NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dare mo ga Urayamu Tonari no Cool Bishoujo, Jitsu wa Nounai Pink Sugiru Vol 1 Chapter 3

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 3

Seorang Penyandang Kekuat¬an Super

Matahari mulai condong ke barat. Di dalam kelas kosong yang penuh deretan kursi tak berpenghuni, aku berdiri. Diterpa cahaya oranye yang membanjir dari jendela, aku hanya berdiri di sana.

Entah mengapa, cahaya senja selalu mampu membangkitkan suasana hati yang emosional. Padahal aku ini orang yang hidupnya miskin emosi—baru-baru saja belajar apa itu konsep “emosi”—tetapi ketika disinari senja, aku pun tak bisa menahan perasaan sendu yang perlahan muncul.

Kalau bicara tentang sekolah, kira-kira waktu seperti ini biasanya jadi akhir dari kegiatan klub. Akhir dari satu hari. Perpisahan dengan teman-teman. Sebuah perasaan kehilangan yang samar, bercampur dengan harapan akan hari esok, menggumpal di dada.

…Yah, itu hanya kalau aku ikut klub. Kenyataannya aku anggota klub pulang ke rumah, jadi sebenarnya aku tak pernah merasakan hal-hal itu. Biasanya, pada jam-jam seperti ini aku sudah enak-enakan bersantai di rumah. Sambil melirik tim baseball yang sedang berlari, atau mendengar suara musik dari klub orkestra tiup, aku justru sibuk memperpendek waktu tempuh pulangku setiap hari.

Singkatnya, aku sama sekali tidak ada kaitannya dengan suasana sekolah di jam segini.…Kalau begitu, kenapa sekarang aku berada di kelas? Kau tanya begitu? Jawabannya jelas.

──Aku tidak tahu. Kenapa aku ada di sini? Sejak kapan aku ada di sini? Kenapa aku bisa ada di sini?

Anehnya, otakku sama sekali tidak menemukan jejak ingatan soal itu.

Meski aku sudah mencoba merangkai semacam puisi tentang cahaya

senja, tetap saja tidak ada petunjuk yang muncul. Kalau ada orang lain yang mendengarnya, mungkin akan menatapku datar sambil bilang, “Apa sih yang kamu omongin.” Tapi sungguh, aku benar-benar tiba-tiba sadar sudah berdiri di kelas yang disinari cahaya senja!

Dasar… apa aku ketiduran, ya? Rasanya memang ada sensasi melayang-layang samar di benakku. Kalau memang ketiduran, berarti aku kebangetan sekali. Anak sehat dengan jadwal tidur delapan jam sehari tak seharusnya sampai begitu. Lagipula, kalau memang aku ketiduran, kenapa tidak ada satu pun yang membangunkanku?

Meski semua orang pasti sibuk dengan kegiatan sepulang sekolahnya masing-masing, bukan berarti aku manusia yang sebegitu tak dipedulikannya sampai dibiarkan tidur begitu saja, kan?

…Tapi ya, sudahlah. Tidak perlu panik berlebihan juga. Kalau memang aku tidak bisa mengingat kejadiannya, mau dipikirkan pun percuma. Lagipula, sekarang belum waktunya pulang sepenuhnya. Klub olahraga masih ada yang bertahan. Para guru yang terjebak rutinitas kerja gila juga pasti masih terkunci di sekolah. Jadi, sudah seharusnya aku melaksanakan tugasku sebagai anggota klub pulang.

──Pikirku begitu, lalu kuangkat kembali tas sekolahku.

“Yone¬mine-kun.”

Sebuah suara memanggilku. Dari belakang. Padahal seharusnya tidak ada siapa pun. Seketika, aku refleks menoleh ke arah suara itu—dan di sana, ada sosok Kagura.

“…Hah?”

Aku secara refleks mengeluarkan suara linglung.

Seperti biasa, dengan ekspresi yang sulit dibaca, dia bersandar dengan tangan menyangga pipinya, duduk di bangku sebelahku.

Disinari senja, seolah-olah tak ada yang aneh.

Kenapa? Kenapa dia masih ada di kelas jam segini?

Setahuku, dia juga anggota klub pulang sama sepertiku. Tidak ada alasan baginya untuk duduk terdiam di kursinya sampai jam segini. Dan yang lebih aneh lagi, barusan aku benar-benar tidak melihat wujudnya sama sekali.

Meski penampilannya memang sedikit memberi kesan misterius, bukan berarti dia betulan makhluk yang bisa muncul menghilang sesuka hati. Seharusnya, dia hanya seorang gadis penggemar khayalan berlebihan. Walaupun hobi aneh itu saja sudah lebih dari cukup untuk disebut di luar kewajaran, setidaknya dia bukan pemilik kekuatan adikodrati, kan? Lalu kenapa dari tadi dia terus menatapku? Apa mukaku segitu menariknya untuk dilihat? Menurutku, noda di langit-langit masih jauh lebih layak jadi tontonan.

“Ah—ehm. Jadi, kamu ngapain di sini sampai jam segini?”

Meskipun itu pertanyaan yang juga bisa ditujukan padaku, aku tetap melontarkannya.

Biasanya, pertanyaan tentang orang lain bisa segera terjawab kalau aku mau mendengarkan pikirannya dengan telepati. Tapi kali ini aku tidak melakukannya. Lebih tepatnya, tidak bisa. Telepati-ku sedang dalam posisi OFF. Benar-benar, kemampuan ini selalu tidak berguna di saat penting.

Mirip robot kucing dalam film versi layar lebar—yang justru mengirim semua peralatan ke bengkel saat keadaan darurat.

“……”

Sementara aku sibuk memutar otak, Kagura tetap tidak bicara

sepatah kata pun. Diam, menatap lurus ke arahku tanpa bergerak sedikit pun. Benar-benar seperti boneka tak bernyawa.

“…Hei, katakan sesuatu dong. Rasanya jadi canggung begini.”

Aku memang tidak suka suasana hening. Mungkin karena telepati-ku biasanya secara otomatis mengisi kesunyian itu.

Meski menyebalkan, aku sudah terlanjur terbiasa dengan kehadirannya.

“……”

Namun, meski aku mencoba mencairkan suasana dengan berkata apa saja, Kagura tetap diam saja. Kira-kira apa yang sebenarnya sedang dia rasakan sekarang?

Begitu aku mencoba menatapnya tanpa suara hati yang biasanya terdengar, aku bisa mengerti mengapa dia disebut “gadis bertopeng” dan semacamnya. Dan juga, aku bisa paham kenapa setiap kali dia tiba-tiba melemparkan kata-kata, orang-orang di sekitar jadi panik bukan main.

"Yonemine-kun bisa membaca pikiran orang, kan?"

Kagura mengucapkannya seolah tanpa beban.

Jantungku berdentum kencang. Karena dia tiba-tiba bicara begitu, aku tak sengaja mengeluarkan suara aneh, “Hyu!” sambil menelan napas.

…Kenapa dia bisa tahu soal itu?

"……"

Aku berdiri tanpa sepatah kata pun. Kursi berderit keras ketika aku geser ke belakang, dan aku menundukkan pandangan menatap Kagura yang berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, menyeramkan bahkan.

Apakah dia tahu siapa aku sebenarnya…? Tidak, itu terlalu jauh. Tapi jelas dia seolah-olah sudah menyadari kemampuanku, dan itu membuatku resah.

Kalau cuma sekadar dicurigai, aku masih bisa mengerti. Lagian, aku memang menggunakan telepati ini dalam komunikasi sehari-hari. Jadi wajar saja kalau akhirnya ada yang merasa janggal. Namun tatapan dan kata-kata Kagura tadi… penuh keyakinan. Mata itu menatapku seolah sudah sewajarnya mengetahui kebenaran. Padahal untuk orang biasa, kemampuan seperti ini mestinya sesuatu yang tak masuk akal. Kalau itu hanya lelucon, aku masih bisa terima. Tapi dia menusukkan kata-katanya dengan terlalu serius.

“Kemampuan membaca hati orang… dengan itu, kamu pasti sudah mengintip isi batin banyak orang selama ini, kan? Kadang sampai mempermainkan hati mereka, bahkan menguasainya.”

Kagura bangkit perlahan, menyipitkan mata sambil menatap lurus ke arahku. Aku benar-benar berada di situasi yang paling tak kuinginkan. Kalau dia tahu tentang kemampuanku… apakah itu berarti dia tahu segalanya? Darimana dia tahu? …Entahlah, sumbernya sudah tak penting lagi.

Yang penting adalah: untuk apa Kagura mengungkapkan ini? Apakah dia berniat menjual informasi ini lalu menjebakku?

“…Bukan begitu, Kagura. Aku—”

“Kalau begitu—”

Pikiranku berputar kacau. Aku menunduk, memaksa kata-kata keluar

dari mulut. Tapi lidahku terlalu kering, sehingga yang keluar hanya suara lirih, nyaris seperti rintihan.

