NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ashita Hadashi de Koi Volume 4 Chapter 5

 


 Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Chapter 5


POV: Sakamoto Meguri 


──Rambut keemasan itu berkilauan diterpa cahaya matahari musim dingin.


“Selamat pagi, Senpai.”


“Eh… Ma-Makoto…”


Hari dimulainya kegiatan Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang.


Di depan Stasiun Ogikubo, pukul 7 pagi.


Makoto datang tepat waktu sesuai jadwal, dan aku sampai tidak percaya pada mataku sendiri.


“Ka-kau… rambutmu…”


“…Ah, ini.”


Makoto tersenyum malu, lalu menjentikkan helaian rambutnya.


“Selama libur musim dingin saja. Aku pikir mau menyemangati diri.”


Dengan ekspresi nakal, dia menatapku.


“Jadi untuk sementara waktu, aku gadis nakal.”


──Rambutnya berubah jadi pirang.


Padahal belum lama ini, rambut Makoto masih hitam──sekarang berubah jadi emas.


Warna rambutnya begitu bersih, bergaya bob, berkilau lembut diterpa angin.


Tak terlihat rusak atau kering sama sekali, setiap helainya membungkus cahaya dengan lembut.


Biasanya ekspresinya agak datar, tapi untuk sesaat ini, dia tampak sedikit malu-malu.


Bibir tipisnya melengkung pelan, dan matanya menyipit penuh kebahagiaan. Aku sampai terpaku sejenak.


Penampilan Makoto ini seharusnya terasa baru──


Namun, ada perasaan nostalgia yang aneh.


Karena──


“…Senpai, kan pernah bilang waktu itu?”


Makoto melanjutkan dengan nada lembut.


“Saat aku bilang aku akan mengecat rambut jadi pirang saat masuk SMA. Katamu, pasti cocok sekali.”


“…Iya.”


“Bagaimana? Cocok tidak?”


“…Iya. Sangat. Cocok sekali.”


Di kehidupan SMA pertamaku.


Makoto muncul di SMA Amanuma tahun kedua, dan sejak awal sudah berambut pirang.


Makoto selalu aku ingat dengan rambut itu. Justru saat rambutnya hitam seperti sekarang, malah terasa asing.


Tapi──Makoto yang kini berdiri di hadapanku.


Rambutnya kembali pirang, membuatku merasakan sensasi yang aneh.


Penampilannya seperti Makoto dari putaran pertama──tapi hubungan kami adalah yang sekarang, di putaran kedua ini.


Makoto yang tahu tentang perjalananku melintasi waktu, mendengarkan keluhanku, dan belajar astronomi bersamaku.


Makoto yang bahkan menyatakan perasaannya padaku di wawancara.


“…Kenapa bengong begitu?”


Makoto menatap wajahku, lalu tertawa kecil.


“Justru ini baru permulaan kita, tahu. Kalau dari awal sudah lemas begitu, bagaimana nanti?”


“A-Ah… iya.”


Aku mengangguk. 


Dia benar.


Pencarian asteroid baru benar-benar dimulai hari ini, selama satu minggu ke depan.


Seperti kata Makoto, kami harus menghadapi ini dengan penuh semangat──


“Kalau begitu──ayo berangkat.”


“Iya.”


Kami saling mengangguk, memanggul ransel masing-masing, lalu berjalan menuju gerbang tiket.


──Naik Jalur Chuo menuju Stasiun Tokyo, lalu ganti naik Shinkansen.


Untuk mencapai tujuan kami, Desa Achi, kami akan naik Jalur Tokaido sampai Nagoya, lalu lanjut dengan bus.


Di dalam Shinkansen yang baru berangkat──


Kami memandangi kota Shizuoka yang berlalu di luar jendela, sambil mengonfirmasi ulang jadwal perjalanan.


“Perjalanannya dari hari ini, 26 Desember, sampai tanggal 30. Total 4 malam 5 hari.”


Sambil menunjuk ke lembar jadwal, aku menjelaskan.


“Hari ke-5 kita pulang dari Desa Achi sebelum siang, jadi malam pengamatan cuma ada 4.”


“Hmm-hmm.”


“Selama 4 malam itu, kita amati pergerakan bintang dan cari kandidat asteroid yang belum ditemukan. Selama kegiatan kelompok ini, fokus kita adalah menemukan kandidat. Semoga saja, kita bisa menemukan beberapa.”


Setelah aku mencari tahu, ternyata dalam pengamatan di Okinawa tahun 2013 ditemukan 4 kandidat, lalu 3 kandidat lagi pada tahun 2016. 


Dari jumlah itu, masing-masing 2 dan 1 asteroid diberi kode sementara.


Semakin banyak kandidat ditemukan, tentu semakin bagus.


“Lalu, kandidat itu nanti dilaporkan ke pihak berwenang oleh staf observatorium, ya?”


“Benar. Ke Minor Planet Center di bawah International Astronomical Union. Lalu kalau 2 malam berturut-turut diamati dan lintasannya bisa ditentukan, mereka akan memberi kode sementara. Saat ini, mulai dari ‘2020Y’.”


Jujur saja, aku selalu mengagumi kode sementara itu.


Entah kenapa──keren, kan?


Bintang yang aku temukan, lalu dapat nama berupa angka dan huruf──menyenangkan, bukan?


Rasanya seperti meninggalkan jejak di dunia ilmu pengetahuan.


Rasanya seperti… benar-benar jadi ilmuwan sungguhan.


Jadi, secara pribadi pun, aku ingin minimal bisa sampai tahap diberi kode sementara.


“Setelah itu, ternyata butuh waktu lama, ya.”


Sambil menunjukkan berita di ponsel berjudul “Siswa SMA Temukan Asteroid Baru!”, aku melanjutkan.


“Karena perlu terus dipantau lintasannya, dari penemuan sampai akhirnya diberi nama bisa makan waktu bertahun-tahun. Lihat, dari penemuan di Okinawa saja, butuh waktu 4 tahun sampai penamaan resmi.”


“Wah… lama juga, ya.”


Memang. 4 tahun itu lebih panjang dari masa SMA.


Untukku, rasanya seperti masa depan yang sangat jauh.


Makanya, penamaan resmi itu lebih cocok disebut impian daripada target realistis.


Lagipula, bisa saja nanti saat dicek ulang, ternyata asteroid itu sudah ditemukan orang lain duluan.


Jadi lebih baik kupikirkan itu sebagai tujuan jangka panjang.


“Artinya…”


Makoto menatapku dengan ekspresi menyimpulkan.


“Tujuan pengamatan kali ini adalah mencari bintang yang bisa diberi kode sementara, ya?”


“Benar. Lagipula, cuaca di Nagano sampai tanggal 30 diprediksi akan terus cerah. Dan Desa Achi itu, terkenal sekali dengan langit malam terindah se-Jepang.”


“Tempat yang sempurna buat pengamatan bintang, ya.”


Aku mengangguk kuat.


“Makanya, kita harus bisa temukan kandidat──lalu tanggal 30…”


Kukatakan itu sambil menoleh ke luar jendela.


Mataku menangkap Gunung Fuji di kejauhan.


“Aku akan pergi menonton konser Nito di Nagoya.”


──Konser di Nagoya.


Tanggal 31, sebelum malam tahun baru dan festival hitung mundur.


Sebagai bagian akhir dari tournya, Nito akan tampil di konser Nagoya.


Aku dan Makoto diundang ke sana sebagai tamu undangan.


Jadi──aku ingin menunjukkan hasilnya.


Kepada Nito.


Bahwa aku berhasil menemukan bintang──


Bahwa mungkin, aku akan bisa memberikan nama──


“Itu sebabnya… aku mohon bantuannya.”


