NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ashita Hadashi de Koi Volume 4 Chapter 4

 Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Chapter 4 - Pertempuran Di Museum


POV: Sakamoto Meguri 


──Hari Ujian “Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang.”


Ruang rapat di sebuah museum di Tokyo ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaannya.


Lewat sedikit dari pukul 9.30 pagi. 


Setelah beberapa kali berganti kereta, aku dan Makoto tiba di Stasiun Ueno, tak jauh dari lokasi ujian.


Beberapa menit sebelum waktu berkumpul, kami memasuki ruang rapat tengah di lantai empat museum yang telah ditentukan.


“Jadi ini tempatnya…”


“Kelihatannya begitu…”


Ruangannya didominasi oleh warna putih, mengingatkanku pada ruang audiovisual di sekolah.


Ukurannya sedikit lebih luas dari ruang kelas biasa.


Di depan, ada papan tulis putih besar, dan di sekitar meja panjang putih yang berjajar, tampak para pelajar—yang sepertinya peserta hari ini—duduk di sana.


“Tempat duduk SMA Amanuma…”


“Ah, ini dia.”


Kami menemukan tempat duduk yang telah ditentukan dan duduk berdampingan.


Saat menengok ke sekitar, para peserta lain terlihat menghabiskan waktu masing-masing dalam suasana yang khas—ada yang memandangi buku teks dan soal latihan, ada pula yang memainkan ponsel.


──Akhirnya, ada enam sekolah yang mengikuti ujian kali ini.


Total 10 peserta akan bersaing untuk bisa bergabung dalam kelompok penelitian ini.


Dan dari mereka, hanya satu sekolah, dua orang saja, yang akan benar-benar berangkat ke Nagano.


Aku pernah dengar bahwa tidak banyak peserta yang berniat serius, tapi melihat langsung seperti ini, 


semua tampak menatap ujian ini dengan sungguh-sungguh, 


membuat detak jantungku yang mulai tak menentu, terasa seakan dicekik oleh kesadaran.


Lalu…


“──!”


Pintu di depan ruangan ujian terbuka.


Seorang siswa laki-laki yang familiar masuk dari balik pintu itu.


──Rambut hitam lurus yang indah.


Wajah tajam yang menunjukkan kecerdasan, dilengkapi kacamata.


Berseragam SMA Harue—dia adalah Nanamori-san.


Dengan tenang, dia berjalan ke tengah ruangan dan menemukan tempat duduk yang dialokasikan untuknya.


Tepat di sebelah kanan kami, dekat sekali dengan SMA Amanuma.


Tentu saja… dia pun menyadari keberadaan kami.


“……”


Dengan senyum samar yang tampak sepi, dia menundukkan kepala sedikit.


Kami juga membalas dengan anggukan kecil, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.


──Aku tak lagi merasa terguncang.


Aku mengerti bahwa Nanamori-san datang ke sini dengan perasaan yang sangat tulus.


Aku juga memahami bahwa dirinya… sedikit banyak mirip dengan Nito.


Meski begitu… aku tidak akan ragu.


Ada tempat yang ingin kucapai. Ada orang yang ingin terus berada di sisiku.


Dan aku ingin terus mengikuti perasaan itu, yang kini begitu nyata di dalam diriku.


“──Selamat pagi. Aku Nagashino, staf dari Observatorium Desa Achi, lembaga milik negara.”


Tepat waktu, seorang wanita staf naik ke podium.


“Terima kasih telah berpartisipasi dalam seleksi ‘Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang’ hari ini. Hari ini, kami akan mengadakan ujian tertulis selama satu setengah jam mulai pukul 10 pagi. Setelah istirahat makan siang, wawancara akan dilaksanakan mulai pukul 1 siang. Kami mohon kerja samanya.”


Setelah sambutan selesai, ujian tertulis pun dimulai.


Kertas soal dan lembar jawaban dibagikan, semuanya masih dalam posisi tertelungkup menunggu waktu mulai.


──Aku bisa melakukannya.


Sekali lagi, aku menyemangati diriku sendiri dalam hati.


Dalam semua latihan dan simulasi sejauh ini, baik aku maupun Makoto sudah hampir selalu mendapat nilai sempurna.


Bagian penting sebenarnya adalah wawancara nanti.


Karena itu, yang perlu kulakukan sekarang hanyalah tetap tenang dan menunjukkan kemampuan seperti biasa.


“…Yosh.”


Dengan suara kecil, aku bergumam.


Lalu, agar hanya dia yang bisa mendengarnya, aku berbisik pada gadis di sebelahku,


“Ayo kita mulai, Makoto.”


“Iya.”


Wanita staf itu mengangkat suara, 


“Silakan mulai.”


Di saat yang sama, semua peserta membalikkan kertas soal masing-masing.


Dan dengan begitu──


pertarungan kami pun dimulai.



“──Yosh, yosh, sepertinya kita berdua dapat nilai sempurna.”


