Penerjemah: Sena
Proffreader: Sena
Chapter 2
Cara Menghitung Bintang Yang Benar
Dan kemudian──aku kembali, ke dunia 2 tahun yang lalu. Waktu pulang sekolah di tengah musim dingin.
Di depan gerbang utama SMP Shimendou, tempatku dulu juga bersekolah.
“…Sedang apa, Senpai?”
Dia menatapku dengan mata terbelalak, menyadari kehadiranku.
“Di tempat seperti ini, jam segini… jangan-jangan, sedang menunggu Mizuki-san?”
“Ah, tidak, bukan begitu…”
Seorang gadis mungil berdiri di depanku.
Rambut pendeknya yang seharusnya berwarna emas sudah kembali menjadi hitam pekat entah sejak kapan.
Mata sipitnya memandangku penuh rasa ingin tahu, alisnya terangkat sedikit, tampak ragu.
Di atas seragamnya ia mengenakan mantel, dan syal tebal yang tampak hangat menutupi mulutnya.
Dia adalah adik kelasku yang sangat berharga bagiku.
Akutagawa Makoto.
“Ada apa?”
Melihatku terdiam, Makoto memiringkan kepalanya.
“Ada sesuatu yang terjadi…?”
Perasaanku nyaris meluap.
Makoto yang di masa depan sudah kehilangan nyawanya──
Gadis itu sekarang ada di hadapanku, masih hidup, masih bernapas, menatapku dengan ekspresi cemas.
Aku merasa bahagia. Aku berharap dia terus seperti ini. Aku benar-benar ingin melindunginya.
Namun──aku tidak bisa mengucapkan semua itu sekarang.
Soal masa depan, sebaiknya kusembunyikan dulu.
“…Aku datang untuk bertemu denganmu, Makoto.”
Aku memaksakan suara serak untuk mengatakannya.
“Itulah kenapa aku menunggu di sini…”
“Eh…”
Makoto tampak kebingungan, pandangannya bergerak gelisah.
“Kenapa tiba-tiba seperti ini…”
Sejak pergi ke Desa Achi, aku hampir tidak berkomunikasi lagi dengan Makoto.
Paling-paling hanya mengirim pesan selamat tahun baru, selebihnya tidak ada pesan lain.
Karena──baru saja di akhir tahun kemarin, Makoto menyatakan perasaannya padaku.
Mengatakan dia menyukaiku, dan bahkan menambahkan, “Tapi kurasa aku tidak bisa menang dari Nito-senpai.”
Setelah itu, aku benar-benar tidak tahu harus bicara apa.
Wajar saja Makoto merasa canggung sekarang.
Orang yang sebelumnya hampir tak pernah menghubunginya, tiba-tiba menunggunya di depan gerbang, lalu bilang mau bertemu.
Mungkin dia sempat berpikir, kami tidak akan pernah bertemu lagi seumur hidup.
“Aku punya sesuatu yang ingin kubicarakan.”
Aku berusaha bicara setenang mungkin kepadanya.
“Boleh aku menemanimu pulang?”
“…Boleh, sih.”
Makoto mengangguk, dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan kewaspadaan.
“Kalau begitu, ayo pergi…”
Setelah berkata begitu, dia mulai berjalan di depanku.
Aku merasakan lagi gelombang emosi yang menyesak di dadaku saat menatap punggungnya.
“…Ya.”
Aku hanya menjawab singkat, lalu menyusul di belakangnya.
*
“Jadi… mau bicara apa?”
Makoto membuka pembicaraan setelah kami berjalan sedikit menjauh dari sekolah, memasuki gang belakang yang sepi.
“Ada perlu apa denganku?”
“Ah, eh, itu…”
Aku masih dibanjiri emosi, namun suaranya menyadarkanku.
Benar, sudah waktunya masuk ke topik utama.
Hanya ada waktu 2 bulan lagi menuju ujian masuk SMA Amanuma.
Aku tidak bisa berlama-lama membuatnya curiga di sini.
“…Yah, begini.”
Entah kenapa nadaku jadi terbata-bata.
“Bagaimana dengan persiapan belajarnya?”
