuju dengan usulan itu!


"Jangan! Rumahku kecil!"


"Tidak apa-apa. Kita cuma bertiga kok."


Serius, kalian sudah menentukan jumlahnya? Barusan Hidaka menolak, tapi sekarang kalian menyisakan ruang untuknya!


Baiklah, kalau kalian begitu gigih, aku punya rencana untuk kalian.


"Kalau begitu, ke rumah Tsukiyama saja. Lebih banyak orang juga bisa ikut, kan?"


"Eh? Aku harus tanya Tsuki dulu sih..."


"Aku nggak masalah. Kalau Ishii datang, orang lain juga boleh."


Bagus, itu yang aku tunggu. Sekarang mari kita manfaatkan ini.


"Kalau begitu, ke rumah Tsukiyama saja. Tapi kalau ada yang ingin pergi selain aku, aku akan memberi tempatku kepada mereka... Bagaimana menurut kalian?"


"Aku mau ikut!!! Aku juga mau ke rumah Tsukiyama-kun!!!"


Sebagian besar anak perempuan di kelas langsung mengerubungi Tsukiyama, mendorong Amada ke samping. Di masa ini, Tsukiyama sepopuler karakter dalam gim otome. Dari tadi, para gadis ini sudah mendengarkan pembicaraan Tsukiyama dan Amada dengan saksama.


"Tsukiyama-kun, kami juga ingin ke rumahmu! Rumahmu pasti besar, kan?"


"Bagaimana kalau kita semua yang ingin ikut pergi bersama? Tentu saja, hanya bagi yang mau."


"Tsukiyama-kun, kapan kamu punya waktu? Kami akan menyesuaikan jadwal!"


Para gadis, meskipun saling bersaing, tahu bahwa menyelinap sendirian akan membuat mereka diasingkan. Jadi mereka memilih pergi bersama, dengan dalih memberi kesempatan yang adil. Meski ingin punya hubungan istimewa dengan pria yang mereka sukai, mereka lebih takut dikucilkan oleh komunitas perempuan.


"Eh, akhir pekan depan aku kosong, jadi mungkin..."


"Kami akan datang dua-duanya!!!"


Hewan liar selalu hidup berdampingan dengan rasa lapar, jadi mereka akan makan kapan pun ada kesempatan. Jika kau menawarkan rencana makan sepuasnya, sudah pasti mereka akan melahap semuanya.


"Amada, sepertinya banyak yang ingin pergi, jadi dahulukan mereka."


"Ah... Iya, aku mengerti..."


Kecewa karena harapannya pupus, ya, Amada? Tapi, tenang saja. Di antara para gadis yang mengerubungi Tsukiyama, ada satu yang kelak menjadi heroine-mu.


Dia berpura-pura menyukai Tsukiyama demi menjaga suasana dengan yang lain. Mungkin saat kalian pergi bersama ke rumah Tsukiyama nanti, dia akan merasa terisolasi.



Dan Amada, yang tak tahan melihatnya sendirian, akan membantunya, lalu berhasil menjadikannya bagian dari harem-mu.


Awalnya, ini adalah event paruh kedua semester, tapi dengan semua jadwal yang sudah kacau, memulainya lebih awal bukanlah masalah. Saat memikirkan hal itu, ponselku bergetar.


[Aku ingin mengunjungi rumah Kazupyon. Aku ingin berdiskusi tentang jadwal pertunangan dengan orang tuamu.]


[Tidak usah bahas pertunangan, ya.]


[Sayang sekali... Kalau begitu, bagaimana kalau ke rumahmu saja?]


Aku sudah menolak soal pertunangan, dan dia juga telah banyak membantuku…


[Asal kamu bisa memastikan tidak ada yang tahu…]


[Janji berhasil! Ini namanya teknik 'door in the face'!]


Aku kena.


Teknik 'door in the face' adalah trik di mana seseorang membuat permintaan besar terlebih dahulu agar ditolak, kemudian mengajukan permintaan kecil yang sebenarnya diinginkan, sehingga lebih mudah diterima.


