NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 2 Chapter 1

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan



Chapter 1

Ratu yang Cemburu

Kejadiannya mungkin saat aku berumur sekitar lima tahun.

Waktu istirahat makan siang di taman kanak-kanak, ketika anak-anak lain berlarian ke luar untuk bermain, aku justru menuju ke kotak mainan di pojok ruangan, berniat menyusun domino sendirian.

“Yamamoto-kun, ayo main di luar bareng!”

Suara itu datang dari seorang gadis sekelasku saat aku sedang berjalan ke arah kotak mainan. Dari ingatan samar yang kumiliki, dia cukup populer di kalangan anak laki-laki seumuran kami. Sepertinya kepribadiannya yang bisa diandalkan itu cukup membekas, bahkan bagi kami yang masih kecil.

Aku tidak tahu kenapa dia mengajakku bermain. Mungkin karena dia memang punya sifat peduli dan tak tahan melihatku yang selalu sendirian.

“Nggak usah. Main domino lebih seru ketimbang main bareng yang lain.”

Aku menjawab dengan nada datar.

Tidak ada dusta dalam kata-kataku. Bukan pula sindiran terselubung.

Aku memang lebih tertarik main domino daripada main di luar bersama teman. Hanya itu saja.

...Kalau kupikir-pikir sekarang, aku memang punya kebiasaan buruk, yaitu selalu asal jeplak.

“Uwaaaah!”

Gadis itu langsung menangis, dan aku panik, tidak tahu harus berbuat apa.

Untungnya guru segera turun tangan untuk menengahi, gadis itu pun berhenti menangis—meski insiden itu sempat menjadi buah bibir di taman kanak-kanak untuk beberapa waktu.

Bukan berarti kejadian itu membuatku jadi korban perundungan atau semacamnya. Tapi sejak itu, orang-orang mulai memperlakukanku seolah-olah serpihan kaca, dan aku pun jadi semakin menarik diri.

Bahkan di rumah pun, aku jarang berbicara dengan keluargaku… Aku menghabiskan masa kecilku sendirian.

Dan mungkin itulah sebabnya—

Kenapa aku jadi lebih nyaman menyendiri.

Kenapa aku jadi tidak peduli bersosialisasi.

Kenapa aku akhirnya hanya punya sedikit orang yang bisa kusebut teman.

…Bukan berarti aku mencoba playing victim atau mencari simpati di sini.

Aku hanya sedang sedikit merenung—memahami bagaimana aku bisa menjadi diriku yang sekarang.

Dan kalau kau bertanya, apa yang membuatku tiba-tiba merenungkan semua ini…

Itu karena aku, seseorang yang terbiasa menyendiri dan tidak suka bersosialisasi, justru mulai tinggal bersama seorang gadis di usia 19 tahun.

Hidup memang penuh kejutan.

Dan orang yang tinggal bersamaku… adalah teman sekelas dari SMA.

“Tak kusangka aku bakal tinggal serumah sama Hayashi…”

Ini adalah hari Minggu kedua sejak Hayashi Megumi mulai tinggal bersamaku.

Sambil menggosok kamar mandi, aku tanpa sadar merenungkan rangkaian kejadian aneh yang membawaku ke titik ini.

Kalau mengingat masa SMA, rasanya mustahil aku dan Hayashi bisa tinggal bersama.

Kami seperti minyak dan air. Tidak peduli bagaimana pun, kami tidak akan bisa menyatu. Dan kalau dipaksakan, yang ada bakal meledak.

Lantas, bagaimana bisa kami tinggal bersama sekarang?

Semuanya bermula setelah kelulusan, ketika Hayashi—yang dijuluki ‘Ratu Sombong’ dan perwujudan gadis populer—mulai tinggal dengan seorang pria.

Kebanyakan orang pasti bertanya-tanya: Kenapa dia sekarang tinggal bersamaku, dari sekian banyak orang?

Tentu saja bukan karena dia berselingkuh. Terlepas dari kelakuannya semasa sekolah, Hayashi adalah orang yang sangat setia pada orang-orang yang benar-benar dia sayangi. Tak mungkin dia mengkhianati seseorang yang begitu dekat dengannya hingga tinggal bersama.

Jadi, apa yang terjadi?

Dia kabur.

Hayashi menderita domestic violence dari pria yang tinggal bersamanya. Karena sudah tidak tahan, dia akhirnya kabur… dan secara kebetulan, bertemu denganku.

Pertemuan itulah yang, entah bagaimana, berujung pada kami yang tinggal serumah.

Aku—seseorang yang terbiasa menyendiri dan benci ruang privasinya diganggu.

Dan Hayashi—si ratu sombong dari masa SMA yang bertingkah seolah-olah dia penguasa sekolah.

Kebayang, kan, seperti apa jadinya?

Tinggal serumah dengan kondisi seperti ini—minyak dan air—pasti penuh pertengkaran, benturan, dan sebuah bencana, bukan?

…Tidak-tidak-tidak, bentar-bentar-bentar. (wkwk)

Jangan remehkan aku. Biar kuperjelas ya.

“Yamamoto! Cepat ke sini sekarang juga!”

Tebakan itu?

Benar sekali…

Mendengar teriakan Hayashi, aku langsung berhenti menggosok.

Suaranya tajam dan melengking—jelas-jelas dia sedang marah.

Dia menyuruhku datang, tapi sejujurnya, aku sangat malas.

Tetap saja, aku menghela napas dan keluar dari kamar mandi. Kupikir, kalau terus membuatnya marah, yang ada malah makin runyam nantinya.