“Sampai sejauh ini, semuanya berjalan sesuai rencana.”


Setelah ujian tertulis selesai──waktu makan siang.


Aku dan Makoto duduk di bangku taman Ueno, baru saja menghabiskan bekal yang kami bawa, sambil memeriksa hasil ujian dengan penilaian sendiri.


Isi ujiannya, secara keseluruhan, sesuai dengan yang kami prediksi.


Tentang gerakan semu planet, pemahaman mengenai lubang hitam, kehidupan di alam semesta, dan evolusi bintang di diagram H-R—semuanya masih dalam cakupan materi yang kami pelajari.


Berkat itu, aku dan Makoto menilai diri kami dengan hasil yang sempurna.


Untuk permulaan, kami saling memberi apresiasi atas usaha yang telah kami lakukan.


“Syukurlah, aku tidak jadi beban buat Senpai. Walau bagaimana pun, Senpai punya pengetahuan astronomi yang luar biasa. Aku terus merasa cemas, lho.”


“Eh, jangan begitu. Justru Makoto juga luar biasa, tahu.”


Aku meminum satu teguk milk tea yang kubeli dari mesin penjual otomatis, lalu tertawa.


“Kau bahkan belum pernah menyentuh materi yang seperti ini sebelumnya, tapi bisa dapat nilai sempurna hanya dalam sebulan. Itu luar biasa sekali, kau terlalu pintar…”


Jujur saja, aku tak bisa tidak ketawa.


Makoto, yang bahkan masih SMP, bisa menyelesaikan soal-soal yang bahkan anak SMA bisa kesulitan.


Aku benar-benar merasakan bakat di dalam dirinya, dan kalau hanya soal potensi, aku yakin dia jauh melebihiku.


Tapi…


“Yah, sebenarnya… aku juga lumayan ngotot belajarnya sih.”


Makoto mengakui itu sambil tersenyum pahit.


“Dibanding ujian masuk SMA, aku jauh lebih serius belajar untuk ini. Soalnya ujian masuk SMA, ya… kelihatannya sih aku bakal lulus juga walau belajar sekadarnya. Tapi yang ini, aku benar-benar memberikan semuanya.”


“…Kau sampai segitunya, ya…”


Aku menggenggam kaleng minuman di tanganku dengan erat, merasakan rasa terima kasih dan rasa bersalah sekaligus.


“Terus terang, waktu kau bilang mau ikut juga, aku tidak menyangka kau akan serius sampai segini. Terima kasih, ya.”


Aku jadi berpikir, bagaimana kalau Makoto tidak ikut?


Kalau aku datang ke ujian ini sendirian, menjalani wawancara seorang diri…


Mungkin aku tetap bisa lulus, tapi bisa juga aku gagal tanpa disangka-sangka.


Bahkan sedikit saja terguncang karena Nanamori-san, bisa membuatku kehilangan keseimbangan dan semua jadi kacau.


Kalau kupikir-pikir, bisa pulih dari keterpurukanku waktu itu pun, karena Makoto juga.


…Ya. Aku benar-benar bersyukur dia ada di sisiku.


Setidaknya selama sebulan terakhir ini, aku merasa sangat senang karena ada Makoto di sampingku.


“…Tapi, ngomong-ngomong.”


Aku kembali ke pertanyaan yang sudah lama ada di benakku.


“Kenapa, kau sampai membantuku sejauh ini? Kenapa tiba-tiba memutuskan buat ikut ujian juga?”


Iya, dia belum pernah menjelaskan itu.


Setelah pengamatan bintang waktu itu, mungkin dia memang jadi tertarik pada langit dan bintang-bintang.


Aku masih ingat bagaimana Makoto begitu tersentuh melihat bulan melalui teleskop.


Mungkin itu salah satu titik balik yang memotivasi dia.


Tapi sebelum itu──


Kenapa dari awal dia memutuskan untuk ikut ujian ini? Kenapa dia mau mengejar tempat di kelompok ini bersamaku?


“Sepertinya… sudah waktunya kau kasih tahu aku?”


“Hmm, benar juga…”


Makoto memasang ekspresi berpikir.


Namun, setelah beberapa saat, dia tersenyum padaku dan berkata:


“…Tapi aku tetap belum mau kasih tahu sekarang.”


“Eh, kenapa?”


“Soalnya, aku mau bilang itu saat wawancara nanti. Kalau memang ada pertanyaan seperti itu, aku akan menjawabnya langsung dari hati. Jadi, tunggu saja sampai nanti, ya.”


“Hmm… begitu, ya.”


Kalau begitu, aku akan menunggu.


Masih ada sekitar 2 jam sebelum wawancara kami dimulai.


Sudah menunggu selama sebulan, masa 2 jam saja tidak bisa sabar?


Saat aku sedang memikirkan itu…


“──Hai.”


Sebuah suara yang familiar terdengar dari sebelah kanan.


“Jadi kalian di sini.”


