NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dare mo ga Urayamu Tonari no Cool Bishoujo, Jitsu wa Nounai Pink Sugiru Vol 1 Chapter 1

Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 1

Khayalan Pink yang Kesekian Kalinya

Pelajaran berlangsung dengan tenang.

Guru matematika menuliskan rumus dan soal di papan tulis, sementara para murid menyalinnya ke dalam buku catatan masing-masing. Sebagaimana layaknya salah satu sekolah unggulan di prefektur ini, murid-muridnya terkenal rajin dan tekun.

Dengan kondisi seperti ini, rasanya para guru pun bisa berharap dengan penuh percaya diri bahwa prestasi kelulusan tahun ini akan kembali memecahkan rekor.…atau lebih tepatnya, bukan hanya “rasanya,” memang benar begitu adanya. Namun, bagaimanapun juga… kami baru kelas satu. Meskipun wajah kami terlihat serius, bukan berarti isinya juga sejalan dengan itu.

『Istirahat siang nanti makan apa ya? Katsu kare? Atau soba? 』

『Aduh, penghapusku jatuh. Jauh banget lagi… males ngambil. 』

『Ngantuk. Pengen cepat pulang. 』

Berbagai pikiran kecil dan remeh berseliweran di udara. Kelas yang seharusnya hanya dipenuhi suara lembaran kertas dibalik dan pena berlari di atas kertas, bagi diriku justru terdengar bagaikan hiruk pikuk festival musik.

(Haaah… sepertinya hari ini salah satu hari burukku.)

Aku memiliki kemampuan aneh: “membaca pikiran orang lain.”

Kalau hanya mendengar itu, mungkin terdengar sangat berguna. Tapi kenyataannya, tidaklah sesederhana itu. Kemampuan yang bisa disebut “telepati” ini tidak bisa kukendalikan. Tidak ada tombol ON/OFF yang bisa kuatur, ia hanya mengalir begitu saja.

Aku juga tidak tahu kapan tepatnya kemampuan itu akan aktif. Kadang muncul begitu saja tanpa peringatan, kadang seharian penuh sama sekali tidak terdengar.

Hari ini, sejak pagi sebenarnya baik-baik saja, tapi entah kenapa sekarang telepati ini tiba-tiba aktif.

Hari seperti inilah yang kusebut “hari buruk.” Karena sifat menyusahkan ini, aku benar-benar membenci kemampuanku sendiri. Aku kerap tanpa sengaja membongkar rahasia orang lain dan merasa canggung karenanya, bahkan sampai melihat sisi gelap orang lain yang membuatku gampang jadi curiga terhadap manusia.

Satu-satunya saat aku merasa telepati ini benar-benar bermanfaat hanyalah ketika main kartu “babanuki” atau saat berebut puding sisa dengan suit.

…Meski begitu, karena sudah bertahun-tahun hidup dengan kemampuan ini, aku setidaknya sudah belajar cara untuk “mengabaikan” suara-suara itu. Dengan sengaja tidak memberi perhatian, aku bisa menjalani hari-hari secara normal.

──Namun, tetap saja ada beberapa pikiran yang mustahil untuk diabaikan. Dan yang paling menyulitkan bagiku… adalah keberadaan gadis yang duduk di sebelah kiri bangkuku.

『Matematika itu ternyata… erotis sekali, ya…』

(Apa yang dia katakan barusan…?)

Mendengar pikiran itu, aku hanya bisa merasakan keheranan murni seratus persen. Aku melirik ke kiri dengan hati-hati agar tidak ketahuan. Di sana, ia duduk dengan wajah tenang menatap papan tulis.

…Kagura Rio. Cantik. Pintar. Konon juga cukup pandai dalam olahraga.

Tidak suka bergaul ramai, jarang mengekspresikan perasaan, dan oleh teman-teman sekelas sering dijuluki “gadis cantik yang dingin” atau “bunga di puncak tebing.”

Bahkan aku sendiri belum pernah melihatnya bercampur dalam pergaulan atau menunjukkan ekspresi yang berarti. Namun, jika seseorang mengetahui isi kepalanya, bayangan gadis sempurna itu pasti akan runtuh seketika.

