NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Shujinkou no Osananajimi ga, Wakiyaku no Ore ni Guigui Kuru V1 Chapter 5

Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty 


Chapter 5

Jika Ingin Membalas Dendam, Lakukan dengan Gembira


Pagi yang baru. Dengan tekad yang menggelora di dada, aku mengenakan seragamku dan membuka pintu kamar. Di sana, seorang malaikat jahil dengan wajah cemberut menatapku penuh curiga.


Bolehkan aku memeluknya?


"Selamat pagi, Yuzu!"


"Selamat pagi… Kazu, apa kau menggunakan hipnosis khusus atau semacamnya?"


"Tidak. Bukti bahwa aku tidak menggunakan itu adalah siswa dan guru di sekolahmu belum mulai menyembahmu. Bagiku, Yuzu tetap yang nomor satu."


"Tidak perlu bukti seperti itu, dan jangan lakukan itu meskipun bisa!"


Hari ini, adikku sedikit tsundere seperti biasa. Tapi, itu yang membuatnya menggemaskan.


"Jadi, sebenarnya ada apa… Kalau aku ingat, orang itu saat kecil pernah bersama Kazu dan aku… Jangan-jangan sejak saat itu dia terus—? Kalau begitu, itu tetap saja mirip hipnosis."


Sambil bergumam pelan, Yuzu tampak seperti tiba-tiba mengerti sesuatu. Namun, menyimpulkan bahwa itu adalah hipnosis membuat kakakmu ini sedikit sedih tahu.


"Yuzu, ada apa? Kalau ada yang membuatmu gelisah, katakan saja. Aku akan mencari tahu segalanya dan menyingkirkan penyebabnya!"


"Cukup bilang ‘aku akan mendengarkan’ saja, jangan berlebihan!"


Tapi serius deh, siapa pun yang menyebabkan Yuzu cemas adalah musuh besar.


Musuh harus dihancurkan. Dan saat kita menghancurkan musuh, barulah kita bisa menyebut diri kita sebagai keadilan.


"Tidak ada yang membuatku cemas. Kalau Kazu ingin tahu, turun saja ke bawah."


Setelah mengatakan itu, Yuzu pergi menuruni tangga. Namun, sebelum benar-benar turun, dia berhenti sejenak, pipinya sedikit memerah, lalu menatapku dengan pandangan tajam.


"Jangan terlalu mesra, ya? Aku tetap yang nomor satu, kan?"


Aduh, imutnyaaa! Apa itu? Dia benar-benar malaikat super!


Yuzu selalu jadi nomor satu, sudah pasti! Dia bahkan lebih dari nomor satu—dia nomor satu besar!


Jadi begini ya, ternyata keberadaan Yuzu adalah alasan alam semesta tercipta. Adikku memang luar biasa!


Baiklah, aku juga akan segera ke ruang makan!


"Selamat pagi!"


"Selamat pagi, Kazuki-kun!"


"Selamat pagi, Kazuki."


"Selamat pagi, Kazu."


"Selamat pagi, Kazupyon."


"………."


Hmm, ada yang aneh di sini. Ini seharusnya ruang makan keluarga Ishii, bukan?


Biasanya, meja kami hanya cukup untuk empat orang. Kalau dipaksakan, bisa ditambahkan kursi di ujung.


Di tempat duduk biasanya ada Ayah, Ibu, dan Yuzu. Sampai di sini masih normal.


Namun, kenapa ada seseorang yang sangat familiar duduk di kursi tambahan?


"Hidaka, apa yang kamu lakukan di sini?"


"Makan pagi. Masakan Ibumu sangat lezat."


Oke, satu hal yang kutangkap adalah Hidaka sedang gugup. Itu terlihat dari cara bicaranya yang terpatah-patah.


Tapi bukan itu poinnya!


"Maaf, mungkin pertanyaanku kurang jelas. Kenapa kamu ada di ruang makan keluargaku?"


"Kazuki-kun, salah. Rumah ini dibeli oleh Ayah. Pemiliknya adalah Ibu!"


"Kau temannya, kan? Apa dia pacarmu?"


Ibu, yang selalu tenang dan bijaksana, terlihat senang seperti anak kecil. Bahkan, porsi sup miso untuk Hidaka dua kali lipat dari Ayah.


"Bukan begitu… Yah, kami hanya teman satu tempat kerja…"


"Cepat sekali, Ibu! Saat ini dia hanya teman, kan, Hidaka-san?"


"Ya, benar. Hanya teman, Ayah."


"Ibu, Yuzuki-chan, dengar itu? Dia memanggilku Ayah! Kalau punya anak perempuan semanis ini, pasti aku akan bangga menunjukkannya pada semua orang!"


Ayah terlihat sangat bersemangat hingga tidak menyadari aku dan Yuzu yang memasang wajah datar.


Dengan riang, Ayah mulai menjelaskan semuanya.


"Tadi pagi, saat aku mengambil koran, aku melihat Hidaka-san di depan rumah. Ketika kutanya sedang apa, dia bilang ingin menunggu Kazuki-kun supaya bisa pergi ke sekolah bersama. Kalau begitu, sudah jelas, kan? Harus kubawa masuk dan makan bersama!"


"Apa kau menggunakan Ayahku sebagai alat!?"


Barulah aku sadar akan kesalahanku.


Kemarin setelah sekolah, saat mendeklarasikan perang terhadap Amada, aku mengantar Hidaka ke tempat kerja.


Saat itu, aku berkata padanya bahwa tidak apa-apa jika dia bersikap biasa saja di sekolah. Kita bisa berteman seperti biasa.


Dia menyetujui sambil tersenyum manis, dan aku pikir itu adalah senyum yang sangat menggemaskan.


Namun, aku lupa satu hal.


Standar biasa bagi Hidaka berbeda dari standarku. Baginya, yang biasa adalah sesuatu yang aneh bagiku.


"Ini seperti pepatah, ‘Jika ingin menaklukkan sang jenderal, taklukkan dulu kudanya!’ Hahaha!"


Ayah, kau tidak punya rasa malu, ya? Kenapa kau rela menjadi kuda!?


Aku menatap Ayah dengan pandangan kecewa, tapi dia malah menanggapinya dengan wajah serius.


"Kazuki-kun, Ayah rela menjadi badut demi keluarga. Kalau aku bisa membuatmu bahagia dengan menjadi kuda, maka itu sempurna!"


Di mana ada orang yang menutup kalimatnya dengan suara kuda seperti itu…


"Yuk, cepat makan sebelum dingin."


Ibu tetap tenang. Sepertinya dia baik-baik saja walau suaminya jadi kuda.


Saat aku duduk, Yuzu yang di sebelahku berbicara pelan.


"Tuh, kan? Kazu kamu beneran pakai hipnosis, ya?"


Benar, aku tidak bisa menyangkal itu…


◆ ◆ ◆


Setelah sarapan, aku pergi ke sekolah bersama Yuzu dan Hidaka.


Begitu keluar rumah, Yuzu langsung menggenggam tanganku dengan erat. Padahal, biasanya dia enggan melakukannya.


