NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V4 Chapter 3

  Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 3: Serangan Balasan


Bagian 1

Beberapa hari kemudian. Akhirnya diumumkan bahwa rapat dewan menteri akan diselenggarakan. Karena hampir bisa dipastikan Gordon akan bergerak, aku mengajukan permintaan untuk ikut serta kepada Ayah, dan permintaan itu diizinkan. 

“Untung kita sempat menyelesaikan persiapan.” 

“Yah, masih ada satu urusan besar yang tersisa.” 

Sebagian besar persiapan memang sudah rampung. Namun, negosiasi dengan Narberitter masih belum selesai. Itu karena mereka sedang melakukan latihan rahasia di suatu tempat. 

Setelah ini, aku akan pergi bersama Elna untuk meminta bantuan mereka. Tapi sebelum itu, rapat dewan menteri harus dihadiri. Lagipula, meski penyimpangan para bangsawan selatan akan terungkap dalam rapat itu, Duke Kruger kemungkinan baru akan bergerak beberapa hari kemudian. Masih ada waktu. 

“Urusan itu aku serahkan padamu, Kak.” 

“Menurutku Leo lebih cocok untuk tugas ini... Soalnya aku tidak akan ikut bersamamu, tahu?” 

“Tapi Elna berpikir bahwa Kakak yang paling cocok, kan? Kalau begitu, pasti memang Kakak yang paling cocok.” 

Kadang-kadang, aku benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkan Elna. 

Tapi, intuisi Elna selalu bisa diandalkan. 

“Aku akan melakukan yang bisa kulakukan... Tapi jangan terlalu berharap, ya?” 

“Eh, aku justru berharap banyak.” 

“Jangan bilang begitu, dong.” 

Sambil bertukar candaan seperti itu, kami akhirnya tiba di ruang takhta.


* * *


“Semua, terima kasih atas kerja keras kalian. Terima kasih telah berkumpul. Maaf telah menyita waktu kalian di tengah kesibukan.” 

Rapat dewan menteri kekaisaran pun dimulai. Selain para menteri, para pejabat penting lainnya juga hadir. Keberadaanku di tempat ini sebenarnya sangat tidak pada tempatnya, tapi tidak ada yang mempermasalahkannya. Mereka mungkin hanya menganggapku sebagai pengiring Leo. 

“Yang sibuk justru Yang Mulia. Belakangan ini, banyak masalah yang terjadi di kekaisaran hingga berulang kali merepotkan Yang Mulia. Semua ini karena kami, para bawahan, belum mampu menyelesaikannya. Maafkan kami, Yang Mulia.” 

Mewakili para pejabat tinggi, Eric menyampaikan hal itu kepada Ayah. Para pejabat lainnya pun segera menundukkan kepala seraya memohon maaf. Kenyataannya, meski pernah tumbang karena kelelahan, beban kerja Ayah sama sekali tidak berkurang. 

Andai beliau punya waktu luang, tentu sudah ikut campur dalam masalah surat itu. Tapi tak ada celah untuk itu. Wabah monster merebak di berbagai wilayah, wilayah timur masih dalam tahap pemulihan, dan di selatan muncul iblis hingga keluarga Sitterheim pun lenyap. 

Sebagai kaisar, masih begitu banyak yang harus beliau lakukan. Mungkin karena itulah beliau menyerahkan urusan surat itu pada kami. Sebagai anak, aku ingin sedikit saja meringankan beban beliau, namun hal itu tak bisa terwujud. 

Meski begitu, Ayah bukanlah tipe orang yang akan marah karena itu. Energi untuk marah akan beliau arahkan pada tindakan nyata. Kalaupun selatan memberontak, bukan berarti kekaisaran akan runtuh. Campur tangan negara asing memang mungkin terjadi, tetap saja kekaisaran tidak akan hancur hanya karena itu. 

Namun, beliau pasti akan menunjukkan ekspresi tak senang jika segalanya berjalan sesuai keinginan Gordon. Namanya juga ayahku. 

Saat aku memikirkan hal itu, rapat dewan menteri pun benar-benar dimulai. Pertama, dibahas penculikan terhadap Christa, lalu menyusul laporan perkembangan pemulihan di wilayah timur dan selatan. Masing-masing menteri melakukan apa yang bisa mereka lakukan, tapi tak mungkin semuanya bisa pulih dalam sekejap. 

Membangun kembali kehidupan rakyat memerlukan waktu. 

“Hmm... Ada saran yang bagus, Franz?” 

“Untuk hal ini, tidak ada jalan selain melakukannya sedikit demi sedikit. Bantuan sudah kami salurkan. Para bangsawan di setiap wilayah pun pasti telah berusaha sebaik mungkin.” 

“Permisi.” 

Suara Franz tiba-tiba dipotong oleh kehadiran Gordon yang mengenakan baju zirah, melangkah masuk ke ruang takhta. Beberapa bawahannya ikut di belakang. 

Para menteri langsung menunjukkan reaksi tidak nyaman, saling berbisik dengan dahi mengernyit. Satu-satunya yang wajahnya tak berubah adalah Eric. Sepertinya dia memang sudah mengetahui situasi ini. 

Tatapan kami pun sempat bertemu. Eric tersenyum kecil. Sebuah senyum seolah mengatakan, “Mari kita lihat seberapa baik yang bisa kalian lakukan.” 

Penonton dari atas menara, ya? Dia pasti sadar bahwa itu posisi paling aman. Tapi, aku ingin tahu sampai kapan dia bisa mempertahankan senyum santainya itu. 

Jika masalah kali ini selesai, reputasi Leo akan semakin meningkat. 

Aku akan menempatkan Leo tepat di sisimu. Dan saat itu tiba, aku akan membuat senyum santaimu itu sirna. Bersiaplah. 

“Sekarang sedang berlangsung rapat dewan menteri, Gordon. Meskipun kamu seorang jenderal, masuk tanpa izin bisa dianggap pelanggaran.” 

“Ya! Saya sepenuhnya menyadari hal itu, tapi saya datang untuk melaporkan sesuatu yang darurat.” 

Sambil berlutut, Gordon mengeluarkan sebuah surat. Surat yang ternoda darah itu pasti adalah surat yang dititipkan oleh Count Sitterheim kepada Rebecca. 

“Itu apa?” 

“Ini adalah surat yang mengungkapkan kejahatan para bangsawan selatan yang dipimpin oleh Duke Kruger, bangsawan terbesar di selatan. Penulisnya adalah Count Sitterheim. Kemungkinan besar surat ini beliau titipkan kepada seorang kesatria saat terjadi kekacauan di selatan.” 

“Surat dari Count Sitterheim, ya... Aku merasa tidak enak untuk membacanya.” 

Ayah berkata begitu dan menyerahkan surat itu pada Franz. Tak ada kewajiban untuk langsung membacanya di tempat. Menundanya adalah hal yang lumrah. Namun, Gordon segera berdiri. 

“Mohon maaf atas ketidaksopanan saya. Yang Mulia, saya sudah memeriksa isi surat itu. Isinya adalah pengakuan dari Count Sitterheim. Disebutkan bahwa Duke Kruger, bangsawan terbesar di selatan, bersama para bangsawan lainnya, terlibat dengan organisasi perdagangan manusia dan telah melakukan banyak pelanggaran. Begitu isi suratnya.” 

“...Kenapa kamu memeriksanya lebih dulu sebelum menyerahkannya padaku?” 

“Saya memang pernah mendengar dari anak buah saya bahwa ada surat seperti itu. Tapi penemuan surat ini adalah kebetulan. Saat kami menyerbu markas organisasi kriminal yang diduga terhubung dengan Duke Kruger, kami menemukannya. Saya tidak bisa menyerahkan surat yang mungkin tak berkaitan pada Yang Mulia, jadi saya memeriksanya lebih dulu. Saya menyesal telah bertindak melebihi wewenang.” 

Melihat betapa lancarnya Gordon menyampaikan penjelasannya, tampaknya semua ini sudah direncanakan sebelumnya. Ayah sedikit mengernyit, tapi segera menyembunyikan ekspresinya. 

“Kalau begitu, tidak mungkin aku mengabaikannya. Ada segel darah sihir...”

Ayah bergumam pelan dan mulai membaca isi surat itu. Beliau mungkin sudah mendengar garis besarnya, tapi tidak tahu detailnya. Karena itulah, wajah beliau terlihat jelas berubah setelah membacanya, dan beliau bergumam dengan suara rendah.

“...Duke Kruger itu...”

Dengan ucapan itu saja, para menteri langsung paham bahwa apa yang dikatakan Gordon adalah kenyataan. Maka arah rapat pun berubah drastis. 

“Yang Mulia! Kalau ini benar, tidak bisa kita biarkan begitu saja!” 

“Benar sekali! Bagaimana bisa seorang duke kekaisaran terlibat dengan jaringan penculikan... Penculikan?” 

Tentu saja, para menteri langsung teringat. Baru-baru ini, terjadi penculikan di dalam istana. 

“Jangan-jangan... Penculikan Putri Christa juga...!?” 

“Tak tahu diri! Apa mereka berniat menjadikannya sandera!?” 

“Yang Mulia! Apa tindakan yang akan diambil!?” 

Suasana di kalangan menteri segera berubah menjadi kemarahan terhadap para bangsawan selatan. Melihat itu, Gordon menyeringai. Dalam kondisi seperti ini, Ayah tidak bisa lagi mundur. Rencana Gordon pun berjalan seperti yang dia inginkan. 

“Jika kita membiarkannya, bangsawan lain pun bisa ikut-ikutan. Kita harus mengambil tindakan tegas.” 

“...Namun, kita belum tahu apakah surat ini benar-benar asli.” 

“Ada segel darah sihir di dalamnya, dan saya mendengar bahwa kesatria yang membawanya telah dilindungi oleh Leonard. Bukankah lebih baik dikonfirmasi langsung?” 

“Benar juga. Semuanya, mundur dahulu. Leonard, bawa kesatria itu kemari.” 

“Baik.” 

Dengan perintah itu, Ayah menyuruh para menteri meninggalkan ruangan, dan memanggil Rebecca untuk hadir.


* * *


“Kesatria Rebecca. Apakah surat itu benar-benar ditulis oleh Count Sitterheim?” 

“Tidak salah lagi... Surat itu memang ditulis oleh beliau.” 

Rebecca, yang berlutut di hadapan Ayah, menyatakan hal itu sambil menatap surat di tangannya. Setetes air mata mengalir di pipinya. Ayah menerima kembali surat itu darinya, lalu menyerahkannya pada Franz. 

Dengan ini, kejahatan Duke Kruger telah dipastikan. Namun hal yang sama berlaku bagi Count Sitterheim. Sekalipun dia telah diancam, perbuatannya tetap tak bisa dihapus. 

Meskipun begitu, dia berusaha untuk memperbaikinya. Keberaniannya itu pantas untuk dihargai. 

“Kalau begitu, surat itu sudah dipastikan asli... Lantas, bagaimana sebaiknya kita menangani masalah ini?” 

“Terkait Count Sitterheim, bisa dikatakan ini akibat dari tidak menaati perintah Kaisar untuk melindungi para pengungsi, bisa disebut kesalahannya sendiri...” 

“Benar. Fakta bahwa dia ikut serta dalam perbuatan curang tidak bisa dihapus. Gelar kebangsawanan Count Sitterheim akan dicabut.” 

Memang wajar. Keberanian layak dihormati. Tapi dosa yang telah dilakukan tidak bisa begitu saja dilenyapkan. 

Aku melirik Rebecca sekilas. Wajahnya sudah pucat pasi. 

Dia pasti sudah bersiap menerima kenyataan ini. Count Sitterheim telah membuang kehormatannya dan memilih untuk memperbaiki jalan hidupnya. Pemulihan nama baik tidak mungkin lagi sekarang. Tapi, tetap saja, ini terlalu menyedihkan bagi Rebecca. 

Ketika aku memikirkan itu, Leo angkat bicara. 

“Yang Mulia, bolehkah saya mengajukan satu permintaan?” 

“Apa itu?” 

“Mohon berkenan memberi penghargaan kepada Kesatria Rebecca. Bahwa surat itu sampai ke tangan Yang Mulia adalah berkat usahanya. Keterlambatan kami dalam memberi bantuanlah penyebab surat itu sempat direbut. Itu bukan kesalahannya.” 

“Begitukah... Jika kamu berkata begitu, maka tak ada pilihan lain.” 