“Persiapan belajar…?”
“Soalnya, kan ujian sudah dekat. Aku cuma ingin tahu, bagaimana kondisimu…”
Sulit sekali mencari kata pembuka.
Bagaimana cara menyinggung inti persoalan padanya, aku benar-benar tidak tahu.
Kemampuan komunikasiku memang buruk, dan kali ini aku sendirian. Tak ada yang bisa membantuku.
──Oh ya.
Segera setelah aku kembali ke waktu ini, aku sudah memberi tahu semua pada Nito.
Tentang akhir yang menimpa Makoto, tentang penyebab yang baru kusadari.
Dan juga, tentang apa yang ingin kulakukan di waktu ini.
“Kita pasti akan menyelamatkan Makoto-chan.”
Dengan wajah serius, Nito berkata begitu padaku.
“Bagaimanapun caranya, kita harus membuat dia masuk ke SMA Amanuma.”
Itu adalah jawaban yang sebenarnya sudah kuduga, tapi tetap membuatku lega.
Nito mau mendukungku. Mau menatap masa depan yang sama denganku.
Setelah semua yang kulakukan demi membantunya selama ini, rasanya seperti mimpi bisa mendapat dukungan sebesar itu.
Lalu kami memutuskan untuk memeriksa lebih dulu bagaimana keadaan Makoto.
Makanya aku datang menemuinya hari ini.
Dan ide untuk bergerak sendirian juga datang dari Nito sendiri.
“Coba pikirkan perasaan seorang perempuan! Kalau aku ikut, pasti malah makin tidak enak!”
Ya, nasihatnya sangat masuk akal… meskipun menyakitkan juga.
“Persiapan? Ya, biasa saja.”
Makoto menatapku dengan sedikit curiga.
“Nilai uji coba juga bagus, sepertinya aku akan lolos tanpa masalah.”
“…Begitu ya.”
Memang seperti yang kuduga.
Tidak mungkin dia langsung membuka isi hatinya di sini.
Atau mungkin, memang di tahap ini dia benar-benar yakin akan lolos.
Tapi Makoto adalah tipe orang yang berhati-hati.
Aku yakin, di dalam hatinya pasti sudah mulai menetapkan pilihan──
Untuk memastikan itu, aku pun mencoba menggali lebih jauh.
“Haha, ya, tidak penting sih sebenarnya…”
Aku berusaha berbicara dengan nada santai.
“Kemarin, kau sempat lihat sekolahku yang sudah tua, kan? Kau pasti mempertimbangkan sekolah swasta yang bangunannya baru, ya?”
“Yah, benar juga.”
“Jadi aku kepikiran, apa kau akan berubah pikiran dan mau ke sana saja…”
Mendengar itu, Makoto tiba-tiba berhenti melangkah.
Ia menatapku lurus dengan mata sipitnya yang dalam, seolah menampung samudra di kedalamannya.
Lalu──
“…Haaah…”
Dia menghela napas panjang.
Wajahnya benar-benar terlihat kesal, seperti berkata tolong jangan repotkan aku lagi.
Sambil mulai berjalan lagi, dia berkata,
“…Senpai.”
“Ya?”
“Kamu sudah pergi ke masa depan, ya…”
Dengan suara rendah, hampir berbisik.
“Kamu sudah melihat apa yang akan kulakukan di sana, kan…”
──Ketahuan.
Dia sepenuhnya menyadari bahwa aku sudah tahu isi hatinya.
“…Ya. Memang, aku sudah melihatnya.”
“Begitu ya. Lalu──”
Dengan nada yang terdengar bosan, Makoto menoleh padaku.
“Jadi kamu datang untuk membujukku. Agar serius menghadapi ujian, begitu ya?”
“…Ya, kira-kira begitu.”
Sepertinya tak ada gunanya berputar-putar lagi.
Aku memang tidak pandai membaca situasi atau taktik negosiasi.
Kalau begitu, lebih baik bicara terus terang saja.
“Makoto… ayo masuk ke SMA Amanuma.”
Aku mengatakannya sambil menyelipkan harapan yang tulus di dalam suaraku.
