NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V4 Chapter 1

Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


 Chapter 1: Perubahan Situasi


Bagian 1

Masalah yang terjadi di wilayah selatan telah diselesaikan. Karena situasinya berkembang jauh lebih besar dari yang dibayangkan, Leo dipanggil kembali ke ibu kota kekaisaran. 

Kakak dan Jurgen juga dipanggil ke ibu kota, baik untuk mendengar penjelasan mengenai peristiwa tersebut maupun sebagai bentuk penghargaan atas gerakan cepat mereka. 

Aku pun ikut bergabung begitu saja dalam rombongan Leo dan yang lainnya... 

“Ini benar-benar merepotkan...” 

Aku bergumam demikian ketika melihat rombongan kami terhenti di depan gerbang utama ibu kota kekaisaran. 

Para kesatria yang bertugas mengawal Leo, serta para kesatria utama yang bertarung bersamanya, semuanya juga dipanggil ke ibu kota, dan mereka memasuki kota dipimpin langsung oleh Leo. Yang menyambut mereka di sana adalah sambutan yang begitu meriah. 

“Pangeran Leonard...!!!!” 

Sang pahlawan telah kembali!!” 

“Yang Mulia Leonard!!” 

Tolong lihat ke siniiii!!” 

Semua orang tahu bahwa asap ungu telah membumbung tinggi di wilayah selatan. Terakhir kali asap itu muncul, kabar kematian putra mahkota yang dibawa. Maka semua orang pun bersiap menghadapi kabar buruk serupa kali ini. Namun yang datang hanyalah berita duka bahwa kota Bassau terkena dampak, terbilang kecil untuk ukuran peristiwa berskala nasional. 

Bersamaan dengan itu, juga tersiar kabar gembira bahwa sang pangeran memimpin para kesatria melawan gelombang monster dan iblis kuat yang muncul. 

Karena sebelumnya telah bersiap menghadapi kesedihan, kegembiraan rakyat kini pun terasa berkali lipat. 

Sorakan pun terus menerus menggema layaknya perayaan saat rombongan Leo menuju istana. 

“Itu Putri Lizelotte!” 

“Yang Mulia Marsekal!” 

“Hidup Sang Putri Jenderal!” 

Setelah rombongan Leo berlalu, giliran kakakku yang memimpin pasukan kavaleri melewati jalan tersebut. Meski posisi terdepan diberikan kepada Leo karena dialah tokoh utama kali ini, sambutan yang dia terima tak kalah meriah. Dari segi prestasi militer, dia unggul di antara keluarga kerajaan, dan sebagai putri cantik yang menjaga perbatasan negeri, penampilannya kembali setelah sekian lama jelas membuat rakyat amat bergembira. 

Aku sendiri berjalan di belakang bersama Jurgen. Orang pertama yang disoraki adalah Jurgen. 

“Itu dia, Duke Reinfeld!” 

“Katanya dialah yang membuka jalan bagi Putri Lizelotte!” 

“Kudengar berkat usaha sang Duke, Marsekal jadi bisa sampai ke selatan secepat itu!” 

“Dukeeee!!!” 

Sorak sorai cukup meriah. Penduduk ibu kota ternyata cukup cepat mendapat informasi. 

Dan tentu saja, setelah itu sasaran pun beralih kepadaku. 

“Itu dia... Si pangeran yang tak berguna.” 

“Katanya dia pergi menolong adiknya, tapi kelelahan dan mundur di tengah jalan.” 

“Bukankah dia malah jadi beban?” 

“Tak bisa dipercaya dia adalah saudara kembar Pangeran Leonard.” 

“Kenapa dia bisa berjalan dengan bangga begitu? Malu dong sedikit!” 

“Iya betul! Minggir kamu!” 

“Pangeran memalukan!” 

Dari berbagai arah terdengar cemoohan. Ucapan hinaan dan cercaan itu tak pernah berhenti. 

Mulut-mulut yang tadi bersorak memuji Leo kini dengan ringan melontarkan celaan padaku. Aku paham, begitulah rakyat adanya. Karena itu, aku sengaja menegakkan dada. Jika aku menundukkan kepala di sini, suara mereka hanya akan semakin keras. Rakyat tidak akan mengakui pangeran yang terlihat lemah. Dan kenyataannya, bila amarah mereka tak diarahkan dan dilampiaskan sedikit, yang akan kesulitan pada akhirnya adalah mereka sendiri. 

Bahkan sekarang pun, ucapan mereka sudah sangat tidak sopan. Tapi hanya terhadapku sajalah batas kesopanan itu menjadi berbeda. Selama tidak ada yang melempar sesuatu, mereka mungkin tidak akan ditangkap. Namun, kalau sampai ada yang melempar, maka pasukan penjaga ibu kota yang berpatroli tak akan punya pilihan selain bertindak. 

Akan sangat disayangkan jika mereka ditangkap hanya karena melempar sesuatu padaku. 

Karena mereka hanyalah rakyat yang meluapkan keluh kesahnya yang wajar sebagai warga negara. 

“Yang Mulia... Bila Anda menghendaki, saya bisa membuat mereka diam.” 

Jurgen menanyakan itu dengan nada penuh perhatian. Kata-katanya “bila Anda menghendaki” benar-benar khas dirinya. 

Aku menggeleng pelan. Melihat itu, Jurgen hanya tersenyum kecil dan kembali memandang ke depan. 

“Tak perlu khawatir. Saya, Jurgen von Reinfeld, dan para kesatria saya, sangat memahami kebaikan dan keteguhan Anda. Teruslah berjalan dengan kepala tegak. Anda layak mendapatkannya.” 

“Pujianmu berlebihan.” 

“Di dunia ini, tidak melakukan apa-apa adalah pilihan yang paling mudah. Memang benar Anda tidak pergi menolong Pangeran Leonard. Tapi Anda memilih untuk berhenti. Saya percaya, itu adalah keputusan yang berani. Setidaknya saya dan para kesatria merasa diselamatkan oleh keputusan itu. Bahkan Kaisar pun tidak dapat mengingkari kenyataan tersebut.” 

“Berhenti sebagai bentuk keberanian... Kamu memang selalu punya pandangan yang berbeda, Duke.” 

“Begitukah? Tapi menurut saya, itu adalah hal yang wajar saja.” 

Jurgen berkata demikian sambil tersenyum. Selama kami berbincang seperti ini, suara rakyat pun tidak lagi terdengar. Sambil merasa berterima kasih atas perhatian Jurgen, aku melanjutkan langkah menuju istana.


* * *


“Selamat datang kembali! Anak-anakku! Para bawahanku! Betapa bahagianya aku bisa bertemu kalian semua dalam keadaan selamat!” 

Dengan kata-kata itu, kami disambut oleh Ayah. Semua orang berlutut dan menundukkan kepala di hadapan Ayah yang duduk di atas takhta. 

Meskipun sebelumnya tumbang karena kelelahan, Ayah tampaknya sudah pulih sepenuhnya. Dia tampil seperti biasa, menunjukkan wibawa sebagai seorang kaisar. 

“Aku telah mendengar tentang perjuangan kalian dari para petualang yang kembali lebih dahulu. Kalian yang telah mengatasi krisis besar bagi negara ini benar-benar pahlawan! Malam ini, walau sederhana, telah kusiapkan perjamuan. Nikmatilah dan pulihkanlah tubuh kalian dari kelelahan pertempuran.” 

Setelah berkata demikian, Ayah berdeham sekali, lalu mengarahkan pandangannya pada Kanselir Franz. 

Franz yang memahami isyarat itu, mengangguk kecil lalu mulai berbicara. 

“Atas penanganan kalian terhadap insiden di wilayah selatan, semua yang terlibat akan menerima penghargaan. Di antara mereka, mereka yang menunjukkan jasa luar biasa akan menerima penghargaan langsung dari Yang Mulia Kaisar. Yang namanya disebut, silakan maju ke depan.” 

Begitu dia mengucapkan itu, para pelayan wanita yang membawa barang-barang penghargaan pun mendekat ke sisi Ayah. 

Setelah memastikan semuanya siap, Franz memanggil nama dengan suara lantang. 

“Pertama, penghargaan utama! Yang Mulia Pangeran Kedelapan, Leonard Lakes Ardler! Maju!” 

“Baik!” 

Leo menjawab dengan tegas dan melangkah maju ke hadapan Ayah, lalu kembali berlutut. Ayah menerima sebuah pedang dari salah satu pelayan wanita. Sebuah pedang panjang dengan sarung berhias motif elang emas. 

Itu adalah pedang upacara. Biasanya digunakan saat mengangkat seseorang ke jabatan militer penting. 

“Pangeran Kedelapan Leonard, dalam menghadapi krisis di selatan, bertindak tepat dengan menyalakan sinyal asap, memimpin banyak kesatria, dan mencegah situasi memburuk. Setelah itu, demi menyelesaikan masalah hingga ke akar-akarnya, dia sendiri maju ke garis depan dan menumbangkan iblis. Atas jasanya itu, dia diangkat sebagai Jenderal Kehormatan Pasukan Pertahanan Ibu Kota, dan diberi izin untuk menghadiri Dewan Menteri.” 

“Dengan rasa hormat, saya terima.” 

Leo menerima pedang tersebut dengan sikap penuh hormat. Di antara para hadirin, terdengar gumaman penuh kekagetan. 

“Jenderal Kehormatan dan juga diizinkan masuk ke Dewan Menteri...!?” 

“Apakah ini tidak terlalu berlebihan...?” 

“Sebegitu besarnya jasa kali ini, rupanya...” 

“Ini benar-benar mengubah keadaan...” 

Meskipun hanya gelar kehormatan, seorang jenderal tetaplah seorang jenderal. Di antara para kandidat penerus takhta, Leo kini memiliki posisi militer tertinggi setelah Gordon. Terlebih lagi, ini adalah Pasukan Pertahanan Ibu Kota. Meski jabatan itu hanya simbolis, karena pasukan tersebut dulunya dipimpin oleh Jenderal Dominik yang memiliki pengaruh besar, Leo akan mampu menggerakkan kekuatan militer yang signifikan bila dibutuhkan. 

Ditambah lagi, dia kini mendapat izin untuk menghadiri Dewan Menteri, sebuah hak yang sebelumnya hanya dimiliki oleh Eric. Dengan begitu, dia kini bisa menyampaikan pendapatnya langsung kepada Ayah tanpa perantara menteri, dan bersama dengan Count Belz, Menteri Pekerjaan Umum, dia kini memiliki dua suara. Artinya, dia telah memperoleh kekuatan dan pengaruh yang nyata dalam urusan pemerintahan. 

Hal ini juga berarti peta kekuatan dalam perebutan takhta telah berubah. Berkat peristiwa kali ini, Leo tidak lagi hanya kandidat baru di posisi keempat, melainkan pesaing kuat yang bahkan dapat mengancam posisi Eric. 

“Berikutnya, penghargaan kedua! Marsekal Lizelotte Lakes Adler! Maju!” 

“Ya!” 

Kali ini, Kakak Lize melangkah maju. Kepadanya, Ayah menyerahkan sebuah tongkat. 

“Marsekal Lizelotte dengan cepat menanggapi sinyal asap Leonard, dan memimpin pasukan elit dari perbatasan timur untuk segera menuju lokasi. Bersama Leonard, dia kemudian memimpin serangan dari garis depan dan membuka jalan. Atas jasanya, aku menyetujui penambahan pasukan serta perluasan anggaran untuk pasukan perbatasan timur.” 

“Dengan rasa hormat, saya terima.” 

Ayah benar-benar mengerti, dia tahu bahwa kakakku tak akan senang hanya dengan sebuah medali. Kakakku tampak cukup puas menerima tongkat tersebut. 

“Terakhir, penghargaan ketiga! Duke Jurgen von Reinfeld! Maju!” 

“Baik!” 

Yang terakhir dipanggil adalah Jurgen. Untuknya, Ayah telah menyiapkan sebuah permata besar. 

“Duke Jurgen membantu pergerakan pasukan Lizelotte dengan memimpin para kesatrianya membersihkan jalur dari monster, serta merintis jalan yang efektif untuk keadaan darurat berkat pandangan jauhnya. Atas jasanya, permata ini dianugerahkan, dan aku menyetujui perluasan wilayah kekuasaannya.”

“Dengan rasa hormat, saya terima.” 

Jurgen menerima permata dalam kotak, lalu kembali ke tempatnya. 

Dengan ini, penghargaan khusus telah selesai diberikan. Setelah itu, Ayah mengucapkan sambutan penutup secara formal lalu meninggalkan tempat. 

Segera setelah itu, terdengar bisik-bisik dari para menteri dan bangsawan berpengaruh yang hadir. 

“Mungkin kita sebaiknya mulai mendekati Pangeran Leonard...” 

“Namun, apa gunanya sekarang jika kita baru mencoba mendekat...” 

“Yang terpenting adalah sikap. Sikap. Kita harus menunjukkan wajah ramah kepada semua kandidat takhta. Dalam keadaan sekarang, siapa yang akan menjadi kaisar berikutnya benar-benar tak bisa diprediksi...” 

“Namun, sekalipun Pangeran Leonard hebat, faksi Pangeran Eric memiliki banyak orang berbakat. Sedangkan di pihak Pangeran Leonard, sampai-sampai mereka harus menggunakan pangeran tak berguna itu. Perbedaan kualitas sumber daya manusia sangat mencolok...” 

“Memang, pangeran itu selalu menimbulkan masalah... Kudengar kali ini pun dia tidak menunjukkan hasil yang berarti. Mungkin kelak justru akan menjadi beban bagi Pangeran Leonard...” 

“Namun, coba pikir dari sisi lain. Jika mereka sampai harus menggunakan pangeran tak berguna itu, berarti mereka kekurangan tenaga. Ini bisa jadi kesempatan baik...” 

Sepertinya mereka mulai mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Sandiwara sebagai orang tak berguna yang kulakukan tampaknya membuahkan hasil. 

Jika mereka berpikir bahwa pihak Leo bahkan terpaksa memakai orang sepertiku, mereka akan menyimpulkan bahwa Leo sedang kekurangan sumber daya. Maka, akan ada orang-orang yang memutuskan untuk bergabung dengannya sebagai sekutu. Seorang pemimpin yang bahkan menggunakan saudara kandungnya yang dianggap tak berguna. Mereka yang percaya diri pada kemampuannya, namun belum mendapatkan posisi layak, pasti akan mulai berkumpul di sisi Leo. 

Oleh karena itu, aku harus tetap menjadi orang yang tidak berguna. 

Menyadari hal itu kembali, aku pun meninggalkan tempat tersebut.

 

Bagian 2

Istana Kekaisaran begitu luas. Bahkan bagi anggota keluarga kekaisaran yang tinggal di dalamnya, menjelajahi seluruh sudut istana ini bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi, setiap kaisar di zamannya telah membangun ruang-ruang rahasia dan lorong tersembunyi, sehingga bahkan kaisar yang kini memerintah pun tidak mengetahui seluruh seluk-beluk istana ini. Di lantai tengah istana yang demikian rumit, seorang gadis kecil tersesat. 

