NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 3 Chapter 9

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 9

Ratu yang Berpamitan

Selama seminggu terakhir, aku meninggalkan kamar Yamamoto yang telah kutinggali selama beberapa minggu dan kembali tinggal di rumah orang tuaku setelah sekian lama. Semasa SMA, rumah ini adalah tempat yang ingin segera kutinggalkan, tapi mungkin karena sudah tak ada lagi dendam dengan orang tuaku, seminggu ini terasa seperti waktu yang tenang.

Tapi, di tengah hari-hari itu, ada satu hal yang menggangguku.

Apa rumahku memang sesempit ini, ya...?

Waktu kecil, aku sering mengajak teman-teman main petak umpet di sini. Saat fusuma dibuka, aku bisa bersembunyi di balik lemari di ruangan sebelah, dan tempat itu cukup sulit ditemukan.

Tapi... mungkin karena tubuhku sudah membesar, sekarang aku tak bisa lagi bersembunyi di sana.

Pertumbuhan tubuh itu mungkin salah satu alasan kenapa rumah ini terasa lebih sempit.

Tapi yang paling utama... mungkin karena Ayah sudah tak ada lagi di sini.

Dulu... tidak, bahkan sampai beberapa waktu lalu, aku sama sekali tak ingin bertemu dengannya.

Sungguh, aku benar-benar orang yang gampang berubah.

...Tapi hari ini, setelah sekian lama, Ayah kembali ke rumah ini.

“Ayah, bagaimana rasanya pulang ke rumah setelah sekian lama?”

Aku bertanya padanya yang terbaring di ruang tatami di belakang ruang tamu, setelah dibawa pulang oleh petugas pemakaman.

Tak ada jawaban.

Bukan karena diabaikan.

Tapi karena aku takkan pernah bisa berbicara dengannya lagi seumur hidupku.

Tapi... hanya dengan fakta bahwa Ayah akhirnya bisa pulang, hatiku sudah merasa puas.

Ibu sibuk menelepon sanak saudara dan kenalan dari dapur. Sampai beberapa saat yang lalu, beliau masih berdiskusi dengan petugas pemakaman tentang jadwal pemakaman dan upacara perpisahan—benar-benar melelahkan.

“Dasar. Aku selalu bilang padanya untuk tidak meninggal duluan karena aku tak mau repot jadi orang yang mengurus semuanya...”

Bayangan Ibu yang menggerutu pada mendiang suaminya di dalam mobil yang sama dengan jenazah Ayah tak bisa kulupakan.

Mungkin alasan Ibu tak ingin Ayah pergi duluan bukan hanya karena urusan setelah kematiannya yang merepotkan.

“Kamu di situ rupanya.”

Saat aku duduk memeluk lutut di sebelah Ayah, Ibu menghampiriku dengan wajah kesal.

“Teleponnya sudah selesai?”

“Belum. Benar-benar merepotkan.”

“Pasti berat, ya.”

“Padahal kalau lihat koran besok, namanya juga akan ada di kolom belasungkawa. Tradisi kuno memang merepotkan.”

“...Haha.”

“Ah, bukan itu yang ingin kubicarakan. Kamu sudah menghubungi mereka?”

“Hm?”

Menghubungi?

Aku?

Siapa?

“Akari-chan dan Yamamoto-kun. Kamu sudah membuat mereka khawatir, jadi setidaknya beri kabar.”

“...Oh, benar.”

Aku tak memikirkannya sama sekali.

Memang benar, aku harus menunjukkan itikad baik pada mereka berdua, bukan hanya tentang Ayah, tapi juga karena sudah sering kurepotkan.

“Ya. Aku akan menelepon mereka.”

“Telepon dari kamarmu saja. Dapur akan kupakai untuk menelepon beberapa saat.”

“Oke.”

Setelah melirik sekilas wajah Ayah yang sudah dirias, dan meninggalkan ruangan. Sambil menaiki tangga, kuambil ponsel dan memutuskan menelepon Yamamoto dulu.

“Halo.”

“Cepet amat. Baru satu dering.”

“...Oh.”

Suara Yamamoto di telepon lebih suram dariku. Yah, dia memang bukan tipe orang yang mengangkat telepon dengan suara ceria.

“Tadi... ayahku meninggal.”

Kalimat yang kususun terdengar terlalu blak-blakan.

“Begitu. ...Turut berduka cita.”

“...Ya.”

