Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
BAB 12 –
Gadis yang Terasa “Dekat“
Saat
Hanazono melihatku, dia mengangkat sudut bibirnya dengan senyuman.
"Kamu
datang."
Aku sudah
memikirkan kalimat yang akan kukatakan saat kami bertemu, tapi senyumannya
langsung membuat semua itu menghilang dari kepalaku.
Akhirnya,
aku hanya bisa membalas dengan singkat, "Oh," dan Hanazono mengangguk
kecil.
...Aku
benar-benar tidak menyangka Hanazono yang akan datang menemuiku.
Remi bilang
kalau seseorang setuju untuk pergi kencan, itu berarti ada kemungkinan mereka
tertarik. Dan hari ini, mungkin itulah yang sedang terjadi. Bagaimanapun juga,
aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
"H-Hanazono."
"Hm?"
"Kenapa kamu meninggalkan mereka
dan datang menemuiku?"
Hanazono
tampak bingung mendengar pertanyaanku yang langsung ke intinya.
"Eh? Soalnya, Yoshi kelihatan
kasihan."
"K-Kasihan...?"
"Iya. Kamu tadi kelihatan seperti tidak
mau sendirian."
"Apa aku benar-benar kelihatan
seperti itu?"
Padahal sebenarnya, ekspresi yang
kupasang tadi adalah ekspresi kekecewaan karena rencana besar ini gagal total.
Tapi kalau hasilnya adalah Hanazono
sendiri yang mengajakku bertemu, maka semuanya tetap berakhir dengan baik.
"Iya, kelihatan. Saat kita
berpisah tadi, kamu kelihatan sedih seperti anak anjing yang ditinggalkan. Aku jadi tidak
tega dan balik lagi."
Hanazono
berbicara sambil sedikit tersipu.
Mungkin,
akulah yang lebih malu sekarang.
"Kalau
begitu, Yoshi dan Nikaido-san tadi sebenarnya lagi ngapain? Aku sempat
kepikiran kalau aku mungkin mengganggu kencan kalian."
...Untuk
pertanyaan ini, lebih baik aku jawab dengan jawaban yang sudah kusiapkan
sebelumnya.
"Tidak,
bukan begitu. Memang sih, biasanya kalau cowok dan cewek pergi berdua, itu
dianggap kencan. Tapi aku dan Nikaido cuma teman masa kecil. Waktu SD, kami
sering main di game center itu. Jadi kamu tidak mengganggu kok. Lagi pula, kami
memang sudah mau bubar."
Saat aku
menjelaskan, ekspresi Hanazono perlahan melembut.
Sepertinya
rencana Yuzuha benar-benar meleset, dan dia sama sekali tidak merasa cemburu.
"Fufu,
gitu ya. Rasanya agak nostalgia ya, pergi ke game center lagi setelah jadi anak
SMA."
"I-Iya,
kan? Tapi ya, aku tidak sampai main purikura atau semacamnya sih."
"Ya
jelas. Soalnya, aku tidak bisa bayangin Yoshi main purikura."
"Wah,
parah banget!"
Saat aku
protes, Hanazono tertawa kecil.
Tanpa
kusadari, aku terus menatapnya.
Mungkin karena aku lebih fokus pada
gerak-geriknya daripada merasa malu.
"Jadi, sekarang kita mau
ngapain?"
"Hah?"
"Tadi kamu bilang kalian memang
sudah mau bubar. Berarti kamu ada rencana lain, kan? Mau pulang?"
"A-Aku tidak mau pulang. Rencananya... sudah
batal!"
Mendengar jawabanku yang agak memaksa, Hanazono berkedip
beberapa kali.
Lalu, dia tersenyum lembut.
"Baiklah. Kalau begitu, hari ini kita kencan, ya."
"K-Kencan!?"
"Iya. Soalnya, aku bukan teman
masa kecilmu. Jadi kalau kita berdua, itu berarti kencan, kan?"
Hanazono
mengatakan itu dengan tenang.
Sebenarnya,
apakah pergi berdua seperti ini bisa disebut kencan atau tidak, tergantung pada
orangnya.
Tapi
Hanazono menyebutnya kencan. Itu benar-benar di luar dugaanku.
Aku bisa
berkencan dengan Hanazono.
Dan kali ini, ini bukan pura-pura.
"H-Hanazono tidak apa-apa dengan
itu?"
"Iya. Aku tidak masalah."
...Apa mungkin, ini benar-benar
pertanda bagus?
Tapi aku tidak boleh terlalu percaya
diri dulu.
Awal mula aku akrab dengan Hanazono
adalah saat kami mengobrol lewat tulisan di ruang belajar.
Dan hubungan kami semakin dekat karena
situasi di tempat les, di mana tidak ada kenalan lain.
Aku memang sedikit lengah, tapi hal
yang sama juga berlaku untuk Hanazono.
Lingkungan
sekolah sangat berbeda dari tempat les.
Selain itu, Hanazono baru saja menerima
pengakuan cinta minggu lalu, jadi seharusnya dia masih merasa sedikit tegang.
Jika aku terlalu percaya diri, bisa
saja itu justru menjadi kesalahan fatal.
Tapi setidaknya—dia tidak keberatan
menggunakan kata "kencan" untuk waktu yang kami habiskan bersama.
"Itu benar, ini adalah kencan. Senang bisa
bersamamu, Hanazono."
"Fufu.
Iya, senang bisa bersamamu juga."
Hanazono
menjawab dengan nada geli.
"Kalau
begitu, ayo pergi."
"Oh."
Kami mulai berjalan melewati kota.
Otakku masih belum sepenuhnya memproses
kenyataan bahwa, meskipun ini hari libur, aku sedang berjalan bersama Hanazono
Yūka.
Aku bisa merasakan tubuhku sedikit kaku
karena masih tidak percaya dengan situasi ini.
Fakta bahwa Hanazono dengan mudah
menerima ini sebagai kencan hanya membuatku semakin gugup.
Saat aku mengarahkan pandangan ke
depan, aku melihat pasangan yang sedang berjalan bersama.
Biasanya, melihat pasangan seperti itu
hanya akan membuatku iri, tapi entah kenapa hari ini terasa menyenangkan.
