Penerjemah: A.O. Francisca
Proffreader: A.O. Francisca
Chapter 4: Ratu Yang Setia
Sudah hari ketiga sejak aku mulai menampung Hayashi Megumi. Seperti biasa, aku bangun di waktu yang sama. Sampai kemarin, aku terpaksa tidur di lantai karena sudah menyerahkan tempat tidurku Hayashi, tapi hari ini aku akhirnya bisa tidur di atas futon yang kubeli kemarin. Berkat itu, rasa sakit yang selalu kurasakan saat bangun selama dua hari terakhir pun hilang.
Pagi ini terasa menyegarkan. Karena terbebas dari rasa pegal, tubuhku terasa lebih baik dari biasanya—semacam suasana hati yang muncul saat berjalan-jalan di sore yang cerah.
Namun, di luar jendela, hujan turun dengan sangat deras. Suara rintik hujan sedikit merusak suasana hatiku, tapi aku tetap memutuskan untuk bersih-bersih seperti biasa.
Kemarin, aku keluar pagi-pagi sekali, dan sepulangnya aku menghabiskan banyak waktu berbicara dengan Hayashi, jadi aku belum sempat bersih-bersih. Mungkin karena itu kamar terasa sedikit lebih kotor dari biasanya.
Meski begitu, walau aku sudah memutuskan untuk bersih-bersih, aku tidak bisa membuat banyak suara sementara Hayashi masih tidur. Saat itu masih pukul 4:30 pagi. Aku memang bangun lebih awal, tapi wajar jika dia masih terlelap. Membangunkannya dengan suara bising tentu tidak sopan.
Apa yang bisa kubersihkan tanpa menimbulkan banyak suara? Benar, kamar mandi.
Menyalakan shower memang akan menimbulkan suara, tapi di dalam kamar mandi yang tertutup rapat, suaranya tidak akan terlalu kedengaran sampai ke luar.
Pertama, aku melipat futon dan dengan hati-hati memindahkan meja lipat yang sebelumnya disingkirkan kembali ke tengah ruangan.
Lalu, aku menuju kamar mandi.
Aku langsung mulai bersih-bersih, dimulai dari kaca jendela, menghilangkan noda air yang belum kusentuh sejak bersih-bersih minggu lalu.
Sekitar satu jam kemudian, Hayashi muncul di ruang ganti dengan wajah mengantuk. Sama seperti kemarin, dia mengucek matanya dengan kedua tangan.
“…Ah. Pagi.”
Sambil menguap lebar-lebar, Hayashi menyapaku.
Sepertinya dia datang untuk cuci muka.
“Pagi.”
“…Aku sudah kepikiran sejak kemarin, tapi kamu bangunnya pagi banget, ya.”
Suaranya masih agak serak. Dalam keadaan setengah tidur, wajahnya yang biasanya proporsional terlihat sedikit aneh. Tapi bahkan dalam keadaan seperti itu, dia masih tampak lebih rapi daripada kebanyakan orang yang baru bangun. “Gadis ini benar-benar cantik, ya” pikirku sambil melamun.
Sementara aku melanjutkan membersihkan kamar mandi, terdengar suara air mengalir dari wastafel. Suara cuci muka. Sikat gigi. Kumur-kumur.
“Kamu selalu bangun sepagi ini?”
Kini sudah lebih sadar, suara Hayashi terdengar lebih jernih.
“Ya. Kurang lebih begitu.”
“Sama seperti kemarin, ya. Kamu benar-benar tipe orang yang bangun pagi.”
“Kau baru saja bilang itu semenit yang lalu.”
“Serius?”
Yah, sepertinya dia tidak ingat—masih setengah sadar.
“Kalau bangun pagi, rasanya harimu jadi lebih panjang, kan?”
“Aku paham, sih. Tapi kebanyakan mahasiswa bangun mepet supaya tidak telat masuk kelas. Ngomong-ngomong, kamu pas SMA dulu juga selalu datang pagi, kan?”
“Ya, benar.”
Dia tidak salah.
SMA kami waktu itu punya tim sepak bola yang cukup kuat, dan karena mereka termasuk tim unggulan, latihan pagi mereka cukup intens. Aku biasanya sudah sampai di kelas bahkan sebelum latihan mereka dimulai.
Yah, itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Aku juga tidak pernah membicarakannya kecuali ada yang menyinggungnya lebih dulu.
“Kamu itu aneh banget, tahu gak?”
“Kau memanggilku aneh Cuma karena suka bangun pagi?”
“Bangun pagi dengan sengaja sih biasa. Tapi bangun pagi versimu udah masuk kategori kebiasaan aneh.”
Jadi... dia bilang aku aneh?
Iya sih, aku akui aku memang sedikit nyeleneh, tapi tetap saja, apa itu tidak berlebihan?
“Kau juga bangun pagi, kan?”
“…Yah, sejak mulai tinggal bareng seseorang, aku jadi bangun lebih pagi lagi.”
“Ugh…”
Begitu dia menyebut soal tinggal bareng, ekspresi Hayashi langsung muram. Aku ikut mengerutkan kening. Hanya dari nada dan raut wajahnya, aku sudah bisa membayangkan sedikit dari masa lalu kelam yang telah dilewatinya.
“Maaf. Aku nggak bermaksud mengadu nasib.”
“Nggak apa-apa…”
Itu hanya waktu yang kurang pas—dia tidak perlu minta maaf.
Tapi serius, aku sama sekali tidak tahu di mana saja letak ranjau emosionalnya. Mulai sekarang, aku harus lebih hati-hati dalam berkata.
“Aku akan mulai masak sarapan. Sekalian bikin bekal juga.”
“Ah, makasih.”
“Kamu berangkat jam berapa?”
“Hmm… sekitar jam 6, mungkin.”
“Seriusan?”
“Iya.”
“Gitu, ya. Berarti kemarin, kamu keluar pagi-pagi banget, ya.”
“…Kurasa begitu.”
“Kamu ada urusan?”
…Kalau aku bilang pergi lebih awal supaya tidak membangunkannya, dia pasti bakal mikir yang aneh-aneh lagi. Bahkan jika tidak, kondisi emosionalnya masih rapuh sejak kami bertemu kembali. Lebih baik kujelaskan dengan alasan yang sederhana.
Menghindari tatapan ingin tahunya, aku memalingkan muka.
“Cuma ingin mempersiapkan materi kuliah hari ini.”
“Wah, rajin banget.”
“Jelas. Dari dulu aku memang murid teladan, kan? Sejak SMA.”
“Kalau soal pelajaran sih, iya.”
Dia terkikik.
Itu terdengar seolah-olah dia ingin bilang aku berantakan dalam hal lain.
“…Kamu beneran aneh, ya.”
Dengan nada puas, Hayashi meninggalkan ruang ganti—kelihatannya menuju dapur.
Dengan bahan yang ada di kulkas, dia mulai memasak sesuatu yang sederhana.
“Kamu tunggu saja di sana.”
“Baiklah.”
Saat berjalan ke ruang tamu, aku sempat berpikir betapa bersyukurnya aku pindah ke tempat ini. Bangunan ini sudah berusia lebih dari empat puluh tahun, 20 menit jalan kaki dari stasiun, dan minimarket terdekat berjarak 10 menit. Jadi ya, memang bukan tempat yang praktis. Tapi ada kamar mandi dan toilet terpisah, dan bahkan untuk sebuah studio, fasilitasnya sudah lebih dari cukup. Kalau kami terjebak di tempat yang lebih sempit dari ini, rasa frustrasi mungkin akan menumpuk—terutama untuk Hayashi.
Aku menyalakan TV dan mencoba menghabiskan waktu dengan menonton berita. Tapi jujur, aku tidak begitu suka acara berita pagi. Mereka terlalu berusaha tampil ceria, padahal judulnya program berita.
Aku lebih suka tipe berita di mana penyiar hanya membaca topik hari ini dengan tenang dari ruang redaksi.
Aku tidak peduli soal toko manisan lokal atau menonton selebriti heboh Cuma karena makan di sana.
Aku mendengar suara kompor dimatikan dari dapur, lalu aku berdiri.
“Ada apa?”
Menyadari kehadiranku, Hayashi tampak curiga.
“Biar aku yang bawa makanannya.”
“…Tunggu, kenapa?”
“Maksudmu kenapa? Ini tempatku, dan kau tamunya.”
Aku hanya melanjutkan apa yang kulakukan kemarin.
“Enggak, gak usah. Aku bisa ngurus ini sendiri.”
Tapi Hayashi malah makin mengerutkan kening.
“Jangan maksain diri.”
“Jelas-jelas aku nggak maksain diri.”
“Kamu gak bisa tahu pasti.”
“…Haaah, terserahlah. Duduk aja sana, diam.”
“…Baik.”
Kenapa dia jadi sewot Cuma gara-gara hal sepele begini? Padahal tadi kami akur-akur saja, sekarang aku tak tahu lagi apa pemicunya.
Sambil mengomel dalam hati, aku duduk.
Hayashi mengambil nasi dari rice cooker, menatanya di atas nampan, lalu membawa makanan ke meja.
“Matikan TV kalau lagi makan.”
Dia duduk bersila di seberang meja kecil dan berkata begitu.
Aku pun mematikan TV.
“Selamat makan.”
“Selamat makan.”
Kami menyatukan kedua tangan dan mulai makan.
“…Tahu nggak—”
“Apa?”
“Kau punya aura ibu-ibu sekarang”
“Ya, aku sama sekali nggak ngerti kamu ngomong apaan.”
Cerewet, mentingin soal sopan santun di meja makan, dan ngotot semua orang harus ikut aturannya.
Dia bilang dia tak paham maksudku, tapi menurutku dia udah kayak ibu-ibu cerewet. Ya, cerewet atau tidak, aku bukan tipe orang yang bakal main tangan pada perempuan seperti si brengsek yang tak kukenal itu.
“Kalau kamu nggak cepat habiskan makananmu dan berangkat ke kampus, kamu bisa telat, lho.”
“Baik, Bu.”
“Hei, itu masih ada nasi di mangkukmu. Habisin semuanya.”
“Lagi-lagi, Bu.”
Dengan obrolan absurd yang tidak ada ujungnya, waktu sarapan pun berlalu.
Setelah selesai makan, Hayashi mulai mencuci piring sementara aku bersiap-siap untuk pergi ke kampus.
Aku memasukkan buku-buku ke dalam tas, mencuci muka, menggosok gigi.
Dan kembali ke kamar...
“Hei.”
“Hm?”
Hayashi menjawab tanpa menoleh, masih mencuci piring.
“Bisa ke ruang ganti sebentar? Aku mau ganti baju.”
Dia tidak langsung menjawab. Begitu selesai mencuci, dia mematikan keran dan menatapku, tampak kesal.
“Kenapa gak ganti di sini aja?”
Entah kenapa nada kesalnya itu bikin aku jengkel juga.
Aku berusaha bersikap sopan—berpikir dia pasti gak mau lihat aku Cuma pakai celana dalam—tapi dia malah menyepelekannya, seolah itu bukan apa-apa.
Ya sih, dia pernah tinggal bareng orang lain, kan? Pasti udah biasa lihat pria telanjang.
“Aku ganti di ruang ganti aja deh.”
Kalau dipikir-pikir, seharusnya aku melakukan itu dari awal. Aku mengambil pakaian, melewati Hayashi, dan masuk ke ruang ganti. Dia terlihat sama kesalnya saat kami berpapasan.
Sepertinya dia benar-benar kesal karena aku mencoba bersikap pengertian. Atau mungkin dia salah paham dan ngira aku malu gara-gara hal sepele. Entahlah, pokoknya wajahnya benar-benar ngeselin.
Tentu saja, tidak ada yang melihatku di ruang ganti. Tapi tetap saja, aku buru-buru ganti baju.
Karena baju tidurku sudah basah karena keringat, aku memutuskan untuk memasukkannya ke mesin cuci.
Dan saat membuka tutupnya, aku langsung memalingkan pandangan.
…Benar juga.
Aku harusnya sadar begitu aku memutuskan untuk untuk menampungnya di sini.
Sekarang, ada dua set pakaian di dalam mesin cuci.
Satu punyaku—si pemilik rumah.
Yang satunya lagi… punyanya Hayashi. Pakaian wanita. Aku tidak menyadarinya semalam, karena dia bersikeras agar aku mandi duluan, dengan alasan sudah sepantasnya pemilik rumah yang pertama, berpegang pada nilai kuno entah apa.
Karena itu aku lengah.
Di atas pakaianku di dalam mesin, ada pakaiannya Hayashi.
Sebuah kaus, dan pakaian dalam.
Tanganku yang memegang tutup mesin cuci langsung menegang. Kalau Hayashi melihatku begini, dia tidak akan pernah berhenti mengomeliku.
Lupakan apa yang kau lihat. Lupakan semuanya—terutama celana dalam bergaris putih dan biru muda yang tadi sempat kau lihat sekilas.