Saat aku masuk ke ruang tamu, dia sedang duduk bersimpuh di depan meja kecil.

“Duduk.”

Dia menunjuk ke seberang, menyuruhku ikut duduk.

“Cuma nyuruh ‘duduk’ doang sih nggak jelasin apa-apa,” gumamku, pura-pura bego.

“Duduk!”

…Yah, nampaknya gagal. Sepertinya itu malah bikin dia makin marah. Cuma perasaanku? Tidak, jelas bukan.

Jujur, dia menakutkan. Lututku rasanya mau ambruk.

Dengan wajah meringis, aku duduk di hadapannya.

“Kamu tahu kenapa aku marah?”

“Tahu.”

“Kenapa?”

“Yah, soalnya suaramu kedengaran marah.”

“Bukan itu maksudku!”

Sudah kuduga.

“Kemarin aku ngomong apa?”

Aku diam. Memangnya dia ngomong apaan?

“Kamu nggak ingat?”

“…Nggak terlalu.”

“Aku bilang itu demi kebaikanmu, dan kamu bahkan nggak ingat?”

Nada bicaranya semakin tajam, tapi aku benar-benar tak tahu apa yang dia maksud.

Aku hanya duduk terdiam, bingung harus jawab apa.

Hayashi menghela napas panjang—setidaknya sepanjang tiga suku kata.

Tampaknya dia benar-benar kesal.

“Jam berapa kamu mulai sembunyi di kamar mandi?”

“Hah?”

Suara yang kukeluarkan terdengar konyol.

“Aku tanya, kamu mulai ‘sembunyi’ di kamar mandi sejak jam berapa!?”

Karena nada pertanyaannya yang tajam, mataku langsung melesat ke arah lain.

Sejak kapan aku di kamar mandi…?

Aku sendiri tak tahu.

Tentu saja.

Bersih-bersih itu hobiku, gairahku, sumber hidupku, dan hiburanku.

Menanyakan berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk sesuatu yang begitu menyenangkan rasanya sungguh tidak sopan. Mungkin.

Lagian, apa hubungannya durasi yang kuhabiskan di kamar mandi dengan alasan Hayashi marah sekarang?

“Tiga jam.”

“Apanya?”

“Kamu mulai bersih-bersih kamar mandi jam 10. Dan sekarang, saat aku memanggilmu—sudah jam 1!”

“…Oh.”

Jadi “tiga jam” yang dia maksud adalah waktu yang kuhabiskan untuk membersihkan kamar mandi.

Hah, lihatlah—Hayashi benar-benar menghitung waktunya. Aku ini santai sekali ya.

…Yah, kupikir aku mulai mengerti arah pembicaraannya.

“Aku udah bilang kemarin, kan?”

“….”

“Udah aku bilang, kan!?”

“…Mungkin memang begitu.”

Helaan napas berat lainnya keluar dari bibirnya.

“Aku tahu kamu suka hobimu. Tapi tidakkah kamu merasa kalau terlalu terobsesi juga bisa jadi masalah?”

“Tapi berkat itu, kamar mandinya jadi sebersih pas tempat ini baru dibangun.”

“Bukan itu maksudku!”

“Sudah kuduga…”

“…Sudah kuputuskan.”

“…Memutuskan apa?”

Tiba-tiba dia mengatakan itu, dan aku hanya bisa memiringkan kepala.

“Mulai sekarang, bersih-bersih dibatasi satu jam sehari!”

Sesaat, aku tidak bisa memahami maksudnya. Satu jam sehari…? Maksudnya apa?

Aku tidak bisa memahami kata-katanya.

Benarkah itu bahasa Jepang?

Bahasa Mandarin…? Inggris? Atau mungkin Thailand? Khop khun krap?

Sial, kalau tahu bakal begini, harusnya aku belajar lebih banyak bahasa…!

Yang jelas, apapun yang Hayashi katakan barusan—pasti bukanlah bahasa Jepang!

Karena kalau itu memang bahasa Jepang, artinya… dia membatasi waktu yang bisa kuhabiskan untuk bersih-bersih, kan?

Ahaha. Ahahahaha!

Tidak mungkin. Mustahil!

Semakin sering kamu bersih-bersih, kualitas hidupmu juga makin meningkat, tahu?

Itu menguntungkan kita berdua!

Atas dasar apa dia membatasi sesuatu yang jelas-jelas berfaedah!?

“Kalau tidak kubatasi waktunya, kamu tidak akan pernah berhenti.”

…Jadi memang ada alasannya.

“Mulai besok, kalau kamu bersih-bersih lebih dari satu jam, aku akan marah.”

Kalau aku bersih-bersih lebih dari satu jam… dia akan marah?

“Ternyata itu beneran bahasa Jepang!”

“…Hah?”

“Tunggu, seriusan!?”

“Kamu harus patuhi. Tidak ada pengecualian!”

“Nggak mau!”

“Jangan bersikap kekanak-kanakan!”

“Kalau begitu, jangan sok-sok jadi ibuku!”

Tidak, tunggu—itu tidak tepat.

Soalnya ibuku, saat aku membersihkan ruang tamu, biasanya akan bilang—“Hei! Di sini masih ada debu!”—sambil menunjuk ke arah bawah sofa tempat dia rebahan.

Terus terang, kurasa dia menganggapku seperti robot pembersih otomatis yang dilengkapi fungsi komunikasi.

Menyedihkan sekali, bukan? Kasihan sekali aku!

Dan sekarang, Hayashi bahkan lebih seperti ibu daripada ibuku sendiri…

Batas waktu? Apa ini semacam permainan?

