Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Prolog
Di kehidupan sebelumnya, Eluria menghabiskan sangat sedikit waktu bersama ibunya. Mereka tidak selalu berada dalam hubungan yang buruk; sang ibu hanya benar-benar acuh tak acuh terhadap putrinya. Bahkan sedikit percakapan yang mereka lakukan hampir tidak mencerminkan hubungan antara orang tua dan anak.
Karena alasan inilah Eluria akan menyibukkan diri dengan meneliti sihir. Anak itu percaya bahwa dengan melakukan hal tersebut, pasti akan menarik perhatian dan pujian dari ibunya. Itu adalah keinginan yang murni dan polos, namun sayangnya, hal itu justru semakin memperlebar jurang yang memisahkan mereka. Seorang anak kecil yang mempelajari magecraft setingkat orang dewasa, bahkan membangun fondasi seni baru yang ia sebut sebagai “sihir”, pasti terlihat sangat aneh di mata ibunya.
Percakapan santai antara Eluria dan ibunya semakin berkurang dari hari ke hari. Karena hal ini, waktu yang ia habiskan bersama ayahnya terasa jauh lebih berarti dalam ingatan gadis itu.
“Yah, aku ingin membaca itu,” kata gadis itu, menunjuk buku teks magecraft yang dipegang ayahnya.
Ayah Eluria jarang sekali berada di rumah, dan setiap kali ia ada, waktunya dihabiskan dengan mengurung diri di kamarnya. Eluria melihatnya jauh lebih jarang daripada ibunya, tetapi hal itu justru membuat sang gadis kecil semakin ingin mengenal pria ini lebih dalam.
Ayahnya menggaruk kepala dengan senyum malu-malu. “Hmmm... Kamu mungkin tidak akan mengerti isinya, El.”
“Iya. Aku tidak mengerti.”
“Sudah kuduga...”
“Tapi itu bukan alasan untuk tidak membacanya.”
“Ah, kata-kata yang bijak...” Ayahnya tersenyum kecut sebelum menempatkan Eluria di pangkuannya dan membacakan buku itu dengan keras untuknya. Setiap kali Eluria menanyakan kata yang tidak ia pahami, ayahnya akan dengan sabar menjelaskannya dengan istilah yang lebih sederhana.
Sejak saat itu, Eluria menghabiskan waktunya menyelinap ke ruang belajar ayahnya dan menggali tumpukan buku teks miliknya. Setiap kali ayahnya pulang, ia akan berusaha menunjukkan semua yang telah ia pelajari selama ketidakhadirannya, dan ayahnya selalu tersenyum bahagia setiap kali melihatnya.
“Kamu pekerja keras, El,” pujinya sambil menepuk kepala Eluria dengan lembut.
“Mm-hm. Aku sudah berusaha.”
“Kamu memang berusaha dengan keras. Ayah tak pernah menyangka,” gumamnya sambil menengadah ke atas, “bahwa kamu akan mempelajari magecraft secepat ini.”
Menjulang ke langit di atas mereka adalah pohon raksasa yang Eluria buat dengan magecraft. Ia telah menyiapkan semua katalis, menatanya dengan presisi dan sinergi yang tepat, serta membuat lingkaran untuk mengalirkan mana dalam urutan yang benar. Usahanya menghasilkan sesuatu yang benar-benar bisa ia banggakan.
“Dengan ini, aku akhirnya melampauimu, ayah.”
Pria itu menatapnya. “Dan di mana kamu belajar bicara seperti itu?”
“Dari bukumu.”
“Oh, benar... Kamu bilang sudah menyelesaikan semua buku yang kupunya, jadi kamu mulai membaca yang lainnya...”
“Aku juga menghafal semuanya,” kata Eluria kecil, dengan bangga membusungkan dada.
Ayahnya menggaruk kepala dengan senyum yang miring. “Yah, aku tidak bisa membiarkan putriku melampauiku dengan mudah, bukan? Sepertinya aku harus bekerja lebih keras...”
“Berikan yang terbaik, pejuang pemberani.”
“Kosakatamu semakin berwarna setiap kali kita bertemu.” Ayahnya terkekeh sambil meletakkan tangan di kepala Eluria.
Kemudian, tepat di detik berikutnya, pohon raksasa lainnya muncul dari tanah di samping pohon Eluria, menjulang ke langit sambil merobohkan hutan di sekitarnya. Eluria menatap ciptaan ayahnya sementara pria itu sendiri mengenakan senyum sombong.
“Punyaku lebih tinggi. Aku menang.”
“Wow...” Eluria bergumam. “Ayah seperti anak kecil saja.”
“Ugh, aku tidak bisa menyangkalnya...!”
“Tapi bagaimana ayah melakukannya?” Meskipun usianya masih sangat muda, Eluria sudah mempelajari semua dasar dan hukum magecraft. Apa yang baru saja dilakukan ayahnya sepenuhnya berada di luar teori magecraft yang pernah ia pelajari. “Bisakah ayah mengajariku?”
“Hmmm... Tidak. Tidak bisa.” Seperti biasa, ayahnya mengenakan senyum kecut. Ini adalah pertama kalinya ia menolak untuk mengajarinya sesuatu.
Gadis kecil itu dengan kesal mengembungkan pipinya. “Jadi ayah kekanak-kanakan dan picik,” katanya, merajuk.
“Ah, posisiku sebagai ayah turun dengan cepat sekali...” Ia menghela napas dan menggelengkan kepala. “Tapi kamu tahu, ayah pikir lebih baik kamu menemukannya sendiri, El.”
Gadis itu berkedip. “Aku...?”
“Iya. Ayah bisa saja mengajarimu, tapi kemudian kamu tidak akan bisa merasakan kebahagiaan menemukannya sendiri, bukan? Jadi mulai sekarang, ayah rasa kamu harus mengarahkan usahamu untuk menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dari magecraft...”
Ayah Eluria meletakkan beban yang hangat dan familier di kepalanya sambil tersenyum lembut pada gadis kecil itu.
“Sesuatu yang dikenal sebagai ‘sihir’... yang akan mengabulkan keinginan terbesarmu.”
Post a Comment