NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Shujinkou no Osananajimi ga, Wakiyaku no Ore ni Guigui Kuru V2 Chapter 1

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 1

Orang Bodoh Membicarakan Masa Lalu, Orang Bijak Membicarakan Masa Kini, Karakter Pendukung Membicarakan Masa Depan  


"…………Nn."


Pagi itu, hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah langit-langit yang sudah sangat akrab. Langit-langit kamarku sendiri.


Aku—Kazuki Ishii—dulunya hanyalah pemeran pendukung yang menjalani hidup biasa-biasa saja. Titik balik terbesar dalam hidupku datang bersamaan dengan akhir segalanya.


Kematian diriku sendiri menjadi pemicu dimulainya kehidupan kedua. Setelah melalui perundungan yang hebat dan kehilangan keluargaku, aku muak dengan segalanya, dan pada malam festival musim panas saat usiaku tujuh belas, aku mengakhiri hidupku. Seharusnya, semuanya selesai di sana.

Namun entah kenapa, saat aku sadar kembali, aku telah kembali ke usia lima belas tahun… tepat pada hari upacara masuk sebagai siswa baru SMA.


Kehidupan keduaku pun dimulai.


Dalam menjalani kehidupan ini dengan berusaha tidak mengulangi kesalahan di kehidupan pertama, aku mulai mengetahui berbagai kebenaran.


Hidaka Mikoto, yang dikenal sebagai "Putri Es", memang agak (atau sangat?) kelewatan dalam beberapa hal, tapi bagiku, dia adalah satu-satunya sekutu yang bisa kuandalkan, seseorang yang berhati lembut. Bahkan, dia ternyata memiliki perasaan khusus padaku.


Dan Teman baik yang dulu kupercaya, Teruhito Amada, sebenarnya tahu tentang perasaan Mikoto, yang juga teman masa kecilnya. Dia berpura-pura menjalin hubungan baik denganku hanya demi mendekati Mikoto, dan di kehidupan pertamaku, dia menggunakan orang-orang di sekitarku untuk menjatuhkanku.


Secara kebetulan dan takdir, aku mengetahui rencana Amada dan memutuskan untuk tidak mengulangi akhir yang sama seperti sebelumnya. Di kehidupan kedua ini, aku memilih untuk melawan Amada.


Akhirnya, aku berhasil menang dan membongkar semua kejahatan Amada ke hadapan publik.


Kehidupan keduaku jauh lebih intens daripada kehidupan pertama. Setelah melewati berbagai kesulitan, aku berhasil mengubah masa depan.


Masa depan terburuk, di mana aku dan keluargaku kehilangan nyawa sekitar dua tahun dari sekarang, berhasil kuubah.


──Ya, meski belum bisa sepenuhnya dipastikan sih.


"Ngomong-ngomong, sepertinya ini waktunya, ya…"


Mimpi yang kulihat sebelum bangun adalah percakapanku dengan Amada di kehidupan pertama.


Entah kenapa, SMA Hirasaka ini penuh dengan berbagai macam event ala cerita cinta.


Bagi diriku di kehidupan pertama, itu adalah masa lalu, tapi bagi diriku di kehidupan kedua, itu adalah masa depan.


Yah, sudahlah. Sekarang lebih baik segera bangun. Aku tidak bisa terlambat ke sekolah.


Dengan pemikiran itu, aku pun mengangkat tubuh bagian atas dari tempat tidur. Dan saat aku melihat ke samping tanpa terlalu banyak berpikir…


"Aku siap kapan saja."

Hidaka Mikoto, dengan ekspresi yakin di wajahnya, sedang duduk bersila menatapku.


Mikoto adalah gadis yang luar biasa cantik. Wajahnya sangat teratur, posturnya proporsional. Aku sempat merasa sedikit malu melihat wristband di pergelangan tangannya yang tampak dari sela-sela seragamnya.


Dia bersikap ramah terhadap orang yang dia percaya, tapi pada orang yang tidak, dia sangat dingin.


Karena ketegasannya yang tanpa ampun, dia mendapat julukan "Putri Es".


Dan sekarang, entah kenapa, sang Putri Es sedang duduk dengan tenangnya di kamarku.


"Aku siap kapan saja."


Sekali lagi, kata-kata yang sama terlontar.


Sebagai tambahan penjelasan, aku dan Hidaka tidak tinggal bersama.


Rumah Hidaka berada di tempat yang cukup jauh, sekitar 30 menit dengan kereta.


Meskipun begitu, perempuan ini—yang sebelumnya kusebut stalker tapi kini lebih dikenal sebagai pekerja keras yang agresif (versi dirinya sendiri)—datang ke rumahku setiap pagi tanpa absen.


Dan akhirnya, kini dia bahkan sampai datang ke kamarku sejak pagi-pagi buta…


"Apa maksudmu?"


Pasti hal yang tidak masuk akal lagi. Tapi aku tetap mencoba bertanya dengan harapan tipis.


"Ciuman selamat pagi."


Harapan itu hancur seketika.


"Aku tolak."


Aku menolak dengan sopan, lalu bangkit dari tempat tidur. Aku ingin segera berganti pakaian, jadi kumohon, cepat keluar.


Namun, Hidaka tetap tidak bergeming dari tempatnya. Dia menatapku dengan mata berbinar dan bulu mata panjang yang berkedip pelan sambil mendongak ke arahku. Kalau hanya ini saja, sebenarnya dia sangat imut.


"Kalau begitu, ciuman sebagai hadiah juga boleh deh."


Dia menyodorkan bibirnya sekuat tenaga, mengubah wajahnya menjadi seperti topeng hyottoko.


Ternyata, bahkan perempuan secantik apa pun bisa kehilangan kelucuan jika berubah jadi hyottoko. Fakta yang sama sekali tidak kubutuhkan.


"Kenapa?"


"Aku menahan diri untuk tidak mencium Kazupyon saat kau tidur. Aku hebat, kan?"


Dia memasang ekspresi bangga lengkap dengan wajah hyottoko.


"Itu sudah terhapus nilainya karena kau masuk ke kamar orang tanpa izin."


"Itu beda! Aku sudah minta izin, kok."


"Dari siapa?"


"Dari ayah dan ibumu."


Keluargaku tercinta… tolong lindungi anakmu ini.


Saat aku secara refleks menengadah ke langit-langit, terdengar suara langkah kaki yang gaduh dari lorong.


"Miko-chan! Jangan seenaknya masuk ke kamar Kazu!"


Pintu dibuka dengan keras. Yang datang adalah adik sekaligus malaikatku, Ishii Yuzuki.


Wajah dan gerak-geriknya saat sedang marah benar-benar terlalu imut sampai rasanya aku tidak tahan.


Baiklah. Ayo lakukan ciuman selamat pagi.


"Selamat pagi, Yuzu. Onii-chan siap kapan saja."


"Apa?"


"Ciuman selamat pagi. Mau jadi pihak yang mencium atau dicium pun aku tidak keberatan."


