Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Prolog
Suatu ketika, di sebuah negeri tertentu, hiduplah seorang pria yang dikenal sebagai sang Pahlawan. Seorang ahli dalam berbagai senjata, ia terjun ke banyak medan perang, mengubah banyak pertempuran yang tampaknya tanpa harapan menjadi kemenangan bagi negerinya dengan kekuatannya yang tak tergoyahkan. Ia berdiri tegak dan bangga hingga hari-hari terakhirnya, sehingga menginspirasi kekaguman rakyat yang memujinya sebagai sang Pahlawan.
Suatu ketika, di negeri tetangga, hiduplah seorang wanita yang dikenal sebagai sang Bijak. Ia mengasah ilmu gaib kuno menjadi bentuk baru yang disebut sihir, membalikkan keadaan dalam pertempuran yang tidak menguntungkan, sekaligus menyebarluaskan keahliannya ke seluruh penjuru negeri. Ilmu sihirnya membawa negeri tersebut mencapai puncak kejayaan baru, sehingga menginspirasi kekaguman rakyat yang memujinya sebagai sang Bijak.
Dua jenius dengan kekuatan masing-masing lahir di dua negeri yang berbeda. Namun, hubungan mereka dapat dijelaskan dengan satu interaksi sederhana:
“Hei. Sudah kuduga kamu akan datang.”
Di tengah medan perang, Sang Pahlawan Raid Freeden mengangkat sebilah pedang besar yang jauh lebih besar daripada tubuhnya ke atas bahunya. Biasanya, seseorang tidak akan memperhatikan kata-kata musuh, tetapi gadis yang melayang di udara menjawabnya dengan tenang.
“Ya. Karena aku dengar kamu juga ada di sini.”
Suaranya lembut seperti bisikan, namun entah bagaimana terdengar jelas di telinga Raid. Gadis itu duduk santai di atas tongkat sihirnya, rambut perak cemerlangnya berkibar ringan di belakangnya. Saat pandangannya menyapu kekacauan yang telah diciptakan Raid di sekitarnya, bibirnya meringis.
“Berhenti menghancurkan semuanya.” keluh gadis itu.
“Hah? Kamu berharap apa dariku? Kalau kami membiarkanmu mengamankan jalur suplai kalian, maka markas kami di sini akan hancur, dan kamu semua bisa dengan bebas melewati kami.”
“Ya. Memang itu rencananya. Jadi...” dia berhenti sejenak, lalu bergumam, “Aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja.” Dalam sekejap mata, lingkaran-lingkaran sihir muncul di udara di sekelilingnya—manifestasi dari sihir, ilmu baru yang diciptakan oleh sang Bijak, Eluria Caldwin. “Hari ini aku membawa sihir besar.”
“Kedengarannya menarik. Mungkin kali ini kita akhirnya bisa menyelesaikan ini dengan pertarungan ke seratus sekian kita?”
“Hari ini... adalah pertarungan ke-629.”
“Sudah sejauh itu? Terima kasih sudah selalu menghitung.”
“Hanya karena kamu selalu lupa...” gerutu Eluria sambil mengerutkan kening.
“Apa yang kamu harapkan? Aku bodoh, tidak seperti dirimu.” jawab Raid sambil mengangkat pedangnya ke arah gadis yang melayang di udara. “Tapi,” lanjutnya, “aku tidak boleh terlihat lemah di depan mereka yang menyebutku Pahlawan.”
Menghadapi senyuman lebar Raid, Eluria hanya mengangguk pelan. “Ya. Sebagai sang Bijak, aku juga tidak bisa kalah.”
Lingkaran sihir itu semakin bersinar terang, dan Raid menarik pedangnya ke belakang, bersiap untuk bertarung. Selama tiga hari tiga malam, mereka bertarung. Tanpa jeda sedikit pun, tiada tanda dari mereka yang kelelahan. Gerakan mereka justru semakin tajam seiring berjalannya waktu, seolah-olah mereka menikmati setiap momennya.