Gadis ini, meskipun terlihat bertindak berdasarkan insting, ternyata cukup cerdik.


[Rahasia lain antara kita berdua... Bagus.]


◆ ◆ ◆


Belum seminggu sejak kehidupanku yang kedua dimulai, tapi aku sudah merasa ada banyak keanehan... Tidak, lebih dari satu.


Terlalu banyak keanehan, sampai rasanya bisa memenangkan "Keanehan Tahun Ini." Tapi lupakan itu dulu.


Di antara banyak keanehan, ada satu yang sangat mencolok: perilaku Amada Teruhito.


Pendekatannya yang halus terhadap Hidaka dan persahabatannya dengan Tsukiyama bisa kumaklumi.


Yang pertama tak berbeda dari kehidupanku sebelumnya, sementara yang kedua memang terjadi lebih cepat, tapi penyebabnya jelas sehingga tak terasa aneh.


Namun, kenapa setelah menjadi sahabat Tsukiyama, Amada tetap berusaha akrab denganku?


Sikapku padanya cukup kasar jika dilihat orang lain. Meski dia mendekat dengan ramah, aku menunjukkan penolakan dan mencoba menjaga jarak. Tapi Amada tidak menyerah.


Melakukannya untuk mendekati Hidaka bisa dimengerti, tapi apa alasan dia melakukannya padaku?


Bagaimanapun juga, aku hanyalah figuran di kelas ini, dulu maupun sekarang.


"Hei, Amada."


"Ada apa, Ishii?"


Aku tahu Amada baru akan benar-benar menunjukkan taringnya satu setengah tahun lagi. Saat ini dia masih aman, tapi traumaku di masa lalu membuatku tetap takut.


"Kenapa sih, kau terus saja menggangguku?"


"Hah?"


"Memang, karena nomor absen kita dekat, tempat duduk kita berdekatan. Tapi kau terlalu sering mengganggu. Kau sudah akrab dengan Tsukiyama, jadi biarkan aku sendiri saja."


"Ah... Begitu ya. Hmm, sebenarnya ini sudah jadi kebiasaan."


Amada menjawab sambil menggaruk hidungnya dengan canggung.


"Ya, aku tak bisa membiarkan orang yang mencoba menyendiri begitu saja."


Kalimat itu benar-benar cocok untuk seorang protagonis.


Dalam kehidupanku yang pertama, Amada menjadi tokoh utama romansa, tapi dia bukan tipe yang hanya memperlakukan gadis cantik secara istimewa.


Entah itu laki-laki atau perempuan, tampan atau tidak, dia selalu membantu mereka yang kesulitan, tanpa pernah meninggalkan siapa pun.


"Aku memang ingin sendiri, jadi biarkan aku."


"Tidak bisa. Bersama seseorang lebih baik daripada sendirian."


Sambil berkata begitu, dia menyentuh dengan lembut wristband usangnya.


"Dulu, aku pernah membuat kesalahan besar saat masih kecil. Aku sangat menyesal karena meninggalkan seseorang sendirian, meskipun aku tak ingin melakukannya. Aku tak akan mengulang kesalahan itu."


Mungkin itulah alasan Hidaka menjauhinya.


Aku tahu wristband itu adalah pemberian Hidaka saat mereka kecil, tapi ini pertama kalinya aku mendengar kisah itu.


Kalau saja aku punya kenangan masa kecil yang istimewa... Sayangnya, masa kecilku hanya diisi dengan mengurus Yuzu, membawanya ke taman, dan bermain bersama anak-anak lain di sana.


"Itulah sebabnya aku tak akan membiarkan siapapun sendirian. Bahkan jika mereka salah, aku tetap menjadi teman terakhir mereka. Meski mungkin menurutmu aku mengganggu."


"Benar sekali, sangat mengganggu."


"Hahaha... Yah, abaikan saja aku kalau kau mau."


Mungkin kebaikan hati inilah yang membuat Amada layak menjadi protagonis romansa.


◆ ◆ ◆


Begitu jam sekolah selesai, aku langsung bergegas menuju tempat kerja paruh waktuki.


