NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V4 Chapter 2

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 2: Pencarian dan Penculikan


Bagian 1

Yena adalah kota benteng berukuran sedang yang terletak setengah hari perjalanan dengan kuda cepat dari ibu kota kekaisaran. Karena letaknya yang menyimpang dari jalur utama dan tidak memiliki hasil bumi maupun tempat wisata yang menonjol, sulit dikatakan bahwa kota ini berkembang. 

Yang memerintah di sana adalah Count Grim, seorang bangsawan paruh baya tanpa keistimewaan yang mencolok. Meskipun dia bersikap netral dan tidak berpihak pada kekuatan mana pun, putranya adalah anggota militer. Mungkin itulah alasan mengapa Gordon bisa segera bergerak. 

Kami tiba di Yena saat tengah malam. Karena waktunya yang tidak bersahabat, sang penguasa wilayah, Count Grim, disebutkan sedang tidak bangun, dan kami pun diarahkan menuju penginapan terbaik di kota. 

“Alasan yang tepat kita sudah meminta bantuan Ayah sebelumnya. Jadi kita bisa masuk kota tanpa masalah.” 

“Kalau ini bukan misi resmi, mungkin kita sudah ditahan di gerbang.” 

Aku berbicara dengan Leo sambil duduk di kursi. Ketika kami tiba di gerbang kota, para penjaga sempat berusaha menahan kami. Mereka meminta kami menunggu sampai penguasa wilayah datang menyambut, atau menyebut bahwa tidak ada penginapan yang tersedia. Untuk membungkam semua alasan itu, kami menunjukkan surat perintah dari Ayah. 

Selama seorang pangeran bergerak atas perintah langsung dari Kaisar, tak peduli apa alasannya, semua permintaan kami harus dipenuhi. Mengabaikan penjaga gerbang yang kelabakan karena gagal menunda kami, kami pun berhasil masuk ke dalam kota. 

“Kita bergerak cukup cepat. Mungkin pasukan rahasia belum tiba.” 

“Atau mungkin mereka belum siap. Tapi aku rasa mereka pasti sudah tahu posisi Rebecca. Setidaknya, seharusnya begitu...” 

“Siapa yang tahu. Bisa saja mereka melihat sosoknya, tapi belum bisa menentukan lokasi pastinya. Meski ini hanya kota menengah, mencari satu orang tetap saja menyulitkan. Apalagi Rebecca pasti juga sedang waspada.” 

Orang yang sedang melarikan diri bukanlah seorang amatir. Dia adalah seorang kesatria yang telah menerima pelatihan. Meskipun wilayah selatan kekaisaran sedang kacau, dia berhasil lolos dari kejaran organisasi kriminal sejauh ini. Menyembunyikan diri dari seorang penguasa wilayah yang tak menonjol tentu bukan hal yang sulit baginya. 

“Bagaimanapun juga, jika kita tidak segera melindunginya, akibatnya akan fatal.” 

“Ya. Kakak Gordon mungkin berniat memanfaatkannya, dan Kakak Zandra pasti ingin membungkamnya. Siapa pun yang menemukannya lebih dulu akan membawa kesengsaraan padanya.” 

Aku mengangguk mendengar perkataan Leo, lalu melirik ke arah Sebas. Seolah sudah memahami maksudku, Sebas membungkuk pelan dan langsung menghilang dari tempatnya. 

Jika itu Sebas, takkan butuh waktu lama untuk menemukan Rebecca. Itu pun jika tidak ada yang menghalangi gerakannya dan dia bisa bertindak dengan bebas. 

“Kalau kita sudah sampai, kemungkinan besar para pengejar dari organisasi kriminal juga sudah masuk kota. Jika ditambah dengan pasukan rahasia, kemungkinan malam-malam ke depan akan dipenuhi ketegangan.” 

“Kalau begitu, kita saja yang bergerak di siang hari. Kita bisa bergerak terang-terangan.” 

“Kita pasti akan diganggu oleh penguasa wilayah. Walaupun kita bertanya, dia akan pura-pura tidak tahu. Bahkan bisa jadi dia akan ikut mendampingi kita dengan alasan menjamu tamu, dan itu menyulitkan.” 

Rebecca sekarang pasti dalam kondisi tidak tahu siapa yang bisa dipercaya. Meskipun Leo dikenal memiliki reputasi yang baik, jika dia bersama penguasa wilayah ini, Rebecca pasti akan lebih waspada. 

“Kalau begitu, aku yang menarik perhatian penguasa wilayah, dan Kakak yang mencari Rebecca, ya?” 

“Ya, tampaknya itu pola yang paling masuk akal. Kalau aku bilang ingin berkeliling kota tanpa tujuan, takkan mencurigakan.” 

“Kalau begitu, kita jalankan dengan rencana itu. Apa Kakak punya petunjuk?” 

“Sedikit. Tapi pada akhirnya, tetap saja yang paling bisa diandalkan adalah dengan Sebas yang menemukannya.” 

Dengan mengatakan itu, aku pun memejamkan mata untuk bersiap menghadapi hari esok.


* * *


Pagi-pagi sekali keesokan harinya, penguasa wilayah datang ke penginapan dengan wajah panik. Namun, aku menyerahkan urusan itu kepada Leo dan diam-diam menyelinap keluar dari penginapan. 

“Tidak ada hasil?” 

“Sayangnya, tidak. Karena pasukan rahasia milik Yang Mulia Gordon dan para pembunuh bayaran milik Yang Mulia Zandra sudah sepenuhnya berkumpul, saya tidak bisa bergerak leluasa.” 

Meski telah bergerak sepanjang malam, Sebas yang berjalan di belakangku tidak menunjukkan sedikit pun tanda kelelahan. Apakah dia tidak tahu arti kata lelah? Mungkin ini soal tingkat pelatihan, atau bisa juga karena dunia tempat dia hidup memang berbeda sejak awal. 

“Apakah semua pembunuh bayaran seperti dirimu?” 

“Pembunuh bayaran hidup di malam hari dan bergerak dalam kegelapan. Kalau sampai mengantuk, artinya masih belum pantas bahkan untuk disebut murid.” 

“Jadi, kita akan menghadapi perebutan kecil-kecilan setiap malam untuk beberapa hari ke depan, ya...” 

Sejujurnya, aku tidak ingin ini berlarut-larut. Aku muak dengan pertempuran malam, dan Rebecca juga akan semakin terancam. 

“Semoga kita mendapatkan informasi berharga.” 

“Akan kita dapatkan. Di tempat ini.” 

Sambil berkata demikian, aku menatap ke atas sebuah bangunan. Itu adalah markas cabang petualang di Yena. 

Para petualang biasanya jeli mengamati sekitar, dan begitu berkumpul di tempat minum, mulut mereka jadi ringan. Banyak informasi beterbangan. Jika mereka adalah bagian dari cabang ini, pasti ada sesuatu yang mereka tahu. 

“Kamu tidak butuh penyamaran?” 

“Tidak perlu. Tak seorang pun di sini yang tahu wajahku.” 

Ini bukan ibu kota kekaisaran. Karena kota ini juga jauh dari jalur utama, informasi pun sampai dengan lambat. Kemungkinan besar mereka bahkan tak tahu wajah Leo. 

Dengan pikiran seperti itu, aku membuka pintu markas guild Yena. 

Bagian dalamnya tak jauh berbeda dari markas di ibu kota. Ada meja resepsionis dan bar, serta papan pengumuman tempat permintaan kerja ditempelkan. Di ruang bar, para petualang sedang menikmati minuman mereka dengan wajah puas. 

Namun, beberapa orang menunjukkan raut curiga terhadap wajah asing sepertiku. Tatapan yang memadukan rasa ingin tahu dan kesal. Sambil menahan tatapan-tatapan itu, aku melangkah ke arah resepsionis. Namun.

“Hei, dari mana asal bocah kaya ini? Tempat ini bukan tempat bagi anak manja yang bawa pelayan! Ini markas petualang, tahu!?” 

Seorang petualang menghadang langkahku. Karena dia memegang cangkir, sepertinya dia sudah mabuk. Petualang lain hanya melirik tanpa berniat menghentikannya. Satu-satunya yang tampak cemas adalah staf guild. Mungkin baginya, aku adalah benda asing yang masuk ke wilayah mereka. 

“Aku ke sini karena ingin informasi. Aku sedang mencari seseorang.” 

“Mencari orang, hah? Hah hah hah! Lucu sekali! Ini markas petualang, tahu? Kalau mau info, buatlah permintaan resmi! Itu pun kalau ada yang mau menerimanya!” 

Dengan berkata begitu, si pria tertawa. Petualang lain pun ikut tertawa bersamanya. 

Benar-benar... Yah, bisa dibilang, ini memang ciri khas petualang. Mereka bahkan tak berpikir bahwa aku bisa saja menjadi sumber uang. 

Mereka hanya tidak ingin terganggu ketika sedang menikmati minuman. Itulah yang utama, yang lain urusan nanti. Yah, aku juga tidak membenci sifat itu. 

“Biar aku beritahu, Bocah Kaya. Gara-gara kekacauan di selatan, para petualang di sini kebanjiran permintaan. Tak ada yang mau ikut campur dalam permainan anak-anak seperti pencarian orang!” 

Dengan itu, pria itu menyiramiku dengan alkohol yang ada di tangannya. Suara tawa di dalam markas pun langsung terhenti. Tapi pria itu masih saja tertawa. 

“Itu traktiranku! Nikmati, ya!” 

“Ah, rasanya lumayan. Tapi, bisakah kamu minggir? Aku ada urusan dengan staf guild.” 

Staf guild biasanya lebih banyak mendengar daripada para petualang. Informasi dari mereka cenderung lebih dapat diandalkan daripada dari para pemabuk yang cepat lupa. 

Aku berusaha melangkah melewati pria itu, tapi bahuku langsung ditangkap olehnya. 

“Hei... Kamu meremehkan aku, ya? Aku bilang pergi sana!” 

“Aku tidak bisa. Aku punya urusan.” 

Saat aku menjawab begitu, genggaman pria itu makin kuat. Bahuku mulai terasa sakit. Sepertinya takkan mudah kulepaskan begitu saja dalam kondisi biasa. Kalau bisa, aku ingin menyelesaikannya tanpa kekerasan. 

Tapi saat itulah, pintu markas tiba-tiba terbuka. 

“Apa yang sedang terjadi di sini?” 

Yang masuk sambil berkata begitu adalah sosok yang tidak kusangka. 

Seorang wanita dengan rambut cokelat dikepang tiga. Namanya Emma. Resepsionis dari markas ibu kota yang biasa menangani Silver.

 

Bagian 2

Mungkin karena langsung memahami situasinya, Emma segera berlari ke arahku dan menarik tangan pria itu dari pundakku. 

“Sungguh. Siapa pun yang melupakan prinsip dasar seorang petualang tidak pantas berada di guild.” 

“Eh, Nona Emma... Ini ada alasannya...”

“Aku tak ingin mendengar alasan. Toh, pasti kamu hanya menjadi terlalu percaya diri karena mabuk. Semua yang tidak menghentikannya juga ikut bertanggung jawab!” 

Emma menegur para petualang yang hanya menonton dan para staf guild yang tampak panik. Sebagai resepsionis dari guild ibu kota yang menangani Silver, Emma punya pengaruh lebih besar daripada kepala cabang biasa. 

Para staf guild menunduk seolah mengakui kesalahan mereka, sementara para petualang memelototi pria yang berdiri di dekatku seakan menyalahkannya karena menyeret mereka ke dalam masalah. 

Petualang yang tadi memegangi pundakku tampak kebingungan atas perkembangan yang tak terduga ini. Mengabaikannya, Emma mengeluarkan sapu tangan dan mulai membersihkan tubuhku. 

“Saya mohon maaf! Saya akan mengganti baju Anda! Untuk keperluan kali ini, kami akan menerima permintaan Anda secara gratis sebagai permohonan maaf atas kekacauan ini!” 

Sambil terus membungkuk, dia dengan cekatan mengeringkan rambut dan bajuku yang basah. Sebagai resepsionis dari guild ibu kota, kemampuannya dalam menangani situasi seperti ini benar-benar sempurna. Kalau ini adalah klien biasa, semuanya pasti sudah selesai sampai di sini. 

Namun saat sedang mengelap, Emma tampaknya menyadari bahwa pakaian dan aksesoriku tampak sangat mewah. Wajahnya mulai memucat seiring dengan kesadarannya. Dan ketika poni di dahiku tergeser ke samping, wajahku terlihat jelas oleh Emma. Saat itu juga, sapu tangan di tangannya terjatuh. 

“...Y-Yang Mulia...?”

Dia masih ragu apakah aku Arnold atau Leo, tapi dia sudah cukup yakin bahwa aku adalah salah satu pangeran. 

“Sebagai resepsionis dari ibu kota, kamu benar-benar hebat bisa mengenali wajahku.” 

“M-Mohon maafkan kelancanganku!” 

Dengan cepat, Emma menjauh dariku dan berlutut. Para petualang dan staf guild yang belum paham situasi hanya bisa melongo, sampai akhirnya Emma dengan suara tergesa-gesa mengumumkan identitasku. 

“Inilah Yang Mulia Pangeran Ketujuh Kekaisaran, Pangeran Arnold!” 

“Pangeran...!?” 

“Jadi ini dia pangeran yang dikenal dengan julukan ‘Pangeran Sisa’ itu... Kenapa dia ada di kota ini...?” 

“Serius...?”

Banyak yang terkejut mendengar identitasku, tapi tak lama kemudian suasana berubah seolah semua orang berpikir, kalau cuma Pangeran Sisa, santai saja. Petualang yang tadi memegangi pundakku juga awalnya panik mendengar kata “pangeran”, tapi setelah tahu aku adalah si Pangeran Sisa, dia terlihat lega. Emma mengernyit melihat reaksi itu. Dia tahu, tak mungkin aku meninggalkan ibu kota tanpa alasan. 

“U-Untuk kali ini, ada keperluan apa, Yang Mulia...?”

“Aku dalam perjalanan menjalankan perintah langsung dari Yang Mulia Kaisar untuk melakukan inspeksi di wilayah selatan. Aku sedang mencari seseorang dan membutuhkan informasi.” 

“P-Perintah langsung dari Yang Mulia Kaisar...? Jadi, ini kunjungan resmi...?”

“Bisa dibilang begitu.” 

Wajah semua orang di dalam markas seketika memucat. Bersikap tidak sopan terhadap utusan resmi Kaisar sama saja dengan bersikap tidak sopan kepada Kaisar itu sendiri. Bahkan petualang pun tak bisa lolos dari akibatnya. 

“M-Mohon maafkan kami! Kami tidak tahu bahwa beliau adalah seorang pangeran! Kami tidak berniat bersikap tidak hormat terhadap Yang Mulia Kaisar ataupun Yang Mulia Pangeran!” 

“Kalau kalian memang berniat tak sopan, itu justru masalah yang lebih besar.” 

“Mohon maafkan kami...” 

Emma membungkuk dalam-dalam. Melihat itu, pria petualang yang tadi pun hendak berlutut. 

Namun aku menghentikannya. Karena aku tidak menyukainya. 

“Seorang petualang tidak tunduk pada kekuasaan. Mereka mencintai kebebasan dan hidup sesuai prinsip mereka sendiri. Kalau staf guild mungkin pantas berlutut, tapi seorang petualang? Begitu tahu aku pangeran langsung hendak berlutut, apa artinya itu? Begitu ringankah tekadmu menjadi petualang?” 

“Itu, aku...”

“Kalau ingin menjunjung kebebasan, peganglah itu sampai akhir. Kalau kamu merasa terganggu karena ada orang yang merusak suasana santaimu saat minum, maka entah itu pangeran atau bahkan Kaisar, usirlah. Aku suka petualang yang punya semangat seperti itu. Jangan buat aku kecewa dengan membalik telapak tanganmu seperti ini.” 

Mendengar kata-kataku yang keras, wajah si petualang tampak seperti hendak menangis. Dia mungkin bingung karena bahkan untuk meminta maaf pun dilarang. 

Namun bukan berarti aku ingin membuatnya menangis atau ingin menghina. 

“Kalau kamu tak bisa mempertahankan pendirianmu, maka lain kali jangan asal menyerang orang lain. Para bangsawan Kekaisaran sering bepergian dengan menyamar.” 

“B-Baik! Aku akan berhati-hati mulai sekarang!” 

“A-Apakah Anda berkenan memaafkan kami...?”

“Aku tak menuntut kesopanan dari para petualang. Dan satu hal lagi, Pangeran Kekaisaran dan utusan Kaisar tak pernah datang ke tempat ini. Mengerti maksudku, kan?” 

“Y-Ya... Terima kasih banyak...”

“Tak perlu berterima kasih. Boleh aku meminjam sebuah ruangan pribadi? Aku ingin bicara sebentar. Denganmu.” 

Aku menunjuk Emma, dan kemudian memasuki ruang pribadi yang ada di bagian belakang markas.


* * *


“A-Apa keperluan Anda kali ini...?”

Dengan nada hati-hati, Emma bertanya padaku. Namun sebelum menjawab, aku lebih dulu menanyakan alasan keberadaannya di tempat ini. 

“Sebelum masuk ke inti pembicaraan, boleh aku tanya dulu? Kenapa kamu ada di sini? Kamu dipindahkan dari ibu kota?” 

“T-Tidak, bukan seperti itu... Ah, maaf belum sempat memperkenalkan diri. Saya Emma dari cabang ibu kota... Sebenarnya, karena insiden iblis yang terjadi di wilayah selatan, jumlah permintaan mendadak meningkat pesat, jadi banyak staf guild yang sementara dikirim ke selatan.” 

“Karena jumlah permintaan meningkat, para petualang pun mengalir ke sana. Maka perlu tambahan staf untuk menangani itu, ya.” 

“Tepat sekali. Saat ini saya dalam perjalanan kembali ke ibu kota, dan kebetulan membantu cabang ini sebelum pulang.” 

“Begitu, ya. Kalau begitu, maukah kamu membantuku? Sebenarnya, perintah dari Kaisar itu hanya sebagai kedok. Aku dan adikku Leo memang diperintahkan untuk menginspeksi wilayah selatan, tapi tujuan utamanya adalah kota ini.” 

“Maksud Anda...?”

Emma tampak sedikit memiringkan kepala, tak memahami maksudku. Meski dia sangat kompeten, tentu dia tak bisa memahami hal-hal di luar lingkup tugasnya. Ini adalah urusan politik, bagaimanapun juga. 

“Tujuan sebenarnya adalah mencari seseorang di kota ini. Yang kami cari adalah seorang kesatria dari selatan, namanya Rebecca. Seorang kesatria wanita muda yang pernah mengabdi pada keluarga Sitterheim, usianya sekitar pertengahan belasan. Dia membawa surat yang memuat bukti penyimpangan para bangsawan selatan. Karena itu, banyak kekuatan yang mengincar dirinya dan surat tersebut. Kami ingin segera melindunginya. Tapi nama ‘Rebecca’ cukup umum, dan informasi tentang dirinya sangat sedikit. Kamu tahu sesuatu?” 

“...Apa itu benar?”

Tanggapan yang tidak aku duga. Meskipun dia tampak menganggap situasinya serius, aku tak menyangka dia memulai dengan mempertanyakan kebenarannya.

Biasanya, orang akan segera mencoba mengingat apakah mereka mengenal seseorang yang sesuai dengan deskripsi itu...

Ada yang mencurigakan. Aku menyipitkan mata dan menatap Emma lekat-lekat. Mungkin menyadari tatapanku, dia menundukkan pandangannya, lalu berkata. 

“...Tadi Anda menyebutkan datang bersama Pangeran Leonard, artinya beliau juga ada di kota ini, benar?” 

“Benar. Saat ini dia sedang meladeni sang penguasa wilayah.” 

“Kalau begitu... Bisakah Anda datang kembali besok pagi? Saya akan mengumpulkan informasi hingga saat itu.” 

“Unit rahasia militer dan para pembunuh yang mengejar Rebecca sudah berada di kota ini. Waktu kita tak banyak.” 

“...Tetap saja, mohon datang lagi besok. Saya pasti akan memberikan informasi berharga.” 

“Kalau kamu tahu sesuatu, katakan saja sekarang.” 

“...Maafkan saya.” 

Emma tetap tak menjawab permintaanku. Seberapa keras pun aku mendesak, sepertinya dia takkan berubah pikiran.

Akhirnya aku menghela napas dan berdiri dari tempat duduk. 

“Baik. Aku akan datang lagi besok pagi. Itu sudah cukup?” 

“Ya... Terima kasih banyak.” 

Diantar oleh Emma, aku dan Sebas keluar dari kantor cabang guild. 

“Ada yang mengawasi mereka?” 

“Ya, ada beberapa.” 

“Begitu... Maka keputusan Emma memang tepat.” 

“Tampaknya dia memang tahu sesuatu.” 

“Sejak awal dia sama sekali tidak menunjukkan rasa curiga ketika aku menyebut nama Rebecca. Itu reaksi dari seseorang yang sudah tahu. Aku sempat bertanya-tanya kenapa tak ada jejak keberadaan Rebecca sama sekali, dan bagaimana dia bisa lolos dari kejaran organisasi kriminal. Tapi kalau dia bersembunyi bersama Emma, maka semuanya masuk akal. Ditambah lagi, mereka bisa dapat dukungan dari para petualang.” 

“Jadi, dia yang menyembunyikannya.” 

Aku mengangguk pelan mendengar kesimpulan Sebas. Alasan Emma tidak langsung memberitahu kami pasti karena dia ingin mengonfirmasi dengan Rebecca lebih dulu, dan juga karena mempertimbangkan kemungkinan kami sedang diawasi. 