Itu suara Nanamori-san.


Sepertinya dia baru saja makan. Dengan mantel dan syal, dia berjalan mendekati kami.


“…Halo.”


“Selamat istirahat…”


Kami menyapanya dengan sedikit rasa tegang.


Hubunganku dengannya sebenarnya tidak seburuk itu.


Memang dia pernah bilang dia tidak suka dengan tujuanku, tapi kami tetap berteman. 


Aku sendiri masih punya perasaan positif terhadapnya.


Makanya… meski bingung, aku tidak bisa bersikap dingin padanya.


“Bagaimana tadi ujiannya?”


Dengan nada agak hati-hati, dia bertanya.


“Kalian sudah coba nilai sendiri?”


“Ya, kira-kira begitu…”


“Dua-duanya… nilai sempurna?”


“Sepertinya begitu.”


“Wah, hebat sekali, kalian.”


Nanamori-san mengangguk sambil tersenyum.


Itu ekspresi murni penuh kebahagiaan, tanpa maksud tersembunyi.


“Kalau kau sendiri, Nanamori-san?”


“Ah, aku juga nilai sempurna.”


“Sudah kuduga.”


Tentu saja. Dia pasti dapat nilai sempurna juga.


Pengetahuan dan semangatnya dalam bidang astronomi tidak kalah dengan siapa pun.


Tak mungkin dia kalah dari kami.


“Ngomong-ngomong, peserta dari sekolah lain…”


Dengan senyum santai, Nanamori-san melanjutkan,


“Ada banyak yang bilang soalnya sulit, atau mereka salah di sana-sini. Setidaknya, dari semua peserta, aku yakin kita bertiga ini berada di peringkat atas.”


“Begitu ya…”


Kalau begitu──


Berarti di wawancara nanti, kami bertiga akan benar-benar bersaing.


Siapa yang akan lolos bergabung dengan kelompok penelitian, siapa yang akan dapat kesempatan mencari asteroid.


Di sanalah pertarungan terakhir akan ditentukan.


“Sudah tahu mau bicara apa nanti saat wawancara?”


Nanamori-san bertanya lagi.


“…Iya.”


Aku menatap langsung dan menjawab dengan tegas.


“Aku akan bicara semua yang ada di hati.”


“…Begitu ya.”


Nanamori-san tersenyum kecil.


Senyum itu──terlihat sangat menyedihkan.


Bukan karena strategi atau manipulasi—murni senyum yang sepi.


Dan karena itu… aku bisa merasakan dengan jelas bahwa orang ini sungguh menganggapku teman. 


Bahwa dia ingin tetap menjadi temanku.


“Kalau begitu…”


Kata Nanamori-san sambil melambaikan tangan dan pergi.


“Kita sama-sama berusaha, ya.”


Aku menyahut pada punggungnya yang menjauh,


“…Iya.”


Dengan suara yang terdengar seperti salam perpisahan, dia menjawab:


“…Benar juga.”



“──Dari SMA Amanuna , Sakamoto-san, Akutagawa-san.”


“Y-ya…!”


“Sekarang giliran kalian. Silakan ke ruangan ini.”


Waktu giliran kami untuk wawancara tiba kira-kira 20 menit setelah jadwal seharusnya. 


Sepertinya wawancara peserta dari sekolah lain berjalan cukup sengit.


Siswa-siswa yang baru selesai wawancara di ruang tunggu tampak sulit menahan rasa lega dan kegembiraan saat mereka bersiap untuk pulang.


Nanamori-san sudah menyelesaikan bagiannya dan telah kembali ke rumah. 


Aku penasaran, apa yang dia bicarakan? Apa yang dia sampaikan pada para pewawancara?


Dengan perasaan gelisah, kami keluar dari ruang tunggu dan mengikuti staf yang memandu kami. 


Kami menyusuri koridor yang terasa seperti rumah sakit, lalu berhenti di depan ruangan bertuliskan “Ruang Resepsi.”


Inilah──ruang wawancara. Tempat yang akan menentukan nasib kami.


Aku dan Makoto mengetuk pintu sesuai dengan tata krama yang telah kami pelajari, dan setelah mendengar jawaban dari dalam, kami masuk.


Di dalam ruangan──telah duduk tiga orang dewasa.


Dua laki-laki dan satu perempuan. 


Di hadapan mereka terletak papan nama kecil, menunjukkan bahwa mereka adalah staf dari Balai Desa Achi dan pegawai observatorium.


──Detak jantungku langsung melonjak.


Padahal sebelumnya saja jantungku sudah berdetak kencang, kini makin terasa menggila, tanganku mulai gemetar, dan keringat dingin pun mulai mengalir.


“Tenang saja, kalian tidak perlu terlalu gugup.”


Pria paruh baya dari balai desa, Nokishita-san, berkata sambil mempersilakan kami duduk.


“Ini bukan forum yang kaku. Anggap saja ini kesempatan untuk saling mengenal lewat obrolan.”