『Lihat deh angka ‘8’ ini. Pinggangnya ramping, lalu lekukan yang berani ke bawah… ini jelas sosok kakak perempuan bertubuh glamor. Sedangkan angka ‘1’ di sebelahnya, tubuh ramping bak model. Kesan kalemnya juga bagus sekali…"

Itulah dirinya yang sebenarnya: seorang “alien pikiran pink” yang otaknya dipenuhi imajinasi cabul lebih parah daripada remaja laki-laki puber yang sedang memuncak nafsunya.

Di luar, ia tetap dengan wajah datar bak topeng noh. Tapi di dalam, pikirannya dipenuhi khayalan-khayalan yang membuat tubuhku gatal hanya dengan mendengarnya.

『Pi (Ï€) itu, dari namanya saja sudah terdengar… ya, begitu deh. 』

Aku benar-benar penasaran, kira-kira otot wajah macam apa yang dia punya sehingga bisa tetap tanpa ekspresi seperti itu.

Awalnya aku sampai curiga jangan-jangan dia punya gangguan mental, tapi nyatanya tidak ada tanda-tanda seperti itu. Hari demi hari ia hanya asyik berkhayal tentang hal-hal yang memalukan dengan penuh semangat. Sepertinya, inilah kondisi normal Kagura.

『Lengkungan grafik sinθ dan cosθ itu kan hampir sama dengan lekuk pinggang. Naik-turun secara periodik… benar-benar seperti sebuah pelukan penuh gairah──』

Dulu, saat pertama kali melihatnya, jujur saja aku juga sempat merasa kagum. Tapi kini bagiku, dia hanyalah “perempuan cabul yang menyiarkan khayalan vulgar secara terbuka” lewat pikirannya.

Orang sering bilang, “diam-diam itu cantik.” Tapi untuknya, istilah yang lebih tepat adalah “kalau pikirannya kosong, barulah cantik.”

Ya, memang masalah ini timbul karena aku bisa mendengar pikirannya. Namun tetap saja, rasanya ia bisa sedikit lebih… sopan.

『Ah, tapi kalau dipikir-pikir, persamaan paling luar biasa itu adalah metode substitusi. Soalnya memasukkan angka ke dalam x itu kan… hampir sama dengan penyisipan──』

Sungguh, apa yang sebenarnya dia pikirkan sejak tadi!?

Meski berusaha untuk tetap tenang dan mengabaikannya, tetap saja suara pikiran itu menyerbu otakku tanpa ampun, seperti bebek yang dipaksa dijejali makanan di pabrik foie gras.

Aku bahkan mulai merasa perutku mual. Dan serius, bagaimana bisa seseorang menemukan unsur seksual di dalam matematika!? Hal-hal yang mungkin hanya dipikirkan anak SMP yang iseng, dia ucapkan dengan wajah super serius seperti itu…

Apakah tidak sudah agak terlambat untuk menolongnya…? Boleh saja dia menunjukkan bakat dalam pelajaran atau olahraga, tapi terus terang aku berharap dia tidak perlu juga terlihat berbakat dalam hal itu.

(Tenang, tenang. Mendengarnya memang tidak bisa dihindari, tapi kalau aku abaikan, pasti bisa kujalani…)

Aku menggelengkan kepala, mencoba menyemangati diriku sendiri. Aku hanyalah seorang siswa laki-laki yang sehat dan rajin. Tidak ada waktu untuk mengurusi isi kepala seorang gadis dengan pikiran Pink seperti ini. Aku harus maju terus setiap jam dan setiap menit demi persiapan ujian.

Yah, kalau aku mau, sebenarnya aku bisa saja menyontek sepuasnya dengan telepati ini…tapi akulah yang bersumpah untuk tidak bergantung pada kemampuan curang itu, agar bisa membuktikan bahwa tanpa telepati pun aku bisa melakukannya.

Kalau begitu, tidak sepantasnya aku sibuk mendengarkan “ajang pengumuman hasrat rahasia” yang dipentaskan oleh si gadis cantik dan dingin itu. Aku menarik kembali konsentrasi dan menatap papan tulis di depan…namun yang kulihat bukanlah apa yang kuharapkan.

Yang ada hanyalah seorang wanita berwajah mozaik dan seorang pria berwajah mozaik yang tengah berpelukan penuh gairah di depan guru matematika botak itu.

『Ayo, datanglah. Masukkan dirimu ke dalam diriku?』

『Tentu saja. Mari kita ciptakan jawaban dengan X milikmu dan milikku.』

…Kalau intensitas telepati terlalu kuat, ia bisa menjadi terlihat.

Seperti hologram tiga dimensi, bayangan itu muncul di hadapanku, menampilkan visualisasi dari imajinasi seseorang.

