“──Sejujurnya, kupikir kita tidak punya pilihan selain menargetkan nilai sempurna.”
Setelah jam sekolah, di ruang klub astronomi.
Aku menjelaskan hal itu kepada Makoto yang duduk di kursi seberang.
“Waktu aku bertanya pada Chiyoda-sensei, katanya mulai ada beberapa SMA lain yang juga ingin ikut. Dan kabarnya, ada yang cukup serius juga persiapannya.”
“Begitu ya…”
Makoto mengangguk serius sambil menggenggam erat pena di tangannya.
“Soal-soal ujian yang akan keluar itu setingkat pelajaran geosains SMA. Kalau klub astronomi yang serius, seharusnya bisa lolos tanpa masalah. Artinya… kita juga harus punya tekad untuk bisa menjawab semuanya dengan benar.”
“Eeh, tapi Makoto-chan masih SMP, lho?”
“Itu sih… berat juga, ya.”
Igarashi-san dan Rukuyou-senpai yang juga ada di sana menimpali dengan nada prihatin.
“Aku anak IPS, jadi sama sekali tidak mengerti soal geosains.”
“Katanya memang ada sekolah yang bahkan tidak menyentuh materi itu di kelas, sih.”
Memang, apa yang mereka bilang itu ada benarnya.
Geosains bukanlah mata pelajaran yang akrab bagi semua siswa SMA.
Bahkan di kalangan siswa SMA pun, cukup banyak yang tidak terlalu mengenalnya.
Apalagi, Makoto sekarang masih kelas 3 SMP dan sedang mempersiapkan ujian masuk SMA.
Kabarnya nilai-nilainya sangat bagus, bahkan sudah jauh melampaui ambang batas penerimaan sekolah incarannya, SMA Amanuma.
Tapi tetap saja, itu pasti beban yang besar baginya.
Meskipun begitu,
“Tidak apa-apa, ini memang keinginanku sendiri…”
Dengan wajah agak tegang dan kaku, Makoto tetap berkata dengan gagah.
“Toh aku juga sudah diundang seperti ini, jadi aku ingin memberikan yang terbaik…”
──Hasil dari konsultasi dengan Chiyoda-sensei.
Pihak penyelenggara, yaitu Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang, menyetujui keikutsertaan pasangan siswa SMP dan SMA.
…Syukurlah, mereka tidak menolak.
Jujur saja, aku akan merasa kesepian kalau harus ikut sendirian.
Aku benar-benar senang waktu Makoto menawarkan diri, dan sempat menantikan hal ini juga.
Selain itu, pihak SMA Amanuma juga memberikan izin bagi Makoto untuk datang dan menggunakan ruang klub astronomi.
Dengan begitu, kami bisa belajar bersama sepulang sekolah di ruang klub, melakukan pengamatan bintang, membuat video, dan beragam kegiatan lainnya.
Rokuyou-senpai dan Igarashi-san juga menyambut kehadiran Makoto dengan hangat.
Mereka memandang kami berdua dengan tatapan ramah.
Namun… ada satu hal yang mengganjal.
“Hee~, jadi kamu teman Mizuki-chan dari SD, ya?”
“Iya, benar.”
“Kalau dengan Sakamoto, sudah kenal sejak kapan?”
“Kalau main ke rumahnya, baru sekitar 2 tahun terakhir ini.”
“Begitu ya, jadi sejak 2 tahun yang lalu…”
Nito.
Yang jadi masalah adalah Nito, yang datang ke ruang klub di sela-sela latihan.
“Kalau dilihat-lihat… dari semua yang ada di sini, aku yang paling lama kenal dia, mungkin.”
“Iya sih. Tapi, bukan berarti makin lama kenal makin bagus juga, kan.”
“Dibanding pendek, panjang itu lebih baik kok.”
“Begitu…”
“Iya…”
…Eh? Kok sepertinya suasananya tegang?
Entah kenapa… percakapan antara Nito dan Makoto terasa agak kaku?
Yaa, mungkin cuma perasaanku saja.
Secara isi, percakapan mereka biasa saja, dan tidak ada yang membentak atau meninggikan suara juga.
Tapi entah kenapa… atmosfernya terasa sedikit menegang.
Bahkan senyum khas Nito juga terasa agak kaku…
Tolong kumohon…
Makoto sudah berani datang sejauh ini, jadi aku harap mereka bisa akur.
Kalau bisa sih, bersikap ramah sedikit padanya, setidaknya jangan buat dia merasa tidak diterima…
“Hmm… ‘Persamaan Drake’… ‘Paradoks Fermi’… Jadi begitu ya…”
Sementara aku cemas sendiri, Makoto terus serius membaca buku teks ujian Sertifikasi Astronomi.
Pandangan matanya fokus dan penuh semangat, sampai-sampai aku terkejut dia bisa menunjukkan ekspresi seperti itu.
Waktu aku pertama kali sekolah dulu, aku cuma pernah lihat dia main game santai atau menonton video.
Mungkin ini pertama kalinya aku lihat dia benar-benar belajar.
Setelah selesai mempelajari satu bab tentang peradaban luar angkasa, kami memutuskan untuk coba kuis kecil.
Makoto pun mulai mengerjakan soal-soal dari buku latihan bagian tersebut.
Begitu dia selesai menjawab semuanya, aku memeriksa jawabannya dengan melihat kunci jawaban.
“…Eh, hebatttt.”
Tanpa sadar aku mengeluarkan suara takjub.
“Semuanya benar, tanpa ada satu pun yang salah…”
Nilainya sempurna.
Padahal ini soal yang baru saja dia pelajari, dan isinya cukup sulit… tapi Makoto menjawab semuanya dengan benar seolah itu hal biasa.
“Makoto… kau sebenarnya jenius, ya?”
Aku bertanya dengan sedikit gentar, dan dia menjawab ringan,
“Aku tidak tahu juga kalau soal jenius atau tidak. Tapi di SMP, aku biasanya selalu peringkat 1 di tiap ujian.”
“Serius!?”
“Serius.”
Oh… jadi begitu ya…
Waktu aku pertama kali sekolah dulu, aku tidak pernah punya kesan dia anak pintar.
Aku bahkan sempat berpikir dia sama sepertiku, anak yang agak tertinggal… tapi ternyata beda jauh.
Entah kenapa… aku merasa sedikit terpukul.
Kupikir kami senasib sepenanggungan, ternyata dia jauh di atasku.
“…Tapi ya, memang bikin tenang juga sih.”
Aku juga berpikir begitu, jujur saja.
“Awalnya kupikir ini akan berat sekali… tapi mungkin, kita benar-benar bisa lolos.”
Geosains tingkat SMA pasti berat bagi siswa SMP.
Materinya cukup luas, dan waktu menuju ujian cuma sebulan.
Awalnya aku merasa ini misi mustahil.
Bahkan sempat berpikir, paling ujung-ujungnya aku harus ikut ujian sendirian.
Tapi kalau dia bisa sejauh ini…
Kalau dia bisa menunjukkan kemampuan sehebat ini… itu benar-benar meyakinkan.
“Oke! Kalau belajar teori aman, sekarang saatnya…”
Begitu sesi belajar hari pertama selesai, dan bel tanda pulang sekolah berbunyi, aku berkata kepada Makoto,
“Kalau lihat perkembangan sejauh ini, seharusnya kita bisa menyelesaikan semua materi sebelum ujian. Masih belum boleh lengah, tapi setidaknya untuk sekarang kita bisa lega sedikit.”