Aku langsung memonyongkan bibir sekuat tenaga.


"Jijik!! Hyottoko-nya jijiiiiiiik banget!!"


Ahh… suara merdu malaikatku menggema. Aku adalah orang yang paling beruntung di dunia. Yuzu hari ini pun sangat imut. Kenapa dia bisa seimut ini?


"Sudah paham, kan, Hidaka? Wajah hyottoko itu menjijikkan."


"Berarti, kalau hyottoko-ku dipasangkan dengan hyottoko-mu, minus dan minus jadi plus, begitu?"


Bukan. Bukan begitu maksudnya.


"Kalian ngomongin apa sih? Miko-chan, cepat berdiri."


"Itu sangat sulit."


"Apa?"


Yuzu bertanya dengan nada heran. Sebagai jawaban, Hidaka tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan tindakan. Masih dalam posisi duduk bersila, dia langsung ambruk ke samping.


"Kakiku kesemutan parah…"


Sebenarnya, sejak kapan perempuan ini ada di kamarku…?


"Haaah… ngapain sih kamu… Yaudah, aku tarik ya?"


Yuzu dengan mantap mencengkeram kedua tangan Hidaka.


"Kalau bisa sih, digendong ala putri oleh Kazupyon…"


"Tidak boleh!"


Meski berkata begitu, Hidaka tetap diseret keluar dari kamarku oleh Yuzu.


Kehidupan keduaku benar-benar berbeda jauh dari kehidupan pertamaku.


â—‡ â—‡ â—‡


Setelah pagi yang kacau karena serangan hyottoko di saat baru bangun tidur, aku selesai berganti pakaian lalu turun ke lantai satu.


Bersama keluarga dan satu orang asing yang mencurigakan, kami berlima duduk mengelilingi meja makan dan menyantap sarapan.


Posisi duduknya, Ayah di sisi kepala meja, aku dan Yuzu duduk berdampingan, lalu di hadapan kami ada Hidaka dan Ibu.


Sejak pertama kali Hidaka datang, posisi duduk kami sedikit berubah.


"Mmm~! Nikujaga ini enak banget! Gimana menurutmu, Kazuki-kun?"


Ayahku makan nikujaga sambil bereaksi dengan cara yang terlalu dibuat-buat. Sudah jelas apa yang dia rencanakan, tapi aku menjawab jujur.


"Enak. Rasanya agak beda dari biasanya."


"Tuh kan, dengar itu, Mikoto-chan!"


Begitu aku menjawab, Ayah langsung melempar senyuman pada Hidaka.


Orang mencurigakan ini sudah berhasil merebut hati keluargaku. Tanpa kusadari, semua orang di rumah memanggilnya dengan nama depan, bukan nama keluarga.


"Aku sangat senang…"


Dengan sikap yang jauh lebih tenang dibanding saat dia menerobos masuk ke kamarku dan menjadi hyottoko, Hidaka tersenyum lembut.


Meski biasanya bersikap agresif padaku, saat bersama keluargaku dia jauh lebih kalem. Tapi, itu bukan berarti dia menahan diri.


Entah kenapa, dia terlihat seperti sedang menikmati kebahagiaan… Ah, mata kami bertemu.


"Makan pagi bareng-bareng gini enak banget, ya."


"……! Iya… benar juga…"


Aku kaget. Dia tiba-tiba tersenyum lembut, membuat jantungku hampir melompat keluar.


"Eh, eh, Ibu! Ini suasananya bagus banget, ya? Mungkinkah… mungkinkah!?"


"Kalau saja Ayahmu tidak bicara yang aneh-aneh, mungkin memang begitu."


"Berarti nggak mungkin, dong! Soalnya Ayah paling suka ngomong yang aneh-aneh!"


Meskipun ditusuk dengan kata-kata tajam oleh Ibu, Ayah hanya tertawa lepas.


Ini adalah keseharian yang pernah hilang di kehidupan pertama, dan berhasil kupertahankan di kehidupan kedua. Sesuatu yang seharusnya memang jadi hal biasa.


Dalam kehidupan pertamaku, seluruh keluargaku kehilangan nyawa mereka. Kami terjebak dalam rencana Amada, dan karena alasan konyol seperti terlibat dalam komedi romantis, bukan hanya aku, tapi seluruh keluargaku ikut mati.


Tapi, dalam kehidupan keduaku, hal itu tidak akan terjadi lagi. Dalam kehidupan keduaku, aku berhasil mengungkap jati diri Amada yang disembunyikannya, dan dia tidak bisa lagi menjalankan komedi romantisnya.


Aku, keluargaku, dan juga Hidaka, tidak akan terlibat dalam komedi romantis milik Amada lagi. Berkat itu, kami bisa menghabiskan waktu keluarga yang normal seperti biasanya.


Aku tidak akan pernah sampai ke masa depan ini sendirian. Ini semua karena Hidaka yang telah membantuku...


"Hai, Kazu. Jangan cuma daging kentangnya aja, makan juga tamagoyaki-nya tuh."


Saat aku menatap Hidaka dengan sedikit malu, suara suci dari malaikat di sebelahku terdengar.


Tamagoyaki, katamu?


"I-i-ini...! Bukankah ini tamagoyaki buatan Yuzu!? Hebat sekali, Yuzu!"


"Iya, memang. Belakangan aku juga ikut bantu-bantu, soalnya..."


Malaikatku terlalu rajin, sampai-sampai bikin aku kewalahan. Sejak Hidaka mulai datang dan membantu sarapan, Yuzu juga mulai ikut memasak.


Memang masih sedikit canggung, tapi justru itu yang bikin bagus. Tanpa sadar, air mata mengalir dari mataku.


"Huuuh! Padahal belum makan, tapi udah asin rasanya!"


"Kazu tuh, suka lebay banget..."


"Tentu saja tidak! Ini tamagoyaki yang Yuzu buat setelah bangun jam empat pagi dan gagal berkali-kali sebelum akhirnya berhasil. Mana mungkin aku nggak terharu!"


"Kenapa kamu tahu sih!?"


"Hmph... Kalau sudah jadi Yuzumaster sepertiku, aku akan terbangun di saat Yuzu bangun. Jam 4 pagi, aku melihatmu diam-diam latihan di dapur sendirian. Saat kamu gagal dan tampak kesal, aku sempat tergoda ingin memelukmu, tapi akhirnya aku menahan diri dan kembali tidur karena takut ganggu."


"Jadi penyebab kamu kesiangan itu, itu ya!?"


Padahal aku tidur sambil memikirkan Yuzu, tapi dia tidak muncul di mimpiku sama sekali.


Tuhan memang kejam.


â—‡ â—‡ â—‡


Seperti biasa, setelah mendapat cercaan dan tatapan hina dari Yuzu, aku pun berangkat dari rumah.


Belakangan ini, Yuzu yang semakin akrab dengan Hidaka, selalu bergandengan tangan dengannya menuju stasiun.


Akibatnya, aku tidak bisa menggandeng tangan Yuzu. Aku iri sekali pada Hidaka.