“Kalau besok pagi Emma membawa Rebecca ke sini, kita segera lindungi dan pergi. Tapi karena sudah bersinggungan dengan kita, Emma juga menjadi target pengawasan. Lindungi dia malam ini.” 

“Baik. Namun, walau dia staf guild, saya tidak yakin dia bisa menghindari para pengejar kelas atas. Kemungkinan besar keberadaannya akan diketahui.” 

“Kalau sampai begitu, kita gunakan cara paksa. Persiapkan semuanya. Sampai kami datang, kamu lindungi mereka.” 

Jika situasinya memanas, kami hanya perlu melawan balik. Dengan Sebas, setidaknya dia bisa mengulur waktu.

Dengan pemikiran itu, aku pun kembali ke kamar.

 

Bagian 3

Saat itu, di ibu kota kekaisaran.

Elna, yang secara resmi ditugaskan sebagai pengawal Mitsuba di dalam istana harem, pada kenyataannya lebih memprioritaskan perlindungan Christa. Ketika Mitsuba dan Christa bergerak secara terpisah, Elna selalu memastikan dirinya berada di sisi Christa, dan Mitsuba menerima hal itu sebagai sesuatu yang wajar.

Hari itu pun Christa pergi menemui Rita yang sedang berada di istana, dan Elna turut mendampingi. 

“Tadaaa! Lihat nih! Ku-chan!”

“Apa itu...?”

Di lapangan istana seperti biasa, Rita mengeluarkan sebuah koin. Sekilas, koin itu tampak seperti sampah kotor yang tak berarti. Namun, Rita memamerkannya dengan bangga pada Christa. 

“Apa ya ini? Kira-kira apa, ya?”

“Ehh, bilang doong!”

“Hmm, kasih tahu nggak, ya? Kasih tahu nggak, ya?”

“Sudah, ah! Aku tanya Elna saja! Elna, ini apa?”

“Eehhh!!!!” 

Christa menghampiri Elna, yang sejak tadi mengawasi mereka berdua, dan langsung bertanya. Elna hanya membalas dengan senyum simpul.

Tentu saja, Elna tahu benda itu adalah alat yang biasa digunakan para kadet kesatria. Sebagai kesatria resmi, Elna mengenalnya.

Namun, dia merasa tak pantas mencampuri obrolan santai anak-anak. Dia memandang ke arah Rita, yang tengah memamerkan mainan barunya dengan ekspresi penuh kebanggaan, menggambarkan betapa dia ingin memamerkan sesuatu pada temannya. Itu mengingatkan Elna pada dirinya sendiri di masa lalu, saat dia selalu ingin memamerkan pedang atau alat sihir baru pada Al dan Leo. 

“Begini, itu adalah alat rahasia para kesatria. Jadi aku tidak bisa memberitahukannya secara gratis. Kalau kalian bisa menang dalam sebuah permainan denganku, akan kukatakan.”

“Permainan...?”

“Permainan yang mudah. Kalau kalian bisa menebak di mana aku menyembunyikan batu ini, kalian menang. Rita juga, ikut, ya.”

“Okeeee!”

Dengan penuh rasa ingin tahu, Rita memusatkan perhatian pada Elna.

Bagi Rita, Elna adalah sosok kakak perempuan terkenal, bukan idola, tapi cukup menarik perhatiannya.

Elna memungut sebuah batu dari taman bunga dan menunjukkannya dengan jelas pada keduanya. 

“Rita, kamu juga ikut, ya. Kalau kamu berhasil menebak, kamu boleh yang menjelaskan.”

“Benarkah? Rita mau ikutan!”

“Bagus. Nah, ini adalah batu biasa. Sekarang, aku akan menyembunyikannya. Perhatikan baik-baik, ya.”

“Iyaaa...!”

“Nggak akan kulewatkan!”

Senyum mengembang di wajah Elna saat melihat kedua anak itu menatap dengan penuh konsentrasi. Dia memindahkan batu dari tangan kanan ke kiri, lalu kembali ke tangan kanan.

Awalnya, gerakannya cukup pelan untuk diikuti mata anak-anak. Tapi perlahan kecepatannya meningkat, hingga akhirnya tangan Elna bergerak terlalu cepat untuk dilihat. 

Keduanya hanya bisa melongo, tak paham apa yang sedang terjadi di depan mereka. Namun, tangan Elna segera berhenti.

Tangan yang tadinya terbuka kini mengepal. Dia tersenyum manis. 

“Nah, sekarang tebak, ada di tangan yang mana?”

“Hmm, yang mana yaaa?”

“Aku nggak tahu...”

“Gunakan firasatmu!”

“Nggak! Nggak boleh asal tebak! Kita kerja sama! Aku pilih kanan, Rita pilih kiri!”

“Waaah! Ku-chan pintar! Rita pilih kiri!”

“Aku ambil kanan...!”

Elna tersenyum lebar mendengar jawaban mereka yang penuh semangat.

Namun saat dia membuka tangannya, batu itu tak ada di sana. Mata keduanya membelalak. Christa, dengan suara bergetar, berbisik. 

“E-Elna menelannya...?”

“S-Salah! Coba lihat kantong dada kalian!” 

Dengan panik, Elna menunjuk ke arah kantong dada mereka.

Begitu diperiksa, mereka melihat kantongnya mengembung. 

“Waaah! Batu yang dibelah dua ada di kantong Rita!”

“B-Belah dua? Elna, kamu tukar diam-diam...?”

“Tidak, aku tidak curang. Itu batu yang tadi.”

“Tapi kenapa belah dua!?”

“Aku membelahnya dengan tangan.” 

“Uwaaaah! Hebat! Hebat banget, Kak El!”

“...”

Sementara Rita melompat kegirangan, Christa mengingat kembali kata-kata Al. 

“Dialah pedangku”. Saat itu dia mengira itu hanyalah perumpamaan. 

Tapi sekarang, Christa memandangi Elna dalam diam, lalu mengangguk seolah memahami sesuatu. 

“Elna itu pedang... Jangan disentuh, bahaya...”

“K-Kenapa begitu...”

Di tengah canda tawa mereka, Elna merasa sedikit lega.

Saat awal bertugas sebagai pengawal, Christa sempat menjaga jarak dengannya. Untuk mengatasi itu, Elna menceritakan kisah masa lalu tentang Al agar bisa lebih dekat dengannya. Tidak bisa menjalin hubungan akrab tentu akan menyulitkan sebagai pengawal. 

Sebagai hasilnya, beberapa kisah memalukan Al pun ikut tersebar ke Christa, meski Elna anggap itu sebagai konsekuensi yang wajar.

Sekarang, Christa sudah sangat mempercayainya. 

“Elna, kalau kami berdua salah, bagaimana...?”

“Kalau begitu, berarti aku menang. Jadi aku yang akan menjelaskan. Rita, pinjamkan koinnya. Dua-duanya.”

“Oke, Kak El!” 

Sekarang panggilan itu sudah jadi kebiasaan, pikir Elna sambil menerima dua koin lusuh itu dan memberikan satu pada Christa. 

“Tolong pegang yang ini, ya.”

“Iya...”

“Sekarang aku akan sembunyikan koin yang ini. Temukan, ya.” 

Elna kembali memainkan koin, berpindah dari satu tangan ke tangan lain, makin cepat, dan akhirnya menyodorkan kedua tangannya. 

“Nah, di mana koinnya?”

“Kantong dada!”

“Kali ini pasti kiri!” 

“Salah, dua-duanya.”

Elna membuka kedua tangannya. Tidak ada koin.

Mereka mencari-cari tapi tidak menemukan apa pun. 

“Putri Christa, coba keluarkan koin yang tadi.”

“Yang ini...?”

“Ya. Letakkan di telapak tangan. Rita, letakkan jarimu di atas koin.”

“Oke!” 

“Perhatikan baik-baik. ‘Bande’.” 

Dengan sedikit sihir, Elna mengucapkan mantra, Dari koin, muncul benang cahaya tipis. 

Benang cahaya itu terhubung mengarah ke kantong rok Elna. Dengan tangan kosong, dia mengambil koin dari kantong itu dan menunjukkan benangnya pada Christa. 

“Ini adalah Koin Ikatan Muntze. Dua keping menjadi satu alat sihir. Saat menyentuh salah satunya dan menyebut kata sandi, benang akan muncul menuju koin satunya. Biasanya, hanya pemegang koin yang bisa melihat benangnya. Hanya pengguna sihir yang hebat yang mungkin bisa mendeteksinya.” 

“Wow...! Ini buat komunikasi sama teman, ya?”

“Bisa juga untuk bertemu secara rahasia, atau mengendus markas musuh. Tapi produksinya masih terbatas, jadi hanya kesatria di ibu kota dan sekitarnya yang memakainya. Tapi kelak akan menyebar ke seluruh kekaisaran. Jadi, Rita. Jangan hilangkan, ya? Ini dipinjamkan karena kamu kadet di istana. Kemampuan menjaga barang penting juga dinilai pelatih, tahu?” 

“Okeee!” 

Jawaban Rita penuh semangat, tapi kurang serius, membuat Elna menghela napas. Rita lalu mengajak Christa bermain lagi di lapangan. 

“...Benarkah anak itu bisa jadi kesatria?”

Tak ada kadet yang langsung jadi kesatria kekaisaran.

Namun Elna berharap Rita bisa jadi yang pertama. Dia yakin Rita dibutuhkan di sisi Christa. Jika menjadi kesatria pengawal, Rita, yang bukan seorang bangsawan, bisa menjadi pengawal pribadi jika diminta Christa. 

Membayangkan masa depan itu, Elna menguatkan hati. 

Dia harus melindungi masa depan yang damai dan menyingkirkan bayangan suram yang mengancam.

Saat Elna kembali menetapkan tekadnya, Christa tiba-tiba berteriak memanggil Rita. 

“Ritaaa!”

“Tenang! Tenang! Aah!” 

Rita yang tengah memanjat tiang di lapangan, kehilangan keseimbangan ketika melihat Christa. Dia terjatuh.

Namun Elna menangkapnya dengan ringan. 

“Yang benar saja. Seorang kesatria tak seharusnya membuat seorang bangsawan kekaisaran khawatir, Rita.”

“Ahaha... Maaf.”

“Rita! Kamu nggak apa-apa, kan!? Nggak luka, kan!?” 

Tingginya tak seberapa. Tidak mematikan. Elna tahu itu dari pengalaman, dia pernah memaksa Al naik tiang seperti itu saat pelatihan. Al, yang payah dalam olahraga, jatuh juga saat itu, tapi hanya lecet.

Namun kepanikan Christa sangat tidak biasa. 

Itu karena dia telah melihat masa depan. 

“Aku nggak apa-apa kok. Ini biasa, kan?”

“Berhenti! Jangan lakukan hal berbahaya!”

“Tenang, Putri Christa.”

“Tapi...!”

“Yang Mulia.” 

Dengan tenang, Elna menenangkan Christa. Panik tidak membantu. Sekalipun bahaya mengintai di masa depan, saat ini belum waktunya. 

“Aku ada di sini. Tidak apa-apa.”

“...Iya.” 

Saat Christa mengangguk, Elna merasakan tatapan dari jauh, dari balkon lantai atas istana. Tapi saat dia mencari, sosok itu sudah menghilang. 

“...Hanya perasaanku?” 

Dia bergumam sambil menghela napas. Mungkin karena tahu masa depan, dia jadi lebih sensitif. Ini hanya lapangan istana. Wajar kalau seseorang di atas melihat para putri bermain.

Dengan pikiran itu, dia tak menurunkan kewaspadaannya, dan mengarahkan pandangan ke Christa. 

Sementara itu, di salah satu balkon lantai atas, Xiaomei yang bersembunyi sedang berkeringat dingin. 

“Tak kusangka bisa ketahuan dari jarak ini...”

Xiaomei, yang mengintai kesempatan untuk menculik Christa, tak menduga Elna akan menjadi pengawal pribadinya. Dia yakin pengawasan jarak jauh takkan terdeteksi, jadi dia melihat mereka bertiga dari sana. Tapi Elna tetap menyadarinya. 

Namun dia juga mendapat kepastian. Kewaspadaan Elna jelas bukan hal biasa.

Bahkan dirinya yang terlatih pun nyaris terlihat. Bahkan salah satu pembunuh milik Zandra pasti akan ketahuan.

Namun, ini menjadi semakin menarik baginya. Itu memperkuat keyakinannya bahwa Putri Ketiga Christa memang memiliki kemampuan sihir bawaan untuk melihat masa depan. Itulah mengapa Elna ditugaskan menjaganya. 

Dengan keyakinan itu, Xiaomei menghilang ke dalam bayangan.

 

Bagian 4

Di istana harem, di kamar Selir Kelima, Xiaomei tengah melaporkan kepada Zandra dan Zuzan. 

“Apa sudah pasti?”

“Ya, saya yakin. Tingkat kewaspadaannya sungguh tidak biasa.”

“Kamu dilatih menjadi pembunuh sejak kamu masih muda, jika kamu bilang begitu, maka tidak diragukan lagi. Senang mendengar ada kabar baik.” 

Zuzan yang duduk di kursi berkata begitu kepada Xiaomei. Ekspresinya penuh kepercayaan. Namun, segera setelah itu, raut wajahnya berubah menjadi serius.

Sebesar apa pun keinginannya, target mereka adalah seorang putri kekaisaran. Tindakan langsung terlalu berbahaya. Apalagi dia adalah putri dari Selir Kedua. Jika terjadi sesuatu, yang pertama dicurigai pasti dirinya. 

“Kalau bisa diculik, tentu ingin kulakukan. Tapi kalau kita bertindak langsung, sudah pasti semuanya akan bermuara padaku. Lagipula, bahkan tanpa aku melakukan apa pun, aku tetap dicurigai. Dicurigai itu tidak masalah, tapi jika penyelidikan benar-benar sampai padaku, maka Zandra pun akan hancur.” 

“Terlepas dari itu, pengawalnya adalah si jenius dari Armsberg. Bahkan aku tidak akan bisa mendekatinya. Di sinilah kita harus menggunakan strategi.” 

“Oh? Katakan padaku.” 

“Gunakan pedagang yang selama ini Zandra lindungi. Serahkan urusan penculikan kepada mereka. Seperti biasa.” 

“Apa yang kamu bicarakan!? Kalau mereka tertangkap, siapa yang akan membawakan anak-anak itu padaku? Kita masih membutuhkan mereka bahkan setelah menculik Christa!” 

“Zandra. Tenanglah.” 

Zuzan menenangkan Zandra yang mulai tersulut emosi dan memberi isyarat pada Xiaomei untuk melanjutkan.

Xiaomei, yang sudah terbiasa menghadapi amukan Zandra, tidak menunjukkan rasa takut dan mulai menjelaskan rencananya. 

“Karena masalah di wilayah selatan, cepat atau lambat penyelidikan dari Kaisar akan sampai ke sana. Dan kalau sudah begitu, hubungan antara perdagangan manusia dan para pedagang itu hanya tinggal menunggu waktu untuk terungkap.” 

“...Jadi kita buang mereka sebelum jejaknya sampai pada kita?” 

“Tepat sekali, Putri Zandra.” 

Xiaomei tersenyum seolah memuji kecerdasan Zandra. Zandra yang tadinya marah karena para pedagang yang biasa mengantarkan bahan percobaan untuknya hendak digunakan, kini memahami maksudnya.

Baik Zuzan maupun Zandra memang sudah mulai memutus hubungan dengan wilayah selatan. Bagaimanapun juga, keluarga Duke Kruger akan menjadi sasaran Kaisar. Menjaga jarak secara politis adalah langkah yang wajar. Maka, mengambil jarak juga dari pihak lain adalah strategi yang masuk akal. 

“Bahkan jika sesuatu terjadi di selatan, kita bisa meminimalkan kerusakan yang sampai pada kita... Ya, tak ada pilihan lain.” 

“Ya. Maka kita manfaatkan mereka di sini. Kalau berhasil, kita mendapatkan Putri Christa. Kalau gagal, hanya mereka yang musnah.” 

“Bagaimana kalau ada yang selamat dan membuka mulut soal hubungan mereka dengan kita?” 

“Tidak perlu khawatir. Urusan itu serahkan padaku.” 

Dengan kata-kata itu, Xiaomei menebarkan senyuman yang tak memiliki sedikit pun cahaya kehidupan, sebuah senyum yang begitu menyeramkan hingga membuat Zandra dan Zuzan merinding. Namun meski begitu, keduanya tidak pernah berpikir untuk melepaskan Xiaomei. Alasannya jelas, karena dia sangat luar biasa, dan sama seperti para pelayan lainnya, Xiaomei juga telah dikenakan “kalung”.

Semua pelayan Zandra dan Zuzan telah dipasangi kutukan melalui sihir terlarang. Kutukan itu akan membuat tubuh mereka diliputi rasa sakit luar biasa jika mereka mulai membocorkan rahasia kedua wanita itu. Karena itulah para pelayan tidak bisa meminta bantuan siapa pun dan hanya bisa tunduk pada perintah.

Xiaomei pun tak luput dari kutukan itu. 

Seorang pembunuh bayaran tangguh yang mengenakan kalung yang tak bisa dilepaskan, itulah tipe orang yang disukai Zandra dan Zuzan. Dan karena itulah mereka menerima rencana Xiaomei. 

Zandra tersenyum dengan hati berdebar membayangkan kekuatan sihir bawaan yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Zuzan pun menyunggingkan senyum sambil membayangkan putri dari Selir Kedua yang begitu dia benci, dijadikan bahan eksperimen oleh tangan Zandra. 

Dan demikianlah, rencana itu mulai dijalankan.


* * *


“Ada undangan dari Selir Kelima. Dia ingin berbicara dengan Putri Christa dan Nona Elna.”

Mendengar hal itu dari dayang yang datang sebagai utusan, Elna mengerutkan dahi.

Walau Elna telah mendengar tentang Selir Kedua dan Zuzan, membawa Christa, anak Selir Kedua, kepada Zuzan ibarat membawa hewan kecil ke sarang binatang buas. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi? 

Tetapi, di dalam istana harem, seorang selir memiliki kekuasaan mutlak. Mulai dari Permaisuri, semakin tinggi pangkat selirnya maka semakin besar wibawanya. Khususnya, selir ketiga hingga kelima tengah bersaing kekuasaan, begitu pula di dalam istana harem, kekuatan mereka jauh melebihi Mitsuba, yang tidak terlibat sama sekali dalam persaingan tersebut. 

“Nyonya Mitsuba tidak ada, jadi aku akan menundanya ke lain hari.”

“Itulah maksud kami mengundangmu sekarang.” 

Seandainya Mitsuba ada, Elna pasti bisa menolak. Tapi sayang, Mitsuba dipanggil Kaisar. Karena menugaskan misi ke Al dan Leo secara berturut-turut, Kaisar tentu juga memperhatikan Mitsuba. 

Elna menoleh kepada Christa yang bersembunyi di belakangnya. Di bawa sekalipun neraka, ditinggal pun neraka.

Menolak bukan pilihan, bagaimanapun jika menolak, Mitsuba bisa mendapatkan hukuman berat.

Namun membawa Christa kepada perempuan yang mungkin adalah pembunuh ibunya terlalu kejam. Di sisi lain, kejadian jasmani lewat ramalan masa depan membuatnya tak bisa jauh dari Christa. 

“Minta waktu sebentar pada Selir Kelima.”

“Baik.” 

Dayang itu mundur, tapi itu hanya penundaan. 

“Baiklah, Yang Mulia?”

“Elna... Aku tidak mau pergi...”

“Tentu saja tidak, Yang Mulia. Tetap di sini; aku yang akan pergi.”

“Elna, kamu benar-benar akan pergi...?”

“Kamu harus kujaga. Jika aku menolak, Nyonya Mitsuba akan menderita. Jadi, Yang Mulia, tolong jangan keluar dari kamar. Mengerti?” 

Elna memerintahkan pasukan pengawal istana harem, hanya diisi oleh perempuan dan bertugas menjaga bagian dalam istana tersebut. Masing-masing unit berpindah hanya di bawah selirnya, seperti pengawal pribadi selir, kecuali untuk Permaisuri, yang mengawasi seluruh bagian istana harem.

“Baik, kami jalankan.”

“Apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan kamar ini. Meski Yang Mulia meminta keluar.”

“Baik!” 

Meski tugas darurat, Elna juga komandan pengawal Mitsuba dan Christa. Namun dia khawatir, dia tidak bisa memerintahkan bawahannya secara langsung. Kekurangan tenaga sangat terasa. Andai saja Marc ada di sini situasinya berbeda, tapi istana harem dilindungi ketat, laki-laki tidak bsia masuk tanpa izin. 

“Janji padaku, Yang Mulia. Jangan keluar.”

“Baik... Tidak akan keluar.”

“Terima kasih. Bahkan jika namaku disebut, jangan buka pintu.” 

Elna menepuk lembut rambut Christa, lalu meninggalkan kamar.

Christa langsung dipenuhi kecemasan, berkubang di balik selimut di tempat tidur sambil memeluk boneka kelinci kesayangannya. 

Namun tiba-tiba datang kabar yang merobek kedamaian hati Christa.

“Y-Yang Mulia! Ini serius! Ah, Pangeran Arnold...!”

“K-Kakak Al pulang?” 

Christa bangkit dari kecemasannya melihat pelayan yang datang penuh dengan darah. Tapi ketika melihat dengan tenang, dia tahu itu bukan darah si pelayan. 

Sesuatu telah terjadi. Intuisi Christa membuat tubuhnya gemetar.