“Iya, aku juga senang mendengarnya.”
Sambil membereskan alat tulis, Makoto menghela napas lega.
“Sebenarnya aku juga agak khawatir, sih.”
“Ya lalu, meski kita lanjut belajar teori, ada hal lain juga yang harus kita jalani secara paralel…”
Sambil bicara, aku menunjuk ke sudut ruang klub, ke arah teleskop yang terletak di sana,
“Latihan langsung.”
“Maksudnya pengamatan bintang?”
“Iya. Aku ingin Makoto ikut juga dalam pengamatan selanjutnya! Dan juga…”
Aku mengangkat laptop di tanganku,
“Aku ingin kau juga ikut dalam pembuatan video yang biasa kita lakukan──”
*
“──Jadi, ya. Sesuaikan dulu bagian viewfinder-nya ini…”
“Yang kenop di sini, ya?”
“Benar. Itu bisa buat penyesuaian halus, jadi arahkan objek yang ingin dilihat ke tengah tanda silang…”
Beberapa hari setelah Makoto bergabung dan persiapan ujian benar-benar dimulai,
kami berkumpul di atap SMA Amanuma saat hari sudah benar-benar gelap.
Aku, Makoto, Rokuyou-senpai, dan Igarashi-san.
Nito tidak ikut, tapi Chiyoda-sensei juga hadir sebagai guru pembimbing.
“Kalau melihat dari kalender lunar, hari ini usia bulan kira-kira 14 hari ya.”
Sambil menatap ke arah timur, melihat bulan yang hampir purnama, aku berkata pada Makoto.
“Kali ini, sesuai dengan status pemula, kita lihat bulan dulu saja. Itu pun, aku rasa tetap bisa membuat terkesan.”
“Begitu ya…”
“Di dekatnya juga ada Jupiter dan Subaru (gugus bintang Pleiades), jadi nanti bisa coba lihat juga. Nah, mulai besok, kita akan rangkai semua ini jadi video…”
──Pengamatan bintang dan pembuatan video.
Itulah kegiatan utama Klub Astronomi SMA Amanuma.
Keduanya sudah kami lakukan beberapa kali dalam sebulan, dengan ritme yang stabil, hanya berempat sampai sekarang.
Awalnya, semuanya canggung, tak tahu harus mulai dari mana. Tapi sekarang sudah lumayan terbiasa.
Rokuyou-san, Igarashi-san, dan Nito juga, sekarang sudah bisa merakit teleskop dan mengunggah video sendiri-sendiri.
Aku tidak menuntut Makoto sampai sejauh itu,
tapi aku ingin dia melihat bintang secara langsung, dan merasakan sendiri pesonanya.
“Karena nanti juga ada wawancaranya, kan.”
Makoto mengangguk, tampak mengerti.
“Memang benar sih, kalau tidak punya pengalaman seperti ini, omongan kita nanti kurang meyakinkan.”
Waktu menunjukkan lewat pukul 19.00.
Matahari sudah sepenuhnya tenggelam, dan cahaya kota hampir tak sampai ke sini.
Ada sedikit awan, tapi sepertinya tidak terlalu mengganggu pengamatan.
Hanya saja, dinginnya agak menusuk. Karena itu, semua sudah bersiap dengan perlindungan masing-masing.
Sedikit menjauh dari kami, Rokuyou-senpai, Igarashi-san, dan Chiyoda-sensei sedang mengatur teleskop tambahan yang baru dibeli, sambil bercakap dengan semangat tentang perlengkapan baru.
“Ingin coba pakai equatorial mount (dudukan penyangga) juga, ya.”
“Aku itu kagum sekali dengan fitur auto-tracking, lho. Kira-kira bisa beli pakai dana klub tidak ya?”
“Yang begitu mah, tidak akan cukup dananya!”
Mereka pun, awalnya mungkin tak terlalu tertarik pada pengamatan bintang.
Karena ini adalah klub astronomi, mereka ikut hanya karena aku mengajaknya.
Tapi sekarang… mereka terlihat menikmatinya.
Dengan cara mereka sendiri, mereka ingin melihat bintang.
Karena itu, aku ingin Makoto begitu juga.
Gadis ini, yang akan ikut ujian bersamaku,
semoga bisa merasakan pesona dunia ini lewat pengalamannya sendiri.
“Haa… sulit juga ya ternyata.”
Makoto di depanku bergumam sambil mengutak-atik viewfinder.
“Aku pikir… cukup bawa ke atap, intip sedikit, lalu bintangnya langsung cling! Begitu.”
Kelihatan sedikit kehilangan semangat.
Tentu saja, aku tak merasa motivasinya menurun.
Walaupun dia bicara seperti itu, dia tetap berusaha keras mengatur teleskop agar bisa menangkap bulan di viewfinder.
Tapi mungkin karena udara dingin dan pekerjaan yang belum terbiasa, semangatnya sedikit menurun…
…Hmm, ini agak gawat.
Kalau begini, Makoto mungkin tidak akan menikmati pengamatan malam ini.
Setelah cukup lama menghabiskan waktu bersamanya, aku tahu betul sifatnya.
Terlihat tegas dan ceplas-ceplos, tapi sekali dia kehilangan mood, biasanya sulit untuk bangkit kembali.
Karena itu juga, saat main FPS pun performanya tidak stabil.
Begitu kehilangan ritme, sulit mengembalikannya—sering kejadian seperti itu.
…Padahal aku ingin dia menikmatinya.
Kalau bisa, aku ingin pengamatan pertama ini jadi momen di mana dia merasakan keindahan bintang dan luar angkasa…
“Y-ya… kalau sudah terbiasa, semua ini akan terasa gampang, kok!”
Aku buru-buru mengucapkan kata-kata yang bahkan tak terdengar meyakinkan.
“Awalnya semua juga sulit, kan? …Jadi bagaimana? Sudah berhasil disesuaikan?”
“Ya, coba lihat ini bagaimana?”
“Coba kulihat… oh, itu bagus.”
Aku mengintip ke viewfinder dan memastikan bulan ada tepat di tengah.
Sudah cukup lama sejak dia mulai melakukan penyesuaian.
Matanya pun pasti sudah mulai terbiasa dengan kegelapan.
Bisa dibilang, ini adalah kondisi terbaik.
Tapi yah… kali ini, aku akan mencoba untuk tidak berharap terlalu banyak.
Sambil menatap Makoto yang sedang mengintip lensa, aku mengembuskan napas.
Kalau Makoto sudah begini, agak sulit membayangkan dia akan memuji atau merasa tersentuh.
Dia mungkin tak akan sampai berkata “Biasa saja” dengan nada sinis,
tapi kemungkinan besar dia akan mengakhiri ini dengan perasaan “Oh, cuma segini ya.”
Tapi tidak perlu terburu-buru.
Untuk lulus ujian, sebenarnya tidak harus “suka sekali dengan bintang.”
Selama dia dapat pengalaman dan pengetahuan dasar, kita bisa pikirkan jalan keluarnya nanti…
“…Makoto?”
Sampai di situ pikiranku, dan aku menyadari sesuatu yang aneh.
“Kenapa? Ada apa?”
Makoto masih menatap ke dalam lensa.
Sudah lebih dari satu menit sejak dia mengambil posisi itu.
Namun, dia tak bergerak sedikit pun.