"Ayo cepat, Kazu."


Air mata hampir keluar dari mataku. Dengan tangan yang kosong, aku memberikan jempol pada Hidaka.


"Hidaka, good job!"


Pagi di perjalanan ke sekolah, probabilitas aku bisa menggandeng tangan Yuzu adalah 38,7%.


Dan sekalipun berhasil menggandengnya, biasanya itu hanya di menit-menit terakhir sebelum sampai stasiun.


Namun, hari ini, Yuzu yang langsung menggandeng tanganku! Kalau begini, bisa sampai 10 menit!


Hidaka yang melihat hal itu perlahan menyelipkan tangannya ke tangan kiriku yang kosong.


"Aku senang dipuji Kazupyon. Kalau begitu, sebagai hadiah, biar aku juga..."


"Hidaka-san, kau bukan pacarnya, kan!"


"...Apa!?"


Ini diaaaaa! Cemburu khas adik perempuan! Betapa bahagianya aku!


Adikku benar-benar malaikat usil!


"Hidaka, Yuzu benar. Jangan membuat Yuzu merasa terganggu. Dunia bisa hancur."


"Tidak akan hancur kok!"


"Hm... Sayang sekali, aku menyerah. Dunia hancur juga tidak baik."


"Jangan percaya itu!"


Maaf ya, Hidaka. Peringkat pertama di hatiku tetap tak tergantikan oleh Yuzu.


Hidaka kemudian berbicara dengan Yuzu sambil sedikit ragu.


"Adik... Boleh aku panggil Yuzu-chan?"


"Terserah sih... Tapi, Kazu belum boleh punya pacar! Baru boleh 100 tahun lagi!"


"Aku bahkan tak punya peluang di kehidupan selanjutnya!?"


"Yuzu-chan benar-benar tangguh. Tapi, aku mengerti betapa bagusnya Kazupyon... Hebat!"


Sambil berbincang seperti itu, kami bertiga berangkat ke sekolah.


Saat harus berpisah dengan Yuzu di stasiun, dia memperingatkanku.


"Setelah aku pergi, jangan menggandeng tangan siapapun, ya?"


Aku memutuskan untuk patuh pada ucapannya.


"Tenanglah... tangan kananku..."


Setelah berpisah dengan Yuzu, Hidaka tampak mati-matian menahan tangan kanannya dengan tangan kirinya.


Dia sepertinya ingin menggandeng tangan, tapi karena Yuzu sudah melarang, dia mencoba menahan diri.


Melihatnya seperti itu, aku hanya bisa tersenyum sambil memikirkan langkah selanjutnya.


Hidup sebagai pemeran pendukung yang damai mungkin sudah tak lagi memungkinkan.


Tapi aku tidak menyesal. Jika sudah memutuskan untuk balas dendam, aku akan melakukannya sampai tuntas.


Bersiaplah, Amada. Aku akan menyeretmu ke neraka.


Namun, kembali ke realita…


"Hidaka, apa yang sedang kamu lakukan?"


"Aku dilarang menggandeng tangan, jadi aku merangkul lenganmu. Ini tidak melanggar aturan, kan?"


Kendati dia terlihat bangga, aku hanya bisa mendesah menyerah.


"Baiklah, tapi hanya sampai stasiun tujuan kita."


"Oke."


Mungkin kalau Yuzu melihat ini, aku tetap dianggap melanggar.


Tapi melihat wajah Hidaka yang begitu bahagia, aku tidak punya hati untuk menolaknya.


◆ ◆ ◆


Sesampainya di SMA Hirasaka, aku masuk ke kelas 1-C, dan semua perhatian langsung tertuju padaku.


Wajar saja, aku datang bersama Hidaka Mikoto.


Waktu pagi yang damai telah usai. Kini saatnya untuk memulai rencana balas dendam yang menyenangkan.


Saat aku duduk di kursiku, Amada yang terlihat gelisah menghampiriku.


"He-hey, Ishii. Kau dan Mikoto itu..."


"Tidak pacaran."


Dalam rencana balas dendam ini, aku membuat satu aturan untuk diriku sendiri: tidak memanfaatkan perasaan Hidaka.


Apa pun yang aku lakukan dengan Hidaka,.baik kemarin setelah deklarasi perang kepada Amada maupun saat ini, semua itu bukan untuk membuat Amada cemburu, melainkan untuk mengalihkan fokus Amada padaku.


Hidaka memang sedikit... tidak, sangat... bahkan luar biasa agresif. Tapi aku berhutang banyak padanya. Memanfaatkan Hidaka untuk balas dendam adalah hal yang tak akan kulakukan.


Lagipula, karena perasaan balas dendam ini, aku sendiri belum yakin bagaimana perasaanku terhadap Hidaka.


Mungkin aku memang menyukainya.


Tapi, apakah itu murni cinta, rasa terima kasih, atau sekadar efek dari balas dendam ini? Aku belum tahu.


Itulah sebabnya, aku harus memastikan balas dendamku tuntas terlebih dahulu. Saat itulah, aku yakin jawabannya akan muncul.


"Benarkah? Kalian benar-benar tidak pacaran?"


Sulit bagi Amada untuk mempercayainya, mungkin karena dia tahu perasaan Hidaka padaku.


Aku sendiri tidak tahu alasan Hidaka menyukaiku. Meski aku ingin bertanya, aku terlalu malu untuk melakukannya. Tapi fakta bahwa Amada juga tahu menunjukkan bahwa ada sesuatu di masa lalu kami bertiga.


Mungkin sebenarnya aku tidak pernah benar-benar jadi pemeran pendukung.


"Memang benar. Tapi, kami berteman. Itu sebabnya, siapa pun yang mencoba mendekati Hidaka melalui aku akan berhadapan denganku. Aku tidak akan pernah membiarkannya."


".......!"


Dengan sengaja, aku bicara cukup keras agar semua orang di kelas mendengarnya.


Aku tahu, ada kemungkinan seseorang di kelas ini akan meniru metode yang Amada gunakan dalam hidupku sebelumnya.


"Begitu, ya… Iya, aku juga merasa begitu… gugh…"


Oh, Amada-san, kau tak bisa menyembunyikan amarahmu lagi, ya?


Meski memaksakan senyum, jelas terlihat bahwa wajahmu kaku.


Sayangnya, aku bukan lagi Kazuki yang lemah dan pengecut seperti dulu.


Sekarang aku adalah Kazuki yang menikmati balas dendam dengan penuh antusias.


Tubuh Ishii Kazuki ini terdiri dari dendam dan kepercayaan diri yang berlebih!


"Syukurlah kau mengerti," kataku sambil menghadiahinya senyuman arogan.


Ups, aku baru saja melakukan sesuatu, ya~?


"…………!"


Amada langsung menghadap ke depan, mungkin tak ingin aku melihat ekspresi wajahnya lebih lama.


Namun, balas dendam ini baru dimulai. Bagian tersulit ada di depan.


Tujuan awal, yaitu menghentikan Amada mendekati Hidaka lewat caraku, sudah tercapai.