Meski jadwal mulai bekerja pukul 5 sore dan aku punya cukup waktu, ada sesuatu yang harus kuselesaikan sebelumnya. Aku sudah berjanji untuk makan bekal yang dibuatkan oleh Hidaka.


"Buka mulutmu."


"...Tapi ini, yaudah deh, aa~."


"Bagus!"


Di ruang makan, Hidaka duduk di sampingku dan dengan sumpit, dia menyuapkan potongan karaage ke mulutku. 


Saat aku menggigit dan memakannya, meskipun ayam goreng itu sudah dingin, rasanya seolah masih hangat. Setelah suapan pertama, aku bilang akan makan sendiri, tapi dia menolak dengan berkata, "Frustrasi yang aku rasakan selama ini sudah menyatu dalam setiap butir nasi di bekal ini."


Kini aku mendapati diriku dalam situasi di mana aku harus ‘memakan frustrasi’ Hidaka.


Saat ini, Hidaka dalam mode berkacamata dengan rambut dikepang dan berbicara dengan nada patah-patah. Kemarin, setelah kerja paruh waktu, dia berbicara seperti biasa karena emosinya sedang memuncak, tapi sekarang rasa malunya lebih dominan. Entah kenapa, perilaku Hidaka selalu penuh misteri.


"Bagaimana rasanya?"


"Enak."


"...! Te-terima kasih…"


Kini dia bahkan sudah tidak bisa berbicara dalam bahasa Jepang dengan benar.


"Berikutnya, kinpira gobo."


Hidaka tampak senang saat dia mengambil kinpira gobo dengan sumpit dan menyodorkannya ke arahku.


Kenapa dia bisa menyukaiku sampai sejauh ini? Aku ingin tahu alasannya, tapi aku, yang hanya seorang figuran, tidak punya keberanian untuk bertanya.


Meski aku tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetap saja, ada banyak hal tentang masa kini yang tidak kumengerti. Setelah menghabiskan semua bekal Hidaka, kami pun menuju ke kasir untuk mulai bekerja.


◆ ◆ ◆


Jam kerja paruh waktu dimulai pukul 5 sore hingga 10 malam.


Gaji lebih tinggi di shift malam dan dini hari, tapi karena aturan melarang siswa SMA bekerja antara pukul 22.00 hingga 05.00, aku tidak bisa mengambil shift tersebut.


Selain itu, shift pagi hari sulit untukku karena ada sekolah, dan pada akhir pekan, biasanya sudah diambil oleh manajer pemilik minimarket.


Yah, mencari uang memang penting, tapi yang paling utama adalah memiliki jadwal kerja sehingga aku tidak terjebak dalam acara-acara aneh di sekolah. Dengan pikiran seperti itu, aku berdiri di kasir sambil melamun.


Hari ini ada tiga orang yang bekerja: aku, Hidaka, dan manajer toko. Manajer sebenarnya ingin menambahkan staf lain, tapi karena tidak ada yang tersedia, dia sendiri yang masuk jadwal. Namun, karena manajer juga punya tugas administratif, dia lebih sering berada di kantor sampai keadaan mulai sibuk.


Hidaka saat ini

 sedang mengisi ulang minuman di dalam walk-in—sebuah ruangan pendingin besar untuk menyimpan minuman. Ketika dia tidak berada di kasir, pelanggan pria pun kembali berperilaku biasa... lalu pintu otomatis di depan terbuka.


"Selamat datang... Huh?! Kenapa kamu di sini?!"


"Ah! Akhirnya aku menemukannya!"


"Hee, jadi kamu benar-benar kerja di sini, ya?"


Begitu mereka masuk, suhu dalam toko seketika terasa jauh lebih dingin daripada ruang pendingin. Tunggu sebentar! Kenapa mereka ada di sini?!


Memang, aku pernah bilang bahwa aku bekerja paruh waktu di sebuah minimarket di daerahku. Tapi aku tidak pernah menyebutkan toko mana! Jadi, kenapa… kenapa mereka bisa menemukannya?!


