NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

America Gaeri no Uzakawa Osananajimi Volume 2 Epilog & Kata Penutup

Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Epilog 

Sebuah Keinginan Kecil kepada Bintang-bintang


"Jadi begitulah, biar aku saja yang memuji Ruu-kun."


"Apa maksudmu ‘begitulah’, hah?"


Setelah kembali dari kamp pelatihan tari selama seminggu, keseharian kami pun kembali seperti biasa.


Ruang keluarga keluarga Maiori. Sofa yang mengapit televisi.


Aku yang sedang rebahan di atas per—tidak, lebih tepatnya ‘ditelan’ oleh per yang tidak bisa dibilang mewah—menatap Seira yang tiba-tiba melontarkan hal aneh dengan tatapan setengah malas.


"Maksudku, Ruu-kun kali ini benar-benar sudah berusaha keras. Orang yang sudah berusaha keras pantas diberi hadiah. Itu hal yang wajar. Pertukaran setara. Give and take. Ganjaran atas jasa. Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi. Dosa dibalas hukuman. Dan untuk dunia indah ini, sebuket bunga. Ini hukum yang telah diwariskan sejak zaman kuno."


"Aku yakin tiga yang terakhir itu udah keluar jalur banget, deh."


Begitu aku memutar leher sebagai gerakan lanjutan dari memiringkan badan, rasa sakit seperti sambaran listrik menjalar ke seluruh tubuh.


Itulah alasan kenapa aku terkapar di sofa. Harga dari kerja keras.


Kalau boleh bicara tanpa basa-basi—ini adalah nyeri otot luar biasa parah.


Menari tanpa henti selama lebih dari satu jam telah mencabik-cabik sel ototku seperti kertas.


Bahkan hanya dengan menggerakkan sedikit tubuh, rasa sakitnya sudah membuatku meringis.


Aku bahkan sampai pulang ke rumah ini dengan bersandar di bahu Seira.


Untuk sekarang, aku harus istirahat total.


Mengandalkan proses pemulihan tubuh sepenuhnya, posisi akhirku adalah seperti ini—tergeletak menyamping, menempel sepenuhnya ke sofa, posisi paling ideal untuk tidak memberi tekanan pada otot mana pun.


Rasa kantuk yang seperti memanggil dari kejauhan pun mulai menyusup perlahan ke benakku yang lelah...


"Yoi-sho~"


Dengan suara yang entah kenapa terasa sangat santai, kepalaku diangkat.


Lalu, posun—ditaruh di atas sesuatu yang empuk dan lembut.


Sebuah pangkuan. Seira memberiku bantal pangkuan.


"…………Oi."


"Yosh-yosh, Ruu-kun sudah berusaha keras ya~ Hebat, hebat~"


"Berhenti. Malu tahu."


Tangan Seira mengacak-acak rambutku.


Gerakannya kasar, seperti sedang bermain-main dengan anjing besar.


Rasa malu yang sulit dijelaskan naik sampai ke wajah, dan aku bisa merasakan pipiku mulai panas.


"Fufu, rasanya menyenangkan ya. Memperlakukan seorang anak laki-laki yang tak bisa bergerak sesuka hati… ini bisa jadi bikin aku sadar akan fetish aneh."


"Hei, mana janji kasih hadiah buatku?"


Bukan berarti aku menolak bantal pangkuan, tapi diperlakukan seperti mainan untuk kesenangan sepihak itu tetap saja bikin kesal.


Aku mengangkat tangan—yang nyerinya masih bisa ditahan—berusaha menghentikan belaian Seira.


"Sedikit saja, bolehkah kau manja padaku?"


Suara itu seperti diperas keluar, membuat tanganku justru terhenti.


Seira menatap ke bawah padaku dengan senyum yang sedikit sedih. Jari-jari mungilnya menyentuh dan melingkari jemariku yang sempat terangkat.


"Aku cemas, tahu. Ruu-kun itu suka maksa diri. Padahal kau suka bilang ke orang lain, 'jangan maksa diri', tapi kalau soal tubuhmu sendiri, kau tak segan-segan menyakitinya. Kali ini juga, kan? Aku ingin kau lebih menyayangi dirimu sendiri. Aku ingin kau sadar sekarang... bahwa saat kau terluka, ada orang yang bersedih karenanya."


"……"


Dari sentuhan jari yang saling terjalin itu, aku bisa merasakan ketulusan Seira.


Aku… sudah membuatnya khawatir.


Wajah Seira yang menatapku dari atas itu adalah ekspresi yang sebenarnya tidak ingin kulihat— Gadis yang selalu ingin kulihat tersenyum itu kini menutup mata seolah sedang menahan rasa sakit.


"…………Maaf."


"Jangan minta maaf. Aku tidak menyangkal upayamu yang luar biasa demi Nowa. Kau yang paling berjuang tidak boleh menjadi satu-satunya yang meminta maaf. Akhir yang seperti itu tidak bisa diterima."


"…Lalu, aku harus apa?"


"Itu kan sudah kukatakan tadi. Manjalah padaku."


Jarang-jarang, di mata Seira tak ada sedikit pun nada bercanda.


...Manja, ya?