Dengan ini, para "heroine" yang biasanya mendesak Hidaka agar akrab dengan Amada mungkin akan berhenti.


Aku sudah menyebut bahwa mencoba mendekati Hidaka dengan cara tidak langsung itu pengecut.


Tapi, ini baru permulaan. Masih banyak masalah lain yang harus diselesaikan.


Tujuan akhirku adalah memastikan Amada tidak bisa lagi mengganggu keluargaku atau Hidaka.


Namun, itu tak mudah. Amada bukan tipe orang yang bertindak langsung.


Dalam hidupku sebelumnya, Amada baru bergerak di saat akhir, ketika dia yakin akan menang.


Sebelumnya, semua skenario dijalankan oleh sahabatnya, Tsukiyama, dan para heroine di sekitarnya.


Bahkan saat aku dihukum di depan umum, Amada hanya duduk diam dan membiarkan orang lain bergerak.


Para heroine yang jatuh cinta pada Amada, semuanya adalah orang-orang hebat.


Jika semua heroine dari hidupku sebelumnya memihak Amada, aku pasti kalah.


Saat ini saja, Amada sudah memiliki empat pendukung kuat.


Meski jumlah itu masih lebih kecil dibanding lebih dari sepuluh orang yang dia miliki di akhir hidupku sebelumnya, itu tetap ancaman besar.


Karena itu, aku takkan langsung menghadapi Amada.


Langkah pertama adalah melemahkan kekuatannya dengan mengincar pendukungnya.


Target pertama? Seperti yang kuduga, dia datang.


"Hei, Ishii. Apa maksudmu dengan semua ini?"


Dengan tatapan tajam, Tsukiyama, sahabat Amada, mendekat ke mejaku.


Hah, si bodoh yang naif akhirnya mendekat juga. Aku tahu dia akan datang jika Amada diperlakukan tidak hormat.


"Apa maksudmu?"


Aku berdiri, pura-pura bingung.


Bagianku berikutnya adalah menghentikan gerakan Tsukiyama.


Ayahnya adalah bos perusahaan tempat ayahku bekerja, dan dia sangat memanjakan Tsukiyama. Jika Tsukiyama bertindak semaunya, ayahku mungkin saja dipecat.


"Kemarin aku sudah bilang, kan? Berhenti bersikap seperti itu pada Teru."


"Oh, aku sudah mengikuti saranmu dan mengubah sikapku."


"Bukan begitu maksudku!"


Tsukiyama dengan kasar meraih kerah bajuku.


Kelemahan Tsukiyama adalah emosinya yang mudah terpancing.


Jika dia lebih tenang, mungkin dia akan memilih tempat yang lebih menguntungkan, seperti ruang tertutup di mana hanya ada sekutu-sekutunya.


Tapi tidak, dia memilih kelas, di mana teman sekelas kami bisa menyaksikan semuanya.


Mungkin dia berpikir semua orang memihaknya. Betapa naifnya!


Dalam hidupku sebelumnya, aku tahu apa pendapat mereka sebenarnya.


"Semua orang di kelas ini mendengarnya. ‘Aku benci dia.’ Siapa pun akan terluka kalau dibilang begitu. Kemarin aku menahan diri demi Teru, tapi hari ini aku takkan diam. Sekarang, minta maaf pada Teru!"


"Kenapa aku harus minta maaf?"


"Melakukan hal buruk, lalu minta maaf. Itu wajar, bukan?"


Masih dalam posisi kerahku ditarik, aku melirik ke sekeliling.


Amada hanya menonton sambil menahan nafas, tak berusaha menghentikan Tsukiyama.


Kalau dia benar-benar orang baik, dia pasti akan melerai Tsukiyama.


Namun, karena dia tidak melakukannya, aku tahu dia memanfaatkan ini sebagai peluang untuk menjatuhkanku.


Sialan, kau benar-benar bersalah di sini, Amada.


Sementara itu, teman sekelas lain tampak ragu, tapi sedikit lebih condong ke pihakku.


Meski Tsukiyama tampan, pintar, dan populer, sikap kasarnya membuat mereka kecewa.


Bahkan dalam hidupku sebelumnya, reputasinya menurun drastis di tahun kedua sekolah.


Dia sampai dijuluki "Pangeran Mengecewakan."


Hah, menjebak seorang pria tampan polos yang tak tahu apa-apa benar-benar membuat hatiku berdebar senang.


"Hei, Tsukiyama. Boleh aku bertanya sesuatu?"


"Setelah kau meminta maaf pada Teru, baru aku jawab," katanya dengan nada dingin.


Aku perlahan mengeluarkan ponsel dari sakuku. Tsukiyama menatapku dengan wajah bingung, tidak mengerti maksud tindakanku. Nah, saatnya melancarkan serangan telak untuk menjatuhkanmu, Tsukiyama! Rasakan ini!


"Kenapa kau tidak mengirimkan foto acara pertemuan kelas waktu itu?"


"Apa? …Ah!"


Kukuku! Benar kan, kau ingat sekarang? Ini adalah kesalahan fatalmu!


Hari Jumat di minggu kedua setelah masuk sekolah, kau mengatur acara pertemuan kelas, bukan? Saat itu, aku bilang tidak bisa ikut karena ada wawancara kerja paruh waktu, dan kau meminta kontakku, berjanji akan mengirimkan foto-foto acaranya. Tapi kenyataannya? Kau tidak pernah mengirimkan foto itu, kan?


"Saat itu aku benar-benar senang, tahu. Meskipun aku tidak bisa datang, kamu, seorang yang hebat seperti Tsukiyama, sampai mau repot-repot meminta kontakku dan menawarkan mengirimkan foto. Jadi, aku terus menunggu... menunggu foto itu dikirim olehmu. Bukan fotonya yang aku inginkan, tapi perhatianmu, Tsukiyama."


"Itu karena..."


Dia melepaskan cengkeramannya di kerahku dan mundur beberapa langkah.


Benar, kan? Kau merasa terpojok, kan? Rasakan suasana kelas yang berubah sekarang!


"Aku... lupa. Kalau kau bilang, pasti aku kirim. Kenapa kau tidak bilang saja?"


Bilang? Hah, hanya orang dengan mental baja atau si bodoh yang bisa mengatakan hal seperti itu. Orang sepertiku, dengan mental selembut tahu dan sering membuat kesalahan saat berpikir, mana bisa melakukannya?


"Hei, jangan-jangan, kau hanya memanfaatkan aku untuk mendapatkan kontak orang lain, ya?"


"......!!"


Sekejap, wajah Tsukiyama berubah pucat.


Ingat waktu itu? Tepat setelah meminta kontakku, kau meminta kontak Hidaka, kan? Tsukiyama, kau tampan, dan karena itu para gadis selalu memperhatikan tingkah lakumu. Pasti waktu itu, mereka juga berpikir, "Mungkin Tsukiyama suka Hidaka?" Tapi karena tidak yakin, mereka memilih diam agar tidak menimbulkan masalah.


Namun, sekarang suasananya berbeda. Apalagi setelah melihat sisi "menakutkan" darimu tadi.


Apa yang terjadi jika gadis-gadis ini diberi sedikit dorongan?


