Penerjemah: Sena
Proffreader: Sena
Epilog - Tarian Bunga Sakura
POV: Sakamoto Meguri
“──Aku antar ya. Ini sudah larut malam juga.”
“Tidak, tidak perlu. Rumahku tidak jauh dari stasiun.”
Setelah pertunjukan live Nito selesai, kami naik shinkansen kembali ke Tokyo.
Kini aku dan Makoto sudah sampai di Ogikubo—dan kami berbincang seperti itu saat melewati pintu keluar tiket.
“Meski begitu, tetap saja berbahaya, lho.”
Waktu sudah hampir tengah malam.
Sekeliling gelap gulita, dan suasana kota mulai sepi dari keramaian.
Aku tak bisa membiarkan anak SMP berjalan sendirian.
“Sungguh, tolonglah. Bukan cuma demi dirimu, Makoto, tapi juga demi diriku sendiri. Kumohon!”
Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah sekalipun mengunjungi rumah Makoto.
Baik saat kehidupan SMA pertamaku maupun kali ini, dia selalu menolak untuk memberi tahuku soal rumahnya.
Dia jarang sekali membicarakan keluarganya, bahkan aku tidak tahu apakah dia punya saudara atau tidak.
…Apa mungkin, memang ada alasannya?
Terkadang dia memang menunjukkan tanda-tanda ada masalah di rumah.
Mungkin karena itulah dia enggan membicarakan keluarganya…
Atau bisa jadi, dia tinggal di rumah tua dan merasa malu untuk memperlihatkannya?
Aku mencoba menebak-nebak, tapi tak akan ada jawaban yang pasti.
“…Baiklah.”
Setelah berkata begitu, dia menghela napas pendek.
“Kalau begitu… tolong antarkan. Aku juga ingin bicara soal sesuatu.”
“…Oke.”
──Ingin bicara.
Itu pasti tentang kejadian saat wawancara tempo hari.
Tentang saat dia bilang dia menyukaiku…
Seperti yang dia katakan sebelum kegiatan Kelompok Penelitian dimulai, akhirnya dia akan membahas hal itu.
Aku menarik napas dan mempersiapkan diri, lalu mengikuti Makoto yang berkata,
“Lewat sini.”
*
“──Ini jadi pengalaman yang sangat berharga, ya.”
Kami berjalan menjauh dari stasiun menuju area perumahan.
Dengan nada hati-hati, seolah memilih kata-katanya, Makoto memulai percakapan.
“Meski hasilnya di kelompok penelitian agak mengecewakan… Tapi kami belajar banyak. Rasanya ini akan jadi kenangan yang tak terlupakan seumur hidup.”
“…Iya, benar juga.”
Aku pun mengangguk sambil mengingat kembali hari-hari di Desa Achi.
“Itu benar-benar jadi 5 hari terbaik dalam hidupku. Terima kasih ya, Makoto.”
“Justru aku yang harusnya berterima kasih. Terima kasih banyak.”
Jelas terasa—ada kepastian dalam ucapannya.
Kehidupan SMA-ku yang kedua ini terasa benar-benar berbeda dari yang pertama.
Mungkin aku masih belum cukup pantas berada di samping Nito.
Mungkin aku belum menjadi seseorang yang cocok untuknya.
Tapi, aku bisa terus melangkah.
Mengarah ke sana, aku bisa terus menggerakkan diriku sendiri.
Menyadari hal itu membuatku merasa sangat puas.
Dan juga──tentang Nito.
Gadis yang kutemui sebelum pertunjukan dimulai.
Aku yakin, perubahanku sudah sampai padanya.
Bahwa aku sudah berbeda dari diriku yang dulu.
Buktinya adalah penampilan Nito malam ini.
Itu adalah pertunjukan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Sama seperti saat dia berada di ruang klub.
Itu adalah penampilan dirinya yang asli, apa adanya.
Langkahnya yang ringan seolah menari, rambut pendeknya yang ikut berayun,
senyumnya yang berkilauan bagaikan kilat kamera, dan kakinya yang telanjang tanpa alas kaki──
Penonton pun terpukau oleh pesonanya yang baru itu, dan langsung jatuh hati padanya.
──Kami telah berubah.
Kami telah mencapai sesuatu yang tak pernah bisa kami raih sebelumnya.
Kalau begitu, pasti…
Nito yang akan datang, gadis yang dulu menghilang di kehidupan SMA pertamaku, kali ini pasti──
“──Sampai sini.”