Aku bahkan ingin merekam suara Hanazono
yang bersenandung kecil di sampingku.
"Yoshi, gimana ceritanya kamu bisa
dekat sama Nikaido-san?"
"Eh? U-uhm, itu sudah lama sekali.
Aku bisa dekat dengan Nikaido juga karena kebetulan, sih."
"Ngomongin cewek lain di tengah
kencan? Minus lima ratus poin."
Aku refleks menoleh ke arah Hanazono.
"I-Itu tidak adil! Dengan obrolan
kayak tadi, tidak ngomong malah lebih aneh. Terus, itu dari total berapa
poin!?"
"Seribu!"
"Jadi aku masih punya setengahnya,
atau harus khawatir karena sudah kehilangan banyak...?"
"Fufu, aku cuma bercanda. Aku cuma
pengen ngomong gitu aja."
"Jadi gitu... Bahaya juga."
Aku sampai lupa kalau Hanazono suka
bercanda seperti ini.
Di sekolah, mungkin dia tidak bisa
bilang hal-hal seperti ini, tapi kalau berdua begini, dia lebih bebas
mengatakannya.
"Sial, aku jadi dipermainkan.
Jangan-jangan kamu sudah lama pengen ngelempar candaan kayak gitu?"
"Setengah benar, sih."
Hanazono tersenyum kecil sebelum
kembali berbicara.
"Terus, kita mau ke mana sekarang?
Mau ke mal?"
"Eh? Hmm... gimana, ya."
Sebenarnya itu pilihan yang masuk akal.
Tapi kemungkinan besar kami akan
bertemu lagi dengan kelompok Yuzuha, yang baru saja kami tinggalkan.
"Kayaknya lebih baik kita tidak ke
mal."
"Kalau gitu nonton film?"
"Kayaknya tidak."
"Ngopi
di kafe?"
"Tidak
juga."
"...Sebenarnya,
kamu pengen pulang?"
"Sama
sekali tidak mau pulang!"
Aku
buru-buru tersenyum untuk meyakinkannya.
Sial, aku menolak semua saran tapi tidak
punya ide lain sebagai gantinya.
Kalau terus begini, suasana yang sudah
mulai membaik bisa berubah jadi aneh.
Meskipun menonton film atau pergi ke
kafe terasa terlalu mirip dengan rencanaku sebelumnya, mungkin aku harus
mengalah.
Tapi sebelum itu, aku coba tanyakan
satu hal.
"Kalau kamu sendiri, Hanazono,
pengen ngapain?"
"Aku? Hmm... gimana, ya."
Hanazono tampak serius memikirkan
jawabannya sambil berjalan ke arah jalan kecil.
Beberapa detik kemudian, dia akhirnya
berkata,
"Aku ingin tahu lebih banyak
tentang Yoshi."
...Itu
bukan jawaban yang konkret.
Tapi kata-kata itu membuat dadaku
terasa hangat.
"Kayak lihat album foto masa
kecilku, gitu?"
"Oh, itu ide yang bagus! Pasti seru!"
"Kalau gitu... mau main ke
rumahku?"
"Eh?"
Hanazono membelalakkan matanya.
Dan aku pun sama.
Tubuhku seketika menegang, pikiranku
berputar-putar tanpa henti.
Sial, sial,
sial!
Apa yang
barusan aku katakan!?
Album foto
itu, sebenarnya aku tidak harus menunjukkan versi fisiknya.
Aku punya
banyak foto di dalam ponsel, kan? Bukankah itu gunanya teknologi modern!?
"Eh,
maksudku! Rumahku cukup dekat dari sini, jadi kalau kita tidak menemukan tempat
yang menarik di sepanjang jalan, kita bisa mampir sebentar... yah, anggap saja
kita hanya sedang jalan-jalan!"
"Oh,
b-begitu...?"
Aku
tiba-tiba teringat ucapan Remi: "Kalau kamu sampai macam-macam, aku
bakal membunuhmu."
Membawa
seseorang ke rumah hanya mungkin dilakukan karena aku dan Yuzuha adalah teman
masa kecil.
Dengan
hubunganku dan Hanazono sekarang, itu jauh lebih sulit diterapkan.
Apalagi ini adalah pertama kalinya kami
pergi keluar bersama.
Bahkan jika ini disebut kencan,
mengajaknya ke rumahku terlalu berlebihan.
"Maaf,
aku bilang sesuatu yang aneh barusan. Aku tidak bermaksud aneh atau gimana, itu
cuma celetukan biasa."
"Tidak apa-apa."
"Ah, terima kasih. Kalau begitu,
kita jalan-jalan saja dan—"
"Bukan itu. Aku tidak keberatan
main ke rumahmu."
"Hah?"
Aku hampir tidak percaya dengan apa
yang baru saja kudengar.
"Tidak, tidak boleh dong. Karena
kita... k-kita bahkan belum pacaran."
"Eh? Tapi barusan kamu bilang
sendiri kalau tidak ada maksud aneh."
Hanazono menatapku sedikit dari bawah,
seakan sedang mengamatiku dalam situasi ini.
Aku menelan ludah, teringat kembali
interaksi antara Hanazono dan seniornya.
"Itu...
benar. Tapi aku pernah bilang, kan? Meski hanya teman, selama kita lawan jenis, bukan tidak
mungkin perasaan seperti itu muncul."
"Iya,
kamu memang bilang begitu."
"Kalau
begitu..."
Hanazono
memotong ucapanku, melangkah maju dengan tegap.
Lalu dia
berbalik menghadapku, mengeluarkan kata-kata dengan suara yang terdengar seakan
muncul dari lubuk hatinya.
"Aku menaruh harapan, tahu?"
Cahaya matahari musim Juni menyinarinya
dari belakang.
Angin hangat berhembus lembut melewati
kami berdua.
Hanazono tidak menunggu jawabanku dan
kembali melangkah ke depan.
Dan ekspresi wajahnya saat itu—aku sama
sekali tidak bisa melihatnya.
***
Aku memastikan tidak ada mobil orang
tuaku di garasi, lalu sekadar berjaga-jaga, aku juga mengirim pesan lewat LINE.
Lima menit menunggu di depan rumah, aku
akhirnya menerima balasan yang menggembirakan.