Ayah mengangguk setelah mengatakan itu. 

Kabarnya Leo sempat menjanjikan pemulihan nama baik keluarga Sitterheim kepada kesatria itu, tapi tidak semudah itu tercapai. 

Meskipun begitu, bukan berarti tak ada jalan. 

“Kalau begitu, aku, Pangeran Kedelapan, Leonard Lakes Ardler, merekomendasikan Kesatria Rebecca untuk menerima gelar kebangsawanan. Mohon berkenan memberinya sebuah gelar.” 

“...Baiklah.” 

Ayah sepertinya memahami maksud dari ucapan Leo. 

Ayah mengangguk dalam-dalam. Lalu matanya mengarah pada Rebecca. 

“Kesatria Rebecca. Gelar kebangsawanan mana yang kamu inginkan?” 

“Y-Yang Mulia Kaisar... S-Saya tidak butuh gelar kebangsawanan... S-Sebagai gantinya...”

“Tak perlu kamu katakan lagi. Dennis telah melakukan pelanggaran. Apa pun alasannya, hukuman tetap harus dijatuhkan.” 

“Itu terlalu kejam! Beliau telah menunjukkan kebanggaan sebagai bangsawan Kekaisaran! Tidak pantas jika pengorbanan itu tak dihargai!” 

“Seseorang yang melakukan kejahatan, walau berbuat baik di akhir, tetap tak bisa dipuji. Dosa yang telah dia perbuat sebelumnya tak akan hilang.” 

Mendengar ucapan Ayah, air mata besar pun mulai jatuh dari mata Rebecca. 

Melihat Rebecca seperti itu, Ayah pun berkata satu kalimat. 

“Kesatria Rebecca. Aku akan memberimu gelar kebangsawanan.” 

“...Baik.” 

“...Kepadamu, Kesatria Rebecca, aku anugerahkan gelar kebangsawanan Viscount Sitterheim. Dan kepada Viscount Sitterheim, aku berikan Tanda Penghargaan Salib Perunggu Kekaisaran. ‘Kerja Bagus.’” 

Tanda Salib Perunggu Kekaisaran hanya diberikan kepada mereka yang memberikan kontribusi besar kepada kekaisaran. 

Masih ada Salib Perak dan Emas di atasnya, namun bahkan Salib Perunggu pun sangat jarang dianugerahkan. Itu adalah tanda terima kasih dari Ayah. Karena tak bisa secara langsung memuji Count Sitterheim yang telah melakukan pelanggaran, maka Ayah memindahkan nama Sitterheim kepada Rebecca, lalu menyampaikan pujian itu melalui cara tersebut. 

Itulah alasan Leo mengusulkan pemberian gelar kebangsawanan. Kasus seperti ini pernah terjadi sebelumnya. 

Sebagai kaisar, jika tidak bisa memberikan pujian secara langsung, maka metode tidak langsung seperti ini digunakan. 

“Viscount Rebecca von Sitterheim. Sampaikan ucapan terima kasih pada Yang Mulia.” 

“...D-Dengan segala hormat, saya menerima kehormatan ini... Terima kasih sebesar-besarnya.” 

Makna dari air mata yang mengalir pun berubah. 

Kalimat terakhir, “ kerja bagus,” adalah ucapan yang ditujukan pada Rebecca, sekaligus pada Count Sitterheim. 

Rebecca pasti juga merasakannya. Dia terus meneteskan air mata dalam diam untuk beberapa saat. 

“...Masalah selatan ini sudah terlalu dalam. Dengan keadaan seperti ini, aku tidak bisa mengampuni mereka. Franz, kamu paham maksudku?” 

“Jika kita menunjukkan sikap keras, mereka pun pasti akan merespons dengan cara yang sama.” 

“Aku tidak bisa membiarkan para bawahanku meremehkanku. Kaisar dari negeri ini adalah aku. Baik rakyat maupun bangsawan adalah bagian dariku. Satu-satunya yang boleh bertindak sesuka hati di negeri ini adalah aku. Untuk selatan, aku sendiri yang akan memulai penyelidikan. Sampaikan hal itu kepada semua bangsawan di wilayah selatan.” 

Dengan kata-kata itu, Ayah menyatakan sikapnya. 

Itu berarti beliau siap menghadapi kemungkinan perang saudara. Meskipun negara menjadi lemah, kesewenang-wenangan para bawahan tidak akan dibiarkan. Itu adalah pesan yang ingin Ayah sampaikan kepada seluruh bangsawan. 

Situasi pun mulai bergerak dengan cepat, sebagaimana yang diharapkan oleh Gordon. Namun, aku tidak akan membiarkannya berjalan semudah itu. 

“Selain itu, tempatkan Selir Kelima Zuzan dan Zandra dalam tahanan rumah. Entah mereka terlibat atau tidak, tak ada bedanya. Mereka ada hubungannya dengan Kruger.” 

Franz membungkuk patuh mendengar perintah itu, lalu segera bergerak. 

Setelah itu, para menteri diberitahu bahwa rapat akan dilanjutkan di lain waktu, dan situasi pun mulai berubah dengan cepat.

 

Bagian 2

“Ayah telah menjatuhkan hukuman tahanan rumah kepada Zandra dan Selir Kelima. Kabarnya mereka sendiri membantah terlibat dalam skandal para bangsawan selatan.” 

Di dalam kereta yang melaju menuju markas Narberitter dari ibu kota kekaisaran, aku menjelaskan hal itu kepada Elna. 

Kukira Elna akan merasa lega, mengingat dia tidak punya kenangan manis dengan Zandra maupun Selir Kelima, tapi reaksi yang dia tunjukkan ternyata datar. 

“Begitu, ya. Kalau mereka, pasti akan berkata seperti itu.” 

“Reaksi yang seolah tidak peduli, ya?” 

“Karena aku memang tidak peduli. Tapi... Saat saudara atau pamannya dicurigai oleh Kaisar, hal pertama yang mereka lakukan adalah menyangkal. Itu bagian yang sulit kupahami. Tapi kurasa, ya, itulah mereka. Bisa kumaklumi, tapi tak bisa kumengerti.” 

Entah apakah dua orang itu benar-benar memahami makna keluarga. 

Satu hal yang pasti, konsep keluarga dalam pikiran mereka sangat berbeda dengan yang kami pahami. 

Bagi Elna, itu jelas sesuatu yang tak bisa dipahami. Aku pun tak bisa. 

“Wilayah selatan adalah basis dukungan penting bagi Zandra. Kalau dia kehilangannya, secara praktis dia akan tersingkir dari perebutan takhta. Karena itu Ayah segera menjatuhkan tahanan rumah padanya. Kalau sampai Zandra pergi ke selatan dan menyatakan klaim atas takhta, akan jadi masalah besar.” 

“Susah juga jadi Kaisar. Sambil menjalankan pemerintahan, masih harus memperhatikan perebutan takhta segala.” 

“Itulah yang disebut perebutan takhta. Seperti yang kita dengar, memang tidak menyenangkan.” 

“...Ayah pernah mengatakan sesuatu yang aneh akhir-akhir ini.” 

Elna bergumam sambil menatap keluar jendela kereta. 

Jarang sekali Elna membicarakan sang pahlawan. Orang itu selalu sibuk melesat ke sana kemari. Bahkan kesempatan untuk bertemu pun jarang. 

“Apa yang dikatakan sang pahlawan?” 

“Katanya, ada yang aneh dengan perebutan takhta kali ini.” 

“Aneh?” 

“Tepatnya, baru akhir-akhir ini kelihatan aneh. Dari sudut pandang Ayah, katanya semua ini sudah melampaui batas.” 

“Melampaui batas?” 

Apa maksudnya? 

Elna pun tampak belum sepenuhnya mengerti. Sambil memiringkan kepala, dia menjawab pertanyaanku. 

“Katanya Putri Zandra dan Pangeran Gordon telah banyak berubah.” 

“Mereka cuma selama ini menyembunyikan diri. Sekarang baru kelihatan jati dirinya.” 

“Aku juga mengatakan hal yang sama. Tapi Ayah tampaknya tidak bisa menerima itu. Katanya, meskipun sifat asli mereka seperti itu, mereka seharusnya masih punya kapasitas untuk menutupinya.” 

“Sang pahlawan sudah mengenal mereka sejak kecil. Mungkin dia sulit mempercayai perubahan itu.” 

Kisah seperti itu memang sering terdengar. Tak ada yang tahu pasti apa yang bisa membuat seseorang berubah drastis. 

Tapi orang seperti sang pahlawan pastinya sudah sangat paham soal itu. 

Kalau dia tetap merasa ada yang ganjil, berarti memang ada sesuatu yang mengganggunya. 

“Aku juga berpikir begitu... Tapi katanya, belakangan ini para kandidat tidak lagi mempertimbangkan kepentingan Kekaisaran. Memang benar, sebelumnya tidak ada yang bersikap seperti itu. Kalau saat naik takhta nanti Kekaisaran sudah lemah, itu tak ada gunanya.” 

“Benar juga. Kalau dipikir-pikir, itu memang aneh.” 

Mungkin bisa saja dikatakan bahwa mereka telah diracuni oleh ambisi kekuasaan... 

Mungkin aku harus bicara dengan Kakek. Dia adalah orang yang paling lama menyaksikan perebutan takhta di sekeliling kami. Mungkin dia bisa memberi pencerahan. Meskipun agak meragukan dia akan menjawab dengan serius. 

“Untuk saat ini, lupakan dulu soal itu. Kita tidak punya waktu untuk menganalisis perubahan mereka.” 

“Benar juga... Kita sudah diawasi.” 

Elna melontarkan pandangan tajam ke sekeliling. 

Kami sedang berada di jalan setapak yang melintasi hutan. 

Jadi kami sudah diawasi bahkan dari dalam hutan ini? Benar-benar pasukan yang hebat. 

“Menurutmu, aku bisa meyakinkan mereka?” 

“Percayalah pada dirimu. Kalau itu kamu, pasti bisa.” 

“Meski kamu bilang begitu... Mereka itu para mantan kesatria yang memperjuangkan keadilan, lho?” 

“Itu sebabnya kamu bisa. Karena aku ada di sisimu. Kalau semuanya berjalan buruk, aku akan menghabisi mereka semua untukmu.” 

“Itu justru akan menghancurkan perundingan, dan membuat kehadiranku jadi sia-sia...” 

Aku menghela napas mendengar ucapan Elna. Saat itu, kereta berhenti. 

Sepertinya kami telah sampai. 

Di markas satu-satunya pasukan kesatria Kekaisaran. Markas Narberitter.


* * *


Sebuah markas yang benar-benar layaknya pangkalan militer. Di sanalah aku melangkahkan kaki. 

“Seharusnya kita sudah memberi pemberitahuan sebelumnya...”

“Kelihatannya mereka belum mengirimkan pemandu.” 

Para prajurit Narberitter yang berada di markas hanya memandang kami dari kejauhan. Tak ada yang mendekat, apalagi menyapa. 

Ditatap oleh begitu banyak prajurit seolah sedang ditaksir nilainya membuat suasana terasa sangat tidak nyaman. 

“Benar-benar sikap yang buruk.” 

“Ayo kita jalan.” 

“Pemandunya belum datang, lho?” 

“Sepertinya memang tidak akan ada.” 

Kalau mau lihat, silakan lihat sesuka hati. Kalau mau cari, silakan cari sendiri. Dengan pemahaman itu, aku mulai melangkah menyusuri area markas. 

Fasilitasnya cukup bagus. Mengingat ini adalah pasukan khusus yang dibentuk langsung oleh Kaisar, tampaknya cukup banyak dana yang dialokasikan. Saat aku memikirkan hal itu, terdengar suara dari belakang. 

“Lihat itu. Pangeran kering kerontang yang terkenal dari rumor.” 

“Ini kunjungan studi atau apa?” 

“Sampai-sampai harus bawa putri keluarga pahlawan cuma untuk bisa studi lapangan, benar-benar menyedihkan.” 

Dua prajurit menunjuk ke arahku sambil tertawa. Dalam sekejap, aku langsung menggenggam lengan Elna. 

Tangan kanan Elna sudah berada di gagang pedangnya. 

“Lepaskan.” 

“Tidak apa-apa, aku tidak peduli.” 

“Aku yang peduli... Jadi lepaskan aku.” 

“Kalau kamu benar-benar ingin mencabutnya, tinggal singkirkan tanganku.” 