“Terima kasih banyak…”


Setelah memperkenalkan diri, kami menjelaskan bahwa aku adalah anggota Klub Astronomi SMA Amanuma, dan Makoto adalah siswa SMP. 


Kami menjawab pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari klub dan apa saja yang telah kami lakukan sejauh ini.


Sesuai dengan kata-kata Nokishita-san, suasana wawancara sangatlah hangat dan ramah.


Rasanya seperti sedang berbincang dengan paman dari pihak keluarga. 


Kami bercerita tentang bagaimana kami berhasil menyelamatkan klub dari ambang pembubaran, dan video-video yang kami buat pun mendapat tanggapan positif.


“Hee~… Itu menarik sekali.”


Kata Nagashino-san, wanita dari observatorium yang juga menjadi pengawas ujian tulis tadi pagi, sambil matanya berbinar.


“Bolehkah aku lihat videonya sekarang, di ponselku?”


“Tentu saja!”


Aku mengangguk dengan senang hati karena melihat antusiasmenya.


“Kalau dicari di YouTube dengan kata kunci ‘Klub Astronomi SMA Amanuma’, seharusnya langsung muncul.”


“Hmm… Oh, iya benar.”


Tampaknya videonya sudah muncul. Nagashino-san menunjukkan layarnya pada pria di sebelahnya sambil beberapa kali menyentuh layar.


“Wah, ada yang sudah ditonton puluhan ribu kali… videonya juga bagus!”


“Oh, ada kerja sama juga dengan SMA Harue, ya.”


Pria satu lagi dari observatorium, pria berusia 30an bernama Kashino-san, ikut bersuara.


“Barusan juga wawancara dengannya, lho. Nanamori-san yang muncul di video ini.”


“Dia juga sangat antusias. Bagus sekali kalau kandidat-kandidat kuat bisa saling mengenal dan bekerja sama.”


──Kandidat kuat.


Kata-kata yang terucap spontan dari mulut Nokishita-san.


Nada suaranya terdengar tulus dan jujur, membuatku sadar bahwa kami adalah salah satu peserta yang cukup mereka harapkan. 


Jantungku kembali berdegup kencang.


Wawancara pun berlanjut.


Pertanyaan bergeser ke masa lalu kami dan momen pertama kali kami tertarik pada bintang.


“──Waktu itu, dalam perjalanan pulang dari liburan keluarga.”


“──Di jalan menuju rumah, saya menatap langit malam dan ayahku menjelaskan banyak hal padaku.”


“──Saya mulai merasakan bahwa saya bagian dari alam semesta ini melalui pengamatan bintang bersama Sakamoto-senpai.”


“──Dengan mencari bintang baru, saya merasa bisa melihat diriku sendiri secara lebih objektif.”


Respon mereka terhadap jawaban-jawaban itu sangat positif.


Ketiganya tersenyum, sesekali mengangguk penuh perhatian mendengarkan cerita kami.


Tanpa terasa, waktu wawancara yang dijadwalkan mulai mendekati akhir. 


Pertanyaan yang diajukan mulai berfokus pada ‘apa yang akan terjadi ke depan’.


Dan akhirnya──


“Begitu ya. Terima kasih. Kalau begitu…”


Nokishita-san berkata begitu sambil menarik napas panjang.


“Sakamoto-san, Akutagawa-san──kenapa kalian ingin bergabung dengan Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang?”


Akhirnya──pertanyaan itu pun datang.


“Lewat pencarian asteroid ini, apa yang kalian harapkan akan terjadi?”


Ketiganya kini menunjukkan ekspresi serius.


Nokishita-san, Nagashino-san, dan Kashino-san menegakkan tubuh, dan atmosfir yang tadinya santai berubah menjadi fokus dan khidmat.


Dari sikap mereka, aku bisa merasakan betapa pentingnya pertanyaan ini.


Pertanyaan-pertanyaan sebelumnya hanyalah pembuka jalan, untuk mencairkan suasana dan menggali niat sebenarnya dari peserta.


Dan kini──saat itulah, aku mulai bicara.


“……Saya…”


Saat mulai berbicara──sejenak aku ragu.


Apakah aku benar-benar boleh mengungkapkan semuanya?


Pembicaraan tentang Nito, yang tidak ada hubungannya dengan astronomi. Jika dipikir-pikir… itu hanya cerita cinta biasa.


Apa pantas aku menyampaikannya?


──Tapi yang mengejutkan…


Jawabanku muncul begitu saja, tanpa banyak keraguan.


“Saat ini──saya sedang menjalin hubungan dengan seseorang.”


Dengan jelas, aku memulai dari sana.


Dan entah kenapa──aku merasa bahagia saat mengatakannya.


Seolah-olah, aku memang ingin membagikan cerita ini.


“Anak itu… benar-benar luar biasa. Sekarang, dia mulai dikenal banyak orang lewat kegiatannya. Mungkin kalian juga sudah pernah mendengarnya.”