Seolah terkena sihir penghenti waktu, tak bergerak barang 1 mm pun.
“Hei, ada apa sebenarnya…?”
Merasa khawatir, aku menyentuh punggungnya.
“Kalau sulit untuk melihatnya, pengaturannya bisa kita ubah──”
──Dia menoleh.
Makoto menoleh ke arahku.
Lalu,
“Ini…”
Dengan wajah sangat serius, dia bertanya,
“Yang terlihat lewat teleskop ini… itu memang bulan yang asli, kan?”
“…Eh, ya… tentu saja?”
“Bukan video atau foto, ini memang bulan yang ada di sana, sekarang, kan? Dalam waktu yang nyata?”
“Ah, iya… ya, kurang lebih begitu.”
Aku mengangguk, lalu mengingat sesuatu dan berkata,
“Sebenarnya, butuh sedikit waktu bagi cahaya untuk sampai ke sini, jadi ada delay sekitar 1,3 detik. Tapi, ya, itu bulan asli, kok.”
Setelah aku menjawab begitu, Makoto menyatukan kedua tangannya di depan dada.
Dan──
“…Waaah…”
──Di matanya, cahaya bagaikan galaksi berkelip.
Wajah yang biasanya kaku kini melunak, dan dengan suara lembut dia berkata:
“Indah sekali…”
Makoto kembali menatap ke dalam lensa teleskop.
“Jadi ini… bulan yang benar-benar ada di sana, saat ini…”
──Suaranya menggema.
Aku merasakannya dengan jelas.
Nada suaranya, ekspresinya, sorot matanya yang sedikit berkaca-kaca…
Pemandangan yang dilihat lewat teleskop itu telah menyentuh hati Makoto.
“Indah sekali… bisa sejelas ini…”
…Aku pun pernah merasakan hal yang sama.
Saat melihat langit malam di Ogikubo bersama keluargaku.
Hari itu aku menatap bintang, dan hati ini diguncang oleh sesuatu yang luar biasa.
Makoto pun sekarang, pasti merasakan hal yang sama seperti yang dulu kurasakan──
“…Kita juga bisa ubah perbesarannya, lho.”
Dengan menahan rasa senang yang memuncak, aku berusaha untuk tetap bersikap tenang dan berkata:
“Kalau diperbesar sedikit lagi, kita bisa melihat kawah-kawahnya juga.”
“Aku mau coba!”
Makoto menjawab penuh semangat.
Aku pun membantu mengatur ulang teleskop.
Dan ketika dia kembali menatap ke dalam lensa──
“…Ooh.”
Sambil menghela napas panjang, dia berbisik begitu.
“Permukaannya… terlihat jelas sekali. Ada benda seperti ini di luar sana…”
──Aku bisa merasakan kekagumannya dengan begitu nyata.
Segala hal tentang luar angkasa, yang sudah dipelajari berkali-kali lewat video, ensiklopedia, atau pelajaran di sekolah.
Tentang planet-planet, bintang-bintang, satelit-satelit, dan waktu yang telah mengalir begitu lama.
Namun semuanya terasa seperti kisah khayalan.
Seolah itu hanyalah dunia yang terpisah sepenuhnya dari kehidupan sehari-hari.
Seolah tidak ada hubungannya dengan diriku sendiri.
Tapi──pengamatan bintang mengajarkan satu hal.
Bahwa alam semesta itu terbentang luas di atas kepala kita.
Bahwa kita, hanyalah satu bagian kecil dari alam semesta yang luar biasa ini.
Dan mungkin, perasaan itu… kadang cukup kuat untuk mengubah hidup seseorang──
“…Haaah…”
Makoto mengangkat wajahnya dari lensa, menghela napas dalam-dalam.
Lalu, seperti kehilangan kekuatan, dia duduk bersimpuh di tempat.
“…Aku mungkin belum bisa bilang kalau aku benar-benar mengerti perasaan itu,”
gumamnya lirih tanpa menatapku.
“Baru sekali melihat bulan, belum pantas juga bicara besar…”
Kemudian dia mendongak, menatap ke arahku.
Senyuman kecil mengembang di wajahnya.
Senyum itu—sama seperti yang dulu pernah dia tunjukkan padaku, dalam kehidupan SMA pertama kami.
“Aku rasa… aku bisa sedikit membayangkan, kenapa Senpai ingin menemukan bintang.”
“…Begitu ya.”
Hatiku dipenuhi rasa bahagia yang meluap, dan aku mengangguk padanya.
“Kalau begitu… aku senang. Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Sambil saling menatap, kami berdua pun mendongak melihat bulan bersama-sama.
Tiba-tiba saja, aku merasa yakin akan satu hal──
Bahwa pemandangan seperti ini.
Pemandangan yang tampak biasa tapi penuh makna seperti ini,
akan menjadi kenangan yang sangat berharga untuk diriku di 10 atau 20 tahun mendatang.
*
──Mulai keesokan harinya.
Kami langsung mulai menyusun video dari rekaman pengamatan bintang malam sebelumnya.
Itu pekerjaan yang sudah biasa, dan aku memang berniat mengajarkannya perlahan pada Makoto.
Tapi──sesuatu yang tak terduga terjadi.
“──Bagaimana kalau kita menegaskan kembali tujuan proyek ini pada penonton?”
“──Selain mencari bintang, bagaimana kalau kita angkat juga tema partisipasi dalam ‘Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang’?”
“──Untuk pengeditan videonya, kurasa bisa dibuat lebih menarik lagi.”
“──Lihat ini, channel yang ini bisa dijadikan referensi.”
──Makoto mulai menunjukkan bakatnya.
Tiba-tiba saja, dia mengusulkan berbagai ide penyutradaraan pada kami.
Dan semuanya adalah saran yang bagus. Begitu direalisasikan, kualitas video kami meningkat drastis.
Kalau orang awam melihatnya, mereka mungkin akan mengira ini buatan seorang kreator video profesional tingkat menengah.
Saat kami menonton hasil jadinya bersama-sama,
“Eh, kualitasnya naik drastis sekali, ya…”
“Makoto-chan kamu sangat hebat sekali…”
Bahkan Rokuyou-senpai dan Igarashi-san sampai tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka.
Dan memang… dari sudut pandangku sendiri, hasilnya sangat mengejutkan.
Ritmenya pas, tidak terlalu cepat atau lambat, dengan teks (subtitle) yang disisipkan dengan rapi dan jelas.
BGM gratis yang digunakan juga berhasil memperkuat suasana, dan yang paling menonjol adalah narasi Makoto sendiri.
Suaranya yang sedikit serak tapi lembut dan manis, sangat cocok dengan gambar bulan dan bintang yang ditampilkan.
“Mendapat pujian seperti ini… aku jadi malu…”
Makoto menggeliat canggung, menundukkan kepala dengan ekspresi tegang.
Sepertinya dia agak malu mendengar pujian.
“Aku senang kalau bisa sedikit membantu…”
“Kurasa… video ini akan dapat banyak penonton.”
Sambil menyilangkan tangan dan menatap ke arah layar, aku bergumam.
“Sampai sekarang, video kita paling banyak ditonton 200 kali. Kebanyakan yang menonton pun kenalan sendiri… Tapi kalau seperti ini, bisa-bisa mulai menarik penonton sungguhan…”
Selama ini, jumlah penonton video kami sangat terbatas.
Video itu hanya semacam laporan kegiatan, agar pihak sekolah tahu bahwa klub kami masih aktif.