"Miko-chan, kamu nonton YouTube nggak?"


"Nonton, kok. Bisa buat ngisi waktu dan juga belajar."


YouTube—dibaca dalam pelafalan Jepang—adalah layanan berbagi video. Baik orang biasa, selebriti, maupun perusahaan bisa dengan bebas mengunggah video buatan mereka sendiri. Tapi karena kebebasannya itu, terkadang ada juga orang aneh yang suka cari perhatian. Seperti yang ngejilat botol kecap... eh, itu platform lain ya.


"Hee~ Biasanya nonton apa?"


"Yang masak-masak sama yang masuk-masuk ke tempat orang."


"Perbedaan antara yang pertama dan kedua tuh parah banget ya!"


"Tapi nggak apa-apa. Belakangan aku jarang nonton yang kedua. Jadi, kalau ada yang menarik—"


"Kalau gitu, aku punya rekomendasi!"


Suara Yuzu jadi semangat. Sejak awal, dia memang ingin menunjukkan video favoritnya ke Hidaka. Tapi karena nggak bisa bicara terus terang, Hidaka menggiring pembicaraannya dengan halus.


Haaah, malaikatku ini memang suka terlalu sungkan. Tapi, kenapa dia nggak pernah nawarin ke aku, sih?


"Apa tuh?"


"Channel Miyabi, namanya Hanatori Miyabi-chan!"


"Yuzu!?"


"Waah! Ada apa sih, Kazu?"


Karena ucapan tak terduga dari Yuzu, aku refleks berteriak.


Hanatori Miyabi!? Dari semua orang, kenapa Yuzu bisa-bisanya ngefans sama dia!?


Dalam kehidupan pertamaku, aku nggak pernah tahu soal ini.


"Yuzu ngefans sama Hanatori Miyabi?"


"Hmm~ Dibilang ngefans sih nggak, aku nonton karena dia lucu aja. Kadang dia juga kasih saran yang berguna pas ngobrol bebas, dan pas dia ngelakuin PON itu bener-bener lucu banget."


PON—asal katanya dari "ponkotsu" (payah)—adalah istilah untuk kegagalan atau kesalahan konyol yang dilakukan streamer saat siaran langsung.


Memang benar, Hanatori Miyabi pernah beberapa kali melakukan PON. Tapi tetap saja...


"Bagaimana dengan streamer lain? Soalnya, PON-nya Miyabi itu... kayak waktu main game horor yang langsung berakhir cuma karena dia tumpahin air sebelum main lalu teriak. Atau pas dia lupa ngisi air ke humidifier sebelum nyalain... Entah kenapa, aku merasa dia sengaja nyontek PON orang lain..."


"Hah? Ngomong apa sih, Kazu. Justru keberanian dia meniru yang udah terkenal secara terang-terangan dan kepedeannya karena mikir nggak bakal ketahuan, itu yang bikin PON-nya Miyabi jadi Miyabi banget. Kamu tuh, bener-bener nggak ngerti!"


"Guh...!"


Kalau bisa, aku ingin menyetujui semua yang Yuzu lakukan.


Tapi Hanatori Miyabi itu...


"Orang-orang Miyabi pun suka sama PON-nya itu. Oh ya, Miko-chan, Miyabi itu gabungan dari 'Wannabe' dan 'Miyabi', istilah buat sebutan fans-nya Miyabi-chan."


"Oh begitu. Kalau gitu, nanti aku coba tonton, ya."


"Yay! Nanti kita ngobrolin bareng, ya!"


Yuzu dan Hidaka ngobrol dengan sangat gembira seolah aku tidak ada. Kalau bukan karena ngefans, cuma suka karena lucu... berarti masih aman, kan?


"Kalau begitu, sampai jumpa! Kazu, jangan ngelakuin hal aneh ke Miko-chan ya."


Begitu berkata, Yuzu melangkah ringan menjauh dari kami. Lalu, yang tertinggal, Hidaka, mengulurkan tangannya ke arahku dengan wajah ceria.


"Yuk, Kazupyon."


"Kenapa kamu menganggap kita pasti akan bergandengan tangan?"


Sambil merasa sedikit malu melihat gelang di pergelangan tangan Hidaka yang terlihat dari sela-sela lengannya yang terulur, aku teringat kata-kata Yuzu tadi dan memutuskan untuk tidak menggenggam tangannya.


Ini sudah jadi rutinitas pagi, dan hampir setiap kali aku menolaknya, tapi Hidaka sama sekali tidak kapok.


"Gak apa-apa kok, Kazupyon. Bergandengan tangan gak termasuk hal aneh."


"Meski tidak termasuk, bukan berarti aku punya alasan untuk melakukannya."


"Fufu. Memang benar. Tapi aku sudah berkembang."


"Perkembangan macam apa, maksudmu──"


"Tangan ini masih menyimpan kehangatan Yuzu-chan yang tadi menggenggamnya."


"……! K-Kau……!"


Kalau dipikir-pikir, memang begitu! Sial! Kenapa aku melewatkan hal sepenting itu!?


"Kalau Kazupyon gak mau, aku akan menikmatinya sendiri... jadi, gimana?"


"Si—silakan sesukamu…"


"Oke!"


Sialan. Sepertinya cewek ini memang berkembang sedikit demi sedikit…


â—‡ â—‡ â—‡


"Jadi, kapan kalian jadian?"


Waktu istirahat siang. Di meja luar kantin, Tsukiyama Ouji yang duduk di hadapanku melontarkan pertanyaan aneh.


Yang terbentang di depan mataku adalah kotak makan besar yang biasanya cuma terlihat saat acara hanami dan semacamnya.


Demi menarik perhatian, dia membeli bento mahal pakai uang orang tuanya untuk dibagi ke teman-teman sekelas, tapi semuanya menolak mentah-mentah.


Karena dia gak bisa habiskan sendiri, akhirnya dia bawa ke meja luar kantin dan membagikannya ke kami.


"Bagus sekali, kau baru saja mengucapkan sesuatu yang sangat bagus. Aku izinkan kau berada di sini."


Hidaka berkata dengan nada seenaknya.


"Aku merasa sangat terhormat! Tapi ini kan meja umum di luar kantin! Ini tempat semua orang, tahu!"


Padahal dia ganteng, pintar, jago olahraga, dan anak bos perusahaan alias super high spec, tapi karena kepribadiannya yang payah, dia dapat julukan "Pangeran Mengecewakan".


Hari ini pun dia diperlakukan seadanya seperti biasa.


"Yah, apa yang Tsuki bilang memang ada benarnya. Aku juga setuju sih."


"Aku juga."


Yang ikut bersuara adalah Ushimaki Fuuka dan Iba Kouki, yang dulunya berusaha menjebakku sebagai heroine-nya Amada. Belakangan ini, Tsukiyama, Iba, dan Ushimaki sering ikut makan siang bareng kami.


Namun, satu dari tiga heroine awal Amada... yang dikenal sebagai 'Three Stars'—Kanie Kokoro—tidak ada di sini.