Ucapan Kagura yang menyusul langsung membungkam perkataanku.

Situasi tak terduga. Keringat dingin bercucuran di wajahku. Dan kemudian, hal yang sama sekali tak kuperkirakan pun terjadi.

“Kalau begitu… berarti kamu menerima semua fetish-ku… kan?”

“…Hah? Hah?”

Aku mendongak. Kagura yang biasanya tenang itu sudah tak ada. Yang ada hanya Kagura dengan wajah memerah, tampak mabuk oleh fantasi yang selama ini cuma kulihat sekelebat lewat pikirannya. Situasi benar-benar berubah drastis.

“Soalnya, kan? Kalau kamu sudah bisa mendengar pikiranku selama ini, berarti kamu juga sudah tahu fantasi-fantasi itu. Jadi otomatis… kamu sudah menerima fetish-ku, semua, kan?”

Kagura bicara seakan hal itu sudah pasti, logis, tak terbantahkan.

Apa iya…? Masa iya…? Aku terdiam tak bisa membalas.

“Seperti yang kuduga, iya kan?”

Dia menganggap diamku sebagai tanda setuju. Pandangannya semakin panas, penuh gairah.

“Kalau begitu, kita ini sudah jadi semacam… rekan seperjuangan, kan?”

“Re… rekan?”

“Fufu… aku selama ini tak pernah menceritakan rahasia ini pada siapa pun. Jadi… ya?”

Jadi… apa?

Jangan bilang dengan nada “Kamu tahu maksudku kan?” begitu. Siapa yang nyangka dari topik serius tadi bisa melompat ke urusan… fetish.

Aku sudah tak mengerti apa yang ada di kepalanya. Dan apa-apaan itu?

“Kalau sudah sering mendengarnya berarti sudah menerima fetish-ku.”

Logikanya absurd. Seperti “Kalau ada TV di rumahmu, berarti harus bayar iuran siaran.”

Jelas-jelas tak nyambung. Tapi Kagura terlihat semakin yakin dengan kesimpulannya sendiri. Aku malah jadi makin pusing.

“…♡”

Eh, tunggu. Apa-apaan itu? Dia malah mendekat ke arahku.

Mata berkilat, napas memburu. Tangan mulai bergerak ke bajunya, seolah siap membuka kancing.

Ini jelas-jelas aneh. Tingkahnya tidak normal.

“H-hentikan! Jangan mendekat!”

Entah kenapa, aku benar-benar tak mau dia lebih dekat lagi.

Ya jelaslah, siapa juga yang mau menyambut orang yang mendekat dengan napas terengah, tatapan mesum, dan tingkah mengerikan?

Aku mundur, tapi dia terus maju. Tak lama kemudian—

Bugh!

Punggungku membentur dinding. Aku terpojok.

“Fu… fufufu…”

Tatapannya terkunci padaku, seperti predator yang sudah memastikan mangsa. Persis tatapan yang dulu ia arahkan pada Sawari.

“U-uwaaaaaaa!?”

Kagura kini sudah berada tepat di depan wajahku. Pandangan mataku bergetar, tubuhku gemetar. Dan kemudian—

Dia mengulurkan tangannya ke arahku…

【〜〜〜〜♪】

Kesadaran terbangun seketika. Intro dari sebuah band pop yang belakangan sedang populer terdengar keras memenuhi ruangan. Cahaya yang menyilaukan menyelinap lewat celah tirai. Keheningan rumah yang masih remang.

Pagi telah tiba. Aku mematikan alarm tepat saat lirik lagu akan dimulai, lalu bangkit perlahan dari tempat tidur.

"Haaaahhh..."

Mimpi.

Menatap kenyataan yang kini ada di depanku, aku pun memahami situasi barusan. Itu hanyalah mimpi. Rasa lega yang aneh bercampur dengan kelelahan luar biasa mengalir di tubuhku. Aku menepuk-nepuk wajah dan tubuh untuk memastikan keadaan, namun tidak ada yang aneh. Hanya rasa letih yang begitu berat menindih kepala.

…Benar-benar mimpi buruk yang konyol. Semakin aku memusatkan kesadaran, semakin cepat pula detail mimpi itu menghilang. Namun, satu hal yang pasti, apa pun isi mimpi itu, sudah jelas tergolong mimpi buruk.

Kesadaranku di dalam mimpi terasa terlalu jelas—mungkin itu yang disebut lucid dream. Tapi aku sendiri tidak sadar sedang bermimpi, jadi kalau dipikir-pikir, mungkin tidak tepat juga disebut begitu.

Yang jelas, aku hanya bisa berdoa semoga mimpi itu bukanlah semacam firasat atau pertanda. Tapi kenapa aku bisa sampai bermimpi seburuk itu? Apa mungkin aku sudah terlalu terpengaruh oleh delusi-delusi Kagura?

Kalau benar demikian, itu sungguh keterlaluan. Siapa yang dengan senang hati ingin menjadi manusia malang, penuh sesak oleh pikiran konyol ala generik romansa murahan?

Kadang-kadang pikiranku memang bisa tertarik oleh telepati, tapi kalau sampai diganti dengan jalur listrik penuh delusi pink ala dirinya, itu sungguh keterlaluan.

"Barusan mimpi aneh, kan?"

Ketika aku sedang mengendurkan kerutan di dahi dengan letih, tiba-tiba terdengar suara di sampingku.

"Ah... mimpi paling buruk, tepatnya."

Aku menjawab dengan lemas, masih diselimuti rasa lelah. Namun, seketika aku menyadari ada yang aneh.

"Hah?"

Di sebelahku ada seorang gadis. Seorang gadis dengan penampilan modis sedang berjongkok, menatap lurus ke arahku. Padahal aku tinggal sendiri. Tidak ada orang yang menyambutku dengan ucapan selamat pagi atau selamat datang. Namun sekarang, seorang gadis benar-benar ada di sampingku.

"Halo~ Selamat pagi, Onii-chan."

Ia menyapaku dengan senyum nakal.

Aku tidak punya adik. Tidak ada cerita klise tentang adik yang selama ini terpisah lalu tiba-tiba muncul kembali. Aku ini manusia kesepian seumur hidup, tanpa keluarga dekat.

Kalau begitu, jelaslah: gadis di hadapanku ini hanyalah penyusup dengan kebiasaan berbohong.

Sudah seharusnya ia diadili menurut hukum. Ya, itu benar.

"Halo, polisi?"

"Eh tunggu-tunggu!! Jangan keburu begitu dong!!"

Aku segera meraih ponsel, namun gadis itu buru-buru menahan gerakanku dengan paksa. Betapa nekatnya tindakannya ini. Bisa jadi dia memang pelaku kriminal berbahaya. Aku harus waspada.

"Aku pinjam kunci dari pemilik kos! Aku sudah bilang mau ke rumahmu, tapi Sumito ketiduran, kan!!"

Ia terus saja bicara, mulutnya tiada henti meracau. Sepertinya sandiwaranya sudah berakhir.


Meski begitu, bukan berarti aku bisa menerima begitu saja dengan alasan “oh begitu ya, makanya dia ada di rumah ini, pantesan”.

Kenapa kunci kamar orang bisa dengan begitu mudahnya dipindahtangankan? Apa jangan-jangan hak asasi manusia milikku sudah diam-diam dicabut?

"Haa, benar-benar… nanti juga Ibu Kos datang kok, jadi cepatlah bersiap."

Dengan gaya seolah-olah berkata “yah begitulah”, dia bicara begitu.

Kau ini ibuku apa? Tadi kau mengaku sebagai adik perempuan, sekarang ibu, sibuk sekali peranmu. Lagipula aneh juga kalau orang yang masuk seenaknya malah menasihatiku. Aku juga tak pernah menyetujui kalau dia bilang “minggu depan aku akan datang, ya”.

"Haa…"

Aku menghela napas panjang lalu mencoba menata kembali pikiranku. Orang ini memang seperti itu, jadi tidak ada gunanya kuperhatikan lebih jauh.

Oh iya, hari ini ternyata hari libur. Alarm memang berbunyi, tapi sepertinya aku lupa mematikannya kemarin.

Ya, kali ini bisa dianggap sebagai keberuntungan, karena berkat itu aku berhasil dibangunkan dari mimpi buruk. Tidak masalah juga kalau si penyusup seenaknya itu kubiarkan menunggu di luar.…meskipun begitu, menyadari bahwa hari liburku kemungkinan besar sudah berakhir hanya dengan ini, membuat suasana hatiku terasa suram.

Saat aku sedang murung memikirkan sisa hariku, aku menyadari kalau dia menatapku. Aku mengernyit sambil berdiri.

"Apa?"

