Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Prolog
Bintang yang Kesepian
Aku berhenti dari balet yang telah kulakukan sejak usia tiga tahun.
Bukan karena cedera atau karena aku jadi benci menari—bukan alasan seperti itu.
Singkatnya, karena hubungan antar manusia. Arah yang kutuju berbeda dengan yang dituju oleh orang-orang di grup baletku, itu saja.
Kalau boleh dibilang, mungkin soal semangat? Tingkat keseriusan kami terhadap balet berbeda.
Aku tidak mau kalah dari siapa pun. Aku ingin jadi yang terbaik. Itu berlaku untuk lomba, dan juga dalam grup balet tempatku berada—aku ingin jadi yang paling hebat dalam menari.
Dengan perasaan seperti itu, aku menghadapi balet dan berlatih keras untuk mencapainya.
Bukan karena aku percaya pada pepatah "usaha tidak akan mengkhianati", tapi sepertinya aku memang punya bakat yang bisa mengubah jumlah latihan jadi kemampuan teknis.
Saat kelas enam SD, aku terpilih menjadi Étoile.
Tentu, ini bukan Étoile dalam arti yang sesungguhnya. Étoile resmi adalah gelar tertinggi yang diberikan kepada penari balet di Paris Opera Ballet.
Di grup balet kami, gelar itu diberikan oleh guru kepada penari yang paling berbakat di antara kami—dalam arti, sebagai pemeran utama.
Dalam lomba pun, dia akan menari di tengah, bahkan kadang mendapat bagian variasi—solo—tergantung lagu yang dibawakan.
Peran yang benar-benar menjadi pusat perhatian.
Aku sangat senang. Karena balet bukan sesuatu yang bisa diukur dengan angka secara jelas, sering kali aku merasa khawatir, apakah aku benar-benar berkembang.
Latihanku ini benar nggak ya? Apa aku benar-benar berjalan ke arah yang tepat? Berkali-kali aku hampir kehilangan arah.
Makanya aku senang. Seolah aku diberi tahu, bahwa usahaku tidak salah. Bahwa setiap tetes kerja keras itu benar-benar membuahkan hasil, dan aku semakin pandai menari karenanya. Bahwa aku pasti sedang melangkah maju—ya, rasanya seperti itu.
Dan, ada hal yang baru kusadari ketika semuanya sudah terlambat.
Keesokan harinya setelah aku dipilih menjadi Étoile, semua murid kelas enam selain aku keluar dari grup balet.
Anak yang paling akrab denganku, anak yang sering menari duet denganku, bahkan anak yang suka bolos latihan—tanpa terkecuali, tanpa pembeda, tanpa tanda-tanda sama sekali...
Atau mungkin, sebenarnya ada tanda-tandanya.
Tapi aku terlalu fokus pada diriku sendiri.
Aku hanya menatap ke depan, tanpa sekali pun menoleh ke belakang—itulah sebabnya aku tidak menyadarinya.
Aku bertanya pada anak yang paling dekat denganku di antara mereka— Atau lebih tepatnya, anak yang kupikir aku dekat dengannya. Aku bertanya, kenapa.
Dan dia berkata:
"Karena Nowa-chan itu hebat... aku nggak bisa mengimbanginya."
Itu bukan kata-kata yang terdengar dingin atau menyakitkan. Bahkan sebaliknya, dia seperti sedang mendukungku.
"Nowa-chan pasti akan jadi balerina hebat. Jadi, semangat ya." katanya sambil menepuk bahuku.
Apa-apaan itu. Jangan seenaknya menyerah padaku. Kalau memang merasa begitu, bilang langsung.
Aku ini nggak peka, tahu? Aku nggak bisa menangkap maksud tersembunyi.
Jangan menilainya sepihak.
Jangan puas sendiri.
Daripada menyerah karena tak bisa mengimbangi, daripada menjadikanku semacam sosok yang dikagumi dari kejauhan,
daripada mengambil jarak sambil menatapku seolah aku berada di tempat yang tak terjangkau—lebih baik dengarkan suaraku dulu.
Hei, aku nggak mau.
Aku nggak mau sendirian.
Beberapa waktu setelah itu, aku pun berhenti dari balet.
Bukan karena aku jadi membenci balet.
Setelah semua orang pergi, aku tetap berlatih dengan keras. Di grup balet masih ada murid dari kelas lain, dan aku berpikir: aku ini Étoile, jadi aku harus berusaha demi mereka.
Aku terus menari sambil meyakinkan diri.
Tapi, aku tak sanggup.
Seberapa pun aku menari dengan sepenuh hati, hatiku tetap merasa sendiri.
Anak-anak yang menari di sampingku tidak lagi terasa seperti teman. Aku takut mereka juga, pada akhirnya, akan pergi.
Perasaan tak tenang itu makin membesar.
Itulah kenapa aku berhenti dari balet.
Karena aku sudah lupa caranya tersenyum.
Karena aku sudah lupa bagaimana caranya menikmati balet.
Karena Étoile yang sendirian sudah lupa bagaimana caranya mengepakkan sayap ke langit.
Post a Comment