Dulu Kanie dikucilkan para cewek di kelas karena sifat pemalunya yang sering disalahpahami, tapi akhir-akhir ini dia sudah akrab dengan teman-teman sekelas.


Karena itu, dia mulai menjauh dari Iba dan Ushimaki yang dulu sering bersamanya.


Bukan berarti mereka musuhan, tapi karena tujuan bersama mereka, yaitu Amada, sudah hilang, interaksi mereka pun berkurang. Cewek-cewek memang lebih cepat move on dari yang kupikir. Tapi ya sudahlah, itu urusan lain.


"Kalian berdua, pakai muka tebal macam apa sampai bisa duduk di sini?"


Kalau Tsukiyama, karena dia sekelas denganku (meskipun nyaris lolos), masih bisa dimaklumi, tapi Iba dan Ushimaki dari kelas lain?


Ditambah lagi, mereka berdua pernah jadi kaki tangan Amada dan mencoba menyeretku ke neraka.


Memang sih, mereka juga korban yang dimanfaatkan, tapi mereka pernah melakukan kejahatan yang saking jahatnya, iblis pun mungkin kabur ketakutan. Aku gak punya sedikit pun rasa simpati.


"Ishii-san, terlalu terjebak di masa lalu itu gak baik, lho. Yuk, lupakan yang lalu dan berteman lagi."


"Diam kau, wanita licik penuh tipu daya. Kamu itu licik tapi tetap saja tertipu. Gak usah sok bijak."


Sekilas, Iba terlihat seperti ketua kelas yang anggun, tapi di kehidupan pertamaku, dia adalah iblis sejati yang menyeretku ke neraka.


Meskipun masalah Amada sudah selesai, bukan berarti aku bisa begitu saja memaafkan semuanya.


Di kehidupan kedua ini pun, dia masih berusaha menjebakku.


"Guh! Kamu benar-benar ngomong langsung ke intinya ya…"


"Haha! Kouki emang licik, wajar aja kalau orang-orang curiga! Tapi aku sih──"


"Kau juga sama parahnya, dasar mesum."


Ngapain coba, sok-sokan merasa diri sendiri gak bersalah. Di kehidupan kedua ini, kamulah yang paling bikin kacau, tahu!?


Kalau dipikir-pikir, satu-satunya yang masih waras adalah Kanie yang gak ada di sini. …Apa justru karena dia waras, jadi dia gak ikut-ikutan?


"Tch! Aku bukan mesum!"


Ushimaki menepuk kedua tangannya ke meja, wajahnya merah padam saat berteriak.


Hah, kamu itu jelas-jelas mesum. Meski kamu diperalat Amada, kamu sempat melepas baju demi menjebakku sebagai tukang intip, dan membiarkan dirimu difoto. Mau ngeles apapun, tetap saja kelakuanmu gak masuk akal.


"Toh, semua itu ide si Kouki kan…"


"Aku memang yang merencanakannya, tapi yang melakukannya Moeka-san kan? Benar-benar menyedihkan..."


"Kenapa jadi seolah-olah aku yang salah, sih! Eh, foto itu udah dihapus, kan?"


Menginginkan agar foto yang dia sendiri minta untuk diambil dihapus, betul-betul permintaan yang tak masuk akal.


Lagipula, dari awal di ponselku memang tidak ada foto pergantian baju Ushimaki.


Karena sudah memprediksi hal seperti ini akan terjadi, aku menukar ponselku dengan Tsukiyama sebelumnya.


"Nggak tahu. Tanya aja ke Tsukiyama."


"Tenang saja. Memang ada beberapa cowok yang minta foto itu ditukar dengan uang, tapi aku sudah menolaknya dengan benar dan sudah kuhapus."


"Be-beneran, kan? Jangan-jangan tergoda uang terus diam-diam—"


"Aku nggak mau nyari duit dengan menyakiti Ushimaki. Lagian, kalau aku bilang ke Ayah, aku bisa dapat uang sebanyak apa pun."


Seperti biasa, pangeran yang mengecewakan. Andai saja kalimat terakhir itu tidak ada, dia pasti terdengar keren...


Memang banyak sifat mengecewakan dari Tsukiyama, tapi dia punya rasa keadilan yang kuat. Kemungkinan besar, foto itu memang sudah dihapus. Kalau aku sih, pasti kusimpan untuk dijadikan bahan ancaman.


"Syukurlah..."


Ushimaki menghela napas lega setelah mendengar kata-kata Tsukiyama. Mereka berdua memang tidak berbahaya saat ini, tapi siapa tahu kapan taring mereka muncul.


Terus terang, aku sangat waspada terhadap mereka. Aku juga nggak tahu kenapa mereka terus-terusan mendekatiku.


"Eh, kenapa kalian berdua ada di sini, sih?"


Aku langsung mengungkapkan pertanyaan itu. Iba dan Ushimaki itu gadis cantik dan populer di kelas.


Karena aku mengungkap kejahatan Amada, Iba dan Ushimaki yang sempat terlibat sempat kehilangan posisi di sekolah, tapi sekarang kepercayaan terhadap mereka seharusnya sudah pulih.


"Daripada datang ke tempatku, kenapa kalian nggak sama teman sekelas—"


"Itu karena kamu, tahu!"


"Iya, semua salahmu!"


"Hah?"


Suara Ushimaki dan Iba tumpang tindih dengan sempurna.


"Ishii-san. Waktu aku dikucilkan, kamu menyuruh Pangeran untuk membantuku, kan? Berkat itu, aku memang berhasil keluar dari lingkungan yang mengisolasi, tapi karena aku terlihat akrab dengan si Pangeran yang dikenal sebagai 'Pangeran Mengecewakan', sekarang aku malah dijauhi orang-orang. Bisa dibilang, begitu keluar dari labirin, ternyata masih ada labirin lain menunggu."


"Itu salahnya Tsukiyama, kan!"


"Fufu... Ishii, kau terlalu meremehkanku."


Kenapa sih mereka ini berdua sama-sama merasa bangga?

Sudahlah. Kayaknya mau ngomong apa pun percuma.


"Terus, Ushimaki? Kau kan nggak ada hubungannya."


"Kamu bener-bener nggak ngerti, ya."


Dengan wajah kesal, dia menggeleng pelan seolah berkata "duh, dasar bodoh". Padahal belum lama ini dia baru saja ditipu mentah-mentah oleh cowok yang sok romantis dan sampai rela buka baju segala.


"Waktu aku bener-bener disudutkan di sekolah, gara-gara kamu yang mengambil peran sebagai si jahat, aku bisa kembali akur dengan teman-teman di kelas. Terus terang, aku sangat berterima kasih. ...Tapi cuma berterima kasih aja!"


Menyadari tatapan dingin yang mematikan dari Hidaka, Ushimaki buru-buru menegaskan rasa terima kasihnya.


"Aku nggak punya perasaan kayak gitu ke Ishii! Serius, aku bahkan nganggep dia kayak kotoran kuda di pinggir jalan!"