"Hei! Ishii!"


Amada dan Tsukiyama muncul di toko tempatku bekerja!?


Ini buruk… sangat buruk…


Untungnya, Hidaka sedang di ruang pendingin, di sisi lain toko yang berlawanan dengan kasir. Jadi, mereka belum tahu kalau Hidaka juga bekerja di sini.


Tapi kalau dibiarkan, cepat atau lambat mereka akan mengetahuinya. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana caranya agar rahasia ini tetap aman?!


"Ah, akhirnya aku menemukannya! Aku harus keliling banyak minimarket, tahu!"


Sial, dia benar-benar menggunakan metode pencarian satu per satu!


Serius, ada apa sih dengannya?! Aku kan sudah bilang, jangan pedulikan aku! Kenapa harus repot-repot mencari sampai ke daerah yang butuh perjalanan 30 menit dengan kereta?!


"Se-selamat datang…"


"Oh, selamat datang!"


Senyuman itu… rasanya aku ingin memukulnya sekarang juga. Apa dia punya dendam padaku atau apa?!


Jangan keluar, Hidaka. Aku mohon, tetaplah di ruang pendingin.


Dan ya! Dia keluar! Sepertinya dia baru saja selesai mengisi stok. Tapi tentu saja, Hidaka langsung menyadari kehadiran Amada dan Tsukiyama.


Sekilas dia membuka matanya lebar-lebar, lalu mulai menatap mereka dengan pandangan tajam seperti melihat sampah.


Tenang. Ini belum yang terburuk. Yang paling parah adalah jika mereka tahu bahwa Hidaka juga bekerja di sini. Jika itu terjadi, kemungkinan besar Amada dan Tsukiyama akan datang setiap hari. Bahkan lebih buruk lagi, mereka mungkin akan mencoba bekerja di sini juga.


Amada, yang tidak punya kegiatan setelah sekolah, punya banyak waktu luang. Berbeda dengan Tsukiyama yang sibuk dengan klub.


"Ada apa, Ishii? Kamu kelihatan berkeringat banyak."


"Eh… pelanggan… tolong diingat bahwa ada pelanggan lain juga…"


"Eh? Bukannya kita satu-satunya pelanggan di sini?"


Iya sih! Biasanya ada beberapa pelanggan, tapi kenapa pas sekarang tidak ada siapa pun?! Kalau begini, aku tidak bisa pakai alasan sibuk untuk menyuruh mereka pergi!


Dan Hidaka juga tidak mungkin terus bersembunyi di belakang. Dia sedang bekerja sekarang.


Apa yang harus kulakukan…? Hah? Tunggu, Hidaka kelihatannya punya ide.


"…Nyu."


Dia… mulai mengangkat dagunya?! Apa dia pikir itu bisa menyembunyikan identitasnya?!


Jangan bodoh! Sebagus apa pun kamu mencoba, kamu tetap cantik dan tidak mungkin menyamar.



"Itu tidak akan berhasil, tahu!"


"Eh? Apa maksudnya?"


Ah, aku kehilangan kendali. Aku terlalu fokus pada aksi Hidaka sampai aku refleks mengomentarinya. Amada dan Tsukiyama sekarang menatapku dengan wajah bingung.


Setidaknya, karena itu, Hidaka mundur kembali ke ruang pendingin.


"Dengar, Amada, Tsukiyama. Aku nggak suka kalau teman sekolah datang saat aku sedang kerja. Bayangkan saja kalau ada orang yang masuk kamar mandi waktu kamu lagi buang air. Pasti nggak nyaman, kan? Nah, seperti itulah rasanya."


"Serius, seberapa benci sih kamu sama kerjaan ini?!"


Aku nggak benci kerjaannya, aku benci kalian yang datang ke sini!


Kemudian, Hidaka muncul lagi. Tapi tunggu… apa dia pakai wig afro warna-warni dan kacamata dengan hidung palsu?!


Dia terlihat percaya diri dengan penampilannya, tapi… ini sama sekali tidak membantu! Lagipula, dia tetap memakai name tag di dadanya. Itu sudah cukup untuk mengungkap identitasnya!