“A-Apa yang terjadi?”

“Ketika menuju selatan, Pangeran tertabrak monster, lukanya cukup parah...”

“Tidak mungkin...”

“Mereka membutuhkan Anda, jadi kami datang... Cepatlah.” 

Suara dingin itu meruntuhkan hati Christa.

Dia ingin langsung berlari, tapi para pengawal mencegahnya.

“Tunggu! Yang Mulia!”

“Lepaskan aku! Kakak Al terluka!”

“Nona Elna perintahkan jangan keluar!”

“Kakak dalam bahaya! Mohon biarkan aku keluar!”

“Nyonya Mitsuba sudah di sana! Cepatlah!” 

Dengan dorongan pelayan, Christa melepaskan diri dan berlari. Mitsuba, Arnold, dan Leonard, tiga sosok itu adalah keluarganya, tidak berlebihan kalau mereka adalah segalanya bagi Christa. Tak bisa ditahan lebih lama, para pengawal ikut mengejar. Pelayan berdarah itu memimpin Christa menuju sebuah kereta kuda. 

“Hei! Mau pergi ke mana kamu? Ini area para pedagang!”

“Kami memakai rute alternatif agar tidak menarik perhatian, Yang Mulia! Kami harus mengobatinya!”

“Cepat!” 

Christa berlari sesegera mungkin, melempar boneka kelincinya karena mengganggu. Saat berbelok, dia melihat kereta kuda dan sesosok tubuh berdarah di dekatnya dan sedang diobati.

“Kakak...” 

Christa melompat mendekat ke arah sosok yang tumbang. Namun, dia malah menemukan sosok lain berbaju hitam di tanah.

“Itu bukan kakak...”

“Ya, ini jebakan,” kata pria gempal, menutup mulut Christa dengan sapu tangan.

“Hmmmmmm...”

Dia mencoba sekuat tenaga untuk mengeluarkan suara, tetapi dengan kekuatan orang dewasa yang menekan saputangan itu begitu keras, dia tak mampu melawan. 

Aroma obat yang meresap ke dalam kain itu membuat kesadaran Christa perlahan menghilang ke dalam kegelapan. Di saat yang bersamaan, terdengar suara tubuh yang roboh ke tanah. Para penjaga yang mengikuti Christa telah tumbang dengan darah mengalir dari leher mereka. 

“Seperti biasa, luar biasa sekali, Tuan Gunther.” 

“Tak perlu pujian, cepat selesaikan.” 

Salah satu pembunuh bayaran di bawah perintah Zandra, Gunther, mendesak pria gempal itu dengan waspada sambil mengawasi sekeliling. 

Biasanya, Gunther membunuh dengan sihir. Tapi kali ini, dia menggunakan pisau biasa yang tak mencolok. Itu agar dia tak terlibat secara langsung dalam kejahatan ini. 

Menculik seorang putri kekaisaran adalah dosa di antara dosa. Tak boleh ada satu pun jejak yang tertinggal. 

“Kalau begitu, saya akan menerimanya.” 

“Ya. Tapi kamu tahu, bukan?” 

“Tentu saja. Saya tak akan menyentuhnya, ya, tentu saja tidak.” 

Pria gempal itu menyeringai dengan senyum menjijikkan, dan Gunther menatapnya dengan curiga dan jijik. Dia tahu betul bahwa pria ini, meski dikenal sebagai salah satu saudagar besar di ibu kota kekaisaran, adalah pedagang budak di balik layar, mengumpulkan budak dari berbagai penjuru dan menjualnya. Dia juga seorang penyimpang yang menyukai anak-anak. 

Bagi pria itu, gadis seusia Christa adalah suguhan yang paling dia gemari, Gunther tak sulit menebaknya. 

“Ini bukan lelucon. Kamu mengerti, kan?” 

“Y-Ya, saya mengerti...”

Tatapan mata Gunther membuat saudagar gempal itu gentar. Dengan senyum kikuk, dia memerintahkan bawahannya untuk mengangkat Christa. 

Christa yang tertidur lelap dimasukkan ke dalam bagian belakang kereta kuda yang telah dimodifikasi. Dasar kereta itu memiliki ruang ganda, biasanya digunakan untuk menyelundupkan barang-barang terlarang ke dalam istana. Meskipun saat keluar dari istana pemeriksaan biasanya longgar, membawa putri kekaisaran keluar adalah perkara lain. Tak ada salahnya untuk sangat berhati-hati. 

Tidak ada rasa bersalah dalam diri saudagar itu. Meski ini pertama kalinya menculik seorang putri kekaisaran, dia sudah sering menculik gadis bangsawan untuk dijadikan budak. 

Tentu, dia merasa takut. Lawan kali ini terlalu besar. Namun, permintaan ini datang langsung dari Zandra. Karena itulah, dia yakin takkan terjadi apa-apa. 

Asal tak membuat kesalahan, semuanya akan baik-baik saja. Dengan pikiran itu, si saudagar tertawa kecil dan naik ke atas kereta. Gunther yang mengantar kepergiannya, kemudian bersama anak buahnya segera membereskan mayat-mayat itu dan meninggalkan tempat secepat mungkin. Meski waktu yang mereka miliki belum cukup untuk benar-benar menghapus semua jejak, mereka tak tahu kapan Elna akan datang. 

Kereta pun mulai bergerak perlahan. Namun, ada seorang anak yang mengejar kereta itu. 

Itu adalah Rita. Di tangannya tergenggam boneka kelinci milik Christa. Dengan susah payah, dia meraih dan menggantungkan tubuhnya di belakang kereta lalu berhasil masuk ke dalamnya. Dari sana, dia melemparkan boneka itu ke luar. 

“Rita akan menyelamatkanmu... Ku-chan...”

Beberapa saat setelah itu, kabar tentang hilangnya Christa menyebar ke seluruh istana, dan pengamanan paling ketat dalam sejarah pun diterapkan. 

Namun saat itu, kereta kuda sudah lama meninggalkan istana. 

Dengan demikian, ibu kota kekaisaran perlahan tapi pasti tengah bergerak menuju masa depan yang telah dilihat Christa.

 

Bagian 5

Tengah malam. Kami segera meluncur menuju penginapan tempat Rebecca seharusnya berada. Sebab, kami menerima laporan dari Sebas bahwa musuh telah mengetahui lokasi mereka. 

Namun, ketika kami tiba di sana, pertempuran sudah terjadi. Kemungkinan besar Emma telah dibuntuti. Di dalam kota, ruang gerak selalu terbatas. Bagi orang awam, nyaris mustahil bisa lepas dari pembunuh bayaran. Keputusan untuk menugaskan Sebas sebagai pengawal benar-benar tepat. 

“Kerja bagus.” 

“Tak terlalu sulit. Musuhnya tampaknya bukan tentara.” 

Saat aku memberi pujian, Sebas menanggapi dengan tenang, seolah hal itu tak ada artinya. Yang mengejutkan, dia masih sempat mengamati lawan sambil bertarung. Tapi informasi itu sangat berharga. 

Dari situ, bisa disimpulkan bahwa mereka diserang oleh pembunuh dari organisasi. Pasukan rahasia yang diatur oleh Gordon belum bergerak. 

“Apa kamu kesatria bernama Rebecca?” 

Dari dalam kamar penginapan, Emma muncul bersama seorang wanita. Melihat itu, Leo langsung menyapa. Wanita itu pun berlutut. 

“Aku Rebecca, kesatria dari keluarga bangsawan Sitterheim.” 

“Aku Leonard, Pangeran Kedelapan Kekaisaran. Senang kamu selamat. Maaf kami terlambat datang.” 

“Tidak... Maafkan aku karena merepotkan Yang Mulia. Aku sebenarnya berniat pergi sendiri ke ibu kota, namun karena kurangnya kemampuan, aku justru harus dibantu Emma dan kelompok petualang di sini. Aku sungguh malu atas kelemahanku.” 

“Tak perlu dipikirkan. Tanggung jawab ini ada pada kami. Aku merasa sangat bersalah pada Keluarga Sitterheim.” 

“...”

Rebecca hanya menundukkan kepala mendengar kata-kata Leo. Namun, tak ada waktu untuk tenggelam dalam perasaan. Musuh yang dihadapi Sebas kemungkinan besar hanyalah gelombang pertama. Gelombang kedua dan ketiga pasti akan segera menyusul. 

“Kita bicara nanti. Sekarang kita harus segera pindah. Emma, kamu bisa menunggang kuda?” 

“Bisa. Tapi, kenapa Yang Mulia ada di sini?” 

“Maafkan kami, tapi kami tak begitu mempercayai kalian. Musuhnya adalah pembunuh bayaran. Jika kalian cukup hebat untuk bisa lolos dari pengawasan mereka di dalam kota, kalian pasti sudah tiba di ibu kota sekarang. Karena itu, kami menempatkan Sebas di pihak kalian dan bersiap untuk bergerak kapan saja.” 

“Begitu ya...”

Aku menyampaikan semuanya dengan terus terang, dan Emma, meski tersenyum getir, tampak menerima dan mengangguk. Terlihat keras, tapi ini adalah perebutan takhta. Baik Gordon maupun Zandra telah mengirimkan pasukan pilihan mereka. Mempercayai orang awam bisa berujung pada harga yang sangat mahal. 

Aku segera menggiring Emma dan Rebecca ke kuda yang sudah disiapkan di luar. Sekitar mereka sudah dikelilingi oleh para pengawal Leo. Mereka adalah prajurit terbaik di pihak Leo. Jika lawannya pasukan rahasia Gordon, mungkin akan sulit. Tapi untuk menghadapi para pembunuh, mereka cukup andal. 

“Kemungkinan besar pasukan rahasia sudah bersiap menyergap kita. Kalian siap?” 

“Tentu saja.” 

Saat aku bertanya sambil menaiki kuda, Leo menjawab dengan menghunus pedangnya. Di antara kami semua, Leo adalah yang terkuat. Dia akan berada di garis depan. Jika Leo bisa menahan musuh di depan, pergerakan pasukan akan jauh lebih mudah. 

“Kalau begitu, mari kita berangkat.” 

“Ya. Menuju ibu kota!” 

Dengan aba-aba dari Leo, kami pun mulai memacu kuda kami menuju ibu kota kekaisaran.


* * *


Penerobosan dari Yena berjalan dengan lancar. Kami memang beberapa kali menghadapi penyergapan, tetapi semua masih bisa diatasi oleh keberanian dan kehebatan pribadi Leo. Namun.

“Pasukan rahasia tidak bergerak, ya...”

“Mereka memang mengawasi, tapi tampaknya hanya sebatas pengawasan.” 

Sambil memacu kuda, aku mendengarkan laporan dari Sebas. Sebenarnya, ada banyak kesempatan untuk melakukan serangan mendadak. Namun, mereka tidak mengambilnya, kenapa? 

Meski disebut pasukan rahasia, mereka tetaplah bagian dari militer. Bisa jadi, mereka menilai menyerang kami yang bergerak atas perintah langsung dari Kaisar adalah risiko yang terlalu besar. Tapi, apa hanya itu alasannya? 

Kalau mereka memang berhati-hati terhadap hal semacam itu, semestinya mereka akan bertindak lebih waspada. Kalau begini terus, mereka tidak akan bisa mencapai tujuan mereka. 

“Hmm...? Tidak bisa mencapai tujuan...?”

Jika mereka adalah prajurit pilihan yang ditunjuk sebagai pasukan rahasia, tentu mereka mengutamakan keberhasilan misi di atas segalanya. Dengan kondisi seperti sekarang, mungkinkah mereka akan membiarkan kami mencapai ibu kota? 

Tidak mungkin. Satu-satunya kemungkinan adalah mereka tengah menunggu waktu yang tepat untuk bergerak. 

“Mereka sudah mencapai tujuan minimum mereka...? Rebecca! Apakah surat itu masih aman?” 

Mendengar pertanyaanku, Rebecca melirik ke arah Emma. Dan Emma membalas lirikan itu dengan anggukan pelan. 

“Pangeran Leonard, Pangeran Arnold. Sebenarnya ada sesuatu yang belum kami sampaikan.” 

“Surat itu tidak ada pada kami.” 

Mendengar ucapan keduanya, aku dan Leo secara bersamaan memperlihatkan ekspresi serius. Tujuan minimum kami memang melindungi Rebecca, tapi itu hanya batas minimal. Tujuan terbaik adalah melindungi Rebecca bersama surat tersebut. 

“Sekarang, surat itu di mana?” 

“Kami menyerahkannya pada kelompok petualang yang berangkat bersama kami. Kami telah berjanji untuk bertemu kembali di kantor cabang ibu kota.” 

“Kalian memisahkan diri...”

Menyalahkan mereka karena tindakan itu mungkin terlalu kejam. Mereka telah menyusun rencana dengan kesadaran penuh, menjadikan diri mereka umpan demi memastikan surat itu sampai ke ibu kota. Dalam kondisi tertentu, itu bisa jadi strategi yang sangat baik. Hanya saja musuh kali ini terlalu kuat. 

Yang menjadi lawan kami sekarang adalah Gordon dan Zandra. Mereka adalah rival berat dalam perebutan takhta. Strategi semudah memecah kelompok menjadi dua tentu sudah bisa mereka perkirakan. Dan terlebih lagi, tujuan surat itu sudah pasti ibu kota. Apa pun langkah yang kami ambil, jika mereka menunggu di sana, mereka pasti bisa mengatasinya. 

“Sekarang kita hanya bisa berharap kelompok petualang itu selamat.” 

“Benar...”

“A-Apa kami telah melakukan kesalahan...?”

Melihat reaksi kami, Rebecca mulai panik. Jawaban jujurnya tentu saja, ya. Tapi aku ragu untuk mengatakannya secara langsung. Pada akhirnya, semua ini terjadi karena kami terlambat menemukan Rebecca. Dalam kondisi terpojok, dia hanya melakukan apa yang dia bisa. 

Itulah mungkin mengapa Leo tampak ragu hendak menjawab apa. Wajar saja. 

“Sudah pasti pasukan penyergap sedang menanti di ibu kota. Kalau mereka bersama kita, mungkin surat itu masih bisa diamankan. Tapi hanya kelompok petualang saja? Itu sulit.” 

“T-Tapi, mereka tidak tahu bahwa surat itu kami serahkan pada mereka!” 

“Kalau petualang itu pernah beraksi bersama kalian, pasti sudah dalam pengawasan mereka. Lawan kita adalah Zandra, yang memiliki para pembunuh ulung, dan Gordon, yang mengendalikan sebagian besar militer. Mereka punya mata dan telinga di mana-mana. Melihat pasukan rahasia Gordon tidak bergerak, kemungkinan besar surat itu sudah berada di tangan Gordon.” 

“Kakak, cara bicaramu...”

“Percuma dibungkus dengan kata-kata manis. Keadaannya memang buruk. Kita memang berhasil melindungi Rebecca, tujuan minimum kita, tapi surat itu gagal diamankan. Kalau Gordon memanfaatkannya dengan baik, kita akan menerima teguran keras dari Ayahanda.” 

Ayah sudah bersusah payah mengeluarkan perintah langsung, dan kalau hasilnya tak memuaskan, wajar saja jika beliau marah. Kalau saja kami bisa membawa Rebecca sekaligus surat itu, Ayah bisa mengatur masalah di wilayah selatan dengan lebih hati-hati. Tapi sekarang surat itu ada di tangan Gordon. Jika dia menggunakannya dengan cerdas, rencana Ayah bisa berantakan. 

“Mari kita berharap agar penasihat militer baru Gordon bukan orang cerdas.” 

Itu adalah harapan yang penuh keputusasaan. Mustahil seorang seperti Sonia yang mampu memberikan informasi penting kepada kami dan mengendalikan situasi dari balik layar, tak tahu bagaimana memanfaatkan surat itu. 

Apa pun tujuan pribadi Sonia, selama dia menjadi penasihat Gordon, dia akan memberikan strategi yang sepadan, dan memang seharusnya begitu. 

Bergantung pada strategi itu, posisi Gordon bisa semakin kuat, sementara kami semakin terdesak. Bahkan, bisa saja memicu perang saudara yang tak diinginkan. 

“Kita percepat ke ibu kota. Kalau terus berada di posisi yang tertinggal, kita hanya akan bermain dalam skenario mereka.” 

Sambil berkata demikian, aku menghentakkan tumitku ke perut kuda, memacunya lebih cepat.

 

Bagian 6

Elna tengah berada di ruangan milik Selir Kelima, Zuzan, duduk berhadapan dengan wanita itu yang sedang duduk di kursinya. 

“Aku rasa sudah aku minta untuk membawakan Christa juga, bukan?” 

Nada suara Zuzan yang seolah-olah sekadar memohon membuat Elna mengepalkan tinjunya. 

Itu bukan permintaan. Itu ancaman. 

Namun demikian, Elna menatap Zuzan secara langsung dan menjawab dengan tenang. 

“Yang Mulia Putri Christa sedang tidak enak badan dan tengah beristirahat di kamarnya. Karena itu, hanya saya yang datang kemari.” 

“Begitu. Sedang sakit, ya... Yah, baiklah.” 

Sambil berkata demikian, Zuzan menunjuk kursi sebagai isyarat agar Elna duduk. 

Tak bisa menolaknya, Elna pun duduk, meski tidak menyentuh sedikit pun apa pun yang terletak di atas meja. 

Kenangan Elna tentang Zuzan adalah ketika wanita itu menangis saat Selir Kedua meninggal dunia. 

Air mata itu tampak tulus. Dan justru karena itulah Elna merinding. Seorang wanita yang bahkan bisa meneteskan air mata untuk seseorang yang dia benci hingga tulang sumsum, betapa menakutkannya. 

Jika dia mampu menipu dirinya sendiri sampai sejauh itu, sudah pasti dia mampu menipu orang lain tanpa beban. Ayah Elna pernah menyebut Zuzan sebagai wanita licik seperti ular. Kini, Elna benar-benar memahami arti ucapan itu. 

“Aku memanggilmu kali ini karena ingin meminjam kekuatanmu.” 

Zuzan tersenyum penuh keakraban saat mengucapkannya, tapi bagi Elna, senyum itu tak ubahnya seperti ular yang mendesis sambil menjulurkan lidah, perlahan-lahan mendekat sambil menunggu saat yang tepat untuk menggigit. 

Begitu menyadarinya, Elna merasa seolah dirinya telah terjerat, tidak bisa bergerak sama sekali. Dia menutup mata sejenak, mencoba mengusir bayangan itu dari pikirannya. 

“Kalau maksudnya bantuan dalam perebutan takhta, saya menolaknya.” 

“Oh? Kenapa begitu?” 

“Keluarga Armsberg secara turun-temurun tidak pernah terlibat dalam perebutan takhta. Menjaga jarak dari politik adalah prinsip keluarga kami.” 

“Tapi, kamu berpihak pada Leonard, bukan? Nyatanya kamu menjadi pengawal ibunya.” 

“Karena kami teman masa kecil. Selama masih dalam batas kemampuan pribadi, saya bersedia membantu. Dengan saya menjadi pengawal, mereka berdua bisa merasa lebih tenang. Apa itu tidak berkenan?” 

“Tidak, persahabatan yang indah. Kalau begitu, bisakah persahabatan itu juga kamu arahkan pada Zandra?” 

Tentu saja tidak, batin Elna. Tapi dia tak bisa mengucapkan itu secara gamblang, jadi dia menanggapi dengan jawaban samar. 

“Kalau ada kesempatan untuk mengenal lebih dekat, mungkin akan saya pertimbangkan.” 

“Jawaban yang dingin. Padahal baik dia maupun aku sangat menghargaimu, tahu?” 

“Begitukah.” 

Sambil menjawab dengan dingin, Elna merasa ada yang janggal. 

Ucapan ‘menghargaimu’ tidak akan berarti apa-apa bagi keluarga Armsberg. Kedudukan keluarga itu sudah sangat kokoh, tidak membutuhkan penilaian dari siapa pun. Namun, Zuzan tetap mengucapkan kata-kata itu. Rasa ganjil itulah yang membuat Elna mengernyit. 

“Kalau kamu membantu Zandra, balasannya akan besar. Aku juga bisa jamin tidak akan mengganggu teman masa kecilmu.” 

“Saya berterima kasih atas tawaran itu... Tapi, Yang Mulia Selir Kelima, bolehkah saya bertanya satu hal?” 

Tawaran yang begitu gigih. Menolaknya secara frontal bukanlah langkah cerdas. Lebih baik menanggapi dengan halus, mencari waktu yang tepat, lalu mengakhiri pertemuan dengan alasan waktunya sudah cukup. 

Elna paham betul hal itu. Namun tetap saja, ini terasa ganjil. 

Oleh karena itu, Elna memutuskan untuk menghentikan alurnya dan bertanya lebih dulu. 

“Apa itu?” 

“Mengapa Anda memanggil Yang Mulia Putri Christa?” 

“Gadis itu adalah adik dari Lizelotte yang sudah kembali ke perbatasan. Kalau dia yang meminta, aku rasa Lizelotte akan berpihak pada kami.” 

“Berpihak...?”

Elna tak bisa mempercayai ucapan Zuzan. 

Itu tidak masuk akal. Lizelotte adalah putri dari Selir Kedua. Mustahil dia dan Christa berpihak pada Zuzan. Meskipun Zuzan tidak bersalah, dia tetap berada dalam posisi yang dicurigai. Dalam kondisi seperti itu, mustahil bisa membangun kerja sama. 

Lalu mengapa Zuzan tetap mengatakan hal semacam itu? 

“Sekarang Christa sedang tidak ada di sini. Lebih baik kita bicarakan dirimu saja.” 