“Pasti menyenangkan, dan semua anak Astronomi juga akan menyambutmu dengan tangan terbuka.”
Bukan hanya aku dan Nito, tetapi juga Igarashi-san, Rokuyou-senpai, semuanya sama.
Waktu Makoto datang ke SMA Amanuma beberapa waktu lalu, mereka semua benar-benar menyambutnya dengan hangat.
Pasti, kehidupan SMA yang kedua kalinya nanti juga akan jauh lebih baik daripada yang pertama.
Bahkan tanpa mempertimbangkan soal akhir tragisnya nanti, tidak ada alasan untuk menolak.
“Aku juga… ingin kau ada di masa SMA-ku.”
Aku mengatakannya sambil memohon, hampir merendah.
“Kumohon, masuklah ke SMA Amanuma.”
“Tidak mau.”
Namun──nyaris tanpa jeda, Makoto menjawab begitu.
“Aku menolak.”
Selama ini, aku sudah sering memohon pada anak ini.
Terutama di masa SMA pertama kami dulu.
Sesudah kalah dalam pertandingan game, aku memohon, “Ayolah, sekali lagi!”
Atau saat dia mau pergi ke mesin minuman, aku minta, “Belikan kopi susu, ya!”
Waktu seperti itu, Makoto memang selalu tampak kesal, tapi di wajahnya terselip sedikit rasa senang, lalu ia berkata sambil setengah menyerah: “Ya ampun, tidak bisa apa-apa deh…”
Tapi sekarang, jawabannya benar-benar berbeda.
Makoto menatapku dengan wajah yang dingin, lebih dingin daripada yang pernah kulihat sebelumnya.
“…Kenapa? Kenapa sampai sekeras itu menolak?”
“Biasa saja. Aku tidak mau jadi murid SMA Amanuma. Itu saja.”
──Jawaban yang sangat abstrak.
Bukan jawaban sebenarnya, hanya kata-kata penutup yang tak memberi celah untuk bertanya lebih jauh.
Dan dalam cara dia mengatakannya──
Penolakan Makoto itu membuat sebuah pemandangan terlintas di kepalaku.
Kenangan SMA pertama kami. Hari-hari yang kami buang sia-sia, bermalas-malasan.
──Hari saat pertama kali Makoto datang ke ruang klub.
Dengan wajah ingin tahu, menatap sekeliling sambil berkata, “Jadi ini sarangnya Senpai?”
──Hari saat kami bolos festival olahraga, berdua menonton final bola dari jendela.
Makoto tertawa kecil, “Kita ini semacam partner in crime, ya.”
──Hari hujan lebat, saat malas untuk pulang, kami hanya main game di klub.
Bukan suasana yang meriah, bukan juga sangat menyenangkan, tapi di sore hujan itu aku sempat berpikir, “Andai waktu ini terus berlanjut, tak apa juga.”
Hari-hari itu──biasa saja, tidak istimewa, tetapi milik kami berdua.
Dan rasanya sekarang, Makoto menolak semua itu.
Seakan-akan 2 tahun yang kami habiskan bersama tak berarti apa-apa baginya.
Padahal dulu aku juga sempat merasa benci pada hari-hari seperti itu.
Merasa “Kita ini benar-benar payah…”
Namun ketika sekarang ditolak begitu tegas──
Entah kenapa, rasanya napasku sesak, seperti tertahan.
“Ka-kalau begitu!”
Tetap saja aku memaksa bicara, mencoba menawarkan jalan lain.
“Setidaknya… mampirlah saja!”
“…Mampir?”
“Iya!”
Aku memaksakan senyum, menatapnya sambil mengangguk.
“Datang saja main ke sekolahku!”
Ini adalah rencana cadangan yang sudah disiapkan Nito, tahap kedua.
Strategi “Kalau tidak bisa didorong langsung, dekati lewat sisi emosional”.
“Lihat, setelah dari Desa Achi kau belum pernah datang lagi, kan?”
Seperti yang direncanakan, aku mengalihkan pembicaraan agar membuat Makoto mau tetap berhubungan dengan SMA Amanuma.