Sekali lagi, aku menatap Makoto dan berkata.


“Mungkin nanti ada hal yang sulit juga, tapi… ayo lakukan bersama!”


“…Iya. Serahkan padaku.”


Makoto mengangkat dadanya penuh percaya diri.


Tapi──di balik senyuman itu, entah kenapa, aku menangkap sedikit guratan perasaan getir di wajahnya saat dia mengangguk kepadaku.



“──Yaa, halo! Sudah lama tidak bertemu!”


“Terima kasih banyak sudah datang dari jauh!”


Di area parkir, tepat setelah turun dari halte tujuan.


Yang menyambut kami adalah tiga orang yang juga pernah mewawancarai kami sebelumnya.


“Halo! Selamat siang!”


“Kami mohon kerja samanya untuk kegiatan kali ini.”


“Ah tidak, kami yang harusnya mengucapkan terima kasih!”


“Kalian pasti lelah, ya? Ayo, langsung saja kami antar ke penginapan!”


Selama masa kegiatan penelitian ini, semua kebutuhan hidup kami seperti tempat menginap, makanan, dan lainnya telah diurus oleh kantor desa.


Tempat kami menginap adalah sebuah penginapan keluarga (minshuku) yang terletak dekat observatorium.


Sebenarnya ada beberapa pilihan yang diajukan, bahkan ada juga penginapan bergaya ryokan yang cukup mewah, 


tapi setelah berdiskusi dengan Makoto, kami memilih yang paling praktis dari segi lokasi.


Meskipun begitu, katanya masakan khas Shinshu akan disajikan dalam jumlah banyak, jadi aku sudah tidak sabar mencobanya.


“Perjalanan dari Tokyo pasti cukup lama, ya?”


“Iya… sekitar 4 jam, mungkin.”


Dalam perjalanan menuju penginapan. 


Seorang pria paruh baya dari kantor desa, Nokishita-san, menyapa kami dengan ramah.


“Tapi tempat ini tenang dan menyenangkan, ya.”


“Iya, cocok sekali buat melihat bintang.”


“Kami juga mengadakan tour pengamatan bintang secara berkala. Ternyata cukup populer, setiap tahun bisa menarik puluhan ribu pengunjung…”


“Puluhan ribu!? Hebat juga… Oh iya, bagaimana cuaca akhir-akhir ini?”


“Hehe, sempurna!”


Nokishita-san membentuk tanda OK dengan ibu jari dan telunjuknya sambil tersenyum.


“Sempat khawatir juga, tapi 2 hari yang lalu cerah sekali. Memang sempat sedikit berawan semalam, tapi berdasarkan firasatku yang sudah lama tinggal di sini, mulai malam ini sepertinya akan baik-baik saja! Kalian pasti bisa menemukan asteroid!”


“Sungguh!? Syukurlah!”


Sambil mengobrol ringan, kami akhirnya tiba di penginapan.


Dari luar, bangunannya terlihat seperti rumah satu lantai yang agak besar.


Mungkin ada yang mengira, “Kan sudah jauh-jauh ke sini, kenapa tidak menginap di tempat yang lebih bagus?” 


Tapi justru kesederhanaan tempat ini yang membuat kami bisa tetap fokus pada pengamatan, tanpa tergoda oleh suasana liburan. 


Jadi kami berdua pun sepakat memilih tempat ini.


Kami menaruh barang-barang di kamar masing-masing.


Sebuah kamar seluas enam tatami dengan lantai tatami yang mengingatkanku pada rumah kakek-nenek.


Sambil menikmati suasana nostalgia, aku menyeruput teh, beristirahat sejenak, lalu bersiap menuju observatorium.


Hari ini, kami akan belajar metode pengamatan saat matahari masih tinggi.


Begitu malam tiba dan persiapan selesai, kami akan mulai mencari asteroid secara langsung.


“Dari sini, kita akan jalan kaki sebentar, ya.”


Begitu keluar dari penginapan, kami dipandu oleh Nagashino-san dan Kashino-san, mulai menanjak naik ke pegunungan.


“Karena jalan kaki yang paling efisien, mohon bersabar sedikit, ya.”


Tidak ada pepohonan di sekitarnya, jalannya menanjak curam namun pandangannya terbuka lebar.


Karena aku cukup sering berjalan kaki di Tokyo, tanjakan semacam ini tidak terlalu berat.


Tapi, sepertinya Makoto tidak terlalu kuat secara fisik. 


Dia terengah-engah sambil berusaha mengejar kami dengan napas memburu.


Beberapa puluh menit kemudian, kami sampai di puncak tanjakan. Dan di ujung jalan──


“Whoa…!”


“Itu dia, ya…”


Bangunan itu bernuansa beton secara keseluruhan.


Sepertinya bangunan ini masih baru, sudut-sudutnya bersih dan terlihat kokoh.


Kesan pertama yang kudapat: seperti laboratorium atau pusat pengamatan.


Desain yang sederhana dan kaku itu terasa seperti wujud fungsionalitas tinggi──dan sebagai otaku, 


aku justru makin bersemangat melihatnya.


Dan──di salah satu sudutnya.


Di sisi kiri dari tempat kami berdiri, ada struktur berbentuk setengah bola──kubah observatorium.


“Tempat ini,”


Ucap Nagashino-san dengan nada bahagia,


“Adalah Observatorium Desa Achi. Mulai hari ini, Sakamoto-kun dan Akutagawa-san akan mulai mencari asteroid baru di sini.”


──Observatorium Desa Achi.


Dibangun beberapa tahun yang lalu, ini adalah observatorium nasional terbaru di Jepang.


Dikelola oleh Observatorium Astronomi Nasional, Pemerintah Prefektur Nagano, NPO Perkumpulan Pengamat Bintang Shinshu, serta Universitas Rika Shinshu.


TL/N: NPO (Non-Profit Organization) = organisasi nirlaba yang tidak berorientasi pada keuntungan.


Dengan fasilitas seperti teater astronomi dan teleskop optik-inframerah 105 cm, tempat ini bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling mutakhir saat ini.


“Baiklah, meski baru tiba──”


Nagashino-san dan Kashino-san menoleh ke arah kami sambil tersenyum.


“──Mari kami perlihatkan fasilitasnya secara singkat, lalu kita lanjut ke pelatihan metode pengamatan!”



Setelah tour keliling fasilitas, kami dibawa ke ruang pertemuan.


Di sana, pelatihan metode pengamatan dilangsungkan, diselingi beberapa kali istirahat.


“──Pada dasarnya, asteroid itu sudah hampir semuanya ditemukan──”


“──Selama pengamatan langit (sky survey) antara tahun 1960 hingga 1977──”


“──Ditambah lagi, banyak pengamat amatir yang setiap malam memantau sabuk asteroid──”


Nagashino-san dan Kashino-san menjelaskan dengan penuh semangat pengetahuan yang kami butuhkan.


Mulai dari latar belakang dan dasar informasi, cara memotret dengan teleskop optik, sampai pengecekan data gambar. 


Semua kegiatan yang akan kami lakukan setiap malam dijelaskan secara detail.


“──Data yang diambil akan dimasukkan ke dalam software khusus──”


“──Seperti ini, bintang yang pergerakannya berbeda kemungkinan besar adalah asteroid. Kalau sudah diketahui, akan muncul tanda seperti ini──”


“──Untuk mendapatkan kode sementara, setidaknya dibutuhkan 2 malam pengamatan. Kalau ditemukan di malam terakhir, kami akan melanjutkan pengamatannya keesokan harinya──”


Cara mereka menjelaskan memang agak canggung jika dibandingkan dengan guru di sekolah.