“Hmm... Aku tersesat!” 

Ucap gadis itu dengan suara yang tidak terdengar terlalu khawatir, meskipun ekspresinya tampak sedikit bingung. 

Bagian atas istana adalah area untuk kaisar, sedangkan lantai tengah merupakan wilayah keluarga kekaisaran dan para penasihat tinggi. Laporan-laporan yang tidak penting untuk disampaikan langsung kepada kaisar diselesaikan di sini. Kamar Al dan Leo juga berada di area ini. Maka, sangatlah berbahaya bagi seorang gadis dengan status yang tidak jelas tersesat di tempat ini. Jika tertangkap, dia akan ditahan sampai identitasnya dipastikan. 

Namun, gadis itu tampak santai. Usianya tampaknya baru di awal belasan tahun, mungkin sebelas atau dua belas. Rambut pirangnya yang kusam diikat ke samping membentuk ekor kuda. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang kayu, siapa pun yang bekerja di istana akan langsung tahu bahwa dia adalah seorang calon kesatria atau seseorang dalam posisi serupa. Tapi, kebanyakan calon kesatria takkan masuk sejauh ini. 

“Wah, ini gawat... Gawat banget... Gimana kalau makananku dimakan orang...” 

Dengan gumaman yang bisa membuat Al memutar mata dan berkata, “Yang kamu pikirkan cuma makanan?”, gadis itu menengadah dan kembali berjalan. 

Dia melangkah dengan harapan tak berdasar bahwa cepat atau lambat dia akan menemukan tempat yang dikenalnya. 

“Mungkin naik tangga tadi itu kesalahan, ya... Seingatku, pelatih pernah bilang jangan naik, atau belum bilang ya...” 

“Hei! Anak itu!” 

Terdengar suara yang memanggil, dan gadis itu langsung menegakkan punggung. Lalu dengan gerakan seperti boneka rusak, dia perlahan menoleh ke belakang. 

Di sana berdiri dua penjaga bersenjata tombak. Keduanya menatap gadis itu dengan curiga. 

“Siapa kamu? Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?” 

“Mungkin anak dari pelatihan kesatria? Pasti dia melanggar aturan dan naik ke atas. Anak seperti itu tak akan jadi kesatria.” 

“Uhh, eh... Jadi begini...” 

“Kamu gagal. Ayo, ikut kami! Kami akan menyerahkanmu ke pelatihmu.” 

Salah satu penjaga mengulurkan tangan untuk menangkap gadis itu. Namun, sebelum tangan itu menyentuhnya, seorang pria berambut hitam menyela dan memanggil sang gadis. 

“Ah, di sini rupanya. Tak boleh, dong, kamu pergi menjauh dariku.” 

“P-Pangeran Leonard!?” 

“Maafkan aku. Aku yang memanggil anak ini. Karena dia terlihat tak sibuk, aku berpikir untuk memintanya membantuku mengangkat barang. Kalian ingin ikut membantu juga?” 

“T-Tidak, Yang Mulia! Kami masih memiliki tugas!” 

“Kami sungguh-sungguh minta maaf karena tidak tahu anak ini adalah perintah Anda! Kami akan kembali ke tugas kami sekarang!” 

“Begitu, ya. Kalau begitu, kutitipkan padamu.” 

Leo melambaikan tangan kepada para penjaga sambil tersenyum. Setelah memastikan bahwa tak ada seorang pun di sekitar, dia menarik napas ringan dan berkata, 

“Nyaris saja.” 

“...K-Kamu...” 

“Apa?” 

“Kamu ganteng banget! Kakak! Guru bilang orang seperti kakak ini yang disebut ganteng! Makasih udah nolongin aku!” 

Sambil berkata demikian, gadis itu memperlihatkan senyum cerah. Sikapnya yang terlalu akrab membuat Leo melotot sejenak, namun tak lama kemudian dia tersenyum kecil dan memberi isyarat agar gadis itu mendekat. 

“Kamu penuh semangat ya. Apa kamu ikut pelatihan kesatria?” 

“Iya!” 

“Wah. Kalau begitu, nanti aku akan mengantarmu kembali. Dengan begitu, pelatihmu mungkin tidak akan marah. Tapi, sebagai gantinya, kamu harus membantuku, ya?” 

“Ooh! Ini yang namanya tawar-menawar, ya! Baiklah! Aku terima!” 

“Kesepakatan berhasil. Namaku Leonard. Orang-orang yang akrab denganku memanggilku Leo. Namamu siapa?” 

“Aku Rita...”

“Jadi kamu Rita, ya.” 

“Bagaimana kamu tahu!?” 

“Haha, kamu anak yang lucu, ya.” 

Dengan berkata begitu, Leo pun membawa Rita bersamanya menuju ruangannya.


* * *


“Dengarkan baik-baik, Rita. Ini adalah tugas penting. Aku mempercayakan ini padamu, ya?” 

“U-Uh, iya! Aku akan berusaha keras!” 

Dengan berkata demikian, Leo meletakkan setumpuk besar kue di atas meja di hadapan Rita. Semuanya adalah hadiah dari para wanita bangsawan dan wanita kota bawah istana. Meski semuanya telah melalui uji racun, jumlahnya tetap luar biasa banyak. 

Sejak kembali dari wilayah selatan Kekaisaran, popularitas Leo melonjak drastis, terutama di kalangan wanita. Kabar bahwa dia melakukan segala hal untuk para pengungsi dari wilayah kerajaan lain, serta cerita tentang bagaimana dia memimpin barisan dalam menghadapi krisis di selatan, telah sampai ke ibu kota kekaisaran. Terlebih, kisah tentang pengibaran bendera putih demi menyelamatkan para korban luka menjadi cerita paling populer di ibu kota akhir-akhir ini. 

Leo sebenarnya ingin menjelaskan bahwa itu semua adalah perbuatan kakaknya, tapi tentu saja dia tidak bisa mengatakan hal semacam itu secara terang-terangan. Maka, dia pun menerima dan memakan kue-kue yang dikirimkan setiap hari. 

Namun, bahkan bagi Leo, semuanya sudah mulai terasa berat. 

“A-Aku boleh makan semuanya!?” 

“Tentu saja. Karena tugasmu adalah memakan semuanya.” 

“Oke! Rita akan berjuang!” 

Dengan mata berbinar, Rita mulai membuka bungkus kue-kue itu. Saat melihat kue-kue yang belum pernah dia lihat sebelumnya, senyum cerah terpancar dari wajahnya. Melihat itu, Leo merasa sedikit bersalah. Dia membujuk gadis kecil ini agar melakukan hal yang tidak sanggup dia lakukan sendiri. Rasanya seperti tindakannya sangat tidak jantan. 

Namun, Leo sendiri benar-benar tak mampu lagi menghabiskannya, dan mustahil Al mau memakannya. Jika makanan itu akan berakhir di tempat sampah, lebih baik diberikan kepada seseorang yang bisa menikmatinya. 

Meyakinkan dirinya sendiri akan hal itu, Leo menyiapkan secangkir teh untuk Rita. 

“Enak banget! Ini enak banget!” 

“Begitu, ya. Syukurlah. Ini tehnya. Hati-hati, masih panas.” 

“Makasih! Kakak Leo!” 

“Kakak Leo?” 

“Iya! Kakak Leonard. Jadi disingkat jadi Kakak Leo! Gak boleh ya?” 

“Boleh saja. Panggil aku sesukamu. Aku akan menyusun dokumen dulu, dan kalau sudah selesai, kita pergi ke tempat pelatih, ya?” 

“Siap!” 

Melihat semangat Rita yang begitu cerah, senyum pun secara alami muncul di wajah Leo. Sifat ceria dan blak-blakan Rita terasa sangat menyegarkan bagi Leo. Di dalam istana, hampir semua orang bersikap penuh kehati-hatian padanya. Bahkan senyum mereka pun terasa palsu, dan Leo sering merasa sesak di tengah suasana seperti itu. Hal itu semakin menjadi sejak ia memperoleh prestasi besar di selatan. 

Di tengah suasana seperti itu, sikap polos dan cerah Rita bagaikan angin segar yang menenangkan hati Leo. 

“Hei, Kakak Leo. Kakak itu orang penting ya?” 

“Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?” 

“Soalnya tadi orang itu memanggilmu pakai ‘Yang Mulia’. Katanya, orang yang dipanggil begitu itu orang penting. Guruku yang bilang.” 

“Yah, yang penting itu ayahku. Jadi orang-orang memanggilku seperti itu karena ayahku penting. Bukan karena aku. Ngomong-ngomong, guru yang kamu maksud itu pelatihmu?” 

“Bukan. Yang ngajarin Rita ilmu pedang itu kakak petualang. Umurnya gak jauh beda sama Kakak Leo, sih. Tapi Kakak Leo jauh lebih keren! Soalnya guru itu sering dirundung anak-anak di dojo, terus sering ditolak cewek, habis itu nangis.” 

“Kelihatannya orang yang menyenangkan, ya. Kamu kelihatan sayang padanya. Aku jadi ingin bertemu dengannya.” 

“Iya! Rita sayang banget sama guru! Bisa latihan di istana juga karena dia yang minta bantuin! Makanya Rita mau jadi kesatria atau petualang yang hebat!” 

Rita pun menggigit pai berisi buah dengan lahap. Melihat cara makannya yang jauh dari sopan, Leo hanya bisa tertawa kecil. Tapi melihat senyum cerah itu, Leo yakin orang yang membuat kue ini pun takkan merasa sia-sia. 

Beberapa saat kemudian, setelah selesai dengan sebagian besar dokumen, Leo berdiri. Di atas meja, sebagian besar kue sudah habis. Tapi Rita juga sudah mencapai batasnya, tampak terkulai dengan perut kenyang. 

Namun, Rita perlahan bangkit dan mulai meraih sisa kue yang masih ada. 

“Tidak usah dipaksakan, ya?” 

“T-Tidak bisa... Rita itu cewek yang menepati janji... Harus dihabiskan...”

“Hehe, kamu hebat. Kalau begitu, yang sudah kamu pegang, silakan dimakan. Sisanya akan aku selesaikan.” 

“O-Oke... G-Gampang banget tugasnya...” 

Dengan kata-kata seperti itu, Rita pun memasukkan cokelat terakhir ke dalam mulutnya. 

Sementara itu, Leo menghabiskan sisa kue yang tersisa. Namun, dia tidak menyuruh Rita untuk cepat-cepat. Dia hanya memandangi Rita yang meskipun perlahan, tetap memakan semuanya dengan sepenuh hati. 

“A-Akhirnya habis semua!” 

“Hebat sekali.” 

“Ehehe!” 

Leo mengusap kepala Rita. Dengan senyum penuh kemenangan, Rita menerimanya dengan senang hati. Setelah itu, Leo pun mengantarkan Rita kembali ke tempat pelatih. 

“Heii, Kakak Leo! Boleh aku datang lagi?” 

“Tentu saja. Datanglah kapan pun kamu mau.” 

“Oke! Aku pasti datang lagi!” 

Setelah berpisah dari Rita, Leo memperingatkan pelatih agar tidak memarahinya, dan memberi tahu para penjaga untuk membiarkannya masuk jika melihatnya lagi. Saat kembali ke kamarnya dan membereskan sampah bungkus kue yang berserakan, Leo berpikir bahwa mungkin, Rita bisa menjadi teman baik bagi Christa.

 

Bagian 3

“Anaknya seceria itu, ya? Aku jadi ingin bertemu dengannya.” 

“Ya, kurasa Ibu juga akan menyukainya.” 

Sambil berkata demikian, Leo menyesap teh hitamnya. Keesokan harinya, dia mengunjungi Mitsuba sebagai bagian dari kunjungan salam sepulangnya. Meski belakangan anaknya sangat sibuk, Mitsuba tidak pernah mengatakan hal-hal khusus kepadanya. Dia tahu, anak seperti Leo justru akan bekerja lebih keras jika dikatakan untuk bekerja keras, dan tetap akan bekerja keras meskipun disuruh untuk tidak melakukannya. 

Karena itulah Mitsuba tidak menyentuh topik tentang tugas-tugasnya, dan malah menanyakan hal-hal lain, hingga akhirnya pembicaraan beralih pada Rita. 

“Akan sangat baik kalau Rita bisa menjadi teman untuk Christa.” 

Dalam benak Leo, tak terlintas sama sekali kemungkinan ditolak. 

Biasanya, seseorang mungkin akan bertanya soal latar belakang keluarga, tetapi pembicaraan semacam itu tak berlaku untuk Mitsuba. Baginya, tidak peduli apa status seseorang, jika orang itu baik, maka layak dijadikan teman. Jika buruk, lebih baik dijauhi. Prinsip Mitsuba sangat konsisten. 

“Christa sepertinya memang tidak banyak punya teman, mungkin karena dia anak perempuan. Meski akhir-akhir ini sudah mulai berteman dengan beberapa anak sebayanya dan mulai sering tersenyum... Tetap saja, rasanya lebih tenang kalau dia punya satu teman dekat.” 

“Benar, aku juga berpikir begitu. Lain kali, kalau ada kesempatan, akan aku ajak dia ke sini.” 

“Astaga, kamu yang biasanya tidak pernah bilang begitu. Sepertinya kamu sangat menyukai anak itu, ya.” 

“Aku memang suka anak seperti dia. Christa itu pendiam, jadi kurasa dia akan cocok dengan Rita.” 

“Begitu? Jangan-jangan, beberapa tahun lagi kamu malah bilang mau menjadikannya istri?” 

Leo hanya tersenyum masam menanggapi kata-kata penuh godaan itu. Dia tentu saja tidak memandang Rita, yang masih anak-anak, dengan cara seperti itu. Namun, dalam hati dia berpikir bahwa jika harus memilih istri suatu saat nanti, dia lebih suka perempuan seperti Rita, yang polos dan tanpa kepalsuan. 

Namun, karena tidak tahu apa yang akan dikatakan Mitsuba jika dia benar-benar mengakuinya, Leo memilih menjawab dengan cara biasa. 

“Dalam situasi seperti ini, aku tak bisa memikirkan soal istri. Tapi kalau nanti keadaan sudah lebih tenang, dan Rita tumbuh menjadi perempuan yang luar biasa, mungkin aku akan mempertimbangkannya.” 

“Aduh, anak ini polos sekali. Kalau begitu bisa-bisa kamu diambil duluan sama Al, lho?” 

“Hahaha, memang benar, Kakak adalah orang yang selalu dikelilingi perempuan baik.” 

“Jangan cuma tertawa begitu, Leo. Dengar ya, perempuan yang baik tidak akan jatuh cinta pada pria yang terlalu sempurna. Justru yang sedikit gagal atau berantakan itu lebih menarik.” 

“Kalau begitu aman untukku. Aku punya banyak sekali kekurangan.” 

“Kalau menurut pandanganku, iya. Tapi dari sudut pandang para perempuan di luar sana, itu tidak berlaku. Cobalah lebih berani menunjukkan sisi burukmu. Setiap orang perlu sisi yang tajam juga.” 