Sial.
Celana dalam polos itu tidak mau hilang dari pikiranku. Padahal itu yang kami beli bareng tempo hari. Sekarang setelah aku tahu dia sudah memakainya… rasanya jadi aneh.
“Makan siangnya udah siap.”
“GYAAH!”
Tanpa peringatan, Hayashi membuka pintu ruang ganti.
Aku menjerit tanpa sadar.
Hayashi menatapku, bingung.
“…Makasih.”
Berusaha santai, aku mengucapkan terima kasih.
“…Kamu lagi ngapain?”
Matanya sempat menyipit sesaat.
“Ganti baju.”
“Terus kenapa teriak?”
“Soalnya kau masuk pas aku lagi ganti baju. Mau gimana lagi?”
“Cemen banget, sih.”
“Diam kau.”
Dia tiba-tiba nyengir. Wajahnya kelihatan sangat puas.
“Oh, aku tahu. Kamu gak mau aku lihat kamu telanjang, ya.”
Jelas-jelas dia menggodaku.
“Memangnya salah?”
“Enggak juga. Aku sih gak masalah nunjukin badan telanjangku ke kamu.”
“Kontes macam apa ini?”
Dengan “hmph” yang angkuh, Hayashi tampak sangat puas dengan kemenangan kecilnya.
Serius deh, ini tuh semacam kompetisi apa sih? Apa sesenang itu bisa ngalahin aku?
Jelas sih. Aku nyebelin soalnya. Dia mungkin menahan frustrasi karena argumennya sering kubantah.
“Makasih buat bekalnya. Aku berangkat ke kampus dulu.”
Tadinya aku mau membahas soal cucian bareng dengan santai, berpura-pura seolah bukan masalah besar—tapi sekarang aku jadi malas.
Aku menatap Hayashi untuk menyuruhnya keluar dari ruang ganti, lalu pergi ke dapur dan mengambil bekal darinya.
“Udah kubikinin kinpira gobo, kesukaanmu.”
“Oh. Makasih.”
Aku mengambil tas dari kamar, memasukkan bekal ke dalamnya, lalu menuju pintu depan.
Saat sedang memakai sepatu, Hayashi bahkan ikut mengantarku sampai depan pintu.
“Hati-hati, ya.”
“Iya.”
Begitu selesai mengikat tali sepatu, aku teringat sesuatu.
“Hari ini aku ada shift, jadi bakal pulang agak telat.”
“Oke.”
Aku berdiri.
“…Haaah.”
“Kenapa menghela napas?”
Hayashi menanggapi helaan napasku yang keluar tanpa sengaja.
“Hah? …Ah, tidak. Aku Cuma kepikiran betapa malasnya harus kerja shift hari ini.”
“Ahh, aku ngerti banget.”
“Kamu ngerti?”
“Tentu saja. Aku juga pernah kerja paruh waktu, tahu. Tapi tetap aja, aku kaget.”
“Kaget soal apa?”
“Mendengar kata ‘malas’ keluar dari mulutmu.”
Apanya yang mengejutkan?
“Kamu itu biasanya perfeksionis, keras kepala, dan serius dalam segala hal. Aku kira kamu gak akan pernah ngomong hal kayak gitu.”
“Hanya karena aku mikir itu merepotkan, bukan berarti aku gak akan serius mengerjakannya.”
“Benar juga.”
“…Yah, namanya juga kerja paruh waktu. Gajinya juga pas-pasan. Wajar kalau kadang terasa merepotkan.”
“…Kamu pasti bakal jadi karyawan kantoran yang terobsesi naik jabatan.”
Mungkin begitu.
“…Heh.”
Hayashi tertawa pelan.
“Apa yang lucu?”
“Kamu bilang bayarannya gak sepadan, tapi kalau soal bantuin aku, kamu totalitas banget.”
“Ya iyalah. Masakanmu enak.”
“…Gitu, ya.”
Dengan ekspresi sedikit melamun, Hayashi menundukkan pandangannya.
Aku berbalik untuk pergi.
“Yaudah, aku berangkat.”
“Hati-hati di jalan.”
Hujan deras dari pagi tadi sudah berhenti sepenuhnya. Tapi suhu tinggi membuat udara terasa lembap dan menempel di kulit dengan tidak nyaman.
Sepertinya hari ini juga bakal panas, pikirku saat meninggalkan apartemen.
×××
…Dalam perjalanan menuju kampus, aku menonton video di ponsel sambil melamun.
Tentu saja, pikiranku tertuju pada gadis yang kini tinggal di apartemenku.
Sudah tiga hari sejak aku menampungnya. Kalau harus diringkas, bisa dibilang semuanya tidak berjalan mulus. Karena pada akhirnya, yang kulakukan hanyalah menahan Hayashi agar tidak bertindak gegabah. Itu hanya mengurangi risikonya—bukan menyelesaikan masalahnya.
Ada dua jalur utama yang bisa kupikirkan untuk menyelesaikan masalah ini secara langsung.
Yang pertama adalah membiarkan waktu yang menyelesaikannya. Ada banyak hal dalam hidup yang bisa beres dengan sendirinya jika kau bersabar. Aku pernah bilang ini ke Hayashi juga—tunggu saja sampai situasinya mereda. Itu solusi pertama.
Sisi baik dari pendekatan ini, setidaknya bagiku, adalah tidak menuntut banyak beban emosional. Orang yang sedang menghadapi masalah cenderung melemah begitu mereka menyadari sepenuhnya masalah itu. Ketika itu menimpa orang lain, mudah saja memberi nasihat keras. Tapi kalau itu masalah sendiri, orang-orang justru jadi diam membeku. Itu cukup umum terjadi.
Untuk orang seperti itu, pendekatan ini mungkin yang paling cocok.
Dan Hayashi jelas sedang kelelahan secara mental sekarang. Aku bisa tahu hanya dengan melihatnya bahwa dia secara tidak sadar mencoba menyelesaikannya dengan cara ini.
Tapi tentu saja, pendekatan tanpa tekanan ini punya kelemahan besar.
Kalau kau Cuma duduk diam menunggu, selalu ada risiko bahwa situasinya malah jadi lebih buruk.
Menunda-nunda penyelesaian masalah, dan pada saat kau sadar tidak ada lagi yang bisa kau perbuat, semuanya sudah terlambat. Itu juga hal yang mungkin pernah dialami setiap orang.
Dan sejujurnya, aku mulai merasa situasi Hayashi bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan waktu. Malah, makin lama dibiarkan…bisa makin parah jadinya.
Sangat mudah untuk membayangkannya.
Misalnya, katakanlah beberapa waktu berlalu, Hayashi akhirnya bertemu lagi dengan mantan pacarnya.
Dalam kasus itu, pria itu bisa saja lebih membencinya dibanding jika mereka bertemu kembali lebih awal. Dan kalau dia berhasil membawa Hayashi kembali, dia hampir pasti akan jadi lebih posesif—dan lebih kasar.
Ada masalah lain dari menunggu terlalu lama.
Semakin lama kami menunda, bisa-bisa bantuan dari polisi jadi lebih sulit didapat—bahkan jika kami melapor.
Dari dua solusi yang kupikirkan untuk situasi Hayashi…
Yang kedua adalah yang sudah pernah kuajukan padanya—menjadikan ini kasus dengan melapor ke polisi.
Tapi semakin lama kami menunda pilihan itu, akan semakin sulit baginya untuk bertindak.
Jika kami melapor terlalu terlambat, polisi mungkin akan mengatakan sesuatu seperti:
“Kejadiannya sudah berbulan-bulan lalu?”
“Kenapa tidak melapor lebih cepat?”
Respon seperti itu pasti akan menggoyahkan kepercayaan diri Hayashi. Bahkan jika dia mencoba bertindak nanti, bisa saja rasa urgensinya sudah hilang—dan pada akhirnya dia yang akan menderita.
Itulah mengapa aku mendesaknya untuk pergi ke polisi sejak awal. Karena itu satu-satunya cara nyata untuk menyelesaikan situasinya. Aku yakin itu adalah jalan tercepat agar dia bisa merasa tenang.
…Yah, rencananya gagal.
Tentu, sebagian kesalahan ada pada Hayashi, yang sejak awal memang tidak berniat untuk melapor. Tapi bukan berarti aku juga tidak bersalah. Saat aku mencoba membujuknya untuk melapor ke polisi, dalam hati masih ada perasaan bahwa aku tidak begitu peduli apa yang terjadi padanya. Mungkin itu sebabnya aku mengalah dan menghormati keputusannya daripada terus mendesak.
Tapi tadi malam, aku menyadari sesuatu.
Kalau aku ingin dia mengambil keputusan yang tepat—kalau aku ingin dia sampai pada kesimpulan yang benar—maka satu-satunya cara untuk menunjukkan ketulusanku adalah dengan melakukan segala yang kubisa untuk mendukungnya.
Aku punya alasan untuk bersikap tulus padanya.
Aku berutang budi pada Hayashi.
Dia mengurus sebagian besar pekerjaan rumah—kecuali bersih-bersih, tentunya.
…Dan juga.
Kalau bisa, aku benar-benar ingin mencicipi hamburger buatannya sekali lagi.
…Itulah mengapa aku harus mencari cara agar dia mau melaporkan mantan pacarnya.
Itulah kesimpulan yang kudapat setelah merenung semalaman, menghadapi kenyataan secara langsung.
“Tapi sial, ini rumit banget.”
Faktanya, aku sudah pernah setuju untuk tidak melibatkan polisi.
Memang mudah mengatakan “Bisakah kau mempertimbangkan lagi untuk melapor?”, tapi… setelah aku sendiri mengiyakan keputusannya waktu itu, apa sekarang dia masih mau mendengarkan?
Bukankah dia akan berpikir:
Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?
Dan jika itu terjadi, dia pasti akan berhenti berpikir rasional dan merespons secara emosional—dengan penolakan yang keras, pastinya.
Jadi apa yang bisa kulakukan sekarang untuk membantunya pergi ke polisi?
Aku tidak bisa langsung mengangkat topik pelaporan lagi—setidaknya untuk sementara waktu.
Yang berarti… harus ada orang lain yang mendorongnya. Itu satu-satunya rencana yang mungkin untuk saat ini.
…Dan sejujurnya, aku sudah punya orangnya. Seseorang yang, kemungkinan besar, lebih dipercaya Hayashi daripada diriku.
×××
Sambil terus berpikir, aku tiba di kampus dan menuju Gedung C. Kelas pertama hari ini adalah mata kuliah pilihan—Bahasa Prancis. Tidak hanya untuk mahasiswa teknik sepertiku, tapi juga terbuka untuk mahasiswa dari jurusan lain.
Karena jurusan teknik cenderung lebih banyak pria dan sedikit wanita, banyak dari kami memilih mata kuliah pilihan seperti ini. Katanya sih, biar bisa ketemu cewek.
Tentu saja, aku memilih kelas ini murni karena ingin mengikuti kuliahnya dengan serius. Tapi, untuk hari ini saja, aku datang dengan harapan bisa berbicara dengan seorang gadis tertentu.
Namanya Kasahara Akari.
Dia teman sekelasku di SMA—sekolah yang sama denganku dan Hayashi. Bahkan, di tahun kedua dan ketiga, kami sekelas. Dia juga sangat dekat dengan Hayashi—salah satu dari sedikit teman yang sering menghabiskan waktu bersamanya.
Kebetulan, aku dan Kasahara masuk universitas yang sama. Dan kami sama-sama mengambil kelas Bahasa Prancis ini.
Aku harus melangkah hati-hati—seperti memastikan apakah dia punya hubungan dengan mantan pacar Hayashi—tapi kalau ada satu orang yang bisa membujuk Hayashi lebih baik dariku, sudah jelas itu dia.
…Tapi tetap saja, ini canggung.
Ini bukan cerita yang menarik, jadi tak perlu dijelaskan panjang lebar, tapi—sama seperti Hayashi—ada sedikit sejarah antara aku dan Kasahara pas SMA.
Meskipun kami masuk universitas yang sama, jumlah percakapan kami sejauh ini masih nol. Bukan berarti aku tak pernah melihatnya di luar kelas ini. Aku cukup sering melihatnya saat istirahat makan siang.
Tapi aku tak pernah merasa ada dorongan untuk menyapanya. Dan fakta bahwa dia juga tak pernah mencoba bicara denganku menunjukkan bahwa dia mungkin merasakan hal yang sama.
Jadi tiba-tiba memulai percakapan sekarang—meskipun itu tentang sahabatnya—tetap saja terasa canggung.
Dan bukan Cuma itu.
Waktu SMA, Kasahara termasuk gadis populer—bagian dari kelompok elite, selalu ceria dan disukai bahkan oleh siswa dari kelas lain. Malah, bisa dibilang dia lebih populer di kalangan pria dibanding Hayashi yang wataknya lebih keras. Popularitasnya jelas belum memudar di universitas.