"Beneran? Aku juga waktu itu merasa aneh. Soalnya, Tsukiyama kayaknya memang suka sama Hidaka, ya?"


"Aku juga, sih. Tapi aku pikir, kalau nggak ada yang ngomong, ya biarin aja."


"Ngomong-ngomong, foto itu kan seharusnya dikirim, ya? Alasan lupa itu pasti bohong bukan."


Begitulah, gosip mulai menyebar. Sekali orang memulai, yang lain akan ikut. Ini lebih menakutkan daripada bencana alam!


"Aku... aku..."


Bagaimana rasanya, Tsukiyama? Kau yang terbiasa menjadi pusat perhatian positif, sekarang harus menghadapi kritik dan gosip seperti ini.


Tapi aku tahu kelemahanmu. Kau punya harga diri tinggi, dan ingin selalu berada di posisi yang benar. Jadi aku memberi sedikit pancingan untuk memberimu jalan keluar.


"Ah, tapi nggak mungkin, kan? Kau sudah banyak membantu mengatur kelas sejak masuk sekolah. Kalau aku benar-benar ingin fotonya, aku seharusnya bilang saja. Maaf, ya."


"Eh? Ah... iya..."


Bagus. Kau menangkap pancinganku. Sekarang, saatnya menyelesaikan permainan ini.


Aku berbalik dan melihat Amada, yang memandangku dengan ekspresi rumit.


"Amada, maaf soal kemarin. Aku terlalu kasar."


"Eh? Tidak apa-apa... aku baik-baik saja..."


Jelas-jelas ekspresinya mengatakan hal sebaliknya. Wajahnya penuh dendam. Amada, kau benar-benar tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bukan?


Lalu, aku kembali ke Tsukiyama.


"Bagaimana? Sudah cukup kan?"


"Iya. Kalau kau sudah minta maaf, ya sudahlah. Ah, aku juga minta maaf!"


Tsukiyama membungkuk padaku, meminta maaf dengan suara lantang.


Setelah itu, dia berbalik ke arah teman-teman sekelas.


"Maaf, tadi aku menyebabkan keributan."


Gadis-gadis yang tadi bergosip pun mulai tenang. Tidak ada yang ingin memperpanjang masalah setelah Tsukiyama meminta maaf.


"........."


Setelah HomeRoo. pagi selesai, meskipun suasana kelas sudah kembali seperti biasa, ada satu hal yang mencolok.


Tsukiyama sama sekali tidak beranjak dari kursinya.


Biasanya, dia pasti akan berbicara dengan Hidaka atau Amada. Tapi hari ini, dia hanya diam dengan kepala menunduk.


Ketika aku melirik ke arahnya, dia juga menatapku sekilas. Aku memberikan sedikit anggukan, dan dia membalasnya dengan senyuman lega.


Satu langkah selesai. Dengan ini, aku sudah menancapkan paku ke posisi Tsukiyama. Dia tidak akan berani lagi bertindak macam-macam padaku.


Dia tahu bahwa jika dia mencobanya, para gadis akan mulai membicarakan, "Jadi dia cuma pura-pura minta maaf? Dasar pembohong."


◆ ◆ ◆


Saat jam istirahat siang, aku merasa suasana kelas agak berat, jadi aku memutuskan keluar. Aku menuju meja makan luar di area kantin, tempat yang sepi dari kerumunan siswa.


Seperti biasa, Hidaka mengikutiku tanpa diundang dan duduk di depanku dengan senyuman cerah.


"Ka~zu-ppyooon! Tadi pagi kamu keren banget! Lain kali, aku juga mau bantu!"


"Hidaka, bisa jangan panggil aku seperti itu?"


"Waktu Kazupyon jadi bad boy itu keren banget! Kazupyon emang yang terbaik! Bagus, bagus, bagus!"


"Hidakaaa…"


"Kenapa?"


Tanyanya sambil memiringkan kepalanya, terlihat bingung.


"Aku tuh tadi pagi baru saja melakukan sesuatu yang cukup kejam, kan?"


"Siapa pun yang berani mengganggu Kazupyon adalah musuh. Musuh harus dihukum."


Dia mengatakannya dengan nada serius, yang membuatku hanya bisa merasa bingung.


"Normalnya, orang akan merasa itu keterlaluan."


"Tsukiyama itu bencana berjalan. Dia cuma memanfaatkan posisinya untuk menindas Kazupyon. Malahan, Kazupyon itu sangat baik karena hanya melakukannya sampai di situ."


Bagi Hidaka, tampaknya Tsukiyama nyaris tidak masuk kategori manusia. Entah itu kabar baik atau buruk.


"Selain itu, kalau dia nggak dihentikan lebih awal, bakal menyusahkan ayah mertuaku, kan?"


"Tunggu. Dari mana kamu tahu soal itu? Aku belum bilang ke siapa pun!"


"Fufun~ Kalau jadi orang yang seagresif dan pekerja keras sepertiku, hal-hal seperti itu sudah pasti bisa diketahui!"


Ah, generasi 'pekerja keras agresif' zaman sekarang memang beda.


"Kalau begitu, apa kamu juga tahu rencanaku selanjutnya?"


"Kamu mau menghabisi circle orang-orang bodoh yang ada di sekitar si monyet Amada itu, kan?"


Seperti biasa, Amada tetap dianggap sebagai makhluk semi-manusia di mata Hidaka. Setidaknya dia masih dianggap bagian dari primata.


"Amada itu nggak akan bergerak sendiri kecuali terdesak. Makanya, kamu mau mengikis kekuatannya pelan-pelan, kan? Itu jelas sekali."


"Itu benar, tapi kok kamu tahu sampai sejauh itu?"


"Soalnya, dia memang begitu sejak dulu."


"Sejak dulu? Maksudmu?"


"SD, SMP, sama aja. Selalu merengek, mengeluh, dan meminta bantuan orang lain kek bocil. Tapi giliran ada sesuatu yang bagus, dia langsung maju sendiri buat mencuri perhatian. Aku benci banget sifat pengecutnya itu."


Sebagai teman masa kecil, wajar saja Hidaka tahu detail yang aku nggak tahu. Dia bahkan sudah mengerti sifat asli Amada sejak awal.


"Tapi, Kazupyon, ada satu hal yang nggak boleh kamu salah pahami."


"Salah paham? Maksudnya?"


"Melumpuhkan circle di sekitarnya itu langkah yang tepat. Tapi, setelah itu kamu nggak boleh lengah. Amada jadi paling berbahaya saat dia sudah benar-benar terpojok."


"Serius? Aku pikir dia nggak terlalu berbahaya, sih."


Hidaka menggelengkan kepala, tatapannya seolah menyimpan rasa takut.


"Berbeda. Cara berpikir dia itu dasarnya sudah salah. Kalau dia merasa terdesak, dia nggak akan ragu untuk melanggar aturan apa pun."


Jadi, dia bisa bertindak tanpa peduli pada norma dan moral. Sepertinya, itu yang terjadi waktu dia menghancurkan hidupku di kehidupan sebelumnya.