Namun, sebagai bukti nyata kekuatan mereka yang seimbang, pertarungan mereka tidak pernah mencapai akhir. Hanya ketika keadaan medan perang berubah untuk kedua pasukan mereka masing-masing, pertarungan pribadi mereka berakhir. Mereka bersumpah untuk menyelesaikannya lain kali, lalu bergegas membantu pasukan mereka. Pertemuan berikutnya pun menunggu, di mana pedang dan sihir akan kembali beradu.
Begitulah rutinitas bagi mereka yang terkuat di dunia, sang Pahlawan dan sang Bijak, di setiap pertempuran. Bagi Raid, hanya ada satu kata yang bisa menggambarkan hubungan mereka:
Rival.
Satu-satunya orang di dunia yang bisa ia lawan dengan sepenuh hati dan dengan sukacita terbesar dari lubuk hatinya—itulah arti sang Bijak, Eluria Caldwin, baginya.
Namun, hubungan itu tidak bisa bertahan selamanya. Suatu hari, mereka pasti akan menentukan siapa yang benar-benar terkuat. Kematian datang sama rata semua hal, dan bahkan persaingan yang menyenangkan ini pun harus berakhir.
Bagi mereka berdua, akhir itu datang lima puluh tahun setelah pertemuan pertama mereka.
“Sang Bijak telah tiada?” Kerutan di wajah Raid semakin dalam saat ia mendengar laporan prajuritnya. “Apa kamu benar-benar yakin, Ryatt?”
“Y-Ya, Pak! Informasi ini datang melalui laporan darurat dari mata-mata kita di Vegalta, jadi kami yakin tingkat keakuratannya sangat tinggi!”
Raid mendengus, merapikan rambut putih bersihnya yang kusut. “Benarkah? Aku selalu berpikir aku yang akan pergi lebih dulu.”
Eluria Caldwin bukan manusia; dia adalah seorang elf, ras yang memiliki umur hingga ratusan tahun. Raid, dengan penuaan manusia dan sendi-sendinya yang mulai kaku, berasumsi bahwa pada akhirnya, persaingan mereka akan berakhir secara alami dengan kekalahannya. Namun, kenyataan yang ada justru meninggalkan rasa pahit di mulutnya.
“D-Dan dengan kabar ini, Anda telah menerima dekrit dari atasan, Yang Mulia Freeden.”
“Apa? Apa mereka sudah selesai dengan seorang lelaki tua sepertiku sekarang karena sang Bijak sudah tiada?”
“T-Tidak...” Ekspresi prajurit itu berubah getir. “Negeri kita, Altane, telah memerintahkan Anda... untuk memanfaatkan kekacauan akibat kematian sang Bijak, memimpin seluruh pasukan kita menyerang Vegalta, dan mengakhiri perang panjang ini.”
Perintah itu membuat Raid kehilangan kata-kata. Keheningan yang menyesakkan hanya terpecah saat amarahnya terasa nyata di udara. “Kamu serius mengatakan itu?” geramnya.
Prajurit itu gemetar, tetapi dengan cepat memperbaiki posturnya. “Yang Mulia,” ujarnya dengan nada berat, “Sebagai pembawa panji yang selalu mendampingi Anda, saya sangat sadar akan harapan yang Anda dan sang Bijak miliki di hati setiap kali Anda saling beradu pedang. Bahwa Anda bertarung untuk memastikan yang lemah dan tak berdaya tidak terjebak dalam konflik yang sia-sia pun diketahui oleh siapa pun yang pernah menginjakkan kaki di medan perang.”
Pasukan kedua negara mencatat kerugian yang sangat kecil sepanjang perang, sesuatu yang tidak masuk akal dengan keberadaan sang Pahlawan dan sang Bijak yang bertempur di garis depan. Namun, Raid dan Eluria sengaja bertarung satu lawan satu demi mencapai tujuan itu—tujuan yang kemungkinan besar juga dimiliki oleh Eluria.