Kalau begitu, kau itu lalat yang mengerumuni kotoran kuda, ya?


"Kotoran kuda di pinggir jalan itu langka, lho... Bzzzz."


Satu gadis cantik mendekat sambil menirukan suara lalat. Kalau bisa, aku lebih suka dia marah karena dianggap sebagai lalat.


"Waktu itu aku seneng banget, jadi aku juga—te... ehem, memutuskan buat nggak terus-terusan mikirin Amada dan mulai langkah baru. Tapi abis itu..."


"Abis itu?"


"Aku jadi sering banget didekati cowok! Tapi bukan secara romantis, lebih ke arah seksual! Kamu tahu nggak rasanya disebut 'cewek yang bisa dipakai sekali' di belakang!? Ada yang ngomong, 'kan aku udah baik, jadi boleh dong?', terus langsung nyamperin aku tanpa baju!"


"Kau emang cocok jadi si cabul banget."


"Justru aku ini perawan tulen!"


Dia teriak sesuatu yang super memalukan dengan suara lantang. Nggak papa, tuh?


"Kalau gitu, kenapa nggak bareng cewek aja?"


"Udah! Tapi begitu aku cuma nongkrong sama cewek, malah ada yang bilang, 'padahal udah dibantu, kok nggak tahu balas budi', terus cewek-cewek itu malah jadi ngehindarin aku karena takut sama cowok... Sekarang aku jadi nggak percaya manusia, tahu!"


Kayaknya sekolah ini isinya lebih banyak bajingan dari yang kukira. Atau ya, mungkin udah sesuai dugaan. Di kehidupan pertamaku juga, aku sering banget mengalami hal buruk.


"Aku ngerti keadaannya. Tapi baik soal Iba maupun Ushimaki, aku rasa aku nggak ada hubungannya, kan?"


Memang situasinya menyedihkan, tapi semua ini asal mulanya karena tindakan mereka sendiri. Kanie aja bisa akur-akur aja sama cewek di kelas. Mungkin ada masalah lain yang aku nggak tahu?


"Kalau mau nolong, mestinya nolong dengan lebih baik lagi dong!"


Boleh ya, kalau aku tonjok mereka sekarang?


"Hidaka, kamu nggak masalah? Ikut-ikutan mereka ini..."


"Dulu aku benci banget. Tapi sekarang..."


Dia sedikit memalingkan pandangannya dariku, terlihat agak sungkan. Kenapa?


"Ishii-san, karena ada rumor kalau kami sedang mendekatimu dan itu merepotkan, bisakah kamu cepat-cepat jadian dengan Hidaka-san?"


"Iya! Aku aja sampai dijuluki ‘kotak pensil Ishii’, tahu!"


Jangan bercanda. Aku ini bukan pensil. Aku ini pulpen mewah yang luar biasa hebat.


"Sebagai tambahan, aku juga berharap kalian segera jadian. Karena dikira aku masih naksir Hidaka dan masih berharap padahal jelas mustahil, aku jadi nggak bisa akrab sama cowok lain."


Mengganggu urusan cinta orang lain demi kepentingan pribadi... yah, aku juga sama sih. Demi bertahan hidup, aku sendiri yang menghancurkan kisah romantis itu.


Tapi tunggu, alasan Hidaka nggak menolak mereka itu...


"Memiliki sekutu itu sangat penting tahu."


Dengan wajah serius, dia menjawab begitu tegas.


"Kalau kau bilang begitu, kau nggak takut aku jadi benci sama kamu?"


Kupikir Hidaka yang akan menjawab, tapi Iba malah menyela.


"Justru, Ishii-san lah yang harus takut dibenci oleh Hidaka-san karena tahu perasaannya tapi terus saja menunda-nunda."


"Diam, Iba! Aku punya pemikiranku sendiri!"


Jangan sok benar, si cewek penyendiri berhati hitam.


"Ka-Kazupyon, jangan-jangan itu tadi... la-lamaran...?"


"Itu terlalu cepat!"


Sejujurnya, aku sangat berterima kasih pada Hidaka, dan kalau ditanya apakah aku punya perasaan khusus padanya... tentu saja ada.


Dia luar biasa cantik, dan meski punya sisi agresif, pesonanya jauh mengungguli itu.


Tapi tetap saja…


"Ngomong-ngomong, ada yang tahu gimana kabarnya Amada?"


Begitu aku bertanya, semuanya langsung memasang ekspresi berat dan suasana jadi sunyi.


Amada Teruhito. Teman masa kecil Hidaka Mikoto, sekaligus pria gila yang percaya dirinya adalah tokoh utama dalam kisah cinta.


Di kehidupan pertamaku, dia adalah orang yang, demi membuat kisah cintanya terwujud, secara tidak langsung menyebabkan kematianku dan keluargaku.


Tapi di kehidupan keduaku, itu tidak terjadi. Dia memang mencoba menjebakku lagi seperti sebelumnya, tapi kali ini aku yang balik menjebaknya. Sejak saat itu, dia tak pernah datang ke sekolah lagi.


Kalau ada yang bertanya apakah aku merasa bersalah—dengan bangga akan kujawab: tidak.


Aku mungkin tidak sepenuhnya dendam pada Iba dan Ushimaki, tapi Amada adalah pengecualian.


Aku tidak ingin berurusan dengannya lagi, dan sejujurnya, kupikir lebih baik kalau dia lenyap dari sekolah ini selamanya.


"Maaf, aku nggak tahu. Aku... lebih memilih untuk nggak terlalu terlibat..."


"Aku juga," tambah Iba dan Ushimaki dengan ekspresi canggung.


Mereka memang pernah dimanfaatkan oleh Amada. Perasaan mereka pasti rumit dan berbeda dari milikku.


"Begitu ya..."


Ini juga alasan kenapa aku belum bisa menyatakan perasaanku pada Hidaka.


Memang, aku sudah menyingkirkan Amada. Bisa dibilang posisinya di sekolah sudah jatuh. Tapi tetap saja, aku tidak percaya dia sudah menyerah pada Hidaka.


Kalaupun secara ajaib Hidaka menerima perasaanku, itu bukanlah akhir yang bahagia.


Kalau Amada tahu... dia mungkin akan melakukan hal-hal di luar dugaanku. Bisa saja seperti di kehidupan pertama—bukan cuma aku, tapi juga keluargaku dan Hidaka yang akan terseret.


Karena itu, aku belum bisa menyatakan perasaanku.


"Eh... sebenarnya aku pernah ketemu sekali, sama Teru..."


Dengan ekspresi agak canggung, Tsukiyama angkat bicara.


"Meski ada kejadian itu, aku tetap nggak bisa diam aja. Aku khawatir karena dia nggak datang ke sekolah... jadi aku menemuinya."


"Gimana keadaannya?"


Begitu aku bertanya, Hidaka dan yang lain pun ikut menatap Tsukiyama dengan serius.