Tentu saja itu tidak berarti benda nyata benar-benar ada di situ. Kalau ada yang berimajinasi tentang teroris menyerbu kelas dan divisualisasikan, bukan berarti peluru atau bom sungguhan akan beterbangan, dan orang lain pun tidak bisa melihatnya. Tidak ada yang benar-benar berinteraksi dengan kenyataan.…tetapi bagaimanapun, aku sendiri tetap saja terkejut dibuatnya.

“Uwaaah!?”

Aku berseru spontan, tubuhku terhempas ke belakang. Kursi berderit keras saat terseret mundur. Sadar bahwa suara yang kubuat terlalu keras, aku buru-buru menutup mulutku, tapi sudah terlambat.

Tapi… tolonglah, siapa pun pasti akan bereaksi begitu. Bayangkan tiba-tiba dipaksa menonton video dewasa dengan editan murahan. Reaksi orang normal hanya ada dua: membeku tanpa kata, atau kaget dan bersuara. Aku kebetulan termasuk yang kedua.

…Masalahnya, tak ada seorang pun yang mungkin bisa memahami situasi aneh yang kualami ini.

“...Ada apa, Yonemine. Kenapa ribut sekali?”

Di balik pasangan mozaik yang tengah asyik berciuman, tampak wajah guru botak itu menatapku dengan curiga.

Terus terang, gambar yang terlalu kuat itu membuat sulit bagiku mendengar perkataannya dengan benar, tapi kalau aku tidak memberi penjelasan, aku bisa dicap sebagai pengacau kelas yang tiba-tiba berteriak tanpa alasan.

“Eh… itu… barusan ada serangga terbang di depan mata saya, gitu.”

Aku tahu itu alasan yang payah. Tapi kalau kukatakan yang sebenarnya, aku pasti langsung diseret ke ruang bimbingan atau ruang kesehatan.

…Sayangnya, kebohongan jelas-jelas itu malah membuat dahi guru berkerut semakin dalam.

“Kalau begitu, dengan kepala yang segar itu, coba kerjakan soal di papan ini.”

Dia mengetuk papan tulis dengan kapur, nada suaranya penuh sindiran. Sudah jelas aku yang tadi melamun tidak akan bisa menjawab.

Sial… guru ini memang agak menyebalkan sifatnya.

“Haa… dengarkan baik-baik pelajaran berikutnya. Dan duduk diam. Kamu juga, Kagura.”

Setelah menegurku yang terbata-bata, tatapan guru beralih ke gadis di sebelahku, Kagura. Padahal dialah dalang semua khayalan merah muda ini. Kupikir dia akan panik tidak bisa menjawab soal…

“──Jawabannya ini.”

“Benar. Seperti biasa, kau memang terbaik di sekolah ini.”

Suaranya sama sekali tanpa ragu.

“Wah…” terdengar suara kagum dari teman sekelas.

…Hei, tunggu. Bagaimana mungkin dia bisa menjawab padahal tadi larut dalam khayalan begituan? Apa otaknya dipakai untuk menghitung dengan satu sisi dan berfantasi dengan sisi lainnya? Itu keterampilan paralel yang keterlaluan!…Sungguh menjengkelkan.

Kagura selalu menampilkan khayalan erotis gila-gilaan di tengah pelajaran, tapi tetap konsisten berada di peringkat atas.

Benar-benar bikin kesal. Mungkin dia rajin belajar mati-matian di rumah, tapi tetap saja, aku jadi berpikir: “Masa aku kalah nilai dari orang seperti ini…?”

『Setiap kali kulihat, guru itu sepertinya cocok juga untuk jadi aktor…』

Begitu selesai menjawab soal, tanpa jeda, Kagura kembali melanjutkan alur khayalan merah mudanya. Dan lagi-lagi ia menyambungkannya ke arah yang paling buruk yang bisa dibayangkan.

Tolonglah, berhentilah bicara seperti orang yang sudah melewati batasan usia.

(Sial! Tenang… aku harus tenang!)

Aku menggigit bibir bawahku begitu keras hingga hampir robek, berusaha mati-matian untuk tetap terlihat normal. Tapi tentu saja, dalam kondisi begini, aku tidak mungkin bisa mengikuti pelajaran dengan baik.…Dan begitulah, jam pelajaran kali ini pun ikut melayang bersama nilai-nilaiku.