Mendengar itu, Elna menunjukkan ekspresi yang campuran antara kemarahan dan kesedihan, lalu perlahan melepaskan tangannya dari pedang. Kalau dia mencabutnya di sini, ini akan menjadi keributan besar, dan negosiasi pun tak akan bisa dilakukan. 

Namun, mereka benar-benar luar biasa. Tetap tenang meski melihat Elna marah. Padahal mereka pasti tahu seberapa hebat Elna. Tetap bisa bersikap santai menunjukkan nyali yang luar biasa. 

Memang pantas disebut mantan kesatria yang pernah menegur tuan mereka sendiri. 

“Ada apa, Pangeran? Apa tidak butuh perlindungan dari putri keluarga pahlawan itu?” 

“Maaf atas sikap kesatriaku. Dia seorang kesatria sejati, jadi jika aku dihina, dia pasti akan marah. Tak seperti orang-orang tertentu yang tak tahu apa itu loyalitas.” 

Saat aku mengucapkannya dengan suara keras, suasana markas langsung berubah drastis. 

Tadi nuansanya masih seperti mengejek dan menguji, tapi kini udara menjadi tegang seketika. 

Jelas aku mengucapkan hal yang tabu. Tapi tak masalah. Toh mereka yang memulai lebih dulu. 

“Kenapa kamu memancing mereka?” 

“Tidak masalah. Mereka yang lebih dulu menguji kita.” 

“Kalau begitu kenapa kamu menahanku?” 

“Karena yang sedang diuji itu aku.” 

Sementara kami berbicara, para prajurit mulai berkumpul. Semuanya pria bertubuh kekar. Dengan pelatihan seperti itu, mereka pasti bisa membunuhku, yang tak punya sihir atau senjata, dengan tangan kosong. 

“Ada apa? Kalian marah?” 

“Mohon ditarik kembali ucapan Anda, Yang Mulia Pangeran.” 

“Ucapan soal tak punya loyalitas? Kesatria luka yang menodai lambang tuannya sendiri. Kurasa itu julukan yang tepat untuk kalian.” 

Dengan nada mengejek, aku berkata, dan para prajurit pun mulai mendekat, tampak tak mampu lagi menahan diri. 

Kami benar-benar dikepung sepenuhnya. Fakta bahwa mereka bisa bersikap seperti ini terhadap seorang anggota keluarga kekaisaran menunjukkan betapa keras kepalanya masing-masing dari mereka. Mereka takkan menundukkan kepala pada sesuatu yang tak mereka yakini. Mereka memang punya jiwa seperti itu. Orang-orang yang menarik. 

“Yang Mulia Pangeran... Ini peringatan terakhir. Mohon tarik kembali kata-kata itu.” 

“Kalau kalian ingin aku menarik ucapanku, tunjukkan sesuatu yang berbeda. Kalian yang memulai ini lebih dulu. Apa kalian, para kesatria agung Narberitter, terbiasa menghina orang lain tanpa bersiap untuk dipukul balik?” 

Aku bisa mendengar suara gigi yang bergesekan karena geram. 

Seorang kesatria muda maju satu langkah. Namun pada saat itu, sebuah suara terdengar lantang. 

“Komandan kesatria lewat! Beri jalan!” 

Begitu suara itu terdengar, semua prajurit segera mundur dan berdiri tegak di tempat. 

Sungguh perubahan sikap yang mencolok. Sepertinya sang komandan kesatria benar-benar punya kendali penuh atas pasukan ini. 

Prajurit-prajurit yang sebelumnya penuh semangat dan agresif, kini tampak tegang. 

Melalui lorong yang mereka buka, muncul seorang pria. Usianya sekitar pertengahan tiga puluhan. Seorang pria tampan yang diselimuti aura dewasa, seperti patung karya seniman. 

Dengan senyum tak gentar, pria itu menatapku dan tersenyum seolah merasa terhibur. 

“Karena kukira Pangeran datang hanya karena iseng, aku tidak menghentikan mereka. Mohon maaf.” 

Setelah berkata demikian, pria itu memberi hormat. 

Mengikuti itu, seluruh prajurit memberikan salam hormat kepadaku. 

“Aku Kolonel Lars Weigel, komandan kesatuan kesatria Narberitter. Maafkan kelakuan anak buah saya, Yang Mulia Arnold.” 

“Tidak apa-apa. Sebuah sambutan yang cukup menghibur, Kolonel. Kalau bukan karena Elna, mungkin aku sudah kabur sejak tadi.” 

“Jangan bercanda. Dari matamu saja sudah bisa kulihat bahwa kamu tak pernah gentar. Mari, ke sini. Aku akan mendengar maksud kedatanganmu.” 

Begitulah, aku akhirnya bertemu dengan pria yang memimpin para Kesatria Luka.

 

Bagian 3

“Saya sekali lagi mohon maaf atas kelancangan anak buah saya. Mohon dimaafkan.” 

“Aku tidak terlalu memikirkannya.” 

“Kelihatannya memang begitu. Tapi sepertinya Nona Elna yang lebih mempermasalahkannya.” 

“...Waktu aku datang ke sini dulu, seingatku mereka sedikit lebih sopan, bukan?” 

Mendengar pertanyaan Elna, Lars hanya tersenyum masam sambil berjalan. 

Kemudian, seolah tak ada yang perlu dipermasalahkan, dia menyampaikan.

“Anak buah saya memang tidak menyukai orang seperti Pangeran Arnold.” 

“Tidak suka...?” 

Alis Elna sedikit terangkat. Lars mengangguk biasa saja sebagai balasannya. 

Aku tak bisa menahan tawa. Orang ini benar-benar blak-blakan. 

“Haha, yah, memang masuk akal. Mengingat latar belakang kalian, aku memang orang yang mudah dibenci.” 

“Ya, kami tak menyukai orang yang duduk tenang di atas jabatan. Termasuk saya sendiri.” 

Lars menatapku lurus. 

Kalau yang dilihatnya adalah perempuan, mungkin itu akan membuat jantung berdebar. Tapi sayangnya, aku ini pria. Dan aku juga tahu dia masih sedang menilaiku. 

Aku hanya mengangkat bahu, lalu Lars membalas dengan senyum samar dan membiarkannya berlalu begitu saja. Kami kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan di markas atas pemanduannya. 

Di dalam, terdapat lambang kesatuan Narberitter, sebuah tameng dengan tanda silang. 

“Silakan duduk.” 

“Permisi.” 

Aku pun duduk dengan tenang di kursi yang disediakan. Elna duduk di sampingku, namun tatapannya tetap tajam. 

Jelas terlihat bahwa Narberitter tidak menyambutku dengan hangat. 

“Jadi, ada urusan apa yang membuat Yang Mulia repot-repot datang ke tempat kami?” 

“Aku datang untuk meminta bantuan... Tapi sepertinya itu akan sulit.” 

Aku melirik salah satu prajurit yang berdiri di samping Lars sambil tersenyum pahit. 

Cara dia memandang Elna dan aku jelas berbeda. Dia menunjukkan rasa hormat kepada Elna, tapi tidak padaku. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti itu, tapi rasanya berbeda kali ini. 

Seolah ada jurang yang dalam antara mereka dan diriku. 

“Apakah benar-benar mustahil? Takkan tahu kalau belum dibicarakan. Bila anak buah saya membuat Anda tidak nyaman, saya bisa menyuruh mereka keluar.” 

“Tidak usah. Justru aku ingin mendengar cerita dari pihak kalian.” 

“Cerita dari kami?” 

“Benar. Katanya kalian ini mantan kesatria yang memilih keadilan di atas loyalitas. Tapi dari yang kulihat, kesan itu agak berbeda.” 

Aku tersenyum saat mengatakan itu, dan Lars ikut tersenyum juga. Bukan hanya “agak berbeda”, malah bisa dibilang kebalikannya dari citra umum. Mereka terlihat begitu kasar hingga membuatku bertanya-tanya apakah mereka benar-benar pernah menjadi kesatria. 

Pasti ada alasannya. Dan kalau aku tak mengerti alasan itu, aku takkan bisa mendapatkan bantuan mereka. 

“Keadilan, ya...”

Lars berbisik pelan. 

Lalu dia duduk lebih tegak dan menatapku tajam. Tatapan itu cukup untuk membuat orang dengan hati lemah mundur ketakutan. Tatapan seorang yang telah melewati banyak garis berbahaya dalam hidupnya. 

Dan sambil mengarahkan tatapan itu, Lars berkata. 

“Kami tidak terlalu menyukai kata itu, sejujurnya. Tidak seperti yang banyak orang kira.” 

“Begitu.” 

Aku menoleh ke arah Elna dan bertanya pelan. 

“Inikah alasan kamu bilang tak menyarankan mereka?” 

“Ya. Tapi sepertinya lebih parah dari yang kukira.” 

Alasan Elna merekomendasikan aku, bukan Leo, untuk datang ke sini mungkin karena mereka adalah orang-orang yang rumit. Jika mereka tidak menyukai keadilan, maka memang aku lebih cocok daripada Leo. 

“Yang Mulia Pangeran, kami semua di sini adalah orang-orang yang pernah melakukan ketidaksetiaan. Jika dikatakan kami mengkhianati tuan kami, kami tidak bisa menyangkalnya.” 

“Tapi masalah sebenarnya berasal dari tuan kalian, bukan?” 

“Benar sekali. Maka kami rela disebut pengkhianat demi membenarkan jalan tuan kami. Karena kami percaya itu untuk kebaikan negeri dan rakyat. Tapi yang menanti kami hanyalah neraka, tempat kami tak memiliki tempat untuk kembali. Semua orang memuji kami, tapi tak seorang pun mengulurkan tangan. Maka kami pun terdampar di sini.” 

“Jadi kalian kehilangan tempat karena keadilan. Itulah sebabnya kalian jadi keras, ya?” 

“Kurang lebih seperti itu. Bagi Yang Mulia Kaisar, kami adalah orang-orang yang sulit digantikan. Tapi karena kami pernah berkhianat, kami tak bisa dipercaya. Namun bila dibiarkan begitu saja, tak akan ada generasi penerus kami. Maka dibentuklah pasukan ini. Kami melakukan keadilan, dan justru karena itu kami dianggap masalah. Padahal semua itu kami lakukan demi negara dan rakyat.” 

Argumen mereka sepenuhnya masuk akal. Jika ada orang-orang seperti Narberitter, para bangsawan pasti berpikir dua kali sebelum bertindak semena-mena. Walau dampaknya mungkin kecil, lebih baik mereka ada daripada tidak sama sekali. 

Namun, tentu saja mereka tak bisa diperlakukan istimewa. Orang yang mengedepankan keadilan pribadi dalam organisasi sulit untuk diatur, meskipun tujuannya demi negara dan rakyat. Sebab, mereka bertindak bukan atas perintah kaisar, tapi atas kehendak pribadi. 

“Tapi kalian tetap menjaga tingkat latihan seperti yang Elna akui. Kenapa?” 

“Meskipun kami keras dan rusak, tetap saja kami tak mau menjadi tak berguna. Nilai kami harus kami bentuk sendiri. Kekuatan itu sederhana. Semakin kuat, semakin besar nilainya.” 

Aku mulai memahami mereka. Mereka bukan hanya mantan kesatria, tapi juga mantan pejuang keadilan. Mereka telah meninggalkan idealisme dan keadilan di masa lalu, lalu berubah menjadi kaum realis, dari kesatria menjadi prajurit. 

Namun esensi manusia tidak mudah berubah. 

“Kalian disebut pengkhianat, tapi mungkin justru merasa negara dan rakyatlah yang mengkhianati kalian. Meski begitu, kalian tetap melatih diri. Apa karena masih ada loyalitas yang tersisa untuk negara dan rakyat?” 

“Kami adalah prajurit. Mengabdi pada negara, melayani rakyat. Tak ada ruang untuk sentimentalitas di situ.” 

“Jangan berpura-pura, Kolonel. Katakan saja terus terang. Kalian masih mencari medan untuk berjuang. Masih ingin merasa dibutuhkan. Bukankah begitu?” 

“Kalau memang begitu?” 

Lars menjawab dengan nada menguji. 

Sekarang aku sudah cukup memahami mereka. Yang tersisa hanyalah meyakinkan mereka. 

Bukan dengan alasan perintah, tapi agar mereka sendiri yang memilih naik ke panggung ini. 

“Aku akan menyiapkannya. Tempat yang pantas untuk kalian.” 