“Igarashi-san, Rokuyou-senpai, mereka juga penasaran tentangmu bagaimana kabarnya. Bahkan Chiyoda-sensei pun sama. Tentu saja Nito juga ingin ketemu lagi.”
Itu semua memang benar.
Sejak kejadian di akhir tahun, semua anggota klub sudah menganggap Makoto sebagai teman.
Mereka masih sering membicarakan Makoto, ingin sekali bertemu lagi.
“Jadi… masa iya, mau berpisah begitu saja?”
“…Hmm.”
Seperti yang kuduga.
Untuk pertama kalinya hari itu, Makoto tampak berpikir serius.
“Benar juga… aku bahkan belum sempat pamit dengan baik-baik.”
Makoto memang seperti ini.
Wajahnya kelihatan sinis, bukan tipe yang ramah,
tapi kalau soal etika, terutama pada orang yang sudah baik padanya, dia selalu berusaha menjaga sopan santun.
“Jadi… santai saja. Anggap main-main dulu.”
Aku menatap wajahnya sambil menambahkan,
“Sekali saja, datanglah ke sekolah kami.”
Aku memohon dengan sungguh-sungguh.
*
“──Selamat datang, Makoto-chan!”
“──Wah, sudah lama ya! Sejak akhir tahun kemarin?”
Beberapa hari kemudian.
Setelah mendapat izin dari Chiyoda-sensei, aku mengajak Makoto datang ke ruang klub.
Igarashi-san dan Rokuyou-senpai langsung menyambutnya dengan hangat.
Dan──Nito pun.
Menyempatkan diri datang meskipun sedang sibuk, Nito menyambutnya dengan senyum sedikit sendu, seperti seorang kakak yang sedang menatap seorang adik perempuan.
“Hari ini, santai saja di sini, ya.”
“Aku juga ingin dengar ceritamu di Desa Achi.”
“Ya, terima kasih banyak…”
Makoto mengangguk pelan, masih terlihat agak canggung.
“Aku senang kalian mau menyambutku…”
Meski kata-katanya sopan, di wajahnya tetap terasa ada dinding yang berdiri.
Makoto tentu sadar, maksud kami mengundangnya hari ini adalah agar dia mempertimbangkan kembali untuk masuk ke SMA Amanuma.
Karena itu, dia tetap menjaga jarak.
Bahwa dia tidak akan menikmati keberadaannya di sini—seolah memasang dinding di dalam hatinya.
Namun,
“Ayo, sini duduk, duduk.”
“Mau minum teh?”
“Ah, aku bawa camilan juga, lho.”
“Sungguh? Kalau ketahuan, bukankah itu bisa disita?”
“Hahaha, hari ini dikecualikan, kan!”
Anggota klub astronomi memulai semacam acara minum teh dengan begitu natural.
Nito mungkin paham situasinya, tapi Igarashi-san dan Rokuyou-senpai yang tidak tahu apa-apa, benar-benar tulus ingin berbicara dengan Makoto.
Kebaikan mereka padanya begitu polos, tanpa tendensi (kecenderungan) apa pun.
“Ah, te-terima kasih…”
“Iya, Desa Achi itu dingin sekali. Namanya juga pegunungan…”
“Sampai sekarang aku masih sering bertukar kabar dengan staf observatorium di sana.”
“Mereka bilang nanti kalau sempat, datang lagi berlibur…”
Sebelum sadar, Makoto pun mulai bicara dengan nada yang sedikit lebih lunak.
*
2 jam pun berlalu.
“Jadi begitulah, Sakamoto-senpai itu benar-benar parah.”
Nada bicara Makoto sudah hampir kembali normal.
Suara serak dan sedikit malas, khas dirinya.
Anggota klub yang mendengarnya pun tertawa santai,
“Jadi dia cuma pakai celana dalam lalu pantatnya dipamerkan ke sini?”
“Wah…sungguh?”
“Itu mah bencana…”
“Kalau dilaporkan, bisa kena pasal apa tidak ya…”
Entah kenapa, cerita tentang insiden nyaris telanjangku di Desa Achi itu jadi bahan tertawaan.
“Eh, itu kan kecelakaan! Bukannya sengaja buat nunjukin!”