Maksudku, tentu, ini adalah bentuk hiburan, tapi tetap saja!

Bagaimanapun juga, ada satu hal yang tidak bisa kukompromikan.

Kalau aku mundur sekarang, aku benar-benar cuma bisa bersih-bersih satu jam per hari.

Aku tidak boleh menyerah. Aku harus bertahan…!

Ini adalah pertarungan yang harus kumenangkan!

“Yamamoto, ingat nggak?”

Hayashi menunjuk ke meja.

“Aku panggil kamu jam 12, kan?”

“Emang iya…?”

Aku mengalihkan pandangan dari meja. Hayashi tetap menunjuk, tanpa goyah.

Aku tidak boleh melihat. Kalau aku melihat ke meja… berarti pertarungan ini usai…!

“Makan siangnya jadi dingin, lho.”

Tanpa perlu melihat pun, hanya dari mendengar itu saja aku tahu aku sudah kalah.

“Aku panggil kamu jam 12,” ulangnya dengan sengaja.

“Aku bilang makan siangnya sudah siap, kan?”

…Rasanya seperti anak kecil yang baru saja dimarahi karena berbuat salah.

Tak sanggup menatap matanya, aku menggigit bibir bawah.

Rasanya persis seperti sedang dimarahi oleh Ibu.

“Waktu aku bilang makan siang sudah siap, kamu jawab apa?”

Aku menunduk dan diam.

“Kamu jawab apa?”

“…Mungkin aku bilang ‘sebentar lagi’.”

“Dan aku bilang apa setelah itu?”

“…Kamu bilang jangan terlalu lama… mungkin?”

“Makan siang sudah siap jam dua belas. Sekarang sudah jam satu.

Satu jam penuh berlalu sejak aku memanggilmu.”

Jadi, aku membiarkannya menunggu selama 1 jam, ya.

Hal itu membuatku berpikir—

Kalau kondisinya dibalik, dan aku yang harus menunggu makan siang selama satu jam, aku akan merasa bagaimana?

…Yah, aku pasti kesal.

Jadi itulah sebabnya Hayashi marah. (Deduksi yang brilian.)

“Yamamoto.”

“…Ya.”

“Berapa jam bersih-bersih per hari?”

Aku terdiam.

Tak ada pilihan lain. Aku harus mengatakannya.

Aku sudah tahu itu…!

Tapi tetap saja.

Tetap saja…!

“dua jam.”

“Kalau mau membangkang, setidaknya lakukan dengan benar.”

“C-Coba pikir, kalau aku mulai jam 10 dan bersih-bersih selama dua jam, berarti pas jam 12, kan?”

“Kamu selalu menambah waktu lebih dari itu, kan?”

“…Aku tidak bisa mengelak…”

“Tuh, kan.”

Grrr…!

“Yamamoto.”

Nada suara Hayashi kali ini setengah lembut, setengah tegas.

Tergantung jawabanku, suasananya bisa berubah ke arah mana pun.

“Berapa jam bersih-bersih per hari?”

“…”

“…”

“…………”

“…………”

“Satu.”

“Bagus.”

Sial… aku kalah.

…Ya. Kami memang seperti minyak dan air.

Tak akan bisa menyatu, dan kalau dipaksa, yang ada malah meledak.

…Terutama dari pihakku.

Aah… Jadi sekarang aku cuma boleh bersih-bersih satu jam sehari?

Padahal dulu rasanya sangat menyenangkan.

Padahal dulu terasa begitu mengasyikan…

…Menyebalkan.

…Setidaknya, itulah yang kurasakan.

“Ayo makan.”

Melihat meja tempat dua piring makanan sudah menunggu, aku tiba-tiba merasa seperti anak manja yang merajuk.

Menyedihkan sekali.

Ternyata, Hayashi sudah menunggu selama satu jam penuh hanya agar kami bisa makan bareng.

“…Maaf.”

“Seharusnya aku yang bilang begitu.”

Dia tersenyum—dan anehnya, senyum itu terasa agak… maskulin.

“Kalau begitu—selamat makan.”

“Selamat makan.”

Kehidupan bersama kami yang seperti minyak dan air.

Sebuah keajaiban jika bisa berjalan dengan baik.

Saat aku merenungkan hari-hari singkat kami hidup bersama—penuh dengan pasang surut—aku kembali tersadar akan perasaan yang sempat muncul.

Tinggal bersama Hayashi… ternyata tidak sesulit yang kubayangkan.

Begitulah pikirku.

…Tentu, aku tidak akan pernah mengatakannya langsung padanya. Terlalu memalukan.

Dan begitulah, hari damai lainnya pun berlalu dalam keseharian aneh kami.

◇◇◇

Malam itu—hari yang sama saat aku dikenai batas 1 jam bersih-bersih—kami makan malam bareng, dan menghabiskan waktu masing-masing di kamar kecil seluas 6 tatami.

Aku sedang menonton acara variety di TV. Sementara Hayashi menonton video di tablet yang kupinjamkan padanya beberapa waktu lalu.

“Apa-apaan sih orang ini!? Ngeselin banget!”

Dari suaranya, tampaknya dia sedang menonton video bertema “keadilan yang ditegakkan”.

Sejak pertama kali tinggal bersamaku dan menerima tablet itu, dia sangat menyukai video-video semacam itu.

Awalnya, aku mengira dia merasa terhubung dengan protagonis malang yang diperlakukan buruk di awal, dan menontonnya sebagai bentuk pelampiasan—ingin membalas pria bajingan yang dulu menyakitinya.