Namun justru karena kekakuan itu, terasa seperti ‘orang lapangan’ yang sebenarnya.


Ekspresi mereka yang jujur dan ramah membuat kami merasa hangat dan nyaman.


Aku dan Makoto mencatat poin-poin penting dari pelatihan itu sambil menyimak dengan saksama.


Sejujurnya──aku sebenarnya sudah cukup tahu soal metode ini.


Informasi tentang pengamatan di Okinawa banyak tersebar di internet. 


Artikel surat kabar, penjelasan dari staf observatorium, dan video-video tutorial yang sudah sering kutonton.


Ternyata, metode yang digunakan di sini tidak jauh berbeda dari yang di Okinawa.


Dan… sebenarnya, aku juga tahu dari manga favoritku, yang menggambarkan pengamatan asteroid.


Manga itu menceritakan sekelompok gadis yang bekerja sama mengamati langit dalam kegiatan yang berdasarkan observasi di Okinawa. 


Gambarnya sangat realistis, dan aku sering membayangkan, “Bagaimana kalau aku yang ada di sana…”


Terima kasih, “Koisuru ○steroid”! Manga yang benar-benar luar biasa.


Dan──


“──Pada akhirnya, ini adalah pertarungan antara waktu dan keberuntungan──”


Di penghujung pelatihan hari itu,


Dengan ekspresi seolah sedang menantang sesuatu, Nagashino-san berkata,


“Seberapa luas wilayah langit yang bisa diamati. Apakah di sana ada benda langit yang belum diketahui. Hal seperti ini, tidak bisa ditentukan hanya dengan teknik dan usaha.”


Kata-katanya mengandung perasaan yang mendalam.


Sepertinya, Nagashino-san sendiri sudah sering menghadapi situasi seperti itu.


Wilayah yang tidak bisa ditembus dengan teknik dan kerja keras.


Tempat di mana keinginan dan harapan pribadi tidak bisa menjangkaunya──


Di kehidupan sekolah, hal semacam itu hampir tak pernah ditemui.


Soal ujian punya jawaban yang rasional. Kalau kita berusaha, hasilnya akan mengikuti.


Kita bisa meraih akhir yang bahagia dengan kekuatan kita sendiri──


Namun, di sini, hal itu tidak berlaku.


Tak peduli sekeras apa pun usaha yang kita lakukan, ada kalanya keinginan itu tidak tercapai.


Dan bisa jadi, sesuatu yang gagal kita capai itu justru dengan mudah direbut oleh orang lain.


Mulai malam ini, kami akan bersentuhan dengan kenyataan seperti itu.


Dan hal itu──


Aku menatap ke luar jendela.


Pegunungan Nagano yang berselimut salju. Kontras putih dan hijau tua yang menyejukkan.


Itulah panggung yang sama—tempat di mana Nito berada.


Panggung tempatnya terus bertarung sebagai musisi.


Itulah mengapa aku ingin berdiri di sana juga.


Dengan mempertaruhkan hal yang penting bagiku, aku ingin ikut bertarung di panggung itu.


Akan ada kegagalan yang tak bisa dijelaskan, kekalahan yang tak terelakkan.


Meski begitu, aku tetap ingin mencobanya.


Aku ingin merasakan sendiri perasaan Nito—dengan kulit ini, dengan dada ini.



“──Boleh bicara sebentar?”


Makoto datang ke kamarku di penginapan—setelah makan malam.


Kami sudah selesai mandi dan sedang bersiap-siap untuk berangkat kembali ke observatorium.


Setelah pelatihan selesai, kami memang sempat kembali ke penginapan untuk makan dan bersiap.


Sebentar lagi kami akan kembali ke sana, untuk memulai pengamatan pertama.


“Ah, boleh saja…”


Makoto mengenakan kaus longgar dan rok panjang.


Tanpa riasan apa pun, ia terlihat begitu polos dan tak berlapis pertahanan.


Sungguh, jantungku agak deg-degan.


Gadis ini masuk ke kamar seperti ini, dengan suasana malam yang begini…


Ruangan beralaskan tatami seluas enam tatami.


Futon yang membangkitkan nostalgia, meja bundar kecil di tengah ruangan.


Di pojok, sebuah boneka Jepang dalam kaca memandang kami dengan ekspresi datar—seolah mengawasi setiap gerak-gerik kami.


Berdua di tempat seperti ini… suasananya jadi terasa ambigu.


“Tapi kita juga harus berangkat sebentar lagi, jadi tidak bisa lama, ya.”


“Ya, aku tahu. Tenang saja, tidak akan lama kok.”


“Baiklah.”


Makoto duduk di hadapanku, di seberang meja bundar itu.


Lalu, dengan suara tenang seolah sedang mengobrol biasa, ia berkata,


“Soal waktu wawancara kemarin.”


Begitu katanya, tanpa basa-basi.


“Aku bilang kalau aku suka pada Senpai, kan?”


──Aku terdiam.


Aku tak menyangka dia akan menyebutkannya dengan begitu mudah.


Sejak hari itu, kami memang tidak pernah membahasnya lagi.


Tapi sekarang, di waktu seperti ini, ia mengucapkannya seperti hal yang biasa.


“…Jangan lihat aku dengan wajah seperti itu, dong.”


Mungkin sadar aku sedikit panik, Makoto tertawa pelan.


“Bukan berarti hari ini aku mau bicara lebih jauh soal itu atau bagaimana, kok.”


“O-oh… begitu ya.”


Aku menghela napas, berusaha menenangkan diri.


“Maaf, aku agak kaget saja…”


“Ahaha, maaf ya tiba-tiba. Tapi…”


Makoto memiringkan kepalanya sedikit.


“Terima kasih ya, karena selama ini kamu tidak pernah membahas itu lebih jauh.”


Ia tersenyum tulus saat mengucapkannya.


“Jujur, aku juga awalnya tidak berniat bicara sejelas itu waktu itu. Tadinya mau dibungkus-bungkus saja, kasih kode-kode halus begitu. Tapi saat itu… aku ingin bicara terus terang. Bukan buat siapa-siapa, tapi buat diriku sendiri.”


“Aku mengerti perasaan itu.”


Aku mengangguk, mengingat kembali suasana wawancara hari itu.


Alasan kenapa kita ingin mencari asteroid.


Bagaimana menjelaskannya pada orang-orang yang mungkin akan mendukung kita.


Saat itu… aku juga tidak ingin berbohong.


Kalau aku menyembunyikan perasaanku, rasanya aku akan terus membohongi diri sendiri.


“Itu di luar rencana, sungguh.”


Makoto tertawa pelan.


“Jadi, aku bersyukur kamu tidak menyentuh soal itu sampai hari ini.”


“…Yah, aku cuma takut saja, sebenarnya.”


Suasana mulai menghangat, dan aku ikut tertawa kecil menjawab.


“Soalnya aku juga tidak tahu harus melakukan apa. Tidak mengerti maksudmu waktu itu. Jujur saja, aku seperti… setengahnya pura-pura tidak mendengar…”


“Eh? Itu tidak boleh kan. Minimal diterima dulu pengakuannya!”


“Haha… iya, maaf sekali…”


“Pokoknya harus introspeksi, ya. Soalnya bisa saja hal seperti itu akan kejadian lagi.”


“Iya iya…”


“Tapi… terima kasih, ya.”


Makoto kembali tersenyum.


Pipinya sedikit mengendur, matanya menyipit, cahaya haru terpancar dari sana.


“Terima kasih karena tidak menjauh, karena tetap ada di sisiku. Aku ingin bilang itu.”


“…Sama-sama.”