Singkatnya, dia selalu dikelilingi orang-orang.
Sejujurnya, ini mungkin sulit dipercaya—mungkin kalian pun akan kaget—tapi…
Terlepas dari penampilanku, aku ini pembuat onar.
Aku sudah membuat banyak gadis menangis. Dihardik banyak pria. Bahkan berkelahi Cuma karena saling tatap.
Jadi aku benar-benar tidak bisa membayangkan situasi di mana aku bisa mengobrol santai dengan Kasahara.
Bahkan sekarang, sebelum kelas dimulai, dia sedang asyik mengobrol dengan sekelompok gadis yang cukup dominan—mirip Hayashi.
…Haaah.
Ya, ini tidak akan berhasil. Waktunya menyusun rencana baru.
Kelas Bahasa Prancis berakhir tanpa kejadian apa pun, dan pada akhirnya, aku tidak sempat bicara dengan Kasahara.
Aku tahu aku tidak boleh buang-buang waktu kalau mau menyelesaikan masalah ini. Tapi sekeras apa pun aku mencoba, aku masih belum menemukan ide yang benar-benar jitu.
Dan begitu saja, waktu terus berlalu—dengan kejam dan cepat.
Saat makan siang, aku menyantap bekal buatan Hayashi. Kotak makannya dua tingkat.
Lapisan atasnya berisi nasi putih polos. Di bawahnya diisi lauk-pauk. Di samping lauk sederhana yang kuminta—seperti kinpira gobo—ada satu hal yang menonjol: sosis berbentuk gurita.
Membayangkan bahwa Sang Ratu sendiri telah meluangkan waktu untuk mengiris sosis jadi bentuk gurita kecil… jujur saja, itu agak lucu.
Tapi dari segi rasa, ini benar-benar enak.
...Itu mungkin puncak dari hariku.
Setelah itu, sisa sore berlalu begitu saja, dan tahu-tahu aku sudah dalam perjalanan pulang.
“…Ujung-ujungnya, aku tidak menemukan ide yang bagus.”
Sambil berjalan di jalan malam, aku menyilangkan tangan dan menggerutu pada diri sendiri.
Aku merasa sedikit putus asa.
…Tapi tetap saja, pasti ada jalan.
Begitu hampir sampai di apartemen, aku menenangkan pikiranku. Aku tidak ingin Hayashi menyadari apa yang kupikirkan.
Meski Cuma sedikit—aku ingin memberi dia kesempatan untuk melupakan mimpi buruk yang dialaminya
“Aku pulang.”
“Selamat datang.”
Kami bertukar sapaan sederhana saat aku melangkah masuk. Setelah mencuci tangan dan berkumur, aku menuju ruang tamu.
“Aku akan menghangatkan makan malam sekarang.”
“Hah? Ah, iya.”
“Kamu mau mandi dulu?”
“…Boleh.”
Di sudut ruang tamu, aku melihat pakaian yang kukenakan kemarin telah dilipat dan ditumpuk dengan rapi. Pagi ini aku sempat bertanya-tanya apakah Hayashi benar-benar mencuci pakaianku bersama miliknya—dan ternyata iya. Bukan Cuma itu, dia juga menjemurnya hingga kering, dan melipatnya.
Air mandinya pas. Mungkin dia sudah menyesuaikan waktunya dengan kepulanganku.
Bahkan aku bisa mendengar suara microwave selesai memanaskan dari kamar mandi.
Begitu selesai keramas, cuci muka, dan mandi, aku pun keluar dari kamar mandi.
“Baru selesai dihangatkan.”
“…Makasih.”
Di atas meja kecil sudah tersaji nasi putih, sup miso, salad, dan nikujaga. Masakan rumahan yang benar-benar tidak akan pernah aku coba buat sendiri.
…Hmm.
“Hei, Hayashi.”
“Apa?”
“Ini nggak kebanyakan?”
“Hah?”
Hayashi memiringkan kepala, jelas bingung.
…Salahku juga sih. Ucapanku terlalu samar. Kurang konteks. Kurang sopan.
“Maksudku, apa kau nggak terlalu berlebihan Cuma karena aku pulang?”
“Ini biasa aja waktu aku tinggal di tempat sebelumnya.”
Aku terdiam. Aku benar-benar berharap dia tidak menyebut-nyebut tempat tinggalnya yang dulu. Aku tak tahu harus jawab apa.
“Jujur aja, aku juga kaget, sih. Kamu bersih-bersihnya keterlaluan.”
Kelihatannya sekarang giliranku yang kena omel. Dengan tatapan menyipit, Hayashi tiba-tiba memancarkan aura menyeramkan seperti waktu SMA. Seram.
“Kamu kesannya males-malesan, tapi ternyata semua udah diberesin. Aku sampai nggak perlu ngapa-ngapain.”
“Ya, soalnya bersih-bersih itu hasilnya kelihatan.”
“Hah?”
“Kebanyakan hal, meski kau berusaha keras, hasilnya nggak kelihatan. Tapi kalau bersih-bersih, begitu dikerjain langsung kelihatan hasilnya. Dan kalau salah pun, gampang diperbaiki di percobaan berikutnya. Disitulah bagusnya.”
“Nggak terlalu ngerti sih, tapi aku tahu kamu orangnya ribet.”
“Bener juga.”
“Kamu emang ribet. Bodoh.”
Aku kena omel. Padahal dia sendiri yang mulai. Sungguh tidak adil.
Yah, terserahlah. Aku mengalihkan perhatian ke dua piring makan yang tertata rapi.
“Kau bisa saja makan tanpaku. Kau kan tahu aku bakal pulang telat.”
“Buat kamu sih gampang, kamu nggak lihat pas aku makan. Tapi aku harus duduk di sini dan nonton kamu makan, kan?”
“Terus?”
“Jadi aku jadi lapar lagi.”
“Apa?”
“Aku jadi lapar lagi.”
“Oh… gitu.”
Nonton orang makan bisa bikin lapar, ya? Aku tidak mengerti. Apa itu hanya berlaku untuk perempuan?
Maksudku, mereka memang sering banget jalan-jalan buat nyobain makanan viral dari medsos. Mereka memang rakus.
“Tapi kau benar-benar bisa ngerjain semua pekerjaan rumah, ya?”
“Kenapa nadanya kayak ‘wah, kau ternyata bisa juga’ gitu?”
“Padahal aku nggak pake nada kayak gitu.”
“Lalu apa?”
“Nada kaget.”
“Itu kan sama saja, Cuma lebih ditekankan.”
Yah, tentu saja.
Soalnya aku sendiri pernah lihat kemampuan Hayashi dalam pekerjaan rumah pas festival budaya tahun kedua yang kacau itu. Jadi wajar jika aku tidak menyangka dia akan sepandai ini setelah berpisah sebentar.
“Yah, kalau soal beginian, kayaknya aku harus kasih dia sedikit pujian.”
Hayashi berbicara dengan nada enggan. Seperti dugaanku, keterampilan pekerjaan rumahnya saat ini didapat karena dipaksa belajar oleh mantan pacarnya.
Dan itu bikin aku susah buat benar-benar memujinya dengan tulus.
Tapi mungkin karena dia sendiri yang bilang begitu, muncul perasaan tertentu dalam diriku.
“Di sini santai aja, ya. Coba pikir lagi, kenapa kamu datang ke sini?”
“Kenapa kamu jadi kayak nasehatin aku?”
“Pertanyaan bagus. Ahaha.”
Tidak ada alasan yang jelas. Aku Cuma untuk mengalihkan topik.
“Kamu nggak berubah sama sekali, masih ceroboh begitu.”
“Apa? Aku sengaja loh bikin suasananya tetap santai. Apa leluconku seburuk itu?”
“Hah? …Nggak buruk-buruk amat, sih.”
“Benar, kan?”
“Itu tadi Cuma basa-basi aja.”
“…Hah?”
Jadi leluconku memang buruk, ya?
…Tidak mungkin.
“Tunggu, yang tadi maksudnya lelucon?”
Aku mengalihkan pandangan dari Hayashi. Entah kenapa, rasanya agak malu.
“…Bagaimanapun, alasan aku ke sini? Ya jelas, buat kabur darinya.”
Dia menjawab sambil menenangkan diri.
“Ya, itu juga. Tapi lebih dari itu, bukankah untuk istirahat?”
“Maksudmu aku kelihatan capek?”
“Iya.”
Kenapa sih dia selalu harus terdengar begitu ketus?
Saat kujawab terus terang, Hayashi melotot padaku.
“…Kenapa melotot?”
Yah, mungkin dia Cuma pura-pura kuat, tapi jelas dia kelelahan.
Mungkin dia sendiri belum sadar, tapi kalau dia benar-benar tidak tertekan, mana mungkin dia mau menerima bantuan dari seseorang yang dibencinya waktu SMA?
“…Aku nggak capek, kok.”
“Keras kepala banget sih.”
Sulit untuk tidak memutar bola mata.
“…Jadi? Kau nggak bisa ngurangin kerjaan rumahnya dikit, gitu?”
“Hei, boleh aku tanya sesuatu?”
“Apa?”
“Kalau kamu nyembunyiin orang di rumah kamu dan minta mereka bantuin kerjaan rumah, bukannya harusnya kamu ngomel kayak, ‘Nggak bisa bersih-bersih yang bener dikit?’ gitu?”
“Kenapa harus gitu? Itu kan Cuma kerjaan rumah. Orang bisa ngerjain sendiri juga.”
“Kamu tuh bener-bener nggak cocok tinggal bareng orang, ya?”
…Masa sih?
Yah, kalau Hayashi yang bilang, kurasa emang gitu.
Aku tidak sepenuhnya yakin, tapi untuk sekarang, kuanggukkan aja.
“Kalau kamu menyerahkan sesuatu ke orang lain, itu artinya kamu udah rela hasilnya nggak persis kayak yang kamu mau. Kalau kamu masih mau ngeluh, ya jangan kasih tugas itu ke orang lain. Kalau itu pekerjaan sih, aku bisa paham. Tapi ini Cuma kerjaan rumah, tau?”
“Ahh, aku paham sih.”
“Yang benar?”
“Nggak sama sekali. Aku Cuma ngikutin aja.”
“Jangan bertingkah seolah kau berbuat baik padaku.”
“Aku memang sedang berbuat baik, kok.”
Hayashi terlihat kesal.
“Di bagian mana itu baik?”
“…Ini jadinya kalau kau memiliki banyak kebiasaan aneh. Sangat mendidik.”
Mendidik dalam hal apa? Apa pun itu, yang jelas ini bukan pujian.
“…Yah, intinya, aku ngerti maksudmu. Nggak setuju sih, tapi ngerti.”
“Baguslah.”
“Ya. …Jadi soal ngurangin kerjaan rumah—nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Bahkan hari ini aja, kayaknya aku ngabisin setengah hari buat ngurus rumah dan setengahnya tidak. Mungkin malah Cuma 40-60. Jujur, waktuku luang banget.”
“Dan kau masih sempat bikin semua ini? Hebat juga.”
“Jangan sarkas.”
Aku tidak sarkas, tapi Hayashi kelihatan kesal, jadi aku diam saja.
“…Terus terang, aku juga nggak terlalu niat ngerjain kerjaan rumah hari ini. Aku Cuma bosan aja… terus tahu-tahu udah ngelakuin semua.”
“Bosan, ya…”
Kalau dipikir-pikir, Hayashi kan sudah tidak punya ponsel gara-gara dihancurkan mantan pacarnya. Dulu waktu SMA, aku tidak pernah lihat dia pegang ponsel. Zaman sekarang, sangat jarang ada anak muda yang tidak pegang ponsel.
“Kenapa nggak nonton TV aja?”
“TV itu ngebosenin.”
“Jadi kamu bukan bosan, tapi pilih-pilih sampe nggak ada yang bisa dilakuin.”
Rasanya aku sedikit jengkel pada tamuku ini.
…Tetap saja. Jadi dia bosan, ya.
“Kamu biasanya ngapain aja di tempat mantanmu?”
Mantannyalah yang menghancurkan ponselnya. Kupikir kalau aku tanya soal kebiasaan dia waktu itu, mungkin aku bisa dapat petunjuk untuk membantunya saat ini.
“Ah, maaf.”
Tapi aku langsung sadar setelah mengatakannya.
Membahas masa lalunya dengan si brengsek itu seperti mengorek luka yang belum sembuh
“Gak apa-apa. Bisa kamu nggak pasang muka seperti baru aja bunuh anak anjing atau semacamnya?”
“…Maaf.”
“Jadi… waktu itu aku ngapain, ya? Hmm. Coba kuingat... Ngurus rumah?”
“Balik ke awal dong.”
“Ahaha, iya kan.”
“Kau sadar betul itu.”
“Mau gimana lagi. Tiap kali dia pulang, dia bakal cari-cari kesalahan apa aku ngurus rumah dengan benar. Aku selalu kelelahan nyoba ngejar tuntutannya.”
