Sudah beberapa minggu berlalu sejak kunjungan ke SMA Harue.
Di ruang klub setelah pulang sekolah, aku selesai memeriksa hasil ujian simulasi buatan sendiri milik Makoto dan bergumam dengan suara bergetar.
“Sungguh, ini setara ujian Sertifikasi Astronomi dan Antariksa Level 2… tapi hampir tanpa kesalahan.”
“Soalnya, aku sudah berusaha keras.”
Sambil berkata begitu, Makoto memasang wajah datar dan memberi isyarat ‘peace’ ke arahku.
“Belakangan ini aku benar-benar belajar dengan serius. Yah, hasilnya seperti ini.”
Meski wajahnya tetap tenang, pipinya sedikit memerah.
Dari sudut bibir yang sedikit terangkat, jelas terlihat bahwa ia sedang dalam suasana hati yang baik.
Sedangkan aku──
“Aku memang sudah menduga kalau kau itu pintar, tapi…”
Sambil menyentuh dahiku, aku jujur mengungkapkan rasa kagumku.
“Tidak menyangka sampai sejauh ini. Kau benar-benar sehebat itu, ya…”
Memang sudah sempat kusebutkan, tapi untuk menyelesaikan soal-soal sertifikasi astronomi level 2, dibutuhkan pemahaman setingkat geosains SMA.
Belum lagi, penting juga untuk mengikuti berita-berita terbaru seputar luar angkasa dan teori-teori terkini.
Dan dia… menguasai semua itu hanya dalam hitungan minggu.
Belum genap sebulan sejak ia mulai belajar, Makoto sudah mencapai tingkat yang bisa disebut menguasai sepenuhnya.
Hebat.
Aku tidak menyangka dia sepintar itu.
Padahal kami sudah 3 tahun bersama, tapi aku benar-benar tidak pernah menyadarinya…
“Wah, hebat sekali,”
“Sepertinya kau pasti lulus kalau masuk sekolah kita.”
Igarashi-san dan Rokuyou-senpai yang sedari tadi memperhatikan, angkat suara dengan nada kagum.
“Ti-tidak, aku tidak sehebat itu…”
“Tidak perlu merendah begitu, kok.”
“Iya. Kamu lebih baik percaya diri.”
“Percaya diri, ya…”
Makoto masih terlihat belum bisa membuka diri sepenuhnya pada kedua orang itu.
Meski begitu, di mataku, kami bertiga tampak cukup cocok satu sama lain, dan tanpa sadar aku bergumam,
“…Kenapa ya, orang-orang di sekitarku pada jenius semua?”
Entah sejak kapan aku mulai menyadarinya.
Entah itu Nito, Rokuyou-senpai, atau Igarashi-san… semuanya luar biasa.
──Sejak bertemu Nanamori-san.
Motivasiku dan Makoto untuk menghadapi ujian benar-benar melonjak.
Tentu saja, sejak awal kami sudah berniat untuk “lulus dengan pasti.”
Baik aku maupun Makoto, kami menghadapi ujian dan segala aktivitas ini dengan sungguh-sungguh, tanpa sedikit pun lengah.
Namun—munculnya sosok rival, seseorang yang benar-benar bisa kami hormati, tapi juga begitu sulit untuk disamai,
yaitu Nanamori-san, membuat semangat kami terpacu jauh lebih tinggi.
Berkat itu, aku dan Makoto sama-sama mendapat dorongan besar dalam belajar.
Dan akhirnya hari ini, kami berdua—terutama Makoto—sudah sampai pada tingkat yang bisa meraih nilai sempurna dalam ujian tulis.
“──Yah, meski begitu, kita masih harus lanjut belajar.”
Setelah menarik napas, aku berkata pada Makoto.
“Soal ujian tulis sih, sepertinya kita bisa agak tenang sekarang. Tinggal soal wawancara saja, ya.”
“Benar.”
Makoto mengangguk serius.
“Sepertinya penentuannya akan di sana.”
SMA Harue kemungkinan besar akan memiliki banyak peserta yang mendapat nilai nyaris sempurna dalam ujian.
Artinya, perbedaan hasil akan terlihat dari wawancara.
Apa yang akan ditanyakan di sana, dan bagaimana kami menjawabnya. Semuanya akan bergantung pada itu…
“Karena ini acara yang baru dibuat tahun ini, kita juga belum tahu bakal ditanyain apa saja.”
Aku berdiri di depan papan tulis sambil mengambil spidol.
“Mungkin yang akan ditanyakan dibagi jadi dua bagian besar: tentang masa lalu dan tentang masa depan.”
“Hm, hm.”
Makoto mengangguk berkali-kali dengan wajah polos.
“Soal masa lalu gampang. Kita tinggal bicarakan kegiatan apa yang sudah kita lakukan, dan hasil apa yang kita capai. Dalam hal ini, kita punya banyak yang bisa diceritakan. Kita membuat video bersama, dan akhir-akhir ini jumlah penontonnya juga naik. Bagian ini lumayan kuat, kan?”
“Benar. Aku juga merasa itu cukup bisa jadi nilai plus.”
“Masalahnya, ya bagian ‘setelah ini’.”
Aku menulis kata “masa depan” dengan besar di papan tulis dan menyilangkan tangan.
“Kalau menemukan asteroid, lalu mau apa? Apa hubungannya itu dengan ikut penelitian ini? Jadi──”
Aku berhenti sebentar, lalu melanjutkan,
“──bisa dibilang, alasan kita ikut ‘Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang’.”
──Alasan.
Kenapa ingin menemukan bintang?
Kenapa ingin ikut acara pencarian asteroid?
…Kalau jujur, mungkin tidak banyak peserta yang punya alasan jelas.
Karena tertarik dengan astronomi.
Karena kelihatannya seru.
Karena ingin menciptakan kenangan.
Bahkan mungkin ada juga yang ikut cuma karena diminta pihak sekolah, tanpa alasan apa pun.
Kalau begitu—bagaimana denganku? Bagaimana dengan Makoto?
Bagaimana kami menyampaikan hal itu ke panitia…?
“Ini bukan sesuatu yang perlu diburu-buru, sih.”
Aku berkata pada Makoto yang menatapku dalam-dalam.
“Ya, bisa saja kita diskusi dulu dan menentukan alasan yang kelihatan bagus. Tapi, kurasa… di bagian ini, kita harus bicara jujur dari hati.”
Kalau penentuan diterima atau tidak ditentukan di sini,
Kalau ini yang akan membuat kita beda dari SMA Harue atau kelompok lain,
Bicara sesuatu yang klise juga percuma.
Kita harus berbicara dari hati, dan dinilai dari situ.
Kita harus sampaikan semangat dan perasaan kita.
Itu satu-satunya cara, dan menurutku juga yang terbaik.
“Jadi, ayo kita masing-masing mulai memikirkan sedikit-sedikit. Tentang apa arti ikut kelompok ini buat kita, dan semacamnya.”
“Iya… kamu benar.”
Makoto mengembuskan napas dan mengangguk.
“Akan kupikirkan…”
Setelah mengucapkan itu, ia menundukkan kepala sedikit.
Ekspresi di wajahnya menunjukkan bahwa ia sudah mulai merenung.
Ketekunan seperti itu sekali lagi membuatku merasa yakin bahwa kami bisa melaluinya.
──Dan saat itu juga,
“…Oh.”
Ponselku bergetar di saku celana.
Mungkinkah dari Nito? Tapi dia tidak datang hari ini…
Saat kulihat layar ponselku,
“Ah, dari Nanamori-san.”