Itu menunjukkan seberapa besar pengaruh Amada Teruto bagi kami—tentu dalam arti buruk. Tapi Tsukiyama malah balas bertanya padaku dengan wajah gelisah.


"Kau nggak marah?"


"Itu urusanmu, Tsukiyama. Aku nggak marah cuma karena kau ketemu dia."


"...Begitu ya. Memang, Ishii itu..."


""""Cepat ceritain!""""


"Sedikit saja kasih aku waktu buat nikmati pertemanan!"


Diamlah, pangeran mengecewakan. Itu belum layak disebut persahabatan. Yang kami inginkan sekarang adalah info soal Amada.


"Haa... Dia kelihatannya baik-baik saja. Tapi, mungkin dia nggak akan balik ke sekolah."


"Apa maksudmu?"


"Dia bilang waktu itu, 'Aku nggak tahu harus balik dengan wajah seperti apa.'"


"Itu sih kabar baik."


"Ishii, kau... kejam banget ya sama Teru..."


"Tentu saja. Aku nggak mau ketemu dia lagi."


"Yah... dari posisimu, aku bisa mengerti..."


Mereka mungkin kecewa dengan jawabanku, tapi aku tidak peduli. Kalau Amada nggak kembali, itu yang terbaik. Aku tak perlu terlibat dengannya lagi.


Tapi... betapa bodohnya dia. Padahal setelah ini—kisah cinta favoritnya pasti akan… ah.


"Ada apa, Ishii?"


Aku baru ingat. Bukankah sekarang waktunya…


Event klasik dalam perkenalan heroine baru—kedatangan murid pindahan.


Di SMA Hirasaka ini, karena pengaruh si tokoh utama cinta, Amada, hal-hal yang seharusnya hanya terjadi sekali dalam sepuluh tahun malah jadi kejadian rutin.


Biasanya, Amada-lah yang menyelesaikan semua drama itu bersama para heroine. Tapi... bagaimana sekarang?


Murid pindahan cantik yang akan segera datang hanyalah awal. Masih banyak event cinta lainnya yang akan terjadi.

Tapi tokoh utamanya, Amada, tidak ada.


Kalau begitu, tidak ada yang bisa menyelesaikan masalah.

Aku yang menyelesaikannya? Tidak akan! Aku tidak mau terlibat dalam kisah cinta macam itu.


"Eh, Tsukiy

ama, Iba, Ushimaki. Kalau... misalnya minggu depan ada murid pindahan, mungkin dia bakal datang dengan masalah besar. Jadi tolong bantu dia, ya."


Mendengar perkataanku yang tiba-tiba, ketiganya hanya bisa memiringkan kepala dengan ekspresi "apa yang kau omongin sih?"


â—‡ â—‡ â—‡


"Aku Miwa Hitsujitani! Mulai hari ini, mohon bantuannya!"


Senin minggu berikutnya, seorang murid pindahan—Miwa Hitsujitani—datang ke kelas 1-C.


Rambut pendeknya rapi dan tertata. Wajahnya memancarkan kesan dewasa. Tingginya sedikit di atas rata-rata untuk seorang siswi. Seragam yang ia kenakan bukan dari SMA Hirasaka, melainkan dari sekolah lamanya.


Mungkin ia pindah sekolah dengan terburu-buru sampai-sampai tidak sempat menyiapkan seragam baru.


Kecantikannya yang tak perlu dipertanyakan membuat para siswa laki-laki dan perempuan menahan napas kagum—namun, hanya Tsukiyama yang tampak lebih terkejut daripada terharu oleh kemunculan murid pindahan cantik itu, dan sekarang sedang menatapku seakan melihat sesuatu yang mustahil.


Setelah memperkenalkan diri secara singkat, Hitsujitani langsung menuju bangku di paling belakang yang telah disiapkan untuknya.


Dengan senyum cerah, ia menyapa siswa laki-laki yang kebetulan duduk di sebelahnya.


"Senang berkenalan, ya."


Setelah homeroom berakhir, mulailah acara sambutan khas untuk murid pindahan.


Di sekitar tempat duduk Hitsujitani, para siswi dengan senyum cerah mulai melontarkan berbagai pertanyaan seperti, "Kenapa pindahnya pas waktu begini?", "Dari sekolah mana sebelumnya?", "Kamu cantik banget ya," dan sebagainya.


Karena yang pindah adalah seorang siswi, tentu para siswilah yang pertama kali berbicara dengannya.


Padahal, para siswa laki-laki sebenarnya ingin langsung menyapa, tapi kalau mereka melakukannya sekarang, bisa-bisa mereka dikucilkan oleh sesama laki-laki dan juga dinilai buruk oleh para perempuan.


Jadi untuk saat ini, mereka menunggu. Mereka pura-pura tidak tertarik tapi sebenarnya memasang telinga lebar-lebar untuk mengumpulkan informasi yang bisa dijadikan bahan pembicaraan nanti.


Sekarang, Hitsujitani sedang tersenyum pada Kanie yang terlihat agak malu-malu.


"Wah! Kamu cantik banget! Namamu siapa?"


"Eh? Umm… terima kasih… Aku Kanie… Kokoro…"


Dengan nada ceria dari Hitsujitani, Kanie Kokoro menjawab dengan agak gugup.


Belakangan ini, Kanie mulai dianggap sebagai maskot kelas berkat disukai oleh siswi yang merupakan pemimpin kelompok perempuan.


Dulu ia sempat dikejar-kejar oleh banyak siswa laki-laki, tapi sekarang dia jarang berbicara dengan mereka, dan para siswi pun melindunginya dengan penuh semangat.


Kanie yang berbicara dengan Hitsujitani bersama para siswi lain juga menjadi salah satu alasan kenapa siswa laki-laki tak bisa mendekat sekarang.


"Oi, Ishii! Ishii! Ishii!"


Di tengah keramaian itu, Tsukiyama datang dengan langkah cepat—bukan menuju murid pindahan Hitsujitani, tapi langsung ke arahku.


Di kehidupan pertamaku, Tsukiyama adalah orang pertama—bahkan mengalahkan para siswi—yang menyapa Hitsujitani. Karena itu dia dijuluki macam-macam seperti "Lagi-lagi Tsukiyama" atau "Dia emang nggak pilih-pilih kalau ceweknya cantik." Tapi kali ini, dia bertindak berbeda.


"Bukannya kamu biasanya langsung nyamperin?"


"Dasar bodoh. Kalau langsung nyamperin cewek cantik yang baru pindah, posisiku di kelas bakal makin buruk lagi."


Sepertinya Tsukiyama kali ini sedikit lebih bijak dibanding versi sebelumnya.


Atau mungkin karena dia sudah lebih dulu menyandang gelar ‘Pangeran Mengecewakan’ sejak awal, jadi sekarang dia mulai merenungkan sikapnya sendiri.


"Bukan itu maksudku!"


Tsukiyama mendesakku sambil terengah-engah.


"Kau itu apa sih sebenarnya? Murid pindahan beneran datang, lho! Kukira kamu cuma bercanda!"


