NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

America Gaeri no Uzakawa Osananajimi Volume 2 Chapter 5

Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 5

Untuk Terbang Menuju Langit Berbintang Itu


Setelah Ruto berhenti menari, aku tetap terus menari.


Kegagalan di atas panggung itu menakutkan dan menyakitkan, dan aku sempat beberapa kali berpikir untuk berhenti juga kalau Ruto memang sudah menyerah pada tarinya.


Tapi… setiap kali rasa lemah itu muncul, aku selalu teringat wajah Ruto yang begitu bahagia saat menari.


Seorang anak laki-laki yang sangat mencintai tari. Anak laki-laki yang membuatku tetap bertahan di dunia tari.


Bayangan Ruto yang menari dengan penuh semangat itu terus berputar di benakku, lagi dan lagi.


Benar. Anak itu, yang mencintai tarian, tidak akan berhenti hanya karena hal sepele seperti itu.


Makanya kali ini, aku ingin melakukan yang sebaliknya. Entah perasaan ini untuk Ruto, atau untuk diriku sendiri, aku pun tidak tahu.


Tapi yang jelas… aku ingin berdiri di sampingnya lagi, menari bersama seperti dulu.


Soalnya, tarian Ruto selalu bersinar.


Tariannya yang penuh semangat, yang ia lakukan dengan wajah bahagia itu, bersinar seperti bintang di langit malam.


Tarian itu pernah menerangi jalanku yang tersesat, seperti cahaya yang hangat.


Ruto yang nekat, berapi-api, kikuk, penuh kerja keras—

Justru karena itu, tariannya jadi begitu memukau dan indah, sampai aku tak bisa memalingkan pandangan.


Tarian itu seakan menggenggam tanganku dan menarikku ke arah yang benar. Itu adalah cahaya yang kuat dan penuh harapan.


Aku ingin melihat bintang itu sekali lagi.


Karena itu—Agar dunia Ruto tidak kehilangan tarian, kali ini aku yang akan terus memanggilnya.


Sampai dia mampu berdiri kembali, aku akan terus menari di sisinya. Selama aku masih menari, dunia Ruto tidak akan kehilangan tarian.


Aku ingin menjadi alasan dia bisa mulai menari lagi.

Jika itu tujuannya, maka aku bisa terus menari.


Entah ini bisa disebut sebagai balas budi atau bukan, aku tak tahu. Tapi, seperti saat dulu Ruto membuatku tetap tinggal di dunia tari, kali ini… aku yang akan menariknya kembali.


Untuk menjadi awal dari semuanya… aku akan terus menari.


Namun di suatu saat, pikiran itu muncul begitu saja.

Bunyi gesekan sepatuku menggema sepi.


Saat menoleh ke samping, tak ada siapa pun. Dance hall yang luas ini terasa begitu kosong saat aku sendirian.


Padahal lagu belum selesai, tapi aku sudah berhenti menari.


Di depanku ada cermin besar yang kugunakan untuk mengecek gerakan.


Yang terpantul di sana hanyalah sosok gadis kecil yang tampak seolah-olah akan menangis kapan saja.


Dari dalam dada yang terasa akan hancur kapan saja, sesuatu seakan mulai tumpah perlahan.


Teriakan lirih yang tak akan pernah sampai pada siapa pun.


…Hei, Ruto.

Aku kesepian.

Aku tak suka sendirian.

Ayo kita……Menari bersama lagi.


***


Hari tampil di festival selalu membuatku bangun pagi.


Meskipun ini bukan kompetisi yang menentukan menang atau kalah, hanya sekadar tampil di panggung festival, ketegangan yang kurasakan mirip seperti saat lomba.


Agar tidak membangunkan teman-temanku yang masih tidur di kamar, aku keluar pelan-pelan.


Udara gunung yang dingin memberi rasa segar saat kuhirup dalam-dalam.


Pemandangan musim gugur yang sudah biasa kulihat pun terasa berbeda, karena hari ini adalah hari terakhir.


Aku tidak sampai berpikir untuk "menyimpan dalam ingatan", tapi saat memandangi gunung begitu saja, aku baru menyadari kalau dedaunan yang memerah itu basah.


"…Apa hujan turun semalam?"


Saat kuperhatikan lagi, di atas kerikil halaman parkir, beberapa genangan air tampak mengkilap.


Saat kubuka smartphone untuk mengecek, ternyata memang semalam hujan turun cukup deras.


Syukurlah tidak bersamaan dengan waktu festival, pikirku dalam hati.


Tiba-tiba, suara kicauan burung terdengar.


Aku menoleh mencari sumber suara itu, tapi dengan luasnya pemandangan gunung ini, rasanya tidak realistis untuk mencoba menemukannya.


Saat aku membayangkan kira-kira burung apa itu—


"Burung hiyodori. Mereka nggak terlalu takut sama manusia, jadi lumayan populer di kalangan birdwatcher. Nggak cuma di gunung, di taman kota juga kadang bisa ditemui, lho."


Saat menoleh, aku melihat Yusa-san sedang menutup pintu mobil.


Apa dia mau pergi sepagi ini? …Ah, atau lebih tepatnya, mungkin dia baru pulang dari suatu tempat.


Yusa-san mengunci mobil dengan remote, lalu berjalan di atas kerikil menuju ke arahku.


"Kau habis dari mana?"


"Aku cek lokasi untuk pengambilan gambar hari ini. Kalau habis hujan, pencahayaannya berubah drastis, jadi pemandangannya juga beda."


"Pagi-pagi begini?"


"Punya waktu lebih banyak buat mikir itu selalu jadi keuntungan. Oh, aku maksudnya untuk urusan koordinasi kostum. Kalau bisa, aku ingin menangkap momen paling imut dari Seira-chan dan yang lain. Bukan berarti aku memaksakan diri, sih. Aku cuma merasa menyenangkan aja saat membayangkan pakaian apa yang cocok untuk mereka."


Senyum Yusa-san saat mengucapkannya terasa sangat alami, dan entah kenapa… itu terlihat sangat menawan.


Menjalankan perannya dengan sepenuh hati, dan bisa menganggapnya menyenangkan—itu pemikiran yang sangat keren menurutku.


"Entah kenapa… Yusa-san kelihatan keren banget, ya."


"Oh, masa? Waktu jadi model dulu sih aku dijual sebagai tipe ‘elegan’, lho."


"Bukan soal itu."


Saat Yusa-san bergaya angkuh menyibakkan rambutnya, aku menjawab,


"Aku cuma merasa, bisa bilang ‘aku senang melakukannya demi Seira dan yang lain’… itu bener-bener keren banget."


Saat aku mengatakan itu, Yusa-san memandangku serius… atau lebih tepatnya, menatapku tajam dari ujung mata.


Tatapan yang tidak bisa dibilang nyaman itu membuatku refleks menjawab, "Ada apa?" Tapi kakak mantan model itu mengerutkan wajahnya dan berkata,


"…Anak muda, kau sengaja melakukannya, ya?"


"Sengaja apa?"


"…Jadi ini alami, ya. Onee-san jadi khawatir sama masa depanmu, nih."


"…Hah?"


Aku menoleh bingung karena dia bilang sesuatu yang tidak kumengerti, tapi Yusa-san tidak berkata apa-apa lagi setelah itu. Meski terasa janggal, rasanya tidak sopan kalau aku menghabiskan waktu paginya lebih lama.


"Yusa-san, tolong jaga Seira dan Nowa, ya."


"Ya, serahkan saja pada onee-san."


Yusa-san menepuk dadanya dengan penuh percaya diri, sambil tersenyum seperti orang dewasa yang bisa diandalkan.


Setelah mengantar Seira dan Nowa pergi, aku datang ke lokasi festival.


Masih ada waktu sebelum gladi resik dimulai, dan aku sudah memutuskan akan beristirahat sampai saat itu. Tapi entah kenapa, hatiku tidak tenang. Saat aku keluar sekadar untuk jalan-jalan, tanpa sadar kakiku mengikuti jalur yang sudah biasa kulalui selama seminggu ini, dan aku pun sampai ke taman yang biasa aku kunjungi.


"Yaezakura-sensei! Alat ini mau dibawa ke mana?"


"Taruh di sisi barat panggung, posisikan sebagai dinding. Posisi speaker-nya akan lebih gampang memantulkan suara ke arah penonton."


Di lokasi festival, wanita berbaju hitam itu sedang bekerja dengan sangat serius.


Di dalam tenda tempat pengaturan suara—kalau bisa dibilang sound booth—Yaezakura-sensei memberikan instruksi dengan cekatan. Para staf mengikuti instruksinya tanpa ragu, terlihat jelas bahwa mereka sangat mempercayainya. Soalnya mereka bahkan memanggilnya dengan sebutan "sensei".


"…Sensei, lagi ngapain?"


Aku mengungkapkan apa yang kupikirkan, dan baru saat itu dia sadar akan keberadaanku. Seolah baru teringat sesuatu, dia mendongak, lalu mengangguk kecil.


"Kebetulan sekali, ayo kita bicara sebentar. —Semua istirahat dulu. Kita lanjut kerja lima belas menit lagi. Manfaatkan waktu untuk istirahat dengan baik."


""Siap!!"


Respon mereka terdengar seperti klub olahraga.


Aku tidak tahu bagaimana semua ini bisa terbentuk, tapi aku sedikit bergidik melihat kemampuan Yaezakura-sensei dalam mengendalikan orang.


"Jangan terlalu dipikirkan. Lupakan hal-hal yang tidak penting, dan fokuslah pada tarianmu sendiri."


Entah dari sikap atau ekspresiku, sepertinya dia menangkap kebingunganku, lalu berkata dengan nada menegur.


Memang seharusnya aku fokus ke panggung—ke penampilanku sendiri. Tapi karena pikiranku kalut, aku malah berkeliling ke lokasi festival, dan sekarang merasa seperti dimarahi.


Tampaknya semua perasaan itu pun sudah terbaca olehnya, dan dia tertawa kecil.


"Walaupun begitu, kalau terlalu tegang juga akan menurunkan kualitas performa. Tak perlu terlalu kaku, bersikaplah santai dan alami. Yuk, pindah sebentar."


Yaezakura-sensei memberi isyarat dengan tangannya, mengajakku ke suatu tempat.


Alun-alun di dataran tinggi.


Tempat yang sama di mana aku dan Nowa menonton kembang api semalam.


Begitu kami tiba, sensei mulai mengutak-atik tabletnya dan memutar sebuah lagu.


Lagu yang akan kami bawakan. Lagu pembuka dari anime Non-Gifted Musical.

"My music is My dance".


Melodi yang begitu akrab selama seminggu ini, sampai-sampai tubuhku refleks ingin mulai menari.


Apa sensei akan menontoni tarianku?


Kalau begitu, ini bisa jadi latihan yang bagus, karena membuatku terbiasa dengan perasaan sedang diawasi.


Kalau bisa tampil dengan baik di depan sensei, latihan ini akan sangat berarti.


Dengan keyakinan itu, aku mulai merentangkan tubuh.


Pemanasan ringan.


Aku ingin menunjukkan tarian terbaikku kepada sensei.


Dengan semangat itu, tak lama setelahnya….