Hening sejenak.

Biasanya obrolan akan berlanjut... tapi setelah mengucapkan fakta bahwa Ayah telah meninggal, isi kepalaku kacau dan pikiranku tak karuan.

Meskipun dokter sudah menyampaikan kabar kematian Ayah, meskipun aku sudah mengantarkannya dengan mobil pemakaman, sampai beberapa saat yang lalu aku terus menatap wajah Ayah yang telah dirias... tapi entah bagaimana, aku masih belum benar-benar bisa merasakan bahwa Ayah telah tiada.

Atau mungkin... aku sengaja berpikir demikian agar bisa menghindari kenyataan itu.

Tapi dengan mengucapkannya, aku terpaksa menerima bahwa Ayah sudah tiada.

“Kau sudah bekerja keras. Pasti berat, ya.”

“...”

“...Hayashi?”

“Aku... tidak merasa seberat itu, kok.”

Rasanya suaraku bergetar. Untuk menyamarkannya, aku mengatakannya dengan nada sedikit mencela diri sendiri di akhir kalimat.

“Begitu ya. Pasti masih akan berat untuk sementara waktu, tapi semangat, ya.”

“Ya.”

“Malam penghormatan terakhirnya besok?”

“...Ya.”

“Boleh aku datang?”

“Tentu saja.”

Aku buru-buru menambahkan:

“Justru, kau harus datang. Seminggu ini, setiap kali Ayah bangun, dia selalu bertanya, ‘Di mana Yamamoto?’, ‘Bagaimana kabar Yamamoto?’“

“Begitu rupanya.”

“Ya. Kamu lebih disukai Ayah daripada aku. Sungguh sial bagimu.”

“Harusnya kau bilang ‘Syukurlah’, kan?”

“Ya sial, lah. ...Orang itu, mirip sepertiku, sekalinya suka bakalan gigih banget.”

“...”

“...Jadi tolong datang dan temui dia untuk terakhir kalinya. Dia pasti senang.”

“Baiklah.”

“Kalau begitu, aku harus menelepon Akari juga.”

“Oke. Sampai nanti.”

“Ya.”

Setelah menutup telepon, aku melemparkan ponsel ke kasur.

“Hah...”

Setelah menghela napas... entah mengapa aku tak punya tenaga untuk menelepon Akari, dan tanpa sadar aku merebahkan diri di kasur.

Aku berbaring telentang beberapa saat, tanpa memikirkan apa pun... hanya menatap langit-langit.

...Ah, ya.

Saat Ayah pergi ke surga.

Bahkan setelah menelepon Yamamoto dan menyadari kenyataan bahwa Ayah sudah tiada...

“...Aku belum menitikkan air mata setetes pun.”

Apakah karena aku masih membencinya?

Dadaku memang terasa sesak sampai hampir menangis... tapi air mata tak kunjung keluar.

Ini bukan hal yang bisa dibanggakan. Bahkan mungkin memalukan. Ayah mungkin akan memakiku, menyebutku manusia berhati dingin.

“...Aku harus menelepon Akari juga.”

Kuambil ponsel dan memberi tahu Akari tentang kematian ayah.

Tapi tetap saja, air mata tidak keluar.

Setelah keluar dari kamar dan menuju dapur di lantai satu... Ibu masih menelepon.

“Iya, terima kasih banyak... Kalau begitu, sampai nanti.”

Tampaknya percakapan sudah selesai, dan Ibu menutup telepon.

“Haa...”

“Ibu sudah bekerja keras.”

“...Ya.”

Ibu berdiri.

“Mau minum kopi?”

“Biar aku yang buat.”

“Aku tak bisa mempercayaimu untuk masak. Besok jumlah orang yang harus didoakan di upacara malamnya akan jadi dua jika kau yang buat.”

“...Aku sudah bisa, kok, melakukan hal begituan.”

Lagipula, menyeduh kopi kan bukan termasuk masak-memasak.

“Oh begitu? ...Kau juga sudah banyak berubah ya.”

“Biar aku saja.”

Pada akhirnya, aku tak pernah memberi tahu Ibu detail tentang mantan pacarku—si pelaku KDRT—selain bahwa aku pernah mengalami kekerasan. Dan kurasa aku takkan pernah menceritakannya.

“...Kamu benar-benar sudah bisa menyeduh kopi, ya.”

Melihatku bekerja dengan cekatan, Ibu bergumam dengan nada penuh haru.