"Begitu ya. Aku juga kaget kok."


"Kalau begitu, ekspresimu tenang banget, padahal."


"Aku tipe yang nggak nunjukin perasaan di wajah. Memang kelihatan datar, tapi sebenarnya kaget banget. Tapi jangan sampai kau suka, ya?"


"Siapa juga yang suka!"


Saat aku melirik ke arah pintu kelas, kulihat Iba dan Ushimaki sedang mengintip ke dalam kelas dengan ekspresi mirip Tsukiyama, tampaknya mereka juga sudah mendengar tentang murid pindahan.


"Ada pesan dari Iba. Katanya, nanti ceritakan secara lengkap, ya."


"Cerita lengkap apanya? Aku juga nggak tahu apa-apa."


Aku menjawab tanpa basa-basi, tapi tampaknya mereka tidak percaya. Tsukiyama menggerutu pelan, "bohong lu," lalu kembali ke tempat duduknya.


Di saat yang pas, ponselku bergetar.


[Kazupyon, menurutmu gimana?]


Itu dari Hidaka.


[Nggak gimana-gimana]


[Tapi, dia cantik, lho?]


Saat aku melirik ke arah Hidaka, dia sedang menatapku tanpa menyembunyikan rasa khawatirnya sedikit pun.


Aku langsung bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya, dan entah kenapa jadi agak kikuk.


[Meski cantik, itu bukan alasan untuk tertarik. Lingkungan sekarang sudah sempurna]


[Maksudmu, aku yang terbaik?]


[Maaf. Aku sudah punya Yuzu dan Ibu]


[Nggak apa-apa. Yuzu-chan dan Ibu mertuaku masuk kategori "Hall of Fame" jadi nggak dihitung dalam peringkat. Justru menghitung mereka dalam peringkat adalah penghinaan]


Memang luar biasa, Hidaka. Dia benar-benar mengerti maksudku.


Untuk sementara, aku mengirim pesan ke Yuzu: "Yuzu masuk Hall of Fame, jadi kamu sudah melampaui segalanya," dan dia langsung membalas, "Jijik banget!!"


Cepatnya dia membalas… Memang Yuzu itu malaikat.


â—‡ â—‡ â—‡


Saat jam istirahat setelah pelajaran ketiga, para siswa laki-laki mulai bergabung dalam lingkaran para siswi yang mengelilingi Hitsujitani.


Sepertinya para siswi juga tahu apa tujuan para siswa laki-laki, tapi mereka tidak berusaha menghalangi. Mungkin karena mereka tak ingin dibenci kalau mengganggu.


"Hei, Hitsujitani. Di sekolah sebelumnya, kau punya pacar nggak?"


"Ahaha! Nggak, nggak ada! Aku sekarang nggak tertarik sama hal-hal kayak gitu sih!"


Jawaban yang mencampur informasi menyenangkan dan menyedihkan.


Sekilas, Miwa Hitsujitani terlihat seperti gadis yang blak-blakan dan cuek—tapi itu cuma tampaknya saja.


Dia itu, gadis sok cuek yang sebenarnya manja. Biasanya bicara tanpa peduli dan bersikap seperti nggak tertarik pada cinta, tapi kalau pada laki-laki yang dia suka—bukan yang dia percaya, melainkan yang dia anggap menarik—dia sengaja menunjukkan kelemahannya.


Laki-laki yang melihat sisi lembut dari gadis yang biasanya kuat seperti dia, akan langsung jatuh hati.


Yang bikin repot, Hitsujitani sama sekali nggak punya perasaan cinta pada laki-laki yang dia perlakukan seperti itu. Dia melakukan itu semata-mata demi memanipulasi laki-laki yang dianggap berguna. Memang benar, gadis-gadis cantik di SMA Hirasaka ini nggak ada yang bisa dipercaya.


"Eh, kalau kamu sendiri, punya pacar nggak?"


"Ueh! Nggak ada, sumpah!"


"Serius? Padahal kamu kelihatannya kayak udah punya, lho!"


"Y-ya… mungkin nanti kalau nemu yang cocok sih…"


Nah, korban pertama berhasil. Satu siswa laki-laki lagi terjebak dalam perangkap Hitsujitani.


Memang benar, dia belum punya pacar. Tapi begitu dikatakan "kelihatan kayak udah punya" oleh seorang gadis cantik seperti Hitsujitani, dia merasa seolah dirinya cukup menarik di mata perempuan, dan itu menumbuhkan rasa bangga diam-diam.


Apalagi yang bilang itu si Hitsujitani yang dikenal blak-blakan dan cuma bicara jujur (atau begitulah anggapan orang). Dalam hal kayak begini, dia memang lihai banget.


"Dia mulai bergerak."


"Yup, mulai."


"Sudah mulai, ya."


Tapi tetap ada yang nggak tertipu. Seperti Hidaka Mikoto, Ushimaki Fuuka, dan Iba Kouki.


Kalau bisa, kuharap mereka menunggu setidaknya sampai istirahat makan siang, tapi mereka bertiga (terutama Iba dan Ushimaki) memang nggak sabaran, dan seperti biasa datang ke mejaku.


Namun, tampaknya mereka sudah membuat aturan sendiri bahwa Iba dan Ushimaki tidak boleh bicara denganku tanpa kehadiran Hidaka. Jadi mereka mengintip dulu, memastikan Hidaka sudah datang.


Setelah memastikan Hidaka berada di dekatku, barulah mereka ikut bergabung.


Sekilas memang kelihatan repot, tapi bagi Hidaka, ini adalah "pengorbanan yang perlu dilakukan demi melindungi Kazupyon," katanya sambil tersenyum lebar.


Mungkin ini juga alasan kenapa Hidaka nggak menjauhkan mereka dariku.


Ngomong-ngomong...


"Yup, dia mulai beraksi."


Aku menanggapi komentar mereka bertiga. Walaupun posisi Iba dan Ushimaki sekarang sedang agak rumit, mereka berdua dulunya memang populer di kalangan cowok, dan tetap punya intuisi tajam.


Mereka tampaknya langsung menyadari sifat asli Hitsujitani. Bahkan Kanie pun sepertinya mulai sadar, karena dia sudah tidak berusaha mendekat ke Hitsujitani lagi.


"Eh? Kalian ngomong apa sih? Mereka cuma ngobrol biasa, kan?"


Dan tentu saja, Tsukiyama yang nggak sadar apa-apa menatap kami bingung. Kami semua menghela napas panjang bersama.


"Haaah… Inilah kenapa kamu disebut mengecewakan. Sifat-sifat kayak gini tuh yang bikin kecewa."


"Pangeran, tahu nggak, batas antara polos dan bodoh itu tipis banget? Dan sekarang, kamu ada di sisi yang bodoh."


"Tsuki itu, emang bodoh ya. Apalagi di situasi kayak gini."


"Bener banget. Bisa-bisanya dia nggak merasa aneh setelah lihat semua itu. Dasar mati rasa."


"Kenapa sih kalian seneng banget menyakitiku!?"