“……Oh.”
Saat aku masih tenggelam dalam pikiran, Makoto bersuara.
Saat aku menoleh ke arahnya—sebuah rumah berdiri di sana.
Rumah satu lantai yang tampak biasa, mungkin juga masih cukup baru.
Aku sempat membayangkan rumah tua atau rumah aneh, jadi sempat merasa kecewa.
Ternyata… rumahnya biasa saja.
Malah, tampilan luarnya yang bersih memberi kesan cukup berada…
Tapi──aku menyadari sesuatu.
Plakat nama di gerbang depan rumah itu.
Nama keluarga yang tertera adalah… “Egawa.” Bukan Akutagawa.
…Apa mungkin ada sesuatu di balik ini?
Mungkin karena suatu alasan, Makoto tinggal di rumah dengan nama keluarga yang berbeda dari dirinya?
Aku penasaran, tapi tak bisa bertanya.
Aku tidak tahu sejauh mana aku boleh ikut campur dalam urusan pribadi yang rumit seperti itu.
“Senpai.”
Saat aku bingung, Makoto berdiri tepat di hadapanku.
Dia menatap lurus ke arahku—seolah menembus tatapanku yang kasar dan tidak sopan, sejauh beberapa tahun cahaya.
Lalu dia berkata,
“Aku suka pada Senpai. Meskipun aku sudah bilang waktu itu juga.”
Nada suaranya polos dan tanpa keraguan.
Ucapan itu sempat keluar tanpa sengaja saat wawancara hari itu.
Perasaan yang selama ini Makoto simpan untukku──
“…Tadi, Senpai pasti sempat berpikir,”
Ia tersenyum kecil.
“‘Apa maksudnya suka sebagai teman? Atau sebagai sesama manusia?’ begitu, kan?”
“A-aku…”
Aku begitu kaget karena dugaanku langsung terbongkar, sampai suaraku pun gemetar.
“Tidak lah.”
Dengan senyum lembut yang sedikit mengejek—penuh kasih sayang, Makoto tertawa.
“Yang kumaksud ya sebagai lawan jenis. Maksudku perasaan cinta.”
“S-sungguh…”
“Karena Senpai sudah mempercayaiku.”
Dengan mata yang menyipit, seolah mengingat sesuatu yang berharga, Makoto melanjutkan.
“Karena Senpai mempercayaiku sepenuh hati, dan memperlakukanku dengan sangat baik. Makanya aku jadi menyukai Senpai.”
──Kata-katanya.
Perasaan yang jujur dan terbuka itu terasa seperti menggetarkan pikiranku.
Perasaan cinta.
Aku sama sekali tidak menyangka—bahwa Makoto akan merasakannya terhadapku.
Gadis ini yang selama ini ada di sisiku, seperti rekan seperjuangan… ternyata menyimpan rasa cinta untukku.
Aku tidak tahu bagaimana harus menerimanya, bagaimana harus memperlakukan perasaan itu──
“……Apa-apaan ekspresi itu.”
Tiba-tiba, Makoto terkekeh.
“Itu bukan wajah orang yang baru ditembak, lho. Lebih mirip orang yang baru diancam, Senpai.”
“A-aah, maaf!”
Aku buru-buru meminta maaf dan mencoba mengubah ekspresiku.
“Soalnya… aku tidak terbiasa dengan hal begini…”
“Mouu, minimal tunjukkan sedikit rasa senang, dong.”
“Y-ya, tapi…”
Karena aku──tidak bisa membalas perasaan itu.
Aku tidak bisa menjawab perasaan Makoto dengan perasaan yang sama.
Karena aku… sudah punya seseorang yang kucintai.
Seseorang yang masih selalu kurindukan, yang sangat penting bagiku.
“……Tenang saja.”
Sepertinya dia sudah tahu isi hatiku.
Dengan ekspresi pahit namun lembut, Makoto berkata:
“Aku juga tidak berharap bisa mengalahkan Nito-senpai. Aku cuma… ingin menyampaikannya. Hari ini, di tempat ini.”
“……Begitu, ya.”
Aku mengangguk pelan, lalu mengembuskan napas.
Perasaan Makoto tak terbalaskan.
Meski begitu, dia tetap ingin menyampaikannya—dan aku bisa mengerti itu, hingga terasa menyakitkan.
Karena aku juga punya seseorang yang kusukai.