Aku mendengar suara angin berdesing.


"…………Hah?"


Yaezakura-sensei menari.


Gerakan akrobatik yang lincah, dengan langkah yang begitu tajam. Cara dia menyesuaikan gerakan dengan ketukan hi-hat itu, membuat siapa pun yang melihatnya merasa puas.


Di tengah gerakan yang penuh energi, dia tetap tidak mengabaikan detail yang rumit—sebuah tarian yang begitu memikat.


…Itu benar-benar luar biasa.


Keindahan tariannya memang mencolok, tapi yang paling mencengkeram hatiku adalah ekspresinya.


Lihat aku.


Dengan senyum seolah dia menguasai panggung, sensei seperti merebut semua sorotan dunia hanya untuk dirinya sendiri.


Hanya empat bar.


Tapi dalam empat bar yang singkat itu, aku bisa merasakan betapa besar usahanya.


Dasar yang dibangun dari waktu panjang yang konsisten.

Postur tubuh yang kokoh, jadi fondasi mutlak untuk setiap gerakan dinamisnya.


Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku atas tarian mendadak itu.


"Dengar baik-baik, Maiori. Di bagian ini, gerakan down-mu cenderung terlalu berlebihan. Kalau itu solo, mungkin tak masalah. Tapi ini tarian pasangan. Kau harus menyadari perbedaan ritme dengan partner-mu. Kurasa Kurosaki tidak akan mengeluh, jadi kau yang harus peka dan menyesuaikan."


"………………Eh, maksudnya, um, apa?"


"Apa kau membuka mulut selebar itu karena menunggu permen jatuh dari langit?"


Sambil menatap langit biru cerah, sensei melontarkan candaan yang aku sendiri tak tahu harus tertawa atau tidak.


Aku tak bisa berpikir. Tubuhku membeku.

Sensei mengangguk sejenak, lalu mendekat sambil langkah sepatunya berbunyi nyaring—dan langsung meraih tanganku.


Tiba-tiba, tanganku ditarik dan dipaksa menyentuh pinggangnya.


"Eh!? A-apaan ini, Sensei?!"


"Sentuh saja. Kau pasti paham."


Paham apa!?


Dengan kebingungan yang masih melingkupiku, aku mencoba merasakan bagian pinggang sensei lewat setelan jasnya—dan…


"Ini…"


Meski tertutup pakaian, otot-otot yang kurasakan membuatku bergidik.


Hampir tak ada lemak yang sia-sia. Katanya perempuan sulit membentuk otot, tapi otot perut yang terbagi rapi dan otot miring yang membentuk lekuk pinggang tampak jelas, sambil tetap mempertahankan kelenturan yang halus.


"Bagaimana, Maiori? Kau pasti tahu soal bentuk otot seperti ini, bukan?"


Otot miring perut bisa dibilang adalah otot yang paling penting dalam menari.


Untuk memutar tubuh. Untuk menjaga keseimbangan. Kalau boleh dibilang secara ekstrem, menstabilkan bagian inti tubuh adalah hal yang paling penting dalam menari. Dalam hal itu, peran otot miring tak tergantikan.


Aku sudah begitu terpikat, sampai-sampai memijat otot di sekitar pinggang sensei.


"Su... sungguh luar biasa...! Betapa indahnya otot ini...!"


"...Oi, bukankah kau sedikit terlalu kelewatan? Maksudku, memang aku yang menyuruhmu menyentuh, tapi..."


Sensei bilang sesuatu, tapi suaranya sudah tak sampai ke telingaku. Cara otot-otot itu terbentuk sungguh ideal.


Pinggang yang ramping membentuk kontur tiga dimensi di bagian perut, menjaga siluet tubuh tetap indah. Saat aku menekan pelan bagian bawah perutnya, terasa ada elastisitas yang memantul, dan itu adalah bukti bahwa bahkan otot bagian dalam—yang katanya sulit dilatih—juga terbangun dengan padat.


"...Oi, Maiori, cukup ya. Dengar tidak? Oi!"


Sudah lama aku tak bertemu otot seindah ini... atau mungkin ini yang pertama kalinya.


Padahal hanya menyentuh dari balik jas, tapi sensasi yang kurasakan di tangan seolah penuh godaan iblis. Tanganku tak bisa berhenti. Ujung jariku terus bergerak. Aku ingin terus menyentuhnya. Kalau bisa, aku ingin menyentuhnya langsung.


Demi memenuhi keinginan itu sedikit saja, aku menggenggam pinggang sensei dengan kedua tanganku—


"Cu-cukup, Maiori! Jangan menyentuh tubuh wanita seenaknya begitu!"


Sensei buru-buru memutar tubuhnya, membuat tanganku terlepas dari pinggangnya. Dengan jemari yang menyesal menggapai udara kosong, aku berseru pada sensei.


"Kenapa, biarkan aku menyentuhnya lagi! Lagipula, bukankah sensei sendiri yang menggiringku buat menyentuhnya? Tanpa bertanya dulu padaku, langsung saja!"


"Jangan... jangan bilang begitu! Kalau ada yang dengar, bagaimana!?"


"Aku benar-benar terangsang, tahu! Ini pertama kalinya aku melihat tubuh seindah ini! Karena sensasi menyentuh tubuh sensei luar biasa banget! Tapi kenapa?!"


"Berhenti! Berhenti! Di zaman sekarang, orang cepat menyebarkan gosip! Bagaimana kalau dibesar-besarkan dengan niat buruk?! Aku masih belum mau berhenti jadi guru!"


Setelah mendengar itu, aku pun akhirnya tersadar.


Sepertinya aku benar-benar kehilangan akal gara-gara bertemu dengan otot yang terlalu ideal. Aku pun terkejut pada diriku sendiri yang melakukan tindakan segila itu, lalu mengembuskan napas panjang untuk menenangkan detak jantungku yang kacau.


Lalu, dengan keyakinan yang hampir seperti kepastian, aku bertanya tentang kesimpulan yang kudapat setelah menyentuh otot sensei.


"Sensei dulu seorang penari, ya?"


Kemungkinan dia dulunya atlet cabang olahraga tertentu memang ada, tapi kalau melihat tariannya tadi, rasanya kemungkinan itu kecil. Gerakan tadi bukan sesuatu yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Gerakan itu cukup untuk membuktikan bahwa ia menghabiskan banyak waktu dalam dunia tari.


"Aku mantan penari. Sekarang sudah pensiun."


Dengan senyum sedikit sedih, sensei menjawab.


Mantan penari.


Kata itu terasa agak ganjil bagiku.


Bukan soal definisinya, tapi lebih ke apa yang dianggap sensei sebagai "pensiun". Mungkin setiap orang punya pandangan berbeda, tapi menurutku, selama seseorang menyukai menari dan masih menari meski hanya untuk hobi, maka ia tetap boleh menyebut dirinya penari.


Tapi, dari cara sensei mengoreksi itu, aku merasakan adanya standar yang jelas—dan berbeda dariku.


...Jangan-jangan, dia benar-benar seorang penari profesional?


Mungkin dia pernah tergabung dalam sebuah teater, atau secara rutin mengadakan pertunjukan tari. Kalau memang pekerjaan utamanya dulu adalah sebagai penari, maka wajar jika ia menyebut dirinya telah pensiun. Tariannya tadi sangat memukau, dan kalau memang ia seorang profesional, aku takkan heran sama sekali.


"..."


Namun...Masih dengan senyum sedih di wajahnya, sensei menaruh tangannya di atas pahanya.


Dengan tangan yang tergenggam erat, ia menciptakan kerutan kecil di jasnya.


Lalu ia berkata,


"Karena cedera."


"..........!!"


Angin bertiup.


Angin yang terasa seperti menembus lubang yang tiba-tiba terbentuk di tengah dadaku—angin yang sunyi dan menyakitkan.


"………………Cedera…"


Yang ditekan oleh sensei adalah paha—mungkinkah itu cedera pada hamstring? Bagian tubuh yang mudah mengalami robekan otot, dan katanya, sekali cedera maka bisa menjadi kebiasaan yang kambuh. ...Tidak, kalau sampai menyebut pensiun, bisa jadi cederanya jauh lebih dalam dari itu... mungkin sampai ke ligamen, atau semacamnya...


"Saat aku ikut kompetisi besar, aku memaksakan diri terlalu keras. Itu kompetisi dansa berpasangan. Panggung yang selalu kami impikan bersama partnerku."


Bagi sensei mungkin itu sudah jadi bagian dari masa lalu, nada bicaranya terdengar begitu lembut.


Namun angin yang bertiup dalam diriku tetap terasa dingin dan menyakitkan.


"Aku tidak menyesal telah mengerahkan segalanya. Itu adalah tarian yang membuatku merasa sudah memberikan seluruh kemampuanku... Jadi kalau aku punya penyesalan, mungkin itu karena aku membuat partnerku merasa bersalah akibat cederaku. Karena aku memaksakan diri, karena aku tak bisa menari lagi, aku membuatnya merasa bertanggung jawab."


Sensei menatap langit yang jauh. Pasti ia sedang menumpangkan kenangan masa lalunya di sana.


Aku tidak tahu seberapa jauh aku boleh mempercayai kata-kata "tidak menyesal" itu.


Beban dari kisah yang telah dijalani sensei membuat hatiku terasa kacau oleh emosi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.


"Itulah kenapa aku berusaha keras menjalani rehabilitasi, berharap bisa menari lagi. Berkat itu, sekarang setidaknya aku bisa sedikit bergerak, tapi untuk menari secara penuh seperti dulu, tubuhku sudah tak sanggup. Aku hanya sedikit pamer di depan murid-murid... tapi lihat sendiri. Hanya dengan menari sebentar tadi, lututku sudah gemetar."


Paha yang ia tekan itu bergetar halus sampai ke ujung jari kakinya.


Melihat getaran itu, sensei malah tertawa seperti sedang bercanda—dan itu membuat dadaku terasa nyeri.


Tidak menyesal?

Sudah memberikan segalanya?

Itu bohong.


Karena sensei... saat menari tadi, sensei benar-benar tersenyum dengan wajah yang terlihat begitu bahagia...


"—Maaf, aku jadi cerita masa lalu yang membosankan, ya. Bukan berarti aku ingin dikasihani. Aku hanya merasa akan lebih meyakinkan kalau kau tahu latar belakangku saat aku memberimu nasihat. Kau boleh lupakan saja. Abaikan cerita yang tak penting ini, cukup ambil nasihat yang menurutmu berguna—"


Sensei mengalihkan pandangannya ke arahku, lalu terdiam.


Senyuman sendu yang ia tunjukkan tadi berubah menjadi ekspresi terkejut.


Nada bicaranya yang lembut berubah menjadi suara yang ragu dan mencari.


"...Maiori... kau, menangis?"


"...Eh?"


Baru setelah ditanya, aku menyadari ada air mata yang mengalir di pipiku.


Sensei pasti tidak mengharapkan reaksi seperti ini. Ia hanya ingin memberiku nasihat, dan untuk itu ia menceritakan masa lalunya.