“Silakan jelaskan. Tempat seperti apa yang Anda maksud?” 

“Kamu tahu bagaimana perkembangan situasi di selatan?” 

“Kami sudah cukup memahaminya. Kemungkinan besar akan terjadi perang saudara.” 

“Dan itu harus dicegah. Kita hantam markas mereka dengan serangan mendadak dari pasukan elit, dan habisi Duke Kruger sebelum perang pecah.” 

“...Aku tidak yakin rencana itu bisa berhasil.” 

“Leonard akan menyamar sebagai utusan. Kami perlu pasukan elit untuk melindunginya. Jika menggunakan Kesatria Pengawal, mereka pasti akan curiga. Maka kami butuh pasukan yang setara. Aku datang untuk meminta kalian menjalankan tugas itu.” 

Anak buah Lars langsung mengernyit. Mereka langsung menyadari betapa berbahayanya misi itu. 

Lars pun pasti merasakan hal yang sama. 

“Jadi maksud Anda, kami dijadikan dinding pelindung bagi adik Anda?” 

“Benar juga. Bisa diartikan begitu.” 

“...Kalau itu perintah resmi, maka kami akan menerimanya. Itu sudah tugas kami.” 

“Itu tidak cukup. Aku tidak butuh orang yang ikut karena terpaksa. Maaf, tapi aku ingin kalian rela mengorbankan nyawa kalian.” 

Permintaan yang sangat egois. Mereka sudah kecewa dengan negara dan rakyat, dan sekarang aku meminta mereka menyerahkan nyawa mereka, bahkan saat aku sendiri tidak ikut. 

“Itu permintaan yang berat. Kami bukan pion.” 

“Aku tahu. Dan karena itu aku tetap memintanya.” 

“Demi rakyat, begitu? Kalau perang saudara terjadi, rakyat akan menderita. Jadi kami harus ke medan maut demi tujuan mulia itu?” 

“Bukan itu. Tujuan mulia itu milik Leo, bukan milikku. Aku hanya, punya alasan pribadi.” 

“Alasan seperti apa?” 

“Adikku sangat berarti bagiku. Aku tidak ingin dia mati. Jadi kumohon, lindungi dia.” 

Lars terkejut. Dia membuka matanya lebar-lebar. Sepertinya dia tidak menyangka akan mendengar kalimat itu dariku. 

Aku tersenyum tipis dan menatap matanya dengan mantap. 

“Perebutan takhta, negara, pengorbanan rakyat... Semuanya tidak penting bagiku. Selama adikku dikirim ke tempat berbahaya, aku ingin memberinya rekan terkuat yang mungkin. Itulah satu-satunya alasanku. Kalian orang-orang yang kuat. Jika kalian mau melindungi Leo dengan sukarela, aku akan merasa tenang.” 

“...Jawaban yang tak kuduga. Tapi, bagiku pribadi, itu jawaban yang sangat memuaskan.” 

Sambil tersenyum, Lars berdiri. 

Lalu dia menundukkan kepalanya dengan perlahan.

“Secara pribadi, aku tak keberatan mempertaruhkan nyawa demi Anda. Namun, anak buahku mungkin berbeda. Yang Anda harapkan pastilah situasi di mana kami semua dengan sukarela melangkah menjalankan misi ini. Mampukah Anda meyakinkan mereka?” 

“Bisakah kamu menyediakan tempatnya?” 

“Tentu saja. Tapi, jika Anda tidak menunjukkan sesuatu yang layak, anak buahku tidak akan rela mengorbankan nyawa. Anda yakin bisa melakukannya?” 

Mendengar pertanyaan Lars, aku menggelengkan kepala. Melihat itu, senyum Lars justru semakin dalam. 

Dia berjalan ke arah pintu ruangan, membukanya, lalu berkata, “Akan kukumpulkan anak buahku. Aku tak sabar melihat bagaimana Anda akan meyakinkan mereka.” 

“Jangan terlalu berharap. Aku ini cuma pangeran yang sudah habis masa gunanya. Tak ada yang bisa diandalkan dariku.” 

“Ada dua tipe orang yang membuat orang lain rela mempertaruhkan nyawa untuknya, menurutku. Yang pertama adalah mereka yang memiliki banyak hal, penuh daya tarik, dan membuat orang ingin mengikutinya. Yang kedua adalah mereka yang kekurangan banyak hal, sehingga orang merasa ingin melindungi dan membantu mereka. Tapi Anda ini aneh. Sekilas seperti tipe kedua, namun bagi saya Anda juga tampak seperti yang pertama.” 

“Kamu memujiku?” 

“Pujian yang setulus-tulusnya.” 

Setelah percakapan itu, aku pun berdiri di hadapan para kesatria Narberitter.

 

Bagian 4

Narberitter memiliki pasukan sekitar seribu orang. Bisa dibilang setara dengan batalion independen. 

Dan dengan satu aba-aba dari Lars, mereka semua berkumpul di hadapanku. 

“Sepertinya Yang Mulia Pangeran ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada kalian semua.” 

Setelah berkata begitu, Lars menyerahkan podium yang telah disiapkan padaku. Saat aku menaikinya, wajah-wajah seribu anggota pasukan terlihat jelas. 

Semua memandangku dengan ekspresi keras dan tajam. 

Tanpa bertele-tele, aku langsung menyampaikan maksudku kepada mereka. 

“Di wilayah selatan telah muncul tanda-tanda kerusuhan. Jika menjadi perang saudara, itu akan berlangsung dalam skala besar. Aku dan adikku, Leonard, telah merancang operasi penyergapan untuk mencegahnya. Untuk itu dibutuhkan pasukan elit. Hari ini, aku datang untuk membicarakan hal itu.” 

Setelah menjelaskan dengan lugas, aku berhenti sejenak. 

Sebagian besar dari mereka menunjukkan ekspresi seolah sudah menduganya. Itu menunjukkan bahwa gerakan di selatan memang sudah mencurigakan. Dari aliran senjata dan makanan saja, bisa ditarik kesimpulan yang tidak wajar. Seorang prajurit pasti tahu arah angin ini mengarah ke mana. 

“Dalam rencana ini, Leo akan menyamar sebagai utusan dan menyusup ke markas musuh, lalu mengeksekusi Duke Kruger, dalang utamanya. Jika perintah turun, kalian mungkin akan ditugaskan sebagai pengawalnya. Tapi itu misi yang sangat berbahaya dan berisiko tinggi. Aku tidak ingin menyerahkan adikku kepada orang-orang yang hanya menjalankan perintah dengan terpaksa. Aku ingin kalian menjadi sukarelawan.” 

Setelah kata-kataku, keheningan menyelimuti. 

Ada yang terlihat tercengang dengan permintaan yang terdengar konyol. Ada pula yang menunjukkan tatapan penuh hinaan. Namun tidak satu pun yang menunjukkan ketertarikan. 

Tentu saja. Bahkan aku sendiri sadar betapa mengada-adanya ucapanku. 

“Jika perang saudara pecah, banyak rakyat akan menderita. Kekaisaran pun akan melemah. Leo tahu itu, dan itulah sebabnya dia tetap memilih pergi meski tahu bahayanya. Tanpa memihak sebagai kakak, aku pikir itu perbuatan yang mulia. Tujuannya pun sangat luhur. Tapi aku berbeda dengan Leo. Meskipun mengucapkan semua kata-kata indah itu, hatiku tetap sama. Aku tidak ingin adikku mati. Karena itulah aku datang memohon, agar kalian melindunginya meski harus mempertaruhkan nyawa. Ini adalah permintaan yang sangat pribadi.” 

Kaum bangsawan itu egois. Dan keluarga kekaisaran lebih egois lagi. Sebagian besar dari mereka bebas dari pertanggungjawaban dan nyawa mereka tak pernah diperlakukan sama seperti rakyat biasa. Sejak lahir sudah dilindungi, dan sepanjang hidup terus dijaga hanya karena garis keturunan. 

Aku, seperti halnya Kakak Trau, bisa hidup seenaknya tanpa ada yang menghentikan. Tak perlu bekerja pun tidak akan kelaparan. Paling hanya jadi bahan tertawaan dan sindiran. 

Kata-kata dari orang seperti itu jelas hanya akan terdengar sebagai omong kosong di telinga para anggota Narberitter. 

“Yang Mulia Pangeran, bolehkah saya bertanya?” 

“Silakan.” 

Seorang prajurit muda mengangkat tangan dan bertanya padaku. Tatapannya begitu lurus dan tajam. Mungkin dulu dia juga menatap mantan tuannya dengan mata seperti itu ketika mencoba membenarkannya. 

Saat aku berpikir begitu, dia pun berbicara. 

“Apakah Yang Mulia akan ikut serta dalam operasi penyergapan itu?” 

“Tidak.” 

“Begitu. Jadi Anda hendak menyuruh kami masuk ke medan maut tanpa mempertaruhkan apa pun dari pihak Anda.” 

Tatapan para anggota mulai menunjukkan penghinaan. Kata-kata dari tempat yang aman tak akan menyentuh siapa pun. 

Tanpa berbagi risiko, tanpa menanggung tanggung jawab, tidak ada orang yang akan mendengarkan orang seperti itu. 

Untuk menggerakkan yang berada di bawah, seorang pemimpin perlu menunjukkan tekad yang kuat. 

“Tidak. Aku juga akan mempertaruhkan sesuatu.” 

“Dan apa yang akan Anda pertaruhkan? Uang? Atau jabatan Anda?” 

“Tak mungkin aku berharap Narberitter akan bergerak demi hal remeh seperti itu. Aku akan mempertaruhkan nyawaku.” 

Sesaat, para anggota terpaku. Lalu segera terdengar tawa kecil. Mereka mengira aku mengucapkan lelucon. 

Kata-kata anak muda yang tak tahu beratnya nyawa dan arti sebenarnya dari kematian. Mereka mengira aku cuma mengucapkan ‘nyawa’ untuk terlihat gagah. Itulah yang terlihat dari reaksi mereka. 

Di depan mereka, aku mencabut belati yang kubawa. 

“Semua orang menyebutku Pangeran Sisa. Itu tak salah. Di dalam rahim ibu, banyak hal telah diserap Leo dariku. Tapi itu bukan berarti aku tak punya apa-apa.” 

Sambil berkata begitu, aku mengarahkan belati di tangan kanan ke tangan kiriku. 

Di antara keluarga kekaisaran, ada sebuah ritual yang disebut Sumpah Darah. Ritual di mana seseorang yang seharusnya tak perlu menumpahkan darah, secara sukarela melukai diri sendiri dan bersumpah atas darah dan rasa sakit tersebut. 

Ritual ini nyaris punah. Dalam seratus tahun terakhir, tak ada satu pun yang melakukannya. Karena dianggap tak berguna. 

Ini bukan sumpah yang terikat sihir. Hanya sebuah komitmen pribadi. Hanya bisa berarti jika lawan mempercayainya. Dulu, seorang Kaisar pernah berhasil menyelesaikan perdamaian dengan negara musuh menggunakan sumpah ini, tapi itu karena Raja musuh adalah seorang raja yang bijak. Kalau dianggap remeh, ritual ini tak berarti apa-apa. 

Yang tersisa hanyalah rasa sakit dan luka. Tapi tetap saja, bagi keluarga kekaisaran, itu adalah bentuk ikrar tertinggi. 

“Tak peduli seberapa sembrono aku hidup, tak ada yang akan mencela. Paling hanya ditertawakan. Karena itu, aku menjalani hidup sesuka hati. Tapi bahkan orang sepertiku pun punya tanggung jawab. Dan itu adalah tanggung jawab sebagai kakak. Aku lahir lebih dulu, dan menjadi kakak. Sejak saat itu, aku telah memikul tanggung jawab sebagai seorang kakak. Dan itu adalah satu-satunya hal berharga yang masih tersisa pada diriku yang hampa ini.” 

Aku melirik Elna. 

Elna menggeleng dengan wajah pucat. Tapi aku tak memalingkan pandanganku. 

“Elna von Armsberg. Jadilah saksi sumpah ini.” 

“...Al...” 

“Kamu tak bisa?” 

Setelah hening sesaat, Elna perlahan berlutut. 

Lalu berkata... 

“...Saya bersedia.” 

“Bagus. Dengarkan baik-baik. Ini adalah sumpah dari seorang pangeran yang sudah tak berguna. Sumpah yang akan jadi bahan tertawaan seluruh kekaisaran. Saksikan baik-baik.” 