Pesan itu datang darinya.
Sejak hari itu, aku dan Nanamori-san sering bertukar kabar soal persiapan ujian, astronomi, dan juga saling merekomendasikan YouTuber bertema luar angkasa.
Teman dari sekolah lain pertama yang pernah kumiliki.
Teman sesama pria yang paling akrab selama ini.
Karena itu, dia mulai menjadi sosok yang cukup spesial buatku──
Dan kali ini,
“…Ooh!”
Tanpa sadar aku bersuara saat membaca isi pesannya.
“Ada apa?” tanya Makoto.
Aku membalikkan layar ponsel ke arahnya dan berkata,
“Nanamori-san… bilang begini!”
Nanamori Takuya: “Lelah ya? Bagaimana, apa persiapannya lancar?”
Nanamori Takuya: ”Kalau boleh, bagaimana kalau kita adakan acara tukar kabar?”
*
“──Jadi, di pihak kalian juga, nilai sempurna itu sudah semacam syarat, ya…”
Siang hari di akhir pekan.
Di sebuah restoran keluarga di Shinjuku tempat kami janjian untuk bertemu.
Setelah menyesap kopi dari drink bar, Nanamori-san tersenyum.
“Yah, aku juga sudah menduga, kalau kalian pasti akan sampai segitu.”
Wajahnya tetap tenang seperti biasa, dihiasi kacamata yang memberi kesan cerdas.
Rambut hitamnya rapi dan halus, serta wajah tampannya memancarkan sedikit kesan polos.
Sosok “ikemen jurusan IPA” bak dari gambar itu bahkan tampak menawan hanya dengan mengangkat cangkir ke mulut.
TL/N: ikemen = cowo ganteng :v
“Benar sih. Semua karena Makoto yang berusaha keras.”
Berbanding terbalik dengannya, aku ini justru “anak IPA yang entah kenapa malah terlihat seperti anak IPS”.
Aku menghela napas kecil penuh iri dan menjawab begitu.
“Jujur, aku sendiri tidak menyangka dia akan sampai sejauh ini.”
“Dia benar-benar talenta yang langka, ya. Sampai aku ingin sekali dia masuk klubku.”
“Ti-tidak… itu berlebihan…”
Tatapan Nanamori-san yang terarah langsung membuat Makoto sedikit canggung dan mengalihkan pandangannya.
“Aku cuma… berusaha sekuat tenaga saja, kok…”
“Bisa melakukan itu saja sudah cukup untuk bukti bahwa kau itu luar biasa.”
Dan ya, itu memang benar.
Aku sendiri, di kehidupan SMA pertamaku dulu, gagal berjuang seperti itu.
Makoto bisa belajar atas kemauan sendiri. Hanya itu saja sudah cukup membuatku kagum.
Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Ngomong-ngomong, Nanamori-san,”
Aku menatapnya dan bertanya,
“Untuk SMA Harue sendiri, bagaimana soal peserta? Kau, sebagai ketua klub, pasti ikut, kan? Tapi apa tidak ada wakil ketua atau anggota lain yang ikut bersama?”
Waktu kami mengunjungi sekolah itu sebelumnya, dan bahkan kali ini pun, hanya Nanamori-san yang menyambut kami dan menjelaskan tentang klub.
Setiap grup hanya boleh mendaftarkan dua orang untuk ikut acara ini.
Kalau klub astronomi selevel SMA Harue, pasti ada anggota lain yang juga bisa dapat nilai sempurna.
Aku pikir pasangan untuk Nanamori-san pasti sudah dipilih juga.
“Ah, soal itu,”
Nanamori-san tersenyum canggung dan berkata,
“Masalahnya, tidak ada anggota yang bisa menyusulku.”
“…Menyusulmu?”
“Ya, maksudku secara kemampuan. Tidak ada yang sekiranya bisa ikut bersaing dalam ujian ini.”
Jawaban yang tidak kuduga itu membuatku kehilangan kata-kata sejenak.
Tidak ada yang bisa ikut?
Padahal anggotanya banyak, dan semua kelihatan antusias?
“Kami sempat buka pendaftaran sih, dan cukup banyak juga yang mencalonkan diri…”
Tatapannya jatuh sedih ke meja, dan ia menghela napas pelan.
“Kami coba kasih mereka ujian simulasi, lalu sesi wawancara… tapi hasilnya ya… jujur saja, semuanya terasa belum cukup.”
“Haa… begitu, ya…”
“Belum cukup,” katanya…
Tetap saja, sulit menyambungkannya dengan bayanganku tentang klub mereka.
Ya, ujian ini memang bukan hal yang mudah.
Tapi kalau sebanyak itu anggotanya, masa tidak ada satu pun yang bisa lolos?
“Oh iya, apa kalian sudah memikirkan soal wawancaranya?”
tanya Nanamori-san, seperti baru teringat sesuatu.
“Kurasa penentuan akhir kita akan ada di situ, ya?”
“Ah, iya! Aku juga merasa bagian itu yang paling penting…”
“Paling mungkin sih yang ditanya soal kegiatan kalian selama ini dan apa tujuan ke depannya. Misalnya, alasan ikut kelompok penelitian ini, atau semacam itu…”
“…Iya, sepertinya begitu juga.”
Sepertinya kami sampai pada kesimpulan yang sama.
Bagaimana kami menjelaskan diri kami sendiri.
Apa yang ingin kami capai.
Itulah yang akan menentukan apakah sekolah kami akan dipilih.
“Kalau begitu… tetap saja, kau ini lawan berat, ya.”
Nanamori-san bertopang siku di meja, lalu tersenyum.
“Sakamoto-kun, kau pasti akan cerita soal masa kecilmu, kan? Yang kau terkesan waktu melihat langit berbintang setelah liburan, dan karena itu jadi tertarik dengan luar angkasa. Kau jadi ingin menamai bintang dan memutuskan untuk jadi astronom…”
“Yup, memang begitu,”
Aku menghabiskan melon soda-ku sambil mengangguk.
“Itu latar belakang utamanya…”
Belakangan ini aku memang terus memikirkannya.
Kenapa aku ingin mencari asteroid?
Apa yang ingin kudapat dari sana?
Sebenarnya, bagian yang dibilang Nanamori-san tadi sudah cukup.
Motivasiku menjadi astronom memang lahir dari langit malam itu.
Itu jelas.
Tapi──
“…Sekarang, bukan cuma itu saja.”
──Ada satu hal lagi.
Sesuatu yang lebih dalam, yang menggerakkanku sekarang.
Sebuah “masa depan” yang ingin kuraih dengan sekuat tenaga—yang tak bisa kulepaskan.
“Ada sesuatu… yang tak bisa aku relakan.”
“…Begitu ya.”
Nanamori-san masih tersenyum sambil mengangguk, lalu miringkan kepalanya sedikit.
“Apa itu… boleh aku dengar?”
Nada suaranya terdengar hati-hati dan tidak memaksa.
“Ya tentu saja minggu depan kita akan bersaing di ujian. Aku tidak memaksamu buka semua kartu juga, kok. Aku mengerti kalau itu hal yang penting. Tapi…”
Ia menyunggingkan senyum tipis di ujung bibirnya.
“Aku penasaran.”
Dengan jujur, ia berkata padaku.
“Apa yang mendorongmu. Apa yang membuatmu begitu termotivasi. Aku ingin tahu.”
“…Begitu, ya.”
Setelah mendengarnya sejauh itu, aku merasa ingin menceritakannya.