Sepertinya keluargaku baru akan pulang
sekitar lima jam lagi.
"Oke, kita bisa masuk."
Sambil berkata begitu, aku membuka
gerbang kecil menuju pintu masuk.
"Yes!"
Hanazono bersorak kecil dengan suara
tertahan, lalu mengikuti di belakangku.
Begitu aku membuka pintu rumah, udara
yang biasa menyambutku pun mengalir masuk.
Aku hanya bisa berharap tidak ada bau
aneh yang menyengat di dalam.
"Umm...
tidak bau aneh, kan?"
"Hmm?
Etidak kok, baunya enak. Kamu perhatian banget sama aroma di rumah, ya."
Hanazono menunjuk ke arah pengharum
ruangan yang terletak di atas rak sepatu.
"Oh, benar juga. Ini lumayan
membantu, ya."
"Tanpa ini pun tetap wangi,
kok."
"Ya, tapi kalau ada tamu, mereka
pasti bakal bilang begitu."
"Hihi, Yo-cchi memang suka
berpikir berlebihan."
"Sering
dibilang begitu."
Aku melepas
sepatu dan buru-buru merapikannya.
Tentu saja, biasanya aku tidak serapi
ini.
Siapa sangka Hanazono akan datang ke
rumahku?
Bahkan
sejak masuk SMA, Remi pun belum pernah datang ke sini.
Sementara itu, Hanazono dengan cekatan
melepas dan menata sepatunya dengan rapi, lalu bertanya,
"Aku
benar-benar boleh masuk? Tidak apa-apa?"
"Kalau sampai ketahuan orang
tuaku, pasti bakal dimarahi sih."
"Terus kenapa ngajak aku masuk!?
Bukannya itu bahaya?"
"Tapi mereka pulangnya masih lama
banget. Mereka pergi nonton pertandingan bisbol malam sama adikku."
"Oh, kalau begitu... aku anggap
ini aman, ya?"
Hanazono menghela napas lega.
"Tapi rasanya kayak lagi melakukan
sesuatu yang buruk, ya?"
"Kamu tidak suka perasaan seperti
itu?"
Memikirkannya
lagi, ini bukan karakter Hanazono.
Di mata para guru, dia pasti dikenal
sebagai siswi teladan.
Tapi
Hanazono justru tersenyum senang.
"Etidak
kok, malah bikin deg-degan. Kita harus pastikan tidak meninggalkan jejak."
"Kayak tempat kejadian perkara
aja!"
"Mau sekalian ngelakuin
sesuatu?"
"Kalau begitu, aku satu-satunya
yang bakal jadi korban!?"
Aku menanggapinya dengan bercanda, dan
Hanazono tertawa kecil.
Kenapa rasanya senang banget bisa
membuatnya tertawa begini?
"Ngomong-ngomong, tadi kamu bilang
punya adik perempuan? Aku tidak nyangka."
"Hah? Emangnya aku kelihatan kayak
anak tunggal?"
"Bukan, aku kira kamu anak
bungsu."
"Oh? Jadi maksudnya, aku terlalu tidak
bisa diandalkan sebagai kakak, gitu?"
"Eh!?
Maaf!"
"Jangan
langsung mengakuinya!?"
Aku
pura-pura tersinggung dan membuang muka.
"Ah, iya. Kamarku di lantai
atas."
Aku
langsung menaiki tangga untuk menghindari ruang tamu.
Pasti ada
tumpukan cucian di sana, jadi lebih baik Hanazono menunggu di kamarku sementara
aku beres-beres sebentar.
Hanazono
mengangkat tumitnya dan menaiki tangga dengan pelan-pelan.
"Kamu tidak
perlu jalan setengah mengendap gitu. Tidak ada siapa-siapa di rumah."
"Oh, iya. Maaf, mungkin ini
kebiasaan."
"Kebiasaan apa? Kamu ninja?"
"Wah, keren juga ya kalau aku
ninja."
Hmm... sepertinya aku harus
merekomendasikan manga favoritku padanya.
Punya satu hobi yang sama pasti bakal
seru.
"Kamu suka baca manga?"
"Hmm, etidak sih. Aku hampir tidak
pernah baca."
"Ah...
gitu ya."
Habis sudah
harapanku membicarakan manga bersamanya.
Angan-angan
pergi ke acara pameran manga bersama pun hancur seketika.
"Tapi
kalau kamu rekomendasiin sesuatu, aku mau coba baca."
"Serius!? Oke, nanti aku kasih
lihat koleksi di rak bukuku!"
"Eh, seru tuh!"
"Yes!"
Kalau bisa ngobrolin manga, pasti lebih
gampang cari topik pembicaraan.
Bahkan bisa jadi alasan buat ngajak kencan
lagi nanti.
Jujur, aku masih ragu apakah bisa
menyatakan perasaan hari ini.
Tapi kalau pun gagal, setidaknya aku
bisa membuat kemajuan besar.
Mungkin lebih baik membangun hubungan
lebih dalam dulu sebelum maju ke langkah berikutnya.
Remi dan Yuzuha pasti bakal kecewa
kalau aku menunda ini, tapi kalau ini pilihan yang lebih pasti, mereka pasti
bisa mengerti...
Tidak,
tidak! Aku harus berhenti berpikir seperti itu!
Kalau terus
menunda, aku tidak akan pernah bisa bergerak maju!
"Sampai
juga! Ini kamarku."
"Wow,
kelihatan keren!"
"Tidak
juga. Ini cuma kamar standar ukuran enam tatami... Silakan lihat sendiri."
Sebelum membuka pintu kamarku, aku
kembali terpaku.
...Ngomong-ngomong,
kemarin aku sempat beres-beres kamar tidak, ya?
Setidaknya makanan tengah malam sudah
kubuang, tapi selain itu aku kurang yakin.
"Yo-cchi?"
"Tidak, tidak ada apa-apa."
Sebagai laki-laki, aku harus siap
menghadapi apa pun.
Kalaupun berantakan, paling cuma
tumpukan cucian, dan bisa saja orang tuaku sudah membereskannya.
Kalau terlalu berantakan, aku tinggal
minta waktu sebentar untuk merapikannya.
Dengan tekad bulat, aku membuka pintu.