Baru setelah dikatakan, aku sadar kalau aku tidak terbiasa dimanja. Apa sih maksudnya manja?


Saat aku mulai berfilosofi sendiri dalam kebingungan, Seira tampak menghela napas kecil sambil mengangkat bahu, seolah benar-benar pasrah dengan tingkahku.


"Tak perlu dipikir terlalu dalam. Katakan saja apa yang barusan kau pikirkan. Katakan hal yang ingin kau dapat dariku saat ini."


Aku pun menuruti ucapannya.


Tanpa berpikir keras, tanpa menyaring, aku membiarkan keinginan yang samar-samar melintas di kepala keluar begitu saja.


"Lutut…"


"Hm?"


"Boleh aku pinjam ini… agak lama? Karena ototku sakit banget… jalan ke kamar pun rasanya susah."


Seira memandangi wajahku dengan mata bulat yang terkejut.


"Kalau cuma itu, boleh kok?"


"Itu yang kuinginkan."


Karena ini permintaan yang paling membuatku merasa dekat dengan Seira... meski aku takkan pernah mengatakannya dengan lantang, alasan itu tetap menggema di dalam hati.


Seira tersenyum, seolah benar-benar tak percaya, lalu perlahan mengelus kepalaku lagi dengan lembut.


"Gunakan sesukamu. Biaya sewanya aku tukar dengan tiket nonton tari Ruu-kun."


"Itu benar-benar membantu."


Setelah mendapat izin, aku pun menutup mataku.


Kehangatan dari sahabat masa kecil yang terasa di kepalaku seakan membungkusku sepenuhnya. Membantu teman adalah hal yang wajar, tak perlu ada timbal balik.


Begitulah dulu pikirku. Tapi untuk waktu sehangat ini... aku merasa ingin berjuang lebih keras lagi di lain waktu.


Mungkin orang akan menyebut ini pikiran yang dangkal, tapi aku benar-benar memikirkannya.


Pikiran yang bermakna hanya sampai di situ.


Diselimuti oleh kehangatan, kesadaranku mulai menghilang perlahan. Dalam kantuk yang kabur dan mengambang, saat aku hampir kehilangan kesadaran sepenuhnya—


"Selamat tidur, Ruu-kun."


Sesuatu yang hangat… seperti menyentuh pipiku… atau mungkin hanya perasaanku saja…


Kata Penutup


Halo semuanya, saya penulis Rokukai Kakuwa.


Kali ini adalah kisah yang berfokus pada Nowa—kisah tentang seorang gadis yang tak bisa jujur pada perasaannya, berusaha menemukan apa yang benar-benar ia inginkan… atau tepatnya, menyadari hal yang sebenarnya ia dambakan selama ini.


Gadis yang keras kepala namun lembut hatinya itu selalu ingin berjuang demi orang lain, dan tanpa sadar, dialah yang menyempitkan langit yang ingin ia tatap.


Padahal, langit yang terbatas itu tak pantas untuk sepasang sayap yang tumbuh di punggungnya.


Agar Nowa bisa benar-benar terbang bebas, Ruto masih harus terus berusaha. Semangat terus, sang protagonis!


Hubungan mereka yang terjalin lewat tari tampaknya sudah berkembang, tapi sejatinya baru saja mencapai garis start.


Selama mereka terus berlari di tengah masa remaja yang penuh luka dan kekacauan, masa depan yang tenang dan tanpa guncangan tampaknya takkan pernah datang.


Terluka, tersesat, jatuh—namun tetap bangkit dan merentangkan tangan ke arah bintang.


Meskipun pilihan itu salah, perjuangan mereka yang sungguh-sungguh untuk meraih sesuatu tetaplah sesuatu yang mulia—yang tak bisa disangkal siapa pun, bahkan oleh diri mereka sendiri.


Aku ingin Ruto dan yang lain tetap menjadi anak-anak muda seperti itu.


Dan sebagai penulis mereka, aku juga ingin menjadi seseorang yang tak malu pada mereka—seseorang yang terus berusaha.


Dan seandainya mungkin… semoga kisah ini bisa menyalakan semangat pembaca yang tengah berjuang.


Dengan doa seperti itu yang kupanjatkan kepada bintang-bintang, izinkan aku menutup catatan ini.


Sekarang izinkan aku menyampaikan rasa terima kasih, meski agak terlambat.


Kepada Komupi-sama, sang ilustrator. Terima kasih karena telah kembali mewarnai dunia Ameodo dengan begitu indah.

Seira dan yang lain tampak senang bisa memakai banyak pakaian yang lucu.


Atas nama mereka, izinkan aku menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.


Lalu, kepada tim editorial di Overlap, kepada editor yang mendampingiku dengan begitu banyak dukungan, kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penerbitan…


Dan yang terpenting, kepada para pembaca yang telah menemukan karya ini—terima kasih tak terhingga dari lubuk hati terdalam.


Semoga suatu hari nanti, di bawah langit berbintang di suatu tempat, kita bisa kembali menyaksikan tarian Ruto dan kawan-kawan.


Sampai bertemu lagi di kisah selanjutnya.


Previous Chapter | 

Post a Comment

Post a Comment

close