Kau terdengar seperti karyawan yang menghadapi bos semena-mena, pikirku dalam hati.
“Saat mentalmu terkuras seperti itu, kau Cuma bisa terus mikir, ‘Aku harus melakukan ini dan itu,’ dan tahu-tahu, hari sudah berakhir.”
“Hentikan. Aku nyesek dengernya.”
“Ahaha. Semua ini salahmu, tahu?”
Hayashi tertawa sambil menggoda. Anehnya, terdengar cukup ceria. Tapi kalau dia masih bisa tertawa, itu pertanda baik.
“Intinya, info tadi tidak berguna, ya?”
“Yup. Tapi aku juga nggak bisa Cuma tiduran seharian. Kebanyakan tidur malah bikin capek, kan?”
“Iya… itu benar.”
Aku berdiri, teringat sesuatu. Aku meraih tablet yang kusimpan di lemari TV.
Masih memegang tablet itu, aku mengambil tisu basah dan membersihkan layarnya serta tepinya sebelum menyerahkannya ke Hayashi.
“Nih.”
“Hah?”
Hayashi memiringkan kepala, tampak bingung.
“Ini tablet lama yang udah nggak kupakai.”
“Keajaiban teknologi modern.”
“Bener sih… tapi gaya ngomongmu itu loh.”
“Kamu yakin ini boleh?”
“Iya, aku udah punya yang baru. Ada di tasku.”
“Oh, gitu?”
“Iya.”
“…Gitu, ya.”
Hayashi terlihat agak ragu.
Sudah tiga hari sejak aku mulai menampungnya di sini. Meski kuperlakukan dia seperti tamu, dia tidak pernah bertingkah semena-mena. Kadang dia memang balik ke sifat lamanya pas SMA, tapi jauh di lubuk hatinya, dia masih bersikap pengertian.
Dan sekarang, aku bukan Cuma menampung dia, tapi juga memberinya tablet. Wajar kalau dia ragu.
“Aku sudah tidak pakai ini lagi. Tidak ada alasan untuk tidak memanfaatkannya, kan?”
“…Iya.”
“Jangan Cuma ngurus rumah—bersenang-senanglah dengan ini juga. Ingat alasan kau datang ke sini.”
“Oke. Tapi biasanya orang bilang, ‘Jangan Cuma main—bantu ngurus rumah juga,’ tau?”
Diabaikan.
“Nih.”
“…Makasih. Kalau gitu, aku pinjam.”
“Iya.”
Beban di tangan kananku menghilang saat Hayashi mengambil tablet itu.
Untuk beberapa saat, dia Cuma duduk diam, seolah terharu bertemu kembali dengan perangkat elektronik. Tapi tak lama kemudian, matanya bersinar kegirangan.
Saat dia asyik dengan itu, aku kembali ke lemari TV, mengambil charger, dan menyerahkannya padanya.
Setelah bolak-balik mencari colokan, Hayashi berhasil mengecas tablet.
Kemudian, sambil berbaring tengkurap di ranjang di sampingku yang sedang menonton TV, dia mulai memainkan tablet yang sudah menyala.
Melihat dia asyik mengetuk-ngetuk layar membuatku ikut merasa senang.
Dan saat itulah terjadi.
“Yamamoto.”
Hayashi memanggilku.
“Apa?”
“Aku balikin ini—Cuma buat satu jam.”
“Satu jam?”
Kenapa ada batasan waktu?
Masih tengkurap di ranjang, Hayashi menyodorkan tablet itu padaku.
Aku membeku.
Browser yang terakhir kugunakan sebelum menyimpan tablet itu… masih terbuka di bagian bookmark.
Tablet ini, begitu terisi daya dari baterai kosong, akan kembali ke layar terakhir sebelum dimatikan. Waktu itu, aku pasti terlalu semangat dengan tablet baruku, berpikir tidak ada orang lain yang akan memakai ini, dan membiarkan bookmark browser terbuka begitu saja.
Dan di dalam bookmark itu… yah, aku tidak bisa mengatakannya keras-keras, tapi katakanlah ada beberapa link ke situs-situs tertentu yang kurang pantas.
“Terima kasih yang sebesar-besarnya.”
Dengan tenang dan khidmat, aku mengambil tablet itu dan mulai menghapus bookmark-nya.
Wajahku panas.
Sial. Kalau tahu bakal begini, aku tidak akan menyerahkan tablet itu dengan ceroboh. Seharusnya aku menghapus semuanya sebelum memberikannya padanya.
“…Yamamoto?”
“Apa?”
“Jadi kamu punya hasrat seksual juga, ya.”
“Jangan menggodaku.”
“…Ahaha.”
Dengan wajah terbenam di bantal, Hayashi tertawa pelan. Dia menendang-nendangkan kakinya dengan bersemangat, seolah tidak sabar menunggu tablet selesai diformat.
Chapter 5: Ratu yang Kekurangan Tidur
Pagi keempat sejak aku mulai menampung Hayashi Megumi.
Seperti biasa, aku bangun di jam yang sama.
Aku langsung duduk, meluruskan punggung, dan tanpa sadar tersenyum melihat langit biru cerah di balik tirai yang terbuka.
Keluar dari futon, aku melipatnya dan meletakkannya di pojok ruangan. Seperti biasa, aku menantikan hobi favoritku: bersih-bersih.
Kemarin, aku fokus membersihkan kamar mandi. Dan waktu itu aku sudah memutuskan apa yang akan kubersihkan hari ini.
Aku membuka lemari dan mengobrak-abrik berbagai perlengkapan bersih-bersih yang kubeli dari acara belanja di TV, toko online, hingga toko-toko serba ada di Tokyo. Setelah memilih yang kubutuhkan hari ini, aku bersiap.
Balkon kamarku relatif luas untuk apartemen satu orang. Saat aku mencari apartemen dulu, salah satu alasanku memilih tempat ini adalah karena hal itu.
Berkat itu, membersihkan balkon bisa terasa sangat memuaskan.
Aku mulai dengan menyapu lantai pakai sapu. Kurasa terakhir kali aku membersihkan balkon itu sekitaran dua minggu lalu. Sejak itu, sudah beberapa kali turun hujan deras mendadak—hujan musim panas—yang membuat balkon terlihat sangat kotor.
Setelah menyapu debu, aku mengelap tiang jemuran dan pagar balkon.
Kemudian aku beralih ke jendela.
Pertama, aku membersihkannya dengan deterjen, lalu mengelapnya dengan kain kering. Aku mengulangi proses yang sama di bagian dalam.
Terakhir, aku beralih ke rel jendela. Aku menggunakan cairan pembersih dan sikat kecil untuk menggosok kotoran sedikit demi sedikit dengan hati-hati.
“Uwaaah, jorok banget!”
Entah kenapa, membersihkan sesuatu yang kotor itu memunculkan rasa puas tersendiri. Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku melihat kotoran terangkat dari rel jendela.
Dan kemudian aku baru menyadari apa yang barusan kulakukan. Aku berteriak.
Semoga Hayashi tidak kebangun karena itu...
“Ngh...”
Harapanku pupus—dia terbangun.
Sama seperti kemarin, Hayashi terlihat masih mengantuk saat bangun. Matanya masih setengah terpejam, dan meski dia duduk, tubuhnya masih bergoyang seperti mainan roly-poly.
“Pagi...”
Suaranya bahkan lebih serak dari biasanya.
“Hei. Pagi. Maaf, aku membangunkanmu”
“...Jam berapa sekarang?”
“Jam enam pagi.”
“...Serius? Kalau gitu, aku bangun deh.”
Sekarang kalau kupikir-pikir, kemarin Hayashi sudah bangun sejak jam lima lebih. Tapi pagi ini, dia sama sekali tidak bergerak sampai aku teriak barusan.
Tentu saja, aku tidak pernah meminta tamuku untuk bangun pagi. Malahan, aku lebih senang kalau dia bisa tidur lebih lama.
Tapi meski tubuhnya masih lesu, mungkin karena rasa tanggung jawab, dia berjalan sempoyongan menuju kamar mandi.
Kurasa aku juga harus cepat-cepat menyelesaikan bersih-bersihku. Kelasku hari ini baru dimulai pada jam kedua, jadi masih ada waktu, tapi sampai di kampus lebih awal tidak ada salahnya.
Saat aku melanjutkan membersihkan rel jendela, Hayashi muncul dari kamar mandi.
“Tadi kamu teriak-teriak. Ada sesuatu yang menyenangkan?”
Dia bertanya padaku. Rupanya dia ingat kalau terbangun karena suaraku, walaupun masih setengah sadar.
“Aku lagi bersih-bersih.”
“Ya.”
“Dan kotorannya, gampang banget dibersihin, gitu lho...”
“Ya, ya.”
“Dan itu seru banget, sampai aku refleks teriak.”
Ngomong kayak gitu bikin aku jadi malu sendiri.
“Ahh, aku paham kok.”
“Serius?”
“Ya. Kalau lagi semangat, kamu emang suka asal ngomong.”
Aku terdiam. Mendengar itu dari orang yang menggodaku pas hari pertama tinggal bareng, pembicaraan semacam itu terasa... sugestif.
“Ngomong-ngomong, maaf. Aku kebablasan tidur.”
Tanpa menyadari perasaanku, Hayashi meminta maaf.
“Gak apa-apa. Malah, kamu bangunnya masih kepagian.”
“...Soalnya aku keasikan main tablet.”
Itu sih benar-benar tak menjawab ucapanku. Tapi sambil agak merasa bersalah, dia memberikan semacam setengah permintaan maaf sambil mulai menyiapkan sarapan.
Tablet itu sempat bikin masalah waktu aku kasih semalam, tapi sepertinya sekarang Cuma jadi alat hiburan buat dia. Aku lega.
Hayashi dengan cepat selesai menyiapkan sarapan. Dia membawanya ke ruang tamu, dan setelah aku selesai bersih-bersih dan cuci tangan, aku juga duduk di meja.
“Ayo makan.”
“Ya. Terima kasih atas makanannya.”
Kami mulai makan. TV dimatikan—sarapan berlangsung dengan tenang.
“...Maaf. Menunya ringan. Nanti siang aku masak yang lebih layak, deh.”
“Tak usah dipikirkan. Maaf merepotkanmu.”
“Bukan kamu masalahnya. Ini salahku karena kurang disiplin ngatur diri.”
“Kamu ini tipe yang suka memendam semuanya sendiri, ya.”
Seperti saat aku pertama kali membawanya ke sini, dia masih bersikeras balik ke rumah mantannya.
Atau saat dia ngotot ingin kerja paruh waktu Cuma agar tidak membebaniku.
Atau sekarang, saat dia terlalu serius soal keterlambatan dalam menyiapkan sarapan.
Padahal aku sudah kenal dia sejak SMA, tapi aku tidak pernah sadar dia orangnya kayak gini.
“Kalau aku nggak bisa ngelakuin apa yang seharusnya, aku pantas dikritik.”
“Tapi aku nggak pernah ngomong apa-apa. Aku juga nggak pernah ngasih kamu tugas.”
“Kamu tuh harus lebih tegas. Kamu kan pemilik rumah di sini.”
Entah kenapa, malah dia yang menceramahiku.
...Yah, jika aku boleh bilang sesuatu ke dia, mungkin aku akan bilang, belajarlah untuk santai sedikit.
Aku tidak menjawab apa-apa. Kupikir lebih baik mengakhirinya di sini sebelum dia makin terperosok dalam rasa bersalah. Kalau tidak, nanti aku malah harus selalu hati-hati dalam bersikap, dan itu pasti melelahkan.
Tapi... apa ya, yang bisa kuucapkan buat mengalihkan topik pembicaraan?
Kebetulan, mataku tertuju ke arah tempat tidur—dan melihat tablet hitam mengkilap itu.
“...Jadi, apa tabletnya seru semalam?”
“Ya.”
“Baguslah. Aku kasih itu supaya kamu bisa nikmatin waktu juga. Kita orang modern tidak bisa hidup tanpa gadget. Hidup kayak di zaman batu pasti menyebalkan.”
“...Yah. Iya juga, sih.”
Hayashi tampak sedikit lebih rileks sekarang.
“Kamu ngapain aja di situ?”
“Hah?”
“...Ah, nggak jadi. Ceritain aja apa yang bisa kamu ceritain. Aku Cuma penasaran.”
Aku sadar jika seseorang menanyakan hal seperti itu padaku, aku sendiri mungkin bakal bilang, “jangan ikut campur urusan pribadiku.” Jadi aku tambahkan pernyataan itu untuk jaga-jaga.
Meskipun mungkin aku tidak perlu terlalu berhati-hati. Lagian, tablet itu kan milikku, jadi nanya soal penggunaannya harusnya bukan masalah.