Maka terciptalah rutinitas mereka untuk saling berhadapan di setiap pertempuran, dengan membawa serta nyawa orang-orang di belakang mereka... dan harapan bahwa suatu hari nanti negara-negara yang bertikai akan meletakkan senjata dan menatap masa depan yang damai bersama. Namun, harapan mereka tidak pernah sampai kepada mereka yang berkuasa. Setidaknya, para petinggi di tanah air Raid, Altane, sama sekali tidak menunjukkan simpati.
“Itulah mengapa saya sangat marah!” lanjut prajurit itu, air mata mulai mengalir di matanya. “Sang Bijak yang terhormat, yang menginginkan perdamaian bersama Anda, telah tiada! Saya... tidak bisa menggunakan kematiannya untuk berperang ketika saya masih larut dalam kesedihan!”
Kerutan di wajah Raid semakin dalam, kali ini karena senyuman yang melengkung di bibirnya. “Kamu tahu benar apa yang harus dikatakan untuk membuat lelaki tua ini senang.”
Kata-kata prajurit itu pastilah tulus, dan bisa dikatakan bahwa siapa pun yang pernah menyaksikan pertempuran sang Pahlawan dan sang Bijak dari dekat pasti akan berbagi perasaan yang sama.
Dengan itu, Raid perlahan berdiri. “Aku harus menyampaikan kata-kata itu padanya,” ujarnya sambil melepas zirah, sarung tangan, dan sepatu perangnya, lalu membuang semuanya ke samping.
Prajurit itu memandang dengan gelisah. “Yang Mulia, apa yang sedang Anda lakukan?”
“Hm? Aku hanya ingin jalan-jalan. Semua perlengkapan ini tidak baik untuk punggungku yang tua.”
Pandangan Raid jatuh pada pedang besar yang bersandar di dinding—rekan tak tergantikannya sepanjang tahun-tahun pertarungannya melawan sang Bijak. Kemudian, ia mengambil pedang itu dan menancapkannya ke tanah.
“Aku tidak bisa mengunjungi temanku dengan perlengkapan perang, bukan?”
* * *
Bagaimana tepatnya kisah ini akan diwariskan ke generasi berikutnya masih belum diketahui. Namun, bagi mereka yang menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, hanya ada satu pemikiran yang muncul di benak mereka:
Pahlawan Raid Freeden adalah monster.
Ia menerobos jaringan pengawasan yang ditempatkan di sepanjang garis depan, menangkis semua pasukan bersenjata yang berusaha menghentikannya, dan menyerbu langsung ke ibu kota kerajaan Vegalta tanpa gentar sedikit pun. Yang lebih mengejutkan lagi adalah ia tidak meninggalkan satu pun mayat di belakangnya, seolah-olah mewujudkan harapan yang selalu ia dan sang Bijak impikan.
Ketika ia tiba di ibu kota, para prajurit telah memperkuat pertahanan mereka semaksimal mungkin untuk mempersiapkan diri menghadapi invasi sang Pahlawan.
“Berhenti! Jika kamu melangkah satu langkah saja—” Teriakan para prajurit langsung terhenti ketika mereka melihat Raid.
Namun, orang yang menjadi pusat perhatian mereka hanya menyunggingkan senyuman penuh percaya diri. “Yo. Maaf soal ini. Aku sedikit terburu-buru, jadi kalian harus membiarkanku lewat,” gumamnya sambil memandang ke arah prosesi pemakaman. “Tapi kurasa aku sudah menduga sambutan seperti ini... mengingat aku musuh kalian dan sebagainya.”
Satu langkah, lalu langkah berikutnya. Raid memaksa kakinya yang gemetar menapak tanah dan berjalan maju, suara basah yang lengket terdengar setiap kali kakinya melangkah. Darah yang mengalir dari tubuhnya membasahi tanah, membentuk jalur di belakangnya.
Pada saat itu, ia benar-benar menyerupai binatang terluka. Tubuhnya sepenuhnya berlumuran darah dan dipenuhi luka, sementara pakaiannya hanya berupa kain compang-camping dan sisa-sisa hangus. Tombak batu dan bilah es yang terbentuk dari sihir menusuk punggung dan kakinya.
Namun, Raid tidak berhenti.