Setelah sedikit berpikir, aku membalas ucapannya.


“Aku juga senang kau mau ikut sejauh ini bersamaku.”


Saat aku selesai mengucapkannya—alarm di ponselku berbunyi.


Sudah waktunya.


Waktunya berangkat ke observatorium dan memulai pengamatan malam ini.


“…Nanti, setelah semua selesai, kita bicara lagi, ya.”


Makoto berdiri, berjalan ke pintu, lalu menoleh padaku.


“Nanti aku akan sampaikan perasaanku sekali lagi. Jadi… untuk sekarang, biarkan aku seperti ini dulu.”


“Baik.”


Jantungku kembali berdebar.


“Tapi setelah semuanya selesai, ya.”


Aku pun belum tahu harus berekspresi seperti apa—tapi untuk saat ini, aku akan mengikuti keinginannya.


Untuk sementara waktu, aku akan tetap berada di sampingnya, seperti yang ia harapkan.



──Aku dan Makoto tiba di depan kubah observatorium.


Mulai malam ini, tempat ini akan jadi medan tempur kami.


Di bawah papan bertuliskan Ruang Observasi Teleskop, aku membuka pintu logam berat itu.


“Mohon bantuannya!”


“Mohon kerja samanya.”


Kami menyapa penuh semangat.


“Yup, semangat ya.”


“Selamat datang.”


Para staf yang sudah bersiap menyambut kami dengan senyum hangat.


Saat menengadah—kami melihat kubah setengah bola besar menaungi kepala.


Tiap sisi menampilkan plakat arah mata angin: Timur, Barat, Selatan, Utara.


Salah satu bagian kubah terbuka, membentuk celah persegi panjang yang memperlihatkan langit malam Nagano.


Mataku belum terbiasa dengan gelap, tapi aku bisa langsung tahu—jumlah bintang di atas sana luar biasa banyak dan terang.


Saat menarik napas dalam-dalam, aroma khas beton dan mesin menyambutku.


Di tengah ruangan melingkar ini, berdiri kokoh teleskop besar.


Dengan diameter lensa 105 cm.


Bagian utama cermin dan lensa sekunder teleskop itu tengah mengarah ke langit malam, melalui celah di kubah.


Inilah—teleskop yang akan menjadi pengganti mata kami, dan memburu asteroid-asteroid baru.


Ukurannya yang raksasa dan kesan beratnya benar-benar berbeda dengan yang ada di ruang klub. Tampak seperti robot.


Perasaan kagum dan antusias membuat sudut bibirku terangkat.


Kami menaiki tangga di sampingnya dan menuju area kerja.


Di sudut ruangan, ada meja dan komputer yang telah dipasang.


Di sana, Nagashino-san dan Kashino-san sudah menunggu kami.


“Ini dia, akhirnya,” kata mereka.


“Mulai dari sini, kita akan benar-benar mencari asteroid,” tambahnya.


““Baik!””


Kami menjawab dengan anggukan mantap.


“Langsung saja, kami sudah menyiapkan data hasil pengambilan gambar pertama, jadi mari kita periksa.”


Kami pun duduk di kursi yang sudah disiapkan, aku dan Makoto.


Lalu—menatap layar.


Begitu memberanikan diri untuk melihat data yang ditampilkan…


“…Whoa.”


Tiga gambar sejajar muncul di layar.


Titik-titik cahaya memenuhi gambar-gambar berlatar gelap itu.


Sekilas, tidak terlihat seperti foto langit malam.


Cahayanya terlalu banyak, malah lebih mirip foto mikroorganisme di bawah laut.


Tapi—karena sudah belajar dari majalah dan internet, aku tahu.


Inilah citra resolusi tinggi langit malam saat ini.


“Bagian ini adalah sisi yang berseberangan dengan matahari, artinya ini adalah foto saat ‘oposisi’,” jelas Nagashino-san, seperti yang kuduga.


“Kemudian ini versi yang sudah diproses dan dimasukkan ke dalam software.”


Nagashino-san mengetik di komputer.


Layar berubah—latar putih dengan titik-titik warna mencolok muncul di atasnya.


Masih gambar langit malam yang sama, tapi latarnya putih agar lebih mudah dianalisis.


Tiap titik yang diperkirakan sebagai benda langit diberi warna yang berbeda.


Tiga gambar diputar secara berurutan, dan software secara otomatis mendeteksi pergerakan benda-benda langit.


“Yang dilingkari ini adalah kandidat objek non-bintang. Yang berwarna merah adalah objek yang sudah dikenal, dan yang biru adalah kandidat baru.”


“Eh… lumayan banyak juga, ya.”


Aku menatap ke layar, terkejut melihat begitu banyak kotak biru.


“Kukira objek kandidatnya akan lebih sedikit…”


“Ah, itu karena yang tertangkap ini baru ‘kemungkinan benda langit’ saja,”


Kashino-san menjelaskan sambil tersenyum sedikit canggung.


“Kadang ada noise (gangguan) juga. Kita harus menilai apakah gerakannya konsisten seperti asteroid atau bukan.”


“…Begitu.”


Kalau begitu—memang butuh kerja keras.


Banyak titik, gerakannya pun tampak acak.


Dan dari antara itu semua, kami harus menemukan asteroid baru.


“…Nah, seperti itulah,”


Setelah selesai menjelaskan, Nagashino-san meluruskan punggung.


“Kita akan terus ambil gambar dan periksa selama waktu memungkinkan… jadi, mohon bantuannya!”


“Baik!”


“Mohon kerja samanya!”



Dengan begitu, perburuan asteroidku dan Makoto pun resmi dimulai.


Hari pertama, kami begitu tenggelam dalam pekerjaan hingga larut malam, menatap layar sampai mata kabur…


Tapi sayangnya, kami belum berhasil menemukan kandidat asteroid.


Akhirnya kami memutuskan kembali ke penginapan untuk melanjutkan keesokan harinya.


“Yah, ini baru hari pertama!”


Di jalan setapak menuju penginapan, ditemani staf observatorium, aku berkata pada Makoto.


“Kita sudah mengerti caranya, jadi mulai sekarang kita bisa lebih maksimal!”


“Iya. Masih ada 3 hari lagi, kan…”


Makoto mengangguk sambil mengusap matanya yang mengantuk.


“Cara membedakannya juga mulai terbayang… seharusnya besok bisa lebih efisien.”


“Yup.”


Aku mengangguk sambil menatap ke langit.


Angkasa yang membentang luas di atas kami, dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip seperti menyampaikan pesan.


Meskipun pemandangan bintang dari layar dan software tadi sangat menarik──


Dan meskipun mengintip kedalaman semesta lewat teknologi itu menyenangkan──


Tapi melihat langsung bintang-bintang dari bumi seperti ini…


Rasanya tetap spesial. Inilah awal dari segalanya bagiku, pikirku.



Begitu pula hari ke-2 dan ke-3, pengamatan terus berlanjut.


Kami bangun agak siang, sarapan, lalu mengikuti pelatihan dan review dari hasil malam sebelumnya di observatorium sampai sore.


Kemudian—begitu malam tiba, kembali menatap layar penuh titik-titik.


Ada naik-turun juga selama itu.


Pada malam ke-2, Makoto berhasil menemukan titik yang mungkin merupakan asteroid baru.


“Eh, ini… bisa jadi, kan!?”


“Iya, sepertinya benar!”


Kami sempat heboh karenanya.


Titik itu perlahan bergerak ke kanan atas layar.


Karena ada sedikit awan, software tidak menangkapnya dengan jelas,


Tapi… rasanya seperti asteroid…!


“…Coba kita cek lebih lanjut, ya.”