Aku sampai berdiri dari kursi untuk membela diri.
Sungguh, itu murni kecelakaan beruntun.
Waktu aku sedang ganti baju di kamar, Makoto kebetulan membuka pintu, lalu melihatku hanya memakai celana dalam.
Karena aku panik, malah terjatuh, jadinya posisi pantatku terpampang jelas.
“Lagipula kau juga melihatku terus, kan?! Pintu dibiarkan terbuka sambil memandangiku!”
“I-itu karena pintunya rusak! Penginapan itu bangunannya sudah tua, jadi pintunya agak kacau!”
“Ya kabur sajalah!”
“Kalau aku kabur, Senpai akan kelihatan seperti maniak mesum yang pamer sendiri di situ!”
Makoto membalas dengan nada tinggi, dan semua pun tertawa.
Nito sambil ngemil jagariko (snack asin), Igarashi-san asyik mengedit video di laptopnya, dan Rokuyou-senpai sampai tertawa sambil pegang perut.
Rasanya, Makoto sudah benar-benar menyatu dengan ruangan ini.
Seakan-akan kami berlima inilah Klub Astronomi SMA Amanuma yang sebenarnya.
Obrolan terus bergulir,
“Oh ya, Makoto kan masih kelas 3 SMP, ya?”
kata Igarashi-san dengan nada santai.
“Repot tidak, ujian masuknya?”
“Iya, ya lumayan…”
Begitu muncul kata “ujian”, wajah Makoto menegang sedikit.
“Seadanya…cukup lancar…”
“Aku juga dulu trauma, lho.”
Igarashi-san tampaknya tidak menyadari perubahan sikap Makoto, sambil bersandar di tangan,
“Waktu itu aku ingin satu sekolah dengan Chika, jadi belajar mati-matian. Rasanya berat sekali, sungguh.”
“Makoto, apa persiapanmu lancar?”
Rokuyou-senpai menimpali sambil menyilangkan kaki di kursinya.
Makoto, yang mendapat pertanyaan ini—nyaris menyentuh inti permasalahan──
“Iya, lancar.”
jawabnya dengan suara datar.
“Hasil uji cobanya bagus, dan latihan wawancara juga sudah siap…”
“Mantap!”
“Berarti bakal resmi jadi adik kelas kita, ya!”
Igarashi-san dan Rokuyou-senpai bersorak senang, sementara Makoto tampak agak canggung di samping mereka.
Melihat itu, aku berpikir, yah, untuk hari ini cukuplah.
Makoto belum benar-benar membuka hatinya.
Masih menjaga jarak, menahan perasaannya sendiri.
Tapi… target hari ini adalah “setidaknya membuatnya mau datang”.
Kalau itu tercapai, berarti kami sudah menapaki garis start untuk mendekatkan jarak hati kami lagi.
“Kalau Makoto bergabung, konten video kita juga akan makin kuat, kan?”
Aku juga ikut bergabung dalam obrolan.
“Kalau anggota kita bertambah, mungkin klub astronomi ini bisa naik level jadi klub resmi.”
“Eh, iya ya!”
“Kalau begitu mungkin akan dapat dana resmi juga.”
“Kalau mendapatkan dana, aku ingin beli teleskop equatorial otomatis!”
Suasana pun kembali ramai.
Makoto, yang sempat tegang, ikut tertawa kecil dengan wajah sedikit kebingungan,
“Hahaha… setelah masuk nanti juga mesti kerja keras ya…”
*
“Hari ini, terima kasih.”
Setelah bubar, aku mengantar Nito sampai stasiun, lalu menemani Makoto sampai depan rumahnya.
Sambil mengingat-ingat percakapan di klub, aku bilang,
“Yang lain juga senang bisa ketemu denganmu lagi. Aku juga senang kau mau datang.”
“Tidak, aku juga terima kasih…”
balas Makoto dengan suara lebih jujur dari biasanya.
“Terus terang, itu menyenangkan kok. Bisa jadi pelarian yang pas.”
Aku rasa, itu benar-benar isi hatinya.
Melihat cara Makoto berbicara dengan teman-temanku hari ini, rasanya dia memang menikmatinya.