Aku mengetuk dadaku kuat-kuat untuk memberitahunya.


"Kenapa tiba-tiba kamu memukul dadamu sendiri?"


Diam, Amada! Aku nggak butuh komentarmu.


Untungnya, Hidaka mengerti maksudku dan kembali masuk ke ruang pendingin.


"Baiklah, Amada, Tsukiyama. Aku sedang bekerja sekarang. Jadi, aku nggak bisa ngobrol lama. Kumohon, ngerti dong."


"Hmm, ya… oke. Aku beli sesuatu aja, deh. Yuk, Tsuki!"


"Iya, serius, kamu aneh banget sih…"


Mereka akhirnya pergi menjauh dari kasir. Tapi masalah belum selesai.


Sebentar lagi, barang-barang seperti makanan ringan dan mi instan akan datang dalam kotak besar. Aku harus menatanya di rak. Meski ada manajer, aku nggak bisa terus menyuruh Hidaka bersembunyi di belakang.


Aku hanya bisa berharap mereka cepat pergi.


Pilihan mereka? Mi instan. Mereka menaruhnya di kasir.


Mi instan? Seriusan?


"Ini, tolong. Sama daging kukus satu."


"Aku mau stik ayam goreng juga."


"Baik… untuk kantong plastiknya bagaimana?"


Kau tahu, kan? Kantong untuk dibawa pulang itu penting, kan!?


"Ah, nggak perlu. Aku bakal makan di sini."


"Ini bukan restoran, tahu! Pulang aja, makan di rumah!"


Mereka berencana makan di area makan dalam toko sebelum pulang! Betapa merepotkannya!


Ketika Hidaka keluar lagi dari ruang pendingin, dia melihat Amada dan Tsukiyama sedang membeli mi instan, lalu memasang ekspresi seperti, "Yah, aku harus pasrah."


Sial! Kalau sudah begini… Aku langsung lari ke pintu belakang kasir menuju ruang staf.


"Manajer, ini darurat!"


"Hah? Ada apa?"


"Ada pelanggan! Aku mau usir mereka sekarang juga!"


"Itu ucapan yang nggak pantas dari seorang pekerja part-time… Mereka itu siapa?"


"Mereka teman sekelasku, dan mereka mencari-cari aku dengan keliling semua minimarket di sekitar sini karena khawatir aku nggak kerja dengan benar! Ini jelas tindakan yang sangat mengganggu!"


"Eh, bukannya itu berarti teman kamu yang baik banget, ya?"


Kalau dipikir-pikir, aku nggak punya alasan untuk membantahnya.


Sial! Gimana aku menjelaskan ini? Manajer nggak ada hubungannya sama kisah romantis Amada!


Bahkan kalau aku bilang ada seseorang yang suka sama Hidaka datang ke toko, pasti dia cuma bilang, "Terus kenapa?"


"Em, mungkin mereka orang baik, tapi Hidaka itu──"


"Oke. Aku sudah paham semuanya."


"Hah?"


Manajer langsung berdiri dan berjalan keluar ruang staf. Dia menuju ruang pendingin, berbicara dengan Hidaka sebentar, lalu kembali ke tempatku di kasir.


"Aku bilang ke Hidaka kalau dia bisa pakai jaket dan tetap di ruang pendingin sebentar. Kalau ada barang yang datang, aku yang jaga kasir, dan kamu bantu susun barang di rak. Barang yang nggak muat di rak, Hidaka yang urus di belakang. Gimana?"


"Ehm, kenapa sampai seribet itu?"


"Hidaka itu populer di sekolah. Kalau sampai orang tahu kamu kerja part-time bareng dia, kamu bisa repot, kan? Tenang aja, aku di pihak pekerja part-time."


Dewi telah turun dari langit.


"Manajer, aku akan memujimu sampai akhir zaman!"


"Itu menakutkan, jadi jangan lakukan itu. Oh ya, setelah selesai kerja, jangan lupa hibur Hidaka, ya. Dia merasa bersalah karena mengira bikin kamu repot."