Bukan berarti aku tidak ragu. Ini soal pribadi, dan jujur saja, ada sisi memalukannya juga.
Lagipula Nito sekarang sudah jadi figur publik, dan kami juga harus berhati-hati agar identitasnya tidak bocor.
Dari sudut pandang rivalitas pun, menyimpan kartu itu jelas lebih bijak.
Tapi tetap saja… aku senang karena Nanamori-san tertarik padaku.
Dan karena itu, aku ingin menjawab rasa ingin tahunya.
“…Sebenarnya, aku sedang… berpacaran dengan seseorang.”
Dengan nada pelan, aku membuka cerita itu.
“Dia itu, seseorang yang jauh lebih hebat dariku. Benar-benar luar biasa…”
Saat mengucapkannya, bayangan Nito terlintas di benakku.
Dengan kecepatan luar biasa, dia menyebarkan lagunya ke seluruh dunia.
Seseorang yang begitu terang, tapi juga begitu jauh dariku.
“Detailnya… tidak bisa kuceritakan, tapi…”
Aku memberi pengantar, lalu tertawa kecil dengan canggung.
“Sekarang, dia sedang dalam masa naik daun karena sebuah aktivitas yang diakui publik. Dia semakin terkenal. Sedangkan aku… benar-benar tertinggal jauh. Selama ini, aku cuma bisa ada di sisinya, jadi penonton dari semua pencapaiannya…”
Minggu lalu, tour nasional Nito akhirnya dimulai.
Dia jadi sering absen dari sekolah.
Pertunjukan di tiap kota katanya selalu penuh, dan aku sempat baca laporan-laporan itu dari internet.
Kami memang masih sering mengirim pesan lewat LINE.
Kalau dia sedang lelah atau butuh sandaran, kami bahkan mengobrol lama lewat telepon.
Tapi pada akhirnya… aku merasa aku cuma bisa “tetap berada di sisinya”.
Masalah yang menimpa Nito, aku bantu menyelesaikannya.
Kuselesaikan situasi rumit yang mengikatnya, dan mengembalikannya ke bentuk yang semestinya.
Aku tidak menganggap itu sebagai hal yang sia-sia.
Justru sebaliknya—aku percaya, aku berhasil mengubah dirinya.
Karena sekarang, dia bisa tampil ringan.
Dengan senyum di wajah, dan rambut pendeknya melambai, dia bisa berdiri di atas panggung—dengan percaya diri.
Namun──yang berubah, hanyalah Nito sendiri.
Sedangkan aku, pada akhirnya, tidak berubah banyak dari kehidupan SMA pertamaku.
Aku tetaplah laki-laki biasa yang kebetulan saja dipilih oleh Nito──tak lebih dari itu.
“Itulah yang, kurasa, membuat dia terus menderita…”
──Nito yang suatu saat nanti akan menghilang.
Nito yang pada akhirnya akan menghilang dari hadapan kami.
Tentu, alasannya pasti tidak hanya satu.
Aku tidak berpikir bahwa itu semua salahku. Aku tidak sesombong itu.
Meski begitu. Atau justru karena itulah──
“Aku ingin──berdiri sejajar dengannya.”
Aku menyatakan itu, seakan membuat sebuah deklarasi, kepada Nanamori-san.
“Cuma dekat dengannya saja itu tidak cukup. Aku ingin bisa berdiri di sampingnya, sebagai pribadi yang setara. Dan demi itu──”
Aku menarik napas dalam-dalam.
“──Aku ingin menemukan sebuah asteroid.”
──Kurasa, dia pasti merasa kesepian.
3 tahun SMA yang dia ulangi terus-menerus.
Nito pasti sudah lama, bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, menjalani perjuangan sendirian.
Dan agar aku bisa terus berada di sisinya──aku ingin membuktikan sesuatu.
Cara membuktikannya, kurasa cuma ini. Aku harus maju ke depan.
Aku harus meraih sendiri apa yang benar-benar ingin kuraih──
“Aku ingin──memberikan nama pada sebuah bintang.”
──Dan aku sudah memikirkan nama itu.
Mungkin orang akan menertawakanku, mengatakan padaku kalau itu terlalu dini.
Aku bahkan belum menemukan calon asteroidnya. Aku bahkan belum lolos seleksi untuk ikut kelompok penelitian ini.
Sudah memikirkan nama sebelum itu terdengar seperti terlalu terburu-buru.
Tapi, aku sudah memutuskan.
Bintang itu──akan kuberi nama dari dirinya.
Nama dari cahaya yang paling terang──
Perasaan ini, tidak akan pernah berubah.
“Aku tidak akan kalah.”
Maka aku menatap Nanamori-san dengan senyum percaya diri.
“Dalam ujian nanti, kami pasti akan menang.”
Benar, inilah pertarungan antara aku dan dia.
Pertarungan yang mempertaruhkan seluruh hidup kami.
Sebuah pertempuran yang menyangkut keberadaan kami masing-masing.
Dan aku benar-benar merasa bangga, bahwa lawanku dalam pertarungan ini adalah Nanamori-san──
──Aku pikir dia akan membalas senyuman itu.
Aku sungguh percaya bahwa dia akan memahami perasaanku, mimpiku.
Namun──
“……”
Sebuah helaan napas pelan dari Nanamori-san.
Di dalamnya──terdengar seperti ada nada “kekecewaan”.
Keheningan yang turun di atas meja.
Nanamori-san menghapus senyumnya sepenuhnya, menatap permukaan meja.
Lalu setelah menghembuskan napas panjang, sangat panjang──
Bibir indahnya terbuka sedikit.
“──Itu──”
“…Apa?”
“──terlalu tidak murni.”
──Hanya itu yang dia katakan. Pendek.
“──Motivasi seperti itu, terlalu tidak murni untuk ditujukan kepada bintang.”
──Tidak murni.
Kata yang tak pernah terpikirkan olehku.
Tiba-tiba, sebuah kritik langsung diarahkan──kepada diriku sendiri.
Punggungku terasa membeku.
Seolah disiram air es, wajahku membeku tak bisa berekspresi.
“Tentu saja, seseorang yang bercita-cita menjadi ilmuwan pun bisa saja jatuh cinta.”
Nanamori-san melanjutkan.
“Ada banyak peneliti yang, lewat kisah cintanya, berhasil membuat penemuan penting dan membangun fondasi ilmu pengetahuan. Itu tidak bisa disangkal.”
Dan memang, dia tidak salah.
Kalau kita buka-buka sejarah, ada banyak ilmuwan yang punya cerita cinta.
Schrödinger, si idola para otaku fisika, dikenal sangat populer di kalangan wanita dan bahkan nyaris meninggalkan dunia ilmiah demi cinta.
Ohira Takayuki-san, pencipta seri planetarium ‘Megastar’, bahkan mengaku terang-terangan bahwa dia membuat planetarium sejak mahasiswa demi ‘membuat kesempatan bertemu seorang perempuan’.
Bahkan Einstein pun, katanya, terkenal sebagai lelaki yang suka perempuan.
Namun, dengan suara yang tetap tegas, Nanamori-san berkata:
“Tapi… sains itu sains, bukan?”
Dia menatapku dengan mata yang sangat serius.
“Dunia ini ada, dan kita ingin memahaminya, mengungkap rahasianya──itulah keinginan sejati yang akan mengarah pada penemuan sejati. Aku percaya begitu.”
──Aku bisa mengerti apa yang dia maksud.
Sains, dalam upayanya memahami dunia, memang membutuhkan ketelitian dan sikap objektif.