"Eh, biasanya kalau cowok baru bangun tidurnya sih, ukurannya besar kan… t-tapi punyamu, Sumito, malah kecil—pffft."

Aku tidak langsung paham maksudnya. Tapi setelah melihatnya tertawa terbahak dan mengingat pengalamanku selama ini menghadapi tingkah orang ini, aku segera menyadari arah pembicaraan.

Bahkan tanpa pengalaman pun, siapa saja pasti langsung mengerti. Soalnya, tatapannya jelas-jelas tertuju pada selangkanganku. Wajahku langsung memanas.

"Enyah kau!!"

Aku pun menendang selimut dengan sekuat tenaga.

***

Beberapa puluh menit kemudian.

Kamar kosku yang biasanya sepi kini dipenuhi dengan keributan.

Si gadis penyusup—Mitome Tsuyuha—dan ibu kos yang juga sekaligus menjadi wali bagiku, kini sedang duduk seenaknya di ruanganku.

Jika dibandingkan dengan keseharian yang tenang, ini benar-benar ramai sekali. Meski begitu, sama sekali bukan keramaian yang ingin kusambut.

"Yah yah, jangan marah-marah gitu, Sumito. Tadi kan cuma bercanda kecil."

"Eh, Tsuyu-chan, itu kan menyangkut harga diri laki-laki. Kau harus lebih bijak. Lagi pula, bisa saja Sumii—meski begitu terlihat biasa—waktu situasi yang sebenarnya datang, malah berubah jadi raksasa, kan?"

"Eeh, tapi aku sih belum pernah lihat Sumito serius begitu."

"…Apa jangan-jangan memang tipenya yang ukurannya tidak berubah?"

"Pfft."

Aku tetap mempertahankan wajah datar, sementara Tsuyuha meminta maaf tanpa rasa bersalah sedikit pun. Alih-alih menengahi, ibu kos justru menambahkan gurauan yang semakin memperkeruh suasana. Pemandangan yang sudah berulang kali terjadi di depanku.

Berisik. Ah, benar-benar berisik. Kenapa wanita di sekitarku tidak ada yang lebih berkelas sedikit? Apa standar kesantunan wanita Jepang memang sedang menurun? Seharusnya jiwa Yamato Nadeshiko itu diingat kembali. Meskipun, ya, aku sendiri juga bukan orang yang pantas bicara begitu.

"Apa jangan-jangan kamu benar-benar kepikiran soal kecil itu?"

"Tenang saja, Sumito-kyun. Laki-laki itu bukan soal besar atau kecil, tapi soal kerasnya, tahu?"

Saat aku hanya diam, keduanya malah menatapku dengan nada khawatir.

Berisik sekali. Aku sama sekali tidak kepikiran soal itu. Lagi pula aku tidak kecil, ukuranku juga tidak stagnan.

"Dasar, apa maksud kalian dari tadi!! Kalian masuk ke kamar orang cuma buat ngobrol cabul, ya!!"

Aku marah besar, sementara mereka berdua malah saling pandang.

Wajah mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.

"Masuk tanpa izin itu kedengarannya buruk sekali kalau kau bilang begitu."

"Iya betul. Kita ini kan sudah seperti keluarga. Kalau keluarga, bisa bebas keluar masuk kamar, bukan?"

Keduanya manyun. Memang benar, mereka berdua adalah teman masa kecilku. Kami sudah berteman sejak lama. Tapi hanya sebatas itu. Sekadar lama kenal saja. Tetap ada batas sopan santun meski hubungan dekat.

Kalau untuk ibu kos masih bisa dimaklumi, tapi Tsuyuha ini? Aku bahkan tak merasa dekat dengannya.

"Aah, jangan tegang begitu. Kita ini kan pernah telanjang bareng, ingat?"

Aku mendelik tajam, sementara dia menepuk bahuku dengan santai.

"Kita tidak pernah! Itu kau saja! Jangan membelokkan fakta dengan cara yang menyesatkan!"

"Maksudmu… Sumito, selain memamerkan tubuhmu sendiri, kau juga ingin aku memamerkan tubuh telanjangku?!"

"Mana mungkin!! Yang cabul itu cuma kau! Kau yang tanpa malu-malu memperhatikan tubuh telanjang orang lain!"

Dia memeluk dirinya sendiri sambil berkata "ya ampun~", membuatku mengepalkan tinju dengan kuat.

Apa hidupnya memang cuma buat mengolok-olok orang?

"Tapi bukankah itu sama saja? Soalnya kau juga bisa membaca dengan jelas segala hal yang kupikirkan, termasuk hal-hal nakal itu."

Dia menatapku dengan tatapan menyipit penuh sindiran.

Aku jadi sulit membantah, tapi kebetulan sekarang telepati-ku dalam keadaan OFF, jadi aku tidak bersalah.

…Ya, pasti kau sudah menyadarinya dari tadi. Karena sudah cukup lama berhubungan, tentu mereka berdua tahu tentang kemampuanku, telepati. Dan khususnya Mitome Tsuyuha ini, sama sepertiku, punya kemampuan aneh juga.

Kemampuannya adalah… “tembus pandang”.

Ya, yang bisa melihat tembus pandang itu. Ia memanfaatkan kemampuannya untuk mengamati bagian-bagian sensitif orang lain secara licik tanpa henti.

TLN : Skill yang dimana kalo dikasih ke cowok auto pick, fix

Ah, betapa keji. Betapa tidak bermoral. Benar-benar bisa disebut bajingan merah muda, tak kalah dari Kagura.

"Ah, sekarang kamu pasti lagi mikirin sesuatu yang nggak sopan, kan? Aku bisa tahu hal kayak gitu meskipun bukan Sumito loh."

"Bukan. Aku cuma sedang meninjau ulang penilaianku tentang dirimu dengan cara yang wajar."

"Haa~? Kalau kamu ngomong gitu, nanti aku nggak bakal kasih tahu lagi warna celana dalam cewek-cewek, tahu nggak?"

Dengan wajah busuknya, Tsuyuha berkata begitu. Dia punya kebiasaan terburuk dalam sejarah: sering mengintip warna pakaian dalam perempuan di sekitarnya dengan senyum mesum, lalu menceritakannya padaku hanya untuk menikmati reaksiku.

Kalau Kagura itu tipe pelecehan sepihak, Tsuyuha jelas tipe pelecehan serba arah. Lebih parahnya lagi, dia melakukannya dengan penuh kesadaran. Jadi dalam hal ini, mungkin dia lebih buruk daripada Kagura.

"Ya sudah, aku nggak peduli. Kenapa malah kesannya aku yang pengen tahu? Lagian hentikan kebiasaan itu. Suatu saat kamu bakal celaka."

"Justru kalau kamu ngomong gitu aku makin pengen! Rasanya tuh pengen mengintip misteri yang tersembunyi… itu kan semacam ta-k-dir manusia gitu~?"

"Serius deh, kamu pantas digebukin sekali."

Aku hampir meneteskan air mata karena dunia ini tidak bisa menghukum dia. Kalau aku sampai mengadukan, "Hei, dia ini pakai kemampuan tembus pandang buat hal-hal mesum loh!", jelas nggak ada yang bakal percaya.

Sepertinya aku perlu benar-benar memikirkan lagi apa yang harus kulakukan terhadap perempuan berbahaya ini.

"Tolong deh, Bu Kos, bilang sesuatu. Nggak ada yang mau punya kerabat penyimpang kayak gini."

Sambil mengusap pelipis, aku lempar beban ke orang yang lebih tua di sini. Kebijaksanaan orang dewasa mungkin satu-satunya harapan.

"Yaaah, kalau nggak ketahuan ya nggak masalah!"

Tapi si Ibu Kos malah berkata seenaknya....Selesai sudah.

Rambut acak-acakan, wajah penuh lingkaran hitam, pakai singlet lusuh dan celana pendek, sama sekali nggak ada wibawa. Dari tampilan seperti itu keluarlah kata-kata tak bertanggung jawab.

Inikah sosok yang disebut orang dewasa...? Meskipun sebenarnya aku sudah menduga, apalagi setelah tahu dia dengan seenaknya memberikan kunci kamarku ke orang lain. Saat aku mulai kecewa, aku menyadari ada yang aneh pada dirinya. Tubuhnya bergoyang tak stabil, pandangannya kosong.

"Tunggu sebentar. Jangan-jangan… kamu minum lagi dari pagi?"

Dia memang peminum berat. Lebih tepatnya, sudah kecanduan. Sering kali kalau muncul di hadapanku, wajahnya merah padam—seperti sekarang. Tapi jangan-jangan kali ini, benar-benar mabuk di siang bolong...?

"…Aku nggak minum, kok~"

Dia berkelit, dengan gaya imut yang sangat dipaksakan. Kalau tidak salah, dia sudah kepala tiga, kan. Rasanya makin miris saja melihatnya.