"Hah? Baik! Aku mengerti!"


Setelah itu, aku dengan diam menyusun barang-barang di rak sambil sesekali membantu kasir, sementara Amada dan Tsukiyama makan mi instan sambil ngobrol.


Saat jumlah pelanggan menurun, aku kembali menyusun barang, dan Amada serta Tsukiyama mendekat.


"Ishii, kamu kerja keras, ya."


"………"


"Ehm, kamu marah?"


"Banget."


"Maaf… Kami cuma ingin cari kesempatan untuk lebih akrab sama kamu…"


"Tapi kalian sudah keterlaluan. Waktu penggunaan area makan cuma 30 menit. Lagipula, aku lagi kerja. Jangan ganggu lagi, cepat pulang."


"Uh! Maaf…"


"Hei, Ishii. Nggak perlu sampai ngomong begitu. Teru itu cuma──"


"Kalau memang peduli padaku, jangan ganggu aku kerja."


Dengan nada yang sedikit lebih tegas, Tsukiyama sepertinya merasakan kemarahanku dan nggak bilang apa-apa lagi.


Meskipun ingin lebih dekat denganku, merepotkan orang lain itu nggak bisa diterima.


Mereka sudah melanggar waktu area makan dan terus mengajakku bicara, sehingga pekerjaanku terhenti.


"Maaf, Ishii. Kami pulang sekarang…"


Aku nggak menjawab apapun pada Amada, dan terus melanjutkan pekerjaanku.


Tsukiyama masih terlihat ingin protes, tapi aku nggak peduli.


◆ ◆ ◆


Setelah selesai dengan pekerjaan part-time, kami berdua keluar dari minimarket, tetapi ekspresi wajah Hidaka tampak sangat muram.


"…Maaf."


Dia meminta maaf begitu saja. Hidaka berjalan sedikit di belakangku, bukan di samping, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya.


"Kalau bukan karena aku, Kazupyon tidak akan terkena masalah. Juga, pada toko… maaf."


Jika Hidaka tidak bekerja di minimarket ini, meskipun Amada dan Tsukiyama datang mengganggu, aku mungkin tidak akan begitu panik. Selain itu, toko juga tidak akan terkena masalah.


Namun, bukan berarti Hidaka melakukan sesuatu yang salah. Ini sepenuhnya karena urusan pribadiku.


Kalau ini adalah kehidupanku yang pertama, aku mungkin akan dengan bangga memberi tahu Amada bahwa aku bekerja di tempat yang sama dengan Hidaka.


"Aku bekerja di tempat yang sama dengan Hidaka Mikoto, tahu," seperti itu.


"Aku yang salah."


"Eh?"


"Aku hanya tidak suka kalau orang tahu kita bekerja di tempat yang sama. Hidaka hanya terbawa oleh keegoisanku. Jadi, kamu tidak perlu merasa bersalah."


"Tapi, karena aku teman masa kecil dengan dia…"


"Dia," ya.


Aku tidak berpikir seseorang harus memiliki perasaan khusus terhadap teman masa kecil, tetapi membenci sampai sejauh ini sedikit aneh juga.


"Kenapa kamu begitu membenci Amada?"


"……"


Saat aku berbalik, Hidaka menunjukkan ekspresi yang tampak mencerminkan rasa takut.


Menurut cerita Amada, mereka akrab saat masih kecil. Jadi, ada alasan tertentu kenapa dia membenci Amada sejauh ini, kan? Apakah aku salah bertanya?


"Waktu kecil, dia mengambil sesuatu yang sangat penting bagiku. Makanya, aku membencinya. Dan… aku takut."


"Sesuatu yang penting?"


"Iya. Harta karunku."


Itu mungkin cerita yang hanya diketahui oleh Amada dan Hidaka.


Mungkin saja Amada menyukai Hidaka sejak saat itu dan melakukan hal itu untuk menarik perhatiannya. Seperti anak kecil yang suka usil kepada seseorang yang disukainya.


Namun, bagi Hidaka, itu adalah masalah besar… dengan suara cemas, dia bertanya padaku.