“Akan kujadikan bahan renungan.” 

Ucap Leo sambil menghabiskan tehnya sebelum pembicaraan semakin panjang. 

Kalau dibiarkan, bisa-bisa pertemuan ini berubah jadi kuliah tentang cara menaklukkan wanita hebat. 

“Kalau begitu, aku pergi dulu.” 

“Sungguh... Jaga kesehatanmu, ya.” 

“Ya.”

Setelah berkata demikian, Leo pun meninggalkan ruangan Mitsuba.


* * *


Dalam perjalanan pulang, Leo mendadak memutuskan untuk menuju lapangan istana. 

Seperti namanya, Istana Pedang Kekaisaran berbentuk menyerupai pedang, dan bagian yang menyerupai pelindung tangan menonjol ke kiri dan kanan. Area itu merupakan lapangan, tempat latihan para calon kesatria dilakukan. 

Awalnya, pelatihan yang diadakan di dalam istana ini bukan untuk para siswa resmi calon kesatria. Para siswa resmi mendapatkan pelatihan di sekolah khusus. Mereka yang berlatih di sini adalah anak-anak dari kalangan kurang mampu yang tidak bisa menempuh pendidikan formal, tetapi dianggap memiliki bakat dan potensi. Program ini digagas oleh Putra Mahkota, yang percaya bahwa bahkan anak-anak dari kalangan miskin maupun pengungsi patut diberi kesempatan jika mereka memiliki kemampuan. Kegiatan ini diadakan setiap tahun. 

Meski sejauh ini belum ada yang diangkat menjadi kesatria pribadi kerajaan, beberapa di antaranya berhasil menjadi kesatria bangsawan daerah, menjadi petualang, atau bergabung dengan militer. Mereka membuka jalan mereka sendiri. 

Ketika Leo sampai di lapangan, pelatihan telah usai. Para peserta sudah tidak ada lagi, dan Leo merasa sedikit kecewa. 

“Ku-chan!!” 

Namun kekecewaan itu segera sirna begitu terdengar suara anak kecil yang ramai. Leo tak bisa menahan senyumnya. 

Namun, ketika menoleh ke arah suara itu, dia refleks bersembunyi di balik pilar. Alasannya adalah... 

“R-Rita... Suaramu terlalu keras...” 

Yang sedang didekati oleh Rita sambil melambaikan tangan itu adalah Christa. Seperti biasa, Christa memeluk boneka kelincinya dan berbicara dengan Rita dengan ekspresi agak gugup. 

Itu adalah pemandangan yang belum pernah Leo lihat sebelumnya, dan dia tak bisa menahan rasa haru. 

“Jadi... Mereka sudah jadi teman, ya... Aku terlalu ikut campur, rupanya.” 

Berkata demikian, Leo mencoba untuk diam-diam meninggalkan tempat itu. Namun, saat dia merasakan kehadiran seseorang, dia menoleh ke gerbang lapangan, dan di sanalah Fine berdiri, menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Leo langsung tahu bahwa situasi akan jadi rumit, tapi sebelum dia sempat memberikan penjelasan, Fine sudah mulai panik. 

“T-Tuan Al! P-Pangeran Leo menunjukkan minat aneh pada anak kecil! A-Apa yang harus saya lakukan!? Bagaimana caranya agar saya bisa menyelamatkannya tanpa menyakitinya!?” 

Leo hanya bisa menjatuhkan bahunya dalam pasrah. Dia tak bisa berkata bahwa dirinya sudah tersakiti cukup dalam. 

Saat dia bersiap untuk menerima ejekan dari kakaknya, tiba-tiba Al muncul dari balik pilar. 

“Kalian sedang bicara soal apa, sih?” 

“A-A-Apa yang harus saya lakukan, Tuan Al! Pangeran Leo memilih jalan hidup yang sama dengan Yang Mulia Traugott!” 

“Jalan hidup yang sama dengan Kakak Trau, ya... Tapi kelainan selera orang itu jauh di atas Leo. Dia belum jatuh sedalam itu, jadi tenang saja.” 

“Penjelasan macam apa itu! Itu tidak menghibur sama sekali! Tolong luruskan kesalahpahaman ini!” 

“Hahaha, aku tahu kok. Tenang saja.” 

Al tertawa sambil menggelengkan kepala. Saat mereka ribut seperti itu, Christa dan Rita mendekat. Rita langsung berteriak dengan suara lantang. 

“Apa!? Dua orang dengan wajah yang sama!?” 

“Anak ini tampaknya menyenangkan. Teman barunya Christa, ya?” 

“Karena wajahnya sama kayak Kakak Leo... Ini pasti penyamaran dari penyihir super kuat! Kembalikan wajah Kakak Leo!” 

Dengan itu, Rita menerjang ke arah Al. Namun Al, yang memiliki jangkauan lebih panjang, menahan kepalanya dengan satu tangan dan menekannya. 

“Ini curang! Licik banget!” 

“Semangatnya bagus, tapi anak ini kelihatan agak bodoh. Dengarkan baik-baik. Aku Arnold, kakak kembar Leo.” 

“Kembar...?” 

“Ya... bersama Kakak Al... Kami berdua kakaknya Christa...” 

Rita tampak mematung sejenak, mungkin mencoba memahami semuanya, lalu tiba-tiba menepukkan kedua tangannya. 

Lalu dia menunjuk ke arah Al dan berkata, 

“Kakak Al! Ciri khasnya rambut acak-acakan!” 

Kemudian dia menunjuk ke Leo dan berkata, 

“Kakak Leo! Ciri khasnya ganteng!” 

“Apa-apaan cara mengingatnya itu. Bukannya wajah kami sama?” 

“Cih cih cih! Jangan remehkan aku! Kakak Al! Kalau sudah selevel Rita, tahu mana yang benar-benar ganteng! Ya kan, Kakak Leo!” 

“Yang itu kakakku.” 

Saat Rita memeluk tempat di mana Leo berdiri sebelumnya, suara dari arah yang berbeda membuatnya menoleh terkejut. 

Di sana berdiri seorang pria dengan rambut dan pakaian yang rapi. Dan di sisi lain, berdiri pria lain dengan wajah yang sama, juga rapi. 

“U-U-Uwahhh! Kakak Leo menggandakan diri! M-Menakutkan! Kekuatan si kembar!” 

“Kakak Al... Jangan mengerjai Rita...” 

“Hahaha, maaf, maaf.” 

Al berkata sambil mengacak-acak rambutnya dan membuka beberapa kancing bajunya, kembali membuat penampilannya berantakan. 

Kemudian dia juga mengacak-acak rambut Rita sebelum berbalik. 

“Kalau begitu, aku pergi dulu. Kalian bertiga silakan bermain.” 

“Kakak mau pergi?” 

“Aku akan menyelesaikan pekerjaanmu. Akhir-akhir ini kamu belum istirahat, kan? Anggap saja ini waktu bersantai. Bermainlah dengan Christa dan anak itu. Christa pasti ingin menghabiskan waktu denganmu juga, kan?” 

“Iya...” 

“Rita juga mau main!” 

“Baiklah. Kumohon jaga adik-adikku.” 

“Eh... Kakak...” 

“Jangan bawa mereka ke kamarmu, ya.”

“Hei! Itu salah paham! Jangan bikin sugesti aneh gitu! Bukan begitu maksudnya!” 

Sambil melambaikan tangan ke arah Leo yang ribut di belakang, Al berjalan pergi sambil membawa Fine bersamanya. 

“Entah kenapa, Anda kelihatan sedang dalam suasana hati yang bagus.” 

“Begitukah? Ya, mungkin memang begitu. Sudah lama aku tak melihat Leo tampil alami seperti tadi. Biasanya dia selalu terlihat memikirkan sesuatu. Melihatnya bisa sedikit rileks seperti ini, rasanya sudah lama sekali. Harusnya kita berterima kasih pada Rita.” 

Al merapikan penampilannya, meluruskan punggungnya, dan menunjukkan semangat yang jarang terlihat. 

“Kalau begitu, saatnya bekerja menggantikan Leo.” 

“Luar biasa, cinta kakak adik yang patut dicontoh!” 

Sambil berbincang seperti itu, mereka berdua pun menaiki tangga. Sementara itu, Leo yang tinggal di lapangan benar-benar diombang-ambingkan oleh dua anak kecil sampai matahari tenggelam, sebuah kenyataan yang Al tak pernah ketahui. 

“Sial... Kakak benar-benar menjebakku...”

 

Bagian 4

“Baiklah, mari kita dengar detailnya.” 

Dengan kata-kata itu, Ayah membuka pembicaraan. Di samping takhta berdiri Ayah dan Kanselir Franz. Di hadapan mereka hanya ada aku dan Leo. Leo, yang diminta memberikan laporan sebagai inspektur keliling dalam rapat dewan menteri, justru meminta agar semua orang dikeluarkan dari ruangan. 

Sebenarnya aku tak seharusnya berada di sini, karena aku bukan anggota tetap dewan menteri. Namun Ayah sendiri yang memanggilku, dan setelah semua orang pergi, dia tetap membiarkanku tinggal. Dia mungkin juga ingin mendengar cerita tentang Kakak Lize dan Jurgen setelah ini. 

“Baik. Izinkan saya melaporkan. Singkatnya, di wilayah selatan, para pengungsi menjadi korban penculikan, dan tampaknya para bangsawan di selatan terlibat dalam penculikan tersebut.” 

“...Lanjutkan.” 

“Ya. Di ruang bawah tanah rumah bangsawan di kota Bassau, tempat kejadian berlangsung, ditemukan fasilitas untuk menahan perempuan dan anak-anak yang telah diculik. Keterangan ini sesuai dengan kesaksian anak-anak yang berhasil diselamatkan. Karena itu, setidaknya dapat dipastikan bahwa Count Sitterheim, penguasa wilayah Bassau, terlibat dalam kejadian ini.” 

Setelah celah menuju dunia iblis tertutup, rumah bangsawan beserta ruang bawah tanahnya muncul kembali di tempat semula. Bukan ditelan oleh lubang itu, melainkan tertindih oleh sesuatu dan kembali. Berkat itu, banyak hal bisa diselidiki. 

“Lalu, bagaimana dengan Count Sitterheim?” 

“Dia tewas. Menurut seorang kesatria yang mengenalnya, iblis yang dilawan Silver sangat mirip dengan Count Sitterheim. Karena iblis itu dipenggal, kemungkinan besar tubuhnya digunakan sebagai wadah setelah kematiannya.” 

Ayah memandang ke luar jendela tanpa berkata apa-apa. Mungkin beliau berharap tak perlu mendengar hal ini. Namun tetap harus didengarkan. Aku sendiri sudah mendengar sebagian dari Leo, tapi masalah ini jauh lebih rumit dari dugaan awal. 

“Yang Mulia Pangeran Leonard. Menurut informasi yang saya terima, anak-anak yang terlibat kehilangan kendali dan memanggil iblis. Di mana mereka sekarang?” 

“Saat ini, secara resmi mereka dinyatakan meninggal dan diam-diam dilindungi oleh pasukan perbatasan timur milik Kakak. Bersama mereka juga ada seorang petualang yang merupakan kakak dari anak utama dalam kejadian ini, dan orang yang awalnya melapor kepada kami mengenai situasi di selatan.” 

Benar. Lynfia sekarang berada di perbatasan timur. Dia tinggal di sana untuk merawat adiknya dan anak-anak lain yang terlibat. Dia pasti sangat mengkhawatirkan mereka, dan Leo pun tampaknya dengan senang hati mengizinkannya. Kabarnya, Lynfia berencana kembali, tapi belum tahu kapan. Keberadaan anak-anak itu sendiri membuat masalah ini makin rumit. 

“Kenapa memalsukan kematian mereka? Apa kamu pikir aku akan menghukum anak-anak itu?” 

Ayaa bertanya dengan nada sedikit geram. Panggilan iblis di selatan memang disebabkan oleh mereka. Mereka adalah korban, tapi juga pelaku. Maka kemungkinan Ayah menghukum mereka tetap ada. Namun alasannya bukan itu. 

“Bukan, alasan sebenarnya adalah karena kami menemukan dokumen yang mencurigakan.” 

Sambil berkata demikian, Leo menyerahkan selembar dokumen pada Franz. Dokumen itu ternoda darah merah kehitaman, kemungkinan darah dari seseorang yang dibunuh saat hendak memusnahkan dokumen tersebut. 

“Ini...!?”

Ayah membuka dokumen yang diserahkan oleh Franz dan mengeluarkan suara kaget. Setelah menunjukkannya kembali pada Franz, wajah Franz langsung terlihat masam. Isi dokumen itu menjelaskan metode pemanfaatan anak-anak. Seorang anak dengan kekuatan besar, dan anak-anak lain yang meskipun lemah, memiliki kemampuan memperkuat orang lain, bila mereka digabungkan bisa digunakan sebagai semacam senjata. 

Itulah isi dokumen itu. Artinya, ada seseorang yang merancang rencana untuk menciptakan insiden serupa di negara lain seperti yang terjadi di selatan Kekaisaran. 

Dan ada satu kata yang berulang kali muncul dalam dokumen tersebut. 

“Jadi... ‘Divisi militer’ yang memikirkan hal semacam ini...?”

“Jika dilihat dari isinya, jelas dokumen ini berasal dari permintaan militer. Pasukan perbatasan timur ada di bawah kendali Kakak, jadi aman. Tapi selain itu, kami tak bisa mempercayai siapa pun dari militer. Karena itu, kami memalsukan kematian anak-anak. Untuk mencegah mereka diburu dan dimanfaatkan sebagai senjata. Mohon maafkan keputusan ini.” 

“Keputusan yang tepat. Namun, jika melihat dari isi dokumen, ini tampaknya baru percobaan. Mereka hanya mengumpulkan anak-anak dengan kriteria tertentu berdasarkan permintaan, begitu saja.” 

“Namun itu pun sudah membuahkan hasil. Jika insiden serupa terjadi di negara lain, itu bisa menjadi alasan tepat untuk invasi. Bahkan iblis yang muncul pun bukan ancaman serius, karena Kekaisaran memiliki keluarga pahlawan.” 

Benar. Ini adalah rencana invasi. Tapi Ayah tidak berniat menyerang negara lain. Maka, tujuan dari rencana ini bukanlah untuk serangan langsung, melainkan sebagai persiapan jangka panjang. Jika dilihat dari sisi itu, banyak hal menjadi masuk akal. 

“Gordon, ya...”

“Saya tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Masih ada satu laporan lagi.” 

“Masih ada lagi...?”

“Sayangnya, ya. Saat bertempur di selatan, saya menyaksikan detik-detik terakhir salah satu kesatria keluarga Sitterheim. Menurut ceritanya, Count Sitterheim diperas. Namun, tak lama sebelum kami tiba, dia memutuskan melawan dan mencoba menyelamatkan anak-anak itu.” 