"Waktu kami masih kecil, dia pernah marah besar sama aku. Dia mukul aku sambil bilang, 'Kamu itu heroine! Kamu harus cuma suka sama tokoh utama!' sambil mencuri barang berhargaku. Aku sebenarnya mau ambil lagi, tapi aku takut banget waktu itu."


Dia memukul Hidaka, mengomel dengan logika aneh, lalu mencuri barangnya.


"Dia benar-benar nggak bisa bedain kenyataan sama cerita fiksi, ya?"


"Jadi, dia mukul kamu ya? Kamu nggak apa-apa kan?"


"Cuma patah gigi aja, kok. Lagian itu gigi susu, sih."


"Itu namanya nggak apa-apa!? Seberapa keras dia mukulmu!?"


"Tapi, nggak apa-apa. Kalau ada apa-apa sama Kazupyon, aku bakal─"


"Itu tetap nggak boleh."


Aku dengan tegas menolak pemikiran Hidaka.


Ya, mungkin dia benar. Kalau dia mau mengalah dan dekat dengan Amada, semua masalah bisa selesai.


Tapi itu bukan solusi yang benar. Aku nggak mau dia jadi korban demi diriku.


"Hidaka nggak perlu baik-baikan sama Amada. Kalau kamu mau, aku nggak akan melarang. Tapi kalau kamu nggak mau, jangan lakukan itu."


"…Kamu curang. Tapi, Kazupyon yang tegas itu keren banget!"


Dia langsung kembali ceria seperti biasanya.


"Kalau soal bantu, apa yang bisa kulakukan?"


"Mungkin bantu aku analisis rencana Amada. Kamu pasti lebih paham soal dia dibanding aku."


"Kalau itu aja, gampang! Tapi, aku tetap jadi yang pertama kamu konsultasiin, ya?"


"Tentu. Tapi, kenapa?"


"Soalnya kalau aku bantu terus, Kazupyon bakal makin bergantung sama aku! Itu bagus banget!"


"Oh, oke deh…"


Hidaka memang nggak pernah menyembunyikan apa yang dia pikirkan. Tapi tetap saja, dia terlalu suka sama aku.


Rasanya agak aneh.


◆ ◆ ◆


Ketika aku pulang kerja part-time dan sedang memikirkan rencana ke depannya di kamar, terdengar suara ketukan di pintu.


"Kazu, boleh masuk?"


"Ada apa?"


Jam menunjukkan pukul 22.15. Yuzu, dengan pakaian tidur yang masih sedikit menguap, masuk ke dalam kamar.


Aku langsung bersiap membuka kedua tangan untuk memeluknya.


"Aku tidak akan memelukmu, kok."


"...Cih! Dasar malaikat tsundere!"


"Aku bukan tsundere atau malaikat! Kazu itu terlalu seenaknya sendiri!"


Kenapa adikku bisa semanis ini?


Sepertinya dia punya maksud tertentu, tapi dia tampak malu untuk mengutarakannya. Wajahnya terlihat ragu, dan dia bermain-main dengan jemarinya.


"U-uhm... Kazu, menurutmu gimana soal Hyouka-san?"


"Itu pertanyaan yang sulit sih. Penampilannya menarik, kepribadiannya agak aneh, tapi aku sangat menyukainya. Lebih tepatnya, aku masih bertanya-tanya setiap hari kenapa gadis secantik itu tertarik padaku."


"Eh! Kazu, kamu lupa, ya?"


"Lupa? Maksudmu apa?"


Tunggu sebentar. Itu maksudnya bagaimana?


"Jadi, Yuzu sudah kenal Hyouka dari dulu?"


"Eh?! Yah, bukan begitu, sih... lebih tepatnya aku baru mengingatnya..."


Jadi, aku dan Hyouka pernah bertemu sebelumnya? Jika dia baru mengingatnya, itu pasti kejadian yang sudah lama sekali.


"Boleh aku tahu lebih detail?"


"....Enggak mau."


Yuzu mengerucutkan bibirnya sambil menunjukkan ekspresi kesal, menolak permintaanku dengan tegas.


"Kalau Kazu lupa, aku juga nggak akan bilang. Lagipula, Hyouka-san juga salah. Kalau dia benar-benar menyukaimu, waktu itu dia pasti sudah memberitahu soal yang dia dapat dari Kazu..."


"Ah! Tidak ada apa-apa! Lupakan!"


"Baiklah."


"Eh, kok terlalu gampang menyerah sih! Bukannya seharusnya kamu penasaran?"


"Karena aku lupa, aku yang salah. Kalau itu penting, aku harus mengingatnya sendiri. Lagipula, kalau aku memaksa Yuzu dan malah dibenci, aku akan menangis sepanjang hari sampai mukaku memanjang seperti Titan Chariot."


"Perbandingannya itu, loh, ngawur banget!"


Tentu saja, aku tertarik. Tapi, aku merasa tidak perlu tahu sejauh itu.


Hyouka sudah membantuku di masa kini dan juga di masa depan. Itu sudah cukup bagiku.


"Ya sudahlah, kalau kamu bilang begitu... Oh iya, Kazu. Besok Sabtu kamu ada rencana apa?"


"Maaf, aku ingin pergi berkencan denganmu, tapi aku ada jadwal yang nggak bisa dibatalkan."


"Aku belum bilang apa-apa, lho!"


"Tadi itu kan seperti ajakan untuk kencan di hari libur?"


"Bukan! Aku cuma mau ngajak jalan-jalan kalau kamu nggak sibuk!"


"Kamu nggak tahu, ya? Di luar sana, orang bilang kakak dan adik yang jalan-jalan di hari libur itu juga disebut kencan."


"Dunia yang aku tahu beda jauh banget, deh! Jadi, jadwalnya apa, sih?"


Cara Yuzu menatapku dengan tajam membuatku merinding.


"Aku mau ganti smartphone. Aku harus melakukannya besok juga."


"Hmm. Kalau gitu, aku ikut aja, deh. Aku juga nggak ada acara."


"Oke. Kalau begitu, aku akan menarik tabungan tahun baruku dan memesan restoran mewah─"


"Nggak usah repot-repot!"


Ya ampun, setidaknya biarkan aku melakukan itu untukmu.


Yuzu ini nggak sadar betapa berharganya dirinya. Itu satu-satunya kekurangannya.


"Kalau begitu, besok kita keluar bareng, ya. Jangan buat rencana lain."


"Sudah pasti. Demi masa depan Yuzu, kita harus pergi berdua."


"Iya, iya. Masa depan, katanya... Kazu ini suka berlebihan..."


Dia menutup pintu sambil mendengus. Di saat yang sama, aku menutup pikiran yang sedang melayang-layang tadi.


"Senin depan adalah hari yang kutunggu-tunggu, yaitu saat ganti tempat duduk."


Aku berharap tidak duduk dekat Amada lagi. Tapi, di kehidupan sebelumnya, aku tidak ingat duduk di mana.


Dengan berbagai perubahan yang terjadi di kehidupan keduaku, hasil pengaturan tempat duduk pun bisa berbeda. Namun, karena aku sering disukai ketidakberuntungan, aku harus siap jika harus duduk berdekatan dengan Amada lagi.