Karena aku tahu bagaimana rasanya tak bisa membuang perasaan itu meski tahu itu takkan terkabul.
Maka setidaknya…
“…Terima kasih.”
Setelah bergelut dengan berbagai pikiran, akhirnya aku berkata pada Makoto.
“Terima kasih sudah mengatakannya seperti itu. Aku merasa tersanjung.”
“Justru aku yang harusnya berterima kasih… karena sudah mau mendengarkan.”
Lalu, setelah berpikir sejenak, Makoto berkata dengan nada hati-hati:
“…Kurasa, bagaimanapun caranya kita bertemu, aku tetap akan menyukai Senpai. Entah itu bertemu sebagai kakak dari teman, seperti kali ini… Atau bertemu sebagai senior dan junior di SMA.”
“…Begitu ya.”
“Karena itu, meskipun itu adalah pertemuan pertama Senpai, di kehidupan SMA yang pertama sekalipun…”
Ia berkata sambil tersenyum kecil dan menundukkan pandangan ke arah kakinya.
“Kurasa… aku tetap akan menyukai Senpai.”
…Benarkah begitu?
Makoto dari kehidupan SMA pertamaku.
Apakah dia juga… menyukaiku waktu itu?
──Dan saat itu juga.
Makoto tampak seperti tiba-tiba terhuyung.
Langsung setelah itu, dia memelukku erat, menyandarkan wajahnya di dadaku dan melingkarkan tangannya di punggungku.
──Aku sedang dipeluk.
“Eh. Ma… Makoto…?”
“…Tolong izinkan aku melakukan ini, ya.”
Dengan wajahnya masih tertanam di dadaku, Makoto berkata,
“Cukup ini saja. Ini yang pertama dan yang terakhir… Jadi, tolong.”
…Pertama dan terakhir.
Makoto tidak berniat bertarung melawan Nito.
Karena itulah, bagi Makoto, ini adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk cintanya.
Setelah berpikir sebentar, aku dengan ragu membalas pelukannya dan memeluk punggungnya perlahan.
Tubuhnya, yang bahkan lebih ramping dibanding Nito yang mungil.
Sensasi tubuhnya, aroma samar yang menyentuh hidungku—semuanya benar-benar berbeda darinya.
Tapi tetap saja──
Nafasnya yang naik turun di dadaku, hangat tubuh yang terasa di telapak tanganku…
Segalanya membuatku merasakan kehadiran Makoto sepenuhnya.
Sebuah perasaan yang tak bisa kujelaskan mulai muncul di dalam dadaku.
…Apakah ini termasuk perselingkuhan?
Apakah ini artinya aku telah mengkhianati Nito…?
“…Ahaha.”
Setelah beberapa saat, Makoto melepaskan diri.
“Kita melakukan hal yang tak seharusnya ya…”
“Iya… sepertinya memang begitu.”
“Ya, kan? Jadi… rahasiakan ini ya. Ini akan jadi rahasia buat kita berdua.”
“…Baiklah.”
“Tenang saja. Aku juga tak akan bilang pada siapa pun.”
Makoto berkata sambil tersenyum.
Senyum yang tampak sedikit gembira… tapi jauh lebih terlihat kesepian.
Dia pasti… berniat mengakhiri semuanya di sini.
Dia ingin mengakhiri cintanya, dengan caranya sendiri.
…Aku memikirkan hal itu.
Tenggelam dalam perasaan Makoto—dan pada saat itulah.
“──! ──!”
Tiba-tiba—aku merasa mendengar sesuatu dari dalam rumahnya.
Dari dalam rumah keluarga Egawa tempat Makoto tinggal.
Terdengar seperti… teriakan seseorang.
Dan juga… suara benda yang jatuh.
Apa yang terjadi…?
Perasaan tak nyaman menyergap dadaku──
“Kalau begitu, Senpai.”
Di tengah kegelisahanku, Makoto memanggilku.
“Terima kasih… untuk semuanya.”
Suara yang sangat tenang—jauh berbeda dari tadi.
Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan reaksi atas suara dari dalam rumah, seolah dia tak mendengarnya sama sekali…
“Ah… iya. Aku juga… terima kasih…”
Aku mengangguk dengan canggung, merasa ada yang aneh.
Lalu Makoto kembali tersenyum padaku.
“Kalau begitu… sampai jumpa.”
Ia membalikkan badan dan melangkah pulang ke rumah.