***

Pelajaran matematika pun selesai. Yang berarti, berakhirnya sesi pelajaran pagi.

Para siswa berhamburan, sibuk memikirkan bagaimana menghabiskan waktu istirahat siang. Suara riuh dan lalu lalang orang memenuhi kelas maupun koridor. Dalam situasi itu, aku akhirnya terbebas dari pemutaran video dewasa abal-abal dalam bentuk khayalan aneh, lalu menelungkupkan kepala di meja sambil merasakan dinginnya permukaan kayu.

Ah, panjang sekali. Benar-benar panjang sekali. Bagian akhirnya bahkan sudah membuatku berpikir soal "pasangan serasi" antara colokan listrik dan adaptor, jadi aku sempat pasrah mengira hidupku bakal tamat di situ. Apa kepalanya memang ada yang salah?

Ya, mungkin memang ada yang salah. Sepertinya aku tidak akan mampu menemukan jawaban untuk pola pikirnya. Lebih baik aku berhenti memikirkan dia. Menghentikan pikiran sia-sia yang hanya membuang energi. Lagipula, kalau terus kupikirkan, kepalaku sendiri bisa ikut dipenuhi warna merah muda.

Ketika kuangkat wajah dan melihat sekeliling, sebagian besar kelompok di kelas tampaknya sudah memutuskan cara mereka menghabiskan waktu istirahat siang. Aku juga harus mulai bersiap menentukan tempat untuk bergabung. Tengah berpikir begitu—

"Hoi, Sumito. Tadi wajahmu kayak orang lagi nahan buang hajat, tahu nggak!"

Suara tolol dengan nada seenaknya menyapaku. Seorang cowok dengan senyum menyeringai mencondongkan badan ke mejaku.

"…Bukan begitu juga sih."

"Sudahlah, jangan terlalu sungkan. Aku kan nggak bakal ngetawainmu kayak anak SD!"

Yang ngomong sok dewasa sambil bilang hal kayak anak SD ini namanya Miyaoi Masaki. Salah satu dari sedikit teman yang kumiliki. Karena nomor absen yang berdekatan, dulu waktu sebelum pindah tempat duduk, kami sering mengobrol. Bahkan setelah pindah pun, entah karena kasihan melihatku yang sering sendirian atau memang kebetulan, dia masih sering menyapaku begini.

Aku sendiri bukan orang yang suka bergaul. Bahkan cenderung membencinya. Wajar saja, mengingat kemampuanku ini sering memperlihatkan "wajah asli" orang-orang di balik topeng mereka. Tapi Masaki ini, kalau mau dibilang baik, dia orangnya polos dan jujur. Kalau mau dibilang buruk, ya jelas tolol. Makanya, berbincang dengannya tidak membuatku terlalu terbebani.

"Ya ampun, tapi sumpah, Sumito, tadi itu lucu banget sih. Tiba-tiba teriak gitu aja!"

…Ah, pasti maksudnya saat aku dipaksa nonton ulang adegan puncak persetubuhan dalam otaknya itu.

"Itu nggak bisa dihindari. Ada… keadaan darurat, lah."

"Tapi gara-gara itu, jadi kena semprot si botak, lho! Dasar bodoh."

Nggak separah "disambar petir" juga sebenarnya.

Ya, meski pada akhirnya aku tetap kena hukuman khas si botak—hukuman ala "eksekusi publik" yang jadi spesialisasinya.

…Oh iya, ngomong-ngomong, panggilan "Hagesaki" itu bukan hinaan murahan karena kepalanya botak, tapi singkatan dari nama depan-belakangnya. Tegasnya, itu julukan, bukan ejekan.

"Kamu akhir-akhir ini sering bengong, tahu. Harusnya belajar dari 'Ratu Bertopeng' yang duduk di sebelahmu."

"…Mungkin juga, ya."

Komentarnya jelas meleset jauh dari kenyataan, jadi aku jawab seadanya saja.

"Ratu Bertopeng" itu tentu saja Kagura Rio. Kabarnya, karena ekspresinya hampir tak pernah berubah, sebagian orang menjulukinya begitu.

Kalau dipikir-pikir, julukan itu lumayan pas juga. Soalnya, bisa tetap tanpa ekspresi sambil memikirkan hal-hal mesum sebegitu parahnya, jelas lebih masuk akal kalau dianggap sedang "memakai topeng."

Meskipun sebenarnya, penyebabnya hanyalah otot wajahnya yang seolah sudah mati rasa.