“Sedang mengulur waktu, ya...?”

Gumam Elna dengan nada waspada. 

Zuzan tampak sedikit terkejut dan memiringkan kepala. 

“Apa maksudmu?” 

Reaksi itu saja sudah cukup membuat Elna yakin, dirinya memang sengaja diundang untuk dijauhkan dari Christa. Tanpa berkata sepatah kata pun, Elna berdiri dan berlari keluar ruangan. Zuzan tidak berusaha menghentikannya. Kompleks kediaman selir sangat luas, dan kamar masing-masing selir saling berjauhan. Dengan Elna datang kemari saja, waktu yang dibutuhkan sudah cukup untuk mengulur. 

Menyumpahi kecerobohannya sendiri, Elna melompat ke atap kediaman dan mengambil jalur tercepat. 

Alasan Zuzan memanggil Christa juga sudah jelas. Agar Elna meninggalkannya. 

Sejak awal, tujuannya adalah memisahkan mereka berdua. 

“Sial!” 

Karena ingin menghormati perasaan Christa, dia malah membuat Christa terjerumus ke dalam bahaya. 

Seharusnya, dia tetap berada di sampingnya, apa pun yang terjadi. Penuh penyesalan, Elna berlari hingga hampir mencapai kamar Mitsuba. 

Dia yakin, musuh takkan melakukan apa pun dalam area kediaman dalam. Tapi ketika mengintip ke dalam kamar, Elna tidak menemukan Christa. Wajahnya menegang menahan emosi. 

“Yang Mulia... Di mana...”

“H-Hamba dengar kabar bahwa Yang Mulia Pangeran Arnold terluka dan kembali ke istana...”

“Kalau begitu, seharusnya ada keributan besar! Ikut aku!” 

Elna menarik salah satu penjaga yang ada dan mulai mengejar Christa. Dia menanyai orang-orang terdekat, menelusuri jejak langkah Christa. Ketika arah yang dituju mulai mengarah ke tempat pemberangkatan kereta para pedagang, Elna meninggalkan para penjaga dan bergerak lebih dulu. 

Sesampainya di sana, dia menyapu pandangannya ke seluruh area. 

Kemunculan Elna yang mendadak membuat semua orang di tempat itu terkejut, tapi Elna tak memedulikan mereka dan terus mencari sekeliling. Dia melihat bekas noda di tanah, jejak darah yang telah dilap. 

Cara melapnya adalah teknik yang sering digunakan oleh para pembunuh bayaran. Elna mengklik lidahnya kesal, lalu mengangkat wajahnya. 

Mencari petunjuk lain, dia mengamati sekeliling, dan melihatnya. Sebuah boneka kelinci, milik Christa. 

“Yang Mulia...!”

Elna berlari menghampiri boneka itu sambil berseru. 

Boneka kelinci putih itu memang kotor, tapi tidak berlumuran darah. Untuk sementara, Elna merasa lega karena berarti Christa kemungkinan besar tidak terluka. 

Saat itu, tangannya menyentuh sesuatu yang keras. Di dalam boneka terdapat sebuah celah, dan sesuatu tertanam di dalamnya. Ketika dia mengintip, di sana terdapat sebuah koin logam. 

Dengan firasat yang buruk, Elna berbisik pelan. 

“...Bande.”

Seutas benang tipis dari sihir memanjang dari koin itu, mengarah ke luar kota. 

“Rita...!” 

Elna spontan menyebut nama itu, suaranya dipenuhi rasa terima kasih sekaligus kekhawatiran. 

Jika benda ini dipasang oleh Rita, berarti dia mengikuti Christa. Tapi jika mereka bersama, maka masa depan yang pernah dilihat Christa kemungkinan besar akan menjadi kenyataan. 

“Sampaikan pada Yang Mulia Kaisar bahwa keadaan darurat! Putri Christa telah diculik! Panggil kembali semua pejabat penting ke istana, dan segera tutup semua pintu istana! Cepat!” 

Komandan pasukan penjaga istana memiliki wewenang untuk melakukan itu. Dalam keadaan darurat, dia boleh bertindak secara independen. Elna pun memberi instruksi lanjutan. 

“Aku akan mengejar mereka! Minta agar Kaisar mengirimkan pasukan kesatria pengawal!” 

Sambil berkata begitu, Elna melompat tinggi dan mulai melayang di udara. Di ibu kota kekaisaran yang luas dan rumit ini, lebih cepat terbang langsung dibandingkan menyusuri jalan sempit dan penuh orang. 

Alasan mengapa dia tak melakukannya dari awal adalah karena penerbangan tanpa izin dilarang keras oleh Kaisar. Tapi sekarang bukan saatnya memikirkan larangan itu. 

Elna membubung lurus ke arah yang ditunjukkan oleh koin sihir itu.


* * *


“Baik, sementara ini sudah cukup.” 

Christa terbangun saat diturunkan dari kereta kuda, tapi dia tidak tahu di mana dirinya berada. 

Tubuhnya lemas tak bertenaga dan tangannya terikat dengan tali. Dia merasa seperti telah menuruni tangga, namun tak yakin akan hal itu. Yang pasti, dia tahu dirinya kini berada di dalam ruangan yang gelap dan lembap. 

“Yah, Putri. Aku akan ambilkan kalung yang cocok untukmu, jadi tunggulah di sini.” 

Pria botak yang mengikat Christa berkata demikian. 

Pria itu merupakan tangan kanan si saudagar, bertugas mengurus para budak. Dia terlihat sangat senang saat melangkah ke bagian dalam ruangan. 

Akan dikenakan kalung, hal itu membuat Christa diliputi perasaan putus asa. 

Kalung yang dipasang pada manusia biasanya adalah alat sihir yang berfungsi merampas kebebasan. Dan itu dilarang di Kekaisaran. Budak pun, pada dasarnya, adalah sesuatu yang terlarang. 

Namun sekarang, dia tertangkap oleh orang-orang yang menggunakan benda semacam itu. Tubuh Christa gemetar menyadari kenyataan itu. 

Namun, di saat seperti itu, Christa mendengar suara teman yang seharusnya tidak ada di sana. 

“Ku-chan...!”

“Rita...?” 

Rita memanggil pelan, dan saat Christa bereaksi, dia tersenyum lega. 

Lalu tanpa ragu, Rita menggunakan pisau pendek yang dibawanya untuk memotong tali yang mengikat Christa. 

“Bagaimana kamu bisa...?” 

“Aku menemukan boneka kelincimu, jadi aku mengikuti jejakmu. Lalu aku lihat kamu dimasukkan ke kereta, jadi aku ikut naik juga.” 

“Itu berbahaya... Kenapa kamu...”

“Karena Rita bukan seorang pengecut yang akan meninggalkan temannya.” 

Dengan berkata demikian, Rita memotong tali Christa dan membantunya berdiri dengan bahunya. 

“Tak bisa... Kita tak bisa melarikan diri...”

“Tak apa. Rita akan melindungimu.” 

Rita tersenyum cerah seperti biasa, dan membawa Christa menuju pintu keluar. Mereka melangkah pelan, satu demi satu, melalui lorong bawah tanah yang berliku. Tapi tetap saja, mereka hanya anak-anak. Bahkan, salah satunya tidak bisa berjalan dengan benar. 

Tak butuh waktu lama sebelum pria botak tadi berhasil menyusul mereka. 

“Ah, ada tikus kecil yang nyasar rupanya. Ya sudah, kamu juga akan kujadikan barang dagangan.” 

“Dia datang!” 

“Rita, setidaknya kamu saja yang kabur...!”

“Aku tak bisa meninggalkanmu!” 

Dikejar pria botak itu, Rita dan Christa segera mengubah arah. 

Meskipun itu menjauh dari pintu keluar, mereka akan tertangkap jika terus berjalan lurus. 

Setelah beberapa kali berbelok, mereka memasuki sebuah ruangan dengan pintu terbuka dan langsung menutupnya. 

“Haa... Sepertinya kita berhasil lolos?” 

“Tidak...”

Saat Rita merasa lega, wajah Christa justru berubah suram penuh keputusasaan. 

Itu adalah ruangan tempat anak-anak yang akan dijual sebagai budak dikumpulkan. Di sudut ruangan, tampak banyak anak mengenakan kalung, berkumpul dengan tubuh saling menempel. Ruangan itu tak asing bagi Christa. Dia mengenali tempat itu dengan jelas. Itulah ruangan tempat Rita akan mati, sebagaimana yang dilihatnya dalam penglihatannya. 

“Rita, lari.”

“Hm? Bukankah kita memang sedang melarikan diri?” 

“Bukan begitu! Tolong...!”

Christa memohon, namun suaranya segera tertelan oleh suara berat dari sudut ruangan. 

“Ketemu juga.” 

Suara rendah yang mencengkeram jantung itu jelas milik pria botak tadi. 

Dia muncul dari dinding yang tampak seperti tembok biasa. 

“Tempat ini penuh dengan pintu rahasia. Mau sembunyi? Mustahil.” 

“Tidak mungkin...”

“Sial...”

Rita mencoba membuka pintu yang mereka masuki tadi, namun sudah tak bisa dibuka. Ada sesuatu yang mengganjal, pria botak itu pasti telah menyiapkan sesuatu. 

“Sudah cukup main petak umpetnya.” 

“J-Jangan dekati kami!” 

Rita menyembunyikan Christa di belakangnya dan mengangkat pisau pendeknya. 

Melihat itu, si pria botak pura-pura terlihat takut. 

“Aduh aduh, menyeramkan sekali. Bermain jadi kesatria, ya?” 

“Diam!” 

Dengan gerakan yang lincah tak seperti anak kecil, Rita mengayunkan pisaunya. 

Pria itu terlalu meremehkan, dan ketika dia mendekat, dia tersentak dan mundur. Namun ujung pisaunya sempat mengenai kakinya, darah menetes sedikit dari luka itu. 

“Keparat... Dasar bocah... Letakkan pisaumu sekarang juga! Kalau begitu, aku akan biarkan kamu hidup.” 

“Tidak!” 

“Rita! Hentikan!” 

“Lihat, bahkan sang putri memintamu menyerah.” 

“Rita tidak akan meninggalkan temannya!” 

Rita kembali mengangkat pisaunya. 

Pria botak itu kembali mendekat, dan Rita menyambutnya seperti sebelumnya. Tapi kali ini, pria itu telah mengetahui panjang jangkauan pisau tersebut. Dia hanya mundur sedikit untuk menghindar, lalu dengan cepat menendang Rita yang sedang dalam posisi terbuka. 

“Argh!” 

“Ah, kena telak.” 

“Ugh... Uhuk, uhuk...”

“Rita! Rita!” 

Tendangan itu membuat tubuh kecil Rita terguling dan menghantam dinding. 

Christa berlari menghampirinya yang batuk berdarah, namun Rita bangkit lagi dengan mata basah oleh air mata dan kembali berdiri di hadapannya. 

“Meski tubuhmu sudah goyah begitu, apa kamu dilatih untuk melindungi keluarga kekaisaran sebagai kesatria?” 

“Bukan, bukan itu...”

“Bukan? Mereka hanya hidup mewah di istana tanpa tahu penderitaan. Kamu pasti rakyat jelata, bukan? Dengar, serahkan pisaunya. Jadi budak jauh lebih baik daripada mati, bukan?” 

“Tidak...”

“Cih, bahkan bocah tengik juga sok bicara tentang kehormatan kesatria, huh.” 

Pria itu meludah sembarangan, namun Rita menatap tajam ke arahnya. 

Dengan tubuh yang nyaris roboh, dia kembali mengangkat pisau pendeknya. 

“Rita bukan kesatria... Tapi Ku-chan adalah temanku... Dan aku tidak akan meninggalkan temanku...”

“Begitu ya.” 

Pria botak itu mengambil sebatang besi di dekatnya. 

Ujungnya runcing dan tajam, mungkin biasa digunakan untuk menyiksa budak. 

Dia mengarahkannya pada Rita. Adegan itu sama persis seperti yang pernah dilihat Christa dalam penglihatannya. 

Ah, benar saja pikirnya. Christa mulai merasa pasrah dalam hatinya. Sejak hari dia melihat kematian sang Putra Mahkota, Christa telah menyaksikan banyak masa depan. Bahkan masa depan yang tidak dia ceritakan pada Al atau Mitsuba. 

Itulah sebabnya, dia mulai memahami batas antara masa depan yang bisa diubah dan yang tidak. 

Jika kematian seseorang terlihat begitu jelas dalam penglihatannya, maka tak bisa diubah. Apa pun yang dilakukan, takkan mengubah akhirnya. 

Dia telah mencoba berbagai hal. Namun jika masa depan itu melibatkan kematian, tidak pernah sekalipun berhasil dia ubah. Begitu pula dengan masa depan sang Putra Mahkota. Atau kematian prajurit setia Lizelotte. Atau pelayan istana. Semuanya berakhir persis seperti yang terlihat. 

Namun kali ini, dia mencoba melawan. Karena dia tak ingin Rita mati. 

Namun pada akhirnya, justru tindakannya sendiri yang membawa kematian itu lebih dekat. Berusaha pun sia-sia. Membiarkannya pun takkan membantu. Masa depan tidak bisa diubah. 

“Kalau begitu, matilah.” 

Pria botak itu mengarahkan batang besi tajamnya. 

Melihat itu, Christa merasa tenggelam dalam keputusasaan. Akan ketidakberdayaannya. Akan kekuatan terkutuk yang dia miliki. Namun meski demikian, hatinya tak mampu menyerah. Dia tidak bisa menerima kematian Rita. 

Maka Christa menggantungkan harapan terakhirnya. Pada kata-kata yang pernah kakaknya ucapkan. 

“Elnaaaaaaaa!” 

“Percuma berteriak.” 

Pria botak itu menusukkan batang besi tajamnya. 

Namun saat itu juga, dinding ruangan itu hancur, dan sesuatu menerjang pria itu. 

Dia tak tahu apa yang terjadi. Tapi dia tahu satu hal, dirinya dihantam sesuatu dan terpental keras menabrak tembok. 

“Apa...!?”

“Maaf aku terlambat, Yang Mulia, Rita. Apa kalian baik-baik saja?” 

“Elnaaa...”


Di balik dinding yang hancur, terbentang sebuah lorong panjang yang menganga. Saat itulah pria itu memahami. 

Kesatria di depannya menerobos dinding ini secara langsung, menuju ke tempatnya berdiri. Dan kenyataan bahwa pedang sang kesatria kini tertancap dalam-dalam di tubuhnya, dia baru menyadarinya. 

Dia juga sadar akan satu hal lagi. 

Bahwa wanita itu memiliki rambut berwarna sakura dan mata berkilau zamrud. 

“Arms...berg...” 

“Ya... Kamu yang menyakiti juniorku yang manis itu, bukan?” 

“Kalau iya... Kenapa...?”

“Itu pantas diganjar dengan seribu kematian.” 

Ucap Elna, lalu menggenggam pedangnya yang masih menancap, menyalurkan kekuatan ke dalamnya. 

Dengan satu dorongan, pria itu terlempar, menembus dinding dan terpental jauh ke dalam lorong gelap. 

Elna tidak peduli ke mana pria itu terlempar. Ada hal yang jauh lebih penting yang harus dia pastikan. 

“Rita...!”

“Kakak El...”

“Ya, Rita...”

Elna menopang tubuh Rita yang nyaris ambruk, lalu menatap luka di perutnya. Dari sentuhan ringan, dia tahu tulangnya kemungkinan besar patah. Dia menggunakan sihir penyembuh sederhana, tapi karena patahnya cukup kompleks, sihir itu hanya mampu meredakan rasa sakit. Rita harus segera dibawa ke penyembuh profesional. 

“Elna...!”

“Yang Mulia...! Maafkan saya. Ini semua salah saya...”

“Tidak... Maafkan aku... Aku melanggar janji...”

Christa menubruk Elna sambil menangis, dan Elna memeluknya erat. 

Lalu, dengan lembut dan penuh kehati-hatian agar tak menyakiti Rita lebih parah, Elna juga memeluk Rita yang terluka. 

“Terima kasih... Ini semua berkatmu, Rita...”

“Hehe… Apakah Rita hebat…?”

“Ya, kamu hebat sekali. Sangat luar biasa.” 

Ucap Elna sambil tersenyum, lalu menggendong Rita di punggungnya dan berdiri. 

“Elna... Anak-anak itu...”

“Aku tahu.” 

Elna mengayunkan pedangnya ringan. Dalam sekejap, kalung-kalung yang mengikat leher anak-anak itu terpotong satu per satu. 

“Kalau kalian ingin hidup, ikutilah aku.” 

Hanya itu yang Elna ucapkan, lalu keluar dari ruangan membawa Rita dan Christa bersamanya. 

Anak-anak itu pun, tanpa ragu, mengikuti langkah Elna dari belakang.

 

Bagian 7

“Apa itu tadi!? Guncangan barusan!?” 

“Tidak apa-apa kan!? Ketua Gentner!” 

“Tak masalah. Tenang saja. Hanya sedikit keributan karena budak yang mengamuk.” 

Begitu ujar Gentner, si pedagang gempal, menjelaskan dengan tenang kepada para tamu penting yang datang untuk membeli budak. 

Dia berdiri di atas panggung menyerupai panggung pertunjukan, sementara para tamu duduk di kursi penonton. Jumlah mereka tak sampai dua puluh orang, namun semuanya adalah bangsawan kekaisaran yang dikenal menyukai budak. 

Tempat ini adalah ruang lelang rahasia di bawah tanah milik Perusahaan Dagang Gentner. Bagian bawah tanahnya dibuat rumit dengan banyak lorong, dan pintu masuk dijaga ketat oleh para pengawal. 

Mustahil bisa ada penyusup. Itulah sebabnya Gentner merasa tenang. Namun.

“Aku sungguh terkejut mendapati Ketua Perusahaan Dagang Gentner berbisnis budak.”

“Apa? Guwah! K-K-K-Kakiku...!”

Sosok yang muncul perlahan dari samping panggung adalah Elna. Itu adalah tempat di mana seharusnya budak yang terikat dibawa keluar, tempat yang tadi dijaga oleh para pengawal. Tapi kini, semua pengawal itu telah dilumpuhkan oleh Elna. Christa dan yang lainnya hanya bisa menatap terpaku pada aksinya. 

Gentner ingin tahu kenapa ini terjadi, tapi sudah terlambat untuk kabur. Elna telah menebas kedua kakinya. Tidak sampai mati, tapi cukup dalam untuk membuatnya tak bisa melarikan diri. Sebuah tebasan yang sangat presisi. 

“Aku Elna von Armsberg, kapten regu ketiga dari Pasukan Kesatria Pengawal. Atas tuduhan penculikan putri kekaisaran dan perdagangan budak, aku menangkapmu.” 

“A-Armsberg... K-Kenapa...?” 

“Kenapa, ya? Dan kalian semua juga bersalah. Bergerak sedikit saja, akan kutebas. Jangan pernah berpikir kalian bisa lari dari Armsberg.” 

Para tamu yang sempat ingin berdiri kembali duduk di kursi mereka. Mereka juga adalah bangsawan ibu kota. 

Mereka tahu betul reputasi keluarga Armsberg. Jika sudah muncul di depan mata, itu tandanya tamat. Seperti malaikat maut yang datang menjemput. 

“H-Hii! T-Tolong...!”

“Minta tolong? Setelah menculik seorang putri kekaisaran, kamu masih bisa berkata seperti itu?” 

“K-Kami hanya disuruh!” 

“Begitulah dugaanku. Karena itu, aku tak akan langsung membunuhmu. Tapi kamu akan bicara, semua sampai tuntas.” 

“Itu akan jadi masalah.” 

Suara itu datang bersamaan dengan lemparan belati ke arah Elna. Dia menepisnya. 

Momen itu dimanfaatkan oleh seorang pembunuh bertopeng yang segera melesat ke arah Gentner. 

Elna langsung menghalau serangan itu dengan pedangnya, berhasil menahan tusukan di detik terakhir. 

“Aku takkan membiarkanmu membungkamnya.” 

“Jadi aku memang harus melawanmu dulu, ya?” 

Suaranya teredam. Karena topeng itu, mustahil menebak apakah dia pria atau wanita. 

Elna merasa kesal. Dia penasaran apakah menggunakan topeng sekarang lagi populer. Sambil membendung serangan yang terus mengarah padanya, dia mulai menimbang langkah. 

Serangan si pembunuh cepat dan terarah. Dia menggunakan dua belati, satu di masing-masing tangan, mendorong Elna hingga ke ujung panggung. 

“Kamu menahan diri agar tidak merusak bangunan, ya?” 

“Benar. Tapi...”

Saat si pembunuh mengincar bagian tubuh, Elna mengangkat pedangnya. Kali ini, serangan lawan lebih dalam dari biasanya, dan dia tak sempat menghindar. Serangan balasan Elna adalah tebasan sempurna, tepat sasaran. 

Berdasarkan pengalaman, Elna tahu bahwa musuh yang ingin menyelesaikan pertarungan dengan cepat akan menyerang bagian vital. 

“Guh...!”

Bahunya terluka dalam. 

Si pembunuh langsung mengambil jarak, tapi Elna mengejarnya dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Tetap dengan pertimbangan agar tak merusak bangunan, Elna masih bisa menekannya dengan kekuatan luar biasa. 

Pembunuh itu langsung mengganti tujuan. Dia melemparkan belati di tangan kanannya ke arah Gentner. 

Sebagai balasannya, pedang Elna menancap dalam di perut si pembunuh. 

“Uwaaah! D-Darah, darah!” 

“Gohoh...”

“Tch...!”