"Kan sudah sering kubilang, paling nggak minumlah di malam hari saja…"

"Ih, mana bisa. Orang dewasa tuh kalau nggak minum, nggak bakal kuat hidup, tahu."

"Meski begitu, nggak perlu sampai mabuk parah begitu juga, kan!"

"Naif. Kamu terlalu naif, Sumii-kun. Kalau belum sampai pingsan, itu namanya belum benar-benar minum."

Jangan pamer dengan wajah penuh bangga begitu, bu.

Aku pernah melihat orang yang tenggelam dalam minuman atau hal lain. Dari pengalamanku, jelas kebiasaan si Ibu Kos ini masuk kategori buruk. Meskipun begitu, aku masih menganggapnya sebagai orang yang berjasa bagiku. Jadi aku benar-benar berharap dia bisa berhenti.

"Sudahlah, lebih baik cepat bilang maksud kedatanganmu. Dan kamu juga, Tsuyuha… jangan bilang tujuannya cuma buat merusak liburan tenang aku."

Setelah obrolan melenceng jauh, akhirnya aku kembali ke inti.

Kenapa aku harus melewati hari libur yang berisik begini? Kalau si Ibu Kos, ya wajar—posisinya semacam wali kos, jadi sering mampir. Tapi Tsuyuha? Dia tinggal di tempat lain. Tak ada alasan buat sengaja datang ke sini.

Pasti ada keperluan. Kalau tidak, lebih baik kuusir.

"Oh iya! Aku hampir lupa!"

Tsuyuha menepuk tangannya.

"Jadi begini, akhir-akhir ini ada banyak fashion terbaru keluar, kan? Aku mau keliling ke beberapa tempat, jadi… aku butuh tambahan orang buat bantu-bantu~"

Dia bergoyang manja sambil melirik padaku.

Hoo, begitu rupanya.

"Jadi maksudmu aku dijadikan kuli angkut barang."

"Ih, jangan dibilang gitu dong! Kedengarannya aku nyuruh-nyuruh banget! Tentu saja bukan cuma-cuma kok. Kalau kamu mau ikut, sebagai imbalan kamu bakal dapat hak istimewa buat berpelukan mesra denganku—"

"Kutolak."

Tak ada sedikit pun keraguan.

"Haah!? Kenapa!? Ini kesempatan langka buat bisa bersentuhan denganku loh!?"

"Kesempatan paling nggak berguna sedunia. Kamu terlalu melebih-lebihkan nilai dirimu sendiri."

"Arrghh!! Dasar kamu, Sumito-kun!!"

Dengan dahi terpegang, Tsuyuha berlagak frustasi. Aku justru merasa aneh kalau dia benar-benar yakin aku bakal setuju.

"Haaah, Bu Kos!"

Mengabaikan rasa lelahku, dia menoleh cepat ke arah Ibu Kos.

Seakan memberi isyarat, "Sekarang giliran Anda!" Mungkin memang sudah direncanakan. Si Ibu Kos menggaruk kepala sebentar lalu membuka mulut.

"Yaaah, sebenarnya aku juga ada perlu sama Sumi, sih."

Entah kenapa wajahnya terlihat agak lebih sadar dibanding tadi.

"...Apa?"

"Bukan hal besar, kok. Aku cuma mau nitip kamu sedikit urusan."

Pelan-pelan, dia mengeluarkan sebuah kantong kertas berisi beberapa buku. Sampulnya polos tanpa tulisan, tapi entah kenapa memancarkan

kesan sangat berwibawa.

"Apa ini? Bukankah pemilik kontrakan bukan tipe orang yang rajin begitu?"

"Yah, sedikit sih~. Ini buku yang kupinjam di perpustakaan besar kota, dan aku baru ingat kalau hari ini batas pengembaliannya..."

"Ya ampun, tolong urus sendiri saja, dong."

"Ih, jangan dingin begitu! Aku ini juga lagi sibuk, tahu!"

Ketika aku mendorong balik kantong kertas yang disodorkan, dia malah menggenggam tanganku erat-erat sambil menempelkan diri dengan banyak sentuhan tubuh.

Sungguh menyebalkan. Bau alkoholnya juga sangat menyengat—jelas dia habis minum! Lagipula, wanita yang hanya tertarik pada minuman keras ini, buku macam apa sih yang akan dia baca? Novel pun bukan, album foto atau ensiklopedia juga pasti akan ia tertawakan dengan "nggak menarik, hahahaha." Sama sekali tidak bisa kubayangkan.

...Meskipun begitu, aku memang berutang budi padanya. Meski apartemen ini reyot, dia menyewakan kamar ini padaku dengan harga yang nyaris gratis. Aku bukan orang sepicik itu sampai-sampai menolak permintaan kecilnya.

"…Baiklah. Jadi cuma mengembalikan saja, kan?"

"Betul. Seperti yang diharapkan dari Sumi, sangat menolong."

Dengan gaya yang sopan, pemilik kontrakan itu mengucapkan terima kasih. Sungguh orang yang penuh tata krama.

Ya, kurasa sebenarnya dia memang serius dan bertanggung jawab.

Aku juga tahu bahwa di balik layar, dia sering mengurus banyak hal untuk kami. Kalau saja tidak ada urusan dengan minuman keras, beliau ini pasti orang yang benar-benar terhormat.

"Terima kasih banyak, ya!"

Begitu aku menerima kantong kertas itu, entah kenapa Tsuyuha juga ikut berterima kasih. Apa dia mengira aku juga bersedia jadi pengangkut barangnya?

Dia memang tadi sengaja mengarahkan obrolan ke pemilik kontrakan dengan nada "tolong sekalian, ya!", jadi mungkin dia pikir bisa ikut menumpang permintaan itu juga. Padahal aku sama sekali tidak menyetujuinya... tapi, yah, malas berdebat, jadi kubiarkan saja.

***

Tak lama kemudian, aku sudah berdiri di depan pintu keluar stasiun yang penuh sesak dengan orang.

Tujuanku sudah tercapai. Meski tidak seramai jam sibuk kerja, kereta menuju pusat kota tetap saja cukup padat, membuat suasananya agak sesak.

"Haaah… capeeek…"

Tsuyuha yang ikut menempel padaku di perjalanan, menghembuskan napas lesu dengan wajah pucat.

"Kamu tipe yang gampang mabuk kereta, ya?"

"Hmm… sedikit. Soalnya aku biasanya ke sekolah naik sepeda, jadi tidak terbiasa dengan kereta."

Memang benar, apartemenku dan rumah Tsuyuha lumayan berjauhan,

tapi dari rumahnya ke sekolah bisa ditempuh dengan sepeda. Makanya dia jarang naik kereta atau bus, dan tidak terbiasa dengan kendaraan yang penuh orang.

Tapi jujur, aku sedikit iri padanya. Bukan karena mabuk perjalanannya, tapi karena jaraknya yang dekat. Lebih hemat ongkos, dan sekolah yang dekat itu jelas lebih praktis. Buat orang sepertiku yang minim keuangan, itu kondisi ideal.

…Ya walau, jujur saja aku tidak punya tenaga atau semangat buat gowes sepeda tiap pagi. Lagi pula, kalau jarak dengan wali—pemilik kontrakan—terlalu jauh, nanti malah merepotkan kalau ada apa-apa.

"...Tapi dari nada bicaramu, sepertinya mabuk bukan penyebab utamanya. Jadi kenapa mukamu bisa sepucat itu? Apa kamu lihat sesuatu aneh dengan kemampuan tembus pandangmu?"

"Yaah, bisa dibilang begitu. Tepatnya sih ini. Ini nih."

Tsuyuha menunjuk matanya sendiri dengan wajah sebal.

"Soalnya kemampuan ini nggak bisa dikendalikan, jadi aku bahkan menembus badan kereta. Pemandangan terus berubah dengan cepat, jadi bikin kepala kacau dan melelahkan banget."

Sama sepertiku, dia juga seorang esper yang gagal. Kalau telepati milikku kadang aktif sendiri hingga pikiran orang lain masuk tanpa izin, kemampuan tembus pandangnya juga kadang berlebihan, menembus segala hal tanpa batas.

"Bisa nembus kereta juga? Sulit dibayangkan."

"Yah, sayangnya kamu nggak bakal pernah bisa paham. Pernah juga aku merasa berdiri di atas magma karena bahkan tanah pun ikut tembus pandang."

Itu menakutkan sekali. Entah kenapa dia malah tampak bangga, padahal jelas itu pengalaman yang tidak seorang pun ingin alami.

"Ya, jadi karena itu aku jadi kelelahan…"

Dengan nada lesu, Tsuyuha bersandar padaku.

"Hei, jangan nempel begini, panas tau."

"Ada gadis muda cantik yang lagi sakit begini, lho?"

"Jangan sebut dirimu cantik sendiri."

"Eeh, padahal kalau aku ngomong gitu biasanya semua orang senang… ah, oh, jadi begitu ya!"