Bahkan Kashino-san yang melihat layar langsung berubah serius.


“Kita ambil gambar ulang area ini dan pastikan.”


“…Siap!”


Setelah masa tunggu yang menegangkan, data pun dipindahkan ke komputer.


Proses pemrosesan selesai, dan gambar baru dimasukkan ke dalam software.


Setelah mengecek lintasannya berkali-kali—akhirnya…


“…Sepertinya ini hanya noise saja.”


Kashino-san berkata dengan ekspresi kecewa yang sangat jelas.


“Lihat, di gambar terbaru dia sudah hilang. Kalau benar benda langit, dia harusnya muncul di sini…”


“Ahhh…”


“Ugh…”


Saat itu sudah 3 jam sejak pengamatan dimulai.


Kami berdua sudah benar-benar kelelahan, seluruh energi terkuras.


Dengan lemas, kami terjatuh ke kursi, tak sanggup bergerak.


Lalu—‘tragedi itu’ pun terjadi.


Kejadian yang nyaris merusak hubunganku dengan Makoto, terjadi di hari ke-3.


Saat itu, ia datang membangunkanku untuk sarapan pagi.


“──Senpai, waktunya bangun~”


Suaranya terdengar dari balik pintu.


“Uuuuh…”


Karena semalam aku sulit tidur setelah pengamatan, aku masih setengah sadar.


Kepalaku masih kosong ketika mendengarnya.


“Masih belum bangun? Aku buka, ya~”


“Mm…”


Aku akui—jawabanku itu refleks belaka.


Aku nyaris tidak sadar, otakku mati total.


Itulah sebabnya…


“──Eh!? Kamu sedang ganti baju, ya!?”


Pintu geser terbuka, dan yang terlihat di sana adalah Makoto—yang langsung berteriak begitu melihat ke arahku. 


Matanya membelalak, dan sambil sedikit melompat mundur, dia berseru,


“Katakan dulu dong! Aku jadi keburu buka pintunya, kan!”


“A-aaaaah! Maaf!”


──Seperti yang dia bilang, aku memang sedang berganti pakaian.


Tepatnya, sedang dalam proses melepas celana piyama dan hendak memakai celana biasa—dalam kata lain, semuanya terlihat jelas.


Celana boxer dari merek fast fashion langgananku pun terekspos tanpa ampun.


Lalu—saat buru-buru memakai celana, aku kehilangan keseimbangan.


Akibatnya—


“──Uwoaaaahhhh!!”


“H-Hey!!”


Aku terpeleset.


Terlontar dengan gaya yang cukup dramatis, dan jatuh tergeletak di lantai.


Parahnya lagi—posisi tubuhku terjatuh dengan bokong tepat menghadap ke arah Makoto.


“Apa yang sebenarnya kamu lakukan! Memamerkan pantatmu!?”


“B-Bukan! Aku tidak sengaja! Dan kau juga, jangan terus dilihatin begitu! Tutup pintunya!”


“Pintunya tidak bisa ditutup! Ada yang menyangkut!”


“Serius!?”


“Makanya, buruan pakai celananya!”


“Sial… uwaah!!”


“Kenapa jatuh lagi!? Eh, celananya sampai mau lepas tuh!”


“Tutup pintunya dulu!”


“Aku kan sudah bilang! Tidak bisa ditutup!!”


──Begitulah, penuh kekacauan dan keributan.


Akhirnya aku berhasil memakai celana dan boxer dengan benar, 


lalu Makoto pun berhasil memperbaiki pintu dan menutupnya dengan pas.


Dengan perasaan yang remuk redam, kami pun berangkat sarapan ke ruang makan.


……Mulai sekarang, aku harus pastikan celana sudah dipakai sebelum minta pintu dibuka.



Begitulah—keesokan harinya tiba.


Hari terakhir pengamatan yang telah kami nanti-nantikan.


Berbeda dari hari-hari sebelumnya, hari ini kami diberi waktu bebas selama siang hari.


Karena selama ini kami terlalu menekan diri dalam kegiatan pengamatan, Nagashino-san dan yang lainnya memutuskan bahwa kami perlu menyegarkan diri sejenak.


Kami bebas tidur atau jalan-jalan hingga sore hari.


Memang benar… ritme hidup kami selama beberapa hari ini benar-benar berbeda dari biasanya.


Tubuh dan pikiran pun sudah mulai lelah. Jadi sedikit variasi seperti ini memang sangat dibutuhkan.


Saat kutanya Makoto akan melakukan apa, dia menjawab, “Aku ngantuk sekali, jadi mau tidur sepuasnya.”


Sementara itu, aku sendiri mulai terbiasa dengan tidur larut dan bangun siang, jadi tak merasa terlalu kurang tidur.


Setelah mempertimbangkan, aku akhirnya menghubungi seseorang—dan kami sepakat bertemu siang nanti di Stasiun Nagoya, tepat di bawah jam emas, tempat pertemuan yang sudah jadi klasik.


“──Hai, Meguri!”


Saat aku menunggu dengan jantung berdebar—tepat di waktu yang dijanjikan, terdengar suara ceria memanggil.


Aku menoleh, dan di sanalah dia.


Dengan masker dan kacamata sebagai penyamaran.


Meski begitu, aku langsung tahu… dia adalah pacarku.


Nito—atau lebih lengkapnya, Nito Chika.


Tubuh ramping yang terbalut mantel, rambut pendek hitam yang mencuat dari bawah topi berbulu.


Bahkan dari balik lensa kacamatanya, mata bening bak kristal itu tampak bersinar, membuat dadaku terasa sesak.


“Oh! Maaf, aku jadi merepotkanmu.”


Aku tersenyum karena senang, dan menyapanya begitu.


“Apa kau tidak sibuk? Ini sehari sebelum konser kan…”


Besok adalah konser tour Nito di Nagoya, salah satu acara penting dalam jadwalnya.


Saat aku menghubunginya, itu hanya iseng-iseng tanpa harapan. 


Aku tidak menyangka kami benar-benar bisa bertemu.


“Tidak kok, aku memang dapat waktu bebas hari ini!”


Begitulah balasnya, sambil tersenyum manis padaku.


“Jadi tenang saja!”


“Kalau begitu… syukurlah.”


Aku mengangguk, lalu mulai melangkah ke arah kafe yang sudah kucek sebelumnya.


Belakangan ini, nama Nito semakin dikenal.


Karena itu, aku memilih tempat yang privat dan tidak mencolok, dengan tempat duduk yang agak tersekat.


“Ngomong-ngomong… sudah cukup lama sejak terakhir kali kita ketemu, ya.”


“Iya, benar juga.”


Nito mengangguk dan tersenyum kecil.


“Sejak sebelum upacara penutupan semester, aku tidak bisa ke sekolah… jadi sekitar seminggu, ya?”


“Sepertinya memang segitu.”


──Seminggu.


Bagi seorang siswa SMA sepertiku, itu terasa sangat panjang.


Memang, selama libur musim panas pun kami pernah terpisah lebih lama dari itu.


Kami masih sering saling kirim pesan LINE dan telepon juga, tapi tetap saja… jujur, rasanya cukup berat.


Bertemu langsung seperti ini pun terasa lebih menegangkan dari biasanya, dan aku jadi agak canggung.


Aku bahkan merasa kesulitan berbicara seperti biasa, seolah lupa bagaimana cara bersikap di hadapannya.


“……Nee,”


Saat aku sedang gelisah begitu, Nito menatapku dan berkata,


“Meguri, kamu jadi kelihatan lebih dewasa, ya?”


“……Hah, aku?”


“Iya.”


Dia terus memandangku sambil tersenyum ceria.