Ya──aku hanya ingin menyampaikan.


Kepada orang-orang yang mungkin akan memberiku kesempatan untuk ikut dalam pencarian asteroid ini.


Kepada orang-orang yang mungkin akan memberiku satu-satunya peluang dalam hidup.


Aku ingin mereka tahu yang sebenarnya.


Apa yang aku pikirkan, apa yang aku kejar──aku hanya ingin menceritakannya.


“Anak itu akan terus menjadi sosok yang semakin jauh. Dia akan terus bersinar, dicintai banyak orang… dan menjadi seorang gadis yang sangat istimewa.”


Sambil berbicara, aku menggigit bibirku.


Aku teringat pada masa lalu──saat aku hanya bisa melihat punggungnya yang menjauh, di kehidupan SMA pertamaku.


Jalannya sudah jelas. Selama Nito masih hidup, dia akan terus naik ke puncak tertinggi.


Cahayanya begitu terang, sampai membuatku tak bisa bergerak.


Namun──


“Tapi… justru karena itulah,”


Aku tersenyum pada para pewawancara.


“Saya ingin menempuh jalan yang kutuju, secepat dirinya.”


Di hadapanku, sudah ada jalan terbentang.


Jalan yang berbeda dari Nito. Jalan yang benar-benar kuinginkan.


Satu-satunya cara untuk tetap berada di sisinya──adalah dengan terus berlari bersamanya.


“Seperti yang tadi sempat saya katakan… saya ingin suatu hari nanti bisa menamai sebuah bintang. Saya juga ingin menjadi seorang astronom. Itulah sebabnya, saya ingin terus melangkah maju, bahkan di saat ini pun. Agar saya tidak tertinggal darinya. Dan──”


Setelah berkata demikian, aku mengangguk dan melanjutkan:


“──itulah alasan kenapa saya ingin menemukan bintang.”


──Keheningan singkat menyelimuti ruang resepsi.


Saat kulirik… Nokishita-san tersenyum lembut, tampak sangat senang.


Nagashino-san menatapku dengan ekspresi “hoh…” yang tampak kagum… sementara Kashino-san bahkan terlihat sedikit berkaca-kaca.


──Tersampaikan.


Aku bisa merasakannya dengan jelas.


Perasaanku, harapanku, telah benar-benar tersampaikan kepada ketiga pewawancara itu──


“……Terima kasih banyak.”


Ucap Nokishita-san dengan suara yang mengandung kepuasan mendalam.


“Kalau begitu, selanjutnya… bagaimana dengan Akutagawa-san? Kali ini kalian adalah kombinasi yang cukup langka, seorang siswa SMA dan siswa SMP, tapi kenapa kamu memutuskan ingin bergabung dengan Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang?”


Mendengar kata-kata lanjutan darinya──aku menghela napas lega.


──Kami bisa bersaing.


Tanpa ragu──kami bisa bersaing setara, bahkan lebih baik, dibanding para kandidat lainnya.


Memang, aku tidak tahu cerita seperti apa yang disampaikan oleh Nanamori-san ataupun siswa-siswa dari sekolah lain.


Mungkin saja ada orang yang ceritanya lebih menyentuh. Tidak bisa dibandingkan secara pasti.


Namun setidaknya, hal-hal yang aku khawatirkan tidak terjadi. Yang jelas, kami adalah kandidat yang diperhitungkan──


“──Karena saya suka padanya.”


Makoto tiba-tiba mengucapkan kata-kata itu.


“Saya suka──pada Senpai yang duduk di sebelahku ini.”


──Suka.


Itu di luar dugaan.


Sungguh, kata-kata yang sama sekali tidak aku duga akan muncul.


“Dari yang kalian dengar barusan, kurasa kalian bisa memahaminya,” 


ucap Makoto melanjutkan. 


“Orang ini—betapa canggung dan lurusnya dia. Seberapa besar dia memikirkan orang lain dengan serius dan betapa dia menghargai mereka.”


Kata-kata Makoto membuat para pewawancara terbelalak. 


Mereka benar-benar terpaku oleh arah pembicaraan yang tak terduga ini.


Dan aku pun… tak bisa mencernanya.


Kata-kata sesederhana itu, tapi tak peduli bagaimana aku mencoba, aku tetap tak mampu memahaminya sepenuhnya.


“Bukan cuma pada pacarnya. Pada semuanya. Termasuk saya dan teman-teman lainnya. Senpai yang seperti itu—saya suka padanya.”


Saat aku menatapnya… setetes air mata jatuh dari mata Makoto. 


Namun ia tetap menegakkan tubuh, bibirnya tersenyum, dan dengan jelas mengucapkan kata-katanya.


“Saya benar-benar menyukainya.”


Aku mencoba menenangkan diri sejenak.


Rasa suka bisa berarti banyak hal.