Dan seperti yang kuduga, lantai penuh
dengan tumpukan cucian.
"Ah..."
Hanazono mengeluarkan suara lirih.
Aku mengangkat pandangan, dan di puncak
tumpukan itu... ada celana dalamku.
"DAAAHH!?"
Dengan reflek secepat kilat, aku
meraihnya dan melemparkannya ke sudut rak buku.
"Kamu tidak lihat apa-apa,
kan!?"
"T-tidak melihat apa-apa!"
"Warna!?"
"Kayaknya biru..."
"Berarti kamu lihat, dong!?"
"Itu tidak mungkin dihindari!
Posisi tadi terlalu mencolok!"
Hanazono menggembungkan pipinya,
terlihat kesal.
Lalu, seolah menyadari sesuatu,
pandangannya beralih ke tempat lain.
"Ah, eh... foto ini."
"Kamu buruk banget dalam
mengalihkan pembicaraan!?"
"Aku
beneran tertarik, kok!"
Hanazono
melangkah mendekati bingkai foto yang ada di atas rak buku.
Di
dalamnya, ada foto sekelompok anak laki-laki dan perempuan yang baru masuk SD.
"Wah,
aku kenal beberapa orang di sini. Yang mana kamu, Yo-cchi?"
"Uh...
yang di ujung kanan."
Aku
menjawab dari belakangnya.
"Oh,
beneran mirip! Masih kelihatan
sisa-sisa wajah kecilmu."
Hanazono
tersenyum sambil menatap foto itu dengan ekspresi hangat.
...Kenapa
hanya melihatnya tersenyum begini saja sudah cukup membuatku bahagia?
"Eh,
aku ambil minum dulu, ya."
"Ah,
aku ikut—"
"Tidak
usah. Kalau kamu
jalan-jalan ke dapur, malah bisa meninggalkan jejak."
"Oh, iya juga. Kalau gitu... aku
tunggu di sini. Makasih, ya."
"Tenang aja. Sambil nunggu, baca
manga aja. Aku rekomendasiin yang ninja itu."
"Baik, Pak Guru."
Hanazono tersenyum tipis.
Saat menuruni tangga, rumah ini terasa
lebih bercahaya dari biasanya, seolah bukan tempat yang sama yang kutinggali
setiap hari.
Begitu sampai di ruang tamu, aku
melihat tumpukan cucian sudah tidak ada dan ruangan tampak rapi.
...Kalau tahu begini, mending tadi aku
ajak Hanazono ke sini dulu.
Sambil
berpikir begitu, aku mengeluarkan ponsel dari saku.
Sebenarnya,
tadi aku sempat merasakan getaran dua kali.
Di layar,
ada notifikasi dari Remi dan Yuzuha.
Remi:
"Gimana situasinya?"
Yuzuha:
"Yoshiki, maaf banget! Aku tegang banget tadi! Itu beneran bikin deg-degan,
kamu baik-baik aja?"
Kalau mereka tahu aku mengundang Hanazono ke rumah, pasti
mereka bakal kaget bukan main.
Aku hanya membalas dengan stiker jempol, lalu memasukkan
ponsel ke saku belakang sambil menyeringai.
Aku mengambil jus jeruk dan air dari kulkas, lalu membawa
dua gelas ke kamarku.
Saat masuk,
Hanazono sedang duduk di dekat rak buku.
Dia sudah mulai membaca volume pertama
manga yang kurekomendasikan.
Aku tidak mau mengganggu, jadi tanpa
suara, aku meletakkan gelas-gelas di atas meja.
Saat itu, Hanazono mengangkat wajahnya
dan menatapku.
"Maaf, aku bantu, ya."
"Tidak usah."
"Tetap saja, aku ini tamu."
"Aku
yang mengundang, jadi tidak masalah."
"Begitu, ya?"
"Begitulah."
"Kalau begitu... aku terima saja
kebaikanmu. Makasih."
Hanazono tersenyum kecil, lalu kembali
membaca manga.
Setiap kali dia mengucapkan terima
kasih, rasanya aku ingin lebih memperlakukannya dengan baik. Ini mungkin yang
disebut sebagai lingkaran kebaikan.
Setelah itu, kami tenggelam dalam dunia
manga masing-masing.
Hening, tapi terasa nyaman. Sama
seperti saat menonton film bersama.
Berbagi pengalaman membaca karya yang
sama terasa lebih mendalam dibandingkan sekadar berbicara.
Karena aku masih belum sepenuhnya
memahami Hanazono seperti halnya dengan Remi, mungkin itu sebabnya aku merasa
hubungan kami semakin dekat lewat momen ini.
Saat aku sedang larut dalam volume
ke-43 dan merasakan semangat membara, Hanazono tiba-tiba menutup manganya
dengan suara patan.
"Seru banget...!"
"Serius!? Aku sempat khawatir
karena ini manga shonen banget, takutnya kurang cocok buatmu."
"Awalnya aku agak bingung
ngikutinnya, tapi setelah paham dunianya, ini keren banget. Aku pengen baca
lanjutannya."
"Silakan! Masih ada 71 volume
lagi!"
"Banyak banget!?"
"Udah tamat soalnya... Tapi ya,
lumayan panjang sih."
Sial, kalau tahu begini, aku harusnya
merekomendasikan manga yang cuma 10 volume saja.
Namun, di luar dugaan, Hanazono
terlihat berpikir sejenak sebelum berkata,
"Kalau ada kesempatan
lagi..."
"…Iya. Main ke sini lagi,
ya."
Hanazono
mengangguk kecil dan mengalihkan pandangannya ke rak buku.
Saat dia berdiri, aku merasa mencium
aroma manis.
Melihat bahan bajunya yang tampak
lembut dan berenda, aku mendadak tergoda untuk menyentuhnya.
Namun, aku segera mencubit pahaku
sendiri untuk mengusir pikiran itu.
"Ada sesuatu yang jatuh."
"Hm?"
Aku
mendekat dan ikut melihat ke arah yang ditunjuk Hanazono.
Di bawah
rak buku, ada sebuah kotak kayu kecil.
"Boleh
aku ambil?"
"Boleh
sih, tapi aku aja yang—"
"Tidak apa-apa."