Namun… dengan kualitas seperti ini,
kalau ke depannya kami terus membuat video sebagus ini, mungkin kami bisa benar-benar menjangkau orang-orang yang memang menyukai konten bertema luar angkasa──
“──Giiiriittt…!”
──Tiba-tiba terdengar suara tak menyenangkan.
Suara mencurigakan datang dari belakang, mengusik suasana yang damai.
Penuh firasat buruk, aku perlahan menoleh ke belakang.
“……Hii!”
──Tentu saja. Di sana berdiri Nito.
Seperti biasa, dia menyempatkan diri datang di sela-sela jadwal latihan.
Wajahnya masam seolah baru saja mengunyah serangga.
“…Y-ya, cukup bagus juga, kan!?”
Dengan nada tinggi dan sok percaya diri, Nito berseru.
“Editing-nya? Lumayan oke, sih. Suaranya juga imut, cocok-cocok saja, kan?”
……Ada apa sebenarnya dia!?
Apa dia lagi-lagi merasa harus bersaing?
Kenapa selalu harus bertarung dengan Makoto!?
Dari kemarin kenapa sikapnya begini terus!? Tidak perlu bersaing segala juga bisa, kan!?
Meski begitu, Makoto tetap Makoto.
“…Terima kasih.”
Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Nito, dia menjawab dengan wajah datar.
Lalu menambahkan,
“Membuat video ternyata tidak sesulit yang aku kira, ya.”
Secara tak terduga, Makoto malah mulai berkata sesuatu yang terkesan menyindir.
“Setelah menonton video-video buatan Nito-senpai, aku pikir pembuatannya pasti merepotkan. Tapi ternyata, malah lebih gampang dari yang kuduga.”
“…Be-begitu ya?”
Dengan wajah setengah kesal, Nito mencoba tetap terlihat tenang meski jelas tersinggung.
“Y-ya, mungkin memang begitu!? Tapi skalanya beda ya!? MV-ku yang pertama itu, sekarang penontonnya hampir tembus 10 juta, tahu!?”
“Tapi bukankah itu dibuat oleh staf profesional?”
“Aku juga kasih masukan, tahu! Aku bilang, ‘aku mau nuansa seperti ini’, dan segala macam!”
“Fufu… Kalau begitu, tetap saja bukan buatan sendiri, kan…”
“Stop, stop!”
Igarashi-san menyela di antara mereka berdua.
“Ya ampun, Chika, Makoto-chan, tenang dulu! Sekarang itu bukan saatnya saling sikut seperti ini!”
“…Mm, mmm.”
“…Ya, maaf.”
“Dan kamu juga, Sakamoto!”
Igarashi-san lalu menoleh ke arahku.
“Ini semua salahmu, jadi tanggung jawablah buat beresin!”
“…Eh? Aku!?”
Aku tak bisa menahan diri untuk mengeluarkan suara kaget.
“Kenapa ujung-ujungnya malah salahku!?”
“Bukankah itu sudah jelas!”
“Ini mah cuma kecelakaan yang menyeretku saja, kan!?”
Yah… sebenarnya aku juga agak sadar sih.
Nito mungkin jadi kesal karena aku terlalu banyak memuji Makoto.
Dan Makoto, entah kenapa, malah membalas sindiran Nito tanpa menahan diri…
Tapi apa iya itu semua salahku? Rasanya terlalu berat sebelah…
“Yah, anggap saja begitu kalau aku yang bicara.”
Dengan senyum akrab, Igarashi-san melanjutkan.
“Ini kan aku, sahabatmu yang bilang. Jadi tolong pikirkan sedikit, ya.”
“Ugh…”
“Aku juga setuju,” tambah Rokuyou-senpai yang tiba-tiba ikut bicara.
“Bisa bersikap bijak dalam situasi begini, itu juga bagian dari tugas partner-ku.”
“Ughhh…”
“Pasti akan sulit, tapi semangat, ya.”
Seperti biasa, tuntutan mereka berat sekali.
Aku yang biasanya kurang peka, merasa ini agak di luar kemampuan.
Tapi kalau dua orang ini yang bilang, entah kenapa aku merasa harus menuruti.
Mereka memanggilku ‘sahabat’, ‘partner’—dan entah kenapa, hatiku jadi hangat mendengarnya.
“…Yah, baiklah akan kucoba.”
Aku menghela napas dan menjawab begitu.
Mereka berdua ini memang benar-benar tahu cara memperlakukanku…
*
Dan tentu saja──video yang diproduksi oleh Makoto pun meledak.
Dalam sekejap, jumlah penontonnya menembus 1.000, dan beberapa hari kemudian sudah mencapai 1.800.
Kolom komentar yang sebelumnya kosong, kini mulai dipenuhi tanggapan dari para penonton.
Ini bagus, pikir kami semua, dan semangat kami pun melonjak.
Minggu berikutnya, kami langsung melakukan pengamatan bintang lagi.
Video hasil dari pengamatan itu juga mendapat sambutan hangat, dan proyek ini terus berkembang makin besar.
Lalu──beberapa malam setelah itu. Beberapa menit lewat tengah malam.
“Meski begitu… tetap saja, ini luar biasa ya…”
Sendirian di kamar, aku duduk di depan komputer sambil memutar ulang videonya.
“Gaya editing-nya, ritmenya… tidak kelihatan kalau itu buatan orang yang baru pertama kali buat.”
Sebagai penonton biasa pun, aku bisa menikmatinya.
Padahal aku bagian dari tim produksi, tapi aku merasa video ini benar-benar menarik sebagai sebuah konten.
Ini pertama kalinya aku merasakan hal seperti itu.
Tapi…
“…Hmm… rasanya, ada sesuatu yang aku lupakan, ya…?”
Dia memakai pakaian tidur model one-piece yang berbulu lembut—penampilannya benar-benar gaya santai untuk di rumah.
“Mizuki sudah tidur duluan, tapi aku masih belum mengantuk. Boleh aku di sini sebentar?”
“Oh, tidak masalah. Aku juga belum tidur kok.”
“Terima kasih.”
Hari ini──Makoto sedang menginap di rumahku.
Dia sedang menginap di rumahku untuk main, seperti saat-saat dulu.
Kalau diingat-ingat, waktu aku masih menjalani kehidupan SMA pertamaku, dia juga pernah datang menginap seperti ini.
Waktu itu kami belum sedekat sekarang, jadi dia tidak pernah sampai datang ke kamarku seperti ini.
“…Terima kasih, ya.”
Entah kenapa, aku merasa senang, lalu mengucapkannya pada Makoto.
“Karena sudah berteman baik dengan Mizuki. Dia itu anaknya suka bengong, jadi kalau punya teman sepertimu, aku juga lebih tenang.”
“Ah, tidak… justru aku yang harusnya berterima kasih.”
Sambil duduk di ranjang dan membuka manga dari rak bukuku, Makoto tersenyum dan menggeleng pelan.
“Bahkan hari ini pun, aku merasa Mizuki yang menolongku. Dia yang bilang, ‘Kamu menginap saja,’ dan memikirkan perasaanku.”
“…Perasaanmu?”
“Aku… agak kurang betah di rumah,”
ujar Makoto sambil tersenyum kecil dan mengembuskan napas pelan.
“Kadang, Mizuki suka mengajakku keluar seperti ini…”
Ngomong-ngomong, dulu Mizuki juga sempat cerita soal itu.