Suka sebagai kekasih, suka sebagai keluarga, suka sebagai teman, suka sebagai manusia.


Aku tak tahu mana yang dimaksud Makoto.


“Senpai seperti itulah yang mengajariku betapa menyenangkannya melihat bintang. Dan sekarang, dia mencoba menemukan bintang baru sendiri.”


Lalu Makoto menatap para pewawancara dan tersenyum.


“Itu… sudah jelas, ‘kan, kenapa saya ingin ikut bersama?”


Ia mengatakannya seolah sedang berbicara dengan teman dekat.


“Sudah jelas, ‘kan, kalau saya ingin melihatnya dari tempat yang paling dekat?”


──Perasaan yang Makoto arahkan padaku.


Rasa suka. Kekaguman. Rasa sayang.


Aku bisa merasakannya dengan jelas, dari ekspresinya, dari kata-katanya, dari nada suaranya.


Aku masih belum tahu apa-apa.


Mungkin aku belum sepenuhnya memahami maknanya… tapi ada kehangatan yang tumbuh dalam dadaku.


Dia adalah sosok yang menjadi semakin berarti, baik di kehidupan SMA pertamaku, maupun yang kedua ini.


Perasaannya membawa kehangatan lembut dalam hatiku.


“Itulah sebabnya──” 


ucap Makoto, menegakkan tubuhnya.


“Saya… sangat ingin ikut dalam kelompok penelitian ini.”


Seperti sebuah deklarasi, ia mengatakannya lantang.


“Saya ingin mencari asteroid bersama Senpai──!”



Setelah wawancara selesai──kami kembali ke ruang tunggu.


Dengan tubuh terkulai di kursi,


“…Seperti yang kuduga, lelah juga ya,” ucapku.


“…Iya,” jawab Makoto.


“Ujian tulis dan wawancara… dari tadi kita benar-benar tegang terus.”


“Benar, betul sekali…”


Tubuhku terasa benar-benar lelah, seolah-olah akan ambruk kapan saja.


Bahkan berdiri saja terasa berat, dan pikiranku pun tak bisa berjalan dengan lancar.


Energi hari ini sudah habis total. Aku harus segera pulang dan tidur.


“Sebelum benar-benar tidak bisa jalan, lebih baik kita pulang…”


“Iya…”


Dengan malas kami mengemasi barang, lalu bangkit dari kursi.


Kami mengucapkan salam kepada siswa dan staf di sekitar, lalu keluar dari museum.


Saat menengadah──di balik pepohonan Taman Ueno.


Langit yang jauh lebih luas dibanding di Ogikubo, kini dihiasi warna biru keunguan dari cahaya senja.


Tanpa sepatah kata pun, aku berjalan perlahan di samping Makoto.


──Kurasa, begini saja sudah cukup untuk sekarang.


Apa yang dikatakan Makoto dalam wawancara tadi. 


Arti dari kata “suka”.


Akan jadi bohong kalau aku bilang aku tidak penasaran.


Begitu mengingatnya, jantungku jadi berdebar. 


Dan Makoto yang ada di sampingku pun terasa seperti gadis yang berbeda dari biasanya.


…Namun tetap saja.


Sejak wawancara selesai hingga sekarang, dia sama sekali tak menyinggung soal itu lagi.


Kalau begitu… begini saja sudah cukup.


Hubungan kami ini, kurasa tak ada yang salah.


Aku pikir… ini sudah cukup baik.


“…Fuhh.”


Aku mengembuskan napas, lalu sekali lagi menatap langit.


Awan tipis melayang, dan langit timur mulai berwarna biru tua.


…Aku ingin mengingat warna ini.


Entah kenapa, aku tiba-tiba berpikir begitu.


Sebagai momen singkat masa remajaku yang tak ingin kulupakan. Sebagai kenangan yang tak akan pernah hilang.


Aku ingin menyimpannya dalam diriku.


Hari ini pasti… adalah hari yang penting, bagiku dan Makoto──



“──Sensei, ini kuncinya.”


“Ya, terima kasih. Sudah kerja keras.”


Minggu berikutnya. Aktivitas klub astronomi kembali seperti biasa.


Seperti biasa juga, aku pergi ke ruang guru untuk mengembalikan kunci ruang klub kepada Chiyoda-sensei.


“Kalau begitu, saya duluan ya.”


“Ah, tunggu sebentar. Ada yang harus kuberikan padamu.”


“Hm? Diberikan…?”


Apa ya? Mungkin lembar tugas untuk pelajaran? Saat aku berpikir seperti itu…


“Nih, ini ringkasan tentang penelitian, lalu ini peta lokasinya.”


Sensei mengambil satu bundel berkas cetakan dan mulai menyerahkannya satu per satu.


“Ini jadwal keseluruhannya, lalu ini hal-hal yang perlu disiapkan sebelumnya. Ini formulir persetujuan yang perlu diisi orang tuamu, dan ini dokumen terkait data pribadi, ya?”