"Kazupyon, menurutmu, Amada itu seperti apa?"


"Orang baik yang bikin jengkel."


Melihat dari apa yang akan terjadi nanti, Amada adalah sosok terburuk bagiku. Tapi, jika menilai kepribadiannya saja, dia bukan orang yang buruk.


Dia tidak membiarkan aku sendirian dan ingin tetap menjadi teman.


Dia juga bersikap ramah pada para heroine yang akan kutemui nanti.


Kebaikan tulusnya itu membuat para heroine menyukainya… lalu semua menjadi kacau.

"Menurutmu, aku harus berteman dengannya?"


"Eh?"


"Kalau Kazupyon bilang begitu, aku akan melakukannya…"


Hidaka dan Amada menjadi akrab, ya.


Awalnya, aku berpikir mereka adalah tokoh utama pria dan heroine utama. Jadi, aku mencoba mendorong cerita mereka supaya segera mencapai akhir.


Dengan begitu, aku pikir aku bisa menghindari masa depan terburuk yang akan menimpa keluargaku.


Namun, sekarang aku…


"Aku tidak berpikir begitu."


"…Benarkah."


"Emang kenapa?"


"Kalau aku berteman dengannya, Kazupyon tidak perlu menyembunyikan apapun lagi."


Mungkin memang begitu.


Tapi, alasan Amada peduli padaku bukan hanya itu. Dia tidak bisa meninggalkan seseorang sendirian, itu sudah sifat dasarnya.


Kalau begitu, meskipun Hidaka dan Amada menjadi akrab, itu tidak akan benar-benar menyelesaikan masalah.


Selain itu…


"Kalau kamu tidak ingin berteman dengannya, kamu tidak perlu melakukannya."


Aku tahu betapa sulitnya dipaksa melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam kehidupan pertamaku, setelah dituduh dan dihukum secara tidak adil, aku mengalami bullying yang sangat parah.


Pelecehan dan kekerasan. Mereka bahkan menyuruhku mencuri di sebuah toko jika ingin dimaafkan. Aku pernah melakukannya, meskipun aku tidak mau, dan tentu saja aku tertangkap. Mereka tertawa saat melihatku seperti itu. Aku tidak akan pernah melupakan senyuman jahat mereka.


Semua orang di sekolah adalah musuhku.


Sampai sekarang… tidak, justru sekarang aku merasa marah saat mengingatnya.


Namun, Hidaka berbeda. Dalam kehidupan pertamaku, hanya dia yang tidak melakukan apapun.


Ketika aku mencoba mengakhiri hidupku, dia datang ke atap untuk mencariku.


Aku tidak tahu untuk apa dia datang, tetapi aku merasa senang dia datang.


"Apakah aku masih boleh bekerja di sini?"


Matanya yang menatapku bergetar cemas.


Bayangan Hidaka yang disebut "Ratu Es" itu sudah tidak ada, dia hanya terlihat seperti gadis muda yang lemah sesuai usianya.


"Itu bukan keputusan yang bisa aku buat, tapi keputusan manajer."


"Kazupyon yang putusin."


"Kamu boleh bekerja kok. Walaupun Amada tahu, kamu tetap boleh bekerja."


Aku tahu ini bisa memperburuk posisiku.


Hal terpenting bagiku adalah menghindari masa depan terburuk yang melibatkan seluruh keluargaku.


Namun, menolak Hidaka sekarang tidak terasa benar bagiku.


"Kalau begitu, aku akan tetap bekerja."


Akhirnya dia terlihat tenang dan melangkah maju ke sampingku.


Aku termasuk pendek untuk ukuran laki-laki, tapi aku masih sedikit lebih tinggi darinya.


"Boleh aku menggandeng tanganmu?"


"Tapi, sampai ke stasiun saja ya."


"Oke."


Tangan "Ratu Es" yang pertama kali kusentuh itu ternyata lebih kecil dari yang kubayangkan… dan hangat.


Previous Chapter | ToCNext Chapter

0

Post a Comment



close