“Aku akan mati untuk kalian semua setelah aku selesai bicara dengannya... Jadi untuk kali ini saja...” Dengan darah menetes dari mulutnya, ia menatap para prajurit yang terpaku dan mengaum seperti binatang buas yang ganas. “BERHENTI MENGHALANGIKU!!!”
Akhirnya, peti mati itu terlihat di depan matanya, dan ia berlari ke arahnya. Tidak ada satu pun jiwa yang berani menghalangi jalan sang Pahlawan. Walaupun tubuhnya babak belur, wujudnya adalah yang paling gagah di antara semuanya.
Akhirnya, ia tiba di sisi sang Bijak, yang tidur dalam peti matinya, dan memanggil namanya.
“Hei, Eluria.”
Namun tentu saja, tidak ada jawaban.
“Oh, ayolah... Jadi kamu benar-benar mati? Rasanya seperti kamu akan menyerangku kapan saja.”
Bahkan saat berbaring di dalam peti mati, Eluria tetap sangat cantik. Ia tampak tak lebih tua dari seorang gadis remaja, persis seperti saat mereka pertama kali bertemu di medan perang lima puluh tahun yang lalu. Namun, tubuhnya yang tak menua itu kini tidak bisa bergerak lagi.
“Astaga... Murid-muridmu benar-benar tangguh, tahu? Tidak sekuat dirimu, tentu saja, tapi mereka meluncurkan sihir seperti orang gila. Sulit sekali menahan diri untuk tidak membunuh mereka.”
Meski darah terus mengalir dari luka-lukanya, Raid tersenyum saat menatap tubuh Eluria yang terbaring diam. Namun, matanya tidak akan pernah bertemu dengan mata Eluria lagi.
“Aku tahu... Kamu memang luar biasa. Aku ini cuma orang bodoh, tapi kamu memikirkan masa depan negerimu. Maksudku, lihat saja semua orang ini yang berkumpul untuk meratapi kematianmu...”
Ia mengalihkan pandangannya yang semakin buram ke sekelilingnya, ke arah orang-orang yang berkumpul untuk meratapi kehilangan sang Bijak yang besar dan dicintai. Setiap orang di sana meneteskan air mata duka. Saat ia menyaksikan pemandangan itu, penglihatannya sendiri mulai kabur.
“Pada akhirnya, kita tidak pernah sempat menentukan siapa yang lebih kuat, tapi aku bisa bertarung dengan seseorang seperti dirimu selama lebih dari lima puluh tahun dalam hidupku... Astaga, itu luar biasa...”
Raid merasakan kekuatannya meninggalkannya saat ia jatuh berlutut, tetapi ia mengerahkan seluruh sisa energinya untuk mengucapkan kata-kata terakhir ini.
“Andai saja... kita tidak berada di pihak yang berlawanan...”
Dengan kesadarannya yang memudar dan suara yang serak, ia mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya kepada sang Bijak, yang telah berbagi medan perang bersamanya.
“Aku yakin... kita bisa menjadi teman.”
Raid menatap ke langit dengan senyuman cerah di wajahnya. Pandangannya mulai gelap, seolah-olah gerakan itu menguras semua kekuatan terakhir yang ia miliki.
“Kamu tahu... Kurasa aku... sebenarnya...”
Tubuhnya menjadi mati rasa, dan sensasi melayang aneh merengkuhnya sebelum mulutnya bisa mengucapkan kata-kata terakhir itu. Namun, Raid puas. Ia berhasil menyampaikan perasaan yang telah ia pendam selama lima puluh tahun terakhir.
Namun, ia tidak bisa mengatakan bahwa ia benar-benar tanpa penyesalan. Ia tidak dapat memenuhi satu janji yang ia buat dengan Eluria saat mereka pertama kali bertemu.
“Mari kita tentukan siapa yang lebih kuat di antara kita, sekali untuk selamanya.”
Janji yang mereka buat saat berhadapan di medan perang dari sisi yang berlawanan—itulah hal terakhir yang ada dalam pikiran sang Pahlawan Raid Freeden saat ia menatap langit dan pergi untuk selamanya.
Post a Comment