“Dengan kata lain, organisasi penculik memiliki kekuatan cukup besar untuk menekan seorang bangsawan pemilik wilayah.” 

“Benar. Ada kemungkinan kuat bahwa di belakang mereka berdiri bangsawan berpengaruh. Bisa jadi, sebagian besar bangsawan selatan turut terlibat.” 

Semakin digali, semakin kelam kebenaran yang terungkap. Dan orang-orang yang tenggelam dalam kegelapan itu harus dihukum. Namun jika jumlah mereka terlalu banyak, stabilitas Kekaisaran pun bisa runtuh. 

Meski tidak bisa dibiarkan, waktu untuk membongkarnya harus dipilih dengan sangat hati-hati. 

“Ini benar-benar masalah besar. Organisasi penculik anak yang mungkin didukung oleh bangsawan selatan, dan instansi militer yang memesan senjata manusia. Benar-benar kusut, entah harus mulai dari mana.” 

“Karena itu, saya rasa keputusan akhir sebaiknya datang dari Yang Mulia Kaisar.” 

“...”

Ayah terdiam beberapa saat, lalu mengalihkan pandangannya padaku. 

Perasaan tidak enak menyergap, dan aku segera menggeleng. Namun Ayah tetap bertanya padaku. 

“Menurutmu, apa yang sebaiknya dilakukan, Arnold?” 

“Kenapa saya yang ditanya...”

Dengan menghela napas, aku memutar otak. Apa pun jawabannya, tidak akan ada yang benar-benar tepat. Jika mulai dari militer, itu berarti menyentuh kubu Gordon. Jika mulai dari bangsawan selatan, maka akan berbenturan dengan kubu Zandra. 

Jawaban paling aman adalah semuanya sudah selesai setelah iblis dikalahkan. Itulah yang paling tepat. Tapi... 

“Yang Mulia tidak menginginkan jawaban yang aman, bukan?” 

“Tentu saja tidak.” 

“Haa...”

Setelah menarik napas dalam, aku menyampaikan satu kemungkinan penyelesaian. 

Apakah ini jawaban terbaik atau bukan, aku pun tak tahu. Namun, aku tidak bisa menghindar. 

“Saya rasa masalah militer sebaiknya ditunda. Memang, memesan senjata manusia dari organisasi kriminal adalah pelanggaran berat, dan saya pun ingin tahu untuk apa senjata itu akan digunakan. Namun masalah yang mendesak adalah para bangsawan selatan. Jika sebagian besar dari mereka memang terlibat dalam organisasi itu, maka bila diselidiki, ada kemungkinan terburuk berupa pemberontakan di selatan. Itu harus dihindari sebisa mungkin. Dan bila itu terjadi saat kita sedang bersitegang dengan militer, penanganan bisa terlambat.” 

“Memang benar. Yang Mulia, secara urutan itu pilihan terbaik.” 

“...Jadi, kamu sudah berhenti berpura-pura bodoh?” 

Aku menggelengkan kepala. Di hadapan orang lain, mungkin aku berpura-pura. Tapi tidak di depan Ayah. Aku hanya tidak pernah bicara karena tidak ditanya. Tapi kali ini, karena Leo terlibat, aku tidak bisa anggap ini bukan urusanku. 

“Saya tidak pernah berpura-pura bodoh di hadapan Ayahanda. Saya hanya tidak menjawab karena tidak pernah ditanya soal penting. Dan kali ini, karena Leo terlibat, saya tidak bisa berpaling.” 

“Itu memang seperti dirimu, Arnold. Jika militer dibiarkan, itu bisa membahayakan Kekaisaran. Tapi bangsawan selatan juga tidak bisa dibiarkan. Dan kita tidak punya cukup waktu untuk menangani militer sambil membiarkan masalah selatan. Kita harus mengikuti saranmu.” 

Ayah mengangguk seolah menerima dengan mantap. Franz pun menatapku dengan wajah kagum. 

“Leonard, teruskan penyelidikanmu di selatan. Apakah ada petunjuk?” 

“Menurut kesaksian seorang kesatria, Count Sitterheim telah menitipkan sepucuk surat kepada seseorang bernama Rebecca. Kami akan mulai dari mencari orang itu.” 

“Begitu. Jadi dia sempat meninggalkan surat, ya.” 

Jika sampai menitipkan surat, berarti dia telah menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan segalanya. 

Meskipun Ayah mungkin tidak bisa memaafkan perbuatan Count Sitterheim, tapi beliau pasti punya perasaan yang campur aduk. 

“Ngomong-ngomong, Arnold. Kita ganti topiknya, bagaimana perkembangan urusan pertunangan itu?” 

“Eh?” 

Aku tertegun karena topik tiba-tiba berubah, lalu mengatakan bahwa sedikit kemajuan telah terjadi. Namun Ayah justru menunjukkan wajah masam, dan ceramah pun dimulai. 

Sambil berharap semuanya cepat selesai, aku menghela napas kecil.

 

Bagian 5

“Begitu ya. Itu sungguh menyusahkan.” 

“Benar, kan? Aku rasa aku pantas dipuji hanya karena berhasil sedikit mendorong hubungan antara Kakak dan Sang Duke.” 

Sambil mengobrol seperti itu di kamar pribadiku, aku membaca laporan-laporan yang ada di atas meja. Ada banyak hal penting, pergerakan bangsawan netral belakangan ini, gerakan masing-masing faksi, dan lain-lain, namun yang paling penting kali ini bukanlah hal-hal itu. 

“Belum ada kabar soal Rebecca, kesatria dari keluarga Sitterheim?” 

“Sayangnya, kami kekurangan tenaga. Informasi sedang dikumpulkan, tapi jaringan kami hanya bisa melingkupi ibu kota. Begitu keluar dari ibu kota, kami tidak bisa menandingi jaringan faksi lain.” 

“Perbedaan kekuatan, ya...” 

Aku mengklik lidah pelan dan menghela napas. Sebagai faksi baru yang sedang berkembang, kami memang memiliki semangat, tapi ketebalan dan kedalaman kekuatan kami masih jauh dibanding faksi lain. Di dalam ibu kota mungkin kami bisa seimbang, tapi begitu keluar dari sana, perbedaannya langsung terlihat. 

Jumlah orang yang bisa dikirim untuk mengumpulkan informasi, dan jumlah pendukung di berbagai daerah, perbedaannya terlihat jelas. 

“Rebecca pasti menuju ke ibu kota. Itu tak salah. Kalau dia sudah masuk ke ibu kota, kami bisa mengaturnya dengan berbagai cara...” 

“Kalau dia bergerak dengan sangat hati-hati, mungkin masih butuh waktu. Musuhnya terlalu banyak, mulai dari organisasi kriminal, bangsawan selatan, dan faksi Putri Zandra yang memiliki hubungan dengan para bangsawan itu. Terlalu banyak yang harus diwaspadai.” 

“Bagi Zandra, keberadaan Rebecca adalah ancaman langsung terhadap hidup dan matinya. Terlebih dia membawa surat pengakuan. Kesatria yang menuju ibu kota pasti sudah diketahui, dan sekarang mereka pasti memburu habis-habisan.” 

“Organisasi kriminal, bangsawan selatan, dan Putri Zandra. Diburu oleh tiga faksi sekaligus... Apa Rebecca benar-benar bisa sampai ke ibu kota?" 

“Dalam kondisi normal, tidak akan mungkin. Tapi Zandra bukan satu-satunya yang punya hubungan dengan organisasi kriminal.” 

“Kelompok ekstremis dari militer, ya.” 

Aku mengangguk pada kata-kata Sebas. Militer telah terbukti memesan senjata manusia dari organisasi kriminal. Berdasarkan itu, mereka pasti punya akses informasi yang cukup banyak. 

Dan kelompok ekstremis dari militer, itu hampir pasti mengacu pada Gordon. Tidak mungkin dia tidak terlibat. Maka, Gordon kemungkinan juga akan bergerak untuk menjatuhkan Zandra. Kalau dua faksi saling bertarung, Rebecca mungkin punya peluang untuk lolos. Karena akan terjadi saling menjegal di antara mereka. 

“Yang terbaik adalah jika kita bisa melindunginya saat mereka saling bertarung...” 

“Tapi kalau kita tidak tahu dia ada di mana, tentu tidak bisa melindunginya.” 

Mungkin saat ini belum sampai pada tahap kritis. Soalnya, belum terlihat ada gerakan mencurigakan dari pihak Zandra atau Gordon. Kalau mereka mulai menggerakkan orang, kami pasti akan mengetahuinya. 

Untuk sekarang, kami hanya bisa terus mengawasi mereka sambil mencari Rebecca. 

“Aku akan keluar sebentar. Kalau ada kabar, beri tahu aku.” 

“Baik.” 

Setelah menjawab seperti itu, aku pun meninggalkan istana.


* * *


“Bu, ini harganya berapa?” 

“Yang itu? Dua koin merah tembaga kekaisaran, Nak.” 

“Dua koin merah tembaga? Bukannya terlalu mahal?” 

Aku menunjuk buah merah itu sambil bertanya begitu. Seingatku sebelumnya hanya satu koin. 

Mata uang Kekaisaran digunakan di seluruh wilayahnya, dan juga merupakan mata uang yang paling luas peredarannya di seluruh benua. Dimulai dari koin tembaga kekaisaran yang paling kecil, nilainya naik sepuluh kali lipat menjadi koin merah tembaga, kemudian perak, perak putih, emas, emas putih, hingga koin pelangi. Koin emas putih dan koin pelangi jarang beredar, karena biasanya hanya digunakan dalam transaksi besar para saudagar atau antarnegara. Pendapatan rata-rata bulanan rakyat biasa di ibu kota adalah sekitar tujuh atau delapan koin perak putih. Koin yang umum beredar di kalangan rakyat hanya sampai koin emas. 

“Maaf ya. Soalnya sekarang sedang banyak masalah di mana-mana, jadi distribusi barang agak terhambat.” 

“Begitu ya. Oke, aku mau dua.” 

“Baik. Jadi empat koin, ya.” 

Aku mengambil empat koin merah tembaga dari kantong yang tergantung di pinggangku, lalu menyerahkannya kepada ibu penjual itu. 

Kemudian aku menerima dua buah dan berjalan keliling kota sambil memakannya. 

Suasana memang ramai. Tapi harga-harga mulai naik. Ledakan populasi monster dan insiden besar di selatan tentu punya dampaknya. 

“Pasti gara-gara perebutan takhta...” 

Aku bergumam sambil menghela napas. 

Ucapan itu jelas tak pantas keluar dari mulut seseorang yang ikut terlibat langsung dalam perebutan tersebut. Lagipula, aku ini orang yang bisa hidup tanpa harus melakukan apa pun. Betapa konyolnya. 

Pendapatan rakyat rata-rata tujuh atau delapan koin perak putih, sedangkan para pangeran mendapat tunjangan minimal tiga koin emas. Itu lebih dari tiga bulan gaji rakyat biasa, dan diberikan bahkan tanpa melakukan apa pun. Kalau punya prestasi, jumlah itu akan bertambah. Kalau memegang jabatan, akan mendapat gaji tambahan. 

Koin emas yang kuberikan pada Lynfia setara dengan tunjanganku selama sepuluh tahun. Itu kira-kira setara tiga koin pelangi. Jumlah sebanyak itu akan habis dalam satu misi penyerbuan. Bila mempekerjakan petualang peringkat SS, biayanya pun sebanding. Lynfia berterima kasih padaku karena jumlah yang kuberikan sebesar itu. 

Silver termasuk petualang SS yang paling bersedia bekerja sama dengan guild. Aku sendiri sengaja mengambil misi langsung dari papan permintaan guild. Dengan begitu, aku tak perlu menerima biaya penunjukan. Aku melakukannya karena sebagai seorang pangeran, aku merasa tak pantas menerima bayaran tinggi. 

“Kalau tidak gratis, tetap saja namanya bukan ketulusan...”

Saat aku bergumam begitu, aku melihat seorang gadis tampak kesulitan di kios agak jauh di depan. Kulitnya seputih salju. Rambut ungu pucatnya dipotong rapi sebahu, dan matanya berwarna ungu kemerahan. Gadis itu sangat cantik, bahkan langka untuk ditemui. Tapi yang paling menonjol darinya adalah satu hal. 

Telinganya sedikit runcing. Itu adalah ciri khas setengah elf. Mungkin sebelumnya dia menyembunyikannya dengan tudung kepala. Tapi kini tudung itu terlepas, dan tampaknya dia tengah berselisih dengan pemilik kios. 

“Tadi kamu bilang cukup dua koin perak!” 

“Diam! Kalau kamu setengah elf, itu cerita lain! Kalau mau, bayar dua koin perak putih!” 

Sepertinya dia sedang membeli bahan makanan untuk beberapa waktu. Kantong yang dibawanya sudah terisi makanan. 

Tampaknya tudungnya terlepas saat hendak membayar. 

Kekaisaran memang negara yang menerima banyak ras campuran. Tapi bukan berarti tak ada diskriminasi. Malah ada yang bilang masih mending kalau mereka masih mau menjual barang. Di tempat lain, setengah elf bahkan tak bisa berbelanja. Begitu dibencinya mereka. Mereka bukan manusia, juga bukan elf. Kaum elf sangat tertutup dan pada dasarnya membenci manusia. Karena itu, mereka juga membenci keturunan campuran seperti setengah elf. 

Manusia juga memandang setengah elf yang lahir dari keadaan yang tidak ideal dengan jijik. Dan karena mereka lebih dekat dengan elf dalam sifatnya, mereka pun dihindari. 

Yang membuat keadaan lebih buruk, pedagang di kios itu tampaknya bukan berasal dari Kekaisaran. 

Orang-orang di sekitar pun membicarakan hal itu sambil berbisik-bisik. 

“Padahal aku datang ke sini untuk menyegarkan pikiran...”

Banyak yang menatap iba, tapi tak seorang pun yang angkat suara. 

Masalah seperti ini memang biasanya hanya jadi tontonan. 

Setelah sempat ragu, gadis itu menghela napas dan menyerahkan kantong makanannya kepada pedagang. 

“Tunggu sebentar.” 

Itu murni dorongan hati. Aku tak ingin melihat kejadian seperti ini. Dan aku merasa tak enak hati kalau membiarkannya. 

Sebagai anggota keluarga kekaisaran, aku ikut menyulut kekacauan lewat perebutan takhta. Lalu aku sok menebus dosa dengan menjadi petualang SS, sambil tetap menerima uang dalam jumlah besar. 

Itu membuatku merasa bersalah. Karena itulah aku memanggil pedagang dan gadis itu. 

Kemudian aku merenggut kantong dari tangan pedagang, dan menaruh dua koin perak putih di tangannya. 

“Sekarang puas?” 

“Hah? U-Uh...” 

“Kalau aku kasih koin emas, baru kamu puas?” 

“A-Apa maksudmu!? Urusan ini bukan urusanmu!” 

“Ini wilayah Kekaisaran. Kami menerima semua ras.” 

“Itu nggak ada hubungannya! Setengah elf itu bukan ras, bukan manusia juga!” 