Memunculkan rasa kasihan saja sudah terdengar tidak sopan. Aku tidak bisa berkata bahwa aku tahu bagaimana rasanya kehilangan kemampuan menari. Aku tidak bisa menari dulu karena hatiku yang lemah. Karena aku lari dari kenyataan untuk menghadapi dunia tari.


Aku yakin aku tidak pantas untuk menangis.


Tapi tetap saja.

Tetap saja...


Perasaan yang meluap-luap membuat pikiranku dipenuhi hal-hal tak berguna, mencairkan makna dari kata-kata sensei.


Jangan menangis.

Tolong, jangan menangis.


Aku mencoba membujuk diriku sendiri melalui kedua mata yang terasa panas—tapi...


"...Ka-karena, tadi sensei terlihat begitu bahagia..."


"...Apa?"


"...Karena... saat sensei menari tadi, te-terlihat begitu bahagia..."


Bibirku bergerak sendiri, menyampaikan perasaan yang tersendat-sendat, tanpa persetujuan dari hatiku.


Hanya empat bar. Tarian yang dipersembahkan itu hanya berlangsung sebentar. Tapi tarian sensei yang seolah menari bersama angin musim gugur itu indah, bebas, kuat...


Dan yang paling terasa—ia terlihat begitu menikmati setiap detiknya.


"...Karena aku bisa merasakan kalau sensei benar-benar mencintai tari... suka menari... makanya saat mendengar kalau sensei tak bisa menari lagi... aku pikir, itu pasti menyakitkan... dan tanpa sadar, air mata ini... eh, aku... aku ngomong apa, sih...?"


Aku sendiri pun tidak bisa menyusun dengan jelas apa yang ingin kusampaikan.


Mungkin aku hanya membayangkannya.


Bagaimana jika suatu saat aku sendiri tidak bisa menari lagi? Bagaimana jika aku dipaksa berhenti menari karena alasan yang tak bisa kulawan?


Bukan berarti aku bisa mengatakan bahwa aku mengerti perasaan sensei.


Aku hanya merasa takut.


Hanya dengan membayangkannya saja, perasaan kehilangan yang begitu besar ini langsung menyergap hatiku.


Kalau begitu, berapa dalam luka yang harus ditanggung oleh sensei yang benar-benar tak bisa menari lagi?


Berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk bisa tertawa dan menyebutnya sekadar masa lalu?


Pasti rasa sakit itu sudah jauh melampaui apa pun yang bisa kubayangkan.


Itulah sebabnya, tak ada kata bermakna yang bisa keluar.


Bukan karena aku ingin menggantikan rasa sakit itu dengan air mata—tapi...


Aku hanya bisa menangis.


"……Sungguh, murid yang merepotkan."


Entah sejak kapan, ada kehangatan terasa di atas kepalaku.


Sensei dengan lembut mengelus kepalaku.


"Maiori, kau punya kekuatan untuk memahami perasaan orang lain. Tapi itu juga bisa menjadi kelemahan. Karena memahami perasaan orang lain berarti juga menanggung luka mereka. Seperti sekarang ini, kau menangis karena luka yang bukan milikmu."


Sensei lalu memeluk wajahku erat-erat.


Aroma jas yang menempel di hidungku adalah wangi orang dewasa yang membuatku ingin bersandar.


"Itu mungkin adalah cara hidup yang canggung. Kau tak bisa menyalahkan orang lain. Harus menghadapi rasa takut hanya dengan hatimu sendiri. Dan kalau lengah, beratnya beban yang kau pikul bisa menjatuhkanmu dan membuatmu tak bisa bangkit lagi."


Memikul sesuatu itu menakutkan.


Mengulurkan tangan menuju masa depan yang diinginkan itu juga menakutkan.


Karena, ketika kau mengejar sesuatu, selalu ada kemungkinan untuk gagal.


Seperti janji hari itu, yang tak bisa kutepati, dan membuatku terpuruk.


Bintang-bintang yang menggantung di langit malam itu indah karena hanya dipandang dari kejauhan—kalau kau benar-benar mencoba meraihnya, jarak yang begitu tak terjangkau itu justru bisa membuat hatimu patah. Pikiran seperti itu melintas di benakku.


"Tapi, aku bangga pada pilihan jalan yang kau ambil. Pasti ada banyak hati yang telah terselamatkan karena kau mengulurkan tanganmu. Jangan pura-pura tidak menyadari hal itu. Jangan hanya menghitung apa yang kurang. Karena kaulah yang memilih jalan ini, pasti ada senyuman yang bisa kau raih karenanya."


Kata-kata sensei mengusir kabut dari dalam pikiranku yang keruh.


Beban yang selama ini terasa membebaniku perlahan lenyap, membuat hatiku terasa terang.


Sampai sejauh itu—ah, begitu ya, akhirnya aku sadar.


Bukan karena aku ingin dikuatkan. Bukan juga karena aku ingin jawaban. Bukan karena aku ingin jalan yang harus kutempuh diterangi.


Aku hanya ingin seseorang mendukung jalan yang kupilih sendiri.


"Tak perlu ragu."


Seakan bisa membaca isi hatiku, suara lembut sensei mengalir sampai ke bagian terdalam dalam diriku.


"Dunia ini memang dipenuhi kenyataan yang tak ingin kita lihat, dan kebencian yang tak ingin kita dengar. Tapi anggap saja semua itu omong kosong. Kau berhak mengejar hal-hal yang lebih murni. Kau boleh jujur pada hatimu sendiri. Yang perlu kau percayai hanyalah senyum hangat yang ada di sekelilingmu."


Secara alami, yang muncul di benakku adalah senyuman Seira dan Nowa.


Sesuatu yang benar-benar ingin kuraih.


Keberadaan yang hangat itu mampu mengecilkan rasa takut yang samar-samar menghantui hatiku.


Alasan air mataku sekarang berbeda dari yang tadi.


Mungkin ini pertama kalinya aku membuka diri sepenuhnya seperti ini.


Kehangatan dari dada tempat air mataku tertumpah telah menerimaku sepenuhnya, dengan kekuatan yang begitu besar.


"Jadilah penari yang penuh kelembutan. Jadilah penari yang mampu menari sambil memikul perasaan orang lain. Ini bukan harapan egois. Aku sungguh percaya, kau bisa menjadi seperti itu."


"...Iya... iya!"


"Hehe, kalau ini disebut nasihat, mungkin agak kurang spesifik, ya?"


Sambil tertawa seperti sedang bercanda, sensei memeluk kepalaku.


Tenggelam dalam kehangatan itu, aku menangis dalam diam untuk beberapa saat.


Bersandar pada kekuatan orang ini, yang mampu menerima segalanya—hanya untuk saat ini.


Aku akan menari.


Itulah yang kupikirkan.


Demi meraih semua senyuman yang benar-benar kuinginkan.


Agar aku bisa ikut tersenyum di antara senyuman-senyuman itu.


Aku akan menari.


Ya—begitulah tekadku.


***


Aku berganti pakaian.


Pakaian ini meniru kostum panggung dari anime Non-Gifted Musical.


Ini pun dibawa oleh Yusa-san. Prosesnya adalah mencarikan pakaian dengan desain serupa dari koleksi merek fashion "Erling Sunrise", lalu mengubahnya agar menyerupai kostum dalam cerita aslinya. Jadi, meski detailnya berbeda, dan karena ini dipakai untuk menari maka ada bagian-bagian yang tidak bisa direproduksi, secara keseluruhan sudah cukup representatif.


Omong-omong, yang memimpin persiapan kostum ini adalah Olivia-san. Kabarnya semua diselesaikan dalam waktu sangat singkat—aku benar-benar tidak bisa cukup berterima kasih.


Rasanya tidak enak sudah mencuri waktu dari CEO karismatik yang sedang bersinar seperti dia, tapi aku yakin Olivia-san tidak mengharapkan ucapan terima kasih. Yang ia inginkan pasti hanyalah kesuksesan panggung ini. Karena itulah, aku menggenggam erat kostum ini dan membisikkan pada diriku untuk melakukan yang terbaik. Entah kenapa, di ingatanku, Olivia-san seakan berkata sambil tersenyum, "Itu semangat yang bagus, Ruto-kun."


Sebenarnya yang mengurus semua ini langsung adalah Yusa-san.


Lebih tepatnya, karena khawatir akan kesibukan sang CEO, Yusa-san awalnya berniat menyiapkan semuanya sendiri. Tapi katanya, Olivia-san mengirim pesan keras, 

[Tak ada orang tua di dunia ini yang akan menolak meluangkan waktu demi anaknya]


Gara-gara itu, Yusa-san sampai sempat curiga bahwa aku adalah anak rahasianya Olivia-san. Butuh waktu tiga puluh menit untuk meluruskan kesalahpahaman itu.


Kembali ke topik.


Aku menatap bayanganku sendiri di cermin setelah berganti pakaian.


Ini adalah kostum musikal yang dipakai para tokoh utama di episode terakhir anime.


Entah disebut retro atau apa, di atas vest berwarna coklat kemerahan yang elegan, aku mengenakan haori hitam. Dalam cerita aslinya, mereka mengenakan sesuatu seperti hakama yang berkibar, tapi karena itu berbahaya saat menari, aku menggantinya dengan celana panjang yang desainnya serupa. Suasananya seperti menggabungkan gaya Jepang dan Barat dengan sentuhan keren. Hmm, boleh dibilang... ini cukup cocok untukku, ya?


"Gimana menurutmu, Yuuma? Ada yang aneh nggak?"


"Hmm... Jadi, bagian dalam haori yang nggak terlalu kelihatan di anime ternyata seperti ini ya. Walau ini cuma versi fanmade dan mungkin beda dari aslinya, belakangan aku dengar para mangaka kadang justru balik nyontek dari cosplayer untuk mendesain ulang pakaian tokoh mereka sih—"


"Ngomong dong, jangan ceramah."


Aku menepuk kepala Yuuma yang bicara cepat. Bukan jawaban yang kuharapkan, tapi kalau Yuuma, seorang penggemar berat anime-nya, bisa seantusias itu, berarti kostum ini cukup berhasil mereplika versi aslinya.


"Ngomong-ngomong, kostum Kurosaki-san gimana?"


"Udah dibawa ke lokasi syuting. Katanya dia bakal dibantu stylist profesional untuk dandan dan ganti baju, lalu langsung gabung ke sesi latihan."


Kostum Nowa desainnya mirip punyaku, tapi banyak bagian yang terlihat asing karena dibuat untuk memberi kesan lebih glamor. Bahkan sampai disertai petunjuk cara memakai dan melepasnya. Karena khawatir tak bisa memakai sendiri, Yusa-san pun menawarkan bantuan untuk memakaikannya.


Jadwal syuting sudah kudengar sebelumnya. Ia akan sempat kembali sebelum latihan dimulai. Jadi kostum Nowa akan bisa kulihat saat itu.


Sambil sedikit menantikan momen itu, aku melirik jam tanpa berpikir panjang—dan...


"...Hah?"


Ternyata aku memakan waktu lebih lama dari yang kukira untuk berganti pakaian.


Jam menunjukkan bahwa seharusnya Nowa sudah kembali ke penginapan. Sesi latihan dimulai dalam tiga puluh menit lagi, dan pertunjukan akan dimulai satu jam setelahnya.