Elna segera menarik pedangnya dan berlari menuju Gentner. Di dadanya, belati tertancap sangat dalam. Luka yang berat. Jika dibiarkan saja, dia takkan bertahan. 

Saat itu juga, bangunan berguncang keras. Bersamaan dengan itu, bagian-bagian struktur mulai runtuh. 

“Apa ini...”

“Sebaiknya kalian segera pergi dari sini...”

Sambil memegangi perutnya, si pembunuh menjaga jarak dari Elna. 

Dari guncangan dan situasi sekarang, jelas si pembunuh telah menyiapkan sesuatu terhadap bangunan ini. 

Gentner, sebagai sumber informasi penting, dia masih hidup. Ada Christa, Rita, serta anak-anak budak yang harus dilindungi. Elna pun memutuskan untuk tak mengejar, dan memilih evakuasi. 

“Semua ikut aku!” 

Elna membalut luka Gentner, lalu mengangkat tubuh besar pria itu ke pundaknya. 

Kini tak ada pilihan selain segera keluar ke permukaan. Dengan anak-anak, para tamu, dan mereka yang ada di tempat itu, Elna memimpin mereka menuju pintu keluar.


* * *


Tinggal sedikit lagi menuju pintu keluar. Saat mereka hendak menaiki tangga terakhir, Rita yang disangga oleh Christa kehilangan keseimbangannya. 

“Uuh...”

“Rita!” 

Mendengar suara dari belakang, Elna segera menoleh. Rita tengah meringkuk, memegangi bagian tubuh yang sempat ditendang. Rasa sakitnya kembali karena dia terlalu memaksakan diri. 

“Jangan bergerak!” 

Sambil masih memanggul Gentner, Elna berlari ke arah Rita. Dia tahu, jika Rita dipaksa berjalan lagi, keadaannya akan memburuk. 

Elna memutuskan untuk membawa keduanya sekaligus, membopong Gentner dengan satu tangan, dan Rita dengan yang lain. Namun, saat itu salah satu tamu yang mengikuti lelang budak berteriak. 

“Sekarang! Lari!” 

Teriakan itu membuat para tamu segera berebutan menuju pintu keluar. Mereka tahu mungkin tidak semuanya akan lolos, tapi percaya bahwa dirinyalah yang akan berhasil. 

Elna mengklik lidahnya karena kesal, namun dia punya prioritas lain. Mereka memang kriminal yang tak bisa dibiarkan, tapi Christa dan Rita jauh lebih penting. 

Dia mengangkat Rita dengan hati-hati agar tidak memperparah lukanya, dan bersama Christa, mereka melanjutkan ke pintu keluar. 

Ketika akhirnya mereka berhasil keluar ke permukaan, Elna melihat pemandangan yang tak terduga. 

“Apa ini...”

Para tamu yang seharusnya lari tadi kini tergeletak di dekat pintu keluar. Tak terlihat satu pun pasukan kesatria pengawal. 

Itu masuk akal. Meski Elna telah meminta bantuan, prioritas utama pasukan pengawal adalah menjaga keselamatan Kaisar. Mereka akan memperkuat pertahanan istana lebih dulu sebelum dikirim ke luar. Dan ketika dikirim pun, mereka tidak tahu persis ke mana Elna pergi. Mereka harus mulai dari penyelidikan. Butuh waktu sebelum mereka tiba. 

Elna sudah memperkirakan bahwa beberapa tamu mungkin berhasil melarikan diri. Tapi anehnya, semuanya malah terbaring tak sadarkan diri. 

“Ugh... Sakit...”

“Rita!” 

Rasa ingin tahu Elna terputus oleh suara lemah Rita. 

Elna segera membentangkan jubahnya di tanah dan merebahkan Rita di atasnya. Bagian tubuh yang terkena tendangan tampak membiru, mungkin tulang yang patah melukai organ dalam. 

Elna hanya bisa memberikan pertolongan pertama dengan sihir penyembuh dasar. Untuk perawatan lebih lanjut, dia harus segera membawa Rita ke penyembuh terampil dari pasukan pengawal. 

Dia sempat berpikir untuk langsung terbang ke istana dan kembali membawa bala bantuan. Tapi sebelum sempat melakukannya, seorang bertudung dengan tubuh kecil muncul mendekat perlahan. 

“Biarkan aku lihat. Aku bisa menggunakan sihir penyembuhan.” 

“Hah? Siapa kamu?” 

“Tidak penting. Aku juga akan mengobati pria tua itu.” 

Suaranya terdengar netral, nyaris androgini. Tapi Elna menduga itu perempuan. Merasa tidak merasakan niat jahat, Elna mengalah dan mempersilakan orang itu untuk memeriksa Rita. Orang bertudung itu meletakkan tangan di atas luka Rita dan mulai merapalkan mantra. Cahaya lembut menyelimuti tangannya, dan secara perlahan, rasa sakit Rita mereda. Elna belum pernah melihat sihir penyembuhan seperti ini sebelumnya. 

“Sepertinya aku mulai merasa lebih baik...!” 

“Hehe, tapi jangan bergerak dulu. Luka di dalam tubuhmu belum sepenuhnya pulih, tulangmu juga belum sembuh total. Nanti biarkan penyembuh dari istana yang memeriksamu lagi, ya?” 

“Baik, Kakak bertelinga panjang!” 

Dari bawah tudung, Rita bisa melihat wajah si penyembuh. Telinganya lebih runcing dari manusia biasa. Mendengar itu, Elna sadar itu adalah sihir elf. 

“Pantas saja aku tidak mengenalnya. Jadi kamu yang membuat mereka semua tertidur?” 

“Kurang lebih. Tapi aku belajar sendiri, jadi jangan berharap terlalu banyak. Itu hanya sihir dari buku, jadi mereka akan segera bangun.” 

Dengan senyum masam, orang itu lalu mulai mengobati Gentner. Tapi saat itu, angin bertiup lembut, mengangkat sedikit tudungnya. Dan Elna melihat wajahnya. Rambut ungu muda, telinga yang lebih panjang dari manusia tapi lebih pendek dari elf. Itu adalah Sonia. 

Sonia tampak terganggu karena tudungnya tersingkap, tapi dia tetap melanjutkan pengobatan Gentner. Setelah memastikan lukanya telah tertutup, dia pun berdiri. 

“Lukanya tak terlalu parah, tapi kondisinya mencurigakan. Sebaiknya diperiksa lebih lanjut. Mungkin dia diracuni.” 

“Tunggu! Izinkan aku memberimu hadiah!” 

“Tidak perlu. Aku hanya sedang iseng saja.” 

“Kalau kamu datang ke istana atau kediamanku, aku bisa memberimu penghargaan...” 

“Maaf, aku tidak tertarik.” 

“Baiklah... Terima kasih, kalau begitu. Namaku Elna von Armsberg. Aku tidak akan melupakan bantuan ini.” 

“Lupakan saja. Itu akan lebih baik untukmu.” 

Sonia meninggalkan tempat itu dengan kata-kata tersebut. Tak lama setelah itu, pasukan kesatria pengawal tiba. 

Menahan keinginannya untuk mengejar Sonia, Elna berbalik dan segera memberi perintah pada para kesatria yang baru datang. 

“Ada informasi penting di sini! Tangkap semua orang yang tergeletak itu!” 

Para kesatria segera bergerak, memborgol para tamu yang masih setengah sadar. Tapi itu sudah terlambat. 

“Yang tidak sedang bertugas, pergilah ke toko-toko lain milik Perusahaan Gentner dan tangkap semua pejabatnya!” 

Setelah memberi instruksi, Elna memanggil salah satu kesatria pengawal yang dikenalnya. Dia lebih mahir dalam sihir penyembuhan dibanding Elna sendiri, dan Elna memintanya untuk merawat Rita. 

“Sekarang kamu aman, Rita... Kamu sangat hebat tadi.” 

“Hmm... Tapi aku masih merasa aneh di perut.” 

“Akan sembuh sebentar lagi.” 

“Rita...”

Rita yang telah direbahkan mulai menjalani perawatan. Di sisinya, Christa menggenggam tangannya erat dengan ekspresi cemas. Namun saat rasa tenang mulai menyelimuti, Rita perlahan kehilangan kesadaran. 

“Aku... Ngantuk...”

“Rita...”

“Tidak apa-apa, Yang Mulia. Biarkan dia istirahat.” 

“Tapi...”

“Yang Mulia, percayakan saja.” 

Atas dorongan Elna, Christa perlahan berdiri. Meskipun berlinang air mata, dia menjauh dari sisi Rita. 

Yang ada di benaknya kini hanya satu, dia harus segera memberitahukan bahwa dirinya selamat kepada Kaisar. 

Namun saat itu, suara derap kaki kuda menggema keras. Elna segera berlutut dengan tenang. 

“Christa!” 

Seseorang meneriakkan nama Christa dan berlari menghampiri, tak lain adalah Kaisar Johannes sendiri. 

Di belakangnya, Franz dan sejumlah besar pasukan pengawal mengikutinya. Tak tahan hanya menunggu, Kaisar sendiri turun ke lapangan. 

“Oh! Christa! Kamu selamat! Tidak terluka, bukan!?” 

“Y-Ya... Ayah... M-Maksudku, Yang Mulia Kaisar...”

“Panggil aku Ayah! Syukurlah... Syukurlah...” 

Johannes memeluk Christa erat sambil terus mengucap syukur dengan lembut. 

Sementara itu, Franz mengarahkan para warga sipil di sekitar untuk menjauh. Demi keamanan Kaisar dan agar tak ada warga yang terkena dampak jika situasi memburuk. 

Saat hanya para kesatria yang tersisa di sekitar, Johannes berdiri dan menatap Elna. Tatapannya dipenuhi amarah. 

“Ayah...?”

“Bagaimana bisa ini terjadi saat kamu ada di sisinya, Elna!? Sebagai kapten pasukan pengawal, kamu gagal melindungi putri kerajaan!” 

“Saya minta maaf... Semua adalah kesalahan saya.” 

“Tentu saja! Nama baik keluarga Armsberg telah tercoreng!” 

“A-Ayah... Elna hanya...”

“Diam! Aku sedang berbicara dengan Elna sekarang.” 

“M-Maaf...” 

Mendapat tatapan tajam dari ayahnya, Christa menggigil ketakutan. 

Dia melirik ke arah Elna, namun Elna hanya menggeleng perlahan. 

“Elna. Tak ada penjelasan yang bisa kamu berikan?” 

“Tidak.” 

Mengatakan bahwa dia dipanggil oleh Zuzan memang mudah, namun Zuzan juga meminta kehadiran Christa. Keputusan untuk pergi sendiri adalah pilihan Elna. 

Jika dalam penyelidikan nanti Zuzan atau Zandra terbukti terlibat, itu cerita lain. Tapi Elna tetap bertanggung jawab atas kesalahannya, meninggalkan Christa karena anggapan bahwa tak mungkin terjadi serangan di wilayah dalam istana. 

Itu adalah kesalahan fatalnya. 

“Hukuman akan kutentukan nanti. Untuk saat ini, kamu dikenai tahanan rumah.” 

“...Baik.” 

Dengan kata itu, Johannes membawa Christa kembali ke istana. 

Dan Elna hanya bisa berdiri terpaku, menundukkan kepala dalam diam.


* * *


“Bagaimana hasilnya?” 

“Saya gagal membunuhnya. Namun, sekalipun selamat, dia tidak akan bangun dalam waktu dekat. Aku telah melumuri bilahnya dengan racun.” 

“Begitu. Kerja bagus.” 

Sang pembunuh bertopeng, Xiaomei, memberikan laporan kepada tuannya. Rasa sakit hebat menjalar di sekujur tubuhnya akibat kutukan, namun berkat pelatihan yang keras, Xiaomei masih sanggup menahan rasa sakit itu untuk sementara waktu. 

“Dengan ini, Leonard dan pihaknya tidak akan tinggal diam. Mereka akan benar-benar berkonflik dengan kubu Zandra. Perkembangan yang bagus.” 

“Namun, tampaknya keajaiban dari keluarga Armsberg akan dicopot dari jabatan kesatria pengawal karena insiden ini.” 

“Itu hanya sementara. Tidak mungkin tak memberikan hukuman untuknya. Tapi setelah semuanya mereda, dia pasti akan dikembalikan ke posisi semula.” 

“Walau hanya sementara, pihak Leonard bebas menggunakan Elna von Armsberg dalam masa itu. Dia berbahaya. Bahkan tanpa pedang pun dia sudah luar biasa, dan ketika memegang pedang, dia seperti orang yang sama sekali berbeda. Aku rasa dia tak ubahnya monster.” 

“Itu sudah wajar untuk keluarga Armsberg. Mereka mampu mengganti kesadaran saat bertarung. Tidak mengejutkan. Jika kelak terasa menyulitkan, kita bisa mengajukan agar dia dikembalikan ke kesatuan pengawal.” 

“Tidak sebaiknya dia disingkirkan sekalian?” 

“Dia adalah calon bawahan yang sangat menjanjikan di masa depan. Kaisar yang berkonflik dengan keluarga Armsberg tak pernah bertahan lama. Akan lebih menguntungkan jika kita menanam budi sejak sekarang.” 

“Tetapi...”

Xiaomei menyampaikan keberatannya meskipun tengah menahan rasa sakit. Kekuatan Elna benar-benar terlihat ketika dia bertarung. Dia seharusnya disingkirkan dari perebutan takhta sepenuhnya. Meski menimbulkan dendam, Xiaomei merasa Elna adalah musuh yang layak untuk diperlakukan sejauh itu. Namun, pemikiran tuannya berbeda. 

“Aku tidak sama seperti kandidat lain. Mereka semua berjuang mati-matian demi takhta, sementara aku memikirkan apa yang akan terjadi setelah aku duduk di atasnya. Dari sudut pandang itu, aku berada di tingkat yang berbeda. Aku tidak sudi ditanamkan dendam oleh pion masa depan. Lagipula, tanpa aku pun, Zandra dan Gordon akan bergerak.” 

“...Baik, saya mengerti.” 

“Teruskan mengikuti arahan Ibu di dalam kediaman istana wanita. Untuk saat ini, sembuhkan dulu lukamu. Ini belum waktunya kita bergerak.” 

“Sesuai perintah Anda... Yang Mulia Pangeran Eric.” 

Setelah mengucapkan itu, Xiaomei menghilang dari sisi tuannya, sang Pangeran Kedua, Eric. 

Eric pun berjalan perlahan, mengantar kepergian bawahannya, dengan senyum yang dalam dan tak terbaca di wajahnya.

 

Bagian 8

Setibanya kembali di ibu kota kekaisaran, kami langsung menuju ke cabang utama Guild Petualang. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, seharusnya kami bisa bertemu dengan kelompok petualang yang membantu Emma dan lainnya...

“Akan kuperiksa.” 

Emma masuk ke dalam gedung cabang ibu kota. Di saat yang hampir bersamaan, Sebas yang sebelumnya aku perintahkan menuju istana pun kembali. 

“Bagaimana?” 

Aku bertanya tanpa terlalu mengkhawatirkan jawabannya. Dengan Elna sebagai pengawal, keselamatan Christa dan Rita sudah bisa dibilang terjamin. Elna memiliki tingkat kepercayaan setinggi itu. Dan dugaanku ternyata tidak salah. 

“Sepertinya telah terjadi insiden penculikan terhadap Yang Mulia Putri Christa. Beliau selamat, namun temannya, Nona Rita, mengalami luka.” 

“Apa lukanya parah?” 

Leo bertanya dengan wajah cemas. Berbeda dengan kami yang telah memprediksi bahwa sesuatu akan terjadi, Leo baru saja mendengar kabar penculikan Christa dan cedera Rita. Tentu saja sulit untuk tidak merasa khawatir. 

“Dikatakan tidak mengancam nyawa. Namun, Nona Elna yang bertugas sebagai pengawal telah dimintai pertanggungjawaban dan kini dikenai tahanan rumah di kediamannya.” 

“Elna...”

Dia telah membiarkan penculikan terhadap seorang putri kekaisaran terjadi. Jika hanya dikenai tahanan rumah, itu masih tergolong ringan. Aku sudah menduga ini akan terjadi. 

Kemampuan penglihatan masa depan milik Christa menjadi jauh lebih akurat ketika berkaitan dengan kematian seseorang. Untuk membalikkan hasil itu, dibutuhkan seseorang yang mampu mengubah keadaan dengan kekuatan nyata. Aku memprediksi hanya Elna yang mungkin bisa melakukannya. Di sisi lain, aku juga memperkirakan bahwa penculikan Christa tidak akan bisa dicegah sepenuhnya. 

Artinya, aku sudah tahu bahwa Elna akan menerima hukuman tahanan rumah. Meskipun demikian, aku tetap mempercayakan Christa padanya. Aku telah mengandalkan kebaikan Elna. 

Penyesalan menghantamku dengan hebat. Namun, pada kenyataannya, aku memang tidak memiliki pilihan lain. Tak ada gunanya menyesal sekarang. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah memastikan bahwa kebaikan Elna tidak menjadi sia-sia. 

Saat aku menenangkan diri dengan pikiran itu, Emma pun kembali. 

“Bagaimana? Apa kelompok petualang itu sudah kembali?” 

“Katanya sudah kembali... Tapi mereka ditemukan dalam kondisi babak belur, dan sekarang sedang beristirahat di penginapan.” 

“Jadi benar mereka sempat disergap. Untung saja mereka masih hidup.” 

Aku tak bisa menahan desah panjang. Mereka tidak dibunuh mungkin karena lawan mempertimbangkan hubungan dengan Guild Petualang. Jika para petualang terbunuh dalam perebutan takhta, guild takkan tinggal diam. 

Selama perjalanan, pasukan rahasia tidak menyerang kami. Dari itu saja bisa disimpulkan bahwa surat itu kemungkinan besar sudah direbut oleh Gordon. Tidak mungkin mereka cukup ceroboh untuk menganiaya para petualang lalu melupakan suratnya begitu saja. 

“Apa kita akan mendengar cerita dari mereka?” 

“Ya. Kamu saja yang pergi menjenguk sekaligus mendengarkan. Mereka mungkin akan bilang bahwa mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.” 

Pasukan rahasia yang dikumpulkan dari prajurit elit kekaisaran jelas jauh lebih unggul dibanding para pembunuh biasa. Bagi mereka, melumpuhkan petualang tanpa memperlihatkan diri mungkin hanyalah pekerjaan ringan. 

Tentu saja aku bersyukur mereka selamat, tapi situasinya tetap jauh dari baik. 

Kami memang berhasil menyelamatkan Rebecca, tapi surat itu jatuh ke tangan Gordon. Christa dan Rita berhasil selamat, tapi Elna kehilangan nama baik dan posisinya. Ditambah lagi, karena penculikan Christa, suasana di ibu kota menjadi tegang. Itu karena Kaisar, pemimpin tertinggi kami, sedang murka. Dan murka itu kemungkinan akan ditujukan pula pada kami. 

Selama kami tak mampu membawa kabar baik, teguran keras pun pasti menanti. 

Sambil menghela napas sekali lagi, aku pun melangkah menuju istana.


* * *


“Bagaimana hasilnya, Arnold?” 

Begitu aku kembali ke istana, aku segera menuju ke hadapan Ayah. Tentu saja aku ingin segera menemui Christa, tapi melapor kepada Ayah adalah prioritas utama. 

“Kami berhasil mengamankan Ksatria Rebecca.” 

“Kalau cara bicaramu seperti itu, berarti suratnya hilang, ya?” 

Suara dingin Ayah menggema di dalam ruang takhta. Aku menjawab dengan pelan, ya. Menunjukkan rasa bersalah atau ketakutan terhadap hukuman hanya akan menyiram minyak ke api. 

“Rebecca menyerahkan surat itu pada para petualang, lalu menjadikan dirinya sebagai umpan. Karena aku terlambat mengumpulkan informasi, aku gagal mengantisipasi itu. Surat tersebut kemungkinan besar kini berada di tangan Kakanda Gordon.” 

“Aku memberimu misi secara langsung dan bahkan mengutusmu sendiri demi memastikan kalian mampu menghadapi segala kemungkinan. Kamu seharusnya ada untuk menutupi kekurangan Leonard, bukan?” 

Ayah berbicara dengan tenang, tapi penuh tekanan. Meski kami telah membawa hasil minimal, itu tidak cukup untuk memuaskan beliau. Apalagi aku yang menolak rencana Ayah untuk mengirim kesatria pengawal dan justru memutuskan pergi sendiri. 

“Maafkan saya. Aku terlalu memikirkan gerak musuh, hingga tak memperhitungkan bagaimana Rebecca akan bertindak.” 

“Masih seperti biasa, ya? Ringan dan ceroboh. Ini adalah kegagalan, tahu?” 

“Ya. Sebagai pengusul rencana ini, semua tanggung jawab ada padaku. Aku akan menerima hukuman apa pun. Tapi...” 

“Tapi apa?” 

“Apa boleh hukuman itu ditunda sebentar? Aku perlu bersiap menghadapi yang berikutnya.” 

Dengan menyandarkan semua kesalahan padaku, maka hukuman Leonard akan menjadi ringan. Seharusnya aku merasa cukup dengan itu. Tapi jika aku memikirkan langkah selanjutnya, tidak ada waktu untuk menerima hukuman. 

Mata Ayaha menajam. Beliau juga pasti tengah memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. 

“Selanjutnya, ya... Jadi kamu ingin kesempatan untuk menebusnya?” 