Di masa lalu, waktu SMA pertamaku, aku belum pernah melihat Makoto bersikap seperti itu—dan itu membuatku merasa sedikit lega.
Kalau saja Makoto benar-benar menjadi murid SMA Amanuma, kalau saja dia masuk klub astronomi—mungkin sekarang dia sudah bisa membayangkan seperti apa hari-hari yang akan menunggunya di sana.
“…Yah, datang main lagi kapan-kapan, ya.”
Karena itu, aku menambahkan,
“Kami tetap sering kumpul, mengobrol santai, membuat video. Aku juga bakal sering mengajakmu, jadi kalau sedang mau, mampir saja. Kami akan sangat senang.”
Sebenarnya, aku dan Nito punya satu tujuan lagi hari ini.
“Kalau bisa, sambung ke pertemuan berikutnya.”
Kalau hari ini berhasil membuatnya datang ke ruang klub, dan berhasil membuatnya merasa nyaman, maka itu harus kami sambungkan ke kesempatan berikutnya.
Agar hubungan kami berlanjut, agar dia tetap mau berkontak.
Rasanya, sekarang aku bisa melakukannya.
Di jalan pulang berdua, Makoto tampak agak lengah, menurunkan pertahanannya.
Dengan Makoto yang seperti ini, aku merasa bisa membicarakan hal-hal ke depan.
“…Mengerti.”
Seperti yang kuduga, Makoto mengangguk sambil berpikir.
Lalu dia menarik napas, tersenyum kecil, dan menjawab pelan,
“…Kalau hanya sebatas itu, tidak apa-apa.”
“Kalau cuma ngobrol-ngobrol seperti hari ini, ya…”
“Iya, terima kasih.”
Syukurlah—berarti ada lain kali.
Berarti nanti aku masih bisa bertemu Makoto lagi di ruang klub.
Aku merasakan dengan jelas kalau ini adalah satu langkah maju menuju tujuan kami.
“Kalau begitu.”
Makoto menundukkan kepala kecil, lalu masuk ke dalam rumahnya.
“Sampai jumpa, selamat tidur.”
“Ah, selamat tidur.”
Aku melambaikan tangan ke arahnya.
Bayangan Makoto menghilang di balik pintu, terdengar suara klik saat kunci dikunci dari dalam.
“…Haah.”
Aku menarik napas dalam-dalam, menatap rumah itu.
Sebuah rumah keluarga satu lantai yang terlihat cukup baru, tidak berbeda dengan rumah lain di sekitar situ.
Di papan nama rumah tertulis “Egawa”—bukan “Akutagawa”, nama keluarga Makoto.
Dan rumah ini… 2 tahun dari sekarang, akan menghadapi sebuah tragedi yang mengerikan.
Seluruh keluarga akan bunuh diri bersama, menabrakkan mobil ke danau bendungan.
Rasanya sungguh sulit dipercaya.
Hari ini, tidak terdengar suara siapa pun dari dalam rumah seperti waktu aku berkunjung sebelumnya.
Dari luar, kelihatan hanya rumah biasa di kawasan perumahan.
Siapa sangka, sebuah kasus yang akan menggemparkan berita nasional akan terjadi di tempat seperti ini.
…Tapi, mungkin memang begitu kenyataannya.
Baik manusia maupun rumah—dari luar kelihatan normal, tetapi di dalam bisa jadi menyimpan badai.
Karena itu,
“Pasti… aku akan menyelamatkan mereka.”
Aku berbisik sendiri menatap rumah itu.
“Aku pasti akan mencegah akhir yang seperti itu…”
*
Sejak hari itu, Makoto jadi lumayan sering berinteraksi dengan klub astronomi.
Sekitar seminggu sekali, dia datang, mengobrol santai, kadang belajar bersama.
Sikapnya sendiri tidak banyak berubah.
Tapi semakin sering waktu dihabiskan bersama seperti ini, situasi pasti akan berubah.
Kehadiran Makoto akan menjadi hal biasa.
Dan bagi Makoto sendiri, suasana klub astronomi juga bisa menjadi sesuatu yang wajar.