“Cukup sampai di situ. Uangnya sudah dibayar. Kami akan pergi.” 

“Tidak bisa! Kalau mau bawa, tinggalkan koin emas!” 

Pedagang itu memasang senyum menyebalkan. Mungkin dia pikir bisa memeras orang bodoh yang sok baik hati. 

Betapa menyebalkannya. Dia menindas yang lemah, dan berani menyasar mereka yang menunjukkan rasa keadilan. 

Beberapa orang di sekitar mulai bersuara, merasa itu sudah keterlaluan. Namun pedagang itu malah membela diri dengan keras. 

“Diam semua! Sekarang ini, distribusi bahan makanan ke Kekaisaran lagi macet! Kami dari luar justru membawa pasokan! Jadi, kami berhak memilih kepada siapa kami mau jual!” 

Sambil berkata begitu, pedagang itu mencoba merebut kembali kantong dari gadis itu. Aku langsung menangkap tangannya dan menatapnya tajam. Menggunakan sihir akan mudah, tapi aku tidak menyembunyikan wajahku sekarang. Mungkin beberapa orang di sekitar sudah mengenali siapa aku. 

“Dengan ini, tak perlu ada yang ribut.” 

Sambil berkata begitu, aku mengeluarkan koin emas dari tangan yang bebas. Pedagang itu langsung menyeringai dan mencoba meraihnya, namun pada saat itulah, terdengar suara dari luar. 

“Apa yang terjadi di sini? Apa keributan ini?” 

Seorang anggota pasukan patroli muncul setelah menyibak kerumunan warga. 

Sepertinya sedang dalam patroli rutin. Pasukan patroli adalah satuan penegak hukum di bawah Menteri Kehakiman, berbeda dengan pasukan penjaga kota yang berada di bawah militer. Mereka punya wewenang untuk menangkap warga. 

“Tidak apa-apa, Pak. Transaksi sudah selesai. Tidak ada masalah.” 

“Transaksi selesai...?” 

Petugas itu lalu melihat ke arahku. Matanya membelalak, lalu buru-buru memberi hormat. 

“Ah! P-Pangeran Arnold!?” 

“Kamu mengenaliku?” 

“T-Tentu saja! S-Saya pendukung Pangeran Leonard!” 

Melihat cara bicaranya, mungkin dia bagian dari faksi Leo, atau setidaknya simpatisan. Kalau begitu, berpura-pura menjadi Leo juga takkan berhasil. 

Ya sudahlah. Sesekali bersikap benar juga tak ada salahnya. 

“Kebetulan sekali. Apakah diizinkan untuk menaikkan harga hanya karena pembelinya seorang setengah elf?” 

“Tidak, tentu tidak! Kekaisaran kita menerima semua ras, dan setiap pedagang yang mendapat izin berdagang di ibu kota telah menyatakan tidak akan berlaku diskriminatif!” 

“Kalau begitu, cabut izin orang ini. Dia sudah dua kali menaikkan harga. Kalau tak ditangkap, Leo pasti akan datang dengan marah.” 

“B-Baik! Segera kami tangani!” 

“Tunggu! Aku tidak tahu kalau dia pangeran! A-Ampuni aku, Pangeran!” 

“Bukan itu masalahnya. Kamu ditangkap bukan karena bersikap tidak sopan padaku. Tapi karena melanggar peraturan. Ini wilayah Kekaisaran. Koin emas ini untukmu. Gunakan sepuasnya.” 

Sambil berkata begitu, aku menarik tangan gadis itu dan pergi dari tempat itu. Aku tak boleh jadi pusat perhatian lebih lama. 

Setelah berjalan cukup jauh, terdengar suara dari belakang. 

“U-Uh... Tanganku...”

“Oh? Ah, maaf.” 

Aku segera melepaskan tangan gadis itu. Memang, menggenggam tangan gadis yang bahkan belum kukenal namanya jelas tak sopan. Setelah aku meminta maaf, gadis itu menggeleng dan tersenyum cerah. 

“Tidak apa-apa. Terima kasih sudah menolongku. Eh, maksudku... Terima kasih banyak, Yang Mulia.” 

“Sekarang aku sedang menyamar. Tak perlu bicara begitu kaku. Namamu siapa?” 

Mungkin karena tak menyangka aku bersikap ramah, gadis itu terlihat terkejut. 

Kemudian dia tersenyum kecil dan mengulurkan tangan kanannya padaku. 

“Baiklah. Namaku Sonia Raspade. Seperti yang bisa kamu lihat, aku setengah elf.” 

“Itu tidak penting. Namaku Arnold. Panggil saja Al.” 

“Baik! Kalau begitu aku akan panggil kamu Al!” 

Begitulah aku dan Sonia bertemu untuk pertama kalinya.

 

Bagian 6

“Kamu sedang dalam kunjungan inspeksi, kan?” 

“Secara teknis, ya.” 

Setelah kejadian tadi, aku dan Sonia berjalan bersama. Katanya dia masih ingin berbelanja. Karena aku tidak ingin dia diganggu lagi, aku memintanya mengenakan kembali tudung, dan aku yang membeli barang-barang yang dia inginkan. 

“Secara teknis?” 

“Hanya sedang menyegarkan diri. Kalau terus-terusan terkurung di istana, rasanya sesak.” 

“Ada urusan yang rumit, ya?” 

“Apa aku terlihat seperti itu? Padahal aku ini dijuluki ‘pangeran sisa’.” 

“Pangeran sisa?” 

“Kamu tidak tahu? Pangeran sisa yang semua kelebihannya diserap oleh saudara kembar laki-lakinya. Jadi bahan tertawaan seisi ibu kota.” 

Tak ada orang di ibu kota yang tak tahu reputasiku. Artinya, Sonia bukan orang sini. Memang penampilannya juga tidak mencerminkan warga ibu kota. Lebih cocok disebut pelancong. 

“Aku memang tak tahu banyak soal ibu kota. Tapi, apa orang-orang benar-benar menganggapmu begitu? Padahal petugas patroli tadi terlihat menghormatimu.” 

“Itu karena adikku adalah kandidat takhta. Orang-orang dari kubunya berpura-pura hormat, tapi tak ada yang benar-benar menghormatiku.” 

Sambil berkata begitu, aku menatap langit. Kecuali segelintir orang yang benar-benar dekat denganku, itu memang kenyataan. Tadi aku bertindak seperti seorang bangsawan kekaisaran, tapi itu hal yang wajar dilakukan oleh seorang pangeran. Malah bisa dianggap minus karena melibatkan pasukan patroli. 

Jika aku benar-benar punya wibawa, aku seharusnya bisa menyelesaikannya dengan satu gertakan. Tapi sejak awal, citraku sudah terlalu buruk. Sedikit berbuat baik takkan mengubah penilaian mereka. 

Kalaupun seseorang yang menyaksikan kejadian tadi mendapat kesan positif terhadapku, itu hanya sementara. Tanpa pencapaian besar, reputasi dan gelar pangeran sisa tidak akan hilang. Dan aku pun tidak berniat menghilangkannya. Dulu mungkin aku peduli, tapi sekarang sudah terlalu terlambat. 

“Kamu terganggu dengan cara orang-orang memperlakukanmu seperti itu?” 

“Aku tidak tahu. Tapi jujur saja, aku sudah terbiasa.” 

“Begitu, ya... Sama sepertiku.” 

Sambil berkata begitu, Sonia menyentuh telinganya sebentar. 

Telinganya yang runcing adalah simbol dirinya sebagai setengah elf. Pasti dia telah lama mengalami diskriminasi karena itu. Tapi situasinya sangat berbeda denganku. 

Aku dicap karena hal yang terjadi setelah aku lahir. Dia sejak lahir sudah begitu. 

“Kita tidak sama. Jika kamu sudah terbiasa dengan semua itu, berarti kamu jauh lebih kuat dan luar biasa daripada aku. Aku mungkin tidak akan sanggup. Bagaimanapun juga, aku adalah seorang pangeran... Status dan darahku selalu memberiku perlindungan.” 

“Dari nada bicaramu, sepertinya kamu tidak suka jadi pangeran, ya?” 

“Aku membencinya. Baik status itu, maupun diriku sendiri yang bergantung padanya. Kalau bisa, aku ingin memberikannya pada orang lain. Meski aku tahu itu pun hanyalah bentuk pelarian. Karena itu juga, aku semakin membenci diriku sendiri.” 

Keinginanku untuk hidup bebas mungkin adalah reaksi dari semua ini. Seperti bagaimana orang biasa mengagumi yang istimewa, aku mengagumi kehidupan biasa. Betapa indahnya jika aku bisa hidup di rumah biasa, membangun keluarga biasa, jauh dari istana. 

Aku ingin menjalani hari-hari seperti semua orang di sini. Tapi tentu saja, itu tak diizinkan. Bahkan jika aku melepaskan status pangeranku, darahku takkan membiarkannya. Ayah pasti akan menjodohkanku dengan keluarga bangsawan mana pun yang dianggap layak. 

Darah kekaisaran terlalu kuat. Banyak keturunan yang luar biasa lahir darinya. Seperti aku dan Zandra yang unggul dalam sihir, atau Kakak Lize dan Gordon dalam ilmu pedang, atau Leo yang serba bisa. Itu semua hasil dari darah unggul yang diwariskan selama beberapa generasi. Darah ini terlalu kuat untuk dilepaskan ke dunia luar. 

“Begitu, ya. Maka kita memang mirip. Aku juga membenci asal-usulku. Aku tak butuh darah elf itu. Aku hanya ingin jadi manusia. Tapi dunia tak mengizinkanku untuk hidup sebagai manusia.” 

“...Kita mirip dalam hal yang aneh, ya.” 

“Sepertinya begitu. Tapi aku sudah bisa menerimanya sekarang. Waktu kecil memang berat, tapi ada orang-orang baik di sekitarku yang membuatku kuat. Walau masih ada diskriminasi di luar sana, masih ada orang baik sepertimu.” 

Sambil berkata begitu, Sonia tersenyum cerah. Senyum yang ceria dan menguatkan. Dipadu dengan kelelahan dan kurang tidur, pikiranku yang sempat gelap mulai menjadi ringan kembali. 

Tak kusangka, senyuman gadis yang baru kukenal hari ini bisa menguatkanku. 

“Terima kasih. Sedikit lebih semangat sekarang.” 

“Aku nggak ngapa-ngapain, lho?” 

“Senyummu luar biasa.” 

Begitu kukatakan jujur, wajah Sonia memerah. Saat aku tertawa kecil, dia mengernyitkan alis. 

“Jangan bercanda...” 

“Aku tidak bercanda. Aku benar-benar merasa begitu.” 

“Duh... Kamu biasa ngomong begitu ke semua cewek, ya?” 

“Tergantung suasana hati hari itu.” 

“Kamu ini sepertinya punya bakat jadi penakluk wanita, deh...”

“Terima kasih atas pujiannya.” 

Sambil terkikik, aku melangkah lagi. 

Berbicara dengan Sonia terasa menyenangkan. Mungkin karena dia sangat peka terhadap jarak antarpribadi. Aku bisa merasakan dia sangat berhati-hati dalam memperhatikan lawan bicaranya. Sepertinya bukan karena niat, tapi karena terbiasa. 

Kalau melihat latar belakangnya, itu menyedihkan. Tapi sekarang, aku bersyukur atas sikapnya itu. Karena bisa mengobrol nyaman seperti ini, aku bisa mengalihkan pikiranku dari tekanan. Sebenarnya aku keluar hari ini juga untuk menghindari rasa terburu-buru dalam pencarian Rebecca. Tapi itu bukan berarti aku boleh lengah. 

“Al? Wajahmu serius banget, lho.” 

“Begitu ya? Kelihatannya serius?” 

“Iya. Katanya nggak ada urusan berat, kok ekspresimu seperti itu?” 

Aku berpikir sejenak mendengar kata-kata Sonia. Aku tidak bisa jujur, tentu saja. 

“Sebenarnya... Aku sedang mencari seseorang.” 

“Belum ketemu?” 

“Belum. Tak ada petunjuk, dan kekurangan tenaga juga.” 

“Hmm, kalau aku sih udah lempar handuk. Soalnya nggak ada petunjuk, kan?” 

Sonia berkata begitu dengan santai sambil tersenyum. Aku bisa membayangkan dia benar-benar akan melakukan hal itu. 

Tapi aku tidak bisa begitu. Rebecca dan surat yang dibawanya akan sangat memengaruhi situasi politik ke depan. Siapa pun yang mendapatkannya, akan punya kekuatan dan pengaruh besar. 

Kami tak boleh kalah dalam pertarungan yang satu ini. Saat aku berpikir seperti itu, Sonia menunjuk ke salah satu kios. Sepertinya dia ingin membeli sesuatu. 

Aku membantu memilihkan barang yang dia tunjuk, sambil tetap mengobrol ringan. 

“Bro, lagi kencan ya?” 

“Begitu kelihatannya?” 

“Kelihatan banget. Nih, bonus dari om keren. Nikmati ya.” 

Setelah interaksi seperti itu, pemilik kios memberiku dan Sonia masing-masing satu botol jus buah sebagai bonus. 

Sonia, yang jelas-jelas tak menyangka dikira pasangan, buru-buru membantah. Tapi si penjual tetap memaksanya menerima botol itu sambil melambaikan tangan. 

“Aduh, keras kepala banget, udah dibilang bukan pacar...” 

“Ya sudah, terima saja.” 

“Itu karena kamu nggak langsung bantah! Aku jadi kayak bohong!” 

“Jangan marah dong. Ini enak, lho?” 

“Huh...”

Jus ini jauh lebih encer dibandingkan yang ada di istana. Tapi entah kenapa rasanya jauh lebih nikmat. Mungkin karena kita membelinya sendiri dengan langkah kaki, bukan sekadar disajikan. 

“Benar juga. Enak.” 

Wajah Sonia yang tadinya kesal pun tampak membaik setelah meminum jus itu. 

Aku jadi ingin berterima kasih pada penjual tadi. 

“Ngomong-ngomong, Al. Bagaimana pendapatmu tentang adikmu?” 

“Adikku? Maksudmu bagaimana?” 

“Katanya dia menyerap semua kelebihanmu, jadi dia pasti hebat, kan?” 

“Iya. Dia yang menyelesaikan kekacauan di selatan, dan rakyat sangat menyukainya. Sekarang dia benar-benar seorang pahlawan.” 

“...Kurasa, aku sudah tahu jawabannya dari wajahmu.” 

“Hah? Maksudmu apa?” 

“Tadi aku mau nanya, kamu suka atau tidak suka dengan adikmu. Tapi ekspresi wajahmu waktu ngomongin dia jelas banget. Penuh dengan kebanggaan.” 

Mendengar itu, aku refleks menutup wajahku. Jadi ekspresiku terlihat begitu? 

Memang, Leo adalah adik yang bisa kubanggakan. Tapi sebelumnya aku tak pernah menunjukkannya secara terang-terangan. 