Yah, tidak perlu memikirkannya terlalu dalam.


Sejauh ini, tidak ada gerakan dari Amada maupun para heroine setelah aku berhasil membuat Tsukiyama tidak bisa bertindak.


Tapi, kemungkinan besar mereka sedang merencanakan sesuatu.


Meskipun situasinya sedikit membaik, kekuatan Amada tidak banyak berkurang hanya karena Tsukiyama ditahan.


Yang paling mengerikan tetaplah para heroine yang tergila-gila pada Amada, terutama Iba yang memimpin mereka.


Iba dan Ushimaki, selain memiliki penampilan menarik, juga memiliki karakter yang kuat dan percaya diri, menjadikan mereka masing-masing sebagai pemimpin kelas.


Terutama pada Iba, yang memiliki kecerdasan yang kejam dan etika yang sudah hancur, aku berniat menghadapi mereka dengan kewaspadaan maksimal. Namun, pada saat ini, yang paling merepotkan bukanlah mereka berdua.


Kanie Kokoro.


Dia memiliki penampilan dan sifat yang membangkitkan naluri perlindungan dari para lelaki.


Menurutku, orang yang paling mudah mendapatkan sekutu di dunia ini adalah mereka yang dianggap "kasihan." Manusia cenderung merasa puas secara emosional saat membantu orang yang terlihat menyedihkan.


Karena itu, metode yang kugunakan pada Tsukiyama pagi ini sama sekali tidak akan berhasil pada Kanie.


Jika aku mencoba hal serupa, aku pasti akan langsung dicap sebagai penjahat.


Namun, aku juga punya keuntungan, yaitu informasi tentang para heroine yang kudapatkan dari masa depan.


Di kehidupanku yang pertama, aku terpaksa mendengar cerita romansa Amada berkali-kali.


Dan, sebagai seseorang yang dulu iri padanya, aku mengingat semua cerita yang ia ceritakan, termasuk kelemahan para heroine tersebut.


"Satu per satu, aku akan menghancurkan mereka. Jangan pikir semuanya akan dimaafkan hanya karena kalian imut..."


Kalian menghancurkan keluargaku dengan romansa konyol kalian.


Sekarang, giliranku untuk menghancurkan romansa kalian.


Bersiaplah, Amada. Aku akan mengajarkan padamu, bahwa kau hanyalah penjahat kecil yang berpura-pura menjadi protagonis cerita romansa.


Amada Teruhito (Bagian 1)


Sejak kecil, aku menyukai anime dan manga.


Mungkin karena orang tuaku juga menggemari hal-hal seperti itu dan sering mengumpulkannya.


Jadi, sejak aku mulai mengerti dunia, aku sudah mengidolakan sesuatu. Yaitu menjadi seorang protagonis dalam sebuah cerita.


Saat kecil, bukankah semua orang seperti itu?


Kita semua ingin menjadi pahlawan, berharap bisa menjadi seperti mereka.


Dari sekian banyak genre, yang paling aku idolakan adalah protagonis cerita komedi romantis.


Karena menurutku, menjadi protagonis genre itu adalah yang paling mudah. Dalam cerita aksi, kau membutuhkan darah keturunan hebat, bakat, dan latihan keras. Dalam cerita misteri, kau harus sangat cerdas.


Tapi protagonis komedi romantis berbeda.


Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Bahkan tanpa bakat, usaha, atau penampilan menarik, kau tetap bisa memiliki hubungan romantis dengan heroine asalkan memiliki kepribadian yang cukup baik.


Tidak ada bahaya mematikan seperti dalam cerita aksi, juga tidak ada kasus pembunuhan seperti di cerita misteri. Dalam dunia yang aman, kau bisa hidup bahagia.


Namun, bahkan di usia muda, aku memahami sesuatu.


Hal seperti itu tidak mungkin terjadi.


Tidak ada hal yang begitu mudah di dunia nyata, di mana kau bisa bertemu dengan gadis cantik secara kebetulan. Apalagi, para heroine dalam cerita sering kali memiliki latar belakang yang sangat unik. Bertemu seseorang seperti mereka lebih sulit daripada memenangkan lotre.


Jadi, aku hanya menyimpannya sebagai angan-angan sambil menikmati masa kecilku yang damai.


Hingga aku bertemu dengannya...


Hidaka Mikoto.


Pertemuan pertama kami adalah sedikit sebelum masuk sekolah dasar, di sebuah taman sekitar sepuluh menit dari rumahku.


Aku sangat terkejut. Tidak kusangka gadis secantik itu bisa ada di dunia ini.


Mikoto yang sedang bermain sendirian, aku mencoba mendekatinya, dan kami segera menjadi akrab.


Setelah itu, aku mulai mencari tahu tentang Mikoto dari orang tua dan para tetangga di sekitar.


Ternyata, Mikoto tidak memiliki hubungan darah dengan ibunya. Dia adalah anak dari seorang wanita simpanan ayahnya.


Ayahnya adalah orang yang sangat fokus pada pekerjaannya, tapi di sisi lain mengabaikan keluarganya. Meskipun membeli rumah besar, dia jarang ada di rumah karena lebih sering pergi untuk urusan pekerjaan.


Namun, ayahnya memiliki penghasilan besar, sehingga ibunya tidak bisa mengeluh.


Lalu, terjadi insiden.


Saat sedang dinas di luar kota, ayahnya berselingkuh dengan seorang wanita dan memiliki anak, yaitu Mikoto.


Wanita itu awalnya membesarkan Mikoto, tapi kemudian menyerahkan anak itu kepada ayahnya lalu menghilang.


Terpaksa, ayahnya membawa pulang Mikoto, yang tentu saja membuat ibunya sangat marah.


Meskipun begitu, ayah dan ibu Mikoto masih memiliki sedikit moralitas dan akal sehat. Mereka memutuskan untuk membesarkan Mikoto karena percaya bahwa anak itu tidak bersalah.


Namun, tidak ada cinta dalam keluarga itu.


Ibu hanya memberikan kasih sayang kepada kakak perempuan Mikoto yang memiliki hubungan darah dengannya, sedangkan ayah hanya memberikan uang.


Mikoto, yang merasa tidak dicintai, mulai menyadari kenyataan pahit itu sejak kecil.


Dia tidak ingin pulang ke rumah yang dingin dan tanpa kasih sayang, jadi dia sering menghabiskan waktu sendirian di taman.


Ini seperti takdir. Tuhan mengirimkan Mikoto kepadaku.


Saat itulah, aku merasa yakin.


Aku menyadari bahwa aku mendapatkan sesuatu yang lebih sulit didapat daripada memenangkan lotere—hak untuk menjadi tokoh utama dalam cerita romantis.


Dan aku yakin, semua penderitaan yang dialami Mikoto dalam hidupnya adalah agar dia bisa dicintai dan mencintaiku.


"Jangan khawatir," pikirku saat itu, "aku akan menjadi penyelamatmu dan membuatmu bahagia."