Dia bergumam pelan lalu tiba-tiba seakan mendapat pencerahan, kemudian menatapku dengan senyum licik.

"…Tenang saja. Aku paham kok soal hal itu. Lagi pula, sekarang aku melihatmu sebagai kerangka tulang, jadi meski kamu lagi ‘berdiri’ pun aku nggak bakal tahu—hyan."

Sekejap kemudian, aku menepis tubuhnya dariku.

Dasar gila. Aku jadi terlihat bodoh karena sempat mendengarkan serius ucapannya. Sikapnya yang kelewat ringan itu hanya bisa membuatku benar-benar jengkel.

"Ya ampun, jahat banget sih, Sumito! Dasar kerangka!"

Dengan tangisan pura-pura yang berlebihan, Tsuyuha bersuara lantang. Suara nyaringnya itu malah membuat banyak orang menoleh ke arahku. Memalukan sekali. Saat ini aku benar-benar bersyukur kemampuan telepasi sedang dalam kondisi baik.

***

Aku datang ke perpustakaan kota. Sepertinya ini tempat yang dimaksud oleh Ibu Kos.

"Pengembalian buku, silakan."

"Baik, kami terima. Terima kasih banyak~."

Kantong kertas berisi buku yang dititipkan Ibu Kos langsung saja aku serahkan ke petugas resepsionis. Setelah menerimanya, ia membawa buku itu ke samping.

"……"

"……Apa ada keperluan lain?"

"Eh, ah… tidak. Terima kasih banyak."

Ternyata pengembalian buku sesederhana ini, ya.

Aku sempat menunggu karena mengira ada prosedur lain, malah dipandang dengan wajah seolah berkata "Apa-apaan orang ini." Padahal aku sampai bersikap terlalu kaku hanya karena permintaan Ibu Kos terasa agak bermakna… jadi memalukan.

Bagaimanapun juga, tujuan utamaku berhasil tercapai tanpa hambatan. Kalau semudah ini, seharusnya Ibu Kos mengurusnya sendiri saja. Tapi, yah, orang itu memang pemalas. Pergi ke tempat ramai seperti ini jelas terlalu merepotkan baginya. Meskipun begitu, aku pun sama saja, jadi jangan sampai kebiasaan itu menular padaku.

"……"

"……"

"…………"

Perpustakaan ini sunyi. Ada yang membaca, ada yang belajar, ada pula yang menatap layar komputer. Masing-masing sibuk dengan caranya sendiri, tetapi semuanya berusaha menjaga ketenangan.

Ahh, betapa nyaman. Semua ini berkat kedisiplinan para pengunjung, ditambah lagi telepasi sedang dalam keadaan OFF. Kalau tidak, biasanya kepalaku terasa seperti panggung konser.

Suara-suara aneh semacam "Kyeee!" atau "Uhyoo!" seringkali masuk begitu saja, membuatku tergoda ingin bertanya: "Sebenarnya buku apa yang sedang kau baca?"

Kalau saja di sekolah pun aku bisa mematikan telepasi seperti ini, pasti bisa jadi tempat pelarian yang bagus dari hiruk pikuk.

Eh, tapi kalau telepasi tidak aktif, bukankah aku tak perlu lari dari kebisingan? Bagaimanapun, mumpung ada kesempatan menikmati suasana tenang, mungkin lebih baik aku menjelajahi sekitar.

Perpustakaan ini cukup luas. Dari peta, sepertinya bahkan ada koleksi manga juga. Tentu saja tidak mungkin ada bacaan murahan seperti yang sering dibaca Kagura setiap homeroom, tapi paling tidak terlihat cukup beragam. Aku juga tidak membenci membaca tulisan panjang, dan toh aku tidak ada acara lain setelah ini, jadi bagus juga kalau berkeliling sebentar. Dengan pikiran itu aku mulai melangkah menuju rak buku. Saat itulah—

Sret.

Sebuah arus listrik seperti menyambar kepalaku.

『Ah, sampai sini saja rupanya. Tak kusangka heroine-nya meninggal… lanjutannya ada nggak ya?』

『Hee~ ternyata begitu. Ternyata drum chest-beat gorila bukan untuk mengancam.』

『Tunggu sebentar!? Jadi si tokoh utama yang kelihatannya cuma orang biasa ini sebenarnya eksperimen yang kabur dari organisasi rahasia musuh!?』

『Uhhhyoooo, gadis ini imut bangettttt!』

…Sial. Telepasiku mulai kacau lagi.

Suara hati para pembaca menyerbu dari segala arah. Masing-masing larut dengan buku di hadapannya, sehingga pikirannya penuh dengan cerita atau pelajaran yang sedang mereka tekuni. Meskipun ada juga yang kedengarannya tidak jelas apakah itu benar-benar membaca atau tidak.

…Haa. Begitulah telepasiku, persis seperti cuaca gunung: berubah-ubah tanpa bisa diprediksi. Tak ada pola yang bisa kutemukan, bahkan setelah lebih dari sepuluh tahun hidup dengannya.

Lebih baik aku pulang saja. Pulang dan tidur. Kalau telepasi sedang mengganggu, tidak ada solusi yang lebih baik daripada itu. Dengan hati muram, aku buru-buru keluar dari perpustakaan.

***

"Leeeemot! Sampai kapan kau mau membuat seorang gadis menunggu!!"

Begitu keluar dari perpustakaan, aku langsung bertemu monster. Ia menenteng beberapa tas belanja dari merek pakaian terkenal. Aroma kerepotan menyengat dari kejauhan.

▼ Pilihan Yonemine: Kabur dari Tsuyuha.

"Tunggu, kenapa kau kabur sih!"

Sayangnya, dia lebih cepat memotong jalanku. Dengan pipi

menggembung secara sengaja—terlalu dibuat-buat sampai kehilangan sisi manisnya—Tsuyuha menghadang di depanku.

"……Apa maumu."

"Apanya coba! Bukankah kita sudah sepakat kau akan jadi pembawa barangku!"

"Aku sama sekali tidak ingat pernah membuat perjanjian konyol seperti itu."

"Tapi kau tadi menerima titipan dari Ibu Kos kan! Jadi sekalian, dong!"

"Maaf, paket itu tidak termasuk layanan tambahan semacam ini."

"Ih, pelit sekali. Padahal aku sudah berniat membebankan semua barang belanjaanku lalu mengajaknya keliling shopping lima jam lagi."

"‘Sekalian’ yang kau maksud itu terlalu berlebihan."

Ketebalan muka gadis ini… terus terang, ada sisi yang patut dipelajari. Tentu saja, hanya sebagai contoh buruk.

"Haa… sungguh deh. Begitu keluar stasiun, kau langsung menghilang begitu saja. Kau ini kurang menonjol banget!"

"Halo? Bisa jangan menyelipkan hinaan begitu saja?"

"Benar kok, Sumito itu dari dulu memang paling cepat kabur. Setiap kali menghilang begitu saja, aku dan Ibu Kos sampai sering bertanya ke pos pencarian orang hilang, tahu!"

"Maaf, aku sama sekali tidak ingat pernah ada kejadian seperti itu. Bahkan aku tidak punya ingatan pernah jalan-jalan bersama kalian.

Karena memang kenyataannya, hal itu tidak pernah terjadi."

"Uwah, jadi tipe orang yang melupakan hal-hal yang tidak menguntungkan dirinya, ya."

"Mana ada untung-rugi dalam cerita karangan. Selama ini, selama aku menghabiskan waktu denganmu, nggak ada satu pun obrolan damai begituan."

"Benarkah?"

"Ya, sekalipun langit dan bumi terbalik."

"Eh~? Jadi waktu di bawah bulan purnama, kau bilang 'Hanya dirimu yang tidak akan kulepaskan' itu juga sudah lupa?"

"Kalau itu benar, berarti langit dan bumi terbalik terlalu jauh. Situasi macam apa itu coba."

"Iya, iya, aku ngerti. Jadi bawain ini."

Beberapa kantong belanja langsung didorong ke arahku. Kenapa aku jadi seperti pihak yang dibikin sebal di sini…

Dengan sedikit jengkel, aku melirik isi kantong-kantong itu. Pakaian. Pakaian lagi. Penuh sesak. Dari mana dia dapat uang buat memborong sebanyak ini? Jangan-jangan dia kerja part-time aneh-aneh.

"Lagian, bukannya kau bisa menembus lihat semuanya? Kenapa tertarik sama pakaian?"

"Sumito-kun ya… itu namanya nonsense. Benar-benar nonsense."

Aku hanya bertanya iseng, tapi dia malah menepuk dahinya berulang kali. Padahal dia bisa menembus bukan hanya pakaian, bahkan sampai

daging dan darah orang, terus apa yang menarik?