Hanazono mengambilnya. Di atas kotak
itu, tertulis kata 'harta karun'.
"Oh... ini kayaknya kotak yang aku
isi waktu SD. Aku lupa isinya apa, tapi mungkin ada sesuatu yang berharga di
dalamnya."
"Wow... keren. Boleh dibuka?"
"Boleh. Tapi jangan berharap
banyak, ya."
Aku juga jadi penasaran, soalnya aku
sudah bertahun-tahun tidak membukanya.
Kami mengintip isinya bersama-sama, dan
ternyata isinya adalah kartu koleksi langka, dadu, serta benda-benda lain yang
dulu kukumpulkan saat masih kecil.
"Hehe, ini benar-benar berisi
kenangan masa kecil seorang anak laki-laki."
"Kalau kamu bilang begitu, aku
jadi merasa ini agak keren..."
Biasanya, teman perempuanku akan
menertawakan hal seperti ini. Itu juga bukan reaksi yang buruk.
Tapi
Hanazono berbeda.
Seperti
dalam obrolan kami sebelumnya, dia menerima semuanya dengan alami.
Seolah-olah
dia mencerna setiap hal yang dia lihat dan benar-benar menyimpannya dalam
hatinya.
Mungkin itu
hanya perasaanku, tapi kurasa itu adalah bagian dari kepribadiannya.
Berkat itu, selama berbicara dengannya,
suasana selalu terasa damai.
"Ini apa?"
Hanazono menunjuk sebuah benda kecil
berwarna biru yang tampak berkilauan. Ukurannya cukup kecil, kira-kira sebesar
ujung jari kelingking.
"Oh, itu ya. Aku tidak
ingat, mungkin cuma manik-manik biasa."
"Tapi kelihatannya mahal... Ini
bukan permata?"
"Aku dulu cuma anak kecil yang
suka mengumpulkan barang-barang aneh. Tidak mungkin ada benda mahal di
dalamnya."
Hanazono menatap benda itu cukup lama,
lalu akhirnya menutup kotaknya.
"Banyak kenangan, ya."
"Iya."
Aku menjawab singkat, sambil menyadari
sesuatu.
Sejak tadi, jarak kami cukup dekat.
Jika Hanazono menoleh sekarang,
wajahnya pasti akan mengenai dadaku.
Aku menelan ludah dengan pelan.
...Bagaimana kalau aku menyentuh
punggungnya begini saja?
Pikiran seperti itu terus berkelebat di
kepalaku, membuatku mencubit pahaku sendiri dengan cukup keras.
Belakangan ini, anak-anak laki-laki di
sekitarku sering membicarakan hal-hal yang lebih dewasa tentang percintaan.
Aku memang ingin punya pacar, tapi aku
tidak terlalu bisa memahami dorongan untuk mendorong seorang gadis hingga
terbaring di bawahku.
Namun, mungkin itu hanya karena aku
belum pernah benar-benar berada dalam situasi seperti itu.
Perasaan seperti ini bukanlah yang
seharusnya mendominasi pikiranku hari ini.
Hanazono pasti membenci perasaan
seperti ini.
Saat aku mencoba menjauh darinya dengan
memutar tubuhku ke belakang—
"Ah."
Hanazono mengeluarkan suara kecil
berwarna.
Di saat yang sama, sikuku menyentuh
sesuatu yang lembut.
Sensasi ini, aku pernah merasakannya
sebelumnya di rumah Remi.
Dengan kata lain—
"A-aku... maaf."
Aku tanpa sengaja menyentuh dadanya.
Dan yang lebih buruk, rasanya lebih
nyata dibandingkan saat dengan Remi.
Lebih kecil satu atau dua ukuran dari Remi,
jadi awalnya tidak terlintas di pikiranku, tapi sekarang sensasi itu menyebar
bagaikan sengatan listrik ke seluruh tubuhku.
Sial.
Dengan meminta maaf, aku justru
mengakui kesalahanku.
Aku tidak tahu apakah bisa mengelak
dari situasi ini.
"A-aku..."
Hanazono buru-buru sedikit membalikkan
badannya, menjauhkan dadanya dariku.
Tapi hanya sedikit, dan itu bukan
solusi yang sebenarnya.
Dia tidak bisa menjauh sepenuhnya
karena aku masih berdiri kaku di tempatku.
Tatapan Hanazono tampak kebingungan,
matanya bergerak tak menentu.
"U-umm, kita... terlalu
dekat..."
"Aku tahu. Maaf... sungguh, aku
minta maaf."
Akhirnya aku melangkah setengah langkah
ke belakang.
Jarak yang tercipta hanya cukup untuk
satu orang berdiri menyamping.
Hanazono masih tidak bergerak.
"Kalau Hanazono mau datang ke
rumahku, berarti kau percaya padaku, kan?"
"Iya. Aku percaya."
"Kalau begitu... setelah kejadian
tadi, kau pasti kecewa, kan? Maksudku, aku benar-benar tidak sengaja..."
Sambil
berbicara, aku menyadari bahwa nada suaraku penuh dengan penyesalan.
Aku
seharusnya bisa menghindarinya. Kalau saja aku tidak berpikir aneh-aneh,
kejadian ini tidak akan terjadi.
"Tidak,
aku masih percaya padamu. Meskipun kita berdua sedang sendirian begini, kau
tidak akan melakukan hal aneh... kan? Lagipula, tadi tidak sengaja, kan?"
"Benar-benar
tidak sengaja. Aku bahkan tidak punya keberanian untuk melakukan hal seperti
itu."
"Hah?"
Hanazono
berkedip heran.
"Jadi
kalau kau punya keberanian, kau akan melakukan hal aneh?"
"T-tentu tidak! Aku sama sekali
tidak akan melakukan itu!"
"......Iya, aku tahu."
Hanazono tidak terlihat marah.
Meski awalnya dia menjauh, kini
perlahan kembali ke posisi semula.
Artinya,
kami kembali dalam jarak yang sangat dekat.
"Jadi,
ternyata Yoshii juga tertarik dengan hal-hal seperti itu, ya."
"Ya."
"Kau
mengakuinya!?"
"Kalau
aku bilang tidak, itu bohong."