Sedikit keterlambatan sebenarnya tidak jadi masalah, tapi kalau jadwal yang telah direncanakan mulai meleset, muncul rasa cemas yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin aku sedikit perfeksionis, tapi beginilah memang watakku, jadi mau bagaimana lagi.


Yah, bagaimanapun juga ini kali pertama Nowa menjalani pemotretan model. Karena belum terbiasa, wajar kalau dia memerlukan waktu lebih lama. Mungkin dia memutuskan untuk langsung menuju ke lokasi festival karena jadwalnya sedikit mundur. Kemungkinan itu sangat masuk akal.


"Yuuma, ayo kita ke venue."


"Ya, oke."


Teman yang peka ini mengangguk tanpa banyak bertanya pada keputusan yang kuambil.


Sepertinya dia menyukai yukata kuning yang dipakainya kemarin, karena dia mengenakannya lagi hari ini. Ia dengan cekatan mengenakannya sendiri beberapa saat lalu. Tapi mungkin karena merasa tidak enak kalau hanya berjalan santai, dia memilih memakai sandal biasa. Hal-hal kecil seperti itu membuatku tidak mungkin membencinya.


Kami tiba di tempat acara. Festival sudah dimulai, dan suara riang ramai memenuhi udara.


Dug. Jantungku berdetak keras.


Waktu dan tempat yang semakin mendekati penampilan membuat detak jantungku berdebar semakin kencang.


...Ternyata, aku masih sedikit takut.


Aku membayangkan semua wajah penonton berubah menjadi ekspresi kecewa. Aku tahu itu cuma bayangan konyol, tapi ekspresi itu seolah mencerminkan ketakutanku sendiri.


Tapi...


"...Iya, aku bisa melakukannya."


Aku mengepalkan tangan, memastikan bahwa aku masih punya tenaga.


Aku mungkin tidak bisa mempercayai hatiku yang penakut ini, tapi aku bisa mempercayai kata-kata orang-orang yang percaya padaku.


Kata-kata Nowa, yang diucapkan di bawah cahaya kembang api.


Kata-kata sensei, yang membisikkan sambil mengelus kepalaku.


Semua kata-kata itu adalah penunjuk jalan yang bersinar hangat seperti cahaya bintang, yang menopang hatiku yang penuh keraguan.


Detak jantungku masih berlanjut, tapi kini artinya berbeda.

Bukan lagi karena kegelisahan, melainkan semangat kuat yang memompanya.


Aku akan menari sekuat tenaga. Kalaupun gagal, aku akan tetap menikmati tarian ini.


Selama aku bersama Nowa, aku merasa hal itu bisa kulakukan. Aku yakin aku bisa.


Kalau sampai terjatuh, kami akan terluka bersama, menangis bersama, lalu bangkit bersama dan kembali melangkah. Karena itulah arti dari seorang partner, bukan?


Meyakinkan perasaanku sendiri, dengan semangat membara di dada, aku melangkah menuju venue.


Tempat rehearsal terletak di belakang panggung.


Sambil membayangkan alur pertunjukan yang sebenarnya, kami melakukan koordinasi dengan staf festival, memastikan semuanya berjalan lancar. Sebenarnya aku ingin mencoba langsung di panggung utama, tapi karena para staf sangat sibuk, aku tidak bisa memaksakan itu.


Kami diarahkan ke belakang panggung lewat tenda utama.

Sambil mencari-cari dengan pandangan, aku mencoba melihat apakah Nowa sudah tiba lebih dulu—dan...


"…Benarkah itu?"


Di balik panggung, Yaezakura-sensei sedang berbicara serius di telepon dengan wajah tegang.


Nada bicaranya—dengan ponsel di tempel di telinga—penuh kejutan dan kegetiran yang bercampur jadi satu.


"…Iya, iya… tidak, ini bukan salah Yusa-san. Ini hal yang di luar kendali… Ya, mohon prioritaskan keselamatan anak-anak."


Orang yang dihubungi… Yusa-san?


Isi percakapannya terlalu sepotong-sepotong untuk kupahami, tapi suasana yang kurasakan dari nada bicaranya terasa tegang.


Suara angin yang tiba-tiba bertiup terdengar begitu dingin di telingaku. Udara sekitarku terasa penuh tekanan.


Aku bisa merasakannya dengan kulitku—ada sesuatu yang tidak beres.


"Sensei, ada apa?"


"…Maiori."


Suara Yaezakura-sensei terdengar tenang. Tapi wajahnya memancarkan ketegangan yang ia coba sembunyikan.


Perasaan tak enak mulai menjalar pelan-pelan di dadaku.


Ketika segala sesuatu mulai mengalir ke arah yang buruk, entah kenapa aku bisa langsung merasakannya.


"Kau tahu tadi malam sempat turun hujan lebat, kan?"


Pertanyaan pembuka sensei terdengar tidak ada hubungannya dengan situasi ini. Aku sempat bingung, tapi kemudian ia menjelaskan dengan tenang.


"Karena hujan itu, terjadi longsor dan beberapa jalan ditutup."


"...Apa? Longsor?"


"Mobil yang membawa Kurosaki dan yang lainnya terjebak dalam kemacetan yang disebabkan longsor itu. Jalan menuju venue harus memutar jauh, jadi mereka akan sangat terlambat sampai."


"...Terlambat, maksudnya seberapa lama?"


"Secepat-cepatnya, satu jam setelah penampilan kalian selesai."


Aku menahan napas sejenak. Kepalaku segera memutar ulang jadwal festival.


Urutan tampil kami adalah yang terakhir malam ini. Jadwalnya disusun sedemikian rupa agar festival ditutup dengan tarian kami.


Lalu, apa artinya itu?


"........"


Nowa... tidak akan sempat.


Bukan hanya tak bisa tampil—dia bahkan takkan sampai sebelum festival berakhir.


Takkan ada penonton yang tersisa. Bahkan jika aku menari, takkan ada yang melihat.


"........."


Bayangan yang terasa terlalu nyata mulai menyelimuti pikiranku dengan putih kosong. Tapi aku memaksakan diriku tetap berpikir.


Panik tidak akan menyelesaikan apapun. Pikirkan hal konkret. Harus bagaimana? Apa keputusan yang tepat? Jangan menyerah. Bagaimana caranya mengatasi masalah ini?


Pikir... pikir... pikir pikir pikir pikir.


………Ini… tidak mungkin.


Sudah jelas—untuk bisa menari bersama Nowa, maka Nowa harus ada di sini. Jantungku mulai berdenyut sakit.


Tak ada solusi yang terlintas.


Semakin aku mencoba memikirkan tindakan konkret, semakin aku disadarkan bahwa tak ada jawaban yang benar. Rasanya seperti kenyataan yang kejam menertawakanku tepat di telinga.


"Maiori. Yusa-san ingin bicara denganmu."


"Eh, a—iya..."


Dengan linglung, aku menyodorkan tanganku.


Tanganku gemetar saat menerima ponsel itu. Rasanya begitu berat. Aku tak bisa menerima kenyataan dengan benar.


Salah satu bagian dalam diriku terus berbisik bahwa semua ini cuma mimpi.


Sebuah pelarian dari realita yang begitu absurd memenuhi kepalaku.


[Maaf ya… jadi seperti ini…]


"Ah, tidak, ini bukan salahmu, Yusa-san…"


Entah aku benar-benar memikirkan apa yang kukatakan atau tidak.


Aku kacau.


Karena—tanah longsor? Hal seperti itu sudah jauh melampaui batas yang bisa diatasi dengan usaha atau keberanian seseorang.


Tidak adil. Ya, kurasa itu kata yang paling cocok.


Aku bahkan tidak tahu harus menyalahkan siapa.

Tidak tahu ke mana harus melampiaskan kemarahan ini.

Tidak tahu harus bagaimana caranya menyesal.

Tidak tahu apakah sedih adalah reaksi yang benar.


Aku... tidak tahu.

Tidak tahu.

Tidak tahu.


Pikiranku tetap berjalan, tapi aku seperti sudah menyerah mencari solusi.


Pandangan menjadi buram. Suara di sekitarku menjauh, seolah aku terpisah dari dunia nyata.


Namun—


[Lepaskan aku, Seira! Kalau sudah begini, aku harus lari sendiri—]


[Jangan bicara bodoh! Mana bisa aku membiarkan sahabatku berlari sendirian di jalan gunung yang bahkan tidak ada trotoarnya?! Ini daerah yang baru saja terjadi longsor! Tenanglah, Nowa!]


[Tapi… tapi, aku…!]


Suaranya terdengar melalui ponsel. Suara yang sangat kukenal, kini terdengar tertekan dan panik.


Di ujung telepon, berbeda denganku yang hampir menyerah total, ada suara yang menangis, berjuang mati-matian melawan kenyataan yang tidak adil.


[Aku sudah janji sama Ruto! Kalau kami akan menari bersama! Kalau aku yang akan mendukung Ruto!]


Perasaannya tumpah ruah.


Suaranya seperti anak kecil yang menangis keras karena tak bisa mendapatkan keinginannya.


Aku langsung tahu bahwa dia sedang kacau.


Kalau dipikirkan baik-baik, sebenarnya ini bukanlah sesuatu yang harus disesali sampai menangis seperti itu.


Kali ini memang tidak bisa dihindari.

Bukan salah siapa-siapa.

Bukan juga kesempatan terakhir.

…Kami bisa berusaha lagi nanti.


Banyak kata-kata penghiburan bermunculan di pikiranku.

Ini bukan saatnya memaksakan diri.


Toh aku dan Nowa sekelas, kami masih akan terus bersama. Bukan seolah dia akan pergi jauh ke Amerika atau semacamnya.


Kali ini gagal, tapi kesempatan untuk menari bersama masih akan selalu ada.


Aku mencoba berpikir begitu.


Namun, aku tetap mendengarnya.


[…Aku nggak mau lagi… nari sendirian…]


"…………"


Tanganku menggenggam ponsel itu lebih erat.

Dan aku mengerti. Aku benar-benar mengerti.


Karena itu adalah… dosaku.


Tarian kami berhenti sejak hari kegagalan itu.


Berbeda denganku yang memilih untuk berhenti, Nowa terus melangkah maju.


Setelah kami terpisah, dia terus menari sendirian.


Karena itu, hari ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama dia bisa "bersama".


Partner yang dia tunggu-tunggu akhirnya bangkit kembali. Aku mengejarnya, menyusulnya, dan akhirnya bisa berdiri di sampingnya untuk tersenyum bersama.


Dia pasti berpikir, "Akhirnya… kita bisa menari bersama lagi."


Aku tahu. Sebagai partner, aku tahu.


Kami cukup terhubung untuk mengerti perasaan seperti itu.

Aku bahkan bisa memahami isi hati Nowa saat ini.


Aku tahu apa yang sedang menyakitinya sekarang.


Dia takut.


Setelah akhirnya bisa bersama, setelah akhirnya bisa menari lagi berdampingan—kalau kami gagal lagi seperti waktu itu… kalau tarian kami lagi-lagi berakhir menyedihkan seperti dulu…


Dia takut—kalau kami akan terpisah lagi.