Sejak hari pertama kami bertemu, aku pergi ke taman setiap hari untuk bermain dengannya. Aku menyapanya dengan senyum lebar setiap kali.


Melihatnya sebagai gadis yang butuh bantuan, aku merasa menjadi pahlawan yang baik hati. Kupikir, Mikoto pasti sudah mulai menyukaiku. Tapi aku tahu, kami masih anak-anak, jadi belum waktunya untuk mulai merasakan cinta yang serius.


Tentu saja, aku juga tahu bahwa mencoba menyelesaikan masalah keluarga Mikoto sekarang adalah tindakan yang salah. Cerita ini bahkan belum dimulai. Ini baru bagian persiapan menuju prolog.


Aku harus membiarkan Mikoto merasakan kesulitan dalam keluarganya lebih dulu. Tidak apa-apa, karena pada akhirnya, aku akan datang untuk menyelamatkannya.


Namun, pemikiran itu mulai berubah sejak dia muncul.


Hari itu adalah hari Minggu.


Aku baru saja kembali dari rumah nenek bersama keluargaku di sore hari. Setelahnya, seperti biasa, aku pergi ke taman untuk menemui Mikoto. Tapi yang kulihat membuatku terdiam.


Mikoto sedang bermain dengan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak laki-laki itu seumuran denganku, sedangkan si perempuan tampak lebih muda.


Yang mengejutkanku bukanlah keberadaan mereka, melainkan senyuman yang Mikoto tunjukkan—senyuman yang belum pernah kulihat sebelumnya.


Matanya bersinar penuh kebahagiaan, bercampur dengan kekaguman. Itu jelas merupakan ekspresi yang tidak pernah dia tunjukkan saat bersamaku. Dan meskipun aku masih anak-anak, aku segera menyadarinya: Mikoto memiliki perasaan istimewa untuk anak laki-laki itu.


"Apa-apaan ini? Aku yang pertama menyukai Mikoto. Dia seharusnya menyukaiku!" 


Aku sangat marah.


Lalu, aku melihat anak laki-laki itu memberikan sesuatu kepada Mikoto—sebuah gelang. Mikoto dengan gembira menerimanya dan langsung memakainya. Dadaku terasa seperti akan meledak karena marah.


Aku bertanya kepada orang dewasa di sekitarku siapa anak laki-laki itu. Dari mereka, aku tahu dia bukan penduduk setempat. Dia hanya kebetulan berada di area ini bersama keluarganya. Mereka tinggal di tempat yang cukup jauh dari sini.


Setelah beberapa saat, ayah anak itu datang untuk menjemputnya. Anak laki-laki itu dan saudara perempuannya melambai kepada Mikoto sebelum pergi. Saat mereka pergi, aku mendengar ayahnya memanggil nama anak itu, "Kazuki."


Nama itu terukir di ingatanku.


Keesokan harinya, aku berpura-pura tidak tahu apa-apa dan meminta gelang itu dari Mikoto. Tidak mungkin aku membiarkan gadis yang kusuka memakai hadiah dari orang lain.


Awalnya, Mikoto menolak dengan keras. Dia memohon, "Tolong, jangan ambil ini!" untuk pertama kalinya, dia benar-benar menentangku. Tapi aku tetap mengambilnya dengan paksa.


Sejak saat itu, Mikoto berhenti datang ke taman.


Tapi aku tidak khawatir. Dalam banyak cerita, sering terjadi konflik kecil antara tokoh utama dan sahabat masa kecil mereka. Namun, pada akhirnya, teman masa kecil itu pasti akan jatuh cinta pada tokoh utama.


Jadi, aku yakin, ini hanyalah bagian dari cerita kami.


Selain itu, aku dan Mikoto bersekolah di SD yang sama. Jadi, meskipun dia tidak datang ke taman, kami masih bisa bertemu.


Yang lebih penting, Kazuki tidak ada di sekolah ini. Itu berarti dia hanyalah perangkat cerita—alat untuk menciptakan konflik antara aku dan Mikoto. Dan sebagai tokoh utama, aku tahu aku akan menang pada akhirnya.


Aku terus menunjukkan rasa sayangku kepada Mikoto meski dia selalu menolakku. Saat kelulusan SD, aku bahkan menyatakan perasaanku, tetapi dia menolakku mentah-mentah.


Namun, aku tidak marah. Aku tahu, cerita ini baru akan dimulai ketika kami masuk SMA. Di sana, aku yakin kami akan bersatu.


Dengan keyakinan itu, aku menghadiri upacara penerimaan siswa baru di SMA Hirasaka.


Namun, takdir berkata lain.


Kazuki, yang kupikir hanya sebuah "alat cerita," ternyata hadir di sekolah yang sama.


Meski hanya sekali melihatnya bertahun-tahun yang lalu, aku tidak pernah melupakan wajahnya. Aku bahkan masih memakai gelang itu sebagai pengingat akan kebencian yang kurasakan.


Saat aku melihat Mikoto menatap Kazuki dengan ekspresi yang sama seperti dulu, aku tahu dia masih mengingatnya.


"Kenapa ini terjadi? Akulah tokoh utama. Kenapa dia ada di sini?" pikirku sambil menahan amarah.


Namun, aku tahu tidak ada gunanya bertindak gegabah. Sebagai tokoh utama, aku harus bermain sesuai aturan. Jika aku tidak bisa menghilangkan Kazuki, maka aku akan menjadikannya hanya sebagai peran pendukung.


Aku pun memutuskan untuk mendekatinya terlebih dahulu. Setelah upacara penerimaan, aku dengan senyum lebar menyapanya.


"Hei, namaku Amada Teruhito. Senang bertemu denganmu."


"Oh, namaku Ishii Kazuki. Senang bertemu juga."


Kazuki dengan mudah menerima ajakanku untuk berteman. Yang membuatku semakin lega adalah, dia tidak ingat siapa Mikoto. Meski begitu, dia tampaknya tertarik pada penampilannya.


Itu tidak masalah. Karena aku akan memastikan bahwa pada akhirnya, Mikoto hanya melihatku.


Menjijikan, hanya tertarik pada penampilan luar itu benar-benar sampah. Aku mencintai seluruh bagian dari diri Mikoto, termasuk sisi dalamnya. Bagaimanapun, aku adalah tokoh utama, sedangkan Ishii hanyalah karakter sampingan yang keberadaannya untuk mendukungku.


Setelah itu, seolah-olah Tuhan berkata, "Kamu adalah tokoh utama," berbagai kejadian yang menguntungkan terus terjadi padaku di SMA Hirasaka.


SMA Hirasaka memiliki rata-rata kecantikan gadis yang lebih tinggi dari sekolah lainnya, dan para gadis cantik di sana selalu memiliki masalah unik. Jika aku mendekati mereka dengan berpura-pura sebagai karakter sampingan yang tidak mencolok, semuanya mudah untuk ditaklukkan.


Tentu saja, hal ini hanya mungkin karena aku adalah tokoh utama. Aku juga terus menambah jumlah sub-heroineku.