Aku merasa
bersalah, tapi berpura-pura tidak tertarik justru terasa lebih buruk.
Saat aku
menjawab dengan tegas, Hanazono terlihat sedikit bingung.
"Y-yah, kau memang laki-laki, jadi
wajar... Hmm, ini merepotkan."
"Maaf... Aku benar-benar aneh hari
ini."
Aku mengambil jarak beberapa meter
darinya, lalu berbalik menghadapnya.
Hanazono masih berdiri di tempat yang
sama.
...Tentu saja dia tidak ingin
mendekatiku.
"Maaf... Aku malah membuatmu
semakin tidak nyaman dengan laki-laki, ya?"
Aku sangat menyesalinya.
Saat senior itu menyatakan perasaan
padanya, Hanazono jelas bukan dirinya yang biasanya.
Mungkin dia harus membangun pertahanan
yang kuat untuk melawan situasi seperti itu, saking tidak nyamannya.
Dan sekarang, aku malah melakukan hal
yang serupa, bahkan mungkin lebih buruk.
Dalam keadaan seperti ini, mana bisa
aku berpikir untuk menyatakan perasaanku?
Namun—
"Aku bukan tidak nyaman dengan
laki-laki."
"...Apa?"
Hanazono jarang berbicara tentang
dirinya sendiri.
Jadi, ini pertama kalinya aku mendengar
hal itu.
"O-oh begitu... Kupikir kau tidak
nyaman karena jarang berbicara dengan laki-laki..."
Hanazono berkedip beberapa kali, lalu
mengalihkan pandangannya dariku.
"Aku selalu berpikir kalau
menjadikan lagu favorit sebagai alarm itu sebuah kesalahan."
"Alarm?"
"Iya. Lagu yang dulu kusuka
tiba-tiba jadi menyebalkan. Dulu, ada terlalu banyak laki-laki yang seperti
itu."
Hanazono tersenyum sedih.
"Itu alasan... kenapa kau berhenti
berbicara dengan laki-laki?"
"Ya... Mungkin itu juga salah
satunya."
"Tapi
kau tetap berbicara denganku."
"Karena Yocchi itu spesial."
"Kenapa?"
"Pokoknya
spesial."
Aku
menggigit bibirku pelan.
Kata-kata Hanazono terdengar penuh perhatian
terhadapku. Tapi entah kenapa, aku merasa itu seperti kebaikan yang dibagikan
secara merata kepada semua teman-temannya.
Rasa frustrasi yang muncul barangkali
karena aku tidak bisa memahami perasaan Hanazono, bahkan dalam situasi seperti
ini.
Aku ingin tahu, apa yang membuatku
spesial di matanya.
Tapi kalau aku menanyakan hal seperti
itu, bisa-bisa dia jadi tidak menyukaiku.
Jadi, aku memilih untuk mengungkapkan
isi hatiku yang sebenarnya.
"Dulu aku juga termasuk tipe
laki-laki yang kau benci, Hanazono. Sekarang mungkin aku sedikit lebih baik,
tapi aku tetap laki-laki biasa yang tidak punya keistimewaan apa pun."
Karena aku tidak punya apa-apa, hanya
karena dekat dengan Yuzuha saja aku sudah jadi bahan gosip.
Begitu semua kebaruan itu hilang, gosip
itu akan berubah menjadi omongan di belakang.
Saat masih SD, setidaknya aku masih
bisa bertarung dengan nekat ketika keadaan memojokkanku.
Tapi sekarang, aku bahkan tidak punya
keberanian untuk bertindak tanpa berpikir seperti dulu.
"Aku
ini tidak punya keistimewaan, serba setengah-setengah."
...Ini hanya luapan rasa minder.
Saat memikirkan kembali kata-kataku
sendiri, aku hampir jatuh tersungkur ke depan.
"Mengakui kalau kau tidak punya
apa-apa, kalau kau itu serba setengah-setengah... Bukankah itu
menyakitkan?"
Hanazono bertanya dengan hati-hati.
Saat gosip tentangku dan Yuzuha
menyebar, banyak yang mencibirku karena tidak punya hal yang bisa dibatidakan.
Mungkin dia mengingat hal itu.
"Tentu saja menyakitkan, dan
memalukan. Tapi, inilah aku. Aku hanya bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa aku
masih anak SMA."
"Begitu ya..."
Hanazono bergumam pelan.
"Yocchi, bahkan saat sendirian
dengan seorang gadis, tetap bisa mengungkapkan sisi lemahnya. Dari SMP
juga begitu."
Sambil
berkata begitu, dia melangkah mendekat selangkah.
"Aku rasa itu luar biasa. Berbeda
dengan aku yang selalu berusaha terlihat baik. Itu sebabnya, kau tetap
spesial."
...Jadi
itulah alasannya, kenapa saat aku mengeluhkan kehidupan sekolahku di SMP, dia
terus mendengarkanku.
"Tapi aku ini tidak punya
keistimewaan apa pun."
"Memangnya
itu hal yang buruk?"
"Eh?"
"Aku juga tidak punya apa-apa.
Paling-paling cuma sedikit imut, sih."
Hanazono menyentuh pipinya dengan ujung
jari dan menaikkan sudut bibirnya.
"Itu sebabnya kita harus membangun
semuanya dari nol. Karena kita masih anak SMA, kita masih bisa
melakukannya."
...Kata-kata itu entah kenapa langsung
meresap ke dalam hatiku.
Aku sudah sering berbicara dengan
Hanazono. Tapi ini pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini.
Mungkin, apa yang baru saja dia katakan
adalah nilai yang dia temukan setelah berpikir dalam waktu yang lama.
Aku sadar ada sesuatu yang menyala
dalam diriku.
"Kemungkinan ya... Yocchi,
kamu..."
Hanazono tiba-tiba menghentikan
ucapannya.
Kemudian, dia menggelengkan kepalanya
pelan.
"A-ada apa?"
Aku begitu tegang hingga lututku
bergetar.
Akhirnya,
aku duduk di tempat.
Saat mengangkat pandangan, aku melihat
Hanazono tampak sangat ragu.
──Pasti.
Pasti, dia tidak bisa mengatakannya
demi menjaga hubungan pertemanan kami.