“Tidak. Aku tidak butuh kesempatan menebus kesalahan. Aku akan menerima hukuman dengan sepenuhnya. Tapi tetap saja, aku rasa kita harus bersiap untuk apa yang akan datang. Kakanda Gordon kini didampingi seorang penasihat militer yang cerdas. Mereka pasti akan memanfaatkan surat itu dengan sangat efektif. Jika itu terjadi, skenario terburuk adalah perang melawan para bangsawan selatan. Sebuah perang saudara.” 

“Ucapanmu sungguh tidak enak didengar. Tapi Franz sudah mulai bergerak untuk mengantisipasi hal itu. Meski begitu... Bahkan Franz berkata, jika surat itu digunakan dengan cerdik dalam rapat dewan menteri, bisa terbentuk opini bahwa para bangsawan selatan tak bisa dibiarkan. Kalau itu sampai terjadi, aku tak akan bisa duduk diam.” 

Seperti yang kuduga, Ayah telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan kami gagal. 

Memang benar Gordon yang merebut surat itu, tapi tidak ada bukti nyata. Jika dia mengklaim bahwa dia hanya mengambil kembali miliknya, kami akan sulit menyanggah. Bila para menteri kemudian mengetahui isi surat tersebut dan melihat kebusukan para bangsawan selatan, hasilnya akan sesuai dengan prediksi Franz. 

Masalahnya, situasi ini nyaris tak bisa dicegah. Bahkan jika kami mencoba merebut surat itu kembali, kami tidak tahu lokasinya. Dan jika Ayah menggunakan kekuasaan penuh untuk membatasi pergerakan Gordon, dia pasti akan menuduh perlakuan itu tidak adil. Itu justru bisa memicu ketegangan dalam militer. 

“Duke Kruger menguasai hampir seluruh wilayah selatan. Jika dia memberontak, butuh waktu lama untuk menekannya. Dan lebih lama lagi untuk memulihkannya. Dalam waktu itu, negara asing bisa saja menyerang.” 

“Yang paling buruk adalah jika mereka mendapat dukungan dari luar. Sebagai seorang duke, bisa saja dia sudah melakukan kontak dengan negara lain. Bukan skenario yang mustahil.” 

“Aku tak perlu mendengar semua kemungkinan terburuk itu. Membuat suasana hati jadi buruk.” 

“Meski begitu, tetap perlu ada strategi pencegahan. Karena itu, aku mohon diberi waktu untuk menyusun rencana.” 

“...Kamu yakin bisa?” 

“Tidak sama sekali. Tapi aku akan mencoba semampuku. Sebagai seorang anggota keluarga kekaisaran, aku punya kewajiban untuk memikirkan cara yang meminimalkan korban jiwa.” 

“...Aku tak peduli siapa yang akan naik takhta. Tapi seseorang yang memicu perang demi kekuasaannya sendiri dan membuat negeri ini kacau, tak bisa diampuni. Semua demi kekaisaran. Itulah aturan dari perebutan takhta ini. Gordon telah mulai melanggarnya. Tapi jika Kruger benar-benar memberontak dan terjadi perang saudara di selatan, maka tak ada pilihan selain menugaskan Gordon memimpin pasukan penumpas. Tak mungkin aku memindahkan pasukan perbatasan begitu saja.” 

Duke Kruger adalah paman Zandra. Sudah lama kuduga bahwa dia menyimpan ambisi dalam hati. Pemberontakan pasti sudah lama dia rencanakan. Jika begitu, jenderal biasa takkan cukup untuk menanganinya. 

Angkatan Bersenjata Kekaisaran memiliki tiga marsekal. Satu di perbatasan timur, satu di barat, dan satu lagi di ibu kota. Tapi yang ada di ibu kota sudah terlalu tua, lebih mirip pengawas keseluruhan ketimbang pemimpin pasukan garis depan. Di antara para jenderal, Gordon adalah yang paling banyak menorehkan prestasi. Kami tak bisa menyimpan kekuatan itu begitu saja. 

“Cari cara agar ini bisa diselesaikan secara damai. Hingga saat itu, hukumanmu kutangguhkan.” 

“Hamba mengerti.” 

Aku menundukkan kepala, lalu bersiap untuk mundur. Namun, Ayah memanggilku kembali. 

“Arnold.” 

“Ya? Ada apa, Ayahanda?” 

“Christa tampak cemas. Temuilah dia.” 

Aku mengangguk atas perintah itu. Di saat yang sama, aku menahan dorongan untuk bertanya apakah aku boleh menemui Elna. Tidak pantas rasanya jika aku langsung pergi ke tempat Elna yang sedang dikenai tahanan karena perintah Ayah. Perlu ada jeda waktu. Mengecewakan Ayah sekarang hanya akan sia-sia. Maka aku menekan emosiku dalam-dalam dan meninggalkan tempat itu.


* * *


“Kakak Al!” 

Begitu aku tiba di kamar Ibu di bagian dalam istana, Christa langsung memelukku erat. 

“Baiklah, baiklah. Kamu tidak terluka, kan, Christa?” 

“Aku tidak apa-apa... Tapi Rita terluka... Dan Elna...”

“Aku sudah dengar semuanya. Itu bukan sesuatu yang perlu kamu sesali.” 

“Tapi... Itu karena aku tidak menuruti apa yang Elna katakan...”

“Tak perlu dipikirkan. Selama kamu selamat, Elna juga tidak akan mempermasalahkannya. Aku akan menyampaikan permintaan maaf darimu padanya.” 

Sambil berkata begitu, aku mengusap kepala Christa dengan lembut. Lalu aku mengalihkan pandangan pada Ibu. Di ranjang di samping beliau, Rita sedang tidur. Sepertinya sampai lukanya sembuh, Ibu sendiri yang akan merawatnya. 

“Kamu dan Leo juga selamat, syukurlah.” 

“Kami baik-baik saja. Lagipula, ini bukan misi yang terlalu berbahaya.” 

“Tapi wajahmu terlihat muram. Gagal, ya?” 

“Bisa dibilang begitu. Kami gagal memenuhi harapan Ayahanda.” 

Saat aku menjawab begitu, Ibu tersenyum pelan. Normalnya, mengecewakan harapan seorang Kaisar adalah hal besar. Tapi bagi beliau, tampaknya itu bukan sesuatu yang terlalu penting. 

“Harapan orang lain itu cuma keinginan sepihak. Tak perlu kamu pikirkan terlalu dalam.” 

“Aku tak bisa seenteng itu.” 

“Tapi menyesal terlalu lama pun tak ada gunanya. Kalau kamu gagal, pikirkan kenapa bisa gagal dan gunakan pelajaran itu untuk berikutnya. Agar ketika waktunya tiba di mana kamu benar-benar tak boleh gagal, kamu tidak akan jatuh lagi.” 

“...Benar juga. Aku akan menyesal secukupnya, dan menjadikannya bekal untuk langkah selanjutnya. Karena yang berikutnya, tidak boleh gagal.” 

Mendengar jawabanku, Ibu tersenyum puas. Senyuman itu tidak berubah sejak dulu. Beliau selalu membiarkan kami melakukan segalanya dengan caranya sendiri, dan hanya turun tangan ketika benar-benar dibutuhkan. Gaya pengasuhan yang sangat bebas, tapi bukan berarti beliau lepas tangan. Beliau selalu mengawasi dari dekat. 

Aku pun meninggalkan ruangan dengan tekad yang lebih mantap. Karena masih banyak hal yang harus kulakukan.

 

Bagian 9

Beberapa hari telah berlalu sejak kami kembali ke ibu kota kekaisaran. Gordon, mungkin karena sangat berhati-hati, belum juga menunjukkan pergerakan. Selama waktu itu, Ayah telah memanggil banyak bangsawan ke istana. Itu untuk menyelidiki kasus penculikan Christa dan juga perdagangan budak. 

Kalau ditambahkan lagi, sepertinya ada juga tujuan untuk mengamati apakah ada gerakan mencurigakan dari para bangsawan ibu kota yang berhubungan dengan bangsawan selatan. 

Karena itulah istana dipenuhi oleh para bangsawan. Mereka benar-benar mengganggu jalan, bahkan hanya untuk sekadar berjalan pun jadi sulit.

“Heh, kamu dengar? Katanya Pangeran Arnold mendapat teguran keras dari Yang Mulia.” 

“Pangeran yang tak berguna itu? Tak heran.” 

“Tapi katanya kali ini ditegur secara langsung, hanya berdua saja dengan Yang Mulia. Pasti dia melakukan kesalahan besar.” 

“Dia hanya menghambat Pangeran Leonard lagi, ya. Benar-benar tak berguna.” 

Bisik-bisik sumbang terdengar dari berbagai penjuru. Kabar bahwa aku dimarahi Ayah langsung menyebar luas. Memang, misi ini rahasia, tapi fakta bahwa aku dimarahi saja sudah cukup jadi bahan gosip. Mungkin para pelayan istana menebaknya dari suasana. 

Pada akhirnya, semua itu hanya gosip. Tapi tak peduli ke mana aku melangkah, aku tetap mendengarnya. 

Aku merasa tak punya tempat. Tapi itu semua karena pilihanku sendiri. Kalau sekarang aku berharap bisa hidup normal, maka itu adalah keinginan yang terlalu mewah. 

Aku bisa saja memilih jalan yang sama dengan Leo. Tapi aku tidak melakukannya. 

Jika Leo berjalan di bawah cahaya, maka aku akan berjalan dalam bayang-bayang. Aku memilih jalan itu dengan sadar, tidak apa-apa jika tak ada yang memuji. Tidak apa-apa jika tak ada yang menyadari. Karena aku pikir itu yang terbaik. 

“Yo, Arnold.” 

Saat sedang memikirkan hal itu, datanglah orang berisik. 

Geed muncul bersama para pengikutnya. Hari ini pun, seperti biasa, dia mengenakan pakaian yang benar-benar tidak cocok untuk dirinya. Bagaimana bisa dia merasa pantas datang ke istana dengan pakaian seperti itu? Sungguh, selera orang ini menyedihkan. 

“Geed, ya.” 

“Heh? Apa-apaan itu? Aku ini sedang menyapa pangeran bekas perasan teh sepertimu, kamu tahu. Harusnya kamu menangis haru!”

“Haa... Iya iya. Terima kasih.” 

“Sungguh menyebalkan. Belakangan ini kamu sok banget, ya? Leonard yang berjasa, bukan kamu. Justru, semakin Leonard bersinar, semakin jelas betapa tidak bergunanya kamu. Semua orang mulai membicarakannya, tahu? Katanya kamu dimarahi Yang Mulia. Mereka semua berpikir selama kamu ada di sana, Leonard tak akan pernah menang.” 

“Begitu ya...” 

Aku tidak butuh orang yang cuma bisa menilai sebatas itu. 

Yang kubutuhkan adalah orang yang, setelah bergabung, berniat mengubah keadaan dari dalam. 

Leo butuh sekutu. Perebutan takhta memang pertarungan antar pangeran, tapi juga soal kekuatan faksi. Sekuat apa pun Leo, jika basis kekuasaannya lemah, dia tidak akan jadi kaisar. 

“Apa kamu jadi murung? Tentu saja, kan? Kamu juga pasti ingin bersinar. Tapi itu mustahil bagimu!” 

Geed tertawa bersama pengikutnya. 

Sungguh, orang-orang tak berguna ini. Kuharap Ayah cepat menyelesaikan penyelidikannya. Mereka ada di istana bukan karena diperiksa, tapi hanya menemani orang tua mereka yang punya gelar. Setelah penyelidikan selesai, tak akan ada alasan bagi mereka untuk datang ke sini lagi. Kami bukan anak-anak lagi. 

Aku mendengus dan berpaling, lalu Geed menyeringai. 

“Tapi, Arnold, aku punya kabar baik untukmu. Rekomendasikan aku ke Leonard. Aku akan jadi sekutunya.” 

“...Apa?” 

“Kamu tak dengar? Hal ini sudah wajar. Aku ini putra sulung keluarga Duke Holzwart, tahu? Kalau aku jadi sekutunya, pasti sangat bisa diandalkan.” 

Dengan gaya teatrikal, Geed menyingkap poni depannya. 

Namun aku tak peduli dengan hal itu. Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa Geed tiba-tiba ingin ikut campur dalam perebutan kekuasaan? Pasti ini perintah dari Duke Holzwart sendiri. 

Duke Holzwart sebelumnya tampak mendekati Gordon, dan sang adik telah dikirim ke pihak Eric. Jika sekarang Geed mencoba mendekati Leo, berarti keluarga itu ingin menjual jasa ke siapa pun yang menang. 

Mereka tidak mendekati Zandra karena hubungan buruk mereka dengan para bangsawan selatan. Dengan kata lain, Duke Holzwart telah mengakui Leo sebagai calon yang layak. 

Akan jadi kerugian besar jika melewatkan kesempatan ini. Tapi... Sejujurnya, aku tak butuh Geed. Meskipun dia anak sulung, adiknya jauh lebih menjanjikan dan sudah berada di pihak Eric. Kalau Geed masuk ke dalam, justru kekuatan kami bisa goyah. 

“Kalau kamu berhasil menarikku jadi sekutu, itu akan jadi prestasi besar untukmu. Bagaimana, Arnold?”

“Maaf, tapi aku menolak. Kalau kamu ingin membantu Leo, bilang langsung saja ke dia.” 

“Apa!?” 

Wajah Geed menegang. Dia jelas tidak menyangka akan ditolak. 

Dia tidak mungkin bisa bicara langsung pada Leo. Dulu, ketika aku menyamar sebagai Leo dan pergi keluar bersama Fine, Geed memukulku. Dalam pikirannya, dia yakin Leo tahu perbuatannya itu. Meskipun sebenarnya, Leo pasti sudah menyadari sejak awal. 

Jadi begitulah Geed. Dasar bodoh. 

“Jangan sombong, ya!? Ini bukan permintaan, ini perintah!” 

“Apa pun yang kamu katakan, aku tetap tidak tertarik.” 

“Kurang ajar! Jangan lupa, Elna, pelindungmu itu, sedang dihukum karena gagal menjalankan tugas! Tak ada yang bisa membelamu sekarang!” 

Itu adalah kalimat yang tak bisa kuterima. 

Kepalaku tahu aku harus mengabaikannya. Ada suara dalam diriku yang berkata, tenanglah. Tapi aku menepis suara itu. 

“Tadi... Apa yang kamu katakan?” 

“Apa? Kalau tak ada yang bisa...” 

“Sebelum itu... Kamu sebut Elna gagal, ya?” 

“Hah? Ya! Elna telah...”

Aku menatap Geed tajam. Aku benar-benar ingin menghajar bocah ini dengan Silvery Ray. Betapa puasnya jika bisa menghapus keberadaannya dari dunia ini. Tatapanku membuatnya tercekik oleh rasa takut, mundur beberapa langkah, dan akhirnya terjatuh. 

“A-Ah...”

“Tarik kembali ucapanmu, Geed.” 

Dengan suara dingin, aku hanya menyampaikan maksudku. Tapi Geed tidak menjawab. 

Pengikutnya pun membeku, tak satupun berani mendekat. Hubungan mereka memang hanya sebatas permukaan. 

“Elna menyelamatkan nyawa Christa. Itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Menghina Elna di hadapanku tidak akan kuampuni. Tarik kalimatmu tadi, Geed von Holzwart. Atau kamu ingin mati?” 

“A-A-Itu, tidak...”

“Ayo cepat katakan.” 

“A-A-Aku tarik kembali...”

“Masih ada yang ingin kamu sampaikan?” 

“M-Maaf...”

“Maaf?” 

“A-Aku mohon maaf sebesar-besarnya atas ucapanku...! Y-Yang Mulia...!”

Setelah memastikan Geed menarik ucapannya dan meminta maaf, aku segera meninggalkan tempat itu. 

Berada di satu ruangan dengan Geed saja sudah cukup membuatku mual. Dan sekarang, aku sudah jadi pusat perhatian. Kalau mereka menanyai aku nanti, itu hanya akan menyusahkan. Apalagi aku belum benar-benar tenang. 

Sambil berpikir begitu, aku menjauh dari para bangsawan dan menuju luar istana. 

“...Haa.”

Begitu keluar, aku mendesah. Aku baru saja memutuskan untuk tetap menjadi orang tak berguna, tapi langsung melanggarnya. Sungguh menyedihkan. 

“Kalau memang akan menghela napas, bukankah lebih baik menahannya sejak awal?” 

Suara dari belakang menegurku. Sebas. 

Astaga. Orang ini memang selalu seperti penceramah. 

Aku tahu betul aku baru saja bertindak bodoh. 

“Aku tak bisa menahan diri. Sudah terlanjur. Sekarang aku tenang. Aku tahu aku bertindak bodoh. Tak ada manfaatnya. Yang kulakukan cuma membuka kartuku sendiri.” 

“Bisa membuat orang lain diam hanya dengan tatapan bukanlah hal yang mudah, lho. Siapa pun yang melihatnya tahu bahwa kamu sudah punya pengalaman menghadapi situasi seperti itu.” 

“Iya, iya. Aku sudah bilang aku tahu.” 

“Kalau begitu tak masalah. Karena Nona Elna adalah seseorang yang istimewa bagi Tuan Arnold, maka tak bisa disalahkan. Dari sudut pandang orang lain, seseorang yang biasanya tak pernah marah tiba-tiba menunjukkan emosi, bisa dianggap wajar. Jangan terlalu dipikirkan.” 

Sebas mencoba menghiburku. 

Memang benar aku marah karena Elna adalah sosok yang spesial. Tapi jika aku terus membiarkan diriku terbakar emosi seperti ini, berapa banyak lagi amarah yang harus kutahan ke depannya? 

“Akhir-akhir ini, aku merasa diriku benar-benar menyedihkan...” 

“Ada kalanya seperti itu. Tak ada manusia yang sempurna. Tak ada yang bisa menekan semua emosi selamanya. Oh, ya. Aku sudah menyiapkan kereta kuda.” 

“...Ke mana?” 

“Ke rumah keluarga Armsberg. Nyonya Mitsuba telah berbicara dengan Yang Mulia Kaisar, dan telah mendapat izin agar Anda dan Tuan Leonard bisa menemui Nona Elna.” 

“Begitu ya... Memang, Ibu selalu bisa diandalkan. Ayo, kita berangkat.” 

Setelah mengatakan itu, aku pun melangkah menuju kereta.

 

Bagian 10

“Selamat datang kembali, Tuan Arnold.” 

“Iya, iya. Aku pulang.” 

Sambil bertukar sapaan seperti itu dengan para kesatria penjaga, aku melangkah masuk ke kediaman keluarga Armsberg. Begitu masuk ke rumah, kepala pelayan yang sudah kukenal sejak lama segera menampakkan diri. Dia mengatakan bahwa Elna dan Anna sedang makan, lalu tanpa meminta persetujuan dari keduanya, langsung mulai membawaku ke arah mereka. 

Setiap kali aku berkunjung, suasananya memang seperti ini. Terbuka, atau mungkin terlalu santai. 

Sambil berpikir begitu, aku melangkah menuju tempat mereka berdua. 

“Oh? Bukankah itu kamu, Al? Selamat datang.” 

“Maaf sudah mengganggu, Anna.” 

Anna menyambutku dengan senyuman hangat, tanpa sedikit pun rasa terkejut. 

Lalu, dia bangkit dan pergi bersama Sebas. Sepertinya mereka akan menyiapkan makanan dan camilan untukku. 

Aku tak menolak niat baik itu dan duduk di kursi yang ada di hadapan Elna. 

“Al? Ada apa? Kenapa tiba-tiba datang?” 

“Istana penuh dengan para bangsawan, jadi aku kabur ke sini.” 

“Apa tidak apa-apa? Dan kamu sudah minta izin, kan?” 

“Entah. Tapi aku baik-baik saja. Yang minta izin itu Ibu.” 

“Kamu selalu begitu...” 

Elna memasang ekspresi pasrah. Dia terlihat seperti biasanya, tidak tampak sedang murung. Tapi entah kenapa, tetap terasa ada yang berbeda. Mungkin itu karena diriku sendiri. 

Aku mengambil botol anggur yang kebetulan terlihat oleh mata, lalu mengambil dua gelas dari meja. 

“Aku tidak minum, tahu? Ini masih siang.” 

“Kamu tak tahu apa itu menemani minum?” 

“Haa... Sedikit saja, ya?” 

Aku berhasil membujuk Elna untuk sedikit melunak. Seperti yang dia minta, aku hanya menuang sedikit untuknya, sementara untukku sendiri kutuang lebih banyak. Gelas yang berisi sedikit kuberikan pada Elna. 

Sesudah itu, keheningan menyelimuti kami sejenak. Elna tak berkata apa pun. Tapi aku tahu, mungkin dia sudah paham apa yang ingin kukatakan. Namun dia tak mendesakku. Dan aku berterima kasih untuk itu. 

Dengan tenang, aku menundukkan kepala. 

“Maaf...” 

“Kenapa kamu minta maaf?” 

“Masa depan yang dilihat Christa... Apa pun yang kita lakukan, ujungnya tetap sama. Bahwa Christa akan diculik. Bahkan kalau kamu bertindak sekalipun, hasilnya tetap begitu. Meski begitu, aku tetap memintamu jadi pengawal. Itu sama saja dengan merendahkanmu...” 

“Begitukah? Tapi nyatanya, Rita bisa diselamatkan, kan?” 

“Aku pikir dengan kekuatanmu, segalanya mungkin bisa diubah. Tapi, aku khawatir kalau aku memberitahumu soal masa depan yang tak bisa diubah, kamu akan ragu bertindak. Jadi aku menyembunyikannya. Aku... Telah membohongimu. Itulah sebabnya aku minta maaf...”

“...Penghinaan, ya.” 