"Ah, sudahlah, nggak penting juga. Kau makan di kantin lagi kan, Masaki? Ayo, cepat pergi."

"Aduh! Iya deh, iya!"

Aku menepuk jidatnya yang sedang nyengir, lalu berdiri dari kursi dan berjalan menuju pintu kelas.

Sekilas aku melirik ke arah Kagura. Seperti biasa, dia jadi pusat perhatian. Dikelilingi para siswi, sementara para cowok melirikinya dengan tatapan penuh hasrat. Tapi wajah Kagura sama sekali tidak berubah. Dari kejauhan, kelihatan dia bahkan jarang membuka mulut.

Paling cuma mengangguk atau menggeleng singkat, hampir tak pernah benar-benar menyusun kalimat.

…Cantik tapi dingin. Apa menyenangkan berbicara dengan "boneka" seperti itu? Mungkin memang menyenangkan. Ujung-ujungnya, semuanya karena wajah. Semuanya.

"Heh, apa-apaan itu? Kau juga naksir dia, ya?"

Masaki rupanya sadar arah pandangku, lalu bertanya sambil kembali nyengir.

"Kenapa bisa disimpulkan begitu?"

"Soalnya kau tadi kelihatan terpana banget. Kupikir Sumito juga jatuh hati."

"Tidak sama sekali. Barusan itu… lebih kayak penelitian perilaku hewan."

Ya, betul. Seperti sedang meneliti bagaimana seekor satwa langka berkomunikasi dengan manusia.

"Eh, tapi aku rasa kau ada peluang, lho. Kagura memang hampir nggak pernah bicara sama cowok, tapi sama kau kan masih ngobrol juga."

"Kalau duduknya sebelahan, wajar lah ada sedikit obrolan. Itu pun paling cuma sepotong dua potong kata."

"Justru, ada banyak yang berharap bisa dapat sepotong dua potong kata itu darinya."

Masaki mengangkat bahunya, memberi isyarat agar aku melihat sekitar. Dan benar saja, beberapa cowok di kelas ini memandang Kagura dengan wajah penuh keinginan.

Mungkin karena penampilannya yang berwibawa, mereka segan mendekat. Dan karena Kagura juga tidak akan memulai percakapan, posisinya benar-benar seperti bunga tinggi di tebing yang hanya bisa dipandang dari bawah.

"…Aku nggak peduli. Lagian aku juga nggak mau terlibat. Nggak ada niat, jadi nggak ada yang namanya 'peluang'."

"Eh, jangan pura-pura begitu. Kelihatan banget padahal."

Masaki tetap ngeyel, mengabaikan bantahanku. Padahal, yang namanya hubungan cinta saja sudah kuanggap merepotkan, apalagi kalau lawannya adalah monster khayalan merah muda itu.

Tapi percuma kujelaskan. Masaki yang kayak anak kecil begini tidak bakal berhenti kalau tidak diabaikan saja. Aku pun memutuskan untuk tidak menanggapi lagi—saat itu juga.

"Permisi~. Ada anak yang piket hari ini nggak?"

Suara dengan intonasi yang terdengar agak malas sampai kepadaku.

Suaranya lembut, seolah-olah seekor kupu-kupu pun bisa hinggap di sela-sela ucapannya. Itu adalah suara wali kelasku.

"Eh, bukankah itu Hana-chan Sensei!"

"Jangan-jangan Sensei mau makan siang bareng sama kita~!"

Dengan sifatnya yang ramah, beliau cukup akrab dengan murid-murid di kelas. Kalau mau diungkapkan dengan cara lain, mungkin juga bisa dibilang beliau agak diremehkan. Aku tidak bisa memastikan, lebih baik ditakuti atau lebih baik dipermainkan.

"Maaf ya~ Sensei lagi agak buru-buru!" ucapnya dengan alis yang menekuk, menanggapi teriakan murid-murid dengan senyum canggung.

"Ada yang perlu dibagikan di jam homeroom nanti, jadi bisa tolong datang ke ruang guru? Kalau kebetulan petugas piket hari ini tidak ada di sini, tolong sampaikan ke semua orang ya~!"

Setelah menyampaikan itu dengan singkat, beliau buru-buru keluar dari kelas. Di kelasku, sistem piket dilakukan oleh dua orang yang duduk bersebelahan, bergantian setiap hari. Dan hari ini, yang kebagian giliran adalah dua orang di bangku paling belakang dekat jendela.