Observasi dan analisis yang sepenuhnya terpisah dari keinginan pribadi manusia.
Jika ada kebisingan dalam proses itu──kalau harapan dan keinginan manusia ikut campur──kebenaran bisa saja menghilang begitu saja.
Karena itu──motivasi seperti milikku, bisa dibilang “tidak murni”.
Perasaan cinta. Keinginan pribadi. Harapan dan mimpi.
Jika semua itu yang mendorongku──maka aku bukan ilmuwan yang murni.
“Aku hanya ingin tahu tentang luar angkasa.”
Dengan sorot mata lurus, Nanamori-san berkata.
“Aku ingin tahu lebih banyak tentang dunia tempat kita tinggal ini──dengan tulus. Itu saja. Itu adalah keinginanku yang paling dalam.”
Lalu, dia menarik napas dalam, dan berkata:
“Itulah sebabnya──aku tidak bisa kalah.”
Dengan ekspresi menantang, dia menatapku.
“Dengan motivasi tidak murni sepertimu──aku tidak akan pernah mau kalah.”
──Aku merasa kacau.
Penuturan Nanamori-san barusan membuat pikiranku benar-benar kacau.
Aku ingin membalasnya dengan kata-kata keras.
Atau, mungkin aku harus meminta maaf atas ketidakmurnian niatku.
Atau mungkin aku harus menenangkan diri dan merenungkan semuanya lagi.
Namun lebih dari itu──aku merasa terguncang.
Nanamori-san, yang selama ini bersikap baik kepada kami.
Yang selalu menghargai kami. Yang kurasa bisa menjadi teman penting──
Dan sekarang, dia mengucapkan kata-kata sekeras itu padaku──
“──Apa salahnya, dengan itu!?”
──Teriakan itu menggema.
Itu adalah suara Makoto──yang selama ini diam di sampingku──yang kini berteriak dengan lantang.
“Senpai itu serius!”
Ia berdiri dari kursinya dengan penuh semangat, seperti hendak menerkam lawan.
“Setiap hari dia belajar tanpa kenal waktu! Lalu tetap meluangkan waktu untuk observasi bintang! Bahkan sempat mengajariku juga! Dia bahkan hampir pasti akan dapat nilai sempurna dalam ujian ini! Tidak mungkin dia melakukan semua itu dengan perasaan setengah-setengah!”
Terkejut oleh amarahnya yang begitu membara, aku tak bisa berkata apa-apa.
Makoto, yang masih 3 tiga SMP, sedang berdiri menghadapi anak kelas 2 SMA.
Rambut hitamnya bergoyang keras. Matanya yang tajam penuh emosi.
Biasanya suaranya lirih, tapi kini ia mengangkat suara dengan lantang──
Belum pernah aku melihatnya seperti ini.
Makoto yang marah seperti ini──yang menunjukkan kemarahan kepada orang lain──ini kali pertama──
“Aku tidak berniat menyangkal itu.”
Namun Nanamori-san tetap menjawab dengan tenang.
“Sakamoto-kun pasti serius. Aku tahu itu.”
“Perasaan seperti itu──cinta, juga bisa jadi kekuatan untuk melangkah ke depan, kan!?”
“Yang seharusnya kita majukan adalah sains. Bukan diri kita.”
“Justru sains itu maju karena manusianya, kan!?”
“Iya. Karena itulah yang kumaksud adalah sikap kita terhadapnya.”
Nada Nanamori-san tetap tenang──
Perbedaan antara suara Makoto yang penuh emosi dan nada suara Nanamori-san yang datar──
bagi kami, terdengar persis seperti perbedaan sikap kami terhadap bintang-bintang.
“Kenyataannya, memang, Nanamori-san juga mengakui bahwa ada ilmuwan yang melangkah maju dengan motivasi seperti itu! Bahwa ilmuwan seperti itu pun telah menulis sejarah!”
“Itu, memang benar sekali.”
“Kalau begitu──!”
Makoto menghentikan kalimatnya sejenak.
Lalu──dengan keyakinan yang kuat,
ia seakan memberi kesimpulan akhir dan melemparkannya langsung ke arah Nanamori-san:
“Senpai itu──tidak salah!”
Keheningan menyelimuti meja.
Beberapa pengunjung di sekitar mulai melirik, penasaran dengan apa yang terjadi.
Seorang pelayan pun dengan cepat menghampiri kami dan berkata sambil berbisik, wajahnya sedikit cemas:
“Mohon maaf, bisakah kalian sedikit mengecilkan suara kalian…”
“Ah, maaf, kami akan lebih hati-hati…”
Nanamori-san membungkukkan kepala dengan raut wajah sedikit kikuk.
Dan kemudian──
“…Seperti yang dikatakan oleh Akutagawa-san.”
Setelah diam selama beberapa helaan napas, akhirnya ia melanjutkan:
“Begitu juga denganku. Aku tidak bisa bilang bahwa Sakamoto-kun itu salah. Tidak bisa bilang bahwa itu sesuatu yang keliru. Sejujurnya──kadang aku bahkan berpikir, mungkin justru ilmuwan seperti itulah yang paling kuat.”
──Kata-kata itu, lebih jujur dari yang kami kira.
Makoto sempat kehilangan kata-kata, seolah tidak menyangka.
Namun──
“Itulah kenapa… iya, mungkin begini.”
Nanamori-san tersenyum samar, entah kenapa terlihat sedikit sedih.
Ia menyandarkan dagunya ke tangannya di atas meja, menatap keluar jendela.
Lalu, seperti seseorang yang sedang membicarakan akhir dari sebuah hubungan──
“…Kurasa aku tidak menyukainya.”
Dengan senyum sendu, ia berkata pelan:
“Kurasa… aku memang tidak suka hal-hal yang seperti itu.”
“…Terima kasih.”
Di dalam kereta Jalur Sōbu, kami duduk berdampingan di bangku yang berguncang lembut.
Sambil menatap cahaya kota yang meluncur di balik jendela, aku mengucapkannya dengan suara serak pada Makoto.
“Terima kasih… karena sudah membelaku dari Nanamori-san.”
Apa yang Makoto katakan tadi, keyakinannya saat menyatakan bahwa aku tidak salah—semuanya membuatku begitu bahagia sampai rasanya aku bisa menangis.
Makoto mengenalku dengan baik.
Perasaanku terhadap Nito, juga perasaanku terhadap bintang-bintang.
Bahkan sampai hal bahwa aku mengulang masa SMA untuk kedua kalinya demi menyelamatkan Nito.
Mendapatkan pengakuan dari Makoto yang tahu semua itu memberiku kehangatan dalam hati saat ini.
“Tak perlu berterima kasih.”
Dia menghela napas kecil.
Bahkan Makoto pun tampak agak lelah.
“Kurasa… kamu sudah tahu juga. Tidak perlu terlalu menghiraukan ucapan Nanamori-san. Itu cuma omong kosong. Dan dia pun mengakui bahwa itu semua hanyalah perasaan pribadinya…”
“…Iya, kau benar.”
Aku berusaha menjawab dengan suara ceria sambil mengangguk.
“Aku tahu kok. Aku juga tidak merasa telah melakukan sesuatu yang salah. Sama sekali tidak merasa harus malu…”
…Kalau mau jujur, sebenarnya ada sedikit keraguan dalam diriku.
Memang benar, motifku mungkin tidak murni.
Aku mulai merasa bersalah, merasa ada yang mengganjal di hati.