"Memang pakaian bisa tembus kelihatan. Tapi justru karena tidak kelihatan, orang-orang jadi terdorong. Bukankah begitu?"

"‘Bukankah begitu’ apanya…"

Bukankah hal semacam itu biasanya berlaku untuk sesuatu yang tersembunyi oleh pakaian?

Dasar acuannya: cewek sebangku dan monyet-monyet jantan sekelas.

"Selain itu," kata Tsuyuha sambil mengalihkan pandangan sedikit ke atas, lalu melanjutkan, "aku bukan cuma suka memakai, tapi juga suka melihat. Apa yang dipakai, cara memadukannya, bahan, warna. Dari pilihan itu, bisa kelihatan sedikit banyak: 'ingin dilihat seperti apa' atau 'sedang merasa bagaimana'. Itu semua nggak bisa diketahui dengan tembus pandang. Justru karena nggak bisa, jadi bikin penasaran, kan?"

Ia menghela napas pelan setelah berkata begitu.

Kurasa maksudnya dia ingin tahu sisi dalam manusia lewat pakaian. Jujur saja, aku ragu seberapa besar pakaian bisa memperlihatkan kepribadian seseorang. Apalagi aku bisa langsung baca isi kepala dengan telepati, jadi agak susah buatku untuk sepenuhnya paham.

Tetapi entah bagaimana, kata-katanya tetap tersisa di benakku—separuh masuk akal, separuh terasa mengawang. Ternyata Tsuyuha juga punya pemikiran yang lumayan mendalam.

"Selain itu, aku juga cuma pengin pakai yang lucu."

"Itu toh intinya! Padahal citramu sempat agak naik barusan."

"Sayang sekali. Kau telat jual, sudah lewat masa emas."

"Kalau begitu aku jual kosong saja."

"Dan jangan bikin aku bengong di sini dong, aku tadi sebenarnya mau ke toilet!"

Aku mana tahu. Lagian kau sendiri yang mulai dengan obrolan aneh tadi.

"Jadi, ini semua, tolong pegangin ya."

Seolah baru ingat, Tsuyuha melepas tas dari bahunya lalu mendorongnya ke arahku.

"Hah? Bawa aja sendiri."

"Ini barang baru, mana mungkin aku bawa ke toilet. Bisa kotor dong."

"Toilet kota kan cukup bersih. Atau jangan-jangan kau kayak anjing, nyiprat sembarangan?"

"Dasar bodoh! Bukan itu maksudku! Aku bilang udara kotanya kotor! Barang baru bisa tercemar, tahu nggak."

"Apa-apaan. Udara yang kita hirup sekarang juga udara yang sudah lewat pantat orang lain."

"Hiii… nggak punya perasaan sama sekali ya kamu."

Ia melotot padaku dengan tatapan merendahkan. Padahal kupikir sama saja intinya.

"Haa… pokoknya, ini, jagain ya!"

"Eh, dasar—!"

Tsuyuha menjatuhkan tas belanjanya di depanku lalu kabur menuju toilet. Nggak mau dibawa ke toilet, tapi ditaruh di lantai gini boleh?

Beda tipisnya aku sungguh nggak ngerti.

"Haa…"

Tapi dengan segini banyak barang yang ditinggalkan, jelas aku nggak bisa cuek. Dengan napas panjang, aku akhirnya duduk di bangku sambil membawa semua tas itu.

『Apa-apaan tuh, berantem ya?』

『Siang bolong ribut banget sih』

『Cowok itu parah banget sumpah』

Telepati langsung merespons.

Mungkin gara-gara interaksiku tadi dengan Tsuyuha, komentar-komentar sepihak mulai berdatangan masuk kepalaku. Makanya aku benci ke tempat ramai begini…

Omelan yang lahir dari hati orang kebanyakan biasanya lebih tajam dari pisau. Wajar sih, mereka bisa seenaknya tanpa perlu mikirin perasaan orang lain. Masalahnya, aku nerimanya langsung. Ujung-ujungnya aku sendiri yang down. Dan menyebalkannya lagi, nggak bisa nyalahin siapa pun. Orang normal mana ada yang percaya isi kepalanya bisa dibaca, palingan cuma teori konspirasi murahan.

…Tunggu. Jadi orang-orang tadi pada nyalahin aku? Apa mungkin nilai dan caraku beda dari orang kebanyakan? Aku sempat ciut begitu berpikir, ketika—

『Eh, itu tangannya digenggam paksa! Lapor polisi aja kali!?』

Hah? Apa itu barusan? Aku buru-buru menengadah, dan melihat orang-orang menatap ke arah lain. Ternyata komentar itu bukan soal aku. Syukurlah, tapi juga agak malu karena sempat GR sendiri……tapi tunggu. Jadi ada apa sebenarnya?

Jarang-jarang ada pertengkaran cowok-cewek di jalanan ramai. Aku pun ikut mengarahkan pandangan ke sumber keributan, sama seperti kerumunan lain. Dan benar, sesuai yang telepati tunjukkan—di sana ada sepasang laki-laki dan perempuan yang bersitegang.

Dua pria: satu gemuk besar dengan wajah seram, satu lagi kurus tinggi dengan gaya sama-sama berandalan. Mereka berdiri menghadang seorang perempuan berambut panjang hitam.

Perempuan itu sangat cantik. Bertubuh tinggi dan ramping, dan meskipun diganggu oleh pria-pria macam itu, ia tetap tidak mengangkat alis sedikit pun, sikapnya tenang dan tak tergoyahkan…

"...Kagura?"

Tidak salah lagi, itu adalah gadis yang duduk di sebelahku di kelas.

Jarang ada orang dengan ekspresi sekaku topeng noh begitu, jadi jelas itu dia. Begitu kusadari bahwa seorang kenalan sedang diganggu, perasaan bingung langsung mendominasi.

Kenapa dia ada di sini? Ya, tentu saja Kagura juga bisa jalan-jalan. Lagian, ini bukan daerah terpencil, melainkan kawasan ramai. Tapi kenapa dia sampai diganggu orang-orang itu? Apakah karena coba-coba diajak kenalan? Atau wajah datarnya disalahartikan sebagai tatapan menantang…? Tidak, penyebabnya tidak sepenting itu sekarang.

A-apa yang harus kulakukan? Lalu, kenapa tidak ada yang menghentikan mereka? Dari sudut mana pun dilihat, ini jelas-jelas kasus pelecehan. Ada yang hanya melirik lalu lewat begitu saja, ada yang sekadar berpikir "ini bahaya" sambil diam-diam mengarahkan kamera ponsel, ada juga yang menatap dengan rasa ingin tahu. Dan aku sendiri pun… hanya menjadi Penonton C.

Aku tidak tahu cara yang cerdas untuk menyelesaikan situasi seperti ini. Ponsel sudah kugenggam untuk berjaga-jaga, tapi bahkan aku tidak tahu harus menggunakannya bagaimana.

Mungkin saja… sebenarnya mereka hanya sedang bercanda akrab? Ketika sedikit rasa keadilanku mulai teraduk… saat itu juga,

『...Seram.』

Sebuah bisikan lirih, nyaris seperti isakan yang tertahan, menyelinap masuk.

Orang-orang di sekitar tidak menyadarinya. Karena itu bukan suara biasa, melainkan sesuatu yang hanya bisa kutangkap dengan sifat aneh yang kumiliki. Ratapan hati yang tersembunyi di balik wajah tanpa ekspresi gadis itu.

"...Hei, kalian. Tenang sedikit, deh."

Dalam sekejap, aku sudah berdiri di tengah pusaran kejadian itu.

***

"Hah?"

Tahu-tahu, di sana sudah ada seorang pemuda. Orang-orang yang mengamati situasi itu tampak kebingungan.

Sebelumnya sama sekali tidak terasa ada kehadirannya. Tapi dalam sekejap mata, dia sudah berada di sana, memegang lengan pria yang sedang mendekati siswi SMA itu, menatap dengan sorot mata yang sebenarnya tidak terlalu menakutkan.

Justru karena pemuda itu sama sekali tidak menunjukkan ciri mencolok, suasana jadi makin terasa aneh. Pria-pria berandalan itu melotot curiga ke arah pemuda yang tiba-tiba muncul.

"Siapa lu?"

"Bukannya apa-apa. Cewek ini kelihatannya ketakutan, jadi mending kalian berhenti."

"Hah, sok jadi pahlawan? Gaya juga, ya."

Si gendut mendengus, sementara si kurus tersenyum menyeringai.

Namun pemuda itu tetap tersenyum tipis, tanpa mengubah ekspresi.

"Yo, Yonemine—"

Gadis yang tadi ditekan hendak bicara, tapi pemuda itu mengangkat tangan ke arahnya, seolah memberi isyarat "serahkan padaku."

"Kalau aku pahlawan, berarti kalian sadar kan kalau yang kalian lakukan mirip penjahat?"