── yaitu aku dan Kagura.

Aku pun refleks mengernyit. Melihat reaksiku, Masaki berkomentar dengan senyum usil, "Semangat ya, kan kamu paling nggak mau berurusan sama dia?" … Dasar bocah ini.

***

"Ini, bisa kalian bantu bagikan gak?"

Di salah satu sudut dekat tangga, yang diperlihatkan kepadaku adalah setumpuk buku berisi berkas lumayan tebal. Aku tidak tahu berapa jumlah pastinya, tapi kurasa ada sebanyak jumlah kelas.

Kalau begitu, berarti pekerjaannya cukup berat juga. Hari ini kebetulan ada pekerjaan tambahan semacam ini… sial, nasibku memang lagi jelek.

"…Sepertinya cukup merepotkan."

"Iya, maaf banget ya…"

"Yah, mau bagaimana lagi, kalau memang harus dikerjakan."

Sensei itu menundukkan alisnya seakan-akan merasa sungguh bersalah. Namun, meski begitu, senyum cerianya sama sekali tidak hilang dari wajahnya. Senyumannya memang menenangkan, tapi justru karena terus bertahan di situ, ekspresinya jadi sulit ditebak. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya menyenangkan sampai ia bisa terus tersenyum begitu.…Dan saat aku memikirkan hal yang sepele itu—

『Haaah… percuma aja sih ini dibagiin, toh nggak ada yang bakal baca dengan benar. Zaman sekarang masih aja pakai cara manual gini… itu kepala bagian udah gila kali, ya?』

Suara kasar terdengar jelas. Kasar, penuh amarah. Seakan-akan kapan saja bisa terdengar deru motor liar yang bising.

『Apanya bagus sih katanya ‘karena media kertas ada nilainya tersendiri’?! Coba aja ngerasain disuruh bikin materi kayak gini, terus nyetak juga disuruh sendiri, bego banget tuh! Rambut sisa segaris kayak batang teh aja sok-sokan, pengin gue cabut beneran…!!』

Balas dendamnya kejam sekali! Benar-benar terdengar seperti preman! …Tapi ini kan sekolah unggulan. Tidak mungkin ada murid yang benar-benar berandalan. Meski di luar orang-orang menyebut sekolah ini "unggulan gadungan," nyatanya tetap punya reputasi cukup akademis. Keamanan pun baik-baik saja. Selain itu, saat ini di sini hanya ada dua orang.

Aku, dan wali kelasku yang masih tersenyum cerah. Dan tentu saja, bukan aku yang mengeluarkan suara kasar itu.…Artinya, suara itu berasal dari wali kelasku yang sedang tersenyum di depanku.

『Haaah, kenapa sih setiap kali aku yang kebagian kerjaan remeh kayak gini? Maksudnya apa? Karena aku orangnya terlalu baik jadi gampang dimanfaatin gitu?!』

Sepertinya di balik wajahnya yang ramah, ia sebenarnya sedang meledak-ledak. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa tetap tersenyum sambil menyimpan emosi seganas itu. Untuk mengungkap rahasia ini, mungkin aku harus masuk ke pedalaman Amazon.

Oh iya, yang disebut kepala bagian itu pasti si guru matematika botak yang terkenal menyebalkan itu. Sudah dikenal murid-murid punya sifat buruk, ternyata guru lain pun mungkin sebal padanya.

"Eh… jadi ini harus dibagikan ke murid-murid?"

"Oh, nggak! Cukup masukkan saja ke meja guru, sudah cukup kok."

Suaranya lembut, seakan-akan bisa membawa benih dandelion melayang tertiup angin. Rasanya seperti dibelai angin musim semi. Tapi ya, kenyataannya isi hatinya seperti itu tadi. Jarak antara luar dan dalam dirinya benar-benar ekstrem, bikin pusing.

『Oh iya, ditambah lagi aku disuruh bikin materi buat rapat wali murid, kan? Hhh, keterlaluan banget! Padahal aku sendiri udah nggak punya waktu luang!』

"Kalau begitu, aku ada urusan lain… jadi, tolong kamu urus sisanya."

"…Baik, saya mengerti."

Dengan hati yang panas membara, tapi wajah tetap tersenyum ramah, Sensei melangkah cepat menjauh.