Tapi sekarang, setelah dia melampiaskan semua emosi terpendam tentang bajingan itu, dia masih saja menontonnya.

Yang berarti dia memang suka cerita di mana yang baik menang dan yang jahat dapat ganjaran.

“Ahaha! Gila, lucu banget!”

Hayashi tertawa terbahak-bahak, berbaring telentang di atas kasur.

Dari suara videonya, sepertinya adegan sudah mencapai klimaks—saat si penjahat egois akhirnya mendapat ganjaran yang setimpal.

…Tertawa di bagian itu membuatnya terdengar agak… kejam.

“Augh!”

Sepertinya karma langsung turun.

Tablet yang sedang dia pegang terlepas dari tangannya dan menghantam wajahnya.

…Aww. Pasti sakit.

“Uuuuugh…”

Sambil memegangi dahinya, Hayashi menggeliat kesakitan di atas kasur, menendang-nendangkan kakinya.

Dan saat itulah, kejadian itu terjadi.

Saat dia meronta-ronta, kausnya tersingkap—dan pusarnya terlihat jelas.

Mataku… tertarik ke sana seperti planet yang terjebak dalam tarikan gravitasi black hole.

Sejak dia mengungsi di sini, dia nyaris tidak pernah keluar rumah. Bisa dibilang, dia hidup seperti pertapa.

Tapi meskipun begitu, tubuhnya tetap masih sangat ramping—bahkan mungkin kelewat kurus.

Sampai-sampai kadang aku khawatir kalau tulangnya akan patah hanya karena benturan kecil.

…Tapi berbanding terbalik dengan tubuhnya yang sangat ramping, bagian dadanya… cukup menonjol.

Dan saat ini—kalau aku menunggu sedikit lebih lama lagi—ada kemungkinan besar aku akan melihat sesuatu yang lebih dari sekadar pusar.



Aku cepat-cepat memalingkan pandangan dari Hayashi.

Tidak, tidak. Itu tidak boleh.

Meski kami hanya seorang pria dan wanita seuumuran yang tinggal seatap, hal yang tidak senonoh tetap saja salah.

…Tapi, apa itu benar-benar salah?

Kalau seorang pria dan wanita tinggal bersama, bukankah wajar kalau satu-dua hal semacam itu terjadi?

Sebenarnya, menyebut sesuatu yang “tidak senonoh” sebagai “kesalahan” pun terdengar aneh, bukan?

Maksudku, kalau ini zaman kuno, hal seperti itu bisa saja disebut “ritual pengusiran roh jahat” atau semacamnya, dan bahkan dianggap suci.

Dengan kata lain, apa yang kulakukan barusan adalah sesuatu yang sepenuhnya wajar. Mengintip itu tindakan sakral.

…Lompatan logika yang hebat!

Beginilah cara para pemimpin kultus dilahirkan…

Tapi, sejujurnya, yang kupikirkan saat itu hanyalah—“Beginilah nasib gadis yang dulunya dijuluki Ratu di SMA…”

Hayashi, yang dulu dielu-elukan sebagai ratu, kini tergolek kesakitan setelah menjatuhkan tablet ke wajahnya sendiri. Terus terang, itu agak menyedihkan.

Kalau ada musuh lamanya dari masa SMA yang melihatnya seperti ini... mereka mungkin akan merasa sangat puas, sampai-sampai ingin berteriak kegirangan.

Seseorang yang dulu berselisih dengannya di SMA…

…Itu aku, bukan?

“Mau handuk dingin?”

“Nggak perlu…”

Begitu jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Tapi jelas dia tidak terlihat baik-baik saja. Namun kalau dia bilang tidak apa-apa, ya sudah.

Meski begitu, Hayashi memang agak ceroboh, ya? Selalu nyaris celaka karena hal-hal konyol.

…Kalau diingat-ingat, waktu pertama kali pindah ke sini, kakinya terbentur ke tembok, kan?

Mungkinkah dia sebenarnya agak kikuk?

…Tidak, lebih baik hentikan pemikiran ini.

Kalau aku mulai menetapkan terlalu banyak atribut karakter padanya, bisa-bisa situasinya makin kacau.

“Serius deh. Kamu harus lebih waspada sedikit.”

Kataku setelah dia mulai tenang.

“Mantanmu masih belum tertangkap, ingat?”

Beberapa hari lalu, ketika Hayashi kabur dari apartemen, dia kebetulan bertemu dengan mantannya—pria yang telah menganiayanya.

Pertemuan itu langsung berubah jadi percekcokan di tengah kota, sampai akhirnya berujung jadi urusan polisi.

Secara pribadi, aku senang. Aku ingin semuanya jadi resmi, agar pihak berwenang ikut turun tangan.

Kupikir kami akhirnya berhasil menyudutkan pria itu… tapi tepat sebelum polisi datang, dia menghilang begitu saja.

Tentu, Hayashi sudah dengan jelas memutuskan hubungan dengannya.

Tapi fakta bahwa dia kabur berarti semua ini belum terselesaikan sepenuhnya.

Dan karena itulah, meskipun dia sudah memutuskan hubungan, Hayashi tetap hidup terkurung di dalam rumah, tak bisa melangkah keluar.

“Yah, nanti juga beres sendiri.”

Hayashi menepis kekhawatiranku begitu saja. Aku ingin protes betapa naif dan santainya dia… tapi kutahan.

Kalau aku bicara terlalu jauh, dia bisa jadi malah tertekan—atau lebih buruk lagi, balik menyerangku.

Lagi pula, dia tak bisa terus-terusan mendekam di sini.