Dan kalau ternyata dia menghabiskan uang untuk lubang kelam seperti game gacha, itu akan mengacaukan anggaran yang telah kuperkirakan untuk menampungnya. Tapi kurasa dia bukan tipe yang begitu. Selama empat hari terakhir, aku belajar bahwa gadis yang dulu kuanggap egois di SMA ternyata punya rasa tanggung jawab tinggi, hati yang hangat, dan sifat yang pengertian.
...Tapi kenapa dulu dia membenciku?
Ngeri juga kalau dipikir-pikir.
“Kebanyakan, Cuma nonton video, sih.”
Kupikir dia mungkin enggan, tapi dengan sedikit keraguan, Hayashi menjawab pertanyaanku.
Video, ya.
Sekarang kalau dipikir-pikir, setelah aku memejamkan mata semalam, kayaknya aku memang dengar suara dari tempat tidur.
“Oh ya? Video macam apa?”
Mungkin... kucing atau anjing lucu yang bermain dengan pemiliknya—sesuatu seperti itu.
“Umm... agak susah buat dijelasin.”
“Hah?”
“Mau nonton?”
Padahal beberapa hari lalu Hayashi bilang kalau pakai alat elektronik saat makan itu tidak sopan. Tapi sekarang, seolah lupa dengan kata-katanya sendiri, dia mengambil tablet dan mulai mengetuknya sambil masih makan.
...Ya sudahlah. Mungkin dia nemu sesuatu yang benar-benar dia suka dan ingin membaginya denganku.
Video yang muncul di tablet, menggantikan televisi, berdurasi sekitar sepuluh menit. Dialognya dibacakan oleh suara elektronik, menceritakan sebuah cerpen. Ada empat tokoh utama dalam cerita itu.
Sepasang kekasih yang pemalu, seorang pegawai toko yang kasar, dan seseorang yang ternyata adalah orang penting.
Pasangan pemalu itu sudah memesan tempat di restoran mewah untuk merayakan hari jadi mereka. Meski mereka berpakaian rapi, mereka tetap diusir oleh seorang karyawan yang kasar. Kesal, mereka akhirnya pergi ke restoran yang sudah mereka kenal dan curhat ke manajer tentang apa yang terjadi.
Ternyata, si manajer itu dulunya adalah kepala koki di restoran mewah tersebut. Setelah mendengar cerita mereka, dia langsung datang ke sana untuk memarahi manajer saat ini, dan si karyawan kasar itu pun akhirnya dipecat.
Sebuah cerita khas dengan pola ala “Mito Komon.” Cerita klasik di mana keadilan menang pada akhirnya... Rupanya, video semacam ini sekarang disebut video “satisfying justice” oleh para penonton muda. Mereka bahkan punya hastag sendiri.
“Tuh, seru kan?”
“Iya, kurasa.”
Aku menjawab sekadar basa-basi. Bukannya aku merasa itu membosankan. Tapi terus terang, aku tidak begitu suka video semacam ini.
Mereka terlalu fokus pada sensasi menghukum seseorang, dan plotnya selalu penuh lubang. Perilaku karakternya juga cenderung tak konsisten, dan ceritanya tidak begitu mendalam.
Yang paling tidak kusuka adalah ketika para protagonis tidak menggunakan kekuatan mereka sendiri—mereka selalu mengandalkan otoritas orang lain untuk menjatuhkan siapa pun yang membuat mereka kesal. Narasi semacam itu berbau niat jahat dari pembuatnya.
Memang ada kalanya kita tidak bisa membalas perlakuan buruk seseorang. Bahkan, meski kita melawan, itu tidak mengubah apa pun.
Dalam situasi seperti itu, menurutku tidak salah untuk mengandalkan kekuatan orang lain. Tapi kenapa protagonisnya dibuat begitu pasif?
Mereka ingin menghukum karyawan yang mengusir mereka.
Lantas kenapa mereka tidak bilang langsung? Pada akhirnya,karyawan itu dipecat karena ucapan mereka—tapi cerita ini secara licik melindungi mereka dari tanggung jawab apa pun. Sebrengsek apa pun dia, kalau kau sampai memojokkannya, setidaknya kau harus merasa sedikit bertanggung jawab.
Cerita yang secara sengaja membebaskan orang dari tanggung jawab atas ucapan dan tindakan mereka sendiri... aku tidak bisa tahan dengan itu.
Tapi ya, soal selera masing-masing. Aku lihat ada beberapa bar kemajuan berwarna merah di bawah video lainnya—tanda bahwa video-video itu sudah ditonton. Jadi, Hayashi mungkin begadang semalaman menonton ini semua.
Mengingat situasinya saat ini, mungkin dia merasa sulit untuk berhenti.
“Bagian mana yang menurutmu seru?”
“Hah?”
“Maksudku, bagian mana dari video tadi yang menurutmu seru?”
Senang karena aku menunjukkan minat, Hayashi bertanya sambil tersenyum cerah. Senyuman yang jernih dan terbuka, yang belum pernah kulihat sebelumnya di wajahnya.
Tolong jangan tanya aku itu sambil tersenyum seperti itu.
Memang aku tadi bilang seru—tapi ayolah, kau jelas ngasih aura seolah aku harus setuju denganmu juga, kan? Kau juga tidak sepenuhnya polos dalam hal ini, tahu!
Saat keringat menetes di punggungku, aku membuang muka. Aku cukup yakin mulutku berkedut.
“Hei, Yamamoto?”
“Hmm?”
“Kamu sebenarnya nggak suka, ya? Barusan kamu Cuma basa-basi doang, ya?”
Ugh...
Bisakah kau tidak tajam hanya pada saat-saat seperti ini?
Melihat Hayashi menggembungkan pipinya dan menunduk sedih, aku merasa harus bilang sesuatu buat memperbaikinya.
“N-Nggak kok? Nggak sama sekali?”
“Kenapa setiap kalimatmu diakhiri tanda tanya?”
“Itu... ya, aku nggak jago ngomong sama orang, oke? Kadang intonasiku jadi aneh.”
“Ah, gitu.”
“Iya.”
Tolong, jangan langsung percaya alasan setengah matang kayak gitu, ya.
“Jadi... bagian mana yang menurutmu seru?”
Aku terdiam.
Kalau mengikuti logika ceritanya, mungkin aku bisa bilang aku suka lihat karyawan itu dipecat. Tapi jujur, justru itu bagian yang paling membosankan bagiku.
Kalau aku terlalu mengkritik ceritanya, mungkin dia bakal makin kesal... atau lebih bruuk lagi, membuatnya marah.
“Ada ya, orang yang nggak bisa ngelola risiko? Kupikir lucu aja lihat karyawannya sebego itu.”
Sebuah jawaban sinis yang khas dariku, tetapi itu menghindari kritik langsung terhadap isi dari video.
Mari kita lihat bagaimana hasilnya... Aku menahan napas dan mengamati reaksinya. ...Hayashi berkata,
“Ahh, bener banget!”
Dia paham!
“P-Pokoknya, jangan begadang terus, ya? Itu nggak baik buat kesehatan.”
“Ah... iya.”
Tiba-tiba, Hayashi mengangguk dengan ekspresi yang lebih serius.
“Terima kasih buat makanannya.”
“Iya.”
Kami selesai sarapan, dan aku mulai bersiap ke kampus. Aku memasukkan buku pelajaran ke dalam tas, melewati Hayashi yang sedang mencuci piring, dan masuk ke kamar mandi buat ganti pakaian.
“Hari ini aku nggak kerja.”
“Oke.”
“Aku berangkat dulu.”
“Hati-hati di jalan.”
Saat aku meninggalkan rumah, pikiranku kembali melayang.
Kenapa Hayashi bisa begitu terpikat dengan video-video semacam itu? Awalnya kupikir itu karena isinya terasa relevan dengan situasinya sekarang.
Tapi kalau memang begitu... mungkin, jauh di lubuk hatinya, dia memang ingin mantan pacarnya dihukum.
Kalau benar seperti itu, mungkin—hanya mungkin—aku bisa membujuknya sekali lagi untuk melapor ke polisi.
...Sekarang, di mana mantan pacarnya berada, dan apa yang sedang dia lakukan?
Aku ingin tahu berapa banyak waktu yang kami miliki.
Hayashi tidak bisa terus-terusan tinggal di apartemenku. Cepat atau lambat, pengaturan ini akan menjadi tidak bisa dipertahankan.
Sebelum itu terjadi, aku harus menyingkirkan semua sumber kecemasannya.
Tetapi hal terpenting untuk itu... bukanlah mencari orang kuat yang bisa bertindak atas namanya, seperti di video itu.
Yang benar-benar dibutuhkan Hayashi adalah keberanian untuk mengambil langkah pertamanya sendiri.
Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah memberinya sedikit dorongan dari belakang. Yang berarti, hal terpenting yang bisa kulakukan sekarang, kemungkinan besar adalah—
Membuka jalan bagi Hayashi untuk bertemu kembali dengan Kasahara, sahabat lamanya.
Kemarin gagal, tapi hari ini, pasti...!
Dengan tekad itu, aku sampai di kampus.
“...Dia tidak ada di sini.”
Seharusnya aku tahu aku tidak akan bisa menemukan Kasahara—orang yang selama ini Cuma kukenal lewat kelas bahasa Prancis—di kampus sebesar ini!
Akhirnya.
Menjelang senja, tanpa hasil apa pun, aku berjalan pulang.
Rasanya agak berat. Setelah semua kata-kata yang kuucapkan pada Hayashi, seolah aku punya semua jawaban, aku tidak menyangka diriku sendiri yang malah gagal total dalam membuat kemajuan apa pun.
Aku tidak ingin pulang. Entah kenapa pikiran itu terlintas. Mungkin sekarang aku sedikit paham perasaan para pegawai yang sudah berkeluarga yang malas pulang ke rumah. (Nggak juga, sih.)
Tapi anehnya, justru di saat-saat seperti ini aku malah pulang lebih awal dari biasanya. Ironis.
Aku berdiri di luar, menatap apartemenku sendiri.
Lalu aku menyadari sesuatu yang aneh.
Lampu di kamarku tidak menyala.
Padahal meski aku langsung pulang seusai kelas, hari sudah jam 7 malam. Tanpa menyalakan lampu, akan terlalu gelap untuk melakukan apa pun di dalam.
Saat itulah perasaan buruk menyergapku.
Aku baru saja berpikir tentang bagaimana aku tidak ingin pulang—dan sekarang, langkahku semakin cepat.
Beberapa hari yang lalu, Hayashi pernah bilang sesuatu.
Katanya, saat aku pergi ke kampus, dia sempat keluar diam-diam. Katanya dia pergi ke supermarket dan mengambil majalah lowongan kerja.
Jangan-jangan...
Jangan-jangan...!
Baru tadi aku bertanya-tanya—sekarang mantannya ada di mana, dan sedang apa?
Jangan-jangan, waktu Hayashi keluar sendirian hari itu... dia terlihat oleh mantannya... dan sekarang dia tahu di mana dia tinggal...
Dia datang untuk membawanya kembali...?
Aku berlari menaiki tangga apartemen dan berdiri di depan pintuku.
Aku merogoh saku untuk mengambil kunci, tapi karena terburu-buru, kuncinya malah jatuh.
Klang—bunyi logam menggema, membuat kegelisahanku makin memuncak.
Aku memasukkan kunci ke lubang dan membuka pintu dengan kasar.
Ruangan itu sunyi.
...Seperti cangkang yang telah dikosongkan.
Aku melangkah masuk, melepas sepatu, dan berjalan melewati lantai dapur. Suara derit lantai terasa menyakitkan di telinga.
Lalu, aku masuk ke ruang tengah.
“ZZZZ~”
...Hayashi sedang tidur di atas kasur.
“...Serius? Ternyata kamu Cuma tidur?”
“ZZZZZ~”
“Jangan jawab pakai suara tidurmu dong.”
Aku bergumam pelan.
Meski begitu, wajahnya terlihat damai dan bahagia.
Aku tidak tega membangunkannya. Setelah semua beban emosional akibat hidup bersama mantannya, dan sekarang harus tinggal bersamaku... semuanya pasti sudah menumpuk.
Kalau dilihat lebih dekat, aku melihat jemuran yang masih tergantung di balkon.
Dan di dapur, ada ayam yang sedang dimarinasi dalam kantong plastik—persiapan untuk makan malam.
Untuk saat ini, aku berjalan ke wastafel dan mencuci tangan.
“Ngh...”
Aku tidak bermaksud membangunkannya... tapi suara air yang mengalir justru membangunkannya.
“Maaf. Apa aku membangunkanmu?”
Tadinya aku sengaja pakai wastafel dapur, bukannya buka pintu kamar mandi, karena kupikir suaranya lebih pelan. Ternyata perkiraanku salah.
Hayashi duduk seperti pagi tadi, memicingkan mata dengan setengah sadar ke arahku.
“Aku benar-benar minta maaf!”
Begitu dia benar-benar tersadar, dia buru-buru berdiri dan meminta maaf dengan panik.