Tentu saja, itu bukan sesuatu yang perlu aku katakan ke Makoto.
Tapi, ada satu hal yang lebih mengusik pikiranku.
“Hanya saja…”
“…Hanya saja?”
“Nanamori-san… waktu dia bilang ‘aku tidak boleh kalah’, dia terlihat sedikit kesakitan.”
Aku teringat ekspresinya saat mengucapkan itu.
“Wajahnya saat mengatakan tidak boleh kalah… terus terbayang di kepalaku…”
Setelah itu, dia melanjutkan.
“Aku hanya punya astronomi.”
“Tidak ada hal lain dalam hidupku yang bisa kubanggakan.”
“Aku juga tidak pernah menemukan sesuatu yang bisa membuatku terobsesi.”
“Itulah sebabnya… aku tidak bisa kalah dari orang seperti dirimu yang masih punya hal lain yang penting.”
──Tidak punya hal lain yang bisa dibanggakan.
Entah kenapa, aku merasa sedikit bisa memahami perasaan itu.
Satu-satunya hal dalam hidup yang kau jaga sepenuh hati.
Sesuatu yang begitu kau cintai, sampai-sampai kau merasa bisa terus hidup hanya karena itu.
Sebenarnya… kurasa, bagi Nito, musik adalah hal semacam itu.
Tentu saja, dia juga sangat menghargai teman-temannya. Dan dia juga sangat memperhatikanku.
Sebagai pacarnya, aku merasakannya setiap hari dengan jelas.
Tapi tetap saja… alasan dia terus mengulang masa SMA, terus mencoba sampai berhasil, mungkin—utamanya karena musik.
──“Aku merasa bisa hidup.”
Saat mengenang pertemuannya dengan musik, dia pernah berkata seperti itu.
Dalam hari-hari yang dipenuhi kesakitan samar, dia bertemu dengan musik dan merasakan harapan.
Selama ada musik, dia bisa terus hidup. Musik memberinya kegembiraan untuk tetap hidup.
Bagi Nito, musik adalah sesuatu yang seperti itu.
Sesuatu yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.
Sebuah berkah sekaligus kutukan, sesuatu yang amat sangat istimewa.
“…Mungkin, untuk Nanamori-san juga begitu.”
Mengakhiri kisah tentang Nito, aku melanjutkan pada Makoto.
“Untuk Nanamori-san, astronomi adalah sesuatu yang seperti itu. Itulah kenapa… mungkin, baginya, kegiatan klub kali ini adalah sesuatu yang benar-benar penting. Bahkan… jauh lebih penting dibandingkan untukku.”
Sekali lagi, aku mengingat ekspresi Nanamori-san.
Wajah yang tampak begitu sepi itu—mungkin bukan karena kekecewaan.
Dia pasti merasakan adanya pertemanan dengan diriku. Aku yakin dia menganggapku sebagai teman yang berharga.
Namun dia harus menolak seseorang seperti itu.
Harus menyangkalku hanya karena perbedaan sikap terhadap bintang-bintang.
Kesedihan terhadap dirinya sendiri—mungkin itu yang terlihat di wajahnya saat itu…
“Meski begitu,” ucap Makoto pada diriku yang masih ragu.
“Itu tetap masalah Nanamori-san. Tidak ada hubungannya dengan kita.”
“…Iya, kau benar.”
“Cuma karena itu hal penting baginya, bukan berarti kita harus menahan diri. Kita akan bertarung dengan jujur—dan mengalahkannya habis-habisan.”
“Mengalahkannya… kedengarannya agak ekstrem…”
“Iya, memang.”
Ucap Makoto sambil menatapku dari samping.
Lalu dengan wajah nakal, dia tersenyum menyeringai.
“Aku ini… orang yang begini. Aku tipe yang tidak pernah lupa rasa kesal dan dendam, tahu?”
“Ehh…”
“Selama 3 tahun sebelumnya, aku tidak pernah menunjukkan sisi itu, ya?”
“Tidak terlalu, sih…”
“Pantas saja. Mungkin waktu itu aku sok imut di depan Senpai, ya.”
“Sok imut? Memangnya ada untungnya?”
Percakapan yang agak aneh itu membuatku terkekeh pelan.
…Sungguh, aku bersyukur Makoto ikut terlibat kali ini.
Sama seperti di kehidupan SMA pertamaku, sepertinya kali ini pun aku akan sering diselamatkan oleh anak ini.
“Fuuh…”
Aku menghela napas dan menatap ke luar jendela.
Terpantul di kaca yang diterangi cahaya kereta, terlihat aku dan Makoto duduk berdampingan.
Wajahku masih terlihat ragu, jelas aku belum bisa sepenuhnya menepis keraguan itu.
Dan sekali lagi, bayangan wajah Nanamori-san muncul dalam ingatanku…
*
──Hari-hari setelah itu pun.
Persiapan untuk ujian kelompok penelitian bersama Makoto terus berlanjut.
Meski kami tetap mengulang pelajaran teori, inti dari persiapannya tetaplah latihan wawancara.
Kami menyusun daftar pertanyaan yang mungkin muncul beserta contoh jawabannya, lalu melakukan simulasi wawancara berdua.
“──Baik, lalu, apa yang ingin Akutagawa-san dapatkan dari keikutsertaannya dalam penelitian ini? Lewat pencarian asteroid, apa yang ingin Anda raih?”
“──Ya. Lewat pengamatan langit bersama Sakamoto-senpai, saya mulai merasakan bahwa diriku ini adalah bagian dari alam semesta. Karena itu, dengan mencari bintang baru, saya ingin bisa melihat diriku sendiri dari sudut pandang yang lebih objektif──”
Tak banyak sekolah yang mungkin berlatih sejauh ini.
Daftar pertanyaan dan jawabannya juga sudah sangat matang.
Cara Makoto menjawab pun sangat mulus, sampai membuatku tercengang.
Kalau dia bisa berbicara seperti ini saat melamar kerja nanti, mungkin dia akan langsung dibanjiri tawaran kerja…
Tentu saja, aku tak berniat kalah dari Makoto.
“──Itu terjadi pada malam hari, sepulang dari liburan keluarga.”
“──Dalam perjalanan pulang, saya menatap langit malam, dan ayahku menjelaskan banyak hal padaku. Tentang semua cahaya yang tampak dari tempat kami berdiri. Di sana ada bintang, planet, dan satelitnya, dan bahwa kami hidup di dunia yang berada dalam hamparan seperti itu.”
“──Sejak hari itu, tujuan hidupku adalah menemukan asteroid dengan tanganku sendiri.”
Aku mengucapkannya sambil mengingat kembali perasaanku waktu itu.
Mengenang kembali pemandangan yang kulihat saat itu, dan menyampaikannya dengan penuh emosi.
Tentu saja, ini bukan sekadar akting.
Begitu aku mengucapkannya, hatiku benar-benar terguncang.
Kesan mendalam yang kurasakan saat itu kembali menyeruak, seolah memutar ulang musik lama yang penuh kenangan.
Kurasa, ini adalah jawaban yang bagus.
Setidaknya, perasaanku yang tulus pasti akan tersampaikan. Mereka pasti bisa memahami niatku.
Namun… jika aku ingin menyampaikan isi hatiku lebih dalam lagi, maka harus kulanjutkan ke bagian selanjutnya.
“──Lalu, aku juga punya… seorang kekasih.”
“──Aku ingin bisa mengejar ketertinggalanku darinya.”
Ya──perasaanku terhadap Nito.