Kami bukannya sengaja ingin menyakitimu. Kami cuma sedih lihat betapa nggak pekanya dirimu.


"Jadi, Ishii-san. Masalah apa yang dia bawa kali ini?"


Iba, yang sudah kehilangan minat pada Tsukiyama, langsung menanyaku dengan serius.


"Mana kutahu? Aku sendiri nggak yakin dia punya masalah apa pun."


"Heeh…"


Tatapan penuh curiga. Yah, sebenarnya aku tahu semuanya.


Wajah lain dari Miwa Hitsujitani adalah seorang Vtuber populer. Tapi saat tampil sebagai Vtuber, dia tidak menggunakan nama aslinya, melainkan nama panggung "Hanatori Miyabi." Saat pertama kali dengar ini dari Amada di kehidupan sebelumnya, aku sempat bilang, "Lho, kenapa nggak pakai nama yang berhubungan sama ‘Hitsuji’ juga?" Tapi waktu itu Amada menjawab, "Soalnya udah ada yang gede banget pake nama itu, jadi dia ngalah."


Padahal sekalipun namanya mirip, rasanya masih aman-aman aja. Dan inilah alasan kenapa aku sempat panik waktu Yuzu bilang dia nonton livestream Hanatori Miyabi.


Bahwa Yuzu menyukai mantan heroine Amada itu, terus terang saja, sangat menjengkelkan. Dan aku juga tak bisa berhenti khawatir kalau Yuzu nanti bakal terseret dalam masalah apapun yang mungkin terjadi.


Jadi begini, alasan Miwa Hitsujitani pindah ke sekolah kami adalah untuk melarikan diri dari seorang penguntit.


Tapi meski penguntit itu sudah berhasil diusir, masalahnya belum selesai. Karena ternyata ada siswi dari kelas lain... kelas D, yang membocorkan informasi tentang Hitsujitani pada si penguntit. Jadi masalah itu harus diusut sampai tuntas.


Dan aku... aku nggak bisa bilang semudah itu untuk menyuruh orang lain menyelesaikan masalah serumit itu.


"Bohong banget. Minggu lalu kamu udah bilang ke kami, kan? Kalau bakal ada murid pindahan yang punya masalah, jadi tolong bantuin dia. Kamu itu bisa lihat masa depan atau gimana?"


"Sayangnya, aku nggak punya kemampuan spesial kayak gitu."


Kalau kemampuan spesial yang lain sih, memang udah pernah aktif. Tapi aku nggak punya keberanian buat nyoba lagi sekarang. Aku nggak mau kehilangan semua yang udah aku punya sekarang.


"Kalau gitu, kenapa bisa tahu—"


"Itu karena Amada."


"Hah?"


"Kan kamu tahu, Amada itu selalu ketemu kejadian yang berhubungan sama cinta, kan? Jadi, kalau lihat dari kecenderungan si Amada, aku ngerasa udah waktunya bakal ada murid pindahan. Dan biasanya, murid pindahan itu pasti bawa masalah. Aku sendiri juga kaget bisa tepat."


"Kalau itu sih, ya..."


Mungkin karena dia sendiri pernah ngalamin, Ushimaki akhirnya menerima penjelasan itu meski terlihat agak canggung.


Iba masih kelihatan sedikit curiga padaku, tapi sepertinya dia nggak nemu kata yang pas buat lanjut nanya, jadi akhirnya dia mundur.


"Jadi, Ishii juga nggak tahu ya, Hitsujitani itu bawa masalah apa?"


"Ya. Akan sangat membantu kalau Tsukiyama yang bisa nyari tahu. Meski aku nggak yakin ada masalahnya beneran atau nggak."


"Hmm~"


Tsukiyama menunjukkan ekspresi ragu. Padahal ini kesempatan emas buat jadi populer, karena bisa nyelesaiin masalah cewek.


"Menurutku sih, Hitsujitani itu kayaknya nggak punya masalah, deh. Dia kan tipe yang cuek banget. Kalau dia lagi susah, pasti dia langsung ngomong, kan?"


Seketika, terdengar empat helaan napas berat seperti angin topan.


"Kecewa banget. Ini kecewa yang luar biasa."


"Ya ampun, ini benar-benar Tsuki deh... parah banget…"


"Dia udah nggak bisa diselamatkan. Benar-benar putus asa."


"Tapi justru karena dia kayak gitu, menurutku dia cocok banget buat dimanfaatin. Kaya, jago olahraga, jago belajar, ganteng. Orang kayak gitu tuh, cocok banget buat dipakai terus dibuang."


""Benar juga.""


"Benar banget!"


"Kalian ini gimana sih!? Kalian tuh muji apa ngehina aku sih!?"


Ya jelas kami lagi muji. Nggak gampang lho, nemu orang yang sebodoh kamu buat dibohongin.


"Tsukiyama, pasti orang yang bisa dijadiin tempat curhat sama Hitsujitani itu cuma orang yang dia percaya. Dan kamu bisa jadi orang kayak gitu. Jadi, cepetan deh samperin dia dan ajak ngobrol."


"Ogah ah. Kalau sampai aku dideketin terus jadi tambah dikucilkan di kelas, males banget. Lagipula..."


"Lagipula?"


"Ishii ngomong kayak gitu justru bikin merinding. Jadi malah makin nggak pengen ngobrol sama dia."


Kukuku... Saat-saat kayak gini, si pangeran mengecewakan benar-benar nggak pernah gagal buat memenuhi ekspektasi.


Kamu memang nggak tahu, tapi aku tahu dari kehidupan pertamaku.


Syarat utama supaya terlibat dalam event Hitsujitani adalah: jangan ngajak ngobrol dia.


Dengan kata lain, kalau Tsukiyama nggak ngajak ngobrol duluan, maka dia pasti bakal terseret ke dalam event Hitsujitani.


Kalaupun ternyata dugaanku salah dan nggak ada yang bisa nyelesaiin masalah Hitsujitani, ya nggak apa-apa juga.


Karena aku bukannya ingin semua orang bisa bahagia. Asal aku, keluargaku, dan satu orang lagi bisa bahagia, itu udah cukup buatku.


Yah, jangan khawatir, Hitsujitani. Si penguntit itu kayaknya nggak bakal ngelakuin hal yang terlalu parah kok.


Mendingan kamu andelin polisi aja, atau manfaatin aja cowok yang sekiranya bisa kamu kendalikan.


â—‡ â—‡ â—‡


Hari Minggu. Karena hari itu sekolah Hirasaka libur, aku masuk shift panjang buat kerja paruh waktu di minimarket.


Tentu saja (nggak tahu ini bisa dibilang tentu atau enggak), Hidaka juga ikut.


Kami berdua udah terbiasa dengan pekerjaan ini, jadi semuanya berjalan lancar seperti biasa... sampai akhirnya—


"Yaho, Ishii-kun! Aku datang nih buat main!"


Entah kenapa, Miwa Hitsujitani muncul sebagai pelanggan.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close