Tentang rumah Makoto, yang katanya “begitulah”, atau semacamnya.
Selama ini aku tidak pernah benar-benar menyentuh urusan keluarga Makoto.
Bahkan di kehidupan SMA pertamaku pun, dia tidak pernah bicara soal orang tua atau keluarganya.
Mungkinkah ada masalah? Meski secara kasat mata, Makoto tak tampak seperti seseorang yang sedang memikul beban berat…
Dia hanya terlihat seperti gadis otaku yang agak kaku dan tak terlalu ramah.
Memang, kadang tindakannya sulit ditebak, tapi…
“…Hm?”
Sampai di situ pikiranku berhenti.
Kata “tindakan sulit ditebak” memicu sesuatu dalam ingatanku──dan saat itulah aku sadar.
“Ah iya…!”
Aku berdiri dari kursi dan berteriak.
“Aku tahu sekarang! Kenapa Makoto bisa sehebat itu dalam editing video!”
“…Hah?”
Ya, ada alasannya.
Alasan yang sangat jelas──dan entah kenapa, aku sempat melupakannya.
Tapi itu jelas-jelas sesuatu yang pasti telah membentuk dirinya sekarang.
Aku menatap Makoto yang terlihat bingung dan menunjukkan senyum penuh keyakinan.
“──Akuta Makoto!”
Aku menyebutnya lantang.
“──Itu dia! Vtuber ‘Mako Channel’ Akuta Makoto!”
Tidak salah lagi.
Itu adalah sesuatu yang diceritakan oleh Makoto dari masa depan padaku.
Bahwa sebenarnya, dia pernah diam-diam menjadi seorang VTuber.
Dan kalau aku menyebutkan itu, versi masa lalunya—Makoto yang sekarang—akan percaya bahwa aku benar-benar melakukan perjalanan waktu.
“Itu alasannya! Kenapa kau sudah terbiasa dengan editing video…”
Makoto pernah mengedit video.
Bukan hanya itu──dia pernah mengunggah video sebagai seorang VTuber, bagian dari tren paling kekinian di YouTube.
“Dengan pengalaman itu, kau bisa membuat video dengan kualitas tinggi dan sesuai tren sekarang…!”
Rasanya benar-benar memuaskan.
Seperti teka-teki yang akhirnya terpecahkan.
Eureka (aha)! Ini benar-benar momen “aku mengerti!” yang menggembirakan.
Namun…
“…Makoto?”
Saat aku melihat ke arahnya, Makoto sedang duduk di atas tempat tidur, menunduk, dan tubuhnya sedikit gemetar.
“…T-tolong… jangan bilang-bilang…”
Ujarnya dengan suara bergetar.
Lalu──dia mengangkat wajahnya dan menatapku.
“Masalah VTuber itu… tolong jangan pernah menyebutkan itu lagi!”
“Eh? Kenapa!? Bukankah itu hebat? Kau dapat skill dari situ!”
“Tapi itu… itu bagian dari masa laluku yang kelam! Aku tidak mau mengingatnya lagi!”
“Eh, tidak begitu juga! Banyak orang yang ingin mencoba jadi VTuber, tahu!”
“Justru karena itu aku malu!”
“Tapi, kau sudah mencobanya kan! Itu keren! Harusnya kau bangga──”
“──Ugh, sudah cukup! Diam!”
teriaknya sambil berdiri dengan wajah yang nyaris menangis.
“Kalau kamu menyebutkan itu lagi──aku akan berhenti ikut ujian!”
Kata-katanya itu membuatku langsung bungkam.
Mengejar partisipasi ‘Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang’ sendirian akan terlalu sepi.
“…Maaf…”
Dengan suara kecil dan penuh penyesalan, aku berlutut dan membungkuk padanya.
“Jangan berhenti ikut ujiannya, ya… kumohon…”
*
Beberapa waktu setelah kejadian itu──
Sore hari di hari sekolah, tak lama sebelum matahari terbenam.
Aku dan Makoto sedang berjalan di sekitar Stasiun Ichinoe di Jalur Toei Shinjuku, sambil sesekali memeriksa peta di ponsel.
“A-agak gugup juga ya rasanya…”
“Aku juga…”
“Pertama kali datang ke daerah ini, dan masuk ke sekolah lain pula. Jarang sekali kejadian begini…”
“Kita juga tidak mengenal siapa-siapa di sana, kan…”
Kulihat sekeliling, dan langsung terasa perbedaan suasana dibandingkan Ogikubo, tempat kami tinggal.
Jalanan lebar terbentang di sisi kami, diapit bangunan-bangunan kotak yang berdiri dengan jarak rapi.
Berbeda jauh dengan kampung halaman yang terasa berantakan, di sini semuanya terlihat rapi, bahkan sedikit dingin.
Mungkin itu sebabnya aku merasa sedikit gugup, seolah tanah yang kupijak terasa kurang stabil.
──SMA Negeri Harue.
Karena suatu alasan, hari ini kami sedang menuju sekolah tersebut yang katanya terletak di daerah ini.
Beberapa hari yang lalu, kami mendapat komentar dari ketua klub astronomi SMA Harue di salah satu video kami.
Komentarnya seperti ini:
“Salam kenal. Aku Nanamori, ketua Klub Astronomi SMA Negeri Harue. Kami juga sedang menargetkan untuk ikut serta dalam ‘Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang’, jadi aku meninggalkan komentar ini. Video kalian sangat bagus! Sebagai sesama yang punya tujuan yang sama, mari saling mendorong dan berkembang bersama!”
──Aku benar-benar kaget saat itu.
Ini kali pertama ada orang asing—bukan kenalan—yang meninggalkan komentar seperti itu.
Ya, sih, pernah juga dapat reply dari orang asing di Twitter (sekarang X),
tapi itu soal game mobile, dan hanya saling membalas reply sebentar, itu pun tanpa tahu siapa sebenarnya lawannya.
Apalagi, waktu itu cuma saling menyindir saja.
Makanya komentar ini terasa berbeda. Mengejutkan sekaligus bikin senang.
Butuh waktu puluhan menit buatku membalasnya… dengan gugup.
Lalu entah bagaimana, aku dan Nanamori-san jadi tukar kontak LINE.
Setelah beberapa kali mengobrol santai, dia pun mengundang kami:
“Kalau mau, main saja ke sekolah kami.”
“Ah, itu dia,” kataku.
“Wah, jadi itu bangunannya?” sahut Makoto.
Dari balik celah bangunan di seberang jalan, terlihat gedung sekolah SMA Harue.
Gedung tua yang warnanya menguning, mirip seperti SMA Amanuma.
Dinding krem pudar dan penopang tambahan untuk penguatan gempa terlihat menempel di beberapa sudut.
Aku merasa sedikit lega.
Sekolah Negeri, dari luar sih rata-rata bentuknya mirip-mirip.
Tapi──di antara bangunan itu, ada satu fasilitas yang benar-benar tak biasa.
“…Wah, itu kubah observatorium!”
“Itu dia…!”
Nada bicara kami langsung naik penuh semangat.
──Kubah observatorium.
Bangunan berbentuk setengah bola yang digunakan untuk pengamatan langit.
Dan ternyata, SMA Harue benar-benar punya fasilitas itu.
Kami sudah tahu keberadaannya dari situs sekolah mereka.