Dengan gelisah, dia mencoba merapikan rambutnya yang acak-acakan dengan jari-jarinya sambil bergegas ke arah dapur.
“Aduh!”
Kaki kanannya terbentur dinding antara ruang tengah dan dapur, membuatnya kehilangan keseimbangan.
Momen itu terjadi seolah dalam gerakan lambat.
Meski aku sedang mencuci tangan, tubuhku langsung bereaksi bahkan sebelum sempat mematikan keran.
Saat dia mulai jatuh, aku langsung menangkapnya dengan kedua tangan. Kurasakan kelembutan tubuhnya, dan meski kami pakai sampo yang sama, ada aroma manis yang mengejutkan tercium darinya.
“Hati-hati, dong.”
Hayashi tak berkata apa-apa.
Di sisi lain, jantungku berdegup kencang. Cara dia kehilangan keseimbangan, rasa lembut yang masih terasa di lenganku, dan aroma manis samar yang masih menggantung di udara—semuanya membuat detak jantungku tak karuan.
“...Aduuh.”
Hayashi bergumam.
“Sakit...”
Sepertinya kakinya benar-benar terbentur keras.
Di saat itu juga, ketegangan yang menyesakkan dadaku langsung lenyap.
“Bodoh.”
“Diam...”
“Itu akibatnya kalau buru-buru bangun dengan panik.”
“Kubilang diam!”
Hayashi menarik diri dari pelukanku dengan kasar. Dengan mendengus dan cemberut, dia berbalik dan berdiri di dapur. Yah, jujur saja, dia yang marah malah lebih mudah ditangani daripada dia terus-terusan minta maaf.
“...Maaf.”
Tepat saat kupikir begitu, dia malah minta maaf lagi.
“Aku seharusnya ngerjain pekerjaan rumah. Tapi aku malah melewatkannya.”
“Kamu akhirnya bisa menikmati waktu luang juga. Sesekali istirahat itu nggak apa-apa, kok.”
“Nggak boleh.”
Kenapa tidak?
Aku ingin bertanya, tapi aku sudah cukup bisa menebak apa yang ada di pikirannya.
Hayashi mungkin merasa alasan dia boleh tinggal di sini adalah karena dia mengurus pekerjaan rumah. Jadi saat dia melewatkannya, bahkan sekali saja, dia merasa bersalah.
Ini agak mirip dengan perasaan karyawan baru di black company ketika atasan atau CEO dengan sombong menyuruh mereka “buktikan kalau kau pantas digaji.”
Aku benci benci pemikiran seperti itu. Orang-orang yang bicara begitu seakan-akan jika kau tidak berkinerja pada level tertentu, kamu tidak layak dapat bayaran. Itu bentuk penghinaan terang-terangan pada pekerja.
Hayashi mungkin sampai pada kesimpulan itu dengan pola pikir serupa. Entah itu karena pengaruh mantannya atau bukan—aku tidak tahu. Tapi saat ini, bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah, bahkan kalau aku bilang, “kamu nggak perlu ngerjain pekerjaan rumah,” dia mungkin tidak akan menerimanya.
Apa pun alasannya, dia sudah menyatakan akan mengerjakan pekerjaan rumah selama tinggal di sini, dan sekarang dia gagal menepatinya. Dan buat dia, itu cukup jadi alasan untuk merasa bersalah.
Itulah kenapa dia minta maaf padaku.
“Hayashi. Kenapa kamu nggak ngerjain pekerjaan rumah hari ini?”
“Hah?”
“Aku tanya alasannya. Kenapa kamu sampai ketiduran?”
Hayashi menundukkan kepalanya. Mungkin dia pikir nada bicaraku menunjukkan kalau aku marah. Dulu waktu SMA, kalau dia merasa terpojok, biasanya dia malah jadi membangkang. Tapi sekarang beda.
“...Aku begadang semalam.”
Jawabnya pelan, masih menunduk.
“Jadi kamu ngantuk pas siang.”
“Iya...”
“Begitu.”
Aku menghela napas.
“Kalau gitu solusinya gampang. Jangan begadang sampai kamu ketiduran di siang hari.”
“Hah?”
“Kalau ada masalah, yang perlu kamu lakukan adalah mencari cara mengatasinya. Duduk meratapi rasa bersalah itu Cuma buang-buang waktu.”
“...Kamu nggak marah?”
“Marah? Kenapa aku harus marah?”
Aku sedikit mengerutkan kening saat bilang begitu.
“Kamu pikir aku bakal marah Cuma karena satu kesalahan kecil dalam pekerjaan rumah?”
...Dari sikapnya, jelas dia sempat mikir aku bakal marah. Memang, dia membuat kesalahan. Tapi bukan berarti aku punya niat untuk memarahinya.
“...Tapi tetap aja.”
“Hayashi. Aku kasih kamu salah satu prinsip emasku.”
“...Apa?”
“Nggak ada orang yang mati Cuma karena bikin kesalahan.”
Dia tidak merespons.
Aku menarik napas untuk melanjutkan.
“Orang itu sering bikin kesalahan—berulang kali sepanjang hidupnya. Entah itu dalam kerja, urusan rumah, hubungan, apa pun. Dan waktu mereka gagal, mereka menyesal. Mereka depresi. Kadang sampai merasa ingin mati. Tapi anehnya, seberapa pun menyakitkannya kegagalan itu, orang nggak benar-benar mati karenanya. Itu bukti betapa kecilnya kesalahan-kesalahan itu—bahkan yang kita anggap tak tertahankan.”
“...Ahh.”
“Paham?”
“...Iya.”
“Benar, kan? Makanya nggak usah terus-terusan nyalahin diri sendiri karena hal kayak gitu.”
“...Iya.”
“Hayashi, coba deh pikir kebalikannya.”
“...Hah?”
“Misalnya ada orang yang kamu kenal bikin kesalahan di kerjaan, dan kamu yang kena dampaknya. Kamu kesal. Kamu marah padanya. Di momen itu, apa yang kamu pikirkan? Setelah marah, kamu sebenarnya mau apa dari mereka? Permintaan maaf? Bukan—yang kamu inginkan adalah agar mereka nggak ngulangin kesalahan itu lagi. Kamu Cuma nggak mau ngadepin hal yang sama untuk kedua kalinya. Kebanyakan orang berpikir seperti itu, karena itu Cuma kesalahan kerja. Dan itulah kenapa aku bilang—nggak ada orang yang mati Cuma karena bikin kesalahan.”
Hayashi menatap lantai dalam diam.
“Kalau seseorang gagal, hal terpenting bukanlah permintaan maaf. Itu bukan ketulusan yang sesungguhnya. Ketulusan yang sebenarnya adalah melihat apa yang salah, mencari tahu penyebabnya, dan memastikan itu tak terjadi lagi.”
Tanpa sadar, aku sudah berceramah setengah jalan—padahal tadi bilangnya aku tidak marah.
“Dengan kata lain, kalau kamu sudah tahu penyebabnya dan cara memperbaikinya, maka kamu aman. Kamu nggak akan ngulangin kesalahan yang sama. Gitu, kan?”
“...Iya.”
Hayashi mengangguk dalam-dalam.
“Iya. Iya... Aku janji, nggak bakal kuulangi lagi.”
“Kalau gitu, selesai. Oke?”
“Iya.”
Dia mengangguk lagi, lalu tersenyum kecut.
“...Kamu tahu, kamu ini kayaknya udah tercerahkan banget, ya. Sulit percaya kita seumuran. Jujur, agak seram, sih.”
“...Hayashi.”
“Apa?”
“Itu kasar. Sekarang aku beneran bakal marah.”
“Ahaha, bercanda kok, bercanda... Jadi, nggak ada yang mati gara-gara gagal, ya?”
“Maksudmu apa, tuh?”
“Maaf. Aku bukannya nggak setuju. Cuma... gagasan kayak gitu nggak pernah ada di kepalaku sebelumnya.”
“Itu bukan filosofi yang hebat atau semacamnya.”
“Bukan... Kamu benar, sih. Dan jujur aja, lihat kamu kayak gini bikin aku mudah percaya. Tapi lebih dari itu.”
Lebih dari itu...? Maksudnya apa?
Aku memiringkan kepala, bingung.
“Aku rasa... beginilah yang harusnya dirasakan pasangan yang benar-benar hidup bersama.”
“Hah?”
“Saling menerima kesalahan masing-masing. Sama-sama mencari cara buat memperbaikinya. Nggak meremehkan, tapi ikut khawatir bareng. Memberi dorongan dengan empati, meluangkan waktu satu sama lain, menghadapi masalah bersama... dan membangun kehidupan yang lebih baik bersama-sama. Kita berdua, menciptakan sesuatu bersama.”
Kata-kata Hayashi terdengar seperti sindiran halus pada seseorang.
“Hubungan kayak gitu... nggak pernah ada waktu aku tinggal sama dia. Mungkin itu sebabnya hubungan kami nggak berjalan baik.”
“...Begitu, ya.”
Aku tidak banyak bicara. Tapi dalam hati, aku merasa ingin sedikit membantah.
Soalnya, meskipun dulu dia membenciku waktu SMA, sekarang dia secara sukarela melakukan semua pekerjaan rumah di sini.
Dia bahkan mengambil risiko bertemu mantannya, dan sempat berpikir untuk kerja paruh waktu demi meringankan bebanku.
Tindakan-tindakan itu—mendukung seseorang, memberi semangat, meluangkan waktu—bukankah itu persis seperti hal-hal yang tadi dia bilang dia inginkan dari sebuah hubungan?
Kemungkinan besar, bahkan waktu bersama mantannya, dia juga berusaha memberikan hal-hal yang sama seperti yang sekarang dia berikan padaku.
Dulu waktu SMA, dia nyaris tidak bisa memasak, tapi sekarang dia sudah jauh lebih jago.
Dia tidak mengeluh soal pekerjaan rumah. Dia bisa diandalkan.
Sejak tinggal di sini, aku belum pernah dengar satu keluhan pun darinya soal kehidupan sehari-hari.
Melihatnya sekarang membuatnya jelas.
...Membuatnya sangat jelas.
...Hayashi.
Alasan kenapa hubunganmu dulu tidak berhasil—
Itu bukan salahmu.
Kekerasan. Kontrol. Manipulasi emosional.
Yang salah... adalah pria yang memperlakukanmu layaknya alat.
“Kita bukan benar-benar pasangan, sih.”
“Itu benar.”
Hayashi tertawa.
...Sejak kami bertemu lagi, aku jarang melihatnya tersenyum.
Sebaliknya, aku lebih sering melihatnya murung, cemas, atau sangat sedih.
...Lucunya—
Bahkan kalau alasannya sepele, melihatnya tersenyum tidak pernah terasa buruk.
“Hei, Yamamoto?”
“Apa?”
“Akhir-akhir ini aku kepikiran...”
Kepikiran apa?
Sebelum sempat bertanya, Hayashi sudah lanjut bicara.
“Seharusnya aku lebih banyak ngobrol sama kamu waktu SMA.”
Aku tidak berkata apa-apa. Bukan karena aku tidak setuju—justru sebaliknya.
Lucu, ya. Aku juga baru saja memikirkan hal yang sama.
Sejak aku menampungnya, aku jadi tahu banyak tentang dirinya.
Bahwa dia masih sama keras kepalanya seperti dulu.
Bahwa dia ternyata mudah ditebak.
Bahwa dia punya sisi ceroboh juga.
Dan yang terpenting... bahwa dia sangat setia pada orang yang dia sayangi.
Gadis yang dicap “Ratu Lebah” biasanya bertingkah seperti penguasa egois.
Tapi dia... ya, kadang-kadang memang masih menunjukkan persona ratu yang dingin dan tak tersentuh, tapi saat merasa berutang budi pada seseorang, dia akan mengesampingkan segalanya demi membalasnya. Dia punya semangat seperti itu.
Kalau—
Kalau dulu kami lebih banyak bicara waktu SMA... kalau kami bisa lebih dekat—
Mungkin kami bisa menjalani masa SMA yang jauh lebih baik.
Itulah kenapa aku juga berpikir hal yang sama. Kalau saja dulu aku bisa lebih jujur dan sering ngobrol sama Hayashi.
“Itu hal yang baik, sih.”
“Hah?”
“Menyadari hal itu. ...Untuk kita berdua.”
Tapi tetap saja, aku tidak suka penyesalan.
Refleksi diri itu penting. Tapi terpuruk dalam kegagalan, membiarkannya melahapmu—itu sia-sia.
Kalau kau percaya sesuatu adalah kesalahan...
Maka carilah solusi agar kau tidak mengulanginya.
Hanya itu saja.
Karena satu kesalahan tidak akan membunuh kita.
Itu bukan perpisahan selamanya.
Kita masih bisa—selalu bisa—memulai kembali.
Setelah mendengar kata-kataku, Hayashi tersenyum malu dan menundukkan kepalanya sejenak.
...Lalu—
“Benar!”