"…………"


Tuut… tuut…


Suara itu terdengar. Entah sejak kapan, sambungan telepon sudah terputus.


Aku menjauhkan ponsel dari telinga. Suara elektronik yang hampa bergema dari speaker.


"…Apa yang akan kau lakukan, Maiori?"


Sensei bertanya.


Apa yang akan kulakukan, katanya…


Meski pahit, jawabannya sudah jelas: aku tidak bisa melakukan apa-apa.


Sekalipun aku memahami perasaan Nowa, kenyataannya tetap kejam.


Masalah jarak dan waktu sudah cukup untuk membuat panggung kami gagal.


Tak peduli seberapa kuat keinginan kami untuk menari bersama—itu sudah tidak mungkin.


Lepaskan impian itu.


Aku bukan anak kecil yang bisa bersikap egois seenaknya. Aku harus menerima kenyataan, dan mencari cara agar luka ini tak terlalu dalam.


Nowa pasti akan sedih. Dia mungkin akan menyalahkan dirinya karena tidak bisa menari bersama.


Dia akan melihat panggung yang telah kosong, melihat kursi penonton yang tak ada isinya—dan mungkin akan menangis sambil merunduk di sana.


Karena itu, aku harus menggenggam tangannya.

Katakan bahwa aku tidak akan pergi ke mana pun.

Kali ini aku yang akan mengajak dia menari.


Pegang tangannya, hibur dia, dan berikan kekuatan agar dia bisa berdiri lagi.


Itulah… pilihan yang tepat. Itulah bentuk kesuksesan terbaik yang bisa kami capai dari panggung yang sudah ditakdirkan gagal ini.


"……………Seperti neraka! Mana bisa aku terima semua itu begitu saja!!"


Ada bara api yang membakar di dalam dadaku.


Jangan memutuskan kegagalan bahkan sebelum mulai. Buang jauh-jauh hati yang tertunduk itu.


Aku tahu, kenyataan memang kejam. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Sama sekali bukan. Kalau aku butuh alasan untuk bertarung, maka cukup ingat suara itu.


"Kalau nanti aku hampir menangis… giliran Ruto yang harus datang menyelamatkanku, ya"


Doa kecil yang menghilang bersama cahaya kembang api itu—aku mengingatnya kembali.


Saat itu... adalah sekarang. Sudah waktunya aku membalas kebaikan itu.


Nowa selalu menunggu aku yang terus tertunduk, tak mau berdiri. Maka kali ini, giliranku.


Tak perlu ada lagi kesepian. Gadis yang telah berjuang begitu keras, sudah saatnya menerima hasil yang setimpal.


"Sensei."


"Ada apa?"


"Kalau nanti panggungku dimulai... bisakah lagunya terus diputar tanpa henti?"


Mendengar pertanyaanku, Yaezakura-sakura-sensei mengernyitkan alisnya yang indah.


"Terus diputar? Sampai kapan?"


"Sampai Nowa datang."


Matanya terbelalak karena terkejut. Sepertinya beliau langsung menangkap maksudku.


Aku tahu, ini ide yang bodoh.


Mungkin ada cara yang lebih masuk akal, lebih "benar". Tapi... inilah satu-satunya cara yang bisa kupikirkan.


Satu-satunya hal yang bisa kulakukan—adalah menari.


"Aku akan menyambung panggung dengan duniaku. Sampai Nowa tiba, aku tidak akan membiarkan satu orang pun pergi."


Aku merapikan topi kostumku, lalu mengucapkannya dengan mantap.


Secara realistis, tentu saja tak mungkin bisa menahan semua penonton.


Aku akan menari melewati jadwal yang sudah ditentukan dalam festival. Kalau dancenya tidak cukup bagus untuk membuat orang rela bertahan, tentu semua orang akan pulang.


Tapi kriterianya sederhana. Kesimpulannya jelas.


Jika dancenya membosankan—tekad ini akan mati di tempat.


"Satu jam. Tidak, mungkin lebih lama dari itu."


"Aku tahu."


"Menari tanpa henti... itu tidak realistis tau."


"Ya, aku juga berpikir begitu."


"Meski begitu, kau tetap akan melakukannya?"


"Aku akan melakukannya."


Kalau dipikir dengan logika, tentu saja ini tak mungkin. Aku tahu itu.


Tapi hanya karena tak mungkin bukan berarti aku akan menyerah. Jangan pura-pura jadi pintar lalu berhenti meraih bintang.


Nikmati idealisme. Jadilah orang bodoh yang keras kepala. Dengan hati yang berkobar seperti sekarang, menarilah meski terlihat konyol.


"Baiklah. Aku akan ikut mendukung."


Sensei menghela napas kecil, lalu bibirnya membentuk senyuman yang tipis.


"Aku yang akan langsung memutar lagu-lagunya. Ada daftar lagu yang kau tahu di perangkat atau aplikasi musikmu?"


Aku segera mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi musik yang biasa kupakai.


Menari selama lebih dari satu jam.


Kalau lagunya sama terus, jelas penonton akan bosan.


Sensei mungkin berencana menyambung suasana dengan variasi lagu yang kukenal.


"Kita tidak punya waktu untuk membahas detail. Dengarkan lagunya, lalu improvisasi koreografinya di tempat."


"Ya."


"Seperti yang sudah kau tahu, ini akan butuh tenaga dan ketahanan luar biasa. Aku akan mencampur berbagai tempo lagu. Maaf, tapi kau harus pandai-pandai beristirahat sambil menari."


"Itu benar-benar permintaan yang gila, ya."


"Itu keputusanmu sendiri. Jangan menyerah sepihak. …Kalau begitu, aku akan mulai menyiapkan audio. Kotomiya, bantu aku."


"Baik."


Saat melihat mereka langsung bergerak cepat, aku merasa bersyukur. Lalu, tatapan mataku bertemu dengan Yuuma yang mengikuti di belakang sensei.


Temanku yang penggemar anime itu—meski di situasi seperti ini—matanya justru bersinar penuh semangat.


"Seperti dugaanku, Ruto itu memang tokoh utama."


"Apa sih maksudmu?"


"Aku senang bisa jadi teman Ruto."


Ucapan santai dari teman yang selalu seimbang itu membuatku kehilangan kata-kata.


Aku menghela napas panjang, lalu kembali menyelam ke dalam pikiranku sendiri.


Aku mempersiapkan diriku untuk menantang hal yang nekat.


Aku mulai menghitung semua kekuranganku.


Kemampuan? Tidak cukup.

Keberanian? Tidak cukup.

Kekuatan untuk mempertahankan keinginan yang egois? Tidak cukup juga.

Tidak ada satu pun yang cukup dalam diriku.


Aku melihat ke arah tubuhku yang gemetar. Lengan, kaki, bahkan hatiku sendiri pun gentar menghadapi rencana gila ini.


…Tapi aku memastikan satu hal yang tak bisa kutinggalkan.


Lemahnya kemampuan? Lalu kenapa.

Mimpi yang tidak realistis? Memangnya kenapa.


Daripada menerima hasil setengah-setengah dengan alasan masuk akal palsu, lebih baik aku berjuang seburuk mungkin sampai akhir, dan mengejar happy ending tanpa sisa.


Aku memejamkan mata.

Kumulai membayangkan.


Apa yang disebut "happy ending" bagiku?

Masa depan seperti apa yang ingin kucapai?

Warna dan bentuk seperti apa yang dimilikinya?


――Ya. Aku bisa melihatnya.


Aku dan Nowa—menari dengan riang di atas panggung.


"――Haah."


Suara keluar dari mulutku, tercengang akan betapa sederhananya diriku sendiri.


Pada akhirnya, memang begitulah aku. Aku ini orang yang benar-benar sederhana.


Waktu bersama Seira juga sama. Alasan kenapa aku menari… hal sesederhana ini saja sudah cukup untukku.


...Aku hanya ingin gadis yang kusukai tetap tersenyum.

Terdengar seperti tekad yang kekanak-kanakan, bukan?


Bentuk keinginanku yang kutegaskan barusan begitu dangkal sampai-sampai aku tertawa sendiri.


Tapi—ya, tak apa.


Ini sangat "aku sekali".


Aku yang sering terjatuh, tersandung, tertunduk, dan terus dipermainkan oleh kenyataan yang tak berjalan sesuai harapan.


Namun, demi keinginan itu… mungkin aku bersedia menari.


Kalau begitu, yang harus kulakukan sekarang sudah jelas.


Suara Nowa. Suara gadis yang menangis dalam ketakutan—aku mengingatnya kembali.


"Mana bisa aku membiarkannya begitu saja…"


Di bawah langit yang berbeda dari tempat ini, ada seorang gadis yang masih menangis.


Seorang gadis yang tak tahu cara mengulurkan tangan ke luar, dan hanya bisa berjongkok sendirian.


Menggenggam tangan itu—adalah peranku sebagai partner-nya.


Kalau dia mengurung dirinya dalam cangkang hatinya sendiri, maka tugasku adalah menghancurkan cangkang itu dan memaksakan tanganku meraih miliknya.


Aku sudah memutuskan untuk menjadi partner-nya.


Aku sudah bersumpah akan terus menggenggam tangan gadis itu—yang pura-pura kuat tapi sebenarnya kesepian.


Aku sudah berjanji akan terus menari di sisinya, bersama dengan gadis yang pernah berbisik bahwa ia tidak ingin sendirian lagi.


Jangan melanggar janji itu. Penuhi janjimu.


Kita ini masih setengah matang—selalu bimbang akan banyak hal dan mudah terhenti oleh hal-hal sepele. Justru karena itu… kita baru bisa disebut utuh kalau bersama.


Langit penuh bintang yang hanya bisa kupandangi sendirian,

kalau kita satukan sayap kita berdua… pasti bisa terbang bebas menembusnya.


Aku ingin percaya. Aku percaya. Dan aku ingin membuktikan itu.


Jadi—berjuanglah.


Pertahankan tekad keras kepala yang sulit menurut itu.


Walau seluruh dunia menyerah pada Nowa, aku saja yang akan tetap percaya padanya sampai akhir.


"Aku akan melakukannya…!"



Aku mendeklarasikan perang terhadap kenyataan brengsek yang sudah berkali-kali mempermainkanku dan membuatku terus menari sesuka hatinya.


Keputusanku sudah bulat.


Aku sudah siap menanggung semuanya.


Dengan keras kepala yang bahkan terasa konyol, aku menggenggam tekad untuk mengubah suara yang dibasahi air mata itu menjadi senyuman.


"Akan kulakukan! Dasar sialan…!!"


Mari kita menari.


Demi perasaan ini yang tak bisa kutinggalkan.


Agar gadis itu—yang memikul segalanya sendirian dan tertunduk dalam diam—bisa kembali menatap langit malam dan mengepakkan sayapnya sekali lagi.


***


"…Ah, u…aah… hiks…"


Tangisku menggema di dalam mobil.


Meski aku tahu menangis takkan mengubah apa pun, meski aku tahu air mata ini tak punya arti apa pun, aku tetap tak bisa menahan gejolak emosi.