Dengan berkata demikian, aku menikamkan belati ke tangan kiriku. 

Belati itu menembus dalam, benar-benar menembus hingga ke sisi lain. 

“...!”

Rasa sakit yang menyengat dan panas menyebar ke seluruh tubuh. Aku ingin berteriak dan mengguling di tanah. 

Tapi aku tak boleh melakukannya. Aku harus menahan rasa sakit ini dan mengucapkan sumpahku. 

“Aku, Pangeran Ketujuh, Arnold Lakes Ardler, bersumpah. Jika operasi di selatan ini gagal... Aku akan menebusnya dengan nyawaku... Dengan darah dan rasa sakit ini aku bersumpah takkan menarik kembali ucapanku. Elna von Armsberg... Jadilah saksi, dan jika sumpah ini tak kutepati... Kamu yang akan memenggalku.” 

“...Saya mengerti.” 

Elna mengangguk dengan wajah nyaris menangis. Melihat itu, aku mencabut belati dari tanganku. 

Darah mengalir deras. Luka berwarna merah kehitaman tampak jelas. Lebih dari rasa sakit, yang kurasakan kini adalah panas. Kesadaranku sedikit kabur. Tapi aku bertahan, dan menunjukkan luka itu pada para prajurit. 

“Luka ini...! Adalah lambang dari taruhanku demi adikku...! Bahkan jika kalian semua menolak, ini tidak akan berubah! Ini luka yang patut dibanggakan! Kalian pun dulu pasti begitu! Saat kalian menorehkan luka di lambang tuan kalian, kalian pasti tak melakukannya demi imbalan! Kalian bukan bergerak karena ingin jadi kesatria kekaisaran! Bukan karena ingin jadi bangsawan! Kalian bergerak karena tak bisa tinggal diam, mengikuti keyakinan kalian!” 

Aku tidak mengatakan bahwa imbalan itu tidak penting. 

Tapi kenyataan takkan berubah hanya karena imbalan itu tidak datang. 

“Hakikatnya tak akan berubah... Kalian bangkit demi negara dan rakyat, karena percaya itu adalah hal yang benar! Maka jangan goyah karena penilaian orang lain! Jangan biarkan aku, atau siapa pun, berkata bahwa tanpa imbalan maka itu tak bermakna! Luka yang kalian torehkan di lambang kalian adalah kebanggaan kalian! Meskipun disebut simbol pengkhianatan, jika kalian punya keyakinan yang tak tergoyahkan, maka jangan hiraukan! Luka yang kalian torehkan tak berbeda dari lukaku ini... Luka yang kalian ukir demi seseorang, demi sesuatu, jangan pernah kalian hina sendiri!” 

Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak. Itu bisa berubah tergantung dari sudut pandang. 

Tapi ketika mereka bergerak saat itu, mereka melakukannya karena percaya itu benar. Dan fakta bahwa tuan mereka dihukum tetap tak berubah. Setelah itu, mungkin mereka tidak diakui. Mungkin mereka tidak dihormati.


Namun, hal-hal seperti itu hanya perkara kecil. 

“Meski harus menanggung luka, kalian tetap menjaga kehormatan kalian. Kalian berpegang teguh pada keyakinan kalian. Itu adalah sesuatu yang mulia. Selama kalian sendiri memahami itu, tak perlu mendengarkan suara siapa pun... Nilai dari luka itu, kalianlah yang menentukannya! Aku tanya pada kalian! Kesatria Luka! Musuh kita adalah pemimpin kaum bangsawan selatan, Duke Kruger! Ini adalah misi yang sangat berbahaya, menyusup ke wilayah musuh! Siapa yang bersedia berangkat bersama adikku ke tempat itu? Aku hanya membutuhkan mereka yang bisa maju berdasarkan kehormatan dan keyakinan mereka sendiri, meski tahu mungkin akan mati!” 

Semakin waktu berlalu, rasa sakit dan panas di tanganku semakin menjadi. Meski begitu, aku tidak menurunkan tangan kiriku. 

Darah terus menetes menuruni lenganku. Biarlah mengalir sesuka hati. Kalau darah ini bisa membeli sekutu untuk Leo, maka itu harga yang murah. 

Keheningan menyelimuti seluruh tempat. Dalam sunyi itu, prajurit muda yang tadi bertanya padaku membuka liontin di lehernya dengan bunyi klik yang halus. Di dalamnya, mungkin ada lambang bangsawan tuan yang dulu dia layani, lambang yang telah dia lukai sendiri. 

Prajurit muda itu mengangkat wajahnya, memberi hormat dengan tangan kanan, lalu mengucapkan dengan lantang, 

“Letnan Bernd Lerner, dengan segala hormat, mengajukan diri untuk misi ini.” 

Langkah itu, pastilah diambil dengan keberanian besar. 

Namun wajah Lerner tampak bersih dan tegas. 

“Kutitipkan adikku padamu, Letnan Lerner.” 

“Siap! Saya akan bertarung agar tidak mempermalukan luka Yang Mulia Arnold!” 

Dan dengan itu sebagai pemicu, banyak yang mulai memberi hormat dan menyatakan kesediaannya. 

Dalam sekejap, seluruh pasukan berdiri tegak dan memberi hormat. 

Lalu, Lars yang berada di sampingku melangkah ke depan dan memberi hormat pula. 

“Narberitter dengan ini seluruhnya mengajukan diri untuk mengikuti rencana Yang Mulia Arnold.” 

“Aku berterima kasih, Kolonel.” 

“Kami yang seharusnya berterima kasih. Anda telah memahami nilai dari luka kami. Maka, kami pun akan memahami nilai dari luka Anda. Kami bersumpah atas luka itu, bahwa kami akan melindungi Pangeran Leonard dengan segenap jiwa. Dan kami juga takkan membiarkan Anda mati.” 

“Itu sangat melegakan. Kalau begitu, bersiaplah. Adikku sedang menunggu.” 

“Dimengerti. Seluruh pasukan, bersiap untuk keberangkatan! Kita menuju ibu kota!” 

Atas perintah Lars, seluruh pasukan segera bergerak dengan cekatan. 

Melihat itu, aku merasa pusing seketika dan hampir terjatuh. Tapi aku tak sampai tumbang. 

Ada kesatria di sisiku yang menopang tubuhku. 

“Bodoh sekali...”

“Maaf, ya... Kupikir tanpa adanya saksi, mereka takkan menerima sumpahku tadi...”

Elna membantuku duduk dan mulai merawat lukaku dengan membalutnya. 

Karena lukanya cukup dalam, mungkin akan meninggalkan bekas. 

“Kalau kamu mau, di ibu kota ada penyembuh yang sangat ahli. Bisa menutup luka ini dalam sekejap.” 

“Tak perlu. Tak masalah kalau luka ini meninggalkan bekas. Ini lambang kehormatan.” 

“Bodoh... Dengar baik-baik, aku ini wanita yang bisa membuang kehormatan dan melanggar janji tanpa ragu, tahu? Tak peduli sumpah tadi, aku takkan pernah menebasmu.” 

Mengatakan itu langsung setelah sumpah tadi, sungguh keterlaluan. 

Tapi aku tak bisa menyalahkannya. Lagipula, aku yang lebih dulu bertindak sesuka hati. 

“Sekarang aku makin tak bisa gagal.” 

“Tenang saja. Mereka pasti akan bertarung dengan kekuatan lebih dari biasanya. Orang yang mereka anggap hanya pangeran lemah tadi telah menunjukkan tekad sebesar itu. Mereka akan mempertaruhkan segalanya.” 

“Kalau begitu aku tenang. Haa... Maaf ya. Jadi jangan tunjukkan wajah seperti itu.” 

Melihat wajah Elna yang dipenuhi campuran amarah dan kesedihan, aku tersenyum pahit. 

Namun, sepertinya senyumku tidak menyenangkan baginya, karena saat dia membalut luka, dia mengikat perban dengan sangat keras. 

“Aduh!” 

“Tidak akan ada yang kedua! Kalau kamu bertindak gegabah lagi dan membuatku khawatir, kali ini akulah yang akan menghancurkan semuanya! Aku tak mau khawatir seperti itu lagi!” 

Setelah berkata begitu, Elna membalikkan badan, tak memperlihatkan wajahnya padaku. 

Itu adalah peringatan khas dari Elna. Kalau benar-benar ada “lain kali”, mungkin dia akan menghancurkan seluruh kekaisaran dengan tangannya sendiri. 

Aku harus pastikan itu tidak terjadi. Tapi kurasa aku tak perlu terlalu khawatir. 

Segalanya telah siap. Yang tersisa hanyalah menyusup tanpa diketahui. Jika itu berhasil, maka Zandra akan tersingkir dan rencana Gordon akan gagal. 

Mulai dari sini, waktunya serangan balasan dimulai.

 

Bagian 5

Sementara Al dan yang lainnya sedang dalam perjalanan kembali ke ibu kota, di kota itu sendiri para menteri, pangeran-pangeran, dan bangsawan utama telah dipanggil oleh sang Kaisar. 

“Daerah selatan menolak penyelidikanku.” 

Di hadapan mereka yang dikumpulkan, Kaisar Johannes menyatakan itu dengan singkat. 

Dalam Kekaisaran, Kaisar adalah otoritas tertinggi. Menolak penyelidikan berarti tak lain selain memberontak. 

Semua orang merasa akhirnya terjadi. 

“Dipimpin oleh Duke Kruger, bangsawan selatan telah mendirikan Koalisi Selatan. Sebagian besar bangsawan dan kota selatan telah bergabung. Mereka menutup pintu bagi kita dan menunjukkan kesiapan mereka untuk melawan.” 

Saat Kanselir Franz melaporkan, semua orang menunjukkan amarah. 

Bertindak sesuka hati adalah tanda meremehkan pusat, berarti mereka menyepelekan mereka. 

“Harus segera kirim pasukan!” 

Seseorang mulai bicara, memicu banyak yang meminta tindakan militer. 

Franz tetap tenang, menyuarakan pendapat rasional. 

“Mungkin tujuan Koalisi Selatan adalah agar Yang Mulia bersedia berkompromi. Jika kita bisa bernegosiasi, kemungkinan besar konflik tidak akan meledak.” 

“Kalau kita memberi preseden seperti itu, akan jadi ajakan untuk lebih banyak pemberontakan!” 

“Betul! Kita harus tegas!” 

Franz mendapat teguran sebagai orang yang terlalu lemah, tetapi dia tetap mengamati para peserta tanpa terganggu. 

Tujuan pertemuan ini adalah menemukan respons efektif. Franz tak ingin solusi klise seperti menggerakkan militer. Dan hal itu pun sepaham dengan sang Kaisar. 

“Mungkin kita memang akan mengerahkan militer. Tapi apakah ada hal lain yang bisa dilakukan sebelum itu? Aku ingin mendengar semua pendapat.” 

“Yang Mulia! Maaf, tetapi waktu untuk menunggu sudah lewat! Mereka sudah menyiapkan senjata! Kita juga harus bersiap!” 

Beberapa setuju dengan keras bahwa tindakan tegas diperlukan. 

Kaisar menghela napas pelan. Eric, yang dianggap sebagai tokoh berpengaruh di antara para bangsawan dan menteri, tidak hadir. Setelah sidang berat sebelumnya, dia pergi sebagai Menteri Luar Negeri untuk meredam pengaruh asing. Kehadirannya yang absen menyebabkan pembicaraan menjadi satu arah. 

“Yang Mulia Kaisar.” 

Di tengah perdebatan menggelegak, Gordon angkat bicara. Dia maju ke depan ruang takhta dan menatap Kaisar Johannes dengan penuh wibawa. 

“Saya mohon agar diberikan komando atas pasukan pusat. Saya akan segera menghancurkan pemberontakan Selatan.” 

Bangsawan dan menteri bersorak gembira. Gordon adalah jenderal yang banyak menoreh prestasi di medan perang. Meskipun dia lebih memilih bertugas di perbatasan, dia tetap menjadi figur paling menonjol di antara jenderal-jenderal ibu kota. Jika Gordon diberi komando, pemberontakan Selatan bisa segera ditumpas. 

Namun, tentu saja ada penentang. 

“Tunggu dulu, Pangeran Gordon. Sebagai Menteri Keuangan, aku tak bisa setuju.” 

Seorang menteri senior yang lama menjabat menyuarakan keberatan. Gordon menatapnya tajam. 