Kami bukan pasangan. Seperti yang kupikirkan sebelumnya, dua orang lawan jenis tinggal bersama seperti ini—cepat atau lambat pasti akan ada sesuatu yang terjadi.

Dan kalau memang terjadi, terus terang, aku tidak keberatan.

Aku sudah punya banyak cerita memalukan dalam hidupku.

Tapi Hayashi tidak sepertiku.

Walau dia memang pernah mengalami kekerasan, dia juga punya riwayat lepas kendali ketika segalanya berantakan.

Kalau ada sesuatu yang terjadi di antara kami, dan dia kembali sendirian lagi… tak ada yang tahu apa yang akan dia lakukan.

Dan sejujurnya, bukan hal yang baik juga kalau aku satu-satunya orang yang bisa dia andalkan saat ini.

Terlalu bergantung pada satu orang bisa berujung pada ketergantungan yang tidak sehat.

Jadi, kalau dia benar-benar ingin move on dari pria itu, langkah selanjutnya adalah berhubungan kembali dengan teman dan keluarga yang dulu putuskan karena pengaruh pria itu.

Tapi… apa yang dia alami dulu terlalu brutal. Cukup parah untuk membuat seseorang kehilangan kepercayaan pada seluruh umat manusia.

…Dia perlu membangun kembali koneksi yang hilang itu.

Tapi, apakah sekarang waktu yang tepat? Atau haruskah dia menunggu sedikit lebih lama?

Tanpa tahu apa yang kupikirkan, Hayashi sudah kembali menatap ke layar tabletnya.

Kali ini, dia menonton video pendek, masing-masing tidak sampai satu menit, sambil menggulir tanpa tujuan.

Dia juga berguling telungkup, mungkin agar insiden tablet jatuh di wajah tidak terulang.

Berkat itu, perut mungilnya pun tak lagi terlihat—bukan berarti itu penting… meski ya, sedikit kecewa juga.

Tiba-tiba, terdengar lagu kelulusan dari tablet.

Sepertinya itu klip dari acara kelulusan siswa. Itu adalah upacara penyerahan ijazah. Salah satu siswa memanggil nama temannya, lalu meneriakkan sesuatu yang konyol. Orang-orang di sekitarnya berusaha keras menahan tawa.

Video semacam itu.

Hal yang cukup lumrah.

Dan meski tidak orisinal, tetap saja orang-orang mengunggahnya ke internet agar teman-temannya bisa ikut tertawa.

Jujur, hal semacam itu hanya akan menjadi tato digital—sesuatu yang akan kau sesali nanti.

Mereka seharusnya tidak melakukannya.

Setidaknya, aku tidak akan melakukannya.

“Aku nggak ngerti apa lucunya video kayak gini,” ucap Hayashi.

“Sama.”

“Atau mungkin itu cuma karena kamu nggak punya teman buat ngelakuin hal kayak gini.”

“…Langsung menusuk ke ulu hati.”

“Ahaha…”

Dia tertawa hambar, lalu mematikan tablet dan kembali telentang.

Beberapa saat, dia hanya diam, menatap ke langit-langit.

“…Kira-kira mereka baik-baik saja nggak ya?”

Sudah sekitar dua minggu sejak dia kabur dan berlindung di sini.

Aku sendiri tidak tahu apakah hidupnya sekarang lebih baik… atau justru lebih buruk.

Memang, dia sudah mengambil langkah pertama untuk lepas dari jeratan itu.

Tapi pria itu belum tertangkap.

Dia masih belum berhubungan kembali dengan teman atau keluarganya.

Tak ada cara untuk menghubungi mereka.

Satu-satunya orang yang bisa dia andalkan adalah aku—seseorang yang dulu dia benci saat SMA.

Dia putus kuliah.

Dan dia bahkan tidak punya uang untuk menghidupi dirinya sendiri.

Masalah yang dia hadapi masih segunung.

Aku yakin tekanan dan rasa cemas terus membayangi dirinya.

…Tapi meskipun begitu.

Mungkin karena semua ini adalah pilihannya sendiri—menghadapi pria itu langsung—kondisi mentalnya sekarang terlihat jauh lebih stabil dibandingkan saat pertama datang ke sini.

Bagaimana aku tahu?

Karena dulu, dia bahkan tidak sempat memikirkan keadaan teman-teman lamanya.

Dia hanya berusaha bertahan hidup.

Tapi sekarang… itu sudah berubah.

…Jadi mungkin, mungkin saja, dia sudah siap.

“Hei, Hayashi. Besok, mau beli ponsel?”

“…Ponsel?”

“Iya.”

“…Ponsel, ya.”

Ponsel yang dia punya dulu dihancurkan oleh pria itu.

Dari situlah dia kehilangan kontak dengan semua teman dan keluarganya.

Tapi aku tahu, kalau Hayashi punya ponsel lagi, dia pasti bisa kembali terhubung dengan mereka dalam waktu singkat.

Itulah alasan aku mengajukan saran itu.

Mendengar tawaranku, dia ragu. Aku tidak perlu bertanya kenapa—aku sudah tahu.

“Kalau soal uang, jangan khawatir. Aku pinjamin kok.”

Aku sudah pernah menjelaskan kondisi keuanganku padanya.

Tergantung modelnya, ponsel murah masih bisa kubelikan.

Selama dia berencana melunasinya nanti, aku tidak keberatan menalangi dulu.

“Aku nggak bisa.”

Tapi dia menolak. Mungkin dia merasa tidak nyaman menggunakan uangku untuk sesuatu yang dianggap barang mewah.