Waktu itu, kami hanya bisa iri dan bilang,
“Wah, enak sekali ya…”
Tapi sekarang, melihat langsung dengan mata kepala sendiri, rasa irinya jadi berkali-kali lipat.
Gugh… gugh…!
“Aku penasaran seperti apa di dalamnya…”
Makoto tampak masih cemas saat melangkah menuju sekolah.
“Klub astronomi SMA Harue lumayan besar, ya? Seperti apa ketua klubnya…”
Menurut Nanamori-san, jumlah anggota klub astronomi mereka ada 31 orang.
Dengan kata lain… delapan kali lipat dari klub kami yang cuma berempat di SMA Amanuma.
Besar sekali, kan!?
Selain itu, katanya kegiatan mereka juga aktif, dan pertunjukan planetarium saat festival budaya selalu ramai.
Fasilitasnya lengkap, bahkan ada alumni yang dikenal di kalangan astronomi amatir.
Pokoknya, mereka itu klub astronomi elite, bisa dibilang begitu.
“Iya, seperti apa orangnya ya…”
Aku mengangguk, mengingat gaya tulisannya.
“Kalau dari cara penulisannya sih, kesannya seperti otaku astronomi yang ramah dan sopan…”
Tulisan Nanamori-san memang terasa lembut.
Tapi di balik kelembutan itu, terasa juga ketegasan dan pengetahuan yang dalam.
Dia bukan cuma orang biasa──dan jujur saja, dia adalah rival kami.
‘Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang’ hanya menerima yang benar-benar serius.
Kami akan bersaing untuk masuk, jadi dia juga… bisa jadi lawan kami.
Menyenangkan sih, tapi entah kenapa, jantungku tetap berdebar-debar tak karuan.
*
“──Selamat datang di SMA Negeri Harue!”
Ternyata, orangnya jauh lebih ramah daripada yang kukira.
“Aku Nanamori Takuya, ketua klub astronomi yang pernah meninggalkan komentar di videomu.”
Kami diterima di pintu masuk khusus tamu.
Nanamori-san, yang datang menyambut bersama beberapa anggota klub, adalah siswa laki-laki yang memberi kesan seperti kakak laki-laki tipe anak IPA yang lembut.
Dia siswa kelas 2. Artinya, 1 tahun di atasku, tapi sama sekali tidak memberi kesan menekan.
Berkacamata hitam tebal dengan potongan rambut mash lurus.
Kulitnya putih, wajahnya halus, dan ekspresinya memancarkan kesan cerdas.
Dengan alis yang tampak tegas, ia menunjukkan ekspresi sedikit menyesal.
“Dari Ogikubo, lumayan jauh, ya?” tanyanya dengan sopan.
“Maaf sudah merepotkan kalian untuk datang jauh-jauh…”
“Ah, tidak, kami juga sangat ingin berkunjung balik kok!”
Aku buru-buru menggeleng dan menjawab seperti itu.
“Terima kasih banyak sudah mengundang kami! Aku Sakamoto Meguri, kelas 1 dari SMA Amanuma… dan ini, Akutagawa Makoto dari kelas 3 SMP Shimendou.”
“Salam kenal…”
“Hm hm, jadi kalian Sakamoto-kun dan Akutagawa-san, ya,”
kata Nanamori sambil melihat wajah kami satu per satu lalu mengangguk senang.
“Kalau begitu, langsung saja, aku akan mengantar kalian. Ayo!”
“Y-ya!”
“Mohon kerja samanya!”
Dan begitu, kami mulai berjalan mengikuti Nanamori-san.
“──Wah, senang sekali ya, bisa bertukar pengalaman dengan klub astronomi sekolah lain.”
Saat menaiki tangga menuju ruang klub, Nanamori-san menoleh ke arah kami.
“Jarang sekali kami punya kesempatan seperti ini, jadi aku dari dulu ingin sekali mengobrol dengan anak-anak dari sekolah lain…”
“Ah, iya juga, ya.”
Aku mengangguk-angguk mendengar itu.
“Soalnya kan tidak ada turnamen rutin atau semacamnya. Jadi sulit buat bisa interaksi dengan klub dari sekolah lain, ya.”
“Makanya, saat menemukan videomu itu aku senang sekali! Editannya sangat bagus, dan ternyata kita juga punya tujuan yang sama.”
“Terima kasih banyak!”
Lalu Nanamori-san menoleh ke arah Makoto.
“Yang mengedit video itu, Akutagawa-san, ya?”
“Ah, iya. Walau masih belajar sih…”
“Nanti ajari aku ya, soalnya channel kami belum begitu aktif…”
Sambil bercakap-cakap begitu, kami pun sampai di tempat tujuan.
Kami berhenti di depan sebuah kelas di lantai empat, gedung utara tempat ruang-ruang klub berada.
“Kalau begitu, selamat datang di klub astronomi kami.”
Katanya begitu sambil mempersilakan kami masuk ke ruangan.
“W-wow…”
“Luar biasa…”
Kami berdua tak bisa menahan kekaguman yang tumpah begitu saja.
──Ruangannya penuh semangat.
Itulah kesan pertama yang paling kuat.
Berbeda jauh dengan ruang klub kami yang sempit, ruang ini luas seperti ruang kelas biasa, dan dipenuhi banyak siswa.
Mereka terbagi dalam beberapa kelompok, ada yang mengutak-atik komputer, ada yang merawat peralatan, dan ada pula yang sedang berdiskusi serius.
Di dinding tergantung banyak dokumen dan catatan, dan papan tulis penuh dengan jadwal kegiatan.
Di atas meja dekat kami, beberapa foto benda langit tersusun rapi—sepertinya hasil jepretan para anggota klub.
“…Beda sekali, ya.”
Tanpa sadar, aku berbisik begitu.
Berbeda jauh dengan kami yang cuma kumpul-kumpul di ruangan sempit sambil malas-malasan.
Suasana, pemandangan, segalanya terasa sangat berbeda.
Dengan semangat dan ketegangan yang terasa jelas, mereka tampak benar-benar seperti ‘klub budaya unggulan’.
“Klub kami dibagi dalam beberapa tim,” jelas Nanamori-san sambil berjalan di antara para anggota.
“Ada tim planet, tim bintang variabel, tim matahari… semuanya dibagi sesuai minat riset masing-masing. Tapi ya tidak seketat itu, kok. Ada juga yang pindah-pindah atau gabung beberapa tim.”
Sambil menyimak penjelasan itu, beberapa anggota yang menyadari kehadiran kami menyapa dengan “Selamat datang!” sambil tersenyum.
Suasana yang penuh sambutan itu entah kenapa membuatku duduk tegak tanpa sadar.
“Peralatannya seperti ini.”
“Wah, hebat…”
Kami dipersilakan masuk ke ruang penyimpanan peralatan, dan diperlihatkan satu per satu isinya.
Teleskop refraktor dan reflektor kualitas tinggi. Equatorial mount dengan pelacakan otomatis.
Sleeping bag, matras, teropong.
Laptop, software, dan perlengkapan lain yang dibutuhkan untuk pengamatan bintang—semuanya lengkap.
“Wahh… ini hebat…”
Aku tak bisa menahan suara kagum dan agak miris.
“Klub kami itu alatnya masih sangat kurang. Ini dibeli dari dana klub, ya?”
“Ah, ada juga yang dari itu sih… kami punya banyak alumni yang sangat peduli.”