“Apa yang kamu katakan?” 

“Kondisi fiskal Kekaisaran saat ini tidak baik. Dimulai dari ledakan monster, hingga anomali di selatan. Rantai distribusi terganggu, rakyat menderita. Jika kita masuk ke perang besar, ekonomi akan terpukul habis.” 

“Aku akan menyegerakan akhir. Perang takkan berkepanjangan.” 

“Aku tetap menolak. Ini bukan soal cepat atau lambat.” 

Mendengar itu, Gordon tampak murka dan maju hendak menjawab, namun saat itulah Leo, yang selama ini diam, berbicara. 

“Yang Mulia Kaisar.” 

Seluruh hadirin menoleh ke Leo. Dia berdiri di samping Gordon, lalu berlutut dan berkata, “Pemberontakan di selatan adalah kegagalanku. Bisakah saya mendapatkan kesempatan untuk memperbaikinya?” 

“Kesempatan memperbaiki? Kamu ingin memimpin pasukan sebagai jenderal?” 

Beberapa menteri yang tadinya berharap menyebutkan pangkatnya tampak kecewa sejenak. Leo menggeleng. 

“Tidak, Yang Mulia. Saya memiliki rencana.” 

“Oh? Ada strategi untuk meredam situasi ini?” 

“Ada.” 

“Suarakan benakmu.” 

“Terima kasih. Tolong tugaskan saya sebagai utusan ke Duke Kruger. Saya akan menyusup ke markasnya sebagai utusan, kemudian melancarkan serangan mendadak. Jika kita bisa menangkap atau membunuhnya sebelum perang dimulai, Koalisi Selatan akan runtuh.”

Kaisar Johannes terdorong maju, tertarik oleh strategi ini. Dalam pertemuan penuh usulan militer, solusi Leo terasa paling menarik. 

“Kamu mengajukan diri sendiri. Jadi kamu tahu betul risikonya?” 

“Iya. Saya akan menebus kegagalan saya dengan tangan saya sendiri.” 

Jawaban tegas itu membuat Leo sekilas menatap Gordon, yang menanggapi dengan tatapan dingin. Leo membalas dengan senyum pelan, tak tergoyahkan. 

Namun kepercayaan Leo dibungkam oleh sosok tak terduga. 

“Rencana yang cukup bagus, kan? Bagaimana menurutmu, Franz?” 

“Sungguh strategi yang kuat... Namun saya menolaknya.” 

“Kanselir? Kenapa?” 

“Pangeran Leonard memang berbakat, dan figur yang layak sebagai utusan... Tapi dia telah menjadi pahlawan yang menyelesaikan masalah Selatan. Duke Kruger pasti tidak akan melonggarkan pengawasannya.” 

“Kalau bukan Leo, siapa lagi?” 

“Pangeran Gordon terlalu militeristik. Di antara para pangeran, hanya Arnold yang bisa meredam kecurigaan... Namun jika dia menyamar sebagai utusan, tetap akan menimbulkan kecurigaan, kehadirannya sendiri sudah cukup untuk membuat orang curiga.” 

Mendengar analisis Franz, Kaisar Johannes berpikir panjang. Rencana bagus, namun pelaksanaannya perlu filter. 

“Ada kandidat lain?” 

“Seorang utusan perlu martabat yang cukup, sebagai perwakilan Kaisar. Idealnya para keluarga kekaisaran, atau orang lain dengan level yang sebanding.” 

“Jadi siapa?” 

Franz terdiam. Johannes menunjukkan ekspresi kecewa, tetapi Franz tetap bungkam, saat itulah seorang wanita memasuki ruang takhta. 

Seluruh pandangan menjauh dari diskusi, terpaku padanya. 

“Maaf mengganggu, Yang Mulia Kaisar.” 

“Fine... Ada apa? Apa ada masalah?” 

“Saya pikir mungkin ada yang bisa saya bantu, jadi saya datang. Dan tampaknya, tebakan saya benar.” 

Fine tersenyum lembut kepada Franz. Franz sekilas menunduk, dan Kaisar Johannes langsung menangkap konteksnya. 

“Franz... Kamu serius ingin menunjuk Fine sebagai utusan?” 

“Dia orang yang tepat. Jika Pangeran Leonard menjadi penasihat, strategi ini akan berjalan mulus. Duke Kruger pasti tidak akan menduga Yang Mulia akan menempatkan Putri Blau Meve dalam posisi berbahaya.” 

“Tentu saja! Fine bukan bagian dari militer, apalagi kesatria! Dia juga bukan pejabat negara, dia hanya seorang gadis dari wilayah Kleinert! Kenapa kamu mau berisiko dengan hal semacam ini?” 

“Kamu sudah memberinya jepit rambut. Itu artinya dia punya semacam jabatan sejak saat itu.” 

“Jangan bicara omong kosong! Mengirim gadis yang tak tahu cara bertempur ke wilayah musuh? Bagaimana jika gagal?” 

“Jika gagal, Pangeran Leonard juga dalam bahaya.” 

“Leonard adalah pangeran, dia adalah pengawas masalah di selatan! Tanggung jawabnya jauh lebih besar daripada Fine!” 

Johannes menatap Franz tajam lalu menoleh pada Fine.

Lalu.

“Mundur, Fine. Kita pikirkan cara lain.” 

“Tidak, Yang Mulia. Mohon percayakan ini kepada saya.” 

“Tidak boleh!” 

“...Yang Mulia. Rakyat kita menderita akibat masalah yang disebabkan oleh para bangsawan. Meskipun berbeda wilayah, tanggung jawab yang harus dipikul para bangsawan tak berubah. Menjaga rakyat Kekaisaran adalah tugas para bangsawan. Jika kita bisa mencegah terjadinya perang saudara, banyak nyawa akan terselamatkan. Rakyat di selatan tidak akan terbunuh, dan rakyat di wilayah lain tak perlu menderita kelaparan. Saya adalah Fine von Kleinert. Putri seorang duke. Itu saja sudah cukup alasan bagi saya untuk mengambil risiko. Jika tidak bisa bangkit demi rakyat saat krisis, maka bangsawan tak layak untuk ada.” 

Bahwa Fine berada di tempat itu adalah sebuah kebetulan, sekaligus keniscayaan. Di tengah semua orang yang bergerak dengan segenap upaya mereka, dia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang bisa aku lakukan? Dan dengan kesungguhan itulah Fine datang ke ruangan ini. 

Bukan karena disuruh oleh Al atau Leo. Kedua orang itu bahkan tidak menghitungnya dalam rencana. 

Namun Fine, dengan caranya sendiri, memahami kekuatannya. 

Bahwa dia telah diberikan hiasan rambut oleh Kaisar. Bahwa dia disayangi oleh Kaisar. Dua hal itu saja cukup untuk membuat lawan lengah. Fine tahu itu dengan sangat baik. 

“Fine...” 

“Perkenankan saya pergi, Yang Mulia. Para bangsawan selatan bukanlah satu kesatuan. Pasti ada banyak yang mengikuti karena tak punya pilihan. Para kesatria dan prajurit yang melayani para bangsawan, apalagi. Tapi, sekali saja pedang bersilang, akan timbul kebencian. Dan itu bisa menjadi bencana bagi Kekaisaran. Saya ingin membantu mencegah hal itu.” 

“...”

“Yang Mulia Kaisar, semuanya demi negeri ini.” 

“...Bawalah para Kesatria Pengawal bersamamu.”

Dengan wajah diliputi kesedihan, Johannes mengeluarkan perintahnya. 

Namun, Fine menolaknya. 

“Jika para Kesatria Pengawal ikut serta, tingkat kewaspadaan musuh akan meningkat. Itu akan membuat rencana ini sia-sia.” 

Sambil berkata begitu, Fine tersenyum. 

Sejak Al dan Elna pergi untuk membujuk Narberitter, Fine tak pernah membayangkan rencana itu akan gagal. 

Dia tidak takut untuk menawarkan diri, karena dia percaya pada Al. Karena pasukan yang dipilih oleh Al untuk menjadi pengawal adalah pasukan yang pasti bisa diandalkan. Kalau begitu, tak ada masalah. 

Satu-satunya kekhawatirannya hanyalah apakah dia akan dimarahi oleh Al karena bertindak sesuka hati. 

Itulah kekhawatiran kecil yang dimiliki Fine. 

Agak santai memang, untuk seseorang yang baru saja mengajukan diri menyusup ke markas musuh. 

“Tidak ada yang bisa dipercaya selain Kesatria Pengawal!” 

“Namun Yang Mulia, kenyataannya memang mereka akan meningkatkan kewaspadaan musuh.” 

“Kalau begitu, apa yang kamu sarankan?” 

Suara Kaisar menggema di ruang takhta. Yang tersisa hanyalah keheningan. 

Semuanya terdiam. Dan di saat itu, seorang pangeran muncul sambil menyodorkan wajahnya ke dalam ruangan. 

“Hmm... Ayahanda.” 

“...Arnold... Ke mana saja kamu pergi di tengah keadaan genting seperti ini?”

“Ada sedikit urusan yang harus saya selesaikan.” 

Dimarahi, Al masuk ke ruang takhta sambil menyeringai kesal. 

Sesaat, pandangannya bertemu dengan Fine. Melihat Fine yang tampak bersalah, Al hanya tersenyum seolah berkata “ya sudahlah.” 

Sebelum kata-kata selanjutnya terlempar, dia segera menyelesaikan urusannya. 

“Mengenai pasukan pengawal, saya punya satu rekomendasi.” 

“Apa?” 

“Silakan masuk.” 

Begitu Al berkata demikian, seorang pria berbaju militer masuk ke ruang takhta. 

Di dadanya tersemat lencana Narberitter. 

“Lars Weigel... Kenapa kamu ada di sini?” 

“Saya mendapat penjelasan dari Pangeran Arnold. Narberitter mengajukan diri untuk berpartisipasi dalam operasi ini.” 

Sambil mengatakan itu, Lars memberi hormat. Sebuah pemandangan yang tak terbayangkan sebelumnya. 

Narberitter memang telah menerima berbagai penugasan selama ini. Namun, semuanya karena perintah. Tak pernah mereka bertindak atas kehendak sendiri. 

Dan kini, mereka menawarkan diri. Seorang bangsawan berteriak, tak percaya. 

“T-Tunggu! Kalian ingin kami mempercayakan Pangeran Leonard dan Nona Fine kepada kalian!?” 

“Tenanglah. Kami pasti akan melindungi mereka.” 

“Jangan bercanda! Mana bisa kami mempercayakan nyawa mereka kepada orang-orang yang pernah mengkhianati tuannya!” 

“...Memang benar kami telah mengkhianati tuan kami. Kami tidak bisa menutup mata terhadap kesalahan mereka. Namun, karena itulah kami tidak akan pernah berbalik memihak bangsawan selatan yang penuh kejahatan. Kami adalah Kesatria Luka. Ketidakadilan adalah musuh kami." 

Mendengar kata-kata Lars, bangsawan itu terdiam. Melihat latar belakangnya, apa yang dikatakan Lars memang masuk akal. 

Namun, ekspresi semua orang di ruangan itu tetap tak bisa dibilang positif. 

Lalu, Kaisar Johannes yang duduk di singgasana paling dalam, mengajukan pertanyaan kepada Lars. 

“Sudah banyak kesempatan bagimu sebelumnya. Tapi kalian tidak pernah bergerak. Mengapa sekarang kalian bangkit?” 

“...Karena seseorang memohon dengan suara keras untuk melindungi adiknya. Jika aku menolak, itu akan mengkhianati sisa kebanggaan kami sebagai kesatria.” 

Sambil berkata begitu, Lars menatap Al. Johannes pun ikut memandang Al, dan melihat perban melilit tangan anaknya. 

Dia sudah bisa menebak apa yang telah dilakukan Al, dan menghela napas panjang sebelum akhirnya mengeluarkan perintah. 

“Narberitter akan ditugaskan sebagai pengawal Leonard dan Fine. Seluruh tanggung jawab diserahkan kepada Leonard. Rinciannya, kalian atur sendiri.”

“Yang Mulia! Jangan percayakan urusan sepenting ini pada sesuatu yang belum pasti! Serahkan kepada saya dan militer!” 

“Memang belum pasti, tapi layak dicoba. Namun kamu juga bersiaplah. Aku izinkan mengumpulkan pasukan. Tapi jangan bertindak dulu.” 