Sungguh. Sejak datang ke sini, dia selalu menahan diri.

Sulit dipercaya gadis ini pernah dijuluki Ratu di SMA.

…Sejujurnya, membuat Hayashi setuju dan membeli ponsel dengan uangku bukanlah hal yang mustahil.

Kalau aku bersikap sedikit memaksa, aku bisa saja langsung membelinya dan menyerahkannya padanya.

Masalah selesai. Memang memaksa, tapi efektif.

Tapi itu akan menghilangkan makna dari semuanya.

“Apa yang kamu mau?”

Aku bertanya langsung pada Hayashi.

“Kamu mau ponsel atau nggak?”

Pada akhirnya, manusia itu makhluk egois.

Kadang seseorang datang sambil menangis, bilang bahwa dunia ini tidak adil, dan menuntut agar masyarakat berubah.

Dan setiap kali aku melihat hal seperti itu, aku selalu berpikir:

Apa si ‘korban’ itu benar-benar meminta bantuan?

Apa mereka pernah bilang, “Tolong bantu aku”?

Apa mereka pernah bilang, “Aku sedang menderita”?

Sebagian besar tidak pernah mengatakannya.

Lalu kenapa orang itu mencoba mengubah dunia?

Karena mereka tidak suka dengan keadaan saat ini.

Pada akhirnya, mereka bertindak demi kepentingan diri sendiri.

Mereka hanya menggunakan nama orang lain agar terdengar lebih besar.

Mereka ingin membuatnya tampak seolah-olah mereka punya pasukan pendukung di belakangnya.

Hanya itu saja.

Bagaimanapun, kembali ke pokok permasalahan—

Yang kumaksud adalah, keputusan itu harus datang dari Hayashi sendiri.

Apa yang dia inginkan. Bagaimana dia ingin bertindak.

Itu hidupnya. Dan pilihannya… hanya berarti jika dia sendiri yang menetapkannya.

Hayashi ragu. Dia masih bimbang.

“Aku… memang mau punya ponsel.”

Suaranya pelan, nyaris malu-malu.

“…Aku ingin bisa bicara dengan semua orang lagi.”

“Begitu ya.”

“Tapi aku nggak mau pinjam uang darimu.”

“…Begitu.”

“Iya.”

…Kalau itu keputusan dia, aku tak punya alasan untuk membantah.

Tapi dia belum selesai.

“Jadi, aku akan beli dengan uangku sendiri.”

Katanya tegas.

“Dari hasil kerja paruh waktu sebelum aku tinggal sama dia. Atau bahkan sebelum pindah ke kota ini. Memang tidak banyak, tapi aku masih punya sedikit tabungan.”

“Begitu ya.”

“Iya… Aku tahu selama ini aku numpang di sini gratis dan bahkan makan pakai uangmu…”

“Nggak apa-apa kok.”

“…Serius?”

“Iya. Toh kamu sudah masakin makanan enak, kan?”

…Dan bukan hanya itu.

“…Dan kamu juga menegurku waktu aku kelewat batas soal hobi bersih-bersihku.”

“…Haha.”

Hayashi menunduk. Sepertinya masih ada banyak hal yang ingin dia katakan.

“Yamamoto… besok, ayo ke toko ponsel.”

“Oke.”

“Terus, um… boleh temani aku?”

Dia melirik ke arahku, matanya sedikit mendongak. Mungkin itu bagian yang paling membuatnya ragu tadi.

“Tentu. Dari awal aku memang berniat begitu.”

“…Hehe. Makasih.”

Pipinya memerah, dan dia pun memalingkan muka dengan malu-malu.

◇◇◇

Selepas kuliah, aku langsung bergegas pulang ke rumah.

“Aku pulang. Maaf—aku agak telat.”

“Selamat datang. Nggak apa-apa.”

Hayashi sedang menonton video di tablet. Sejak dia datang ke sini, dia selalu santai mengenakan kaus lengan pendek dan celana pendek, tapi hari ini dia memakai jaket tipis di atas bajunya—mungkin karena kami akan keluar.

“Ayo, kita berangkat.”

“Iya.”

Tujuan kami tentu saja ke toko ponsel, untuk membelikan dia smartphone baru.

“Yamamoto, kamu kelihatan agak nyeremin, tahu?”

Di sepanjang jalan, aku terus melirik kesana kemari dengan waspada. Aku memperhatikan sekitar, berjaga-jaga kalau mantan pacarnya ada di dekat sini. Jujur, aku belum pernah berjalan keliling kota dengan secemas ini sebelumnya. Dari luar, aku mungkin memang kelihatan mencurigakan—seperti yang dia bilang.

“Mau bagaimana lagi? Bayangin kalau si brengsek pelaku DV itu lihat kita jalan bareng—setelah aku dulu turun tangan dan mempermalukannya di depan umum. Kamu pikir dia nggak bakal salah paham?”

“Eh, kita bakal baik-baik aja kok.”

“Atas dasar apa?”

“Nanti juga aku teriak sekencang-kencangnya kalau perlu.”

“…Sebenarnya, kalau bisa melibatkan polisi lagi, mungkin malah bagus.”

Dengan Hayashi yang entah bagaimana tetap santai, kami akhirnya tiba di toko ponsel.

Semuanya berjalan lancar. Dia menandatangani dokumen, dan sekitar 30 menit kemudian, ponselnya sudah di tangan.

“Hore!”

Dalam perjalanan pulang, dia terlihat sangat senang.

Ponsel yang dia beli adalah model murag dari merek Cina.

“Syukurlah beres.”