“Standar haru Ibu terlalu rendah.”

“Andai saja Ayahmu bisa melihat ini juga.”

“...”

“...”

“...Teleponnya sudah selesai semua?”

“Tinggal satu lagi. ...Ayahmu itu ketua RT sampai tahun lalu, jadi kenalannya banyak.”

“Benarkah?”

“Iya. Dia sering pergi rapat, kan?”

“Aku sengaja tidak memperhatikan.”

“...Ahaha. Masa pemberontakanmu memang parah, ya.”

Masa pemberontakan?

Apa bisa diselesaikan hanya dengan satu kata itu?

Aku merasa, Ibu pun pasti punya banyak hal yang ingin dia katakan padaku.

Aku malah berharap di sini, saat ini juga, Ibu memakiku sepuasnya. Rasanya... itu malah akan membuatku lebih lega.

“Hitam saja, tidak apa-apa?”

“Ya.”

Kutaruh cangkir di hadapan Ibu.

“Kamu sebaiknya tidur saja lebih awal.”

“...Aku ingin melihat Ayah lagi sebentar sebelum tidur.”

“Begitu? Besok harus bangun pagi-pagi, loh.”

“Tak apa.”

“...Baiklah.”

Saat aku menatap kosong wajah Ayah di ruang tatami, samar-samar aku bisa mendengar suara Ibu berbicara dari arah dapur.

Ibu dari dulu memang suka menelepon. Meski sering ditegur Ayah agar tidak menelepon terlalu lama, dia selalu saja keterusan.

Yah, aku juga suka menelepon, jadi aku mengerti.

...Ibu selalu menelepon dari dapur. Dalam ingatan masa kecilku, ada gambaran jelas tentang suara tawanya dari dapur sementara aku menonton TV di ruang tamu.

Karena telepon Ibu selalu terdengar menyenangkan. Mungkin karena itulah aku punya kesan seperti itu.

Tapi suara Ibu yang kudengar sekarang terasa... begitu sepi.

“...Tapi Ibu neleponnya tetap lama, ya.”

...Ah, ya. Teguran Ayah pada Ibu yang suka menelepon lama selalu sama:

“Kasihan lawan bicaramu, kan.”

“...Ibu neleponnya lama lagi, tuh. Gak mau ditegur?”

Tak ada jawaban dari ayah.

◇◇◇

Di hari upacara malam, aku bangun lebih awal dari biasanya dan mengenakan pakaian berkabung yang kubeli seminggu lalu.

“Selamat pagi.”

“Selamat pagi. Bangunnya cepat juga, ya.”

Berkat Yamamoto yang bangun lebih awal daripada para lansia, aku jadi sedikit lebih kuat bangun pagi dibandingkan dulu. Tapi Ibu sudah bangun lebih dulu dan menyiapkan sarapan.

Kami menyantap sarapan dalam keheningan.

“Bibi katanya akan datang sekitar jam 10.”

“Ya.”

“Petugas pemakaman juga datang jam segitu, ya? Mereka belum menghubungi.”

Ibu tampak gelisah. Sepertinya perkataannya soal tak ingin jadi pemimpin upacara bukanlah kebohongan.

Setelah sarapan, kami mulai bersiap menyambut kedatangan kerabat.

“Selamat pagi.”

Ketika persiapan hampir selesai, terdengar suara nyaring dari pintu masuk. Suara yang familiar.

“Mitsuko-san. Selamat pagi.”

“Selamat pagi. ...Turut berduka cita.”

Bibi Mitsuko adalah adik perempuan ayah.

Dari arah pintu depan, terdengar suara obrolan Ibu dan Bibi Mitsuko.

Tak lama kemudian, terdengar suara sepatu dilepas, diikuti langkah kaki di koridor.

“Oh... Megumi.”

“Selamat pagi.”

“...Kau pulang, ya.”

...Sikap Bibi Mitsuko padaku berbeda dari saat dia berbicara dengan Ibu di pintu depan—lebih dingin. Mungkin dia sudah diberi tahu bahwa aku pernah memutuskan hubungan dengan orang tuaku.

...Di dalam hati, mungkin dia berpikir, “Masih punya muka juga dia buat kembali ke sini.”

Kemudian, satu per satu kerabat berdatangan.

Entah dari mana mereka dengar. Pandangan mereka padaku... jelas tidak ramah.