Seingatku, beberapa minggu lalu kondisi batinnya masih lebih tenang. Tapi akhir-akhir ini, emosi dalam dirinya makin sering meledak. Ngomong-ngomong, ada gosip katanya di ruang guru ada tumpukan kaleng bekas minuman energi membentuk menara. Sepertinya, ada beban kerja yang tidak mudah di balik senyum itu.

Mungkin benar. kalau dipikir-pikir, bisa jadi senyum itu adalah salah satu bentuk cara bertahan hidup di dunia kerja. Begitulah dugaanku. Tapi sebenarnya, aku tidak terlalu peduli pada urusan orang dewasa. Aku hanya perlu menjalankan tugasku.

Merasa kasihan sih iya, tapi ya sudah, biar rasa kasihan itu sekadar lewat saja. Aku pun menunduk ke arah tumpukan buku di depanku. …Namun, jumlahnya entah kenapa sudah berkurang setengah.

"…Separuhnya, aku bawa."

Suaranya datar, tanpa intonasi. Ketika aku menoleh, kulihat Kagura memeluk beberapa buku di kedua tangannya.

"Eh, ah, iya. Berat nggak?"

Sebelum aku selesai bicara, ia sudah membalikkan badan, mengangguk pelan hampir tak terlihat, lalu berjalan menuju kelas.

…Dasar dingin, anak ini. Ya, memang sudah dari dulu begitu. Meskipun kami sama-sama piket hari ini dan harus mengerjakan tugas bersama, sejak tadi ia sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan, rasanya ini pertama kalinya aku mendengar suaranya lagi setelah sekian lama—dan itu pun hanya melalui telepati.

Dia selalu hanya menjawab dengan "un", "sun", "hai", atau "chan~", jadi saat berbicara dengannya aku benar-benar tidak bisa menebak nada bicaranya.

Yah, kalau dia terlalu banyak bicara pun mungkin aku yang akan bingung, jadi begini juga tidak masalah. Untuk sementara aku ikut menggendong sisa bundel buku itu, lalu keluar dari ruang guru mengikuti Kagura.

"……Tapi kalau diangkat begini ternyata lumayan berat juga ya."

Aku bergumam, bukan ditujukan pada siapa pun.

Mendadak, Kagura yang berjalan di sampingku bereaksi kecil terhadap ocehanku yang tak sengaja keluar.

"Benar juga."

Jawaban yang tidak kuduga. Jadi dia bisa berinteraksi dengan orang lain! Rasanya seperti pertama kali berhasil tersambung komunikasi dengan luar angkasa. Tapi kalau aku menunjukkan sikap aneh sekarang, suasananya hanya akan makin canggung, jadi aku memilih menjawab dengan sewajarnya.

"Iya kan. Kalau satu kelas penuh ya jelas terasa di tangan."

"Ya. Tebalnya juga membuat tambah berat."

『Kalau begitu mending bukunya dibuat lebih tipis dan ringan saja. Buku tipis.』

Itu kan cuma mau bilang “buku tipis” aja, kan? Kalau orang bicara soal berat, biasanya tidak menyebut ketebalan, lho.

"Iya ya. Kayaknya cuma kita yang apes kebagian bawa beginian…… sebenarnya ini dokumen apa sih?"

"……Mungkin tentang festival olahraga?"

"Ah, bisa jadi. Sudah mulai masuk musimnya juga. Wah, jadi makin nggak sabar deh."

"Aku sih, tidak terlalu menantikan."

Aku mengeluarkan reaksi yang sebetulnya tidak kupikirkan, hanya untuk mengisi percakapan. Lalu Kagura tiba-tiba berkata,

"Kenapa?"

"Aku agak kurang suka jadi pusat perhatian."

Padahal hampir setiap hari dia sangat menonjol. Masa dia sampai tidak sadar? Rasanya mustahil.

"Agak mengejutkan. Padahal kamu selalu dikelilingi banyak orang."

"……Ya, itu memang benar."

Kagura menggantungkan kata-katanya. Namun suara hatinya mengaku dengan jujur:

『Aku senang sebenarnya kalau ada yang berusaha mendekatiku…… tapi rasanya seperti mereka menaruh harapan yang terlalu besar, jadi agak berat. Aku juga jarang punya waktu untuk bisa sendirian dan tenang.』

……Begitu rupanya. Meski sering dielu-elukan sebagai gadis cantik nan dingin, di balik itu memang ada beban tersendiri. Kalau di kelas, dia selalu didekati bergantian oleh anak laki-laki maupun perempuan. Mungkin benar, dia hampir tidak punya waktu untuk tenang.