“Iya. Makasih, Yamamoto.”

“Aku nggak ngelakuin apa pun yang patut dikasih ucapan terima kasih”

“Nggak gitu kok.”

Dia tersenyum cerah.

“Sebetulnya, aku pengin model yang sama kayak yang kupunya dulu, tapi sepertinya udah nggak dijual.”

“Smartphone baru keluar tiap 6 bulan. Yang kamu pakai waktu SMA mungkin udah nggak tersedia versi barunya.”

“Wah, benarkah?”

“Iya.”

Lalu aku teringat sesuatu yang penting.

“OS-nya beda dari ponsel lama kamu, jadi awal-awal mungkin terasa aneh. Tapi nanti juga terbiasa.”

OS itu singkatan dari Operating System—software yang memungkinkanmu mengoperasikan ponsel atau komputer.

Umumnya, smartphone memakai salah satu dari dua jenis OS utama.

Ponsel yang baru Hayashi beli menggunakan OS yang berbeda dari yang biasa dia pakai.

“O… S?”

“Iya. Operating System.”

“Hah… oke.”

Dari reaksinya, jelas dia tidak ngerti.

“Ponsel kamu yang dulu punya banyak aksesori, tapi yang ini mungkin tidak. Mau aku bantu cariin?”

“Aku sih udah cukup, ini kan udah ada pelindung layarnya.”

“Itu lapisan pelindung, ya… Kamu nggak terlalu peduli soal beginian, ya?”

“Aku agak gaptek.”

“…Serius?”

Itu benar-benar mengejutkanku.

“Tapi kamu lancar-lancar aja pakai tablet yang aku pinjamin.”

“Temanku yang ngajarin. Kayak—‘tekan ini buat nonton video,’ ‘tekan ini buat kirim pesan,’ ‘tekan sini lalu ketik kalau mau cari sesuatu.’ Aku cuma mengingat bentuk tombolnya.”

“Bentuk tombol”… apakah yang dia maksud aplikasi?

Bahkan orang tua zaman sekarang paham apa itu aplikasi saat pakai smartphone.

…Sepertinya dia lebih payah daripada yang kukira.

“Untuk sekarang, bisa ajarin cara nyambung ke internet?”

“Maksudmu Wi-Fi?”

“Wai-pai?”

“Iya, itu.”

Aku menjawab setengah hati. Aku mulai lelah.

“Hei, aku beli smartphone ini biar bisa terhubung lagi sama teman-teman dari SMA lagi, kan? …Gimana cara pulihin kontak-kontakku?”

Tepat saat kami hampir sampai di apartemen, Hayashi bertanya.

“Dulu aku tinggal kasih ponsel ke temanku, dan mereka yang daftarin semuanya… Sekarang harus gimana?”

“Kebanyakan smartphone punya layanan cloud untuk transfer data. Kalau kamu masih ingat akunmu, kamu bisa balikin semuanya dari situ.”

Layanan cloud memungkinkanmu menyimpan data bukan di perangkatmu, tetapi di server yang dikelola oleh perusahaan melalui internet.

“Kenapa tiba-tiba ngomongin awan?”

Sudah kuduga.

“Kamu ini bener-bener payah, tahu nggak?”

“Kalau kamu ngejek aku, aku marah, lho.”

Dan dia kembali ke persona ratunya.

Transisi dari polos ke galak barusan benar-benar cepat dan tajam.

“Waktu ganti ponsel dulu, gimana caramu transfer data?”

Tanyaku, kesal.

“Hah? Aku minta tolong Akari.”

“Kamu nyerahin semuanya ke orang lain!?”

Akari—Kasahara Akari—adalah sahabat dekat Hayashi semasa SMA.

Kebetulan, Kasahara sekarang kuliah di universitas yang sama denganku. Hanya saja kami beda jurusan.

“Password kamu gimana?”

“Akari yang tahu.”

“Kamu tahu nggak sih kenapa password itu ada?”

Dari dulu aku memang mengira mereka berdua sangat dekat.

Tapi roman-romannya, itu bukan cuma “dekat”—lebih kayak… saling ketergantungan.

“…Jadi kamu nggak ingat akun maupun password-mu?”

“Kamu ngejek aku, ya?”

“….”

“Ya jelas nggak lah.”

“Mau aku ejek nggak?”

Setelah hidup serumah selama beberapa hari ini, aku jadi tahu banyak tentangnya.

Dulu si SMA, kupikir dia cuma ratu yang sombong—tapi ternyata dia punya sisi perhatian, keibuan, mudah ragu… tapi tetap kuat dan tajam seperti dulu.

Jujur, aku bahkan mulai berpikir mungkin akan menyenangkan mengenal lebih banyak sisi dirinya.

…Tapi sisi dia yang buta teknologi ini? Yah. Yang satu ini sepertinya lebih baik tidak kuketahui.

Sambil aku menghela napas, kami pun sampai di apartemen.

“Aku pulang!”

Hayashi langsung melompat ke kasur dan menyalakan ponsel barunya.

Aku mengambil teh barley dari kulkas untuk menghilangkan dahaga, dan mulai menyiapkan dua gelas.

“Yamamoto!”

“Woah!”

Dia melompat dari tempat tidur dan berlari ke arahku.

“Setel ponselku!”

“…Bener-bener mengandalkanku, ya.”

Selama ini kamu bersikap sungkan padaku—tapi begitu urusan smartphone, kamu buang semua itu?

“Mau gimana lagi! Waktu terakhir aku coba atur sendiri…”

“Ya?”