"Ya, kami sadar kelihatan sangar, kok. Tapi tenang aja. Kami cuma lagi ngobrol sama cewek ini, gitu doang."

"Betul, cuma semacam ngajak kenalan aja. Jadi jangan pasang muka serem gitu. Lagi pula, di sekitar sini juga banyak orang berbahaya. Kalau cowok kurus kayak lu sok jagoan begini, bisa-bisa babak belur, tahu?"

Mereka semakin mendekat, nada suara dibuat menekan, penuh provokasi. Si kurus merangkul bahu pemuda itu, sementara si gendut terang-terangan melayangkan tinju di udara.

"Ah, iya juga. Katanya daerah sini emang rawan, ya."

Pemuda itu mencondongkan berat badan ke satu kaki, pura-pura berpikir sambil mengusap dagu. Lalu, ia menyipitkan mata dan menyeringai.

"...Katanya orang-orang kuat kayak kalian pun pernah dipaksa sujud minta ampun, kan?"

Alis para pria itu berkedut.

"Apa maksud lo?"

"Eh? Salah ya? Soalnya aku dengar ada yang begitu, sekitar dua minggu lalu. Tempatnya… di parkiran agak jauh dari stasiun. Katanya ada yang sampai sujud minta maaf gara-gara godain pacar bos geng preman? Hahaha, parah banget kan? Malu-maluin. Dan sekarang kalian masih nggak kapok juga."

Ucapan tanpa konteks itu disusul tawa lepas pemuda tersebut. Di mata orang awam, itu jelas perilaku aneh. Tidak masuk akal. Tapi wajah kedua pria itu perlahan memucat.

"Eh, ehem. Yah, kalau bukan kalian ya nggak apa-apa. Cuma cerita aja sih. Tapi kalian juga hati-hati, ya? Kalau sering godain cewek begini, bisa-bisa nginjek ranjau berbahaya."

"Lu…!!"

"Ugh, jangan terlalu sok jago, deh. Begini aja udah ketahuan, makanya pacar lu ninggalin."

"Apa!? Dasar brengsek!"

Tinju terayun. Ketegangan langsung meledak, membuat keramaian sekitar gaduh.…Tapi pemuda itu tetap tenang, bahkan tersenyum tipis.

"Ya, lu boleh aja mukulin gue. Tapi kupikir, yang lebih pantas dipukul tuh dia."

Ia menunjuk ke belakang dengan ibu jari—ke arah si kurus yang masih merangkulnya.

"Ha!? G-gue!? Bukan gue, sumpah!!"

"...Brengsek, lu!"

"Nggak, nggak! Gue serius! Itu cuma omong kosong dia!"

"Lagian, katanya lu sendiri yang bilang, 'mendingan sama gue aja ketimbang sama dia,' waktu deketin cewek itu."

"Brengsekkkkk!!"

"Uwaaahhh!?"

Si gendut berteriak. Si kurus langsung kabur.

Seperti kucing dan tikus entah dari mana, keduanya berlarian kejar-kejaran hingga akhirnya lenyap dari pandangan. Suasana di sekitar terdiam, penuh dengan kebingungan seolah-olah semua orang berkata, "Apa barusan yang terjadi?" Dan ketika sosok kedua pria itu benar-benar menghilang, barulah keadaan bisa dibilang mereda.

"...Hah... fuh."

Tubuh yang tadinya tegang karena berhadapan dengan orang-orang yang mengumbar kekerasan akhirnya sedikit mendingin. Pemuda itu mengusap keningnya, mengernyit kesal, lalu menoleh ke arah gadis yang tadi ia bela.

"Ah... kau tidak apa-apa? Sebenarnya aku harusnya muncul lebih cepat—eh?"

Suara keheranan lolos begitu saja dari bibirnya. Bahkan saat berdebat dengan para pria itu, dia tidak menunjukkan kegelisahan seperti sekarang. Semua itu karena apa yang ada di depan matanya benar-benar jauh dari perkiraannya.

"Kagura... kau menangis?"

Dari mata gadis itu—Kagura—tetes demi tetes air mata mengalir jatuh tanpa henti.

***

Otak manusia itu punya sifat unik. Begitu mendengar sebuah kata tertentu, ia akan secara otomatis menarik ingatan terkait dari dalam memori.

Terutama hal-hal yang dianggap sebagai kompleks atau beban batin—kata-kata sederhana bisa saja menjadi pemicu berantai hingga sampai pada memori tertentu.

Begitulah para pria tadi. Kata "lingkungan yang rawan" tanpa sadar menyeret kembali ingatan mereka tentang kejadian saat dipaksa berlutut minta ampun. Aku hanya membacanya lewat telepati, lalu mengulanginya dengan sengaja.

Jujur, itu cukup menguras tenaga. Tapi berkat itu mereka lumayan ketakutan. Kalau dipikir-pikir, bagi orang yang sama sekali tidak tahu apa-apa, tingkahku pasti terlihat menyeramkan—karena rasanya seperti isi kepala mereka terbaca habis. Yah, sakit kepala yang kurasakan tadi terbayar juga. Mungkin memang lebih baik kalau tadi aku langsung telepon polisi.

"Ehoh... kohok..."

"...."

Dan begitulah, setelah keributan mereda, aku lagi-lagi tidak tahu harus berbuat apa.

Di sampingku, Kagura masih terus menangis, air matanya mengalir deras tanpa henti.

Saat pertama kali melihatnya, aku sampai terkejut. Mungkin tangisannya tidak sampai sesenggukan hebat, tapi mengingat wajah datar bagaikan topeng besi yang selalu ia tunjukkan selama ini, ekspresi wajah yang begitu terdistorsi saja sudah terasa sangat menggetarkan.


Mengatakan "kenapa bisa jadi begini…" rasanya terlalu jelas alasannya.

Kagura memang seorang gadis dengan isi kepala penuh pikiran merah jambu, tapi bukan berarti ia seorang penyimpang jalanan yang benar-benar mesum. Didekati oleh dua orang pria asing, sampai tangannya pun digenggam, mana mungkin tidak merasa takut. Tentu saja, tidak akan berubah jadi adegan manga cabul, jadi air matanya sekarang bukanlah hal yang aneh.

Sempat terpikir olekku, "apa jangan-jangan dia malah senang?" tapi sungguh aku harus meminta maaf dalam hati. Bagaimanapun, melihatnya seperti itu tentu aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja, jadi aku tetap berada di sisinya…

『Wah, ribut-ribut pasangan pacaran nih.』

『Hei, lihat tuh, pacarmu sampai nangis loh?』

『Hah? Gimana sih, bikin cewek secantik itu sampai nangis?』

Entah kenapa, aku justru menerima cercaan dari orang-orang yang lewat. Sepertinya karena kami berdiri berdua, mereka salah paham mengira kami pasangan kekasih. Dan sekarang skenarionya adalah aku yang membuatnya menangis.

Yah, toh tak ada yang benar-benar melihat semua kejadian dari awal, dan aku juga tidak terlalu rapuh hanya karena bisik-bisik orang lewat. Tapi tetap saja… tidak bisa kuterima.… Lebih penting, dalam situasi ini, apa yang seharusnya kulakukan?

Kalau dipikir-pikir, aku hampir tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan Kagura. Yang kulakukan hanya mengintip pikirannya lalu terkejut sendiri, di luar pelajaran kami hampir tidak pernah berbincang. Dan aku juga bukan tipe pria yang bisa dengan cepat mengeluarkan kata-kata yang tepat dalam situasi seperti ini.

“Umm… sedikit tenang sekarang?”

Akhirnya aku hanya bisa mengeluarkan sapaan seadanya. Kagura menggosok-gosok matanya dengan lengan bajunya, berusaha menjawab, tapi suaranya tidak terbentuk. Bahkan suara hatinya pun sekarang tidak bisa kudengar dengan jelas.

『*************』

Yang ada hanyalah arus deras emosi yang kacau, tak bisa dipahami sepenuhnya. Manusia itu bisa memikirkan dan merasakan banyak hal sekaligus. Apalagi dalam keadaan panik seperti dirinya sekarang, berbagai emosi bermunculan, saling tumpang tindih, hingga tak bisa lagi disatukan.

Begitu juga dengan pria kurus tadi. Ketika aku mengungkap soal dirinya yang merebut pacar si gendut, pikirannya langsung jadi berantakan seperti "akjhfkasdhfksjhf" begitu. Memori dan perasaan saling bersilangan di dalam kepala, ya kira-kira seperti itu.

“Maaf… aku tidak bermaksud sampai jadi seperti ini.”

“…Yah, aku tidak masalah kok.”

Setelah badai batin itu agak reda, Kagura akhirnya bicara. Nada suaranya kembali datar seperti biasanya, meski jelas masih terdengar bergetar karena sisa tangisan. Ia mengambil botol air mineral yang tadi sempat kuberikan, lalu meneguknya.