Mungkin karena dia benar-benar tumbuh setelah peristiwa di selatan. Teguran kerasnya saat itu sangat mengesankan. Dia bahkan menyatakan bahwa dirinya akan menjadi kaisar. 

Ya, memang dia adalah adik yang patut dibanggakan. 

“Benar sekali. Aku mengakuinya. Dia adalah orang yang kuat dan baik hati, yang belum pernah kulihat tandingannya.” 

“Begitu ya... Kalau begitu, sepertinya aku bisa yakin.” 

Setelah mengatakan itu, Sonia tiba-tiba mengambil kantong belanja dari tanganku, berputar, dan berlari menuju gang sempit. Aku buru-buru mengejarnya, dan tepat saat itu, Sonia meletakkan kantongnya di tanah.

Dan tiba-tiba, Sonia memelukku. 

“Eh, apa-apaan ini?” 

“Sepertinya Pangeran Gordon telah menemukannya. Kalau kita mengikuti gerakannya, seharusnya masih sempat.” 

“...!”

Aku tanpa sadar membelalakkan mata. Kapan terakhir kalinya aku begitu terkejut seperti ini? 

Sonia hanya membisikkan itu di telingaku, lalu perlahan menjauh dan mengambil kantong belanjaannya kembali. 

“Kamu ini...?” 

“Akan lebih baik kalau aku memberi tahumu saja, daripada aku sendiri yang bergerak dan tertangkap. Mau percaya atau tidak, itu terserahmu.”

Sambil berkata begitu, Sonia pun berlari meninggalkanku. Tangan yang secara refleks kuulurkan hanya meraih kehampaan. Tangan ini tak mampu menangkap dirinya. 

Aku menarik napas dalam-dalam dan perlahan menenangkan diri. Dalam situasi ini, kata “dia” hanya bisa merujuk pada satu orang, Rebecca. 

“Aku tak pernah dengar ada pihak mana pun yang punya hubungan dengan seorang setengah elf...” 

Aku menatap ke arah tempat Sonia menghilang. 

Aku berharap dia akan kembali muncul, tersenyum riang seperti biasanya, dan berkata bahwa semua ini hanyalah lelucon. Tapi itu tidak terjadi. Ini bukan candaan dari gadis yang ceria itu. Aku seharusnya memaksanya tetap tinggal, apa pun caranya. Tapi aku terlalu terkejut hingga tak sempat berpikir. 

“...Tak ada pilihan lain selain percaya.” 

Bagaimanapun, aku memang tak punya petunjuk lain. Satu-satunya jalan adalah mempercayai Sonia dan mengikuti pergerakan Gordon. 

Dengan tekad itu, aku segera bergegas kembali ke istana.

 

Bagian 7

“Bukankah ini bisa jadi sebuah jebakan?” 

Mendengar kata-kata Sebas, aku mengangguk sekali. Kemungkinan itu memang ada. Namun, kalau ini jebakan, rasanya terlalu ceroboh. 

“Sejak awal, strategi kita memang untuk mengawasi Zandra dan Gordon. Kalau pun benar Gordon yang menemukan Rebecca, itu hanya akan mempermudah kita menentukan arah gerak.” 

“Kalau itu orang dari pihak Putri Zandra, maka mereka bisa mengalihkan perhatian kita dari gerakan mereka sendiri.” 

“Ya, aku sudah memikirkannya. Tapi dari sisi Zandra, mereka pasti lebih senang kalau kita tetap bingung dan tak bergerak. Selama kita tidak tahu keberadaan Rebecca, itu menguntungkan bagi mereka. Di luar ibu kota, jaringan informasi Gordon sangat luas. Karena dia bisa mengandalkan pasukan dari berbagai wilayah. Jika benar Gordon menemukannya, maka cepat atau lambat kita akan sampai di tempat yang sama. Aku tidak percaya Zandra akan sengaja menambah musuh baru.” 

“Mungkin Putri Zandra sedang mencoba membuat Pangeran Gordon bentrok dengan Pangeran Leonard?” 

“Kalau itu tujuannya, tak ada gunanya memberi informasi berbelit seperti bahwa Gordon menemukannya. Mereka cukup memberitahu kita lokasi Rebecca saat Gordon mulai bergerak.” 

Kesimpulannya, jika tindakan Sonia ini sebuah jebakan, maka caranya terlalu tidak efisien. Ada banyak cara lain yang jauh lebih efektif. 

“Pertemuan antara aku dan Sonia jelas kebetulan. Bahkan kalau pun insiden itu sengaja dibuat di depan mataku, tak ada jaminan aku akan turun tangan. Melihat reputasiku, kemungkinan besar aku akan membiarkannya.” 

“Anda tampaknya sangat mempercayai gadis setengah elf itu.” 

“Aku bisa tahu kalau seseorang sedang berbohong. Dan dia tidak berbohong. Kata-katanya benar. Aku yakin, kabar bahwa Gordon menemukan Rebecca itu memang nyata.” 

“Begitu ya. Kalau begitu, kalau kami percaya pada penilaian Anda... Siapa sebenarnya dia, sampai bisa tahu informasi sepenting itu?” 

“Aku juga tidak tahu. Dari perkataannya, dia tampaknya berniat menolong Rebecca. Tapi jika dia memang orang dari pihak Gordon, maka itu sudah termasuk pengkhianatan tingkat tinggi.” 

“Bagi Pangeran Gordon pun, Nona Rebecca adalah tokoh penting. Bisa jadi senjata pamungkas untuk menjatuhkan Putri Zandra. Jika dia memegang kendali atas Rebecca, dia juga akan punya kekuatan untuk menekan Putri Zandra. Dan kalau bisa menekan Zandra, maka selisih kekuatannya dengan Pangeran Eric pun bisa dipersempit.” 

“Ya, pasti itu juga yang dipikirkan Gordon. Tapi jika Gordon benar-benar memegang Rebecca dan surat itu, cara paling mengerikan dia menggunakannya bukan sekadar sebagai kartu tawar atas Zandra. Dia bisa menarik semua orang ke dalam bidang keahliannya.” 

“Maksud Anda?” 

“Jika digunakan dengan tepat, Rebecca dan surat itu bisa memicu perang saudara. Gordon bisa membawanya ke Rapat Dewan Menteri, tempat Ayah tidak bisa menutup-nutupi kasus itu sebagai urusan pribadi. Lalu dia bisa menuntut Zandra. Kalau opini publik dibentuk menjadi ‘pengkhianatan selatan tak bisa dibiarkan’, maka Ayah pun harus ikut arus. Dan jika itu terjadi, wilayah selatan pun akan terang-terangan memberontak. Lalu Gordon yang akan memimpin penumpasan.” 

“Itu skenario yang rumit. Saya tidak yakin bisa dijalankan.” 

“Gordon memang takkan mampu jika hanya sendirian.” 

Hanya menghadapkan masalah itu pada Ayah tidak cukup. Ayah pasti akan mencoba menghindari perang saudara. Maka harus ada langkah lanjutan, yakni menciptakan situasi yang memaksa Ayah mengambil langkah ekstrem itu. 

Tapi tidak ada satu pun penasihat di sekitar Gordon yang mampu merancang skenario sejauh itu. 

“Meski kemungkinan itu kecil, membiarkan Gordon memegang kelemahan Zandra pun sudah cukup berbahaya. Apa pun yang direncanakan Gordon, kita tetap harus melindungi Rebecca.” 

“Jadi Anda ingin mempercayai gadis itu?” 

“Ya. Tolong awasi dia.” 

“Baik, saya mengerti.” 

Setelah berkata demikian, Sebas menghilang tanpa suara. 


* * *


Keesokan harinya. Aku segera menerima laporan dari Sebas. 

“Sepertinya Pangeran Gordon secara diam-diam telah menggerakkan pasukan latihan. Tujuannya adalah kota Yena, yang terletak dekat ibu kota.” 

“Berarti Rebecca ada di sana. Pasukan seperti apa itu?” 

“Pasukan rahasia. Mereka tidak muncul ke permukaan. Saya rasa bahkan Yang Mulia Kaisar pun belum mengetahui pergerakan ini.” 

“Pasukan yang sempurna untuk Gordon, ya.” 

Sambil berjalan menyusuri lorong istana, aku bergumam dan menundukkan pandangan, merenung. 

Kalau dia sudah mengerahkan pasukan rahasia, berarti Gordon akan bergerak hari ini atau besok. Pergerakan ini pasti juga diketahui oleh pihak Zandra. Di pihak mereka ada para bangsawan selatan dan organisasi kriminal. Dalam hal pengumpulan informasi, mereka tak akan kalah dari Gordon. 

Zandra takkan turun tangan secara langsung karena takut ketahuan. Pihak yang akan bergerak adalah organisasi kriminal yang menerima perintah. Kalau dibandingkan dengan para pembunuh bayaran bawahannya, mereka jauh di bawah. Jadi selama tidak dalam kondisi yang sangat merugikan, pasukan rahasia milik militer seharusnya bisa menangani situasi dengan baik. 

“Sekarang, bagaimana cara mendapatkan keuntungan dari situasi ini sebagai pihak ketiga?” 

“Tuan Arnold, ada satu laporan lagi.” 

“Hm? Apa itu?” 

“Tampaknya Pangeran Gordon telah menerima seorang penasihat militer. Kami belum tahu siapa orang itu, tetapi semua dilakukan dengan sangat rahasia.” 

“Penasihat militer, ya?” 

Gordon memang memiliki banyak pendukung di kalangan militer, namun dia tidak mendapat dukungan dari kalangan intelektual seperti penasihat atau ahli siasat. Karena itulah, kubu Gordon kekurangan orang-orang seperti itu. Jadi, masuk akal jika dia merekrut yang baru, tapi dari mana dia menemukannya? 

Sementara aku masih diselimuti pertanyaan itu, dari ujung lorong, Gordon berjalan ke arah kami. Dia dikelilingi oleh para pengikutnya. 

“Bicara soal setan, setan pun datang.” 

Aku menepi ke pinggir lorong dan menundukkan kepala. Melihat itu, Gordon menghentikan langkahnya. 

“Selamat pagi, Kakanda Gordon. Semoga harimu menyenangkan.” 

“Hmph, masih saja tak tahu sopan santun. Aku tahu betul bahwa dalam hatimu kamu meremehkan semua orang. Orang sepertimu membuatku muak. Minggir.” 

“Sayang sekali mendengarnya. Kalau begitu, mohon permisi.” 

“Sampaikan pada Leonard. Cukup sampai di sini main-mainnya.” 

Meninggalkan pesan itu, Gordon melanjutkan langkahnya. Para pengikutnya mengikuti dari belakang. 

Paling belakang, seorang bertubuh kecil yang menutupi wajahnya dengan tudung berbisik saat melewati sampingku. 

“Itulah alasannya. Aku serahkan padamu, Al.” 

“...Begitu, ya.” 

Aku bergumam, menatap punggung Gordon dan rombongannya yang menjauh. Tak salah lagi suara tadi. 

“Jadi, penasihat militer baru Gordon adalah Sonia.” 

“Jadi orang itu adalah sumber informasi kita. Bukankah kemungkinan ini jebakan menjadi lebih besar?” 

“Kalau ini jebakan, dia pasti tidak akan memperlihatkan dirinya. Dan pergerakan Gordon adalah nyata. Meski ini jebakan, kita tetap harus bergerak.” 

“Tapi...” 

“Aku sudah tahu risikonya. Tapi kita tak bisa melangkah tanpa rencana. Aku tadinya masih ragu, tapi sekarang, saatnya menggunakan kartu terakhir.” 

“Kartu terakhir?” 

“Aku gunakan Ayah.” 

Sambil berkata begitu, aku pun langsung menuju ruang takhta.


* * *


“Kesatria Rebecca kabarnya telah sampai di Yena.” 

“Begitukah. Terima kasih atas laporannya. Kalau sudah sejauh itu, mari kita kirim pasukan kesatria terdekat.” 

“Tidak, menurut saya itu tidak bijak. Pihak militer juga telah bergerak. Jika Ayahanda turut bergerak, hal itu bisa memicu kekhawatiran di kalangan faksi ekstremis militer. Biarkan saya saja yang pergi.” 

“Apakah kamu bisa melindunginya?” 

“Tidak mungkin. Karena itu, saya akan pergi bersama Leo. Jika bersama Leo dan para pengikutnya, juga dengan Sebas, seharusnya kita bisa menangani hal ini. Hanya saja...”

“Apa? Kalau ada yang mengganjal, katakan.” 

Ayah mengucapkannya dengan ekspresi serius. Itu bukti bahwa beliau benar-benar menanggapi masalah ini dengan kesungguhan. 

Kaisar memang tidak mencampuri perebutan takhta, tetapi jika tindakannya terlalu berlebihan, itu bisa menyakiti kekaisaran. Kali ini bukan sekadar masalah suksesi, melainkan masalah bagi negara itu sendiri. Karena itulah, aku bisa menggunakan kartu trufku. 

“Informasi ini berasal dari penasihat militer Kakanda Gordon. Sejujurnya, ada kemungkinan ini adalah jebakan.” 

“Jebakan, katamu? Kalau begitu, semakin kuat alasan untuk mengirim pasukan kesatria pengawal.” 

“Yang Mulia. Sepertinya Pangeran Arnold memiliki suatu rencana.” 

Kanselir Franz menyela, seolah hendak mengatakan bahwa keputusan telah dibuat. Dia pasti sudah menebak bahwa aku datang dengan rencana, sejak awal. 

“Kalau memang punya rencana, cepat katakan.” 

“Baik. Mohon perintahkan saya dan Leo untuk melakukan inspeksi ke wilayah selatan kekaisaran. Di tengah perjalanan, kami akan singgah ke Yena. Kalau kami bergerak atas perintah langsung Ayahanda, tidak akan ada pihak yang berani macam-macam.” 

“Rencana yang rumit. Bagaimana menurutmu, Franz?” 

“Saya pikir ini rencana yang bagus. Pangeran Arnold dan Pangeran Leonard memiliki keterlibatan erat dalam insiden di selatan. Menugaskan mereka untuk memeriksa kondisi wilayah tersebut sangatlah wajar. Bahkan jika pertempuran terjadi, mereka sudah memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapinya.” 

“Aku tidak khawatir soal Leonard. Tapi perlu kah mengirimmu juga, Arnold? Kamu sendiri berbicara seakan sudah pasti ikut. Apa kamu yakin?” 

“Saya menghargai kekhawatiran Ayahanda. Namun misi utama kali ini adalah mencari seseorang. Ayahanda pasti tahu, saya pandai dalam hal menyembunyikan diri dan mencari orang. Saya memang tidak berguna dalam pertempuran, tapi saya pikir kehadiran saya tetap dibutuhkan.” 

Ayah mengerutkan wajahnya. Sejak kecil, aku memang sangat pandai bermain petak umpet. Kalau aku sungguh-sungguh bersembunyi, mungkin hanya Leo yang bisa menemukanku. Karena aku bisa menebak perilaku orang lain. Dalam situasi seperti ini, kemampuan itu sangat berguna. Dan Ayah tahu itu, makanya beliau berekspresi seperti itu. 