“Layarnya jadi biru? Akari sampai pucat banget. Cuma karena layar biru, dia sampe segitunya. Ahaha! Lucu, kan?”

“Biar aku aja yang atur.”

Kamu pernah bikin blue screen!? Ini bukan waktu buat bercanda! Dan itu pun tidak lucu.

Aku jadi kasihan sama Kasahara.

Apa yang dia lakukan sampai bisa bikin smartphone jadi kayak gitu…? Ngeri juga.

…Yasudahlah. Aku pasrah bantu atur semua dari awal.

“Udah selesai?”

Sekitar 20 menit kemudian, Hayashi bertanya.

Entah sejak kapan, dia sudah mulai menyiapkan makan malam.

“Udah. Semua udah diatur… kecuali kontak-kontakmu.”

“Terus, gimana?”

Meski hampir tidak paham teknologi, dia bisa langsung menyasar masalah utama.

“…Yah.”

Karena dia tidak bisa login ke akun backup-nya, kami tidak bisa memulihkannya lewat cara itu.

Nah sekarang… apa yang harus dilakukan?

Meski sejujurnya, aku punya satu pilihan.

…Tapi sebelum itu.

“Hayashi. Aku mau tanya sesuatu.”

Ada hal yang harus kupastikan dulu.

“Ada apa? Kok tiba-tiba serius.”

“Soal mantanmu. Aku mau tahu, bagaimana kalian bisa bertemu?”

“…Kenapa aku harus cerita soal itu?”

“Kumohon.”

Aku menatapnya serius. Dia memalingkan wajah, jelas tak nyaman, dan menghela napas dalam-dalam.

“…Temen kampus ngajak ke acara kencan buta. Dia semangat banget. Katanya, cowok-cowok yang dateng pegawai elit dari bank ternama. Di situlah aku ketemu dia.”

“Kampus, ya… Jadi nggak ada teman SMA kamu yang terlibat?”

“…Pertanyaan macam apa itu?”

Dia menatapku tajam, agak kesal. Seram juga.

“Ya jelas nggak lah. Kenapa kamu nanya gitu?”

“…Begitu.”

Aku menghela napas lega.

Hayashi masih memelototiku.

Y-Yah, pokoknya… Kalau dia ketemu cowok itu lewat teman kampus, berarti kecil kemungkinan Kasahara terlibat.

“Hayashi, boleh aku pinjam ponselmu?”

“Buat apa?”

“Aku mau nambahin kontak temanmu—seseorang yang kukenal.”

Dia memiringkan kepala.

“Nanti kamu bisa minta bantu dia buat balikin kontak-kontakmu yang lain.”

“Ah… gitu ya.”

Dia tampak paham, tapi entah kenapa wajahnya jadi suram.

“Ada apa? Kamu nggak mau?”

“…Tergantung siapa orangnya.”

Meskipun dia ngomong gitu, dari nada suaranya jelas maksudnya adalah: “aku sebenernya nggak mau.”

“Soalnya… bilang ke orang kalau aku tinggal sama cowok yang nyiksa aku, terus bilang ponselku dihancurin dan minta kontak mereka lagi… aku nggak enak ngomong begitu ke orang yang dulunya gak terlalu dekat.”

“Kamu juga nggak bisa pilih-pilih, kan?”

“…Hmm.”

Sepertinya dia masih bimbang.

“Apa ini karena… tergantung siapa orangnya, itu bisa melukai harga dirimu, makanya kamu nggak mau minta tolong pada mereka?”

“…Iya.”

Yah, Hayashi dulunya dijuluki Ratu. Pasti ada semacam kebanggaan rapuh dalam dirinya.

“…Tapi kurasa nggak apa-apa, kok.”

“Atas dasar apa?”

“Aku yakin orang ini bakal khawatir sama kamu.”

…Sebenarnya, aku pernah bicara dengan orang yang kutambahkan ke ponselnya Hayashi—setelah menampungnya di sini.

Waktu itu, dia sedang mencari Hayashi.

Tentu saja aku tahu di mana Hayashi. Lagian, dia tinggal di apartemenku. Tapi aku tetap bungkam.

Saat itu, aku sempat curiga mungkin dia punya hubungan dengan si bajingan mantan Hayashi. Makanya aku diam.

Tapi sekarang, setelah mendengar cerita Hayashi, aku yakin—mereka tidak punya hubungan.

“Nih.”

“…Hmm.”

Hayashi menerima ponselnya dengan ekspresi tak puas.

Lalu, matanya melebar.

“Yamamoto.”

“Apa?”

“Kok kamu punya kontak Akari?”

Nama yang terpampang di layar adalah Kasahara Akari—sahabat dekat Hayashi dari SMA.

Aku tahu persis apa yang dia maksud.

Dulu, hubunganku dan Hayashi cukup buruk. Tapi dia dan Kasahara sangat dekat—terlalu dekat, sampai aku bahkan enggan membahasnya.

Terus terang, itu wilayah gelap yang tidak ingin kuusik. Aku lebih rela ditatap tajam oleh Hayashi daripada membahasnya.

Singkatnya, dari sudut pandang Hayashi, dia merasa tahu segalanya tentang sahabatnya.

Jadi mengetahui bahwa aku, dari semua orang, punya hubungan dengan Kasahara yang tidak dia ketahui… pasti sangat mengejutkannya. Mungkin bukan hanya kaget—mungkin ada juga sedikit kemarahan.

“…Jangan banyak tanya.” Di bawah tatapan dingin yang dia berikan padaku, aku mengalihkan pandanganku, mulai merasa tidak nyaman.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close