“…Hm?”


Aku menerima berkas-berkas itu, dan saat melihat tulisan di atasnya…


“Ringkasan Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang”


“Akses ke Observatorium Desa Achi”


“Persiapan Awal Penelusuran Asteroid”


“…I-ini, maksudnya…”


“Ya.”


Chiyoda-sensei mengangguk kepada diriku yang mulai memahami situasinya.


“Kalian lolos.”


Dengan senyum lebar di wajahnya, Sensei berkata,


“Kalian berdua—Sakamoto-kun dan Akutagawa-san—terpilih sebagai peserta Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang.”


“──YEEEESSSSSSSSSSSSSSS!!”


──Aku berteriak.


Kabar baik yang datang tiba-tiba membuatku secara refleks mengeluarkan suara besar.


Para guru di sekitarku menoleh dengan kaget.


Tapi, aku tak bisa menahan rasa bahagia ini.


Aku mengepalkan tangan, berteriak, dan bahkan sampai melompat-lompat di tempat.


“YES! YES! Dengan ini… aku bisa mencari bintang! Aku bisa menyusul Nito!”


──Kami terpilih.


Aku dan Makoto, dipilih oleh para pewawancara.


Itu… membuatku nyaris menangis bahagia.


Kesempatan untuk mencari asteroid. Bukti bahwa semua usaha kami tak sia-sia.


Dan juga, rasanya seperti kami diakui.


Di dalam wawancara itu, kami memperlihatkan diri kami apa adanya. Dan kami dihargai untuk itu.


Seolah keberadaan kami sendiri diakui. 


Seolah harapan kami—diri kami—diterima.


“Selamat ya, Sakamoto-kun.”


Chiyoda-sensei tersenyum padaku tanpa sedikit pun berusaha menghentikan sikapku.


“Kamu benar-benar sudah berusaha keras. Aku juga ikut senang.”


“Ya… terima kasih banyak!”


Setelah menerima penjelasan tentang dokumen, aku membungkuk sekali lagi dan keluar dari ruang guru.


Lalu──dalam perjalanan menuju pintu masuk utama.


Aku tak tahan lagi. Aku pun meraih ponselku.


Memang dilarang menelepon di dalam sekolah, tapi hari ini pengecualian. Aku tak bisa menunggu.


Aku ingin memberitahu kabar ini padanya—secepat mungkin.


Dengan tergesa aku membuka LINE dan menelepon Makoto.


Setelah beberapa nada sambung, Makoto segera mengangkat.


『Halo?』


Suaranya terdengar agak bingung dari ponsel.


Ini pertama kalinya kami bicara lewat LINE di lini waktu ini. Tak heran dia agak kaget.


“Hei, kita lolos!”


『Eh?』


“Kita lolos! Ujian ‘Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang’!”


Sejenak keheningan.


Waktu singkat seolah dia mencerna kenyataan ini.


Dan lalu…


『Begitu ya.』


──Suaranya terdengar jauh lebih tenang dari yang kuharapkan.


『Syukurlah.』


“Eh—eh, kau kok tenang sekali, Makoto.”


Perbedaan reaksi kami membuatku tertawa sendiri.


“Boleh kan, lebih senang sedikit?”


『Aku senang, kok. Sangat senang. Tapi…』


Dia sempat berhenti sejenak, lalu melanjutkan,


『Aku memang sudah yakin kita akan lolos sejak awal.』


Suaranya terdengar penuh percaya diri saat ia berkata demikian.


『Jadi, aku tidak merasa itu adalah hal yang mengejutkan.』


“…Begitu ya.”


Entah kenapa, aku tertawa saat menjawab.


Ternyata dia bisa sepercaya diri ini juga, ya.


Di kehidupan SMA keduaku ini, aku terus menemukan sisi-sisi baru dari Makoto.


Seberapa banyak hal yang kulewatkan di kehidupan pertama, ya? Baru sekarang aku sadar betapa ruginya diriku dulu.


『──Ayo kita temukan.』


Dengan suara dalam dan mantap, Makoto berkata.


『Kita berdua. Aku dan Senpai. Pasti akan menemukan asteroid.』


Nada suaranya yang tenang terdengar seakan yakin sepenuhnya dengan masa depan itu.


Seolah-olah… ia sudah bisa membayangkan dengan jelas kami menemukan asteroid bersama.


“…Iya, pasti.”


Dengan senyum kecil yang tak bisa kucegah, aku mengangguk pada suara dari balik ponsel.



──Malam itu.


Sebuah pesan LINE datang dari Nanamori-san.


Nanamori Takuya: “Aku dengar hasil ujian kalian.” 


Nanamori Takuya: “Katanya kau dan yang lain lulus, ya.” 


Nanamori Takuya: “Selamat.”


Meguri: “Terima kasih banyak.”