“...Baiklah. Aku perintahkan kalian berdua untuk melakukan inspeksi ke selatan. Jika ada sesuatu, segera kembali. Misi ini penting bagi kekaisaran. Kegagalan tidak akan dimaafkan.” 

“Hamba mengerti.” 

Sambil berkata demikian, aku berlutut di tempat. Setelah melibatkan Ayah dalam urusan ini, kegagalan benar-benar bukan pilihan. Paling tidak, melindungi Rebecca adalah mutlak. 

Leo mungkin harus menerima ini secara sepihak, tapi semoga dia memakluminya. Itu sudah biasa terjadi, kan? 

Dengan pikiran seperti itu, aku meninggalkan ruang takhta.

 

Bagian 8

Setelah meninggalkan ruang takhta, aku menuju tempat Ibu. 

Meskipun aku dan Leo akan segera kembali setelah memastikan Rebecca terlindungi dengan aman di Yena, tetap saja kami akan meninggalkan ibu kota. 

Di ibu kota masih ada Fine dan Marie. Persaingan kekuasaan di dalam ibu kota saat ini dalam kondisi tenang, jadi tidak perlu dikhawatirkan. Gordon dan Zandra pasti akan memusatkan perhatian mereka pada Rebecca, dan Eric yang tidak terluka pun tak akan bertindak gegabah dalam situasi ini yang bisa membuat Ayah murka. 

Ayah sangat sensitif terhadap isu pengungsi. Kasus kali ini juga sangat berkaitan dengan itu. Jika ada yang memanfaatkan kepergian kami untuk memperluas kekuasaan mereka, mereka pasti akan terkena murka Ayah. Eric tidak sebodoh itu. Jadi, untuk sementara waktu, tidak akan ada konflik terbuka di dalam ibu kota. 

Tentu saja, di balik layar, berbagai hal masih berlangsung. Salah satunya adalah persaingan antar serikat dagang. Masalah itu aku serahkan pada Fine. Aku mempercayainya sepenuhnya. 

“Melihat semua ini, krisis kekurangan tenaga kerja cukup serius.” 

Kali ini, aku juga membawa serta Sebas. Bahkan penjagaan untuk Fine pun akan jadi lebih longgar. Meski begitu, para anggota ras lain dari Serikat Dagang Ras Campuran akan berjaga di sekelilingnya, jadi tidak terlalu mengkhawatirkan. 

Andai Lynfia ada di sini, semuanya akan lebih mudah. Tapi itu hanya angan-angan. 

Sayangnya, kali ini Elna mendapat tugas meninggalkan ibu kota, jadi tak bisa diandalkan. 

“Masalahnya bukan hanya kuat atau tidak. Kalau tidak bisa dipercaya, tak bisa dijadikan pengawal. Haa... Permisi. Ini aku, Al.” 

“Al! Masuklah segera!” 

Begitu aku menyebutkan namaku di depan kamar Ibu yang berada di bagian dalam istana, suara tajam langsung terdengar dari dalam. 

Segera aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres, lalu masuk ke dalam kamar dengan tenang. Di dalam, Ibu sedang memeluk Christa yang tengah gemetar. 

“Christa...” 

“Hiks... Hiks... Uuh...” 

“Tiba-tiba saja dia menangis dan tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya dia melihat sesuatu lagi.” 

Tentu saja Ibu, sebagai orang yang membesarkannya, tahu bahwa Christa memiliki sihir bawaan. 

Biasanya, Ibu hanya berpura-pura tidak peduli dan menanggapi dengan ringan, tapi kali ini, tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku mendekat ke Christa, lalu berlutut dan menyesuaikan pandanganku dengan miliknya. 

“Christa. Kamu tak apa-apa? Kakak di sini, lho.” 

“Kakak... Kakak Al!” 

Christa yang semula berpelukan dengan Ibu, sekarang berlari memelukku. 

Tubuh mungilnya gemetar hebat. Dia pasti melihat sesuatu yang sangat menakutkan. Aku terus mengelus kepalanya hingga dia sedikit tenang. 

Akhirnya Christa mulai terlihat lebih tenang, tapi dia masih belum juga mau bicara. 

“Christa... Apa yang kamu lihat? Apa kamu melihat sesuatu yang begitu menakutkan?” 

“Christa, coba ceritakan pada Al. Mungkin ada sesuatu yang bisa kami lakukan.” 

“...Ada ruangan kecil... Banyak anak-anak...” 

Christa mulai berbicara perlahan-lahan. Karena dia mengungkapkannya secara terputus-putus, susah untuk ditangkap keseluruhannya, tapi di akhir kalimat, dia berbisik sesuatu yang sangat menentukan. 

“Ri... Rita...” 

“Rita?” 

“Dia akan mati...! Di depan mataku, Rita akan mati...!” 

“Apa!?” 

“Tidak mungkin...” 

Itu adalah ucapan yang mengejutkan. Selama ini, penglihatan Christa tentang masa depan kadang tepat, kadang meleset. 

Namun, jika dilihat dari tingkat akurasinya, penglihatan yang melibatkan dirinya secara langsung seringkali lebih akurat. 

Kematian kakak sulungnya termasuk kematian keluarga. Dan saat kota Keer diserang, dia sendiri juga berada di sana. Dari sudut pandang itu, kejadian yang terjadi langsung di depan mata Christa sangat besar kemungkinannya menjadi kenyataan. 

Tapi kenapa harus di saat seperti ini...! 

“Kakak... Selamatkan Rita...!” 

“Al...” 

“...Baru saja aku berpamitan kepada Ayahanda. Untuk keberangkatan...” 

“Eh...? Tidak! Kakak! Jangan pergi!” 

Christa memelukku erat-erat, seolah tak ingin melepas. Tangan mungilnya menggenggam pakaianku dengan kuat. 

Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku mengatakan kepada Ayah bahwa aku membatalkan kepergianku? 

Tapi mana mungkin itu diterima. Aku butuh alasan. Dan itu berarti aku harus menjelaskan tentang Christa. Kalau itu terjadi, kekuatan Christa akan tersebar luas. Meski belum pasti, sihir yang memungkinkan melihat masa depan sangat berguna bagi negara. Ayah pun tetaplah manusia. Sudah pasti dia akan menggunakannya. 

Itu yang paling buruk. Christa akan berada dalam bahaya, dan akan dipaksa melihat hal-hal yang bahkan dia sendiri tak ingin lihat. 

Namun, kami sudah kehabisan orang. 

“Al. Aku akan mencoba memohon langsung kepada Yang Mulia Kaisar. Kalau itu bisa...” 

“...Meski aku tetap di sini, aku tidak bisa terus berada di dalam istana harem.” 

Kecuali permaisuri, pengawal wanita, atau pelayan perempuan, hanya anggota keluarga kekaisaran perempuan dan pangeran yang belum berusia dua belas tahun yang boleh tinggal di dalam istana harem. 

Meskipun aku seorang pangeran, begitu mencapai usia tertentu, aku tidak diizinkan berada di sini seharian. Kalau sesuatu terjadi di dalam sini, aku tak akan bisa segera menanganinya. Kalau saja Lynfia ada, Ibu bisa memintanya jadi pengawal di istana harem. Tapi aku? Itu mustahil. 

Bahkan kalau aku menyamar jadi Silver sekalipun, jika tiba-tiba muncul di istana harem, aku pasti akan dihukum. 

“Situasinya menunjukkan bahwa Christa juga akan terlibat. Dia butuh pengawal yang bisa berada di dekatnya setiap saat. Pengawal wanita, dan yang bisa diandalkan...” 

“...Aku hanya terpikir satu orang.” 

“Begitu juga aku.” 

Kalau sudah begini, kami hanya bisa bergantung pada Elna. Aku akan memohon padanya agar membatalkan misinya dan menjaga Christa di sisinya. Jika itu pun tak berhasil, maka kami harus memikirkan langkah selanjutnya. 

“Tapi Elna sudah diberi tugas. Risikonya bisa dibilang sama besar, atau bahkan lebih dariku.” 

Aku adalah pangeran yang ditugaskan secara resmi, dan Elna adalah anggota Kesatria Pengawal yang mendapat perintah langsung. Mana yang harus dijalankan, bahkan anak kecil pun tahu jawabannya. Jika alasannya tidak kuat, Elna bisa dikeluarkan dari pasukan Kesatria Pengawal. 

Meskipun begitu, kami sudah tidak punya pilihan lain selain menggantungkan harapan pada Elna.

 

Bagian 9

Dalam perjalanan menuju tempat Elna, aku memikirkan banyak hal. 

Bagaimana cara memintanya? Apa yang harus kulakukan jika dia menolak?

Terlalu banyak yang kupikirkan, hingga kepalaku menjadi kacau balau. 

Pada akhirnya, pikiranku belum juga tersusun saat aku tiba di kediaman keluarga pahlawan. 

Seperti biasa, aku disambut dengan ucapan “Selamat datang kembali”, dan aku pun masuk ke dalam rumah keluarga pahlawan. 

“Al. Ada apa?” 

“Elna...” 

Yang menyambutku adalah Elna. Seandainya saja yang muncul adalah Anna, mungkin akan lebih mudah bagiku. Sejujurnya, aku tidak sanggup menatap wajah Elna. Tapi teman masa kecil ini tidak mungkin melewatkan sikap anehku. 

“Ada sesuatu, ya?” 

“Tidak...”

“Tak ada gunanya mengelak. Ayo masuk dulu.” 

Dengan begitu, aku pun diantar oleh Elna menuju ruang tamu. 

Setelah para pelayan menyajikan teh dan kue, Elna menerimanya lalu memerintahkan mereka untuk pergi. Dia duduk di seberangku, dan segera masuk ke pokok pembicaraan. 

“Kutanya lagi, ada apa sebenarnya?” 

“...Masalah yang merepotkan.” 

“Begitu. Kamu butuh aku?” 

“...Iya.” 

Tanpa menatap wajahnya, aku mengangguk. Cara meminta tolong yang buruk. Tapi aku benar-benar tidak sanggup menatap wajah Elna. Wajah seperti apa yang seharusnya kutampilkan saat memintanya? 

Tugasku pada akhirnya tetap demi perebutan takhta. Karena aku membutuhkan penilaian Ayah, aku tidak bisa membatalkan keberangkatanku. Benar. Aku sedang menimbang-nimbang antara keselamatan adikku dengan perebutan takhta. Dan karena tak bisa memilih salah satu, aku dengan tebal muka mencoba meraih keduanya, dan datang ke sini untuk meminta tolong pada Elna. 

Istana harem adalah dunianya perempuan. Maka pengawal perempuan lebih tepat uuntuk itu. Itu alasan yang bisa diterima, tapi bukan alasan utamanya. Aku tak ingin kehilangan angin keberuntungan yang baru saja mulai berhembus kepada kami. Ayah mulai memandang kami dengan lebih ramah. Aku tidak ingin menghentikan alur itu. Tapi, aku juga tidak bisa mengabaikan Christa. Aku tidak bisa memilih di antara kedua itu. Karena itulah aku datang bersandar pada Elna. Begitu memalukan hingga aku tidak bisa melihat wajahnya. 

Namun... 

“Baik. Kalau begitu, aku akan memberitahu Yang Mulia Kaisar bahwa aku mengundurkan diri dari tugas.” 

“Eh... Serius?” 

“Ada apa?” 

Karena jawaban yang begitu ringan, aku tanpa sadar mengangkat wajahku. Dan di sana, aku melihat wajah Elna yang seperti biasa. 

Wajahnya seperti mengatakan, “Itu hal yang sepele.” 

“Bukankah... Mengundurkan diri dari tugas itu memalukan?” 

“Lebih buruk dari memalukan. Tapi kamu membutuhkanku, bukan? Kalau begitu, mau bagaimana lagi?” 

“...Aku dan Leo akan meninggalkan ibu kota untuk melindungi seorang kesatria pelarian dari selatan. Demi keuntungan dalam perebutan takhta, kami ingin melindungi orang yang bahkan tidak kami kenal... Dan aku malah datang padamu untuk meminta tolong.” 

“Karena dia orang yang penting, makanya kamu tidak bisa melepaskannya, kan? Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan, tapi kalau memang dibutuhkan, aku akan bantu.” 

“Kenapa...?” 

“Sudah kubilang, kan? Aku tidak akan meninggalkanmu. Kamu sadar tidak? Sejak tadi, wajahmu terlihat sangat tegang, tahu? Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi kamu membutuhkan aku, bukan? Kalau begitu, mundur dari satu tugas tidak masalah. Kamu punya sesuatu yang harus kamu lakukan, dan itu hanya bisa diserahkan padaku. Bukankah itu alasanmu datang ke sini?” 

Dengan nada yang ceria, Elna mengatakannya dengan ringan. 

Padahal tidak sesederhana itu. Kalau memang sesederhana itu, aku tidak akan merasa bersalah seperti sekarang. 

Elna adalah putri pewaris keluarga pahlawan dan juga seorang kesatria pengawal. Mengundurkan diri dari tugas bukan perkara sepele. Ayah memang tidak akan memaksanya. Bagaimanapun, pengguna pedang suci dari keluarga pahlawan sangat berharga, dan sebagai kaisar, Ayah tentu tidak ingin memperburuk hubungan dengan mereka. 

Namun tetap saja, ini adalah tindakan yang mencoreng kehormatan. 

“Apakah kehormatan itu tidak penting bagimu?” 

“Tentu itu sesuatu yang penting. Tapi, sumpahku jauh lebih penting daripada kehormatanku. Kalau kamu membutuhkan aku, aku akan pergi ke mana pun. Sekarang jelaskan. Apa yang harus kulakukan?”


Elna menampilkan senyum lembut yang jarang terlihat darinya. Senyum itu menancap dalam di hatiku. 

Tapi aku tidak bisa terus larut dalam rasa bersalah. 

“...Christa bisa menggunakan sihir sejak lahir. Kemampuan itu adalah melihat masa depan.” 

“...Aku terkejut. Bisa menyembunyikannya sampai hari ini saja sudah luar biasa.” 

“Kemampuannya muncul tiga tahun lalu. Christa melihat kematian dari Putra Mahkota. Sejak saat itu, dia kadang benar, kadang meleset. Tapi kalau tentang dirinya sendiri, biasanya visinya tepat.” 

“Kali ini termasuk yang seperti itu, ya?” 

“Ya. Kamu masih ingat gadis kecil bernama Rita yang bermain dengan Leo, kan?” 

“Tentu. Apa dia yang terlibat?” 

“...Menurut Christa, gadis itu akan mati. Di depan mata Christa sendiri.” 

Wajah Elna langsung menjadi serius mendengar ucapanku. Christa biasanya tidak keluar dari istana atau istana harem. Jika Christa bisa terlibat dalam kejadian itu, berarti ada seseorang dari dalam istana atau istana harem yang terkait. Karena itu, sebagai bangsawan tertinggi, kehadiran Elna sebagai pengawal akan sangat membantu. Jika ada yang mencoba mengganggu, hanya sedikit yang bisa menghadapi Elna. 