Nanamori-san mengambil majalah klub lama dari rak, sekitar 10 tahun lalu, dan berkata,
“Dari klub kami, kadang ada yang jadi peneliti astronomi atau pengamat amatir terkenal. Orang-orang itu sering memberi donasi rutin ke klub. Bahkan biaya perawatan kubah observatorium di atap juga mereka yang tanggung…”
“Eh!? Alumni!?”
“Hebat, ya…”
“Benar-benar tidak cukup kata-kata untuk mengungkapkan rasa terima kasih ini.”
Ucapnya penuh rasa syukur, sambil bersikap bercanda sedikit dan menangkupkan tangan ke arah buku-buku lama di rak.
Gerakan konyol dari orang yang serius ini malah membuatku dan Makoto tersenyum kecil.
“SMA Amanuma, klub astronominya baru dibentuk, ya?”
“Ah iya, lebih tepatnya kami membentuk ulang sih…”
Aku pun menjelaskan situasi kami pada Nanamori-san.
Saat aku masuk sekolah, aku satu-satunya anggota.
Dengan susah payah mencari teman dan membangun kembali klub sebagai sebuah kelompok resmi.
Sejak itu, kami mulai aktif melakukan pengamatan dan kegiatan, lalu tahu tentang ‘Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang’ dan ingin ikut bergabung.
“……Aku paham. Keren sekali, ya.”
Dengan suara bersemangat, Nanamori-san mengangguk dalam-dalam.
“Bertemu orang-orang yang punya semangat seperti itu, aku benar-benar senang sekali.”
“Begitu juga kami.”
“Ngomong-ngomong… sepertinya matahari sudah tenggelam, ya.”
Aku baru sadar saat dia mengatakannya—langit di luar jendela sudah benar-benar gelap.
Waktu sudah lewat pukul 16:30.
Karena sekarang sudah masuk Desember, memang segelap ini di jam segini.
“Kalau begitu… ayo kita pergi.”
Nanamori-san berkata begitu dengan senyum penuh makna.
“Pergi? ke mana?” tanyaku.
“Tentu saja──”
Dia menunjuk ke langit-langit, dan menjawab dengan suara yang terdengar penuh kebanggaan:
“──Ke kubah observatorium, untuk melihat bintang bersama-sama.”
*
Kami akhirnya sampai di atap SMA Negeri Harue.
Di sana berdiri kubah observatorium, dan aku serta Makoto sama-sama tak bisa menyembunyikan rasa gembira.
Kubah itu berdiameter sekitar 3 m. Sebuah ruang yang dibangun semata-mata untuk mengamati bintang.
Aku dan Makoto bergiliran mengintip ke dalam teleskop.
Lingkungan seperti ini tidak ada di sekolah kami. Begitu pula dengan peralatannya.
Gambaran permukaan planet yang tak terlihat biasanya, galaksi dan nebula yang jauh──
Sungguh, aku bersyukur kami bisa datang ke SMA Harue. Senang bisa mengenal Nanamori-san…
Karena aku benar-benar merasakan hal itu dari lubuk hati, aku pun bertanya padanya:
“…Kenapa, kalian memperlakukan kami sebaik ini?”
Makoto sedang asyik mengintip teleskop, tak terganggu dunia sekitarnya.
Sementara itu, Nanamori-san menatapnya dari belakang dengan senyum lembut. Aku bertanya padanya.
“Ada klub astronomi lain juga kan, yang mengunggah video? Bahkan ada yang lebih besar dari kami.”
Faktanya, aku juga sering melihat video-video dari klub lain.
Ada beberapa klub yang jelas-jelas lebih aktif daripada kami di SMA Amanuma.
“Jadi kenapa, dari semua itu, kalian justru mengundang kami?”
Dari yang kudengar, mereka belum pernah mengundang sekolah lain untuk kerja sama.
Lalu kenapa memilih kami…?
“Hmm… begitu ya.”
Nanamori-san tampak berpikir sejenak.
“Kalau harus jujur… pertama yang menarik perhatianku adalah kualitas videonya. Video buatan anak SMA biasanya sederhana. Tapi video kalian dibuat dengan sangat baik, itu menarik sekali, dan jadi pintu awalnya.”
“Ah… ya, memang.”
Tentu saja.
Kalau ada daya tarik utama dari video kami, itu pasti soal kualitas editing.
Bahkan di antara sekolah unggulan sekalipun, aku belum pernah lihat yang sekeren video kami. Aku mengerti alasannya.
“Tapi,” lanjut Nanamori-san,
“Dari situ, aku menonton semua video kalian, dari awal sampai akhir. Video pertama, laporan kegiatan pengamatan harian, bahkan obrolan-obrolan ringan di antaranya, semuanya.”
“Wah, sungguh? Terima kasih banyak…!”
“Dan Sakamoto-kun, kau pernah bilang, kan?”
Sambil menatap langit, dia berkata:
“Kau pernah bilang, waktu kecil kau sangat terkesan melihat langit berbintang. Bahwa kejutan itu masih tertanam dalam dirimu… dan karena itu kau ingin memberi nama pada bintang.”
──Langit malam yang kulihat sewaktu kecil.
Ya, aku memang pernah mengatakan hal itu di salah satu video.
Sebenarnya, bukan karena ada alasan kuat.
Hanya karena ingin mengisi durasi video, begitu kesannya saat itu.
Tapi,
“Aku juga… punya pengalaman yang sama.”
Nanamori-san mengalihkan pandangannya padaku.
Dengan suara tenang, seolah berbicara pada sahabat lama, ia melanjutkan:
“Waktu itu, di malam hari saat perkemahan sekolah. Aku menatap langit berbintang dan merasa begitu takjub. Saat itu aku berpikir: ‘Aku ingin jadi orang yang paling memahami bintang ini di dunia.’”
Saat mendengarnya──pemandangan langsung muncul dalam benakku.
Nanamori-san kecil, saat masih SD. Menatap langit malam di pegunungan.
Mata kecil yang bersinar dalam kegelapan.
“Itulah sebabnya… aku tahu ini mungkin terdengar agak akrab atau lancang…”
Dia menggaruk pipi dengan malu,
“…Tapi aku merasa, aku telah menemukan… seorang teman.”
Dengan suara pelan, ia melanjutkan tanpa menatapku secara langsung:
“Di dunia yang luas ini, aku merasa seperti telah menemukan teman yang istimewa…”
“Begitu ya…”
Kata-kata itu──membuat dadaku berdegup aneh.
Jantungku rasanya tidak pada tempatnya.
Aku senyum-senyum sendiri karena senang, tapi juga malu karena tak bisa menatap wajah Nanamori-san.
“Aku senang mendengarnya… sungguh…”
“Tidak, aku juga… maaf ya, jadi cerita yang aneh…”
“Eh, tidak! Itu bukan cerita yang aneh kok, sama sekali tidak…”
“O-oh, begitu ya…”
Sementara kami masih saling berbicara canggung seperti itu──
“…Hm?”
Makoto menoleh ke belakang dengan ekspresi heran.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa kalian bertingkah aneh?”
“Ti-tidak, tidak ada apa-apa!”
“Be-benar, Akutagawa-san…”
“Hmm…”
Makoto masih menatap kami dengan mata menyipit curiga.
Lalu, pandangannya mengarah padaku, dan ia bertanya:
“…Jangan-jangan, selingkuh? Kamu sudah punya Nito-senpai tapi kamu malah… selingkuh, ya?”