Itu artinya, perasaanku sudah sampai
padanya.
Hanazono pun duduk, menyamakan tinggi
pandangan kami.
Setelah beberapa saat hening, dia
berkata dengan lembut,
"Aku mungkin bukan seperti yang
Yocchi bayangkan."
Aku
berkedip beberapa kali.
...Seperti
yang kuduga.
Seperti yang kuduga, Hanazono sudah
menyadari perasaanku sejak lama.
Mungkin sejak minggu lalu.
Atau mungkin sejak pertama kali kami
berbicara lagi setelah sekian lama.
Atau bahkan, mungkin sejak SMP dia
sudah mengetahuinya.
Yang pasti sekarang adalah—perasaanku
untuk Hanazono sudah tersampaikan, dan waktu ini terus mengalir dengan itu
sebagai latarnya.
Dan aku yang tetap diam hingga
sekarang, sama saja dengan mengiyakan semuanya.
"Seperti Yocchi yang tidak
memperlihatkan semuanya ke aku, aku juga punya banyak hal yang tidak
kutunjukkan. Jadi, Yocchi cuma salah paham tentang aku."
Hanazono berusaha meyakinkanku.
Bahwa dia
bukan seperti yang kubayangkan.
Dia ingin mencegah pengakuan perasaanku
sebelum terlambat.
Berbeda dengan senior itu, kami sudah
punya hubungan pertemanan. Itu sebabnya dia memilih kata-kata yang lembut dan
hati-hati.
"Kalau ada seseorang sepertiku
yang punya dua sisi berada di dekatmu, Yocchi pasti akan terpengaruh. Untuk
Yocchi yang ingin membangun dirinya mulai sekarang, lebih baik—"
...Omong kosong.
"Siapa bilang kita harus
menunjukkan semuanya?"
Begitu aku berkata begitu, Hanazono
membuka lebar matanya.
"Aku
sadar dalam beberapa minggu ini. Memang akan lebih baik kalau kita bisa
memperlihatkan semuanya, tapi bukankah justru dengan menyembunyikan sesuatu
kita semakin mendekati kedewasaan? Nikaido, teman masa kecilku, pasti juga punya hal yang tidak
diceritakan ke aku. Aku pun begitu."
Aku tidak akan membiarkan pengakuanku
dicegah begitu saja.
Trauma bukanlah masalah di sini.
"Kita hanya perlu menunjukkan
bagian yang ingin kita tunjukkan. Itu saja sudah cukup. Bagian yang tidak ingin
diperlihatkan, tidak perlu dipaksakan."
Saling menunjukkan segalanya, saling
menerima sepenuhnya—
Mungkin itu ideal, mungkin memang
begitu seharusnya.
Tapi tidak semua orang bisa
melakukannya, dan tidak semua orang ingin melakukannya.
Entah kenapa, Hanazono lebih peka
terhadap hal-hal seperti ini dibanding siapa pun.
Itulah sebabnya dia mencoba menjauh
dariku.
Jika aku ingin menjadi dewasa,
seharusnya aku bisa memahami perasaannya dan mundur secara bijak—kemungkinan
itu pun tidak bisa sepenuhnya kusingkirkan.
Kalau begitu, apakah aku harus
menyimpan perasaanku lagi?
Apakah aku harus melewatkan momen ini
lagi?
Saat sudah dewasa nanti, aku pasti akan
menyesali banyak hal dari masa SMP dan SMA.
Akan ada banyak hal yang belum
tersampaikan.
Mungkin suatu hari, aku bisa
menertawakannya dan menyebutnya sebagai kenangan masa muda.
Tapi, apakah aku benar-benar bisa
memastikan kalau semua ini bukan cuma cara untuk mengelabui penyesalan dan
ketidakpuasan di masa depan?
…Aku tidak bisa.
Pasti, setiap kali aku gagal di masa
depan, aku akan mengingat hari ini.
Akan muncul pertanyaan—Seandainya
saat itu aku melangkah maju, apakah sesuatu akan berubah?
Aku tidak mau hidup dengan pertanyaan
seperti itu.
Karena itu, agar Hanazono Yuuka tidak
menjadi kenangan yang penuh penyesalan bagiku, aku harus melangkah maju
sekarang.
"Aku tidak akan memaksa diriku
untuk melihat sisi yang ingin Hanazono sembunyikan. Aku senang kalau bisa
menerima bagian diriku yang memalukan, tapi aku tidak akan menuntut hal yang
sama dari orang lain. Bagiku, itu sudah cukup. Karena—"
Perasaan yang membara ini hanya bisa
kusampaikan langsung padanya.
Mungkin saja, ini adalah tindakan
kekanak-kanakan yang sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan Hanazono.
Tapi aku
belum ingin menjadi orang dewasa yang terlalu mengerti segalanya.
"Aku menyukai
Hanazono hanya dari bagian yang kau izinkan untuk aku lihat."
"…Yocchi."
"Itulah
sebabnya, apa pun yang kau katakan, perasaanku tidak akan berubah."
"…Begitu,
ya."
Hanazono
menundukkan kepala, seolah benang yang menahannya telah terputus.
Detik jam
terus berdetak, mengukir waktu kami berdua.
Setelah
jarum detik terus bergerak entah sudah berapa kali, akhirnya Hanazono membuka
mulutnya.
"Maaf."
Waktu
seakan berhenti.
Keheningan
yang menyakitkan menggema di telingaku.
Dengan
tenggorokan yang terasa kering, aku akhirnya mengeluarkan suara pelan.
"…Ya,
aku mengerti."
Aku tahu
bahwa dia mencoba menjaga jarak, tapi aku tetap mengatakan semua yang ingin
kukatakan.
Mungkin,
sebagai pengakuan cinta, ini adalah yang terburuk.
Namun, aku sudah mengutarakannya.
Aku akhirnya bisa mengatakan perasaan
yang selama ini kusimpan.
Mungkin karena itu, dadaku terasa lebih
ringan.
Aku tidak menyesal.
Atau mungkin, kalau dipikirkan lagi,
ada banyak hal kecil yang kusesali.
Aku seharusnya lebih merencanakan
semuanya.
Mungkin aku sebaiknya menunggu lebih
lama sebelum mengajaknya berkencan.