Keinginan yang ditolak oleh Nanamori-san itu, seharusnya juga kusampaikan.
Namun,
“──Dia benar-benar luar biasa. Meski masih SMA, dia sudah menunjukkan hasil lewat musik… Dan ke depan pun, dia pasti akan terus terbang tinggi…”
“──Aku hanya ingin… bisa terus berada di sisinya…”
Aku tahu, bahkan diriku sendiri menyadarinya.
Ada sedikit keraguan dalam hatiku.
Dan itu tampak jelas dalam caraku menjawab.
Aku terlalu lama memilih kata. Di bagian yang harusnya diucapkan tegas, aku malah terdengar ragu.
Karena bagian sebelumnya berjalan lancar, keraguanku ini justru semakin terasa.
Yah… kurasa ini bukan masalah besar.
Sedikit keraguan seperti ini mungkin tidak akan terlihat oleh para penguji.
Dan sekalipun terlihat, bisa saja dianggap sebagai emosi wajar atau rasa gugup yang manusiawi.
Namun… aku benar-benar sedang terguncang.
Perkataan Nanamori-san masih mengganjal di hati.
Aku benar-benar merasa tersakiti ketika seseorang yang pernah kusukai itu berkata bahwa dia “membenciku.”
“…Sepertinya, bagian tentang Nito ini lebih baik tidak usah dibawa-bawa ya.”
Perasaan seperti itu, pastilah juga sudah ketahuan oleh Makoto.
Tak ada gunanya menutup-nutupinya, jadi aku mengatakannya sambil tertawa kecil.
“Lagipula bagian ini juga tidak diharuskan… Kalau terasa sulit diucapkan, lebih baik tidak usah dipaksakan.”
“…Begitukah?”
Namun secara tak terduga, Makoto yang berperan sebagai pewawancara justru menatapku dan memiringkan kepala.
“Memang, bagian sebelumnya juga sudah cukup bagus. Tanpa bagian itu pun mungkin kita masih bisa bertarung, tapi…”
“…Tapi?”
“…Menurutku…”
Makoto menundukkan pandangan sebentar.
Lalu setelah diam sejenak seolah sedang mencari kata-kata yang tepat,
“…Menurutku, sebaiknya tetap disampaikan.”
Nada bicaranya terdengar agak goyah.
“Bukan cuma penjelasan logis, tapi… perasaanmu juga jadi terasa lebih nyata.”
“…Ah, begitu ya.”
“Setidaknya, untukku pribadi…”
Dengan suara hampir tak terdengar, seolah mengakui kekalahan, dia menambahkan:
“…Aku merasa… hatiku ikut tergerak.”
“…Begitu ya.”
“Masih kepikiran, ya?”
Makoto yang duduk di seberang menatap wajahku, mencoba mengintip ekspresiku.
Mata kucingnya memancarkan sinar yang mengejutkan polosnya.
“Masih belum bisa melupakan apa yang Nanamori-san katakan?”
“…Iya.”
Lagi-lagi, tak ada gunanya menyembunyikannya.
Aku pun mengangguk jujur pada Makoto.
“Terus terang… sepertinya aku belum bisa melupakannya. Aku benar-benar terpukul, dan kadang teringat lagi di tengah malam… Aku senang Makoto bilang semua itu. Tapi entah kenapa… aku merasa tidak bisa mengabaikan perasaan orang itu begitu saja…”
Aku merasa… Nanamori-san punya kesamaan dengan Nito.
Mungkin itu sebabnya aku bisa begitu akrab dengannya, dan mungkin juga sebabnya aku tak bisa benar-benar mengusir bayangannya dari pikiranku.
Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?
Dengan kondisiku sekarang… apa aku benar-benar bisa melewati ujian ini?
“…Hmm.”
Makoto menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan menyilangkan tangan.
“Kalau begitu… ya sudah, mau bagaimana lagi.”
Katanya, lalu mengambil ponsel dan mulai mencari-cari sesuatu.
“Kalau sudah begini… sepertinya kita harus siapkan strategi khusus, ya…”
“…Strategi?”
“Iya.”
Dia mengangguk, sambil tetap menatap ponsel.
“Aku akan memikirkan beberapa pendekatan… Nanti, aku kabari lagi ya.”
“O-oke…”
Strategi, katanya…
Apa maksudnya?
Ujian tinggal seminggu lagi, melewati akhir pekan.
Waktu yang tersisa tidak banyak. Apa yang bisa kami lakukan dalam waktu sesingkat itu?
Aku tak tahu. Sama sekali tak bisa menebaknya… Tapi lawan bicara ini adalah Makoto.
Makoto yang sudah berkali-kali menyelamatkanku, baik di kehidupan SMA pertamaku maupun yang sekarang.
Kalau berharap terlalu besar mungkin memang egois.
Bergantung pada anak SMP seperti ini juga mungkin bukan hal yang patut.
Tapi tetap saja, dalam hatiku mulai tumbuh rasa penasaran kecil yang membuatku sedikit bersemangat, saat kami mulai membereskan ruang klub bersama.
*
“──Ayo semua, kita berangkat!”
Dan begitu pun, akhir pekan berikutnya tiba.
Waktu matahari sudah terbenam.
Saat keluar dari hotel dengan langkah ringan, Makoto menoleh ke arah kami—aku dan Chiyoda-sensei.
“Hari ini cuacanya sempurna untuk pengamatan bintang! Kenapa kalian malah bengong!? Cepat ke mercusuar!”
Ia sedang dalam suasana hati yang tinggi, sesuatu yang jarang terjadi.
Begitu keluar dari bangunan, aku dan Chiyoda-sensei secara refleks berhenti melangkah.
“Anginnya kencang…! Sensei, Anda baik-baik saja!?”
“A-aku masih bisa tahan! Untung bawa banyak penghangat… Sakamoto-kun, kamu mau?”
“Kalau tidak merepotkan… aku minta.”
“Ayo, kalian berdua, cepatlah!”
Makoto yang berjalan lebih dulu menyemangati kami dengan semangat luar biasa.
“Lihat! Jalur Bima Sakti-nya kelihatan jelas sekali! Ayo cepat!”
“Iya iya…”
“Dasar anak SMP, semangatnya tidak habis-habis.”
Aku dan Chiyoda-sensei pun menyusulnya pelan sambil tersenyum masam.
──Prefektur Chiba, Tanjung Inubosaki.
Aku, Makoto, dan Chiyoda-sensei datang ke tempat ini yang juga dikenal dari logo OP/opening salah satu studio film ternama (To○).
Tujuannya──pengamatan bintang.
Sebagai edisi spesial dari kegiatan rutin pengamatan bintang, dan juga kegiatan luar sekolah terakhir sebelum ujian, kami datang ke sini naik kereta sesuai usulan Makoto.
Dan ya… kami menginap.
Karena waktu pengamatan dilakukan tengah malam, kami tidak bisa kembali ke Tokyo di hari yang sama.
Maka sudah pasti kami perlu tempat menginap, dan karenanya Chiyoda-sensei pun ikut menemani.
“…Anak itu baik, ya. Akutagawa-san.”
Saat berjalan di belakangnya, sedikit terpisah dari Makoto.
Sambil menyipitkan mata melihat punggungnya, Chiyoda-sensei berkata.
“Aku rasa dia mengkhawatirkanmu, Sakamoto-kun. Belakangan ini kamu agak… aneh.”
“…Eh, aku aneh?”
“Iya, sedikit.”
Ia mengangguk, lalu tersenyum padaku.