“M-mana mungkin!!”
Suara teriakku menggema di langit SMA Harue.
“Ini bukan… bukan hal yang seperti itu, kok!”
Dan di sebelahku──
Nanamori-san masih memalingkan wajah sambil memainkan jari-jarinya, terlihat semakin malu.
*
“──Kurasa, nanti akan jadi duel antara kita.”
Di depan stasiun, tempat kami diantar sampai pulang.
Nanamori-san menatap lurus pada kami dan berkata:
“Katanya sih, ada sekolah lain yang juga ikut mendaftar. Tapi sepertinya mereka bukan klub yang terlalu aktif. Jadi kemungkinan besar, seleksinya nanti tinggal antara SMA Harue dan SMA Amanuma saja.”
“Wah, begitu ya…”
Lampu-lampu di sekitar Stasiun Ichinoe memberi kesan agak dingin dan tak bernyawa.
Tapi di bawah cahaya itu, wajah Nanamori-san tampak penuh semangat.
“Jadi lawan kita nanti kalian, ya… wah, musuh berat, nih…”
Aku mengusap kepalaku sambil tertawa kecil. Tapi, aku sama sekali tidak merasa buruk.
Memiliki lawan yang kuat.
Seseorang yang cukup menyenangkan hingga bisa dianggap teman.
Kalau di manga atau anime, ini pasti digambarkan sebagai dilema. Tapi bagiku, jujur saja, ini justru membuatku bersemangat.
Aku akan menghadapi orang ini… di saat yang sangat penting dalam hidupku.
Dan yang berdiri tepat di hadapanku saat itu, adalah dia.
Kurasa Nanamori-san juga merasakan hal yang sama.
“Menyenangkan, ya…”
Katanya dengan suara pelan, seolah tak sabar menanti.
“Aku senang kalau lawannya kalian.”
“Aku juga, merasa begitu.”
“Ujian tinggal sebulan lagi. Semoga kita bisa saling mendorong dan berkembang sampai hari itu tiba.”
Lalu Nanamori-san mengulurkan tangannya padaku.
“Salam kenal dan semangat ya!”
Aku menggenggam tangannya erat, lalu membalas senyum itu.
“Ya, aku juga! Semangat!”
【Introduction 8.2】
POV: Nito Chika
“──Nee… belakangan ini, kamu tidak menggunakan teleskop lagi?”
3 tahun masa SMA yang kuhabiskan di dekat Meguri, akhirnya pun dimulai.
Di ruang klub astronomi, beberapa minggu sebelum festival budaya.
Hari itu, aku kembali ke sini setelah sekian lama, dan dengan hati-hati bertanya padanya.
“Meguri, dulu kamu bilang ingin jadi astronom, kan? Apa kamu sudah tidak pernah lihat bintang lagi… sekarang?”
“…Ah, yah, begitulah.”
Meguri menjawab dengan suara serak, matanya masih tertuju ke konsol game di tangannya.
Tanpa sekalipun melihat ke arahku, ia berkata pelan.
“Hal-hal seperti itu… kurasa sudah cukup.”
“Kamu sudah tidak tertarik lagi?”
Aku kembali bertanya, karena ia menjawab dengan nada ragu.
“Apa astronomi… sudah tidak seru lagi?”
Setelah terdiam sejenak, ia pun bergumam lirih:
“…Bukan, bukan karena itu sih.”
──Ada yang aneh.
Meguri di garis waktu ini, ada yang berbeda darinya.
Di garis waktu saat aku tidak menjadi temannya, dia seharusnya ikut serta dalam acara pencarian asteroid di akhir tahun, dan berhasil menemukan sebuah bintang baru.
Karena berharap akan sosok Meguri yang seperti itu, aku pun mencoba mendekatinya.
Aku mencarinya sebelum upacara penerimaan siswa baru, lalu menunggunya di ruang klub astronomi.
Dengan pura-pura kebetulan, aku menjalin hubungan dengannya, dan akhirnya menjadi orang yang selalu menghabiskan waktu bersamanya di ruang klub.
──Kupikir, aku bisa menyaksikan Meguri yang sedang aktif.
Mengamati bintang, mempelajari rasi-rasi, dan melihatnya dari dekat saat ia benar-benar hidup dalam dunia itu.
Memang, saat musim semi tiba, ia sempat menunjukkan sisi seperti itu.
Bahkan, suatu hari, ia menyatakan perasaannya padaku.
Aku yang sudah lama jatuh cinta padanya pun menerimanya, dan kami resmi menjadi sepasang kekasih.
Jujur, aku tak pernah membayangkan jarak kami bisa sedekat ini, bahkan sejak awal melakukan pengulangan waktu.
Aku menjalani hari-hari dengan rasa bahagia yang membuatku ingin melompat kegirangan setiap saat.
Namun… setelah beberapa waktu berlalu, Meguri perlahan kehilangan semangatnya pada bintang.
Frekuensi observasinya berkurang.
Ia tak lagi membicarakan bintang.
Dan pada akhirnya──nilai akademisnya pun mulai merosot drastis.
…Aku rasa, aku tahu apa penyebabnya.
“…Apa ini… salahku?”
Dengan hati-hati, aku bertanya padanya.
“Karenaku… Meguri jadi tertekan?”
Perubahan sikap Meguri.
Hilangnya semangatnya──terasa seolah berjalan seiring dengan aktivitasku.
Setiap kali aku merilis MV baru, setiap kali jumlah penontonnya meningkat drastis, setiap kali ada tawaran dari label atau agensi, kilau di matanya perlahan menghilang.
Dalam pengulangan yang telah kujalani berkali-kali selama 3 tahun ini.
Aku telah melihat pemandangan itu… entah sudah berapa kali.
Mone, atau Rokuyou-senpai.
Tak hanya mereka──aku telah menyakiti begitu banyak orang.
Apa… semuanya akan terulang lagi?
Apa hanya dengan menjadi diriku sendiri, aku justru membuat orang lain terluka?
“…Bukan, bukan karena itu.”
Suara itu menyadarkanku.
Saat kulihat, akhirnya ia mengangkat wajah dan menatap ke arahku.
“Aku… cuma begini karena aku sendiri yang memilihnya.”
Dengan nada datar dan kaku──ucapan yang tidak biasa darinya.
Tapi seolah baru menyadari hal itu, Meguri buru-buru menutupi mulutnya dengan tangan.
“…Y-ya, maksudku! Aku ini kan sangat pemalas, haha…”
Sambil tertawa canggung, ia berdiri dari kursinya.
Dengan ekspresi sedikit cemas, ia mendekat ke teleskop.
“Yah, memang sih. Sepertinya sudah waktunya mulai lagi… observasi bintang!”
“…Iya.”
“Sudah lama juga tidak melakukan itu…”
“Benar juga…”
──Pasti, akan baik-baik saja.
Sambil menatapnya seperti itu, aku meyakinkan diriku sendiri.
Meguri itu orang yang hebat.
Dia menemukan asteroid saat masih SMA, dan nanti akan melanjutkan studi astronomi di universitas.
Aku yakin, dia bisa benar-benar menjadi seorang ilmuwan.
Tidak mungkin… semua itu akan gagal hanya karena aku…
“…Semangat, ya.”
Karena itu, aku pun berkata padanya:
“Aku tidak bisa ikut observasinya karena harus kerja… tapi, semoga kamu menikmati waktu lihat bintangnya, ya.”
Post a Comment