Ternyata bunga di puncak tebing pun punya penderitaan tersendiri.

"Ya, memang sih. Kalau terus-terusan jadi pusat perhatian kayak kamu, pasti capek juga. Rasanya kayak selalu dikejar-kejar."

Aku mencoba menghiburnya begitu. Namun Kagura hanya menunduk sedikit dan tidak menunjukkan banyak reaksi. Aku jadi khawatir, jangan-jangan dia benar-benar terbebani. Tapi kemudian, seperti biasa, telepati itu yang menjawab.

『……Tapi sebenarnya, para laki-laki melihatku seperti apa ya? Rasanya tatapan mereka agak gatal, seperti di manga, mungkin di dalam kepala mereka aku──』

Aduh, berisik sekali. Aku jadi kelihatan bodoh, baru saja sempat merasa iba. Rasanya rugi.

……Tapi ya wajar, kalau di kelas saja dia bisa santai baca novel erotis, berarti memang mentalnya tebal. Syukurlah dia kelihatan baik-baik saja, tapi mohon jangan sampai kelewat “baik-baik saja” seperti ini.

Saat aku sudah mulai merasa lelah dengan situasi ini, kami sampai di tikungan. Di sini seharusnya belok ke arah tangga untuk naik ke lantai dua, kelas kami ada di sana. Tapi Kagura sama sekali tidak melambatkan langkahnya.

"Kamu mau ke mana?"

"……"

Dia tidak menjawab. Sepertinya Kagura masih larut dalam lamunannya. Kalau begini, dia bakal menabrak tiang.

"Hei, awas!"

"!?"

Aku memindahkan bundel ke satu tangan, lalu meraih bahunya. Seketika bahu Kagura tersentak besar.

……Eh, seheran itu kah?

"Ah, maaf. Tadi kamu hampir nabrak."

Aku minta maaf singkat karena tidak menyangka reaksinya sebesar itu. Kagura lalu menatapku dengan ekspresi datar seperti biasanya.

Setelah diam cukup lama, ia mengangguk pelan dan hanya berkata, "Begitu." Lalu ia langsung melangkah naik ke tangga.

Kalau orang biasa mungkin sudah bingung dengan reaksinya. Tapi aku tahu, dalam pikirannya saat ini justru banyak sekali suara.

『Aaahhh disentuh! Aku baru saja disentuh! Bahuku ditepuk oleh seorang laki-laki!! Kalau dia tetap memegangku barusan, aku tidak bisa bergerak, lalu──』

……Haruskah kusebut itu “suaranya jelas”, atau lebih tepatnya “suara perempuannya kelewat liar”?

Dalam kepalanya, ia sudah melanjutkan rangkaian fantasi:

『Lalu mata kami saling bertemu diam-diam, senyum malu-malu, terus…… mungkin kebetulan pulang bareng……』

Padahal aku cuma menyentuh bahunya sedikit. Kok bisa sejauh itu loncatnya. Ini bukan sekadar “khayalan” lagi, tapi “liar tak terkendali.”

Tanpa sadar wajahku sudah masam. Karena sibuk jengkel, aku sendiri hampir tersandung.

"……Kenapa?"

Suara Kagura yang menoleh membuatku kembali ke dunia nyata. Lucu juga, justru dia yang lagi berkhayal, malah aku yang jadi terbangun. Ekspresinya tetap datar seperti biasa, tapi aku tahu isi kepalanya lagi-lagi penuh fantasi:

『Apakah dia menyadarinya……? Kalau begitu, aku tidak bisa lagi berpura-pura. Dan karena sudah ketahuan, dia menunggu sampai sepi, lalu memegang kedua bahuku, menekan tubuhku ke dinding, dan menciumku dengan panas, lidah saling──』

"BUKAN BEGITU!"

Aku sampai reflek berteriak. Ini benar-benar kelewatan. Lebih tepat disebut “dikerjai khayalan” daripada “khayalan berlebihan.”

Kagura tampak sedikit heran, tapi tetap menjawab singkat, "Begitu," lalu melanjutkan langkahnya.

……Makanya, aku benci kalau harus bareng-bareng sama dia. Sedikit saja kejadian kecil bisa jadi bahan bakar fantasinya!

Sambil menghela napas panjang, aku mengikuti punggung Kagura yang masih terus berjalan sambil komat-kamit berkhayal.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close