“...Baik.” 

Dengan wajah tak puas, Gordon pun mundur. 

Matanya bersinar gelap.

 

Bagian 6

“Benar-benar, kamu bertindak gegabah.” 

“Maafkan saya...”

Begitu rapat usai dan kami kembali ke kamar, aku pun menegur Fine. Fine pun menampakkan wajah menyesal. Kalau bisa, aku tidak ingin membiarkannya menghadapi bahaya. 

“Yah, tapi karena kamu sudah mengajukan diri, mau bagaimana lagi. Seperti yang dikatakan Kanselir, kamu memang orang yang paling tepat. Aku akan berusaha menjamin keselamatanmu semaksimal mungkin.” 

“Sungguh merepotkan Anda...”

“Tak masalah. Aku pun bisa memahami alasan tindakanmu.” 

Di tengah situasi seperti ini, keinginan Fine untuk berbuat sesuatu sangatlah mencerminkan dirinya. 

Dan kali ini, perasaan tulus Fine itu kebetulan sejalan dengan banyak keuntungan yang didapat. 

Bukan sesuatu yang patut disalahkan. 

“Yang Mulia Arnold.” 

Tiba-tiba, Sebas muncul tanpa suara seperti biasa. 

Sebelumnya, aku sudah meminta Sebas untuk mengumpulkan informasi selama aku meninggalkan ibu kota, tapi sepertinya kali ini dia datang untuk urusan berbeda. 

“Ada apa, Sebas?” 

“Saat yang sangat tepat, ada tamu-tamu yang bisa diandalkan datang berkunjung.” 

Sambil berkata begitu, Sebas membuka pintu. Di sana tampak dua wajah yang sudah kukenal. 

“Sudah lama tak bertemu, Yang Mulia Arnold.” 

“Duke Reinfeld! Dan juga...” 

Yang berdiri di sana adalah Jurgen. 

Dengan senyum lembut yang mampu menenangkan hati siapa pun, dia masuk ke dalam ruangan. 

Di belakangnya, seorang gadis berambut cokelat dengan penampilan menyerupai bocah lelaki masuk dengan tenang. 

“Lynfia.” 

“Yang Mulia Lizelotte menyampaikan bahwa saya boleh mengurus adik-adiknya. Maka, demi membalas budi, saya bersedia mengangkat pedang demi kedua Yang Mulia.” 

“Seperti biasanya, ya. Tapi aku bersyukur kamu kembali. Kami sedang kekurangan tangan yang bisa diandalkan.” 

“Saya sudah mendengar rinciannya dari Tuan Sebas. Saya juga mendengar bahwa Nona Fine akan berangkat.” 

“Ya. Saya merasa ini sesuatu yang bisa saya lakukan.” 

Lynfia menatap Fine sejenak, lalu tersenyum lembut. 

Kemudian dia berkata dengan tegas. 

“Itu memang sangat mencerminkan diri Anda, Nona Fine. Tenang saja. Saya akan membantu semampu saya.” 

“Terima kasih banyak!” 

“Dengan ini, pasukan kita sudah cukup solid.” 

Dengan Sebas, Lynfia, dan para elit dari Narberitter yang dipimpin oleh Lars, serta Leo sebagai pemimpin mereka, peluang keberhasilan akan meningkat tajam jika mereka berhasil menyusup ke wilayah musuh. 

“Namun, ide berpura-pura sebagai utusan bukan berasal dari Pangeran Leonard, bukan? Itu ide Anda, Pangeran Arnold?” 

“Ya, Elna bilang aku ini kejam.” 

“Haha, dari sudut pandang seorang kesatria, mungkin memang begitu. Tapi tidakkah ini bisa merusak citra Pangeran Leonard?” 

“Itu sudah kupikirkan juga.” 

Fine akan berangkat sebagai utusan, dengan Leo memimpin pasukan pengawalnya. Selatan hampir pasti akan menerima utusan ini. Karena itu adalah utusan dari Kaisar. Menolaknya berarti menutup semua pintu negosiasi selamanya. Para bangsawan selatan tak akan bisa menerima itu. 

Walau seluruh selatan bersatu, perbandingan kekuatan tetap sangat berpihak pada Kekaisaran. Bila mereka ingin negosiasi, mereka tak punya pilihan selain menerimanya. 

“Kaisar akan mengirim utusan kepada Koalisi Selatan. Namun isinya adalah ultimatum kepada Duke Kruger. Bila dia tidak tunduk, maka dia akan dihukum. Itu pesan yang akan disampaikan oleh Fine. Jika kemudian segalanya gagal dan mereka menyerang terlebih dahulu, maka kesalahan berada di pihak mereka.” 

“Tapi sebelum pergi, isi negosiasinya pasti akan diperiksa, bukan?” 

“Aku sudah menyiapkan dua surat. Isinya akan ditukar sesaat sebelum tiba. Jika mereka menolak isi surat tersebut, maka itu jadi dasar untuk menjadikan mereka target hukuman. Dari tipu muslihat dengan utusan, langsung berubah menjadi penjatuhan hukuman kepada bawahan. Negara lain tak bisa mencela, dan reputasi Kekaisaran serta Leo pun tetap aman.” 

Bagaimanapun juga, hubungan antara Kaisar dan para bangsawan selatan adalah antara penguasa dan bawahan. Bukan posisi yang setara dalam negosiasi. Ini sepenuhnya merupakan perintah sepihak. 

Para bangsawan selatan mungkin berpikir bahwa mereka duduk sejajar dengan Kaisar karena pemberontakan, tapi nyatanya Kaisar tak pernah berniat untuk berkompromi. Fine dikirim hanya untuk memberikan ultimatum. 

Inilah skenario yang dirancang. Ini bukan negosiasi antara negara-negara yang setara, melainkan langkah strategis yang hanya bisa dilakukan dalam kondisi seperti sekarang. 

Meski mungkin beberapa pihak luar merasa curiga, tidak akan ada negara yang secara resmi memprotes langkah ini sebagai kebijakan negara. 

“Sungguh, sangat mencerminkan Yang Mulia Arnold.” 

“Aku sebenarnya ingin menggunakan cara yang lebih lurus, tapi ini satu-satunya jalan yang ada.” 

“Kalau kita membiarkan pihak lain mengambil inisiatif, ya begitulah. Namun dengan ini, kita merebut kembali kendali kita. Itu yang paling penting. Tapi kendali ini bisa hilang karena hal sepele. Bagaimana dengan pengendalian informasi?” 

Pertanyaan khas Jurgen. 

Aku mengangguk mantap menjawabnya. 

“Pasukan penjaga ibu kota sedang memeriksa keluar-masuk dengan sangat ketat.” 

“Hanya itu?” 

“Tidak, aku juga meminta keluarga pahlawan untuk menutup jalur ke selatan. Dengan kesatria-kesatria keluarga pahlawan berjaga di mana-mana, bahkan mata-mata paling terampil pun tak akan bisa menyusup.” 

Untuk urusan perang saudara dengan wilayah selatan, unsur perebutan takhta tidak terlalu kuat. Sekarang Kaisar sudah menyetujui rencana kami, jadi tidak ada masalah jika keluarga pahlawan membantu mencegah bocornya informasi. 

Kemungkinan kebocoran informasi pun sangat kecil. 

Memang masih ada hal yang mengkhawatirkan, tapi sudah kupersiapkan solusinya. 

“Kalau begitu, saya tak punya komentar lagi. Apa saya bisa membantu sesuatu?” 

“Mari kita lihat... Apakah kamu akan tinggal di ibu kota untuk sementara waktu?” 

“Ya, saya berencana begitu.” 

“Kalau begitu, bisakah kamu menggunakan jaringanmu untuk menggerakkan para pedagang?” 

“Saya tak keberatan. Tapi, bagaimana cara menggerakkannya?” 

“Meskipun hanya sementara, selatan telah menjadi musuh Kekaisaran. Akan ada dampak terhadap keamanan dan bisa memicu krisis pangan. Aku ingin kamu mengantisipasi hal itu.” 

“Menarik. Ini pekerjaan yang cocok dengan saya. Saya mengerti.” 

Jurgen pun tersenyum dengan tenang. 

Jika Jurgen dan Serikat Dagang Ras Campuran bergerak, maka cukup banyak tenaga kerja bisa disediakan. Mereka bisa menyewa petualang untuk mengawal, dan uang pun akan mulai berputar. Kalau terdesak, aku bahkan bersedia menggunakan uang yang kuperoleh sebagai Silver. 

Mengalahkan Duke Kruger bukan akhir dari segalanya. Justru sesudahnya yang akan lebih sulit. 

“Oh, Nona Fine. Ini untuk Anda.” 

Seolah baru teringat, Lynfia menyerahkan sebuah seruling kepada Fine. 

Sekilas saja sudah terlihat, itu adalah alat sihir tingkat tinggi. 

“Apa ini?” 

“Itu pemberian dari seorang kakek dwarf yang sempat tersesat. Jika Anda meniupnya, suaranya akan sampai kepada teman-teman Anda.” 

“Sepertinya ini barang yang sangat luar biasa...”

“Menurut saya, benda ini lebih berguna jika dipegang oleh Nona Fine daripada oleh saya.” 

Sambil berkata begitu, Lynfia menyerahkan seruling itu ke tangan Fine. Fine menoleh padaku seolah bingung, tapi aku hanya mengangguk pelan. 

Jika Fine sampai meniup seruling ini, itu berarti situasinya benar-benar mendesak. Dalam keadaan seperti itu, aku tak akan ragu bergerak sebagai Silver. Bahkan jika itu melanggar perintah, aku tak bisa membiarkannya. 

Aku akan datang, meski harus mengorbankan segalanya. 

“Kalau Fine yang membawanya, aku akan merasa lebih tenang.” 

“...Baiklah. Untuk sekarang, aku akan menyimpannya.” 

Sambil berkata begitu, Fine menerima seruling itu dengan hati-hati dari Lynfia. 

Namun... Dwarf tersesat, dan kakek-kakek pula. Sempat sekelebat terlintas satu sosok dalam pikiranku, tapi segera kuurungkan. 

Tak mungkin dia ada di Kekaisaran. Aku belum dengar kabar apa pun. 

Lagipula, kalaupun dia ada di sini, dia tak akan membantu para bangsawan selatan. Dan kali ini, sepertinya dia takkan muncul. Meski begitu, sebaiknya tetap kuingat-ingat. Karena jika benar dia ada di Kekaisaran, itu bisa menjadi insiden besar. 

“Kalau begitu, saya akan mulai bergerak sekarang.” 

“Saya juga akan pergi menemui Pangeran Leo.”


Jurgen langsung bergerak, dan Fine pun pergi bersama Lynfia ke tempat Leo berada. 

Tinggal aku dan Sebas yang masih di ruangan. 

“Ada laporan?” 

“Ya. Sepertinya Nona Sonia disandera. Saya hanya sempat menguping pembicaraan, tapi ayah angkatnya dulu pernah disebut sebagai ahli siasat jenius di militer.” 

“Begitu ya... Kalau begitu, pergerakannya bisa dimengerti.” 

Dari analisis yang tenang dan pengambilan posisi yang tidak pernah merugikan, hingga mengubah situasi sesuai kehendaknya dengan memanfaatkan keunggulan. Sonia benar-benar menguasai permainan besar. Itu bukan sesuatu yang mudah dilakukan. 

“Untuk urusan Sonia, kita tangguhkan dulu. Kita tak punya waktu untuk mengurus itu sekarang.” 

“Saya mengerti. Kalau begitu, saya akan tetap berada di sisi Pangeran Leonard. Lalu, bagaimana dengan Anda, Yang Mulia Arnold?” 

“Informasi sudah nyaris tertutup rapat. Tapi akan ada orang-orang yang keluar dari ibu kota dan bisa membocorkannya.” 

“Maksud Anda... Pangeran Gordon?” 

“Ya. Aku akan mengawasinya. Kita tak tahu apa yang akan dia lakukan. Maaf, aku serahkan Leo padamu. Kalau terjadi sesuatu, aku pasti akan langsung datang. Tapi, di sini juga kemungkinan besar akan terjadi kekacauan.” 

Sambil memikirkan itu, aku mulai menganalisis gerakan apa yang akan diambil Gordon setelah ini.

 

Bagian 7

Hari keberangkatan pun tiba.

Di dalam ruangan ini hanya ada aku dan Fine. 

“Akhirnya tiba juga, ya.”