“…Aku tidak terbiasa dengan laki-laki.”

Ia mulai bercerita pelan.

“Waktu SMP aku sekolah di khusus perempuan, jadi selain ayahku aku hampir tidak pernah berinteraksi dengan laki-laki. Memang salah satu alasan aku masuk SMA campuran adalah supaya terbiasa dengan lawan jenis… tapi ternyata gagal. Beberapa bulan berlalu, tetap saja aku tidak bisa berbicara dengan baik, tidak juga terbiasa. Tadi pun aku tidak bisa melakukan apa pun…”

Sambil menghela napas, ia menundukkan pandangan. Ternyata Kagura memang lulusan sekolah khusus perempuan. Yah, memang terlihat jelas kalau ia terlalu sensitif terhadap laki-laki.

“Karena itu… aku sangat terbantu saat Yonemine-kun menolongku.”

“Tidak usah terlalu formal begitu. Aku kebetulan lewat saja kok.”

Ia membungkuk dengan sopan, membuatku jadi agak panik.

“…Kenapa Yonemine-kun mau menolongku?”

“Kenapa, ya… tidak ada alasan khusus, sebenarnya.”

“Tapi kan bisa saja kamu mengabaikan, seperti orang lain.”

“Tidak, kalau pura-pura tidak lihat rasanya tidak enak banget…”

Sebenarnya tadi aku juga agak ragu-ragu… tapi itu tak bisa kuucapkan. Lagipula waktu itu Kagura tetap memasang wajah datar, sehingga aku—sama seperti orang-orang yang menonton dari jauh—sempat berpikir, “mungkin dia masih baik-baik saja?” Dari sudut pandang tertentu, ia memang terlihat tangguh.

Dalam hal ini, bisa dibilang kemampuan telepati yang merepotkan itu justru sedikit berguna. Tapi tentu saja aku tidak bisa bilang jujur, “soalnya aku membaca isi pikiranmu dengan telepati!” Jadi…

“…Mungkin karena wajahmu terlihat seperti sedang ingin ditolong?”

Entah kenapa kalimat yang keluar justru terdengar seperti gaya pria sok keren.

“──…Begitu.”

Ia hanya melirikku sebentar, lalu diam. Sunyi pun menyelimuti kami berdua. Apa dia tidak puas dengan jawabanku? Memang sih agak garing, tapi setidaknya kan bisa ada respons lain. Malah aku jadi malu sendiri. Namun, aku tidak berniat mengorek pikirannya untuk tahu alasan di balik diamnya itu. Karena sekarang aku benar-benar tidak ingin terlalu memikirkan soal kemampuan ini.

“Haa…”

Aku menghela napas berat, seperti mengeluarkan rasa lelah.

“…Umm, kamu tidak apa-apa? Dari tadi wajahmu kelihatan lelah.”

“Ah, iya… yah, rasanya seperti anemia saja.”

Menggunakan telepati secara sadar membuat otakku terkuras.

Biasanya aku menyaring semua suara itu jadi seperti kebisingan, tapi sebenarnya informasi yang datang itu luar biasa banyaknya—sampai-sampai rasanya kepala mau pecah. Mencoba menyaring dan mengambil informasi penting saja sudah cukup menguras tenaga.

Jadi, setelah memaksakan diri memanfaatkan kemampuan itu untuk mengusir para berandalan tadi, sekarang aku menderita sakit kepala yang lumayan parah.

“…Pokoknya, lain kali hati-hati kalau ada orang mencurigakan. Meminjam kata-kata mereka tadi, memang daerah ini agak sering jadi tempat nongkrong orang aneh.”

Kulihat Kagura sudah lumayan tenang, hampir kembali seperti biasanya. Kupikir ia sudah tidak perlu lagi kutemani, jadi aku menutup pembicaraan dengan peringatan sederhana lalu berdiri dengan langkah gontai.

“Kalau begitu… sampai ketemu di sekolah.”

“Tunggu dulu. Kamu benar-benar mau pulang dengan kondisi seperti itu?”

Nada suara Kagura kali ini jelas-jelas berusaha menahanku. Aku mencoba berdiri seolah tidak terjadi apa-apa, meski sebenarnya tubuhku masih limbung. Tapi tatapan matanya menembus, seakan tidak membiarkan alasan sekecil apa pun lolos.

“Tidak apa-apa… aku cuma naik kereta dan pulang kok. Istirahat sebentar juga bakal cukup.”

"Walaupun kamu bilang begitu, wajahmu kelihatan lebih pucat daripada tadi. Hanya berjalan beberapa menit sampai stasiun, lalu naik kereta, kemudian jalan lagi... apa kamu benar-benar baik-baik saja?"

"Ya… sekitar empat puluh sampai lima puluh menit juga sudah sampai…"

"Tapi untuk kondisimu sekarang, bukankah itu cukup lama?"

…yah, memang benar juga. Meskipun aku sudah bilang begitu, sejujurnya aku tidak bisa menyangkal kalau aku sedikit tidak yakin.

Kepalaku berdenyut hebat karena terlalu banyak menggunakan telepati, bahkan pandanganku agak kabur. Kalau sampai jatuh dan kepalaku terbentur, itu tidak akan bisa ditertawakan.

"Tapi meskipun begitu… di sekitar sini juga tidak ada tempat untuk beristirahat, dan aku juga tidak punya uang…"

Kalau ini hanya pingsan biasa karena kurang darah, mungkin cukup duduk di bangku atau di kafe sebentar, lalu kondisi bisa membaik. Tapi sayangnya, ini bukan masalah umum seperti itu. Hanya berada di tempat ramai saja, saat ini aku lebih memilih untuk tidak terlalu lama menetap.

"…Kalau begitu," ucap Kagura, menghentikan perkataannya sejenak.

Lalu, dengan nada pelan dan tenang ia melanjutkan,

"Bagaimana kalau… ke rumahku?"

…!????!????!????!?

"Eh, apa? Tunggu, apa?"

"Rumahku tidak terlalu jauh dari sini. Hari ini ibuku pulang terlambat, ayahku juga sedang dinas ke luar kota. Jadi menurutku lebih baik kamu istirahat sebentar di sana, baru pulang."

Kagura mengatakan itu dengan nada biasa saja. Kalau aku tidak salah dengar karena pikiranku sempat penuh tanda tanya, memang begitulah yang dia ucapkan.

Apa dia serius? Maksudku, mengajakku ke rumah… padahal hari ini juga pertama kali kami benar-benar ngobrol. Dan alasan yang dia berikan pun aneh sekali. “Soalnya orang tua nggak ada di rumah.”

Itu terdengar terlalu… aneh.

"Nggak, itu agak keterlaluan deh…"

"Yah, aku tidak memaksa. Tapi sebagai bentuk terima kasih karena kamu sudah menolongku, aku ingin begitu."

Ia mengatakannya dengan wajah serius. Tetap tanpa ekspresi, tapi ada semacam ketulusan yang terlihat jelas.

Kenapa? Kenapa justru dia tidak menunjukkan pikiran-pikiran merah jambu di sini? Kalau bukan sekarang, kapan lagi dia mau menunjukkannya?

"Orang yang sudah menolongku terlihat sakit begini, mana mungkin aku bisa membiarkannya begitu saja. Setidaknya biar dia bisa berbaring sebentar…"

Aku mencoba mendengar suara telepatinya, tapi sama sekali tidak ada maksud yang tidak murni. Malah pikirannya bening, saking beningnya seperti sungai yang mungkin ada iwama berenang di dalamnya.

…Apa jangan-jangan aku yang salah? Apa aku justru sudah terbawa oleh Kagura, sampai jadi lebih merah jambu daripada Kagura sendiri?

"Kalau tetap tidak mau, maka…"

"Nggak, iya, baiklah. Tapi cuma sebentar. Begitu aku merasa baikan, aku langsung pulang."

"…Ya. Itu lebih baik."

Melihat ekspresinya yang sedikit sedih, aku buru-buru mengangguk. Lalu Kagura pun tersenyum lembut, tanpa sedikit pun menunjukkan maksud tersembunyi.

…Serius? Benar-benar tidak ada maksud apa-apa?

Entah kenapa, aku merasa kalah. Seperti… muak dengan diriku sendiri. Salah paham terhadap ketulusan Kagura, dan panik sendiri menghadapi ajakan dari si “alien otak merah jambu” itu.

『Bukan sesuatu yang istimewa sih, tapi paling tidak aku bisa menawarinya teh dingin. Untuk berbaring, mungkin sofa itu cukup…』

Telepati Kagura dipenuhi dengan semangat pelayanan dan ketulusan untuk menjamu. Entah kenapa, dibanding saat aku mengira dia itu manusia dengan otak penuh khayalan merah jambu, aku jadi semakin tidak mengerti tentang sosok yang bernama Kagura ini…



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close