Duduk di kursi belakang, aku menunduk dalam-dalam dan menggenggam lututku erat-erat. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis dan membiarkan air mataku jatuh.


"…uuh… maaf… maaf ya, Ruto… uuh… maaf banget…"


Kusebut namanya, meski aku tahu suaraku takkan pernah sampai padanya.


Kepada partner-ku… yang membuatku tetap terhubung dengan dunia tari. Kepada partner yang pernah berjanji akan terus menari bersamaku.


Aku hanya bisa terus mengulang-ulang kata maaf—maaf yang menyedihkan, menyedihkan, dan benar-benar menyedihkan.


"…uuuh… hiks…"


Aku telah salah cara dalam berusaha.


Aku mengagumi seseorang yang bukan diriku. Aku mencoba menggapai dunia yang tidak kukenal.


Dan inilah hasilnya—akhir yang tak bisa diselamatkan, dengan semua hal berakhir dalam ketidakjelasan dan separuh jalan.


Menyedihkan. Aku benar-benar benci diriku sendiri.

Kesal. Menyesal. Sakit hati. Sakit hati. Sakit hati—!


"Nowa."


Dari samping, Seira memelukku.


"Nowa nggak salah apa-apa. Jadi tolong… jangan menyalahkan diri sendiri begitu."


Suara yang berbisik di telingaku itu begitu lembut, kuat, dan seakan mampu melindungiku dari segala keburukan dunia. Begitu menenangkan… dan penuh kekuatan.


Namun, justru karena itulah… saat ini, kehangatan, kelembutan, dan kekuatan itu—semuanya terasa menyakitkan.


Yang keluar dari mulutku hanyalah kata-kata yang menolak semua kebaikan Seira.


"…Tapi ini semua… salahku, kan…"


Tanah longsor bukan sesuatu yang bisa diprediksi siapa pun. Jadi, hal ini bukan salah siapa-siapa.


Begitulah alasannya… tapi mana mungkin aku bisa menerima alasan seperti itu.


Dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak masuk akal.


Kita sering dengar cerita tentang atlet yang tidak bisa tampil maksimal di kejuaraan karena sakit atau cedera.


Karena itu, di dunia profesional—tidak, bahkan bukan profesional sekalipun—siapa pun yang serius menekuni sesuatu pasti akan mempersiapkan segalanya dengan maksimal untuk meminimalkan risiko kejadian tak terduga.


Aku… telah mengabaikan hal itu.


Aku gagal mengantisipasi masalah yang sebenarnya bisa dicegah. Dan sebagai akibatnya, terjadi hal yang tak bisa diperbaiki lagi.


Karena… karena memang begitu, kan? Menjadwalkan agenda lain di hari di mana ada panggung penting—itu sudah bodoh sejak awal.


Penyesalan tak ada habisnya.

Aku tak bisa mengangkat wajahku.


Di dalam kepalaku, suara-suara yang menyalahkan diriku sendiri tak kunjung berhenti.


Yang bisa kulakukan hanyalah menangis, membiarkan air mata membasahi lututku.


Seira itu orang yang baik. Melihat diriku seperti ini pasti sangat menyakitkan untuknya.


Aku tahu itu, tapi aku tetap tak bisa menyembunyikan air mataku. Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri… untuk menjadi seperti ini.


"……Untuk sekarang, kita ke penginapan saja ya."


Suara lembut Yusa-san yang sedang menyetir menyelimutiku, seolah mencoba menenangkanku. Tapi aku tak mampu menjawab. Suaraku bergetar dan tak keluar.


Sebagai gantinya, aku hanya terisak—sebagai bentuk jawabanku.


Namun――


"Tidak. Yusa-san, bisa tolong antar kami ke tempat festival saja?"


Dengan suara penuh ketegasan, Seira menyela.


Dalam pikiranku, aku hanya bisa bergumam, …eh?

Aku tak mengerti maksudnya.


Waktunya sudah lewat. Panggungnya sudah selesai. Festival pun pastinya sudah usai.


Kalau kami ke sana sekarang, yang ada hanyalah taman kosong tanpa siapa pun.


Apa dia cuma ingin menikmati sisa-sisa suasana festival? Hanya sekadar mengenang?


Aku mengangkat wajahku yang masih sembab, dan semakin bingung ketika melihat ekspresi Seira.


Karena dia… sedang tersenyum. Senyuman lembut yang seolah mengisi kekosongan di dalam hatiku.


"Sepertinya pikiranmu masih terlalu kalut. Jadi… dengarkan dulu cerita masa kecilku, ya?"


…Cerita masa kecil? Kenapa…? Pikiranku yang kacau tak mampu memproses maksud dari perkataan itu.


Namun suara Seira yang tenang dan jernih, perlahan masuk ke telingaku dan menyentuh hatiku.


"Itu waktu aku kelas 3 SD. Di sekolah ada festival olahraga… eh, bukan itu namanya, sih. Intinya seperti semacam turnamen olahraga kecil. Aku ikut basket. Waktu itu aku sudah cukup tinggi, jadi meskipun belum pernah main sebelumnya, aku akhirnya dipilih oleh suara mayoritas kelas."


Dengan nada sedikit bernostalgia, Seira mulai menceritakan kisah lamanya.


Senyum di wajahnya begitu lembut dan indah… sampai-sampai aku hampir terpikat, meski suasana hati sedang buruk seperti sekarang.


"Susah dipercaya, mungkin… tapi waktu itu aku anak yang pemalu. Aku bukan tipe yang berani tampil di depan. Aku juga kesulitan berteman, bahkan tak punya teman yang bisa diajak main sepulang sekolah. Tentu saja, aku juga selalu pasif saat kegiatan sekolah seperti lomba olahraga atau paduan suara. Aku hanya diam di pinggir kelas."


Seira menceritakan kenangan itu dengan sedikit malu. Melihat sosoknya yang sekarang, sulit dipercaya kalau dia dulu pemalu.


Aku pernah dengar sedikit tentang itu… soal bagaimana ciri khasnya yang sebagai blasteran—warna rambut dan mata yang berbeda dari sekitar—membuatnya terasing di kelas.


…Aku tidak bisa membayangkan rasanya.


Aku tidak mengerti kenapa seseorang harus diperlakukan berbeda hanya karena penampilan.


Yang penting adalah kepribadiannya, pemikirannya, bagaimana rasanya saat bersamanya—itu yang seharusnya jadi tolok ukur.


Ketika aku berpikir begitu, Seira tersenyum geli.


"Terima kasih. Di saat seperti ini pun kamu masih bisa memahami perasaanku. Hatimu, Nowa, adalah permata yang lebih berharga daripada apa pun. Tapi… itu sudah berlalu. Tak perlu terlalu dipikirkan. Aku lanjutkan ceritanya, ya?"


Aku mengangguk pelan.


"Saat itu, aku jarang sekali punya motivasi. Tapi mungkin karena sudah setengah tahun kenal Ruu-kun? Melihatnya menari setiap hari… membuatku berpikir, 'wah, keren ya orang yang mau berusaha sepenuh hati'. Sederhana memang, tapi dari situlah aku mulai ingin mencoba juga. Aku tak tahu apa-apa tentang basket, dan satu-satunya kelebihan hanyalah tinggi badan. Tapi demi teman-teman sekelas, aku ingin memberi yang terbaik."


Mendengar itu, aku tersenyum kecil.

Tarian Ruto memang punya kekuatan.


Kegigihannya yang terlihat dalam setiap gerakannya… membuat orang yang menonton ikut tergerak.


Aku juga selalu merasa begitu. Dan ternyata, dari dulu pun memang sudah seperti itu.


"Mulai dari baca buku panduan, nonton video, dan belajar dari Ma’am yang sudah pengalaman… aku serius berlatih. Untungnya, mungkin karena ada darah dari 'negara bola basket', aku bisa cepat berkembang. Menjelang hari H, aku bahkan sudah bisa mengimbangi anak-anak lain. Teman-teman sekelas pun bilang, 'kalau ada Yuzuki-san, pasti aman'. Aku merasa… untuk pertama kalinya, aku benar-benar jadi bagian dari kelas."


Cerita yang sangat bagus… kurasa.


Karena Seira berusaha sekuat tenaga, semua orang pun ikut bahagia.


Seira juga akhirnya bisa merasakan kebahagiaan. Sebuah kisah yang menunjukkan bahwa kerja keras bisa membawa hasil—contoh sempurna dari impian yang indah.


Tapi saat itu, Seira menundukkan wajahnya sedikit.


"Aku terlalu polos saat itu. Karena semua orang senang, aku jadi makin semangat. Bahkan saat hujan pun aku tetap latihan di luar. Dan hasilnya memang luar biasa. Usahaku membuahkan hasil yang jelas. ――Namun, di hari festival olahraga itu, aku demam dan tidak bisa masuk sekolah."


"…Hh…"


"Itu satu-satunya kali dalam hidupku aku menangis sambil memohon agar diizinkan pergi ke sekolah. Tapi suhu tubuhku tinggi sekali. Bahkan berdiri sebentar saja rasanya sudah mau jatuh. Mama tentu saja tidak mengizinkanku pergi."


Apakah itu karena kesadaran atau tidak, aku tak tahu.


Entah dia melakukannya dengan sadar atau tidak, pelukan Seira yang memelukku erat itu menguat.


Kenangan akan kegagalan. Kenangan yang menyakitkan.


Bagi Seira, itu pasti ingatan yang tak ingin ia ungkit kembali. Aku pun sempat bertanya-tanya… kenapa dia sampai mau menceritakan semua itu?


"Aku sempat mengurung diri di kamar hampir seminggu. Aku merasa sudah mengkhianati teman-teman sekelas. Mereka menaruh harapan padaku, tapi aku gagal memenuhi harapan itu… Tidak, alasan aku bersembunyi sebenarnya lebih personal dari itu. Aku… takut. Takut dijadikan kambing hitam. Takut semua orang akan menyalahkanku dan berkata, ‘ini semua gara-gara Yuzuki’. Padahal aku bahkan nggak tahu apakah mereka kalah atau tidak, bahkan hasil turnamen olahraga itu saja aku tak tahu."


Aku rasa wajar kalau dia berpikiran seperti itu.


Saat mental sedang terpuruk, kita cenderung membayangkan hal-hal terburuk.


Apalagi tubuhnya saat itu pasti juga sedang lemah karena sakit. Mental anak SD mana mungkin tahan terhadap tekanan seperti itu?


"Saat aku bersembunyi itu, Ruu-kun datang tiap hari. Meski aku terlalu takut untuk membukakan pintu, dia tetap berkata,

'Gak apa-apa kok, gak perlu dipaksa. Kalau kamu udah siap, ayo kita ke sekolah bareng.' Dia mengatakan itu setiap hari, berdiri di depan pintu kamarku. Tapi saat itu aku terlalu takut untuk menerima suaranya. Aku hanya terus menangis dalam kamar gelapku, terperangkap dalam bayangan buruk yang tak kunjung hilang."


"……"


"Hari itu juga Ruu-kun datang. Pagi-pagi sekali, dia bilang, ‘Hari ini kamu bisa datang ke sekolah gak?’ Seperti biasa, aku masih menolak dan tetap di dalam kamar. Tapi hari itu… dia lebih lama dari biasanya. Dan tiba-tiba aku menyadari sesuatu—Eh, bukannya ini hari Minggu…?"