“Ekspresimu lebih tegas, dan raut wajahmu juga kelihatan beda.”


“Eh, apa itu benar?”


Aku menyentuh wajahku dengan tanganku, heran.


Tapi tak ada yang terasa berubah—masih wajah datar seperti biasa.


“Rasanya tidak ada yang beda…”


“Beda, kok! Kamu kelihatan lebih… bisa diandalkan!”


“Hmm, kalau memang begitu…”


Aku terkekeh pelan dan berkata,


“Mungkin karena beberapa hari ini aku terus sibuk observasi. Lelahnya terbawa ke wajah.”


Kurasa memang begitu.


Setiap malam menatap layar berjam-jam, dan siangnya sibuk dengan evaluasi.


Memang menyenangkan dan membuatku merasa seperti ilmuwan bintang, tapi tetap saja—lelah tetaplah lelah. 


Dan mungkin itu tercermin di wajahku.


Rasanya agak menyesal juga, karena bertemu Nito dalam kondisi kurang prima.


“Ngomong-ngomong, aku penasaran sekali dengan pengamatan bintangmu itu──”


Tepat saat Nito hendak membicarakan soal observasi,


“──Ah, itu dia, ya?”


Di seberang jalan, terlihat kafe yang kutuju.


“Ya, yang itu.”


“Kalau begitu, lanjut ceritanya sambil minum kopi, ya.”


Dengan senyum mengembang, kami membuka pintu antik kafe bergaya klasik itu, dan masuk bersama.



“──Wah, keren sekali! Seperti ilmuwan sungguhan!”


Di bangku sudut dalam kafe, meja kecil untuk dua orang.


Saat aku menjelaskan tentang suasana di observatorium dan metode pengamatan, Nito mendengarkan dengan mata berbinar seperti anak kecil.


“Jadi begitu ya, cara mencari bintang itu… rasanya mirip seperti membuat lagu!”


“Eh? Benarkah?”


“Iya. Soalnya sama-sama harus menatap layar komputer terus, seperti itu.”


Sambil berkata begitu, Nito berpose seperti sedang mengetik komputer.


“Benar-benar membosankan sekali, loh. Apalagi saat membuat aransemen, tampilannya mirip pegawai kantor biasa.”


“Wah, begitu ya…”


Aku mengangguk, lalu menyesap secangkir kopi hangat.


Sepertinya… aku memang sedikit lebih dekat dengan Nito sekarang.


Perasaan itu—meski samar—sungguh ada di dalam diriku.


Dengan ikut serta dalam Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang ini, jarak kami berdua terasa sedikit menyempit.


Aku bisa menyentuh sedikit saja… tempat di mana dia berada, dan apa yang dia rasakan.


Tapi──


“Lalu… bagaimana?”


Nito menatapku dengan wajah penuh semangat dan antusias.


“Kalian akan bisa menemukan asteroid…? Ada hasilnya tidak sampai sekarang…?”


Ya—masalahnya ada di situ.


Aku sudah ikut serta dalam kegiatan penelitian ini. Setiap malam, aku melakukan pengamatan.


Lalu, bagaimana hasilnya?


Apakah aku dan Makoto berhasil menemukan asteroid baru…?


…Harus kuakui.


Aku merasa cemas.


Hingga hari terakhir ini, kami belum mendapat hasil apa pun.


Dan kenyataan itu—benar-benar membuatku gelisah.


Kupikir, dengan ikut dalam penelitian ini, aku bisa berdiri sejajar dengan Nito.


Bahwa, entah bagaimana, kami pasti bisa menemukan beberapa kandidat asteroid, dan paling tidak mendapatkan satu kode sementara.


Kalau bisa begitu, maka sampai hasil pengamatan resmi keluar sekitar 4 tahun dari sekarang, aku bisa merasa layak menjadi pacarnya.


Aku terlalu percaya diri akan hal itu.


Tapi—hasilnya nol.


Bahkan satu kandidat pun belum kami temukan.


Padahal aku sudah mendengar sebelumnya bahwa ini memang soal waktu dan keberuntungan.


Bahwa ini adalah ranah yang tak bisa dicapai hanya dengan usaha.


Bahwa itulah tempat yang ingin kucapai.


Tapi… saat benar-benar berada dalam posisi itu,


Saat aku harus menyampaikan kenyataan ini langsung di hadapan Nito—baru aku benar-benar paham.


──Betapa malunya aku berada di sini.


──Betapa menyedihkannya, sampai rasanya ingin menghilang saja dari dunia ini.


Semua itu, sekarang terasa begitu jelas.


Ini bukan cuma soal “tidak keren” atau semacamnya.


Aku benar-benar tidak tahu harus memasang wajah seperti apa saat memberitahu Nito kenyataan ini.


Keringat mulai membasahi punggungku, dan rasa perih menusuk di balik mataku.


Namun… aku menyesap kopiku dan memaksakan diri berpikir kembali.


Paling tidak, aku tahu Nito pasti tak ingin melihat wajah muramku.


Di tengah kesibukannya, dia meluangkan waktu untuk bertemu denganku. 


Setidaknya, kencan singkat ini harus jadi kenangan yang menyenangkan baginya.


“…Yaaah, jadi begini──…”


Kupaksakan senyum kikuk, dan menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi.


“Sejujurnya, kami belum menemukan apa-apa! Padahal tiap malam sudah mencari mati-matian, tapi bahkan satu kandidat pun belum kelihatan!”


“Eeh, begitu ya.”


Dengan ekspresi biasa saja, Nito mengangguk layaknya sedang mendengar obrolan ringan.


“Bintang itu sulit juga, ya, mencarinya. Padahal aku pikir, akan sedikit lebih gampang, loh.”


Kucoba tersenyum paksa sambil berkata,


“Soalnya, dari kasus sebelumnya, banyak yang bisa menemukan kandidat asteroid meski belum tentu benar. Jadi kukira, paling tidak bisa menemukan satu di hari pertama, lalu di hari terakhir tinggal berharap semoga salah satunya benar-benar asteroid baru…”


Ya, memang itu yang kuharapkan.


Kupikir semuanya akan berjalan cukup baik, dan aku bisa datang ke sini dengan harapan di dada.


Kupikir, aku bisa menemuinya sebagai ‘aku yang baru’, dengan rasa percaya diri.


“Hmm… ternyata tidak semudah itu, ya…”


Kucoba tertawa sekali lagi, tapi──…


“Aku tidak pernah coba sebelumnya, jadi aku tidak tahu… ternyata, sesakit ini. Kalau serius, ternyata segitu menakutkannya…”


──Air mataku hampir tumpah.


Perasaan kecewa dan malu nyaris membuatku tersedu.


Ya, aku memang belum tahu sebelumnya.


Betapa menakutkannya bertarung sepenuh hati. Betapa menyakitkannya saat segala usaha tidak membuahkan hasil.


Sekarang setelah merasakannya sendiri—hatiku hampir patah.


Di depan Nito, orang yang paling kuinginkan untuk tidak melihat diriku seperti ini… aku hampir hancur.


“──Aku mengerti kok.”


Tiba-tiba—dia berkata begitu.


Dengan suara serius dan jujur.


Nadanya begitu tulus, tanpa ada keraguan sedikit pun.


Nito menggenggam tanganku dan berkata,


“Aku mengerti kok, perasaanmu, Meguri.”


Tatapannya menembus langsung ke mataku, dan ia melanjutkan,


“Rasa takut saat bertarung sepenuh hati, sakitnya kalau semuanya tidak berjalan sesuai harapan… aku tahu semua itu.”


Di matanya—terpancar cahaya yang mirip dengan langit malam di Desa Achi.