Elna berbisik lirih. Tapi dari nada bicaranya, aku tidak merasakan kemarahan. Saat aku menengadah, dia menatap lurus ke arahku. 

“Meminta maaf adalah bentuk penghinaan bagiku, Al.” 

“...Tapi kamu kehilangan posisi sebagai kesatria pengawal.” 

“Itu memang cita-citaku. Aku tumbuh dengan ajaran bahwa melindungi kekaisaran dan keluarga kekaisaran adalah tanggung jawab keluarga Armsberg. Saat aku jadi kesatria pengawal, aku senang. Aku bahkan mengincar posisi kapten pasukan pengawal, dan semua orang menganggap itu hal yang wajar. Tapi setelah kejadian ini, rasanya harapan itu jadi jauh. Tapi tak apa.” 

Ucap Elna sambil tersenyum. Senyum yang sungguh-sungguh, seperti tidak menyesali apa pun. 

Tapi aku tahu. Aku tahu betul betapa kerasnya dia berusaha agar pantas menyandang nama Armsberg. Dan kini, segala upayanya hancur begitu saja, namun Elna sama sekali tidak marah, dia hanya tersenyum. 

Itulah yang paling menyakitkan. Andai dia marah, rasanya akan lebih ringan. 

“...”

“Itu lagi wajahmu. Sudah kukatakan, bukan? Sumpahku lebih penting dari harga diriku. Jadi jangan terlalu disesali. Aku tidak akan meninggalkanmu, Al. Aku bertindak berdasarkan sumpahku sendiri. Ini bukan tanggung jawabmu. Aku sudah tahu berbagai kemungkinan, dan tetap memilih jalan itu sebagai tanggung jawabku sendiri. Jadi jangan sok bertanggung jawab. Lagipula, aku berguna, kan?” 

“...Ya. Tentu saja.” 

“Kalau begitu, selesai. Christa dan Rita selamat. Aku pun berguna. Itu artinya aku menang. Kalau harus protes, mungkin aku cuma ingin adegan penyelamatannya terlihat lebih dramatis, itu saja.” 

Elna berkata begitu sambil tersenyum nakal, lalu mengangkat gelas anggurnya. 

Dan kemudian. 

“Kalau kamu sudah mengerti, buang wajah surammu itu. Untuk apa kamu datang ke sini? Kalau cuma mau minta maaf, berarti urusanmu sudah selesai, kan? Kalau begitu, mari kita rayakan. Rayakan kemenangan kecilku.” 

Dengan senyum bangga, Elna mengangkat gelasnya. 

Melihat itu, aku pun mengusir rasa ragu dan penyesalan, lalu mengangkat gelasku. Elna menyebut rangkaian kejadian ini sebagai sebuah kemenangan. Banyak orang mungkin menyebutnya penghiburan diri. Tapi aku tahu, ini adalah kemenangan yang sejati. 

Kemenangan yang harus dirayakan. Karena pedangku, Elna, telah menang. 

“Untuk kemenangan kecil Elna.” 

“Ya, untuk kemenanganku yang kecil.” 

Kami bersulang, dan menyesap anggur dari gelas kami. 

Elna menyesap perlahan, sedangkan aku menenggaknya habis dan menuang gelas berikutnya. 

“Kalau minummu seperti itu, nanti kamu menyesal, tahu?” 

“Tak apa. Minuman perayaan harus diminum dengan penuh semangat.” 

“Seperti petualang saja caramu bicara. Yah, aku tak membencinya sih.”



Begitu Elna berkata demikian, tanganku terhenti sejenak. 

Rasa bersalah membuatku ingin mengungkapkan segalanya. Tapi pada detik terakhir, aku menelannya bersama anggur. 

Tak ada gunanya mengungkap rahasia sekarang. Itu hanya akan membebani Elna dengan sesuatu yang tak perlu. Mungkin suatu hari nanti aku akan mengatakannya. Tapi bukan sekarang. Aku sudah cukup membebani Elna. Andai aku terus bergantung, aku akan makin tak pantas. 

Aku pun masih punya harga diri. 

“Elna... Aku pasti akan menjadikan Leo sebagai Kaisar.” 

“Kenapa tiba-tiba?” 

“Mungkin aku mabuk...” 

“Haha, kamu tak selemah itu, kan?” 

“Tapi kadang aku memang bisa lemah... Jika Leo menjadi Kaisar, aku yakin dia akan menghapus tradisi bodoh dalam perebutan takhta. Mungkin memang sistem ini efektif untuk menempa seorang pemimpin. Dibanding negara lain, kekaisaran kita jarang punya kaisar yang bodoh. Tapi jika darah harus tertumpah demi itu, sungguh tak masuk akal... Aku yakin Leo bisa menemukan cara yang lebih baik.” 

Aku memang ingin tetap hidup. 

Menjalani hidup bebas, menjadi petualang, dan mati dengan cara yang juga bebas. Itulah rencana hidupku. 

Dan agar itu terjadi, Leo harus menjadi Kaisar. Tapi selama tradisi konyol ini terus berlangsung, hidup yang kuimpikan takkan tercapai. 

Meski aku bertahan dan menang kali ini, jika suatu hari aku punya anak, anak itu pun akan terseret dalam perebutan takhta.

Bahwa aku, yang ikut serta dalam perebutan takhta, akan terseret dalam kekacauan, itu masih bisa kuterima, kalau pun dengan seratus langkah kompromi. Tapi Christa berbeda. Anak-anak dari keluarga kekaisaran yang akan lahir kelak juga mungkin berbeda. 

Diseret ke dalam pusaran ini, meski tidak mengincar takhta, dan terus-terusan dipermainkan, itu terlalu tidak adil. 

“Itu pun, bagaimana ya? Bukankah itu sesuatu yang tak pernah berubah? Melahirkan penerus yang layak adalah tugas keluarga kekaisaran. Jika seorang kaisar yang bodoh dan tak mampu mengurus luasnya kekaisaran ini muncul, maka darah yang tertumpah akan lebih banyak daripada yang mengalir saat perebutan takhta. Dan yang mengalir itu, adalah darah rakyat.” 

“Aku tahu. Aku sadar ini terdengar egois. Selama lahir sebagai bagian dari keluarga kekaisaran, tak mungkin menghindar dari tanggung jawabnya. Aku mengerti bahwa itu adalah harga yang harus dibayar. Tapi... Kalau semua orang puas hanya dengan menerima itu, maka takkan ada yang berubah. Pasti sudah banyak pangeran dan putri yang merasa sepertiku. Tapi tak satu pun dari mereka bertindak. Hanya berharap pada masa depan tidak akan mengubah apa pun.” 

“Kalau begitu, bagaimana kalau kamu sendiri yang jadi kaisar?” 

“Jangan bodoh... Aku memang menganggap ini tradisi yang tidak masuk akal, tapi di sisi lain, aku juga menganggapnya efektif. Kalau aku sampai dihadapkan pada kenyataan dan harus memilih, mungkin aku tetap akan mempertahankan tradisi ini. Karena itu, aku akan menjadikan Leo sebagai Kaisar.” 

“Kalau Leo juga membuat pilihan yang sama?” 

“Leo tidak akan melakukannya. Dia berbeda denganku. Dia akan mencari cara yang tidak hanya efektif secara realistis, tapi juga ideal.” 

Mendengar perkataanku, Elna tertawa, lalu mengangkat gelasnya ke arahku. 

“Itu benar. Aku juga berpikir begitu. Leo memiliki sesuatu yang membuat orang ingin berharap padanya. Mungkin karena itu banyak orang yang memutuskan untuk mendukungnya.” 

“Benar, kan?” 

“Senang sekali, ya, dipuji karena punya adik yang bisa dibanggakan?” 

“Tentu saja.” 

Sambil berbincang seperti itu, aku dan Elna tanpa sadar telah menghabiskan sebotol penuh anggur. 

Aku mencoba memohon pada Anna yang kembali bersama Sebas untuk membuka satu botol lagi, tapi seperti yang kuduga, dia tak mengabulkannya. Namun, bicara dengan Elna tidak membutuhkan minuman keras. 

Setelah sekian lama, aku bisa bercakap-cakap panjang lebar dengan Elna. Dan hari itu pun kututup dengan perasaan yang sangat baik.

 

Bagian 11

Tingkat tengah istana. Di ruangan milik Gordon yang terletak di sana, Sonia sedang berada. 

“Aku telah menunggu cukup lama setelah merebut kembali surat itu, seperti yang kamu sarankan. Sudah cukup, bukan?” 

“Ya. Kita akan menyebarkan narasi bahwa Yang Mulia sendiri yang berhasil merebut surat itu kembali dalam periode waktu ini. Dengan begitu, sekalipun kepemilikan surat itu dipermasalahkan, kita tetap bisa mengelak.” 

Gordon mengangguk mendengar perkataan Sonia. Bila itu Gordon yang biasanya, tentu surat tersebut sudah dia gunakan untuk mengancam Zandra sejak awal. Namun kali ini, Sonia menghentikannya. Jika Gordon benar-benar berniat memenangkan perebutan takhta, menggunakan surat itu hanya untuk menekan Zandra terlalu disayangkan. 

“Aku akan mengungkapkan keberadaan surat ini di hadapan dewan menteri dan menuntut agar Duke Kruger, pemimpin para bangsawan selatan, tidak dibiarkan lolos. Jika itu terjadi, Yang Mulia tidak akan bisa mengabaikan para bangsawan selatan. Duke Kruger pun besar kemungkinan akan memberontak secara terbuka. Dan saat itu tiba, bidang keahlianku pun dimulai. Sungguh usulan yang luar biasa. Sonia Raspade, benar-benar pantas disebut putri dari sang ahli siasat jenius.”

Mendengar pujian Gordon, Sonia membalas dengan datar, “Terima kasih.” Reaksinya yang datar membuat Gordon tersenyum tipis. 

“Tenanglah. Selama kamu terus menjadi asetku, aku tidak akan menyentuh ayah dan kakek-nenekmu.” 

“...Tolong tepati janji Anda. Saya hanya akan membantu Anda dua kali lagi.” 

Sonia tidak tertarik pada perebutan takhta. Baginya, siapa pun yang menjadi kaisar tak ada bedanya selama tidak mengancam dirinya dan orang-orang terdekatnya. Dan itu adalah pandangan banyak warga Kekaisaran. 

Namun, Sonia bukan orang biasa. Karena itulah dia terseret dalam pusaran ini. 

Sepuluh tahun yang lalu. Karena darah campuran sebagai seorang setengah elf, Sonia dan ibunya diusir dari desa elf dan hidup terpencil di pinggiran sebuah desa yang berada di perbatasan antara Kerajaan Perlan dan Kekaisaran. 

Namun, desa itu hancur karena konflik antara pasukan Kekaisaran dan Kerajaan. Sonia terpisah dari ibunya, dan saat hendak diserang oleh sisa-sisa pasukan Kerajaan yang berubah menjadi perampok, dia diselamatkan oleh ayah angkatnya. 

Ayah angkatnya adalah seorang ahli siasat jenius yang namanya dikenal luas di dalam militer Kekaisaran. Setelah menyelamatkan Sonia, dia terluka parah dan pensiun dari militer. Itu karena salah satu komandan Kekaisaran mengabaikan nasihatnya, mengejar musuh terlalu jauh, lalu disergap balik. Untuk menyelamatkan pasukan tersebut, ayah angkat Sonia memimpin pasukan penutup dan mengorbankan dirinya demi keberhasilan evakuasi. Komandan yang ceroboh itu adalah Gordon di masa mudanya. 

Gordon berulang kali mengabaikan nasihat ayah angkat Sonia dan memperluas garis depan secara sia-sia. Desa tempat tinggal Sonia pun menjadi korban. Akhirnya, karena terlalu ingin meraih prestasi, dia membuat ayah angkat Sonia terluka parah. 

Bagi Sonia, Gordon adalah musuh yang patut dibenci. Meski begitu, dia tetap memberi saran strategis kepadanya. Karena ada alasan yang memaksanya melakukan itu. 

Setelah pensiun, ayah angkat dan kakek-neneknya merawat Sonia dengan penuh kasih. Meski mengalami diskriminasi sebagai setengah elf, Sonia bisa kuat karena mereka. 

Namun, kedamaian itu pun direnggut oleh Gordon. Karena tidak mendapat jawaban dari permintaan berulangnya agar ayah angkat Sonia menjadi penasihat militernya, Gordon akhirnya mengambil langkah paksa. 

Dia menyandera orang tua dari ayah angkat Sonia. Tapi karena ayah angkatnya mengalami dampak luka lama dan tidak bisa menempuh perjalanan jauh ke ibu kota, Sonia pun pergi menggantikannya. 

Buku-buku di perpustakaan pribadi ayah angkatnya yang membahas strategi militer dan sihir adalah buku pelajaran sekaligus mainan baginya. Dengan memperdalam ilmu dari sana, Sonia bisa berbincang lebih dalam dengan ayah angkatnya. Akhirnya, dia mampu berdiskusi tentang strategi dan taktik seperti layaknya seorang ahli. 

Itulah sebabnya Sonia menawarkan diri untuk pergi ke ibu kota sebagai pengganti ayahnya. Dengan syarat, dia hanya akan memberi saran sebanyak tiga kali. Sonia tahu Gordon tidak mungkin dengan tenang mematuhi perjanjian setelah menyandera keluarganya. Tapi dia juga tak ingin digunakan secara cuma-cuma. 

Untungnya, ini adalah perebutan takhta. Ada banyak faksi yang terlibat. Jika kekuatan Sonia menarik perhatian pihak lain, mereka mungkin akan mencoba merekrutnya. Saat itulah Sonia akan menuntut pembebasan ayah angkat dan kakek-neneknya sebagai syarat. 

Demi tujuan itu, Sonia harus memberikan saran yang serius, meskipun bertentangan dengan kehendaknya. Menekan perasaannya, dia pun memberikan saran pertamanya tentang bagaimana memanfaatkan surat tersebut. 

“Hanya dua kali lagi aku bisa meminjam kepandaianmu, atau justru masih dua kali lagi aku bisa meminjamnya? Yang mana, ya?” 

“Kalau Anda bertanya seperti itu, apakah Anda ingin menjadikan pertanyaan itu sebagai salah satu dari dua kesempatan tersisa?” 

“Hmph, lupakan saja. Untuk saat ini, aku akan simpan dulu surat itu. Kamu boleh pergi. Aku tidak akan membutuhkanmu untuk sementara waktu. Pertarungan sesungguhnya ada di medan perang.” 

Setelah menerima kata-kata Gordon, Sonia membungkuk dan meninggalkan ruangan, sembari memikirkan langkah selanjutnya. 

Jika kaisar mencurigainya, Duke Kruger hampir pasti akan memberontak. Dan untuk menumpasnya, kaisar kemungkinan besar akan menyerahkan tentara pusat kepada Gordon. Itu akan memicu perang saudara. 

Negara-negara tetangga akan memanfaatkan celah itu untuk mencoba menyerang Kekaisaran. Pasukan penjaga perbatasan memang hebat, jadi kemungkinan musuh menembus ke dalam negeri kecil. Namun, apakah mereka bisa sepenuhnya menahan musuh adalah hal yang meragukan. Setelah menyelesaikan perang saudara, Gordon akan dikirim ke garis depan. 

Dalam hal diplomasi, Eric pasti akan bersinar. Tapi Gordon juga akan memperoleh prestasi yang tak kalah cemerlang. Setidaknya, dia akan mendapat kesempatan. Karena itulah Sonia menolak untuk menggunakan surat itu sebagai alat ancaman terhadap Zandra. Tujuan akhir Gordon adalah takhta, dan musuh sejatinya bukan Zandra, melainkan Eric. 

Namun, keahlian Gordon adalah perang. Jika dia memicu perang saudara untuk menunjukkan keunggulannya, akan banyak nyawa yang melayang. Warga sipil yang tak tahu apa-apa akan kehilangan hidupnya. 

“...Mungkin aku tak berbeda jauh darinya.” 

Sonia berbisik seorang diri. Gordon tidak memilih cara dalam usahanya meraih takhta. Dan Sonia pun tidak memilih cara demi menyelamatkan orang-orang yang dia cintai. Walau harus memicu perang saudara dan menimbulkan banyak korban jiwa, dia sudah memutuskan akan menyelamatkan ayah angkat dan kakek-neneknya. Kini adalah saatnya membalas jasa mereka. 

Namun, semakin dia memikirkannya, rasa bersalah itu semakin menusuk-nusuk hatinya. 

Dia teringat apa yang pernah dikatakan oleh ayah angkatnya dan tertawa getir. 

“Aku memang tidak cocok jadi seorang ahli siasat...” 

Seorang ahli siasat sejati mampu memahami berapa banyak nyawa yang akan hilang di medan perang, dan tetap merancang taktik untuk menang. Dia tahu bahwa tiap bidak di papan strategi adalah manusia sungguhan, namun tetap harus mengatur mereka secara efisien demi kemenangan. Jika tidak sanggup melakukan itu, maka sehebat apa pun pengetahuan dan kecerdasannya, seseorang tidak akan pernah bisa menjadi ahli siasat sejati. 

Banyak orang menapaki medan tempur dan melewati berbagai rintangan demi mendekati gelar itu. Tapi Sonia masih belum punya pengalaman yang cukup. Meski begitu, dia tak punya pilihan lain selain terus maju. 

Karena, semua jalan untuk mundur telah tertutup.

 

Bagian 12

“Pada akhirnya, hari ini pun tak berhasil menemukannya...”

Surat itu telah dicuri hampir dua minggu yang lalu. Tak ada perubahan dalam situasi, juga tidak ada gerakan dari pihak Gordon. Kami juga masih mencarinya, tapi jika benar-benar disembunyikan dengan serius, memang mustahil menemukannya. 

Beberapa hari lagi rapat dewan menteri akan diadakan. Gordon kemungkinan besar tidak akan bergerak sampai saat itu. 

Aku menghela napas kecil. 

“Apa situasinya sesulit itu?”

Fine bertanya khawatir sambil menyuguhkan teh merah padaku. 

Aku tersenyum ringan untuk menenangkannya, tetapi justru membuat wajahnya terlihat semakin kelabu. 

“Ya, bisa dibilang cukup sulit.”

“Ah, itu bohong... Sebenarnya sangat sulit, bukan?”

“Sepertinya mudah terbaca.”

Aku menggaruk kepala dan menghela napas panjang. 

Awalnya, surat itu seharusnya kami dapatkan dan diserahkan kepada Ayah. Dengan begitu, Ayah bisa menyentuh ketidakadilan para bangsawan selatan sesuai waktu yang dia inginkan, dan menghindari perang saudara melalui penyesuaian halus. 

Namun sekarang surat itu ada di tangan Gordon. Ayah akan dipaksa bertindak sesuai waktu yang ditentukan Gordon. Jika ketidakadilan bangsawan selatan dibuka terlalu cepat, pemberontakan sulit dihindari. Bahkan jika Ayah tidak bertindak, Duke Kruger akan memberontak. 

Dengan situasi seperti ini, rencana awal menjadi tidak berguna. Jika perang besar berkecamuk, Kekaisaran pasti menjadi target negara lain, dan itu adalah yang diinginkan Gordon. 

Jika perang pecah, Ayah pun akan terpaksa menggunakan jasa Gordon. 

“Saat ini... Perang saudara mungkin tak bisa dihindari. Gordon adalah seorang jenderal. Bila ingin mendapatkan pujian, tentu dia ingin perang. Pendukungnya pasti senang. Namun, dia sebelumnya tidak memiliki strategi matang, tapi sekarang dia memilikinya.” 

“Itu tentang ahli siasat setengah elf, bukan?”

“Iya. Sonia itu hebat. Dia bisa menutupi kelemahan pasukan Gordon. Meski begitu, aku tak yakin Gordon akan terus mengikutinya. Lambat laun, dia akan kehilangan kepercayaan. Gordon sekarang belum matang untuk itu. Tapi...”

“Berarti kita tak punya waktu menunggu,”

Fine mengerti dan mengangguk. Selama saran Sonia berhasil, tidak akan ada perpecahan internal. Namun, tidak ada penasihat yang selalu benar, suatu saat akan terjadi hal tak terduga, dan Gordon tak akan mentolerirnya. 

Kalau bisa, aku mau situasinya berjalan seperti itu. Tapi Sonia menjalankan tugasnya dengan serius untuk menyusun skenario dari punggung Gordon. Rumit untuk menyusun strategi yang salah. 

“Oh ya, ketika Putri Christa diculik, ada seseorang berkerudung yang membantu, katanya?”

“Apa telinganya meruncing?”

“Sepertinya begitu.”

“Hmm... Pasti hatinya baik.” 

Tak mungkin ada elf di ibukota, apalagi secara kebetulan berada di lokasi penculikan Christa. Lebih masuk akal kalau Sonia mendeteksi kegaduhan dan bergerak cepat. 

“Tidak ingin bertarung, ya?”

“Kenapa kamu berpikir begitu?”

“Wajahmu terlihat tidak menyukainya.”

“Aku memang tidak suka. Aku merasa cocok dengannya. Tapi... Itu saja. Dia pasti punya hal yang harus dilindungi, suatu tekad dan alasan yang kuat. Tanpanya, dia tak akan mendukung Gordon. Tapi kalau sudah jadi musuh, ya harus dikalahkan.” 

“Itu menyedihkan.”

“Iya, menyedihkan. Tapi itu hanya perasaan pribadi. Kalau aku bilang tak mau bertarung, itu mudah. Tapi bagaimana menjelaskan pada rakyat yang akan terluka saat perang saudara meletus? Kalau masalah kekaisaran berubah jadi perang saudara karena perebutan takhta bodoh, itu jauh lebih menyedihkan.” 