Dia mengangkat kepala lagi, tersenyum cerah, dan mengangguk mantap dengan penuh keyakinan.
Chapter 6: Ratu yang Histeris
Pagi kelima sejak aku mulai menyembunyikan Hayashi Megumi.
Seperti biasa, aku bangun pagi-pagi dan mulai membersihkan kamar. Bersih-bersih di pagi hari selalu terasa menyegarkan. Rasanya seperti semua hutang kemarin di awal hari yang baru.
“Pagi.”
“Pagi, Hayashi.”
Hayashi bangun lebih awal dibanding kemarin, saat dia bangun kesiangan. Mungkin agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, dia tidur lebih awal tadi malam dibanding malam sebelumnya. Berkat itu, dia bangun pukul 5.30 pagi—satu jam setelahku.
Bangun pagi hari ini jelas merupakan hasil dari introspeksi atas kegagalannya kemarin.
Melihatnya seperti itu mengingatkanku lagi betapa sungguh-sungguhnya dia.
Tapi... kamu bisa saja terus tidur, tahu.
Hayashi mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda dan menuju dapur.
Sementara aku terus membersihkan kamar, suara-suara dari aktivitas memasak mulai terdengar dari dapur. Setelah selesai beberes, aku pergi mengeceknya.
Sarapan kali ini jelas lebih niat daripada kemarin. Dan bahkan ada bekal juga.
“Sebentar lagi selesai.”
Mungkin karena sudah hampir selesai memasak, dia menguap dengan malas.
“J-Jangan lihat aku.”
Malu, Hayashi menggembungkan pipinya dan memerah.
Tak lama kemudian, sarapan pun tersaji di atas meja.
“Terima kasih. Tahu nggak, kamu bisa saja tidur lebih lama.”
“Diam. Nggak apa-apa, oke? Ini pilihanku.”
“Baiklah. Hanya saja... aku merasa seperti memaksamu.”
“Kalau memang kamu yang maksa, aku justru bakal tidur lebih lama.”
“Ah! Aku benar-benar paham maksudmu.”
Soalnya, waktu di SMA dulu, Hayashi tidak menyukaiku. Kalau seseorang yang tidak disukainya memaksanya melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan, wajar saja kalau dia akan memberontak. Terutama Hayashi—dia tidak akan hanya sekadar menolak. Dia mungkin akan masuk ke mode ratu dan mulai menyuruhku melakukan pekerjaan rumah.
Kalau sampai itu terjadi, aku pasti habis.
Aku sadar bahwa hubungan kami sekarang hanya mungkin terjadi karena aku berhasil mengambil keputusan yang tepat di setiap titik persimpangan.
Kalau aku salah langkah sekali saja...?
Aku bahkan tak mau membayangkannya.
“Kamu harusnya bersyukur, tahu?”
Hayashi tersenyum.
“Justru karena sifatmu yang suka ikut campur dan menyebalkan inilah aku jadi termotivasi sekarang.”
Dan aku yang harus bersyukur?
Karena yang dia katakan pada dasarnya: semua ini berkat aku, kan? Justru dia yang harusnya berterima kasih padaku. Tidak ada alasan kenapa aku yang malah disuruh bersyukur.
“Begitu ya. Terima kasih.”
Aku bisa saja membantahnya, tapi kalau ucapan terima kasih sederhana bisa menjaga suasana hatinya tetap baik, maka itu sepadan.
Entah kenapa, Hayashi tiba-tiba berhenti memasak dan menunduk.
“...Bilang terima kasih seperti itu...”
Ucapannya terputus. Keheningan menyusul.
“A-Aneh kalau kamu mengucapkannya terus terang begitu!”
“Nggak aneh, kok. Kalau aku merasa bersyukur, aku akan berterima kasih. Mengucapkan terima kasih membuat kita berdua sama-sama senang, bukan? Tentu saja aku akan mengatakannya.”
“Ahh... ya, aku mengerti.”
“Benar, kan?”
“Aku mengerti, tapi tetap saja... hmm.”
Hayashi mengerang pelan.
“Yah, sudahlah.”
Setelah merenung, sepertinya dia memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.
“Hei, Yamamoto.”
“Hmm?”
“Ada sesuatu yang ingin kamu makan besok?”
“Hah?”
“Makanan yang kamu inginkan. Apa saja.”
Itu pertanyaan yang tiba-tiba. Kali ini giliranku yang mengerang sambil berpikir.
“Kurasa aku sudah bilang makanan favoritku?”
“Sudah. Tapi Cuma karena itu favoritmu, bukan berarti kamu ingin memakannya besok, kan?”
Hayashi menggembungkan pipinya lagi, agak sebal. Harus kuakui—dia ada benarnya.
Tapi... makanan yang ingin kumakan, ya...?
Saat ditanya begitu tiba-tiba, anehnya tidak ada yang terlintas di kepala.
“Apa pun yang kamu buat, aku suka, kok.”
Aku mengatakannya. Dan aku sama sekali tidak berbohong. Sejujurnya, masakan Hayashi bahkan lebih enak dari masakan orang tuaku di rumah. Perutku sudah sepenuhnya ada dalam genggamannya.
“...Iya, terserah.”
Hayashi berbalik dengan ekspresi cemberut.
Baru beberapa saat lalu dia terdengar bersemangat. Tapi sekarang suaranya suram.
Ruangan kembali sunyi.
“M-Mengatakan ‘apa pun boleh’ itu jawaban paling buruk yang bisa kamu berikan pada seseorang yang memasak untukmu, tahu!”
“...Benarkah?”
“Benar. Apa ibumu tidak pernah memarahimu karena mengatakan hal seperti itu?”
Sekarang setelah dia menyebutkannya... kurasa ibuku juga pernah marah padaku seperti Hayashi sekarang. Bahkan sampai histeris.
“Jangan bilang begitu lagi, oke?”
“Aku akan hati-hati.”
“Pastikan kau benar-benar hati-hati.”
Hayashi menghela napas pelan.
“...Jangan bilang begitu ke siapa pun selain aku, mengerti?”
“Hm? Iya.”
Suara daging yang mendesis di wajan menggema di seluruh ruangan.
Tak lama kemudian, Hayashi selesai memasak dan meletakkan seporsi sarapan di atas meja.
“Makan saja duluan.”
Ucapnya datar.
“Kenapa?”
“Aku mau beresin bekalnya dulu.”
“...Baiklah. Kalau begitu, aku tunggu.”
“Terserah.”
Kupikir persiapan bekal akan memakan waktu sekitar dua puluh menit.
Tapi aku meremehkan efisiensinya. Hayashi bekerja lebih cepat dari sebelumnya, menyelesaikan bekalnya dalam waktu sekitar sepuluh menit.
Dia mengisi kotak makan dan mengatakan akan membiarkannya terbuka dulu agar dingin.
“Terima kasih sudah menunggu.”
“Aku tidak merasa sedang menunggu.”
“Kalau begitu, ayo makan.”
“Ayo makan.”
Kami menyatukan tangan dan mulai sarapan.
Sambil makan, kami mengobrol tentang banyak hal.
SMP mana di antara kami yang reputasinya lebih buruk.
Guru yang paling dibenci Hayashi semasa SMA.
Tentang minimarket di depan stasiun terdekat dari sekolah kami yang baru-baru ini tutup.
Pagi ini, kami banyak berbincang—terutama tentang kenangan.
Sekarang kalau kupikir-pikir, apakah aku pernah tertawa dan bercakap-cakap dengan Hayashi sebanyak ini sebelumnya?
Kami pertama kali bertemu saat tahun pertama SMA. Itu sudah lebih dari tiga tahun lalu.
Mungkin ini pertama kalinya kami berbicara sebanyak ini.
Yah, kami tidak akur di SMA, jadi kurasa masuk akal.
“Hari ini kerja?”
“Tidak.”
Setelah menyelesaikan sarapan dan bersiap-siap ke kampus, aku menuju pintu depan.
“Kamu pulang jam berapa?”
“Sekitar jam empat, kurasa.”
“Cepat sekali. Kamu tak pernah kepikiran buat nongkrong di kampus atau semacamnya?”
“Buat apa? Kampus itu kan tempat buat belajar.”
“Kurasa kebanyakan mahasiswa zaman sekarang tidak berpikir seperti itu.”
“Bahkan meski biaya kuliahnya begitu mahal?”
Hayashi tersenyum kecil, kecut.
“Yah, itu memang terdengar seperti sesuatu yang akan kamu katakan.”
“Begitu?”
“Ya.”
“Kalau kau bilang begitu, mungkin memang begitu.”
...Sekarang setelah kupikirkan, ini pertama kalinya Hayashi menanyakan jam berapa aku pulang.
“Kalau begitu, hati-hati di jalan.”
“Iya.”
Aku melangkah keluar dari apartemen.
Dulu waktu SMA, kami selalu berada di ambang ledakan—seperti dua negara dalam perang dingin. Dan sekarang, hanya dalam lima hari, semuanya berubah begitu drastis.
Hayashi pas SMA, dan Hayashi pagi ini—
Jelas sikapnya terhadapku telah melunak.
Bahkan setelah kami bertemu lagi, suasana di antara kami masih terasa tegang pada awalnya.
Dia tiba-tiba memelukku dan berkata, “Mau melakukannya?” dan semacamnya.
Aku memintanya untuk tidak keluar apartemen, dan dia mengabaikanku.
Dia ngotot ingin melakukan pekerjaan rumah sebagai imbalan tinggal di sini.
Dia jadi murung hanya karena bermalas-malasan dan tidur siang.
Padahal baru beberapa hari, tapi sudah banyak hal yang terjadi.
Hayashi telah berubah. Dia jadi lebih lembut—cukup untuk bisa berinteraksi denganku tanpa terus-terusan cemberut.
Tentu saja, alasan dia bisa berubah... sepenuhnya berkat usahanya sendiri.
Karena dia ingin mengubah keadaannya. Dia mau mendengarkan orang lain. Dia membuat pilihan sendiri. Dan itu yang membawanya ke titik ini.
“Mungkin ini yang harusnya dirasakan pasangan yang hidup bersama.”
Dia bisa menyadari betapa rusaknya hubungan masa lalunya.
Mungkin sekarang... kalau aku mengusulkannya, dia tidak akan bersikeras menolak—mungkin dia bisa memutuskan untuk melaporkan mantan pacarnya.
Dengan dirinya yang sekarang, mungkin...
Mungkin saat aku pulang nanti, aku akan coba membicarakannya.
Sambil melamun begitu, aku pun tiba di kampus. Setelah beberapa kuliah, tibalah waktu makan siang.
Aku berdiri sendirian di kantin yang ramai dan bising.
Hari ini aku ada kelas dari jam pertama sampai kelima. Sekalipun tempatnya penuh sesak, aku perlu makan sesuatu agar kuat menjalani sisa hari.
Tapi... aku ragu.
Ini memang waktu makan siang, tapi kenapa sih mahasiswa selalu begitu ribut? Cukup untuk bikin aku kepala sakit...
Dan ada satu masalah lagi.
Aku menoleh ke sekeliling kantin, mencari bangku kosong.
Ada beberapa—secara teknis. Tapi kebanyakan berada di tengah kelompok yang sudah menguasai meja, atau sudah ditandai dengan tas. Tidak mungkin bisa duduk tanpa bertanya.
Menunggu sampai kelompok bubar?
Atau nekat duduk dan ambil risiko membuat mereka marah?
Ugh. Keduanya sama-sama merepotkan...
Lalu—
“Lewat sini.”
“Gah!”
Tiba-tiba, seseorang menarik tanganku dari belakang. Tangannya kecil dan lembut.
Seketika, aku terkejut.
Maksudku, siapa pun pasti akan kaget kalau tiba-tiba ada yang menarik mereka seperti itu, kan?
Tunggu... siapa ini? Apa dia salah orang?
Itu jawaban yang paling mungkin. Maksudku, aku tidak punya teman perempuan di kampus ini.
Tapi dari rasa di tangannya, ini jelas seorang perempuan.
Ini bakal canggung bagaimanapun juga. Sebaiknya segera kujelaskan.
Aku pun berbalik, siap bilang kalau dia salah orang.
Dan di sanalah dia—seseorang yang benar-benar kukenal.
“K-Kasahara?!”
Kasahara Akari.
Satu-satunya orang di kampus ini yang berasal dari SMA yang sama denganku.
Kami sekelas saat tahun kedua dan ketiga di SMA.
Dan—yang paling penting—dia adalah sahabat dekat Hayashi. Hampir tak terpisahkan.
“Kamu kelihatannya kesulitan mencari tempat duduk.”
Kasahara berkata dengan nada main-main. Suara melengking khas perempuan. Senyum yang riang. Aura yang lembut.
Sejak SMA, Kasahara tidak banyak berubah.
“Nggak apa-apa, kok. Kalau nunggu bentar, nanti juga ada kursi kosong.”
“Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Kalau lagi kesulitan, kita harus saling bantu, kan?”