Meguri: “Umm, mungkin kedengarannya agak menyebalkan kalau aku bilang ini…” 


Meguri: “Tapi aku sungguh merasa kami bisa sejauh ini juga berkat Nanamori-san…” 


Meguri: “Jadi, terima kasih banyak…”


Nanamori Takuya: “Ahaha, tidak kok. Itu semua karena kemampuan kalian sendiri.”


Meguri: “Apa benar…”


Nanamori Takuya: “Makanya, pastikan kalian menemukannya, ya.” 


Nanamori Takuya: “Asteroidnya.”


Meguri: “Aku akan berusaha semaksimal mungkin!!!”


Lalu, setelah beberapa menit…


Nanamori Takuya: “Aku juga.” 


Nanamori Takuya: “Akan coba memikirkan ulang banyak hal.” 


Meguri: “Begitu ya…”


Nanamori Takuya: “Jadi, kalau kau tidak keberatan…” 


Nanamori Takuya: “Aku akan senang kalau suatu hari nanti kita bisa mengamati bintang bersama lagi.”


Membaca pesan itu──aku tak bisa menahan senyum lebarku.


Sambil berguling-guling di atas tempat tidur, aku pun membalas dengan sepenuh hati, huruf demi huruf:


T-e-n-t-u-s-a-j-a-! 



【Introduction 8.4】 


POV: Nito Chika 


“──Bukan, bukan! Bagian tadi, bisa coba dimainkan lagi sebentar?”


Studio tempat kami latihan sebelum tour diliputi suasana yang berat.


Ansambel bagian ritmis sama sekali tidak selaras.


Padahal lagunya berdansa dengan beat empat per empat, tapi nuansa ritmenya terasa terlalu halus seperti enam belas per ketuk—dan sama sekali tak bisa buat menari.


Saat rekaman dulu, bagian drum dimainkan orang lain. 


Tapi untuk tour ini, kami tak punya pilihan selain meminta drummer yang sekarang.


Aku tetap duduk di depan piano, sambil memberi instruksi.


“Mulai dari fill sebelum bagian reff pun tak apa. Ayo, lanjutkan sampai reff-nya.”


“…Baik.”


“Maaf, ya.”


Drummer dan bassist menunduk dengan wajah tak nyaman.


Aku tahu mereka merasa tidak enak. Aku pun merasa bersalah telah memintanya seperti ini.


Aku baru 17 tahun. Baru masuk kelas 3 SMA.


Sementara mereka berdua sudah akhir 30an. Usia yang mungkin sudah cukup untuk jadi orang tuaku.


Pasti tidak menyenangkan menerima arahan dengan nada keras dari gadis muda seperti ini.


Namun──aku tak punya jalan lain.


Aku sudah mengulang-ulang waktu ini berkali-kali, dan aku tahu pasti.


Jika tour ini gagal, maka reputasiku akan mulai menurun sejak saat itu. 


Jumlah pemutaran dan penjualan akan anjlok dengan cepat, dan proyek Integrate Mag tak bisa lagi dilanjutkan.


Dan akibatnya… lagu-lagu…


Aku tak akan bisa lagi memperdengarkan lagu baru ke dunia.


Itu sama saja seperti tidak hidup.


Karena musiklah, aku bisa bertahan hidup.


Karena musiklah, aku merasa bisa menghadapi hidup ini.


Maka, agar aku bisa tetap menjadi diriku sendiri, satu-satunya pilihan yang kupunya──


“──Stop, stop!”


Begitu mereka baru saja mulai masuk ke bagian reff, aku langsung menghentikan permainan mereka.


“Maksudku… ini beat empat per empat! Dokk, takk, dokk, takk! Fokuskan pada ritmenya yang kuat! Jangan keluarkan groove-groove kecil itu! Bass drum-nya tolong lebih maju sedikit, snare-nya justru agak ke belakang—kalau tidak, malah jadi vibe enam belas beat yang biasa kalian mainkan──”


──Bukan seperti ini yang kuinginkan.


Aku tak ingin menyalahkan orang lain seperti ini.


Diriku yang dulu ingin aku jadi… bukanlah orang yang seperti ini.


Tapi entah kenapa, aku merasa inilah satu-satunya cara yang tersisa untukku saat ini.


Pandanganku menyempit, pikiranku mengeras, dan aku tak bisa menemukan cara lain.


“──Ulang dari awal! Semuanya!”


Sambil meletakkan tangan di atas tuts piano, aku berkata,


“Kita akan terus latihan sampai bisa. Mulai dari hitungan.”


Dengan ekspresi kaku, drummer mulai menghitung.


Begitu empat kali stik terdengar, semua langsung memulai permainan.


──Sakamoto Meguri.


Dia, yang sekarang hampir tak pernah kutemui lagi.


Namun sampai sekarang pun, aku belum bisa melupakannya.


Dia tetaplah sosok yang amat berharga bagiku.


Tolong──setidaknya dia.


Setidaknya dia, kumohon, tetaplah bahagia──


Itulah yang aku doakan dalam hati.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close