Fine menunduk sedih mendengar ucapanku. Dia pasti memahami pentingnya rasionalitas. Walau demikian, dia mewakili kesedihan yang tak kuungkapkan. 

Aku tidak bisa tidak bertindak demi hal yang lebih besar. Setelah ikut terlibat perebutan takhta, aku tak boleh terlalu memprioritaskan perasaan pribadi. Aku akan terombang-ambing kalau tak tegas, dan sekarang saatnya untuk tegas. 

“Kamu sangat baik.”

“Tidak sehebat Anda, Tuan Al.”

“Aku tak segila itu. Jika harus membunuh, mungkin aku akan membunuh Sonia.”

“Kalau itu terjadi, pastilah demi melindunginya dari ancaman. Jika dia tak bisa diselamatkan, Anda akan coba menyelamatkan yang lain... Itu menunjukkan diri Anda lebih lembut dari siapa pun.” 

Kukira itu terlalu mulia, jadi aku hanya tertawa. Tapi dipanggil lembut oleh Fine bukan hal buruk. Hal itu membuatku ingin jadi seperti yang dia gambarkan. Untuk itu, aku harus melewati masa sulit ini. 

Kalau dengan menyerah bisa menghentikan perang saudara, berbagai pilihan jadi terbuka. Memang, perang saudara mungkin tetap terjadi meski surat berhasil ditemukan. Jadi mungkin akuilah hal itu. Tapi menyerah berbeda dengan tidak peduli. 

Tidak benar untuk mengabaikan usaha sendiri untuk menghentikannya. Yang terbaik adalah mencegah perang itu agar tidak terjadi. 

Secara logis, perang besar akan menurunkan reputasi Leo. Mereka akan berpikir, seandainya Leo bisa mendapatkan surat itu, maka perangnya bisa dihentikan. 

Menghindari perang berarti melindungi Kekaisaran, rakyat, dan proses perebutan takhta. 

“Aku sudah perintahkan Sebas untuk mencari surat itu, tapi bahkan Sebas pun pasti tak mudah menemukannya. Haruskah aku bekerja sama dengan Silver sebagai pasukan Leo...?”

Menyesal pun tidak ada gunanya. Waktu tidak bisa kembali. Meski begitu, aku tetap tidak bisa menahan diri untuk berpikir seandainya aku melakukan itu sejak awal. 

Saat pergi untuk melindungi Rebecca, seandainya sejak awal aku bergerak sebagai Silver, aku tidak perlu khawatir akan identitasku terbongkar. Kalau begitu, aku bisa langsung menggunakan sihir teleportasi. Meski tidak menjamin aku bisa menemukan surat itu, setidaknya ada lebih banyak pilihan dibanding tetap bertindak sebagai pangeran. 

Namun, ada satu masalah fatal dengan pilihan itu. 

“Tapi kalau begitu, akan ketahuan kalau Tuan Silver membantu Tuan Leo secara pribadi. Sampai sekarang, kita masih bisa berdalih karena alasan penaklukan monster...”

“Benar juga. Kalau pengguna sihir kuno ikut campur dalam perebutan takhta, sudah pasti akan menuai kebencian.” 

Jika aku ikut melindungi Rebecca sebagai Silver, yang terlibat langsung dalam perebutan takhta, maka aku akan melangkahi batas yang selama ini dijaga. 

Silver diakui karena posisinya sebagai pelindung ibu kota kekaisaran dan rakyatnya. Karena itu, keberadaannya diterima. Tapi jika diketahui bahwa dia berpihak secara berlebihan dalam konflik kekuasaan yang tidak melibatkan monster atau ancaman terhadap kekaisaran, tidak ada yang tahu rumor macam apa yang akan menyebar. Sonia pasti akan memanfaatkannya dengan sangat licik. 

Dalam skenario terburuk, aku mungkin tidak akan bisa lagi beraksi sebagai Silver karena dianggap sebagai ancaman. Kekaisaran memiliki trauma mendalam terhadap kombinasi sihir kuno dan darah bangsawan. 

Jika itu terjadi, aku akan kehilangan kartu truf demi sebuah surat. Risiko sebesar itu tidak bisa kuambil. 

“Haa... Memikirkannya pun sia-sia. Penyesalan tidak akan menyelesaikan apa pun.” 

Meskipun, sejujurnya, ini tidak hanya berlaku untuk saat itu saja. Silver selalu dibatasi oleh berbagai macam larangan. Karena itu, waktu untuk bergerak pun menjadi sangat terbatas. 

Terlalu kuat, dan menyentuh ranah yang dianggap tabu. Untuk bisa bertindak dalam urusan yang tidak terkait monster, diperlukan alasan yang benar-benar kuat. Karena itulah, kali ini terasa sangat sulit. Sejujurnya, akan lebih mudah kalau saja ada monster yang bisa kutarik ke tengah masalah ini. 

“Kalau tidak segera menemukan solusi, kepercayaan yang telah susah payah kudapatkan dari Ayah akan mulai luntur. Dan jika itu terjadi, semua usaha sejauh ini akan sia-sia.” 

“Tidak bisakah Anda berbicara dengan para bangsawan dari wilayah selatan?” 

“Mereka itu hampir pasti terlibat dalam praktik curang. Berdialog dengan mereka itu...”

Aku menghentikan kata-kataku di situ. Selama ini aku percaya bahwa mereka tidak akan pernah mau bernegosiasi. 

Namun, aku tahu akan datang satu momen di mana mereka pasti akan bersedia melakukannya. Hanya satu kali. 

“Fine... Kamu benar-benar jenius.” 

“Eh?” 

“Maaf, bisa kamu panggilkan Leo? Aku baru saja terpikir ide bagus.” 

Setelah berkata begitu, aku mengambil pena dan mulai menuliskan rencana yang muncul di benakku ke atas kertas. 

Melihat itu, Fine tampak bingung, namun segera pergi untuk memanggil Leo.


* * *


“Kakak, apa benar kamu menemukan ide yang cemerlang?” 

“Tunggu sebentar. Hmm, masalah yang harus diselesaikan kira-kira segini ya? Sisanya soal pengawalan. Cara menangani pengawal ini yang jadi kendala.” 

Aku menyilangkan tangan dan merenung dalam-dalam. 

Melihatku seperti itu, Leo mengambil dokumen rencana yang berserakan di atas meja dan mulai membacanya. 

“...Kakak, kamu serius dengan ini?” 

“Tentu saja. Meskipun bukan aku yang akan melakukannya.” 

Aku menjawab dengan ringan, dan Leo pun menegang, ekspresinya berubah. Orang yang akan melaksanakan rencana ini adalah Leo sendiri. 

“Strategi seperti apa itu?” 

“Singkatnya, kita pura-pura mengadakan negosiasi lalu melancarkan serangan mendadak.” 

“Eh...?”

“Kita langsung menyusup ke markas musuh dan segera mengambil alih. Sebagian besar bangsawan selatan hanya takut pada Duke Kruger. Jika sang duke kalah, mereka akan langsung menyerah.” 

Tak ada tokoh kuat yang bisa meneruskan kepemimpinan, dan tak ada alasan untuk terus bertahan. 

Begitu melalui Gordon tindakan para bangsawan selatan sampai ke telinga Kaisar, Duke Kruger pasti akan memberontak. Namun tujuannya bukanlah merebut takhta. Dia hanya ingin memaksa kaisar untuk berkompromi demi keselamatan dirinya dan para pengikutnya. Jika hanya diam menunggu, mereka pasti akan diadili. Maka satu-satunya pilihan yang tersisa bagi mereka adalah pemberontakan. 

Jika Duke Kruger tertangkap, mereka akan kehilangan pemimpin yang bisa bernegosiasi setara dengan kaisar, dan seluruh organisasi akan kehilangan kesatuannya. 

“Aku pikir kita bisa melakukan perundingan...” 

“Itulah bagian jeniusnya. Mereka tak akan pernah menerima perundingan, kecuali di satu kesempatan saja.” 

“Sesaat sebelum perang saudara dimulai. Mereka pasti akan menyambut utusan dari kaisar. Aku mengerti maksudmu, tapi...”

“Kamu berada dalam posisi yang bisa mengakui bahwa pemberontakan di selatan adalah tanggung jawabmu. Kamu bisa memohon pada Ayah untuk diberi kesempatan menebus kehormatanmu dan mendapatkan peran ini. Tentu saja, hanya jika kamu bersedia.” 

“Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Justru aku sangat mendukung rencana ini. Jika berjalan lancar, ini benar-benar strategi terbaik.” 

Benar. Menyusup ke markas musuh dan menyerang tiba-tiba. Jika berhasil, itu akan menjadi serangan yang mematikan. Kita bisa menghentikan rencana Gordon sepenuhnya, dan menyelamatkan rakyat selatan dari penderitaan yang sia-sia. 

Namun, masih banyak masalah yang harus dihadapi. Yang pertama adalah pasukan pengawal. 

“Pasukan kecil yang ikut mengawal. Ini harus benar-benar pasukan elit, kalau tidak, tidak akan berhasil. Bahkan jika kita membawa Sebas, kita tetap butuh pasukan yang sangat kuat.” 

“Tapi kita tidak bisa menggunakan pasukan kesatria pengawal kekaisaran. Itu terlalu mencurigakan.” 

“Benar. Kita harus mencari pasukan yang cocok. Tapi itu bukan satu-satunya masalah.” 

Masalah kedua adalah bagaimana meyakinkan Ayah, sang Kaisar, untuk memberikan izin, dengan meningkatkan peluang keberhasilan. 

“Ayah sepertinya tidak akan mengizinkannya.” 

“Itu jelas terlalu berbahaya. Kalau kamu sampai dijadikan sandera, dampaknya akan berlanjut ke masa depan. Mengirim pasukan besar lebih mudah dan tak perlu banyak pertimbangan. Karena itu, kita harus mengumpulkan alasan yang cukup kuat untuk meyakinkan beliau.” 

“Bagaimana caranya meningkatkan peluang keberhasilan?” 

“Untuk sementara, kita harus mengumpulkan pasukan elit. Lalu membuat pihak musuh lengah. Kita harus benar-benar mematangkan dua hal ini terlebih dahulu.” 

Meskipun Leo akan pergi sebagai utusan, pasukan kesatria pengawal tidak akan ikut. 

Dengan begitu, kita memang bisa membuat musuh lengah, tapi belum cukup. Kita harus mencari cara yang lebih efektif untuk membuat mereka lengah, dan membawa pasukan elit yang hampir sebanding dengan kesatria pengawal. 

“Sulit juga, ya.” 

“Yah, lebih baik daripada tidak melihat jalan keluar sama sekali. Menghentikan perang saudara sambil meminimalkan kerugian. Memang sulit, tapi layak untuk dicoba.” 

Begitulah, rapat strategi kami pun dimulai.

 

Bagian 13

Keesokan harinya. Aku segera memutuskan untuk meminta pendapat ahli mengenai rencana kali ini. 

“Benar-benar rencana khas Al.” 

“Menurutmu begitu? Lumayan cerdas, bukan?” 

“Iya, cara berpikir yang bisa dengan santainya merancang serangan tipu muslihat, sangat mencerminkan dirimu.” 

Mendengar komentar jujur dari sang ahli, Elna, aku pun meringis. Memang, aku adalah pria yang jauh dari semangat kesatria. Mengirim pasukan penyergap dengan menyamar sebagai utusan, dalam arti tertentu, adalah puncak dari kelicikan. 

Namun, jika itu dapat mengurangi jumlah korban, maka harus dilakukan. 

“Tapi efektif, kan?” 

“Benar. Tapi, dengan kondisi sekarang, aku rasa tidak akan berhasil.” 

Elna menyatakannya dengan tegas. Dia punya pengalaman berkeliling sebagai kesatria pengawal. Dalam tugasnya, dia pasti pernah mengunjungi Wumme, kota terbesar di selatan sekaligus markas utama Duke Kruger. 

Jika Elna bilang tidak akan berhasil, itu berarti Wumme benar-benar benteng yang kokoh. 

“Wumme sekuat itu, ya?” 

“Sebagai kota benteng, dinding luarnya tidak masalah karena bisa disusupi lewat identitas sebagai utusan. Yang jadi masalah adalah istana di dalamnya. Besar dan penuh lorong yang saling bersilangan. Struktur dalamnya rumit, bahkan mencapai bagian atas saja cukup sulit.” 

“Jadi kita butuh peta bagian dalam...”

“Benar. Tanpa itu, tak bisa dilanjutkan. Dan andai pun kita memiliki peta itu...”

Elna menghentikan kata-katanya sejenak, lalu memandang ke arahku. 

Mata hijaunya bersinar penuh arti, lalu dia menunjuk dirinya sendiri dan tersenyum lebar. 

“Kalau aku yang pergi, bisa dipastikan berhasil.” 

“Tak ada satu istana pun di benua ini yang akan membuka gerbangnya kalau tahu kamu ada di sana...”

“Pikirkan sesuatu, dong. Menyamar, misalnya.” 

“Kalau sekadar menyamar sih, mungkin bisa. Kalau pakai ramuan sihir, mungkin bisa berhasil... Tapi untuk sekarang, anggap saja tanpa bantuanmu.” 

“Padahal tinggal hancurkan istananya pakai pedang suci, selesai dalam satu serangan.” 

“Reputasi Keluarga Pahlawan akan rusak total kalau ketahuan menyamar sebagai utusan lalu menyerang musuh diam-diam...”

Kekuatan Keluarga Pahlawan seharusnya hanya digunakan untuk menghadapi ancaman di luar kekaisaran. Kalau tidak, rasa takut terhadap mereka akan menyebar di seluruh negeri. Dan itu bisa berujung pada perseteruan besar. 

Kalau bisa dihindari, sebaiknya kekuatan Keluarga Pahlawan tidak digunakan. 

“Dan lagi, kalau kamu ke selatan, maka saat genting kamu tak bisa dikirim ke perbatasan.” 

“Kamu mau aku tetap di sini untuk menahan negara lain?” 

“Kalau semangat perang saudara semakin meningkat, mungkin akan ada negara yang ikut bergerak.” 

“Yah, kalau itu yang kamu katakan, aku akan bantu tanpa ikut langsung.” 

Setelah berkata begitu, Elna meletakkan tangannya di dagu, tampak berpikir sejenak. 

Lalu dia mengangguk beberapa kali dan mengangkat dua jari. 

“Hanya ada dua pasukan yang punya kemungkinan bisa menjalankan rencana ini.” 

“Aku bisa menebak satu di antaranya.” 

“Pastinya. Kamu pasti sudah tahu, Pasukan Kesatria Pengawal. Tapi yang ini jelas harus dicoret, kan?” 

“Duke Kruger adalah kakak dari Selir Kelima. Dia sudah sering datang ke ibu kota. Dia pasti mengenali banyak anggota Pasukan Kesatria Pengawal. Kalau dia melihat wajah-wajah yang dikenalnya, dia tidak akan menerima mereka.” 

“Aku juga berpikir begitu. Maka yang tersisa hanya satu pilihan...”

Wajah Elna tampak agak muram. 

Ada apa ini? Seolah dia tidak ingin mengatakan nama itu. Jarang-jarang Elna menunjukkan ekspresi seperti ini. 

“Ada apa?” 

“Sejujurnya, aku tidak terlalu menyarankannya.” 

“Tetap saja, katakan padaku.” 

“Haa... Awalnya, ini semua salahmu karena membiarkan suratmu direbut oleh Pangeran Gordon, jadi kenapa aku yang harus repot memikirkan ini...”

Dengan wajah kesal, Elna menatapku tajam. Aku berkedip beberapa kali mendengar keluhan yang tiba-tiba muncul dari mulutnya. 

Ada apa ini, sungguh? 

“Kamu marah?” 

“Tidak marah. Aku hanya, lelah. Selalu terlibat dalam masalah yang merepotkan. Kalau kamu sampai terluka, bagaimana coba?” 

“Maaf. Tapi ini soal perebutan takhta. Aku tak punya pilihan lain.” 

“Sungguh... Mulai sekarang aku akan ikut membantumu. Setujui itu.” 

“Membantu maksudmu...”

“Tentu, sebatas tak menyusahkan pihak lain. Lagipula, diam di rumah itu bukan gayaku.” 

Elna menatapku lurus saat mengatakan itu. Dia sangat kuat. Namun, sama seperti Silver, dia punya banyak batasan. Tapi dia pasti sudah memikirkan itu, jadi aku hanya bisa mengangguk. 

“Hanya sebatas tak jadi masalah, ya?” 

“Tentu. Kalau begitu, kita sepakat.” 

Elna tersenyum senang saat mengatakan itu. 

Kalau dia sampai mengajukan diri begini, berarti ada hal yang bisa dia bantu. Atau mungkin, dia tahu seseorang yang bisa membantu. 

Namun, selain pasukan kesatria pengawal, aku sama sekali tak punya bayangan soal pasukan lain. Kalau mereka tidak menonjol, justru lebih baik. Tapi pasukan yang sangat andal dan tak menonjol biasanya punya alasan tersendiri. 

“Mereka mungkin tak sekuat Pasukan Kesatria Pengawal, tapi dalam hal penyusupan, mereka bahkan lebih unggul. Namanya pasti pernah kamu dengar. Satu-satunya pasukan kesatria dalam militer kekaisaran. Narberitter.” 

“Kesatria Luka itu...!”

Tentu aku tahu nama itu. 

Narberitter. Pasukan independen, satu-satunya yang diakui sebagai kesatuan kesatria dalam militer kekaisaran. 

Semua anggotanya adalah mantan kesatria. 

Alasan mereka ada di militer kekaisaran meskipun telah meninggalkan kehidupan sebagai kesatria, berkaitan dengan masa lalu mereka. 

“Kesatria yang, karena berbagai alasan, melaporkan atau bahkan menebas tuannya sendiri. Mereka memilih keadilan daripada loyalitas, dan kehilangan tempat untuk kembali. Mereka membawa lambang keluarga mantan tuannya yang telah dilukai, dan karena itu, disebut Kesatria Luka.” 

“Mereka menegakkan keadilan dengan mengoreksi kesalahan tuannya, tapi tak banyak bangsawan yang bersedia menerima kesatria yang pernah berkhianat. Karena itu, dibentuklah pasukan ini sebagai tempat penampungan bagi mereka.” 

Meski disebut kesatria keadilan, tak ada yang benar-benar ingin mereka berada di sisinya. Lagipula, hanya sedikit bangsawan yang cukup yakin dirinya benar-benar bersih. Bahkan orang yang jujur sekalipun kadang harus bertindak bertentangan dengan prinsipnya. 

Tapi jika mereka menerima para kesatria itu, dan suatu saat melanggar prinsip, bisa saja mereka dibunuh. Memang hanya kemungkinan. Bukan berarti mereka tak bisa diajak kompromi. Tapi, hanya karena kemungkinan itu, mereka jadi tidak bisa diterima. 

“Benar, pandanganmu tidak salah. Aku pernah mengajari mereka latihan pedang, dan latihannya sangat berat. Tingkat keahlian mereka tinggi, dan banyak dari mereka yang sangat terlatih. Di dalam militer kekaisaran, mereka mungkin masuk tiga besar. Ditambah lagi, mereka tak terikat pada faksi mana pun.” 

Jawaban Elna mendekati sempurna. 

Tapi tetap saja, alasannya tidak menyarankan mereka mungkin karena masa lalu mereka. 

“Kamu menganggap misi penyusupan ke wilayah musuh, apalagi dengan tugas mengawal pangeran, terlalu berisiko, ya?” 

“Itu juga salah satunya... Tapi di medan musuh, penting untuk punya rekan yang bisa dipercaya penuh. Mereka adalah orang-orang yang keras kepala. Kalau tidak benar-benar mendapatkan kepercayaan mereka, mereka akan bertindak sesuka hati.” 

“Masalah koordinasi, ya.” 

“Mereka akan mengikuti perintah kalau ada perintah. Tapi kalau mereka tidak ingin terlibat sejak awal, rencana ini akan sulit dijalankan.” 

Jadi, idealnya mereka mau ikut atas kemauan sendiri, bukan karena perintah semata. 

Masalah yang sulit. Memang misi ini terlalu berbahaya. Membangun kepercayaan menjadi kunci utama. 

“Kita suruh Leo membujuk mereka?” 

“Hmm... Menurutku itu agak sulit. Leo mungkin tampak menarik bagi kesatria sejati, tapi bagi mereka, belum tentu.” 

“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” 

“Kalau Leo tak bisa, berarti kamu yang harus melakukannya, bukan?” 

Dengan nada seolah itu sudah jelas, Elna menyatakan hal itu padaku. 

Eh, tunggu. Aku yang membujuk? Para mantan kesatria yang jelas-jelas sulit diajak bicara? 

“Tidak, itu terlalu berat bagiku...” 

“Tenang saja. Aku akan ikut menemanimu. Lagipula, ini hanya pendapatku, tapi aku yakin kamu lebih bisa mendapatkan kepercayaan mereka. Kalau kamu yang meminta mereka untuk melindungi adikmu, pasti mereka akan membantu.” 

Dengan senyum ringan, Elna berkata seolah semuanya mudah. Aku pun menegang dan bertanya padanya. 

“Apa dasarnya kamu berpikir begitu?” 

“Eh? Kamu tidak tahu? Aku juga mantan kesatria, lho. Dan kalau aku sendiri merasa kamu pantas dipercaya, bukankah itu sudah jadi alasan yang cukup?” 

Memikirkan bahwa itu saja sudah dijadikan dasar, aku hanya bisa menghela napas panjang.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close