“Tapi tetap saja…”
“Tidak apa-apa, oke?”
“…Baiklah.”
Kasahara mungkin sahabat dekat Hayashi, tapi kepribadiannya benar-benar berbeda. Dia tidak memaksa, dan jelas tahu caranya menjaga jarak yang tepat dengan orang lain.
Meskipun begitu, berbeda dari sang ratu tertentu, setiap kata-katanya memiliki tekanan halus yang tidak memberi ruang untuk membantah. Dan aku selalu lemah terhadap itu, bahkan sejak SMA.
Terdesak oleh tekanan tak kasatmata itu, aku akhirnya menyerah dan duduk di kursi yang Kasahara amankan, di dekat jendela kantin, di ujung meja panjang. Dia duduk di sampingku. Di seberang kami, ada sebuah ransel lucu dan sebuah tas jinjing ditempatkan di kursi.
“Temanku bakal duduk di situ. Maaf ya.”
“Tidak perlu minta maaf. Kamu bahkan udah berbagi kursi sama aku.”
“Ahaha. Hal kayak gini… rasanya nostalgia ya.”
“Benarkah?”
Aku menyipitkan mata sedikit dan melanjutkan.
“…Sudah lama ya, Kasahara.”
“Iya, sudah lama.”
Kasahara tersenyum cerah, tanpa sedikit pun keraguan.
“Yamamoto-kun, kamu akhir-akhir ini menghindariku, ya?”
Dengan senyum ceria itu, dia tiba-tiba menjatuhkan bom.
Aku mencoba mempertahankan ekspresi netral, tapi meski Hayashi bisa tertipu, Kasahara pasti menyadari ketidaknyamananku.
“Aku Cuma… nggak punya alasan buat ngomong sama kamu.”
“Jadi kamu nggak bakal ngomong sama seseorang kalau nggak punya alasan?”
“Aku orangnya emang gitu. Kamu tahu itu, kan?”
“Kurang lebih.”
Kasahara menunduk sedikit, tampak… agak sedih.
“…Y-Yah, bisa aja kamu yang ngomong duluan, kan?”
“Sudah. Barusan.”
“Benar juga.”
“Iya, kan?”
Tidak juga. Gawat. Aku sudah mulai jatuh ke dalam ritme lembut Kasahara.
“…Terima kasih sudah berbagi kursi. Aku hargai itu.”
“Sama-sama. Kalau aku bisa membantumu, aku senang kok.”
Astaga… berhentilah mengatakan hal-hal yang membuat orang salah paham.
“Jadi, apa maumu?”
“Hah?”
“‘Hah?’ itu bukan jawaban. Kamu pikir bisa lolos cuma karena kedengaran imut?”
Aku menghela napas.
“Apa maumu?”
Setelah kudesak, Kasahara menunduk sebentar. Dulu waktu SMA, aku sering mendengar curhatannya. Kayaknya ini salah satu dari situasi itu—sesuatu yang serius.
“Yamamoto-kun, kamu masih ingat… Megu—Hayashi Megumi?”
…Tak kusangka nama itu muncul.
“Ingat. Kalian berdua berisik banget, saking dekatnya.”
“Ahaha, berisik ya… Yah, memang sih.”
Kasahara menatapku.
“Kamu tahu nggak, Megu juga pindah ke Tokyo buat kuliah?”
“Tahu.”
“…Kamu sempat lihat dia nggak di suatu tempat?”
Melihatnya? Dia tinggal di rumahku sekarang.
Nyaris saja aku mengucapkannya, tapi kutahan.
Aku tidak yakin apa niat sebenarnya. Kenapa Kasahara tiba-tiba nanya soal Hayashi sekarang?
Aku khawatir. Kalau aku bilang semuanya ke Kasahara… apakah mantan Hayashi bisa tahu keberadaannya?
Bagaimana Hayashi dan mantannya bertemu? Sosial media? Aplikasi kencan? Kenalan?
Bisakah aku benar-benar percaya pada Kasahara?
Akhirnya aku malah jadi paranoid. Padahal sampai kemarin, aku berniat bicara dengan Kasahara saat ada kesempatan—untuk meminta bantuannya meyakinkan Hayashi agar melaporkan mantannya.
Tapi karena dia menyebut Hayashi duluan, tiba-tiba aku ragu.
Bagaimana kalau…
Bagaimana kalau Kasahara yang mengenalkan Hayashi ke mantannya?
Bagaimana kalau dia nanya begini karena disuruh si mantan buat cari tahu keberadaan Hayashi?
Skenario terburuk itu tiba-tiba muncul di kepalaku, dan aku jadi membeku.
“Yamamoto-kun?”
Aku pasti memasang wajah yang sangat masam.
Kasahara mencondongkan tubuh untuk melihat wajahku lebih jelas, dan aku tersentak, menghindari pandangannya.
Mulutku kering—seperti perasaan saat guru akan memarahimu karena kesalahan yang kau buat.
Haruskah aku jujur?
Atau diam saja?
Tepat saat aku mengangkat kepala, masih ragu—
“Hei, Akari-chan. Siapa cowok ini?”
Pada akhirnya, aku tak memilih apa pun.
Teman Kasahara menyela pembicaraan kami.
Tapi jujur, itu hanya alasan. Penyebab sebenarnya adalah aku ciut nyali di detik terakhir.
“Ah, Irie-chan.”
“Ugh, tempat ini rame banget jam segini. Aku benci deh. Jadi, siapa cowok ini?”
“…Ah—Yamamoto-kun.”
“Oh, kenalanmu?”
“Dia pacarku.”
“…Lelucon yang buruk.”
Kasahara bahkan tidak menoleh ke arahku.
“Oh, sekarang aku ingat, kayaknya aku pernah lihat dia di kelas Bahasa Prancis.”
Aku sendiri belum pernah lihat kamu, sih. Tapi dari keakrabnya dengan Kasahara, dia mungkin duduk di dekatnya selama kuliah.
“Ah! Kamu tuh yang selalu dapet nilai sempurna di kuis Prancis dan sering dipuji dosen, kan!”
“Ya, itu aku.”
Bukan bermaksud sombong, tapi aku memang pintar. Aku sering dipuji dosen—bukan Cuma di kelas Bahasa Prancis.
“Wah, keren banget. Eh, kamu ada waktu nanti? Bisa ajarin aku nggak?”
“Whoa—”
Irie menaruh nampan makannya dan menyelinap di antara aku dan Kasahara.
Aroma manis menguar ke arahku. Sesuatu yang lembut menekan lenganku. Tunggu… dia sengaja nempel?
“Irie-chan, kamu nggak bakal berhasil.”
“Hah?”
“Yamamoto-kun ada kelas di jam ketiga.”
…Bagaimana dia tahu itu?
“Benarkah?”
Teman Kasahara menatapku dengan tatapan manja dari bawah.
“Betul.”
Yang menjawab bukan aku—tapi Kasahara.
“Tuh, kan?”
Nada bicaranya tidak bisa dibantah.
“Iya.”
Yah, itu memang benar.
Aku mengangguk.
“Gitu ya. Sayang banget. Yah, minimal kita makan siang bareng deh.”
“…Boleh.”
Si Irie ini duduk di seberang Kasahara.
Dan begitulah, kami bertiga mulai makan siang bersama.
“Wah, Yamamoto-kun bisa masak juga? Keren!”
“Kamu masak sendiri ya? Bekalnya kelihatan buatan rumah banget.”
“…Kurang lebih.”
Aku tidak bisa bilang soal Hayashi, jadi aku memberikan jawaban yang samar.
Setelah makan, aku berpisah dengan Kasahara dan temannya, lalu berjalan menuju gedung kuliah sambil merasa tidak tenang.
…Pada akhirnya, aku tidak bisa bicara soal Hayashi ke Kasahara. Padahal sebelumnya aku sangat yakin masalah ini harus diselesaikan secepatnya. Untuk mundur di detik terakhir seperti itu...
Tidak, kalau mempertimbangkan kemungkinan terburuk, mungkin tidak mengatakan apa pun pada Kasahara adalah langkah yang tepat.
Penyesalan tidak akan membantu. Yang penting sekarang adalah memikirkan cara untuk bisa minta bantuan Kasahara—dengan aman, lancar, dan tanpa risiko.
Kelas berakhir, dan aku pulang.
Aku sampai di apartemen tak lama setelah itu.
“Aku pulang.”
“Selamat datang.”
Hayashi sudah ada di dapur, sedang masak makan malam. Aroma gurih menggelitik hidungku.
Cara aman dan mulus untuk minta bantuan Kasahara…
Aku telah memikirkan itu sepanjang perjalanan pulang, dan solusi yang kudapat sederhana dan langsung.
Rencanaku—
Adalah memberitahu Hayashi segalanya, dan menanyakan bagaimana dia bertemu dengan mantannya. Apakah Kasahara ada hubungannya dengan dia.
Itu saja. Sesederhana itu.
Dapurnya ada di lorong.
Suara sayuran ditumis.
“Hei, Hayashi.”
Aku memanggilnya saat dia sedang memasak.
Tidak ada waktu yang lebih baik dari sekarang. Kupikir lebih baik langsung memebicarakannya.
Dia mematikan kompor…
Dan perlahan berbalik menghadapku.
Dia tersenyum.
Tapi dalam sekejap, senyum itu berubah menjadi tatapan tajam—dan dia memelototiku.
…Apa?
Kenapa Hayashi memelototiku seperti itu?
Padahal sampai pagi tadi, hubungan kami mulai berubah. Ketegangan masa SMA akhirnya mulai memudar, dan kami mulai membangun hubungan yang lebih bersahabat.
Jadi kenapa…
Kenapa Hayashi sekarang menatapku seolah aku musuh?
Di wajan ada nasi goreng yang sedang dia masak untukku.
Kalau dipikir, tadi dia bilang akan masak sesuatu yang mewah untuk makan malam—dengan wajah tersipu saat mengatakannya.
Tapi Hayashi yang itu sudah tidak ada.
“…Hayashi?”
“Apa kamu… ketemu perempuan hari ini?”
Suaranya dingin.
Seperti istri yang menuduh suaminya selingkuh.
Padahal aku tidak salah apa-apa.
Aku tidak bertemu dengan perempuan mana pun hari ini. Dan yang lebih penting, bagaimana dia bisa berpikir seperti itu?
…Tidak, tunggu.
Aku memang bertemu perempuan hari ini.
Kasahara—dan temannya, Irie.
Aku lupa karena jarang ngobrol dengan perempuan di kampus.
…Dan Irie memang cukup genit juga. Dia bahkan memakai parfum.
Mungkin aromanya nempel di bajuku…?
“Jadi aku benar.”
Nada Hayashi penuh tuduhan.
“Iya, aku ketemu. Terus kenapa?”
Menurutku, itu bukan hal yang memalukan.
“Kenapa?”
“Hah?”
“Kenapa… kamu ketemu perempuan?”
Tapi Hayashi terus menekanku.
Kenapa aku bertemu perempuan…
Itu demi dia—untuk menyelesaikan masalahnya. Tapi karena itu kulakukan diam-diam, aku tidak bisa mengatakannya. Bisa-bisa malah bikin dia makin marah.
Jadi apa yang harus kukatakan?
Aku memikirkannya—dan kemudian aku sadar.
Tunggu sebentar.
Pertanyaan sebenarnya di sini adalah:
“Kenapa aku harus menjawabmu?”
Aku mengatakannya tanpa ragu.
Karena—
Karena pada akhirnya…
“Kita bahkan nggak pacaran, kan?”
Kami bukan pasangan.
Hayashi tak punya hak untuk menanyai siapa yang kutemui atau kenapa.
Aku tak punya kewajiban untuk menjelaskan apa pun padanya.
Jadi aku mengatakannya dengan gamblang.
“…Begitu.”
“Iya.”
Kami tidak pacaran. Kupikir itu sudah cukup. Kupikir masalahnya selesai.
Tapi—
“Dari awal memang sudah salah.”
Rupanya, Hayashi tidak menganggapnya begitu.
“Kau benar. Kita bukan pasangan. Tapi aku malah tinggal di rumahmu. Itu sudah aneh dari awal.”
“…Apa?”
Bagaimana bisa jadi seperti ini...?
“Hei, Hayashi—”
“Jangan sentuh aku!”
Dia menepis tanganku saat aku mengulurkannya.
Permusuhan yang jelas.
Penolakan yang jelas.
Sambil menahan isak tangis, Hayashi berbalik ke arah pintu, membukanya dengan kasar, dan berlari keluar.
Hanya mengenakan pakaian santai—
Bahkan tanpa alas kaki—
Suara langkahnya bergema di lorong apartemen. Baru saat itulah aku akhirnya tersadar.
“Hayashi! Tunggu!”
Tapi aku tak bisa tetap tenang.
Aku bergegas mengejarnya tanpa sempat mengunci pintu.
Tapi Hayashi sudah menghilang.
Post a Comment