“Benar. Tapi semua sudah dipersiapkan dengan matang. Selama tidak ada hal yang benar-benar di luar dugaan, seharusnya tak ada masalah.”

“Ya, saya tidak merasa cemas.” 

Ucap Fine sambil tersenyum seolah ingin menenangkanku.

Melihat itu, aku terdiam sejenak.

Hal-hal tak terduga sudah sering terjadi sampai sekarang. Tidak bisa dibilang kemungkinan itu tidak ada kali ini. 

Fine akan berdiri di garis depan. Ini jauh lebih berbahaya dibandingkan semua yang telah terjadi sejauh ini. 

“...Sejujurnya, kalau bisa aku tidak ingin kamu pergi.”

“Maafkan saya.”

“Kamu... Benar-benar kuat, ya.” 

Fine menundukkan kepala dengan tenang, lalu mengangkatnya kembali. Di wajahnya, memang tak terlihat sedikit pun rasa cemas.

Kepercayaannya pada orang-orang di sekelilingnya yang membuatnya bisa begitu. Kemampuan untuk percaya pada orang lain sampai sejauh itu, adalah kekuatan tersendiri. 

“Saya bukan orang yang kuat. Setiap hari saya terus disadarkan betapa tak berdayanya diri saya.”

“Kamu?”

“Anda terkejut? Saya selalu ingin menjadi seseorang yang bisa membantu Anda.”

“Aku sangat menghargainya. Tapi sekarang pun kamu sudah sangat membantuku.”

“Tidak, belum cukup. Saya adalah orang yang tahu rahasia Anda. Tugas saya adalah meringankan beban Anda. Tapi... Saya bahkan tidak bisa menjadi kekuatan apa pun, dan Anda terus terluka.” 

Pandangan mata Fine tertuju pada tangan kiriku.

Karena belum sepenuhnya sembuh, tangan kiriku masih dibalut perban dan mungkin terlihat cukup menyakitkan.

Namun, berkat luka ini, para kesatria Narberitter bersedia memberikan segalanya. 

“Luka sekecil ini bukan apa-apa.”

“...Tapi luka kecil yang menumpuk bisa menjadi luka yang besar. Tugas saya adalah mencegah Anda terluka sedalam itu. Saya merasa itu adalah tanggung jawab saya.” 

Tatapan lurus Fine membuatku tersenyum kecut.

Lalu Fine menunjukkan ekspresi agak kesal. 

“S-Saya sedang berbicara dengan serius!”

“Ya, aku tahu. Aku hanya berpikir kalau ekspresi seriusmu itu cukup mengejutkan.”

“Anda... Anda mengejek saya, ya?”

“Tidak sama sekali. Aku sangat memahami bahwa kamu benar-benar memikirkanku. Jadi, aku akan mengatakan ini juga. Aku pun memikirkanmu. Kamu baik hati dan selalu berjalan di jalan yang lurus. Bagiku, kamu adalah penunjuk arah yang penting. Tanpamu, aku akan kebingungan.” 

Setelah melalui perebutan takhta, tiga kakak kandungku telah berubah.

Tidak ada jaminan aku pun tidak akan berubah. Karena itulah aku membutuhkan Fine di sisiku. Agar aku tak menjadi orang yang menyimpang, meski harus menggunakan cara licik sekalipun. Aku selalu menghindari cara yang akan membuat Fine benar-benar menunjukkan penolakan. 

Dan jika Fine menolak sepenuh hati, maka kemungkinan besar Leo pun tidak akan menyetujuinya. Jika aku sampai menggunakan cara semacam itu, aku akan tenggelam dalam kegelapan perebutan takhta. 

Agar hal itu tidak terjadi. Sebagai cahaya kecil dalam kegelapan, aku ingin Fine selalu berada di sisiku. 

“Itulah sebabnya... Kalau terjadi sesuatu, segera tiup peluit itu. Aku akan datang menyelamatkanmu demi diriku sendiri. Tak peduli sedang apa, atau bersama siapa pun. Kamu adalah prioritas utamaku.”

“Kalau Anda berkata seperti itu... Saya jadi bingung. Bukankah seharusnya ada hal yang lebih penting bagi Anda?”

“Tidak. Kamulah yang paling penting. Tentu saja aku akan menyelesaikan urusan lain sebisanya.”

“Kalau begitu... Jika saatnya tiba, saya akan mengandalkan Anda.”

“Ya, serahkan padaku.” 

Aku berkata begitu sambil tersenyum percaya diri.

Agar Fine merasa tenang. Agar dia merasa tidak perlu khawatir. 

“Sepertinya sudah waktunya.”

“Sudah waktunya, ya...” 

Melirik jam, aku pun berdiri. Setelah ini, Fine akan bergabung dengan Leo dan berangkat meninggalkan ibu kota. Aku juga akan bergerak untuk mengawasi Gordon. Kalau sudah begitu, kami tak akan bisa bertemu dengan mudah. Waktu akan sangat terbatas. 

Jadi aku mencoba memikirkan apakah masih ada hal yang belum sempat kukatakan.

Namun, tak satu pun yang terlintas di pikiranku. 

Sementara aku terpaku, Fine membuka pintu kamar. 

“Ayo pergi.”

“Ah, ya.” 

Aku merasa canggung dan menggaruk kepala. Melihat itu, Fine terkekeh pelan.

Lalu kemudian. 

“Tuan Al. Sejak pertama kali kita bertemu, Anda selalu melindungi saya. Di mana pun, kapan pun, saya selalu mempercayai Anda. Karena itu, saya tidak merasa cemas. Saya tidak takut akan apa pun yang terjadi. Kirimlah saya pergi dengan tenang.”

“...Kurasa aku tak ingat pernah melindungimu sampai sejauh itu.”

“Anda selalu melindungi orang lain tanpa sadar, Tuan Al. Dan saya adalah buktinya.”

“Yang terjadi di wilayah Duke Kleinert itu hanya perhitungan semata, kamu tahu?” 

Ucapku sambil tertawa kecil, namun Fine hanya tersenyum seolah menikmatinya.

Karena aku tak bisa menebak makna senyuman itu, aku jadi bingung. Sementara itu, Fine sudah lebih dulu melangkah pergi. 

Aku tak tahu apa maksud dari senyum itu.

Namun sambil memikul satu misteri baru lagi, aku pun melangkah mengikuti Fine dari belakang.


* * *


“Berhati-hatilah di perjalanan.”

“Tentu saja.” 

Dengan kata-kata itu, aku dan Leo mengucapkan salam perpisahan. Fine memang jelas dalam bahaya, tapi Leo pun tak kalah berbahaya. 

Namun, Leo sendiri tampaknya tidak terbebani. Bisa dibilang, dia memiliki keberanian yang luar biasa.

Padahal, wilayah selatan tempat mereka akan pergi sekarang hampir seluruhnya berada di bawah pengaruh Duke Kruger. 

“Kakak kelihatan khawatir, ya.”

“Itu sudah jelas.”

“Tenang saja. Kakak sudah memberiku pengawal yang sangat kuat, kan.” 

Sambil berkata begitu, Leo menoleh ke arah barisan pasukan Narberitter.

Dipimpin oleh Lars di barisan depan, begitu mereka menyadari tatapan kami, semuanya serentak memberi hormat. 

“Yang Mulia Pangeran Arnold. Saat melepas kami pergi, mohon tegakkan dada. Hal itu akan memengaruhi semangat pasukan kami.”

“Jangan memaksakan hal yang tak masuk akal...”

“Apakah kami tidak layak dipercaya?” 

Yang akan mengawal adalah tiga ratus prajurit elit Narberitter. Anggota lainnya tetap di ibu kota untuk melaksanakan pengendalian informasi.

Dengan kata lain, Leo harus menaklukkan istana dengan tiga ratus orang itu. Wajar saja jika aku merasa cemas meski mereka kuat. 

“Kalau aku tak percaya, tak mungkin aku mempercayakan adikku pada kalian.”

“Kalau begitu, mohon tegakkan dada Anda. Kami ingin melihat keyakinan dari Anda. Tunjukkanlah kepercayaan Anda kepada kami.” 

Karena dikatakan begitu, aku tak punya pilihan selain mengangkat kepala dan menegakkan dada.

Lalu aku berkata singkat kepada ketiga ratus pasukan itu. 

“Aku percayakan pada kalian.” 

Sebagai jawaban, mereka membalas dengan hormat yang serempak. Kemudian Lars memimpin pasukannya ke posisi masing-masing. 

Sepertinya sudah saatnya berangkat. Saat aku berpikir begitu, Lynfia mendekat. 

“Saya akan berangkat sekarang, Yang Mulia Arnold.”

“Ya, kuandalkan kamu. Tapi, Lynfia, tentang cara memanggilku itu, tak bisakah diubah sedikit?”

“Apakah Anda tidak menyukainya?”

“Aku merasa seperti kamu menjaga jarak.”

“Begitukah... Kalau begitu, setelah kembali nanti, akan kuubah cara memanggilnya.”

“Begitu ya. Aku menantikannya.” 

Sambil berkata “harap nantikan ya,” Lynfia menunduk hormat dan mundur. Dia menuju ke kereta tempat Fine akan menaiki. Lynfia akan mendampingi Fine sebagai pengawal terdekat dan memberikan berbagai dukungan. 

Sesaat, pandangan mata kami bertemu dengan Fine. Dengan senyum lebar, Fine melambai ke arahku. 

“Benar-benar santai, ya.”

“Itu lebih baik daripada tegang, bukan?”

“Benar juga.” 

Setelah obrolan singkat itu, Sebas membungkuk lalu pergi.

Yang tersisa hanyalah aku dan Leo. 

“Sungguh bisa diandalkan, ya.”

“Begitu menurutmu?”

“Ini semua adalah kekuatan yang Kakak kumpulkan dengan sepenuh hati. Tak ada yang lebih bisa diandalkan dari itu.” 

Sambil berkata begitu, Leo mengangkat tangan kanannya dan mengepalkan tinju ke arahku.

Melihat itu, aku pun mengangkat tangan dan mengepalkan tinjuku. 

Bunyi ‘tok’ terdengar saat tinju kami bertemu. Dengan ekspresi penuh semangat, Leo berkata, “Aku akan menghentikan perang ini.”

“Ya, kuserahkan padamu.” 

Setelah pertukaran kata itu, Leo naik ke dalam kereta.

Begitulah, rombongan utusan pun berangkat. Aku menaiki tembok kota dan mengantar mereka dengan pandangan sampai mereka tak terlihat lagi dari kejauhan. 

“Mereka sudah pergi, ya.”

“Ya, mereka sudah berangkat.” 

Jurgen, yang juga ikut mengantar, bergumam pelan.

Lalu aku membalikkan tubuhku. 

“Mau ke mana?”

“Ada sedikit yang harus kulakukan, jadi aku akan meninggalkan ibu kota untuk sementara. Kalau ada yang bertanya tentangku, tolong alihkan saja.”

“Itu tak masalah, tapi... Apakah untuk mengawasi Yang Mulia Gordon dan sang penasihat yang jadi rumor itu?”

“Pandanganmu tajam seperti biasanya.”

“Sebegitu jelasnya kok. Tapi, mohon jangan memaksakan diri, ya? Kalau sampai terjadi sesuatu pada Anda, saya tak akan bisa bertemu dengan Yang Mulia Lizelotte dengan tenang.”

“Itu peringatan yang cukup serius. Baiklah, aku akan berhati-hati. Aku hanya akan mengamati dari jauh.”

“Kalau begitu tak apa. Tapi bagaimana dengan pengawalnya?”

“Sudah kusiapkan.” 

Mendengar jawabanku, Jurgen mengangguk beberapa kali, lalu tersenyum dan berkata, “Selamat jalan.” 

Dengan ini, seharusnya tak masalah jika aku meninggalkan ibu kota untuk sementara waktu.

Kali ini Sebas tak bisa menemani, jadi aku meminta Jurgen untuk menggantikan perannya.

Lagipula, orang sepertiku yang mendadak menghilang sudah sering terjadi. Tak akan ada yang merasa aneh. 

“Mulai dari sekarang, jangan berpikir bisa melakukan sesukamu, Gordon.” 

Aku bergumam kecil dan mulai mempercepat langkahku. Sekarang setelah aku meninggalkan ibu kota, semuanya jadi lebih mudah.

Mulai sekarang adalah waktunya bergerak di balik bayangan.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close