Hari-hari seperti ini suatu saat mungkin benar-benar menjadi keseharian mereka.
Harapan itu semakin terasa nyata sekitar sebulan kemudian, di sebuah sore sepulang sekolah.
Seperti biasa, mereka berkumpul di ruang klub sambil bercakap-cakap, ketika tiba-tiba──
“…Bolehkah aku ikut juga?”
Makoto yang sedang menatap buku soal, mengangkat kepala dan bertanya.
“Aku boleh ikut, ya?”
Kebetulan mereka sedang merencanakan kegiatan untuk besok.
Sesi pengamatan bintang di atap sekolah, yang biasa mereka lakukan beberapa kali sebulan.
Membahas bintang apa yang mau diamati, video apa yang mau dibuat…
“…Eh, sungguh?”
Aku refleks menaikkan nada suara karena kaget.
“Makoto, kau mau ikut pengamatan bintang?”
“Iya, kalau tidak keberatan.”
Makoto mengangguk pelan, dengan wajah yang datar seperti biasa,
“Entah kenapa, aku merasa ingin melihat bintang lagi.”
Sudah sebulan Makoto rutin datang ke ruang klub.
Walau sudah banyak mengobrol, aku tidak menyangka dia akan mau ikut kegiatan seperti ini.
Kupikir, dia hanya mau muncul sesekali, bertemu kami, itu saja.
Tapi sekarang—dia sendiri yang bilang ingin ikut pengamatan bintang.
“Wah, mantap!”
“Bagus sekali, kami sangat senang!”
Igarashi-san dan Rokuyou-senpai berseri-seri.
Di samping mereka, Nito juga tampak kehilangan kata-kata,
“W-wah…!”
“S-senangnya…! Aku benar-benar senang…!”
Aku pun buru-buru berdiri, mengangguk berulang kali,
“Tentu saja sangat boleh!”
“Kalau begitu, tolong ya”
“Oke, langsung saja, aku akan melapor dulu ke Chiyoda-sensei… sebentar ya, aku ke ruang guru!”
“A-aku juga ikut!”
Nito juga bangkit dan menyusulku.
Kami berdua melangkah cepat meninggalkan ruang klub, berjalan di koridor sampai cukup jauh untuk bicara pelan-pelan.
“…Oi, oi, oi, ini berjalan sangat lancar, kan?!”
“Iya! Makoto-chan mau ikut pengamatan bintang, loh…!”
Kami saling memandang, dengan suara yang penuh semangat.
“Wah, dia benar-benar mulai melunak, ya!”
“Sepertinya efek bertemu dengan rutin sangat berhasil!”
Tidak salah lagi—Makoto mulai berubah.
Lewat interaksi selama sebulan ini, perlahan pikirannya mulai terbuka.
“…Baiklah!”
Aku mengepalkan tangan, menata tekad lagi.
“Kalau begini, kita dorong terus sampai dia benar-benar masuk ke SMA Amanuma!”
“Setuju!”
Untuk pertama kalinya, aku merasa harapan kami sungguh nyata.
Yang dulu hanya samar-samar, sekarang mulai terlihat wujudnya.
“Ufufu… ufufufufu!”
Nito tidak bisa menahan tawa bahagia, lalu tiba-tiba mulai berputar-putar menari di koridor.
“Apa itu, Nito?”
“Ini, adalah tarian bahagia!”
Aku sampai tertawa juga melihatnya,
“Keren juga tariannya! Sejak kapan bisa seperti itu?”
“Ayo, kamu juga ikut!”
“Haha, tidak, aku nonton saja dari sini.”
“Eeeh!”
Walau cemberut, Nito tetap menari dengan langkah ringan di sampingku.
Aku menoleh ke luar jendela, menarik napas kecil.
Langit sore menampakkan warna biru pucat tercampur putih awan, seperti cat air.
Bulan yang tipis terlihat transparan laksana kerang putih, dan di bawahnya kawasan Ogikubo yang selalu ramai menampakkan keberantakannya.
──Sudah lama rasanya.
Baru kali ini, aku merasa punya cukup kelonggaran dalam hati untuk menikmati pemandangan lagi.
Post a Comment