Tak lama kemudian, petugas pemakaman tiba, dan prosesi memasukkan jenazah Ayah ke dalam peti dimulai.

Saat biksu mulai membacakan sutra, suara isak tangis memenuhi ruangan.

Di bawah arahan petugas pemakaman, barang-barang kenangan Ayah dimasukkan ke dalam peti.

Beberapa pria mengangkat peti Ayah, dan kami pun masuk ke mobil jenazah.

Tak ada percakapan di dalam mobil.

Karena itu... aku kembali menyadari tatapan dingin dari para kerabat, yang sempat kulupakan selama prosesi tadi.

...Apakah ini hukuman karena telah membalas kebaikan orang tua dengan kejahatan?

Anehnya, hatiku tenang.

Setelah beberapa persiapan, upacara malam pun dimulai di rumah duka.

Di aula beraroma dupa, sambil mendengarkan sutra yang dibacakan biksu, aku dan Ibu terus membungkuk berterima kasih pada tamu yang datang melayat.

“Kami turut berduka cita atas kepergiannya. Dari lubuk hati kami yang terdalam.”

“Terima kasih banyak.”

“Megu.”

Mengikuti Ibu yang memberikan salam sopan pada tamu, Akari memanggilku.

“Akari. Terima kasih sudah datang... Ah. Terima kasih banyak.”

“Tidak apa-apa. Turut berduka cita. ...Lihat, Yamamoto-kun juga ada.”

Di sebelah Akari, ada Yamamoto. Tampaknya mereka datang bersama.

“...Turut berduka cita.”

“Terima kasih.”

“...Hayashi, kau baik-baik saja?”

“Hm?”

“...Tidak, bukan apa-apa.”

Mereka berdua memberikan penghormatan terakhir, lalu meninggalkan aula.

Tak lama kemudian, upacara malam berakhir. Kami pindah ke ruang samping, menjamu para kerabat yang hadir dengan makanan dan minuman.

“Mari kita bersulang untuk almarhum.”

Dengan suasana yang masih khidmat seperti upacara tadi, jamuan berlangsung dengan tenang, seakan meratapi kepergian almarhum.

“Terima kasih sudah datang hari ini.”

Aku berkeliling menuangkan minum untuk para kerabat yang hadir. Sebagian besar dari mereka menunjukkan reaksi yang kaku padaku.

“Megumi-chan, kamu sudah tumbuh dewasa ya.”

“T-Terima kasih.”

“Loh, kamu tidak ingat? Dulu kamu kan sering diajak ayahmu main ke rumah.”

“Maaf.”

“Tidak, tidak apa-apa...Tapi kamu benar-benar sudah besar, ya. Sekarang kuliah di Tokyo, kan? Sesekali mainlah ke rumah. Nanti Om manjakan, loh.”

“Akan kupertimbangkan.”

Mungkin karena pengaruh alkohol, beberapa ada juga orang yang mengeluarkan komentar yang nyaris melecehkan.

Jika ini bukan acara untuk mengenang Ayah, mungkin sudah kuraih kerahnya, memakinya dan menamparnya.

Saat aku selesai berkeliling, waktu jamuan makan pun hampir berakhir, aku bahkan belum sempat makan dengan benar.

Setidaknya aku ingin memperbaiki riasanku, jadi aku keluar dari ruangan untuk pergi ke toilet.

Dan saat itulah, ketika aku hendak melewati ruang istirahat di depan toilet...

“Megumi-chan itu, dia kenapa sih?”

“Benar juga. Padahal sudah sangat disayang sama orang tuanya, berani-berannya memutus hubungan, dan sekarang dia masih punya muka untuk datang ke untuk pemakaman.”

“Pasti ngincar warisan. Dasar rendahan.”

“Jadi anak durhaka juga ada batasnya. Itu sih parah banget.”

Aku tak sengaja mendengar dua kerabat yang duduk di sofa sedang mencercaku.

“...Ah.”

“...Ini, eh—”

Mereka terlihat canggung saat menyadariku berdiri di belakang. Aku hanya mengangguk sopan dan melanjutkan ke toilet.

Di dalam toilet yang remang-remang, lampu otomatis menyala begitu sensor mendeteksiku.

“Dah kuduga sih...”

Aku berniat memperbaiki riasan, tapi malah membasuh muka dulu di wastafel.

“Aku sudah siap untuk ini.”