“Bukan berarti kamu kelihatan sedih atau apa. Tapi kamu terlihat ragu, seperti sedang memikirkan sesuatu.”
“…Sensei peka sekali, ya.”
Padahal aku tak merasa menunjukkan sisi itu di hadapannya.
Lagipula, kami pun tak terlalu sering bertemu.
Paling hanya saat mengembalikan kunci ruang klub, saat pengamatan, atau di pelajaran Bahasa Jepang.
Tidak terlalu banyak mengobrol juga…
“Fufufu, aku ini cukup tajam, lho.”
Chiyoda-sensei tersenyum nakal.
Wajahnya terlihat sedikit kekanak-kanakan, membuatku seolah berbicara dengan teman sebaya.
“Kalau boleh dibilang…”
Ujarnya, meletakkan jari telunjuk ke bibirnya.
“Kamu mulai berubah sejak hari kamu pergi makan dengan anak dari SMA Harue. Dari tingkahmu, aku tebak kalian sempat berselisih soal Nito-san, ya?”
“……”
Eh… menyeramkan juga, ya…
Orang ini… kenapa bisa menebak sampai sejauh itu?
Apa dulunya dia detektif atau bagaimana?
Sungguh, aku tidak boleh macam-macam kalau ada dia…
“Meski begitu.”
Saat aku masih terpaku, ia melanjutkan dengan senyum lembut.
Bukan lagi senyum nakal, melainkan murni ramah dan hangat.
“Alasan kenapa anak itu mengajak kalian ke sini… aku juga tidak tahu. Mungkin cuma untuk menyegarkan pikiran. Atau mungkin, ada tujuan lain…”
“Ya, itu juga aku belum tahu…”
Kenapa Makoto mengajakku ke sini di saat seperti ini.
Dan tempatnya bukan di atap sekolah, melainkan tempat populer untuk melihat bintang, Inubosaki.
Aku yakin ada sesuatu yang ia pikirkan.
Tapi, aku belum bisa menebaknya sekarang.
Makoto yang tampak hanya bersenang-senang ini, sedang berusaha mencapai apa?
Apa yang dia harapkan dengan membawa kami ke tempat ini?
“…Tapi ya…”
Aku membenahi teleskop yang tersampir di bahuku.
Dalam ransel juga ada teropong dan alat observasi lainnya. Beratnya membuat tanganku mulai kebas.
“Yang paling penting, aku senang bisa datang ke sini.”
Aku tersenyum pada Chiyoda-sensei yang menenggelamkan wajahnya dalam syal.
“Aku memang sudah menantikan pengamatan malam ini. Jadi aku ingin menikmatinya sepenuhnya.”
“…Begitu ya.”
Sensei mengangguk pelan.
Kami pun mengarahkan pandangan ke depan.
“──Mouu, kalian berdua, lama sekali sih!”
Makoto yang sudah sampai di kaki mercusuar menoleh dengan nada tak puas, dan kami pun mempercepat langkah.
──Lokasi pengamatan ada di sisi utara mercusuar.
Beberapa menit berjalan, kami tiba di sebuah pantai berpasir.
“Wah… Jalur Bima Sakti-nya luar biasa.”
“Iya, ini beda sekali dengan langit Tokyo!”
Dalam perjalanan menuruni lereng menuju pantai dari arah mercusuar.
Saat menengadah, jalur Bima Sakti membentang tebal dan nyata di langit, seperti lukisan yang nyaris mustahil dipercaya.
Sudah sekitar 15 menit sejak kami keluar dari hotel.
Mungkin karena mata sudah mulai terbiasa dengan gelap.
Tapi yang lebih utama──pemandangan terbuka ini. Tak ada cahaya buatan di sekitar.
Jauh lebih banyak bintang berkerlipan dibanding saat melihat dari atap sekolah, dan aku bisa merasakan sesuatu merambat di punggungku.
Dan kemudian…
“──Di sini, ya.”
Kami tiba di lokasi pengamatan.
Suara ombak terdengar jelas, dan hamparan laut hitam terbentang sejauh mata memandang.
Di balik horizon yang nyaris sejajar dengan garis pandang, bintang-bintang bertaburan.
Luasnya langit yang tak tertandingi──
Aku meletakkan barang bawaan dan memandang sekeliling──lalu tersapu gelombang emosi yang tak bisa kuterangkan.
──Rasanya benar-benar berbeda.
Bintang-bintang yang kulihat dari atap SMA Amanuma di Ogikubo.
Bintang-bintang dari kubah observatorium SMA Harue.
Semuanya indah. Rasanya ingin terus menatapnya selamanya.
Tapi──ini berbeda.
Saat menengadah, langit yang terbentang tak bisa ditampung dalam pandangan.
Di depanku, terlihat laut membentang tanpa batas.
Aku tak tahu mana atas dan mana bawah.
Kepalaku hampir berputar, dan aku buru-buru menjejakkan kaki lebih kuat di pasir.
Seolah aku bisa merasakan keberadaan bumi, langsung lewat kulitku.
Ini lebih nyata dari planetarium mana pun, lebih menggetarkan dari foto langit mana pun──luar angkasa terasa begitu dekat.
Di kejauhan ada galaksi, nebula, dan materi gelap yang mengisi ruang.
Tempat ini memberiku pengalaman akan semua itu──
Tanpa banyak bicara, kami mulai menyiapkan alat observasi.
Karena di pasir, mungkin lebih baik pakai teropong daripada teleskop.
Aku mengambil teropong milik klub dari dalam tas dan mulai mengaturnya.
Lalu, mengarahkannya ke jalur Bima Sakti dan mengintip ke dalam lensa──
──hamparan lautan bintang pun terbentang di sana.
Dan aku merasa seolah menjadi bagian dari tempat itu.
Butiran cahaya yang tak terhitung jumlahnya tersebar di angkasa.
Gradasi cahayanya membentuk pola marmer yang rumit di langit malam.
Entah mengapa, ada sensasi seolah tubuhku melayang.
Seolah berat badanku lenyap, seolah aku terbebas dari gravitasi,
dan kini aku berada di luar angkasa hanya dengan tubuhku sendiri──
Bahkan setelah melepaskan teropong dari mata, perasaan itu tetap ada.
Aku benar-benar merasa sedang berada di alam semesta.
Di sudut alam semesta, di bumi.
Di tepi laut ini, bersama Makoto dan Chiyoda-sensei, memandangi bintang-bintang.
──Aku pun memikirkan Nito.
Sekarang, mungkin dia sedang berada di daerah Tohoku.
Gadis itu berkeliling kota-kota di Jepang, menyampaikan musiknya.
Pasti dia juga berada di bawah langit yang sama.
Begitu aku berpikir seperti itu, perasaanku pun menghangat.
Dia juga pasti sedang berada di bawah langit ini, di negeri yang jauh di utara.
Mungkin… dia juga sedang memikirkanku.
Memikirkan aku yang jauh di sini, atau tentang masa depan kita.
Tanpa bisa menahan dorongan hati, aku membuka ponsel.
Memotret langit berbintang lalu mengirimnya lewat LINE kepada Nito.
Tak disangka──pesannya langsung terbaca.
Lalu, beberapa saat kemudian, dia pun mengirimkan gambar balasan.
Foto dari balik jendela hotel, memperlihatkan pemandangan kota dan langit malam.
Kota itu… samar-samar terasa familiar. Mungkin di Sendai.
Kalau ini terjadi sebelumnya──aku mungkin akan merasa jarak kami sangat jauh.
Mungkin akan merasa kesepian karena jarak yang memisahkan.