Aku menatap punggungnya saat dia membuka pintu rumah, menoleh, dan melambaikan tangan.
Lalu kami pun berpisah.
──Saat menengadah, langit malam tak secerah saat di Nagano.
Jauh lebih sedikit bintang, dan lebih sempit.
Tapi entah kenapa, tetap terasa sangat indah.
Dan entah kenapa pula…
Aku merasa… seperti sedang sendirian di tengah alam semesta.
*
──Awal tahun baru, di ruang klub astronomi.
Aku duduk sendirian di depan piano.
Hari itu, tepat setelah upacara awal semester ketiga.
Sekolah sudah sepi karena sebagian besar siswa telah pulang, dan suasana begitu sunyi.
Cahaya musim dingin yang lembut dari pagi hari menyelimuti ruang klub.
Udara dingin menusuk hingga ke ujung jari.
Saat aku mengembuskan napas, rasanya hampir membentuk kabut putih.
Aku menghangatkan telapak tanganku dengan kairo dari saku.
TL/N: Kairo (カイãƒ) adalah penghangat tangan portabel, biasanya berupa kantong kecil yang bisa menghasilkan panas saat diremas atau dibuka dari bungkusnya
──Pertama kalinya sejak “Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang.”
Pertama kalinya aku akan kembali ke masa depan sejak 5 hari pencarian asteroid itu.
…Bagaimana hasilnya?
Setelah semua hari yang kulewati, bagaimana masa depan akan berubah?
Lewat perjalanan waktu, aku telah menciptakan begitu banyak perubahan.
Hubungan Igarashi-san dan Nito.
Masa depan Rokuyou-senpai.
Dan──jarak antara aku dan Nito.
Semua itu pasti telah berubah jauh dari kehidupan SMA pertamaku.
Apa yang dipikul Nito, dan apa yang dia rasakan, semuanya pasti telah berubah sekarang──
Saat aku memikirkan masa depan setelah musim semi tiba, aku bisa merasakannya dengan jelas.
Perasaan bahwa aku dan Nito telah mendapatkan masa depan di mana kami bisa bersama.
Dia bukan lagi sosok yang jauh tak terjangkau.
Bukan lagi seorang jenius atau seniman yang tak bisa kupahami, melainkan—seorang gadis biasa, yang sedang bergumul dengan hidupnya, Nito.
Dan karena itu… aku percaya, kali ini, kami pasti bisa──
“…Haa.”
Aku menghembuskan napas, lalu meletakkan tanganku di atas tuts.
Melodi yang dulu membuatku kesulitan di awal—melodi milik Nito.
Kini, aku bisa memainkannya dengan mudah.
Bahkan bisa mengalirkan perasaan ke dalamnya saat memainkan nada-nadanya.
Aku membiarkan diriku tenggelam dalam alunan yang nyaman, dan menyelesaikan satu chorus penuh.
Saat itu juga──
Sinar terang memenuhi pandanganku.
Sebuah kilatan cahaya yang menyilaukan.
Beberapa detik kemudian—saat cahaya yang membakar retina itu memudar…
Yang tersisa hanyalah ruang gelap gulita tanpa batas.
Tempat yang telah kulihat berkali-kali sebelumnya.
Tak ada gravitasi.
Tak ada panas, tak ada dingin.
Semua terasa… nol.
Saat aku membuka mata, aku melihat cahaya-cahaya mengelilingi tubuhku.
Seperti planet-planet yang mengorbit, masing-masing berbeda ukuran dan kecepatannya, namun semuanya berpendar terang.
Cahaya-cahaya itu berputar semakin cepat, membentuk pusaran cahaya yang perlahan-lahan memenuhi seluruh pandanganku.
Lalu──
“──Selamat datang kembali.”
──Sebuah suara yang sangat kukenal terdengar.
“Selamat datang di masa depan (hari esok), Meguri.”
“……”
Begitu aku membuka mata, yang kulihat adalah ruangan klub astronomi yang jauh lebih ramai daripada yang kuingat.
Teleskop-teleskop baru telah ditambahkan, bersama perlengkapan pengamatan bintang lainnya.
Bahkan ada equatorial mount otomatis, menandakan bahwa kegiatan klub kini sudah sangat serius.
Di dinding, banyak foto benda langit terpajang.
Foto-foto planet, nebula, dan objek langit lainnya yang tampaknya diambil saat pengamatan──
Dan di sana──ada Nito.