"……Eh?"


"Rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku keluar dari kamar. Aku ikut Ruu-kun ke sekolah… dan di sana, teman-teman kelasku sudah berkumpul—mereka mengajakku bermain basket."


Seira menyipitkan mata sambil tersenyum lembut, seperti sedang memeluk kenangan yang sangat berharga baginya.


"Ruu-kun yang mengajak semuanya. Karena aku gak bisa ikut turnamen waktu itu, mereka sepakat untuk mengadakan pertandingan basket sendiri. Mereka bilang, Pasti kamu udah nunggu-nunggu, kan? Kamu udah latihan keras banget. Jadi ayo bikin waktu yang menyenangkan untuk kamu."


"……"


Dan saat itu aku sadar…alasan kenapa Seira memelukku erat tadi bukan karena ingatan yang menyakitkan.


Tapi karena kenangan yang hangat dan penuh kasih sayang—karena dia ingin membagikan kehangatan itu padaku yang sedang gemetar.


"Padahal, Ruu-kun bahkan bukan anak kelasku. Dia sampai ngajakin anak-anak dari kelas lain. Bahkan katanya ada yang sampai dia mintai tolong sambil menunduk. Aku gak habis pikir, kenapa dia mau melakukan semua itu hanya demi aku. Akhirnya aku bertanya padanya."


"……Terus, apa jawaban Ruto?"


"Dia bilang…Aku benci, kalau usaha seseorang gak dihargai."


Tanpa sadar, aku tersenyum dengan wajah penuh air mata.

Itu… memang terdengar seperti Ruto.


Meski biasanya agak ceroboh dan gak bisa diandalkan, dia selalu keras kepala kalau sudah menyangkut hal yang penting baginya.


Sifat itu… sudah ada sejak dulu, rupanya.


"Aku gak berniat menyamakan ceritaku dengan keadaanmu sekarang, Nowa. Aku hanya ingin kamu tahu— seperti Ruu-kun yang melihat usahaku waktu itu, akan selalu ada orang yang melihat perjuanganmu juga. Setidaknya, aku ada di sini. Sebagai teman yang melihat langsung semua usahamu, yang akan memelukmu dan bilang: Kamu hebat."


Seira memelukku erat. Hangatnya pelukan itu membuat mataku, yang sudah basah oleh air mata, terasa makin panas.


"Ta…tapi, aku… aku salah jalan… usahaku malah berujung begini…"


"Hasil akhir bukan segalanya. Tidak ada usaha yang sia-sia. Semua yang kamu bangun pasti akan menjadi kekuatanmu, meski bentuknya belum kelihatan sekarang."


"Ta… tapi itu…"


"Lagipula, menurutku terlalu cepat untuk bilang itu semua sia-sia."


Suara Seira yang menepis keraguanku… terasa penuh keyakinan.


Dia sempat melirik ke luar jendela, lalu berkata seakan menggantungkan harapan pada bintang di langit.


"Aku rasa… aku mendengarnya. Suara seorang anak laki-laki ceroboh yang berusaha sekuat tenaga agar usahamu tidak sia-sia."


Seira menatapku langsung. Aku pun menatap balik ke dalam matanya. Mata birunya, sejernih langit luas, seakan tahu sesuatu yang aku belum tahu.


"Kalau begitu…serahkan saja sisanya pada dia. Karena dalam cerita kita ini, kita punya tokoh utama paling kuat—yang takkan pernah membiarkan gadis yang menangis tetap bersedih."


Seira berkata dengan penuh keyakinan. Dan aku tahu, aku akan segera mengerti maksud dari semua itu.


***


Mobil yang kami tumpangi… akhirnya sampai di tempat festival.


Atau lebih tepatnya, bekas tempat festival.


Kami tiba kira-kira satu jam setelah waktu seharusnya panggung dimulai.


Sudah lewat dari jadwal. Sudah lewat dari jam festival pun.

Seharusnya tidak ada satu pun penonton tersisa.


Seharusnya hanya panggung kosong yang ditinggalkan yang ada di sana.


Namun――


"…………A-apa… ini?"


Aku menyipitkan mata, tak percaya pada apa yang kulihat.


Cahaya dan suara masih ada di lokasi festival itu.


Bahkan orang-orang masih berkumpul di sekitar panggung, seolah ingin mengejar kilauan terakhir.


Antusiasme mereka membara.


Sorakan dan tepuk tangan terdengar memenuhi udara, sampai-sampai tanah pun terasa bergetar.


――Di atas panggung itu, Ruto sedang menari.


Keringat membanjiri tubuhnya, bukan sekadar keringat biasa—dia sudah menari begitu lama sampai tubuhnya mengeluarkan uap panas, seperti kabut yang menyelubungi tubuhnya.


"……Ke… kenapa……"


Bisikanku terdengar seperti serpihan kebohongan tipis yang terlepas.


Karena aku sudah menyadarinya.


Dengan napas yang begitu tersengal, terus-menerus mengulang napas seperti ingin mati.


Meski begitu, dia tetap tersenyum, memaksakan diri, memeras batasnya hingga tak tersisa.


Alasan kenapa dia terus menari mati-matian seperti itu... sebenarnya aku sudah tahu jawabannya.


Aku tak bisa pura-pura tidak menyadarinya.


Meski tak diucapkan dengan kata-kata, tarian Ruto telah menyampaikan semuanya lewat seluruh tubuhnya.


――Dia sedang menungguku.


"Ruto, Ruto――!"


Pemandangan itu seperti kebohongan. Tapi dari tarian Ruto, hanya satu tekad bulat yang tersampaikan.


Perasaan seperti sebuah harga diri. Lurus, polos, seperti anak kecil yang tengah berdiri di depan hal menyenangkan.


――Perasaan murni bahwa dia ingin menari bersamaku pun terasa sampai ke sini.


Tak mungkin aku tidak menyadarinya.


Aku tak tahu bagaimana orang lain melihatnya... tapi aku tahu.


Hanya aku yang pernah menjadi partner Ruto selama ini, hanya aku yang tidak boleh melewatkan setetes pun dari perasaan itu.


Aku tidak tahu persis apa yang terjadi. Tak mungkin aku bisa memahami kenapa semuanya jadi begini

.

Dan mungkin, aku tak perlu tahu.


Karena perasaan yang benar-benar harus kusadari... sudah tersampaikan dengan jelas――


"Ruto――!"


Seperti menangis sambil berteriak, aku memanggil namanya.


Pemandangan ini seperti mimpi. Suasana di venue yang dipenuhi sorakan dari penonton seolah menjadi gelembung sabun besar, penuh dengan perasaan banyak orang, menahan panas di dalamnya.


Jika ada guncangan sedikit saja dan gelembung itu pecah, seluruh pemandangan ini mungkin akan ikut hancur juga. Khayalan luar biasa semacam itu melintas di pikiranku.


Karena, karena... semua ini terlalu menguntungkan untukku. Tak heran kalau ada yang bilang ini hanya delusi sepihak yang kulihat sendiri.


Namun――


"Hei, Ibu!"


Sebuah suara muncul, seolah meniup pergi delusi pengecutku.

Seorang gadis kecil.


Dia berdiri tak jauh dariku, sedang menatap panggung.


Dengan mata berbinar, dia menatap ibunya sambil menggenggam tangannya erat dan berseru:


"Aku ingin menari! Aku ingin menari seperti kakak itu!"


Suara yang penuh cahaya dan semangat itu—tanpa ragu lagi—adalah impian.


Mungkin, pastinya, bukan hanya gadis ini.


Hari ini, malam ini, di tempat ini――telah lahir banyak anak-anak yang memimpikan jadi penari.


Tarian Ruto, sinarnya, adalah bintang. Bintang jatuh yang membawa banyak mimpi dan terus melesat.


Bukan takut akan sirna, bukan pula menyesali arus yang membawanya pergi.


Tapi dorongan tekad yang begitu menyilaukan, membakar segalanya di detik ini juga demi terus berlari.


"........!"


Dadaku terasa panas.

Bukan hangat… tapi panas!


Aku telah melihat keteguhan hati Ruto. Merasakan semangat membara itu.


Aku menerima tekad yang tak bisa digoyahkan itu.


Diberi sesuatu yang begitu luar biasa membuat hatiku meledak oleh rasa bahagia.


Jika aku lengah sedikit saja, aku mungkin akan jatuh berlutut, menutupi wajahku dengan tangan, dan dari sela-sela jari itu, air mata hangat pasti akan mengalir.


Tapi bukan sekarang.


Tiba-tiba, aku merasa mata kami bertemu—aku dan Ruto yang sedang menari. Dari sorot mata yang bersilangan sesaat itu, aku menerima pesan.


…Cepat datang ya?


Tidak, bukan itu.


――Tersenyumlah dengan tulus, ya?


Meski di saat seperti ini, perasaan Ruto tetaplah murni.

Dia hanya... benar-benar menyukai tarian.


Seorang anak laki-laki yang menantikan bisa menari bersamaku sedang berdiri di sana.


Itu membuatku begitu bahagia, sampai-sampai air mata kembali menggenang.


Tentu saja, aku tahu aku tak bisa terus menangis. Jadi air mata ini akan jadi yang terakhir.


Dengan pandangan kabur, aku melihat.


Panggung itu.

Tempat di samping Ruto.

Tempatku berada.


"Nowa."


Seira tersenyum lembut. Meski ini saat yang genting, aku jadi merasa iri melihat senyum itu.


Senyum yang seolah berkata, "Aku sudah tahu ini akan terjadi," seakan dia lebih mengenal Ruto dibanding aku. Dan itu sedikit membuat hatiku terasa sesak.


Tidak, salah. Bukan itu yang seharusnya kupikirkan sekarang.


"Ayo pergi. Ruu-kun sedang menunggu."


"…Iya!"


Aku pun mulai berlari.


Hati yang lebih dulu melaju, tubuhku tertinggal, hingga beberapa kali hampir terjatuh. Tapi aku terus berlari.


Aku ingin sampai secepat mungkin.


Ke tempatku, ke panggung itu, ke sisi Ruto—aku ingin sampai sekarang juga.


Aku ingin menari.


***


...Sudah berapa lama aku menari, ya?


Kepalaku panas. Panas itu menumpuk di seluruh tubuhku, sampai kesadaranku terasa kabur.


Seluruh tubuhku basah kuyup oleh keringat yang mengganggu, namun hanya bibirku yang terasa kering kerontang. Tanda-tanda dehidrasi. Kaburnya kesadaranku mungkin juga karena ini.


Aku lelah. Paruku terasa sakit. Kaki dan tanganku, hancur lebur.


Sorak-sorai dan tepuk tangan yang awalnya begitu membahagiakan, sekarang terdengar begitu jauh, seolah didengar dari balik tembok yang tebal.


...Aku ingin berhenti.


Suara hati yang lemah mulai muncul dari sudut terdalam pikiranku. Aku sudah berusaha. Bukankah ini sudah cukup?