Tapi, saat ini—hanya untuk saat ini,
aku merasa lebih puas.
Karena selama ini, aku tidak pernah
bisa mengungkapkan perasaanku dengan begitu jujur.
Aku tidak pernah punya keberanian untuk
melangkah maju.
Dan hanya dengan bisa melakukan itu,
aku merasa telah mendapatkan sesuatu yang berharga untuk masa depan.
…Aku harus berpikir begitu.
Orang pertama yang muncul di benakku
adalah Remi.
Kalau aku menceritakan semua ini
padanya, kira-kira ekspresi seperti apa yang akan dia tunjukkan?
Apa dia akan mengkhawatirkanku?
Apa dia akan mencoba menenangkan
hatiku?
Atau, apakah dia akan mengabaikan
wajahnya yang biasanya tenang dan tertawa seperti orang bodoh?
Aku merasa kemungkinan terakhir itu
lebih cocok untuknya.
Bagaimana pun dia menanggapinya, aku
akan lebih nyaman jika dia memilih untuk tertawa.
Yuzuha pasti akan tertawa
terbahak-bahak dan meledekku tanpa ampun.
…Ya.
Hari yang
baru akan segera dimulai.
Ini hanyalah bagian dari itu.
Dengan
perlahan, aku bangkit berdiri.
"Ayo,
aku antar kau pulang."
"…Eh?"
"Iya.
Tidak baik kalau kau terus berdiam diri di sini, kan?"
Hanazono
tetap tidak bergerak.
Aku merasa
aneh, lalu bertanya, "Kenapa?"
"Maaf. Maksudku tadi… bukan
seperti itu."
"Eh?"
Aku tidak mengerti maksudnya, jadi aku
hanya diam dan menunggu kata-kata berikutnya.
"Aku hanya berpikir… bagian yang
tak terlihat bisa saja menghancurkan bagian yang terlihat."
"Ya."
"Itulah sebabnya, aku minta
maaf."
"…Maksudnya apa?"
Apakah ini berarti dia menolakku
beberapa kali dengan sengaja?
Kalau
begitu, itu benar-benar kejam.
Tapi jika
kulihat lebih saksama, ekspresi Hanazono masih menunjukkan bahwa dia ingin
mengucapkan sesuatu.
Seolah aku
sedang melihat diriku sendiri di masa lalu.
Tiba-tiba, aku punya firasat.
…Jangan-jangan.
"Hei."
"Ya?"
"Saat ini… kita sedang dalam momen yang bagus,
ya?"
── Momen yang bagus adalah gerbang pertama dalam
hubungan romantis.
Pada akhirnya, hanya bisa dinilai
secara subjektif. Atau…
Hanazono berdiri.
Jarak antara kami berdua menjadi lebih
dekat dari semua kenangan yang pernah kumiliki tentangnya.
Napasnya
yang lembut mengguncang gendang telingaku dan dadaku.
"…Mungkin
saja."
Lalu,
Hanazono bersandar ke dadaku.
Kehangatan tubuhnya seakan menyampaikan
bahwa dia mempercayaiku.
Bahkan napas yang kami hirup dan
hembuskan pun mulai selaras dalam ritme yang sama.
Semuanya adalah perasaan yang baru
pertama kali kurasakan.
Momen yang bagus
adalah gerbang pertama dalam hubungan romantis.
Namun, dinding yang mungkin terasa samar jika hanya
berdasarkan perasaan subjektif bisa dilewati jika kami benar-benar memastikan
perasaan satu sama lain.
Bahkan dalam situasi yang seharusnya hanya bisa dipahami
tanpa kata-kata, Hanazono tetap memberiku jawaban.
Dan sekarang, yang harus kulakukan selanjutnya adalah…
Selama ini, aku tidak pernah memiliki pengalaman di mana
hubunganku dengan seorang gadis berkembang lebih jauh.
Tapi aku membayangkan—
── Jika aku bisa menghabiskan waktu yang sama lagi dengan
gadis yang pernah membuatku merasa seperti ini, mungkin aku masih punya
kesempatan.
Dan setelah melewati waktu yang sama, bahkan lebih dari itu—
aku pun…
"Aku suka kamu, Hanazono."
Sekali lagi, aku mengungkapkan
perasaanku.
Seolah setiap kata memiliki makna yang
penting.
Seolah aku ingin memastikan bahwa
perasaanku benar-benar sampai padanya.
"…Yoshi, kamu yakin aku yang kamu
mau?"
"Iya."
"Aku ini biasa saja, lho."
"Aku sama sekali tidak berpikir
begitu."
"Bentuk tubuhku juga tidak terlalu
bagus."
"Itu tidak ada hubungannya."
"Payudaraku juga… kecil. Kalau
dibandingin sama Nikaido atau Yuzuha, apalagi…"
"Itu semakin tidak ada
hubungannya! Aku bukan suka kamu karena alasan seperti itu!"
Hanazono menghirup ingusnya pelan, lalu
tertawa kecil dengan suara teredam.
"Oh iya, waktu itu aku memang
sempat ketahuan, ya."
Aku buru-buru mencoba menjelaskan.
"Maaf! Waktu itu aku tidak sengaja. Aku
tadi bilang, kan, kamu tidak harus nunjukin bagian dirimu yang tidak mau kamu
tunjukin, dan aku serius soal itu! Itu terjadi sebelum aku ngomong gitu!"
"Fufu…
Sudahlah… Kalau Yoshi
sih, tidak apa-apa."
Hanazono tersenyum, seperti ekspresi seseorang yang pasrah,
namun juga seperti seseorang yang mulai membuka hatinya.
Dan bagiku, senyuman itu terasa lebih tulus dan bahagia
dibanding ekspresi Hanazono yang pernah kulihat sebelumnya.
Aku jadi tak sabar menunggu jawabannya dan buru-buru
bertanya,
"Jadi… jawabannya?"
Hanazono mengangkat wajahnya.
Bulu
matanya yang panjang bergetar sedikit.
"…Iya.
Mulai sekarang, tolong jaga aku baik-baik."
Roda gigi itu akhirnya bertaut.
Berputar.
Mulai bergerak.
Roda gigi cinta itu berderak keras dan
mulai berakselerasi.