Rambut pendeknya seperti biasa, pakaian santainya sederhana.
Tapi dia terlihat sedikit lebih tinggi dari yang kuingat.
Matanya berkilau seolah dipenuhi bintang-bintang, dan di pipi lembut serta bibir tipisnya, tergambar senyum yang hampir menangis.
──Ini adalah masa depan.
Masa depan yang datang setelah aku ikut dalam Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang.
Dan di sana──Nito benar-benar ada.
“Nito!!”
Aku langsung berlari ke arahnya dan memeluknya erat.
Tubuhnya yang hangat berada dalam pelukanku.
Dia bernapas, jantungnya berdetak—dia benar-benar hidup.
“Nito… Nito!”
Air mata tumpah deras dari kedua mataku.
Rasa bahagia dan lega membanjiri perasaanku tanpa bisa dibendung.
──Aku berhasil.
Aku berhasil sampai di masa depan di mana Nito tidak menghilang.
“…Terima kasih.”
Nito membalas pelukanku sambil berkata lembut.
“Semuanya berkatmu, Meguri. Terima kasih…”
Kemudian, dia menjauh sedikit, menyentuhkan bibirnya padaku dalam ciuman singkat──dan berkata:
“Aku sangat mencintaimu.”
──Aku tak bisa menahan isak tangis.
Aku menangis keras, tanpa mampu menahannya lagi.
Memang memalukan, tapi aku tak bisa menghentikannya.
Semua rasa sakit yang kurasakan sampai sekarang—
Ketakutan bahwa aku tak bisa menyelamatkan Nito, keputusasaan saat dia benar-benar menghilang.
Kesedihan karena mengetahui kenyataan pahit, rasa ingin mengejarnya, dan beban yang harus kupikul.
Semuanya──akhirnya terbayar.
Dunia ini… menjawab perjuanganku.
Rasa bahagia, lega, pedih, dan sepi semua tumpah dalam suara.
Menjadi air mata yang mengalir di pipi dan jatuh ke bahu Nito.
Dan Nito, dengan penuh kasih, terus memelukku erat—lama, sangat lama.
*
“──Jadi begitu ya. Di masa depan, aku kuliah jurusan astronomi.”
“Iya, benar.”
Akhirnya, setelah sedikit tenang, aku mulai mendengarkan cerita Nito tentang masa depan ini.
“Aku juga masih berteman baik dengan Mone, dan tetap akrab dengan Rokuyou-senpai. Musikku juga berjalan lancar…”
Nito tersenyum lembut saat mengatakan itu.
“…Aku juga sebentar lagi akan mengadakan tour ke luar negeri. Lewat internet, banyak juga orang dari luar negeri yang mendengarkanku.”
“…Hebat. Kau memang luar biasa seperti biasanya.”
Aku tak bisa menahan tawa kecil.
Nito memang sudah karismatik sejak tahun pertama SMA.
Tapi sekarang, aura yang dia miliki bahkan jauh melampaui itu.
Dia benar-benar seorang wanita dewasa yang matang, sekaligus seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa.
Dulu, aku mungkin akan gentar hanya karena auranya.
Mungkin aku bahkan tak bisa berdiri di sisinya.
Tapi sekarang, aku bisa.
Aku bisa berjalan bersamanya dalam masa depan ini.
“…Ngomong-ngomong, Makoto bagaimana?”
Aku tiba-tiba teringat dan menyebut namanya.
“Dia ketua klub, kan? Apa dia masih sehat-sehat saja?”
Makoto, yang selalu menyambutku setelah perjalanan waktu.
Makoto, yang selalu menjelaskan hal-hal yang terjadi di garis waktu baru di ruang klub ini.
Dia juga… setelah melewati kegiatan di desa langit berbintang itu, sepertinya benar-benar mulai menyukai astronomi.
Bahkan sebelum semua itu, dia sudah menjaga klub ini sebagai ketua.
Kupikir, mungkin sekarang dia sudah menjadi penggemar sejati langit malam.
Aku menanyakannya sambil menyimpan harapan seperti itu──
“……!”
──Tapi wajah Nito berubah.
Begitu aku menyebut nama Makoto, ekspresi Nito mendadak berubah—penuh penderitaan, seperti menyalahkan diri sendiri.
Itu ekspresi yang belum pernah kulihat darinya.
Lalu, dia berkata──
“Meguri… maaf.”
Dengan suara gemetar, wajahnya pucat pasi.