Dari kedalaman tak berujung, dia melihatku dengan penuh perhatian.


“Kita bisa bingung, ya… mempertanyakan apakah keberadaan kita ini berarti. Apakah kita ini berharga…”


Itu—adalah kecemasan yang benar-benar bersarang di hatiku.


Kecemasan yang mengusik jati diriku.


Rasa takut kalau-kalau aku ditolak oleh dunia ini.


Sekarang, aku benar-benar sedang menghadapinya.


“Maaf ya… mungkin aku tidak bisa bantu apa-apa.”


Dengan nada getir, Nito menggigit bibirnya.


“Pertarunganmu itu… adalah pertarungan milikmu sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa membantu. Aku tahu rasanya, aku benar-benar paham… tapi tetap saja!”


Katanya sambil menggenggam tanganku lebih erat lagi—dan berkata,


“Aku akan selalu melihatmu.”


──Hangatnya dirinya.


Suhunya. Kata-katanya. Tatapannya.


Semuanya menelusup masuk ke dalam diriku, melalui telapak tangan yang saling bersentuhan.


“Entah kamu berhasil atau tidak, aku akan tetap melihatmu. Aku tidak akan berpaling.”


Nito—melihatku.


Dia berada di sana, untuk menerimaku apa adanya.


Dan kemudian,


“Semoga, keinginanmu bisa terkabul.”


Sambil memejamkan mata erat—dia berdoa.


Agar semua hal yang kuinginkan… yang benar-benar kuinginkan, bisa menjadi kenyataan.


“Agar dunia ini—mau menjawab Sakamoto Meguri.” 



Dan… aku menyadarinya.

Perasaan Nito—doa yang dia ucapkan barusan──

Itu adalah hal yang sama persis… dengan apa yang selama ini aku doakan untuknya.

“…Terima kasih.”

Aku mengembuskan napas pelan dan membalas begitu saja.

Kecemasan itu belum hilang.

Ketakutan dan rasa malu itu juga belum lenyap.

Situasinya… bahkan tidak berubah satu milimeter pun.

Satu-satunya hal yang bisa mendorong semua itu pergi adalah hasil, dan hasil hanya akan datang setelah melewati kerja keras, kegigihan, dan keberuntungan.

Meski begitu──aku tetap berkata pada Nito,

“Karena kau bilang begitu… terima kasih ya, Nito.”

Sekarang aku tahu… kalau ini bukanlah jalan yang salah.

Membawa semua rasa sakit ini, dan tetap berjalan—pasti itulah jawabannya.

Nito—dialah yang telah mengajarkanku itu.

“Tidak, kamu tidak perlu bilang terima kasih…”

Dengan wajah yang terlihat lebih ingin menangis dariku, Nito menggeleng pelan.

“Aku cuma… mendoakanmu.”

“Itulah yang paling berarti buatku.”

Saat aku mengatakan itu sambil tersenyum padanya, Nito pun ikut tersenyum.

──Seperti yang kuduga, pikirku.

Orang yang selalu memberiku kekuatan… adalah dia.

Nito, yang selalu berdiri di depanku dan menarik tanganku ke depan.

Dia yang selalu menungguku dan membakar semangatku—kekasihku yang begitu berharga.

Justru karena itulah… aku ingin terus menatap ke depan.

Apa pun hasilnya, seberapa pun memalukannya hal yang terjadi, aku ingin tetap berada di sisinya.

Dengan perasaan itu, aku memperbarui tekadku dalam hati.


“──Oh, pesan dari Nanamori-san.”

Saat ke toilet di tengah minum teh, aku mengeluarkan ponsel dan melihat pesan darinya.

“Mungkin dia sedang memberi semangat…”

Aku membuka notifikasi itu sambil bergumam.

Begitu membuka layar percakapan dengannya, muncul pesan-pesan berikut:

Nanamori Takuya: “Besok akhirnya hari terakhir, ya.”

Nanamori Takuya: “Bagaimana, sejauh ini? Sudah menemukan kandidat?”

Aku tak bisa menahan senyum kecil.

Dia sampai tahu jadwalnya juga. Nanamori-san memang perhatian.

Banyak hal yang sudah terjadi, tapi dia tetap orang baik, dan jelas dia teman yang penting buatku.

Meguri: “Belum sama sekali…”

Aku membalas singkat, memberi tahu bahwa aku sedang kesulitan.

Bahwa kami belum menemukan satu kandidat pun.

Bahwa meski memalukan dan menyedihkan, aku tetap ingin menemukan satu saja kemungkinan, dan kembali ke Tokyo dengan kepala tegak.

Aku ingin menyampaikannya dengan jujur pada orang ini.

Nanamori Takuya: “Begitu ya.”

Nanamori Takuya: “Memang sulit, ternyata.”

Tak lama kemudian, balasannya datang. Rasanya seperti sedang mengobrol langsung, meskipun kami terpisah ratusan kilometer.

Nanamori Takuya: “Oh iya…”

Lalu, dia melanjutkan:

Nanamori Takuya: “Aku baca di buku soal pencarian asteroid, katanya ada tempat-tempat di langit di mana asteroid terlihat seperti bergerombol.”

Nanamori Takuya: “Padahal sebenarnya, mereka masing-masing mengorbit matahari secara terpisah.”

Meguri: “Eh, begitu ya…”

Nanamori Takuya: “Makanya, kalau kau cari di sekitar asteroid yang baru ditemukan, atau di dekat kelompok (family) tempat asteroid itu tergolong…”

Nanamori Takuya: “…mungkin peluang menemukan kandidat bisa sedikit meningkat.”

Setelah mengakhiri percakapan itu, aku keluar dari toilet.

“Maaf ya, menunggu lama.”

Saat kembali ke meja, Nito menatapku dan berkata,

“……Kamu kelihatan senang.”

Dengan ekspresi lembut, dia menatapku penuh perhatian.

“Seperti… semangatmu balik lagi. Lebih tegar, begitu.”

“Iya, soalnya barusan dapat semangat dari seorang teman baik.”

Aku menjawab dengan nada agak bangga.

“Namanya Nanamori-san. Dia adalah ketua klub astronomi SMA Harue yang pernah aku ceritakan itu.”

“Ah—itu toh!”

Aku pernah beberapa kali cerita soal SMA Harue pada Nito.

Dengan mata penuh ketertarikan, dia mengangguk-angguk.

“……Nanti, akan aku kenalkan.”

Sambil membayangkan wajah Nanamori-san, aku berkata,

“Dia teman yang penting buatku, dan kamu adalah pacar yang penting. Aku akan senang sekali kalau kalian bisa ketemu.”

“Hmm, oke!”

Setelah menghabiskan sisa kopi di cangkirnya, Nito tersenyum seperti anak kecil yang sangat senang.


“──Semangat ya!”

Menjelang perpisahan, di halte bus dekat Stasiun Nagoya tempat dia mengantarku.

Nito menggeser kacamatanya sedikit dan berkata padaku,

“Aku juga akan semangat.”

“…Iya.”

Aku mengangguk dan mengepalkan tangan, lalu mengangkatnya ke arahnya.

“Sama-sama, aya kita tunjukkan!”

“Iya!”

Kami menyentuhkan tinju masing-masing dan saling tersenyum.

“Kalau begitu, sampai ketemu besok!”

“Sampai besok!”

Kami saling mengucapkan janji itu, dan aku pun naik ke dalam bus yang akan membawaku kembali ke Desa Achi.

Saat aku membalikkan badan—dari belakang, terdengar suara Nito memanggil.

“Ah, iya!”