Dalam cerita romansa komedi, kehadiran mereka adalah keharusan. Lagipula, walau ada kemungkinan kecil aku salah memahami cerita dan Mikoto bukanlah heroine utama, memiliki cadangan itu penting. Semakin banyak heroine, semakin baik.


Setahun lebih setelah aku masuk ke SMA Hirasaka, lingkunganku akhirnya sempurna.


Heroine utama yang tidak bisa jujur pada perasaannya sendiri, Hidaka Mikoto.


Pangeran Tsukiyama, yang tampan tapi sedikit kasar sehingga perlahan kehilangan popularitasnya.


Para heroine yang setia kepadaku, menyimpan perasaan mendalam, dan selalu memecahkan masalahku tanpa diminta.


Karakter sampingan seperti Ishii, hanya sekadar untuk mengisi waktu.


Orang biasa mungkin akan berpikir, "Sungguh luar biasa semua ini berjalan dengan lancar," tapi aku berbeda.


Aku adalah tokoh utama dalam cerita romansa komedi ini. Jadi, semua ini sudah sewajarnya terjadi.


Tentu saja, aku menyadari perasaan para heroine itu, tapi aku berpura-pura tidak tahu.


Tokoh utama harus berpura-pura bodoh, bukan?


Namun, meskipun aku melewati berbagai acara romansa komedi, Mikoto tetap tidak menyukaiku.


Aku sudah berusaha keras menarik perhatiannya, tetapi dia selalu mengutamakan Ishii.


Kalau begini terus, aku tidak bisa mencapai akhir cerita yang benar. Meskipun ada kemungkinan ending di mana aku ditolak oleh heroine utama dan berakhir bersama sub-heroine, aku belum mau menyerah.


Bagaimanapun juga, Ishii adalah penghalang. Jadi, apa yang harus kulakukan? Tidak ada pilihan lain selain menyingkirkannya, kan?


Bersyukurlah, Ishii. Aku akan memberimu peran yang cukup menarik dalam cerita ini.


Lihat, bukankah para penonton menyukai plot di mana teman karakter sampingan yang baik ternyata seorang pengkhianat?


Baiklah, mari kita lakukan itu.


Meskipun ini sedikit menyimpang dari genre romansa komedi, tidak masalah.


Menyisipkan elemen dari genre lain akan memberikan sentuhan yang segar.


Aku akan menambahkan adegan di mana tokoh utama menghukum kejahatan dengan heroik.


Alurnya kira-kira seperti ini: heroine utama yang dulunya menyukai seorang pria dan merasa hancur ketika pria itu jatuh ke sisi gelap, akhirnya menyadari keberadaan pria yang selama ini mendukungnya dari dekat.


Dan aku pun berhasil melakukannya.


Ketika aku berpura-pura berkonsultasi dengan para heroine tentang masalahku, mereka dengan mudah bergerak.


"Kami akan mengurus ini," kata mereka. Luar biasa.


Para heroine itu sengaja menjebak Ishii, menjatuhkannya ke dalam perangkap.


Kau tahu? Mereka bahkan sampai berbohong padaku, mengatakan, "Ishii mengancam kami dan mengambil foto kami."


Ya ampun, itu terlalu berlebihan. Tapi, aku mengikuti permainan mereka.


Akhirnya, aku berdiri di atas panggung yang telah disiapkan oleh para heroine, untuk menghukum Ishii.


Rasanya sangat memuaskan. Dia kehilangan segalanya, termasuk keluarganya, dan akhirnya bunuh diri.


Yah, karakter sampingan yang mengganggu tokoh utama memang harus lenyap. Itu adalah akhir yang wajar dalam cerita ini.


Sekarang, yang tersisa hanya menaklukkan Mikoto ── seharusnya begitu.


Tapi aku benar-benar terkejut. Tiga hari setelah kematian Ishii, Mikoto juga mengakhiri hidupnya sendiri.


Aneh sekali. Jadi dia bukan heroine utama?


[Amada Teruhito (Bagian 2)]


Kenapa! Kenapa semuanya tidak berjalan lancar!?


Bukankah aku adalah tokoh utama? Lalu kenapa semua hal yang tidak menyenangkan terus terjadi padaku!?


Aku bertemu Ishii Kazuki lagi di upacara penerimaan. Pertemuan itu sendiri adalah bencana, tapi aku segera menanganinya.


Sebagai tokoh utama cerita ini, sudah sewajarnya hal-hal yang menguntungkan terjadi padaku.


Seperti yang kuduga, aku dan Ishii berada di kelas yang sama, bahkan tempat duduk kami berdekatan. Sempurna untuk menjadi teman.


Jadi, aku mencoba menempatkannya dalam peran karakter sampingan yang mendukungku, dengan bersikap ramah padanya.


Namun, tidak peduli seberapa banyak aku berusaha mendekatinya, dia selalu menolak mentah-mentah.


Karena itu, aku memberikan konsesi khusus.


Awalnya aku berencana menjadikannya karakter sampingan biasa, tapi aku mengangkatnya menjadi teman dekat.


Dalam cerita romansa komedi, punya satu teman dekat saja sudah cukup. Tapi aku memberinya dua teman.


Dan apa yang terjadi? Dia tetap menolak, bahkan menjadi dekat dengan Mikoto tanpa ada niatan untuk berteman denganku.


Seolah-olah dia adalah tokoh utama, sedangkan aku adalah karakter sampingan.


Tidak mungkin. Aku adalah tokoh utama.


Buktinya, Tsuki menjadi temanku, Hime, Moka, dan Koro dengan mudah menjadi sub-heroineku.


Kalau begitu, siapa sebenarnya Ishii?


Aku adalah tokoh utama. Tidak mungkin dia adalah tokoh utama.


Dia seperti penjahat kecil yang selalu menghalangi jalanku di setiap kesempatan...


Oh, aku mengerti sekarang.


Ternyata aku telah salah paham besar.


Jadi begitu... Ishii bukanlah karakter sampingan atau teman sejak awal.


Dia adalah penjahat dalam cerita ini, yang keberadaannya hanya untuk mendukungku sebagai tokoh utama.


Kau tahu, seperti dalam manga pertarungan di mana penjahat kecil muncul di awal cerita hanya untuk menunjukkan seberapa kuat tokoh utamanya.


Aku mengerti. Ini kesalahan besar sebagai tokoh utama.


Penjahat kecil di awal cerita tidak pernah menyadari perbedaan kekuatan mereka dengan tokoh utama, dan selalu menunjukkan permusuhan mereka.


Seberapa ramah pun tokoh utama mencoba mendekati mereka, mereka selalu mencari-cari alasan untuk bermusuhan.


Itulah Ishii Kazuki. Tidak heran aku tidak bisa akur dengannya, tidak peduli seberapa keras aku mencoba.


Oh, ternyata semua berjalan sesuai cerita sejak awal.


Bahkan ketika Tsuki kalah debat darinya, itu hanya persiapan untuk mengangkatku lebih tinggi.


Sebagai tokoh utama, hanya ada satu hal yang harus kulakukan.


Aku harus bekerja sama dengan heroine dan mengalahkan orang jahat ini.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close