Tak ada air mata. Tak ada rasa syok.

“Jadi anak durhaka juga ada batasnya. Itu sih parah banget.”

Hanya saja, satu kalimat itu mengganjal di benakku.

“...Anak durhaka, ya?”

Dibesarkan di rumah ini sampai usia 18 tahun, diajari banyak hal. Tapi aku malah membangkang, kabur dari rumah... memutus hubungan, lalu dengan santainya muncul lagi di detik-detik terakhir Ayah, dan sekarang menghadiri pemakamannya.

Memang, dari luar, aku yang sekarang mungkin terlihat seperti orang yang hanya mengincar warisan dan berusaha memperbaiki hubungan demi keuntungan.

...Aku pasti terlihat seperti anak durhaka.

“Sebenarnya Ayah ingin aku jadi seperti apa, ya...?”

Setelah jamuan makan selesai, kami membereskan beberapa hal sebelum acara dibubarkan.

Besok adalah kremasi. Lalu upacara perpisahan.

Setelah itu, masih ada upacara 7 harian dan lain-lain... tapi besok adalah perpisahan terakhirku yang sesungguhnya dengan Ayah.

Tanpa menyalakan lampu kamar, aku duduk di kasur, menyandarkan punggung ke dinding

...Dalam kesunyian, pikiranku melayang-layang.

Tanpa sadar, tanganku sudah memencet nomor Yamamoto di ponsel.

“...Hayashi, kau baik-baik saja?”

Tiba-tiba, bayangan wajah Yamamoto di upacara tadi muncul di kepalaku. Ekspresinya yang khawatir...

“Tak diangkat juga.”

Sudah jam 1 pagi.

Yamamoto memang biasa tidur dan bangun awal.

Pasti dia sudah...

“Halo.”

Diangkat.

“Halo?”

...Diangkat, ya.

“Halo? Hayashi?”

“Hei Yamamoto, kamu punya keinginan untuk menikah?”

“Hah!?”

“Apa kamu ingin menikah?”

Diam dari seberang telepon.

“Gimana?”

“...Aku memang ingin menikah.”

Suaranya terdengar bingung.

“Tapi tidak dalam waktu dekat.”

“...”

“...”

“...Hmm.”

“Apa-apaan ini. Tiba-tiba sekali.”

“...Kalau begitu, apa kamu ingin punya anak?”

“Ya, suatu saat nanti.”

“Kalau begitu, jika kamu punya anak... perempuan. Dan hanya satu. Satu-satunya. Jika kamu punya anak perempuan satu-satunya—”

“...”

“...Anak itu sangat lancang. Waktu kecil polos, penurut, baik hati, atletis, dan cantik. Jadi pusat perhatian di kelas... Tapi saat SMP, saat dia mulai merasa mengerti dunia, dia jadi sombong dan memberontak pada orang tua.”

“...Ah.”

“Dan akhirnya memutuskan pergi dari rumah. Bahkan meninggalkan kata-kata menyakitkan. Jika kamu punya anak kayak gitu... apa yang kamu harapkan darinya?”

Setelah selesai bicara, aku sadar.

Ini kan, sudah jelas. Ini ceritaku... terlalu jelas.

Dengan pertanyaan segamblang ini, bahkan seorang Yamamoto pun pasti takkan bisa menjawab tanpa prasangka.

“...Begini.”

Suara Yamamoto jelas kebingungan. Mungkin... dia sedang berpikir keras bagaimana menjawabnya.

“...Aku tidak pernah terlalu memikirkan hal itu. Aku belum pernah punya anak. Dan belum ada rencana punya anak sekarang.”

“Ya.”

“Tapi, jika aku punya anak, bagaimana, ya. Mari kesampingkan dulu detail spesifik tentang anak perempuan tadi.”

“...Ya.”

“...Jika aku punya anak, bahkan jika dia sangat manis sekalipun...”

Suaranya lembut.

“Aku mungkin takkan berharap dia lebih bahagia dari siapa pun.”

Aku tak mengerti.

Tanganku yang memegang ponsel mulai gemetar.

“Kenapa...?”

“...”

“Kenapa? Kenapa begitu? Itu anakmu sendiri, kan? Anak yang sangat kau sayangi. Tapi kau tak ingin dia lebih bahagia dari siapa pun? Putrimu sendiri...? Orang tua harusnya ingin anaknya lebih bahagia dari siapa pun, kan? Itulah yang namanya orang tua!”