Kalau aku terus memaksakan diri, aku akan benar-benar hancur. Akhir seperti itu bukan sesuatu yang Seira atau Nowa inginkan.


Alasan-alasan untuk menyerah mulai terdengar semakin nyata, dan kenyataan itu perlahan mengikis kekuatanku dari dalam.


Tubuhku yang masih terus menari seperti karena kebiasaan, mulai terasa seberat timah pada momen-momen kecil.


Yang paling parah, pikiranku mulai kabur.


Tarian kali ini sebagian besar adalah improvisasi. Aku harus terus-menerus menangkap irama dari lagu yang kudengar, dan dengan cepat memilih gerakan yang paling sesuai. Terus begitu—berpikir tanpa henti.


Gerakan yang kulakukan bukanlah sesuatu yang lahir dari nol.


Dalam tarian, ada yang namanya set—gerakan-gerakan yang sudah diajarkan tubuhku, entah itu dari pengalaman, dari bentuk tarian terkenal, atau dari gerakan kreasi sendiri.


Alasan aku bisa menari secara improvisasi adalah karena aku terus-menerus memilih set yang cocok berdasarkan lagu yang kudengar.


Pilihan itu dibuat dalam sekejap, dan hanya bisa dilakukan dengan konsentrasi tinggi.


Itulah kenapa aku merasa ini sudah tak bisa kulanjutkan lagi. Dengan kepala yang berputar-putar seperti ini, aku tidak akan bisa memilih gerakan terbaik seperti sebelumnya.


Kalau aku sampai salah pilih, gerakanku akan kacau dan penonton akan kecewa.


Aku bisa membayangkan masa depan seperti itu.


...Dan aku sempat berpikir, mungkin tak apa-apa.


Aku sudah cukup berusaha. Tak ada yang akan menyalahkanku.


Tubuhku sudah sampai batasnya. Kalau aku bisa terbebas dari waktu neraka ini, menyerah mungkin tidak buruk... sempat terpikir begitu.


Namun.


"………………?"


Aku merasa ada yang aneh.


Padahal hatiku sudah menyerah, dan kepalaku sudah berhenti berpikir――Meski begitu, aku masih terus menari.


Tubuhku tetap bergerak, menyesuaikan dengan ritme yang masuk lewat telinga.


Seolah mengikuti naluri, seperti reaksi refleks, atau mungkin seperti sedang dipandu oleh sesuatu, tubuhku terus mengingat tarian.


"Hei, Ruto"


Di tengah kesadaran yang nyaris menghilang, aku mendengar suara itu.


Saat aku menyusuri kenangan, ada seorang gadis kecil dengan ekspresi angkuh yang menyilangkan tangan.


"Aku punya set baru yang kupikirkan. Mau latihan bareng, nggak?"


Kenapa tubuhku masih bisa mengingat tarian ini—jawabannya ada di sana.


"…………………Hah"


Aku merasa tenaga kembali ke tangan dan kaki yang mulai dingin.


Aku geli sendiri pada betapa sederhananya diriku ini. Di kondisi yang begitu parah, hanya dengan mengingat suara seorang gadis, aku bisa semangat lagi.


Aku tertawa kecil pada betapa keras kepalanya aku yang seperti ini.


...Iya, aku akan terus berusaha.

...Sedikit lagi, aku masih bisa berjuang.


Dalam kesadaran yang hampir padam, aku melihat dengan jelas nyala api kecil.


Bukan api besar. Hanya cahaya kecil seperti lilin yang bergoyang pelan dan nyaris padam.


Tapi aku bersumpah untuk tidak membiarkannya padam. Dengan tubuh yang sudah remuk, aku menyalakan semangatku sebagai bahan bakar.


Aku tak tahu di mana garis finisnya. Perasaan akan waktu pun sudah lama hilang.


Meski begitu, aku terus menari.

Menari. Menari. Menari.


...Ahh, ternyata menari memang menyenangkan, ya.


Pikiran itu mengalir seperti suara yang tenang di dalam kepalaku, dan tanpa sadar aku tersenyum kecil.


Tapi……


"........Ah"


Kakiku terpeleset.

Karena keringat.


Keringatku sendiri yang tercecer di atas panggung membuatku kehilangan pijakan.


Tubuhku kehilangan keseimbangan. Baru beberapa saat setelah tubuhku mulai miring aku menyadari itu.


Tak ada lagi tenaga untuk bereaksi.

Tubuhku jatuh, kepala lebih dulu.


Aku hanya bisa bersiap menghadapi benturan secara naluriah.


Tapi kemudian.


"Kerja bagus, Ruu-kun."


Seseorang menangkapku.


Bukan—aku langsung tahu siapa suara itu.


Meski kesadaranku mengabur dan pandanganku kabur, tak ada yang bisa menyamarkan cahaya miliknya.


"……Sei…ran……?"


"Kau boleh istirahat sebentar. Ruu-kun masih punya Last Dance yang harus dilakukan, kan?"


"...Tapi..."


"Tak apa, serahkan padaku. Tak seorang pun akan kulewatkan. Aku tidak akan menyia-nyiakan usaha kerasmu, Ruu-kun."


Setelah berkata begitu, Seira membantuku perlahan ke belakang panggung.


Tak lama setelah itu, Seira kembali ke atas panggung. Suara terdengar. Suara Seira yang bersinar seperti matahari.


Meski tanpa mikrofon, suaranya bergema jelas, dan tiap kali itu terjadi, sorak dan tepuk tangan membahana.


………Ahh, memang Seira itu luar biasa, ya.


Hal yang hanya bisa kulakukan setelah hancur-hancuran seperti ini, dia bisa lakukan dengan begitu mudah…..


...Tidak, bukan itu.


Aku menutup rapat rasa cemburu dan iri yang sempat melintas di kepalaku.


Yang perlu kupikirkan sekarang bukan itu.

Ada sesuatu yang hanya bisa kulakukan.


Bukan mengagumi panggung di belakang, atau menyesali kekuranganku sendiri.


Karena, tepat di hadapanku—dia ada di sana.


"Ruto."


Kelopak matanya yang bengkak karena menangis tak bisa pulih seketika.


Namun, dia sama sekali tidak mengalihkan pandangan.

Seorang gadis dengan tatapan yang kuat.


Seseorang yang menyembunyikan kelemahannya dengan senyuman penuh keinginan untuk terlihat kuat.


Meski jelas-jelas terlihat kalau dia menangis, dia tetap menatapku dengan mantap.


Terluka, tapi tetap bangkit dan melangkah.

Itu terlihat jelas.


"Aku bikin kamu nunggu ya."


"...Bukan. Justru akulah yang membuatmu menunggu."


Kalau mengingat berapa lama aku hanya terduduk dan menyerah, waktu menunggu ini bukanlah apa-apa.


Selalu ingin membalas.


Meski aku sempat berhenti menari, Nowa tidak pernah menyerah. Dia terus menunggu.


Agar aku bisa benar-benar kembali berdiri di sisinya――


"Hey, Ruto."


Pasti Nowa juga berpikiran hal yang sama. Dengan senyum nakal, dia berkata dengan nada dingin yang sama seperti dulu.


"Ajarin aku menari, dong."


Itulah kata-kata yang menandai awal hubungan kami.


Hari ketika kami memutuskan untuk menjadi partner—kata-kata awal dari segalanya.


Mari kita mulai dari awal.


Karena kita berdua sering melakukan kesalahan, sering melenceng dari jalur yang benar.


Tapi setiap kali itu terjadi, kita akan saling memastikan perasaan ini, dan memperbarui janji untuk terus maju bersama.


Aku mengulurkan tanganku. Dan tangan itu, digenggam erat oleh Nowa.


"Kalau begitu, ayo mulai dengan tersenyum dulu."


"…Iya… iya…"


Sambil memastikan perasaan dari genggaman itu—atau mungkin sesuatu yang jauh lebih besar—Nowa pun tersenyum.


Mungkin senyum itu masih canggung, dengan kelopak mata yang masih bengkak.


Namun seperti sesuatu yang keras dan membeku telah mencair, senyum itu begitu polos, begitu memikat, sampai membuatku terpana.


"Kalau begitu, ayo kita pergi."


"Ya, mari kita tunjukkan pada mereka. Tarian kita."


Masih bergandengan tangan, kami melangkah menuju panggung.


Menantang langit luas yang dipenuhi cahaya dan suara—dunia paling menyenangkan ini.


Karena selama kita berdua bersama, kita pasti bisa pergi ke mana pun.


Karena aku yakin, kami bisa menari dengan seindah mungkin.


Mengubah kehangatan dari genggaman tangan ini menjadi sepasang sayap, kami pun terbang menuju langit malam yang bertabur bintang.


――Ayo menari.


***


Memang terasa terlambat untuk menyadari, tapi...

Aku benar-benar gadis yang canggung.


Aku tidak butuh alasan-alasan.


Aku tidak perlu terbebani oleh peran dalam cerita, atau posisi diriku sendiri dalam hubungan ini.


Tempat yang benar-benar aku inginkan bukanlah langit penuh bintang yang jauh di sana.


Melainkan, di samping anak laki-laki yang menari penuh keceriaan tak jauh dariku.


Menari bersama, dan ketika pandangan kami bertemu, kami bisa saling tersenyum.


Hal kecil seperti itu saja sudah cukup membuatku bahagia.

Aku gadis yang sesederhana itu.


Kupikir aku telah mengambil jalan yang sangat berliku hanya untuk menyadari hal sesederhana ini.


Tapi mungkin, jalan memutar itu tidak sia-sia.


Luka-luka masa lalu, kegagalan demi kegagalan, semuanya adalah pengalaman yang diperlukan agar kami benar-benar bisa menjadi partner sejati.


Dan kini, setelah hari-hari itu menumpuk dan kami tiba di titik ini— Pemandangan yang kami lihat pasti akan jauh lebih indah dibandingkan perjalanan yang terus-menerus berjalan tanpa pernah jatuh.


Sudah cukup waktu untuk menatap ke dalam diri sendiri.

Sekarang waktunya untuk melihat ke depan.


Meskipun sedikit malu memperlihatkan mataku yang bengkak karena menangis, menutup mata di saat seperti ini akan terasa terlalu sayang.



Hanya aku yang bisa menari di samping Ruto.


Pemandangan dari tempat ini adalah milikku seorang.


Panggung yang dipenuhi cahaya dan suara, dunia yang terlihat dari sana begitu menyilaukan, seakan meluap tak tertampung.


Karena begitu mudah kehilangan tempatku sendiri, aku menggenggam tangan itu lebih erat lagi.


Meyakinkan kembali kehangatannya, dan agar tak tersesat, aku akan memanggil namanya.


Ruto. Mata yang menatap ke arahku itu sedang tersenyum.

Dan aku membalas tatapan itu dengan senyum terbesarku.


Aku tak butuh bintang jatuh di langit malamku.


Karena satu-satunya yang bisa mengabulkan harapanku adalah anak laki-laki pecinta tarian yang tersenyum di sampingku ini.


Hei, yuk menari?


Hari ini, besok, dan seterusnya.


Mari kita bicarakan kisah tarian yang menyenangkan, kisah di mana kita bisa terus tertawa bersama, selamanya.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close