“Jadi, aku hanya perlu menjaga Christa dari dekat? Dan itu akan berhubungan langsung dengan keselamatan Rita?” 

“Ya... Kemampuan melihat masa depan Christa hanya diketahui segelintir orang. Ayah pun tidak tahu soal ini. Karena itu, kamu tidak bisa menggunakan hal ini sebagai alasan untuk mengundurkan diri dari tugas, paham?”

“Aku tak apa-apa. Tugas berikutnya berada di dekat danau besar.” 

“...Jangan-jangan kamu berniat...?” 

“Aku akan bilang pada Yang Mulia Kaisar bahwa aku takut air. Dengan begitu, seharusnya tak jadi masalah besar, kan?” 

“Mungkin memang begitu, tapi... Kalau begitu, kelemahanmu akan tersebar ke orang-orang, kamu tahu? Apa kamu rela? Bukankah dulu kamu sangat membencinya?” 

“Aku masih membencinya sekarang. Jika aku mengundurkan diri, itu akan terlihat seperti kekalahan, dan akan jadi bahan tertawaan bahwa putri pewaris keluarga pahlawan takut air.” 

“Kalau begitu...” 

“Tapi, sumpahku lebih penting dari itu. Kamu sedang kesulitan, bukan? Apa kamu yakin bisa menghadapinya tanpa aku? Bisa kamu tangani sendiri? Tidak bisa, makanya kamu datang ke sini, bukan? Kamu benar-benar sedang terjepit, kan? Kalau begitu, aku akan membantumu. Sumpah yang hanya berupa kata-kata tidak ada artinya. Aku bukan perempuan yang hanya omong kosong.” 

Elna berdiri dan melangkah mendekat ke arahku. Lalu, dengan lembut, dia menyentuhkan dahinya ke dahiku. 

Aku terkejut oleh tindakannya yang tiba-tiba, namun Elna berkata dengan tenang.

“Tenanglah. Sekarang semuanya akan baik-baik saja. Segala sesuatu yang ingin kamu lindungi, akan kujaga. Agar tak ada satu pun yang terlepas dari tanganmu, aku akan mengulurkan tanganku bersamamu. Jadi, jangan tunjukkan wajah sesedih itu.” 

“Elna...” 

“Tidak apa-apa. Kamu bukan mengabaikan Yang Mulia Christa. Perebutan takhta itu penting, dan Yang Mulia Christa juga penting. Kalau kamu tak bisa menjaga keduanya sekaligus, maka aku akan menjaga salah satunya. Kamu pergilah membantu mereka yang kamu butuhkan demi perebutan takhta. Aku yang akan melindungi Yang Mulia Christa.” 

“...Aku tak ingin anak itu merasakan sakit lagi... Saat ibunya meninggal, dia seperti kehilangan jiwanya. Tapi akhirnya dia mulai bisa tersenyum kembali... Kumohon jaga adikku... Jagalah Christa. Hanya kamu yang bisa kupercayakan...” 

“Serahkan padaku. Kita ini sahabat masa kecil dan rekan seperjuangan, kan? Ceritakan saja apa pun. Aku akan selalu jadi kekuatanmu, kapan pun juga.” 

Setelah berkata demikian, Elna mengambil satu langkah mundur dan memperlihatkan senyumnya yang ceria. 

Aku pernah melihat senyuman itu sebelumnya. Saat pertama kali kami bertemu, dia juga tersenyum seperti itu, lalu berkata bahwa dia akan melindungiku. Begitu ya. Dia tidak pernah berubah. 

Baik dulu maupun sekarang, Elna selalu ada di pihakku.


* * *


“Kakak! Jangan pergi...!” 

“Christa. Jangan membuat Al kesulitan, ya.” 

Pada akhirnya, Elna mengundurkan diri dari tugas dengan alasan danau besar. Dia secara jujur mengakui kepada Ayah bahwa sejak dulu dia tidak suka dengan air. Meski sebelumnya dia memaksakan diri untuk bergabung dalam tugas pengawalan duta besar karena ada aku dan Leo, dia memberikan alasan yang masuk akal bahwa hal itu bisa mengganggu tugas. 

Dengan alasan seperti itu, tentu saja Ayah tidak bisa tidak menyetujuinya, dan ditugaskanlah kesatria pengawal lain untuk menggantikannya. 

Kemudian, Ibu meminta Ayah agar Elna ditugaskan sebagai pengawalnya. Dengan alasan yang juga terdengar masuk akal, dia ingin mendengar cerita dari kedua putranya. Dan Ayah pun mengizinkannya. Mungkin beliau menganggap itu bisa jadi waktu istirahat yang baik untuk Elna. 

Karena itu, aku pun menyampaikan kepada Ibu dan Christa bahwa aku akan meninggalkan ibu kota kekaisaran. 

“Elna akan jadi pengawalmu.” 

“Tidak mau...! Aku mau Kakak tetap di sini...!” 

“...Christa. Apa kamu percaya padaku?” 

“Iya...” 

“Begitu, ya.” 

Sambil mengelus kepala Christa yang sedang memelukku erat, aku mencari cara terbaik untuk menjelaskan. Kalau aku pergi begitu saja sekarang, Christa tidak akan bisa mempercayai Elna. Meski sebenarnya aku tidak mempermasalahkan itu, tetap saja, kalau bisa, aku ingin Christa mempercayainya. Maka, aku pun mengungkapkan isi hatiku. 

“Aku akan meninggalkan pedang terbaik yang paling kupercaya.” 

“Pedang...?” 

“Iya. Pedang terbaik di seluruh benua. Dia akan melindungimu dari siapa pun. Jadi kalau kamu kesulitan, andalkan dia. Kalau kamu merasa kesepian, panggil saja namaku melalui dia. Dia pasti akan datang.” 

“...Oke...” 

“Anak baik. Sekarang tak apa-apa lagi. Elna akan melindungimu dan juga Rita.” 

Setelah berkata begitu, aku memeluk Christa dengan erat, lalu membalikkan badan. Di sana, Elna sudah berdiri. 

“Tolong jaga adikku.” 

“Serahkan padaku.” 

Setelah pertukaran singkat itu, aku pun mulai melangkah lurus ke depan. Aku tidak menoleh ke belakang lagi.

Karena tidak ada sedikit pun keraguan dalam hatiku.

 

Bagian 10

Saat Gordon mengetahui keberadaan Rebecca dan mulai menggerakkan pasukan rahasia. 

“Putri Zandra, kami mohon kerja samanya.” 

Orang-orang yang dikirim dari organisasi penculik anak-anak datang mencari Zandra di ibu kota kekaisaran. Jumlah mereka lima orang. Mereka adalah para pembunuh bayaran elit yang dimiliki organisasi. Selain mereka, masih banyak pengejar lainnya yang disebar di sekitar ibu kota. Organisasi mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengejar Rebecca. 

Namun, betapa pun besarnya organisasi kriminal itu, mereka tetap tidak sebanding jika berhadapan dengan pasukan rahasia milik kekaisaran. Karena itulah mereka meminta bantuan Zandra. 

Itu menunjukkan betapa surat yang dimiliki Rebecca merupakan ancaman fatal bagi organisasi tersebut. Dan itu juga berarti surat tersebut sama fatalnya bagi para bangsawan selatan, dan bagi Zandra yang basis dukungannya berada di kalangan bangsawan selatan. 

“Begitu ya. Kalau hubungan antara bangsawan selatan dan organisasi ini terungkap, tentu aku juga akan kesulitan. Gunther, persiapannya sudah selesai?” 

“Ya, tak ada masalah.” 

Gunther, pembunuh bayaran yang pernah mengincar Al, sedikit menundukkan kepala di samping Zandra. Di belakangnya telah berkumpul para pembunuh yang dikumpulkan Zandra dari berbagai daerah. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh orang. 

“Para pembunuh yang terlalu dekat denganku tidak bisa digunakan. Jadi aku kumpulkan pembunuh yang tidak terhubung langsung denganku. Aku pinjamkan mereka pada kalian. Gunakan sesuka hati kalian. Aku menjamin kehebatan mereka.” 

“Terima kasih. Tapi, sepertinya bukan hanya Gordon yang bergerak?” 

“Maksudnya faksi Leonard? Kalau itu bukan masalah. Mereka nyaris tidak memiliki pembunuh bayaran. Dalam hal mengejar target, tak ada yang melebihi pembunuh bayaran. Satu-satunya yang perlu diwaspadai adalah kepala pelayan Arnold, Sebastian.” 

“Baik. Jadi yang perlu diwaspadai hanya pasukan rahasia kekaisaran.” 

Zandra mengangguk pada kata-kata sang pembunuh dari organisasi. Pergerakan Gordon kali ini cukup cepat. Jika dianggap seperti biasanya, bisa-bisa mereka akan celaka. 

Zandra menyilangkan kaki di atas kursi dan menatap ke luar jendela, di mana matahari mulai terbenam. Ibu kota sebentar lagi akan diselimuti kegelapan, dan saat malam tiba, banyak kekuatan mulai bergerak. 

Jika kalah dalam perebutan ini, Zandra akan menerima pukulan paling fatal. Dia akan kehilangan basis dukungannya di wilayah selatan. Para penyihir yang tersebar di berbagai daerah mungkin masih akan mendukungnya, tapi pada akhirnya mereka hanya kumpulan individu. Perebutan takhta bukan hanya pertarungan antar kandidat, tetapi juga pertarungan antar faksi. Faksi kecil tak akan pernah bisa memenangkan takhta. 

Seperti halnya Leonard yang kini mendapat dukungan dari Duke Kleinert, keberadaan seorang duke berpengaruh di belakang mereka membuat kekuatan faksi meningkat secara signifikan. 

“Gordon ingin menyingkirkanku di sini.” 

“Pangeran Eric sepertinya akan tetap jadi penonton seperti biasa.” 

“Eric memang seperti itu. Dia takkan menodai tangannya sendiri sampai akhir. Dia hanya menunggu kita saling bertarung dan saling melemahkan. Tapi itulah celah yang bisa kita manfaatkan. Jika kita bisa bertahan di sini, maka kita tak perlu khawatir kehilangan dukungan.” 

Begitu juga dengan eksperimen. Zandra bergumam dalam hati. Kalau boleh bicara secara pribadi, eksperimen itu jauh lebih penting baginya. Dalam benaknya, kunci untuk memenangkan perebutan takhta bukanlah faksi, melainkan sihir terlarang. 

Jika sihir terlarang yang sedang dia teliti bisa disempurnakan, dia tidak butuh lagi kekuatan faksi. Siapa pun akan tunduk padanya. Semua orang akan bersimpuh secara alami. Itulah dunia ideal yang dibayangkan Zandra. 

“Karena aku sudah memberikan bantuan, kamu harus membuahkan hasil. Pastikan kamu membunuh kesatria itu.” 

“Tentu. Tapi, bagaimana dengan suratnya?” 

“Ayahanda yakin pada instingnya saat menilai seseorang. Terkadang, dia lebih memercayai kata-kata orang daripada bukti tertulis. Jika seorang kesatria mengungkapkan korupsi para bangsawan selatan, maka meski tanpa surat pun, Ayahanda bisa saja bergerak. Sebaliknya, kalau hanya surat saja, dia akan mencurigai pemalsuan dan takkan bertindak segera. Jadi, jangan lengah sebelum benar-benar memastikan mereka mati.” 

“Baik, kami mengerti.” 

Para pembunuh organisasi membungkuk lalu menghilang. Para pembunuh yang dikumpulkan Zandra pun mengikuti mereka. 

Yang tersisa hanya Gunther, tangan kanan Zandra. Dia pun membuka mulut. 

“Apa saya hanya menunggu di sini?” 

“Tentu saja tidak. Aku masih punya pekerjaan untukmu.” 

Zandra sebenarnya masih memiliki beberapa pembunuh terbaik di tangan. Jika semua dikerahkan, mungkin dia bisa menang dengan kekuatan penuh. Tapi dia enggan kehilangan lebih banyak pembunuh. 

Perintah tadi muncul dari pertimbangan itu, namun kini adalah saat penentuan. Jika dia terlalu pelit mengerahkan kekuatan, bisa-bisa akan terjadi sesuatu yang tak bisa diperbaiki. Gunther hampir mengajukan diri untuk ikut serta. 

Namun sebelum sempat dia bicara, terdengar suara dari belakang punggungnya. 

“Putir Zandra, saya membawa laporan.” 

Seorang pembunuh diambil posisinya dari belakang. Dan dia tak menyadarinya sampai lawannya berbicara. Itu adalah penghinaan besar, namun Gunther tidak bisa marah. 

Karena yang berdiri di belakangnya adalah pembunuh terkuat yang dimiliki Zuzan, bahkan mungkin yang terkuat dari semua yang pernah Gunther temui. 

“Ceritakan padaku, Xiaomei.” 

Yang muncul adalah Xiaomei, pembantu pribadi Zuzan sekaligus seorang pembunuh. Jika dia sampai meninggalkan Zuzan dan datang sendiri, maka pasti ada hal penting yang ingin dia sampaikan. 

“Pangeran Leonard dan Pangeran Arnold telah diperintahkan oleh Kaisar untuk melakukan inspeksi ke wilayah selatan. Dalam rangka itu, mereka akan mengerahkan kekuatan ke kota Yena.” 

“Benar-benar repot, sampai-sampai menyeret Ayahanda. Tapi ini juga kesempatan kita.” 

“Ya. Lingkungan di sekitar Putri Christa akan menjadi lebih longgar. Haruskah kita bergerak?” 

“Tentu. Bergeraklah sesuai rencana. Tapi awali dengan pengintaian. Kita tak boleh gagal kali ini. Jika berhasil, kita bisa mendapatkan pengguna sihir bawaan yang selama ini hanya ada dalam cerita kuno. Ah... Dia akan jadi bahan eksperimen yang luar biasa...” 

Zandra menggumam dalam keadaan mabuk kegembiraan. Dia bahkan sudah melupakan bahwa Christa adalah adik tirinya. 

Xiaomei tak mengatakan apa pun. Dia sudah terbiasa dengan sikap seperti itu dari Zandra. 

“Kalau begitu, aku akan menyelidiki situasi sekitar. Urusan di Yena tidak akan selesai dalam waktu dekat. Kita akan menyerang di saat yang tepat.” 

“Baiklah. Gunther, kamu juga bantu dia.” 

“Baik.” 

Mendengar jawaban mereka, Zandra melambaikan tangan dan menyuruh mereka pergi. Saat ruangan benar-benar kosong, dia tersenyum kecil. 

“Kalau urusan di Yena sampai gagal... Maka Paman akan aku buang. Tapi mau bagaimana lagi? Semua ini demi aku menjadi Kaisar. Tidak apa-apa. Selama aku bisa mendapatkan Christa, aku akan semakin dekat dengan takhta.” 

Sambil berkata begitu, Zandra menyunggingkan senyuman yang mengerikan.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close