Darah naik ke kepala, suaraku meninggi.

Tiba-tiba, sebuah kenangan muncul.

Itu adalah... percakapan terakhir dengan Ayah sebelum memutus hubungan. Kupikir itu akan jadi yang terakhir kalinya. Makanya aku hanya memberitahu tentang rencana hidup bersama pacar, dan setelah itu terserah mau jadi apa.

Tapi, ada satu kalimat Ayah yang membuatku kesal.

Aku membentaknya. Menyalahkannya karena tak mendoakan kebahagiaanku... menyebutnya bukan orang tua yang pantas.

‘Apa kau gak mau aku bahagia? Ini kan hidup bersama. Aku mau membangun cinta dengan orang yang kusukai?’

Lalu ayahku menjawab...

Ayahku yang tegas dan kuat itu...

‘...Ayah ingin kamu bahagia. Tapi bahagia yang biasa-biasa saja sudah cukup.’

Kata-katanya persis dengan yang Yamamoto ucapkan barusan. Kata demi kata.

“Apa maksudnya itu.”

“Biasa saja tak apa. Bahagia yang biasa sudah cukup.”

“Apa maksudnya itu...”

“Karena... untuk meraih kebahagiaan, selalu ada risikonya, kan?”

“...”

“Misal anakku ingin jadi orang terkenal dan mengejar karir sebagai seniman, belum tentu dia akan sukses. Kalau gagal, gimana? Dia bukan hanya menyia-nyiakan masa mudanya, tapi mungkin tak punya bekal apa pun saat dewasa. Tak punya kemampuan untuk hidup mandiri. Dan akhirnya tersesat di kemudian hari.”

“...”

“Ingin jadi miliarder juga sama. Nafsu itu tak ada habisnya. Jika sudah dapat 100 juta, selanjutnya ingin 200 juta. Kalau dapat 200 juta, akan bertambah jadi 300, 400 juta, dan seterusnya. Pada akhirnya, sebanyak apa pun uang yang didapat, mungkin dia takkan merasa bahagia lagi.”

“...”

“Aku tak ingin itu terjadi.”

“...”

“Jadi, aku hanya ingin anakku hidup biasa saja. Meraih kebahagiaan yang biasa.”

...Apakah Ayah saat itu juga memikirkan hal yang sama?

“...Aku takkan memaksanya belajar terlalu keras. Tapi terlalu malas juga tidak boleh. Itu sama saja membuang hidupnya. Aku mungkin akan cerewet mengingatkan kesalahan kecilnya.”

Apakah Yamamoto yang sekarang...

“Jika ingin ke Tokyo untuk kuliah, akan kuizinkan... tapi tergantung kondisi ekonomi. Mungkin dia harus mempertimbangkan beasiswa. Itu juga utang, dan sebisa mungkin aku tak ingin dia menyulitkan diri di masa depan.”

Apakah Yamamoto memikirkan hal yang sama dengan Ayah...?

“...Lalu, aku juga tak ingin dia buru-buru menikah. Pasti ada hal yang hanya bisa dilakukan saat masih lajang. Jadi, aku ingin dia menikmati masa lajangnya secukupnya baru menikah. Yah, kslau kelamaan juga tidak baik, sih.”

...Itu sudah jelas.

“...Hayashi?”

Baik saat aku menyaksikan kematian Ayah.

Maupun kemarin, saat aku benar-benar merasakan kematiannya.

Perasaan sedih itu ada, tapi tak meluap.

Namun kini... Perasaan itu menetes dan meluap dari mataku.

Melalui Yamamoto, aku akhirnya mengerti perasaan Ayah saat itu...

Makna di balik sikap tegasnya selama ini...

Kasih sayang Ayah...

“...Uuu, uuuuh...”

Tak bisa membendungnya lagi, aku pun menangis tersedu-sedu di telepon.


Melihatku hidup terburu-buru, Ayah yang kaku dan tak pandai bicara itu... apa yang dia rasakan?

Pasti dia khawatir.

Pasti dia sering menghela napas.

Pasti dia merasa harus mengeraskan hatinya dan memarahiku.

Dalam dua kata sederhana itu...

Ayah...

Betapa besar perasaan yang dia curahkan...?

“...Jangan menangis. Besok mau ketemu ayahmu dengan wajah seperti apa?”

Suara lembut Yamamoto terdengar dari ponsel.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close