Tapi sekarang──aku justru merasa dia begitu dekat.
Di alam semesta yang luas ini, kami tinggal di planet yang sama, di negara yang sama.
Seketika, aku merasa seolah bisa merasakan hangatnya suhu tubuhnya di telapak tanganku──
Dan karena itu──aku pun memikirkan kembali.
Aku ingin tahu lebih banyak tentang alam semesta ini.
Aku ingin menemukan bintang, dan memberikan nama padanya──
Perasaan itu──begitu jelas, seperti hari itu.
Hari saat aku menatap langit bersama ayah sepulang dari perjalanan.
Ya… di sinilah titik awal diriku.
Titik awal dari keinginanku untuk menemukan asteroid.
Dan kini, aku punya satu hal penting lainnya.
Gadis yang lahir di bintang yang sama denganku, yang kini ada di sisiku.
Aku ingin terus berada di sisinya──
Perasaan yang sangat wajar itu, kini terasa begitu nyata, begitu jelas.
“…Terima kasih.”
Karena itu, aku berkata pada Makoto, yang sedang menatap langit malam di timur.
“Makoto… kau sudah memikirkan banyak hal, ya. Terima kasih.”
Aku yakin dia tahu segalanya.
Bahwa hatiku sedang bimbang. Bahwa aku kesulitan menjawab saat simulasi wawancara.
Dan karena itu, dia membawaku ke sini──untuk mengingatkan kembali asal mulaku.
Makoto telah membantuku mengingat siapa diriku yang sebenarnya.
Dan sekarang──mungkin aku bisa bicara di wawancara nanti.
Mengatakan dengan jujur, apa yang kuinginkan. Mengungkapkannya tanpa ragu.
“Hmm? Aku tidak memikirkan apa-apa, kok,”
kata Makoto, menggeleng ringan.
“Aku cuma ingin melihat bintang bersama Senpai, itu saja.”
“…Sungguh?”
“Sungguh-sungguh benar.”
Makoto tersenyum──
“Aku cuma ingin, kita berdua melihat bintang yang paling indah selama ini.”
Itu adalah ekspresi paling jujur yang pernah kulihat darinya,
bahkan dibandingkan semua kenangan dari 3 tahun kehidupan SMA pertamaku.
“…Paling indah, ya.”
Mendengarnya, aku pun kembali menatap langit.
“Memang… mungkin ini yang paling indah. Aku senang bisa melihatnya. Rasanya, aku memang selalu mendambakan pemandangan seperti ini…”
“Benar, kan?”
Makoto melangkah beberapa langkah ke arah laut.
Lalu, ia menoleh padaku dan berkata──
“──Sudah, cukup, kan? Itu saja sudah cukup.”
Ucapnya dengan lembut.
“Senpai cukup lakukan hal yang memang ingin Senpai lakukan.”
Mungkin──memang itu jawabannya.
Pada akhirnya, sejak awal yang kubutuhkan memang hanya itu.
Alasan kenapa aku mengulang kehidupan SMA pun sama.
Untuk menghadapinya──menghadapi keinginan diriku yang sebenarnya.
Kalau begitu──hal yang harus kulakukan sudah jelas.
Mungkin aku tak perlu ragu lagi──
“…Iya, kau benar.”
Sambil tersenyum, aku pun mulai melangkah ke arah Makoto.
“Kali ini pun… seperti yang Makoto bilang, ya.”
Dan di saat itu, Chiyoda-sensei yang duduk di atas pasir,
menyaksikan kami berdua dengan pandangan lembut dan hangat.
【Introduction 8.3】
POV: Nito Chika
Setelah jam sekolah. Segera setelah homeroom di kelasku selesai.
Aku menatap keluar jendela kelas dengan pandangan kosong.
Sudah setahun lebih sejak masuk SMA, dan sekarang aku dan dia sama-sama kelas 2.
Kegiatanku di dunia musik berjalan sangat lancar.
Tour nasional pun berakhir dengan sukses besar,
dan sepertinya musim panas tahun ini akan sibuk dengan penampilan di berbagai festival.
Namun──hatiku terasa berat dan tenggelam.
──Klub astronomi akhirnya resmi dibubarkan.
Syarat keberlangsungan klub adalah memiliki setidaknya empat anggota aktif dan riwayat kegiatan yang cukup.
Klub astronomi, yang gagal memenuhi keduanya, akhirnya dibubarkan di akhir tahun ajaran lalu.
Dan seiring dengan itu, ruang klub pun harus dikembalikan ke pihak sekolah.
“……Haa.”
Aku menopang dagu dengan tangan, memandangi ke arah bangunan ruang klub.
Ke arah tempat di mana dulunya terdapat ruang klub astronomi.
Ruang itu adalah tempat di mana aku menghabiskan begitu banyak waktu bersamanya. Tempat rahasia kami berdua.
Ruang persiapan di sebelahnya juga merupakan tempat persembunyianku.
Saat upayaku mengulang waktu berjalan tak lancar, aku biasa diam-diam datang ke sana dan menghabiskan waktu sendirian.
Tempat yang sangat berarti bagiku──telah lenyap.
Hubunganku dengannya juga mulai renggang sejak sebelum itu.
Kami sudah tak saling bertatap muka, tak lagi berbincang.
Hubungan kami sebagai sepasang kekasih, mungkin juga telah lenyap begitu saja.
Saat memikirkan itu, air mataku hampir menetes.
Dengan cepat, aku menekan ujung mataku dengan jari.
Dan──ada satu hal lagi yang membuat hatiku terguncang.
──Dia tidak menemukan asteroid.
Dalam hampir semua garis waktu sejauh ini, dia selalu berhasil menemukan sebuah asteroid baru saat musim dingin tahun pertamanya.
Penemuan itu membuatnya mendapat penghargaan di sekolah dan memilih jalur studi astronomi di universitas.
Tapi… kali ini, dia belum menemukan apa pun.
Bahkan, sepertinya dia tidak ikut serta dalam penelitian yang biasanya menjadi pemicunya.
……Pasti ini salahku.
Seperti biasa. Sama seperti dulu dengan Mone dan Rokuyou-senpai.
Karena aku berada di sisinya, hidupnya menjadi kacau──
Saat aku berpikir demikian──
“……!”
Siluet yang sangat kukenal melintas dalam pandanganku.
Dia sedang berjalan di lorong penghubung dari gedung kelas menuju gedung klub.
Bayangan punggungnya tampak jauh di balik kaca jendela.
──Itu dia.
Dan──di sisinya, ada seorang gadis.
Tubuh kecil, rambut pirang pendek. Siswi kelas 1 yang baru masuk tahun ini.
Namanya… kalau tidak salah, Akutagawa Makoto-san.
Aku tak tahu hubungan mereka seperti apa.
Bagaimana mereka saling mengenal, dan sudah sejauh apa kedekatan mereka.
Namun──ada satu hal yang kutahu.
Mereka sering menghabiskan waktu berdua di ruang bekas klub astronomi.
Menghabiskan waktu yang lama hanya berdua.
Dan──
“──”
“──”
Mereka sedang berbicara.
Akutagawa-san mengatakan sesuatu, dan dia──tersenyum.
──Senyuman yang tak pernah dia tunjukkan padaku, dia tunjukkan pada gadis itu.
Tetesan hangat mengalir begitu saja dari sudut mataku.
Aku tidak layak berada di sampingnya.
Aku bukanlah gadis yang pantas untuk berada di sisi Sakamoto Meguri.
Post a Comment