“Aku benar-benar minta maaf.”
“…Apa yang terjadi?”
Aku langsung sadar, ini bukan hal biasa.
Nito, yang sudah melewati begitu banyak badai,
Nito, yang bisa menaklukkan masa depan dengan tangannya sendiri──
Kini, bibirnya bergetar.
Wajahnya memucat, matanya berkaca-kaca.
“Ada apa… apa yang terjadi padanya…?”
“…Begini.”
Dengan suara hampir tercekik, Nito mulai berbicara.
Dan──
“Beberapa waktu sebelum upacara kelulusan… dia menghilang.”
──Pikiranku kosong seketika.
Menghilang──?
Beberapa hari sebelum upacara kelulusan──
Bukan Nito, tapi… Makoto.
“Hasil penyelidikannya menunjukkan, mobil keluarganya juga hilang dari rumah…”
Nito melanjutkan penjelasannya.
Aku ingin menutup telinga.
Karena ini bukan sekadar kasus hilang biasa.
Namun tetap saja──
“2 hari yang lalu, mobilnya ditemukan.”
Nito terus berbicara, air matanya mengalir deras saat menyampaikan kenyataan itu.
“…Di dasar danau.”
Dan begitu dia berkata itu──
Nito menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Dan──
“Mobilnya ditemukan dalam keadaan tenggelam──”
Kata Penutup
───────────────────────────────────────
Jika saya melihat kembali semuanya, saya rasa volume ke-4 dari “Ashita, Hadashi de Koi” ini menjadi volume yang agak spesial, dan juga penuh tantangan bagi diriku.
Sakamoto akhirnya menghadapi cara hidupnya sendiri. Ia mulai mencari asteroid baru.
Jika hanya dilihat dari permukaan, volume ini penuh dengan berbagai peristiwa penting yang memang cocok untuk paruh kedua seri.
Jujur saja, saya sendiri sangat menikmati saat menulisnya.
Tapi mungkin, hal yang paling ingin saya gambarkan dalam volume ini adalah perubahan hubungan antara Nito dan Sakamoto.
Karena kemampuannya, Nito selama ini berjuang sendirian.
Dan Sakamoto yang hanyalah orang biasa, akhirnya benar-benar bisa berdiri di sampingnya—saya rasa, itulah tema utama dari volume ke-4 ini.
Saya tidak akan banyak membicarakan isi ceritanya, tapi justru membuat cerita yang tetap menyenangkan sambil menggambarkan perubahan itu, adalah tantangan besar bagiku kali ini.
Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda menikmatinya? Apakah perasaanku tersampaikan?
Apa pun hasil tantangan ini,
saya pribadi cukup percaya diri bahwa saya berhasil menggambarkannya dengan cara yang sangat baik.
Oh iya, saya juga sangat senang karena saat menulis volume ini, para karakternya bergerak dengan sendirinya.
Tentu saja, sebelum mulai menulis naskah, saya membuat plot dan telah menentukan garis besar ceritanya.
Tapi di volume ini, baik Sakamoto, Nito, Makoto, bahkan karakter tamu seperti Nanamori pun, secara tiba-tiba mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang tidak sesuai dengan plot yang sudah saya buat.
Tertawa, marah, adu argumen.
Hal-hal seperti itu sangat mengejutkan sekaligus menyenangkan.
Yang paling besar pengaruhnya tentu saja Makoto.
Anda yang sudah membacanya pasti tahu, tentang adegan wawancara itu.
Sebenarnya saya sama sekali tidak berniat membuatnya seperti itu.
Awalnya, saya hanya berniat memberi sedikit petunjuk secara halus, tapi Makoto malah dengan seenaknya bicara super langsung dan blak-blakan.
Momen seperti itulah yang membuatku benar-benar merasa bersyukur menjadi penulis novel.
Dan demikianlah, “Ashita, Hadashi de Koi. Volume 4”. Terima kasih sudah membacanya!
Dan akhirnya, volume berikutnya adalah volume terakhir. “Ashita, Hadashi de Koi. Volume 5”.
Sesuai dengan rencana awal ketika seri ini dimulai, akhirnya saya bisa menyelesaikannya sampai akhir.
Seperti apa masa depan yang akan diraih Sakamoto?
Seperti apa akhir yang akan dia temui?
Saya sudah menyiapkan ending terbaik, jadi mohon nantikan kelanjutannya!
—Misaki Saginomiya
Post a Comment