Dia seperti teringat sesuatu, lalu berteriak,

“Kalau kamu selingkuh dengan Makoto-chan, aku akan membunuhmu!”

“Ahaha, aku mengerti kok!”

Sambil tertawa begitu—kami pun melangkah ke medan tempur masing-masing.

Di dalam dada, bergulung-gulung perasaan yang belum bisa bercampur sepenuhnya—kecemasan, harapan, kesepian—semuanya berputar tak menentu.

 
【Introduction 8.5】

POV: Nito Chika 

──Aku mengetahui “akhir dari dirinya di garis waktu ini” tepat seminggu sebelum upacara kelulusan.

Itu terjadi di sekolah, sepulang sekolah, saat aku datang untuk memberikan salam perpisahan terakhir.

Hari itu, rencananya aku hanya akan mengucapkan terima kasih kepada para guru di ruang guru, mengambil barang-barang pribadiku yang tertinggal, lalu pulang.

Hanya itu rencananya.

Namun… setelah semuanya selesai, entah kenapa aku terpikir untuk pergi ke gedung klub.

Aku mengunjungi ruang klub astronomi, tempat di mana dulu aku menghabiskan waktu sepulang sekolah bersama dia.

“…Huh, pintunya terbuka.”

Entah seseorang lupa menguncinya, atau ada alasan tertentu.

Ketika kusentuh pegangan pintunya, pintu itu terbuka begitu saja. 

Aku masuk ke dalam dengan hati-hati.

──Pemandangan yang begitu kurindukan.

Peralatan sekolah yang tertata. 

Peta dunia yang masih menunjukkan Jerman Timur dan Barat terpisah, dan berbagai materi tentang batu mineral.

Radio kaset rusak, meja penuh coretan, serta patung dada dari gips yang sudah berdebu.

Dan──piano.

Piano tua model upright yang selalu aku mainkan.

Kalau dipikir-pikir, hari itu juga…

Hari ketika Meguri mengungkapkan perasaannya… aku sedang memainkan piano.

──“Aku suka padamu, Nito.”

──“Maukah kau… menjadi pacarku?”

Mengingat kembali kata-kata itu, air mataku hampir tumpah.

Aku menggigit bibir, berusaha keras menahan isak.

Aku tak berhak menangis.

Semua yang terjadi adalah akibat dari perbuatanku sendiri. Aku tidak punya hak untuk mengasihani diri sendiri.

──Saat itulah.

“──Jadi begini, ya──”

“──Iya, ya──”

Suara yang familier terdengar──dari luar ruang klub, di belakangku.

Suara dua orang, laki-laki dan perempuan──berbicara sangat akrab.

Meguri──dan Akutagawa-san.

Tubuhku refleks menegang. Aku panik, melihat sekeliling.

Mencari tempat untuk bersembunyi.

Di bawah meja, di balik loker, di dalam rak──tidak, ada ruang penyimpanan.

Ruang kecil di sebelah ruang klub tempat barang-barang disimpan.

Tempat di mana aku sering berdiam diri saat sedang merasa sedih.

Di sana… aku bisa bersembunyi──

Tanpa pikir panjang aku berlari menuju pintu ruang penyimpanan dan masuk dengan tergesa-gesa.

Di saat yang hampir bersamaan, Meguri dan Akutagawa-san masuk ke ruang klub──

“…Hm?”

“Ada apa?”

“Entah kenapa… aku mencium bau yang familiar.”

“Bau apa, jamur?”

──Mereka duduk di kursi terdekat dan mulai mengobrol.

Suaranya terdengar sayup dari balik pintu──

“Bukan, bukan bau seperti itu. Seperti… wangi shampo atau semacamnya.”

“Eh, apa itu bauku? Kamu bicara seperti itu tiba-tiba, menyeramkan tahu…”

“Bukan, bukan! Aku tidak mungkin bilang begitu soal baumu sekarang! Tapi… ini siapa ya? Bau siapa ya ini…”

“Chiyoda-sensei mungkin?”

“Bukan, bukan itu…”

Percakapan mereka terdengar begitu akrab.

Nada suara ceria Meguri──yang sudah tidak pernah dia gunakan saat berbicara denganku.

Dadaku terasa sesak, hampir mengeluarkan suara.

Aku menutup mulut dengan tangan kanan, berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara.

Aku tidak boleh ketahuan──tidak boleh mereka tahu kalau aku ada di sini.

“…Ngomong-ngomong, Chiyoda-sensei sepertinya agak kecewa, ya.”

Meguri mengucapkannya dengan nada agak sedih.

“Soal rencana masa depanku. Sepertinya ia merasa sedikit bertanggung jawab…”

Masa depan──jantungku berdegup kencang.

Apa yang akan Meguri lakukan setelah lulus di garis waktu ini?

Aku masih belum tahu.

Harapanku belum sepenuhnya pupus.

Memang, di garis waktu ini dia tidak berhasil menemukan asteroid baru.

Masa depannya sangat berbeda dari yang kukenal.

Tapi… mungkin saja dia berhasil di ujian masuk universitas.

Mungkin dia akan belajar astronomi di salah satu universitas jurusan IPA.

Aku sangat ingin itu menjadi kenyataan.

Aku ingin dia tetap mengejar mimpinya.

Namun──dengan nada seperti mengejek, Akutagawa-san tertawa getir.

Dan dengan nada agak menggoda, dia berkata──

“Yah… soalnya kamu gagal semua ujian masuk dan sekarang jadi ronin.”

TL/N: Ronin (浪人): dalam konteks ini adalah lulusan SMA yang gagal masuk universitas dan belajar lagi untuk ujian tahun berikutnya.

──Gagal semua.

──Menjadi ronin.

“Kalau murid yang diperhatikan hasilnya seperti itu, sebagai guru tentu kecewa…”

……Kepalaku seperti menjadi kosong.

Begitu jauh berbeda dari Meguri yang kukenal.

Bukan lagi seseorang yang menemukan asteroid dan bercita-cita jadi astronom.

Jantungku berdetak semakin kencang.

Alasan kenapa dia menjadi seperti itu──hanya satu yang terpikir.

Sesuatu yang berbeda dari garis waktu sebelumnya.

Seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya──seorang gadis──

“…Yah, pada akhirnya aku memang cuma segitu.”

Dengan nada mencemooh diri sendiri, Meguri berkata.

Dan──

“Itu sebabnya… aku berbeda dari Nito.”

Dia menyebut──nama gadis itu.

Nama penyebab hidupnya berubah arah.

Nito Chika.

Aku──yang telah menghancurkan hidupnya.

“Aku tidak bisa seperti dia, terus berusaha, lalu berhasil, dan terus berusaha lagi, lalu berhasil lagi…”

“Yah… dia memang spesial, sih.”

“Kalau melihat orang jenius seperti itu dari dekat, kita jadi sadar betapa tidak pentingnya usaha sendiri…”

──Air mataku tak keluar lagi.

Karena aku tahu.

Karena tak ada lagi ruang untuk menyesal atau gelisah.

Sekarang aku benar-benar paham.

Orang-orang yang telah kusakiti.

Seperti Mone.

Seperti Rokuyou-senpai.

Dan juga──Sakamoto Meguri.

Semuanya──kesalahanku.

Semua ini adalah kesalahanku──

Karena itulah… aku menyadarinya.

Apa yang harus kulakukan.

Penebusan terakhir yang bisa kuberikan kepada mereka semua.

Mungkin… dari awal seharusnya aku tidak berharap apa pun, tidak meraih siapa pun──

“…Maaf ya.”

Dari tubuh yang terasa lemas, hanya suara pelan itu yang keluar.

“Maafkan aku, semuanya──”


0

Post a Comment



close