NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 3 Chapter 8

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 8

Ratu yang Merelakan

Setelah aku selesai menjelaskan perpisahanku dengan Ayah, Hayashi menunduk dengan wajah serius.

“...Maaf.”

Dengan suara berat, Hayashi mengucapkannya.

“Jangan minta maaf. Kau tidak salah apa pun.”

“...Tapi, maaf.”

Hayashi menyeka air mata yang menggenang di sudut matanya dengan jari.

“Aku benar-benar minta maaf sudah bilang kalau kamu gak akan ngerti perasaanku...”

Sebenarnya, aku sama sekali tidak mempermasalahkannya.

Waktu berlalu dalam keheningan sampai hati Hayashi benar-benar tenang.

“Maaf. Aku sudah tenang sekarang.”

“Aku yang harusnya minta maaf. Membicarakan hal seperti ini di saat kau sedang tertekan.”

“...Tidak apa.”

“...”

“Hanya saja, aku merasa agak mengerti sekarang.”

“Mengerti apa?”

“Alasan kenapa kamu sering mengeluarkan kata-kata yang terdengar begitu bijak.”

“...Oh.”

“Bukan hanya itu. Alasan kamu bersikeras bahwa dirimu adalah orang yang egois, aku yakin pemicunya juga dari sana.”

“...”

“Karena kamu terpaksa memiliki pola pikir yang seolah menelantarkan ayahmu yang semakin lemah, kamu mulai merasa dirimu egois. Aku pikir... kamu membenci dirimu sendiri.”

“...Hampir benar, tapi sedikit meleset.”

“Apa yang meleset?”

“Aku tidak membenci diriku atas pola pikirku waktu itu.”

Hayashi menatapku dengan wajah cemas.

“...Justru karena aku tidak membenci diriku, aku semakin yakin bahwa aku orang yang egois, manja, dan mau menang sendiri.”

“...Itu pasti sangat berat.”

“Bisa dibilang begitu.”

“Kenapa jawabanmu menggantung begitu?”

“...Memang benar, sebagian besar kenanganku dengan Ayah terasa kelam. Yang bisa kuingat hanyalah sosok Ayah yang semakin kurus dan Ibu yang kelelahan.”

“Kalau begitu...”

“Tapi, di antara semua kenangan suram itu, ada juga kenangan bahagia.”

“...”

“Jadi... tolong jangan menilai hidupku hanya dari satu sisi tragedi kehilangan seorang ayah.”

Memang benar, ada saat-saat aku nyaris hancur karena kehilangan ayahku, tapi jika kupejamkan mata, ada banyak momen bahagia yang bisa kugali kembali.

Kenangan saat kami bertiga pergi berkemah.

Kenangan membeli kotak pensil dengan uang tahun baru dari orang tuaku.

Kenangan saat aku turut bahagia melihat Ibu menikah lagi setelah Ayah tiada.

Kenangan saat adik perempuanku lahir.

“Karena ada kenangan dan pengalaman bahagia itulah aku tidak jadi putus asa meski kehilangan Ayah.”

“...”

“Perpisahan dengan Ayah justru menjadi bahan bakar bagiku untuk terus menjalani hidup hingga sekarang.”

Setelah berbicara dengan begitu berapi-api, aku tersenyum masam.

“Terlalu berlebihan, ya?”

“...Begitu rupanya.”

Hayashi mengangguk dalam-dalam.

“...Hei, Yamamoto.”

“Apa?”

“Ada satu hal yang ingin kutanyakan.”

Hayashi mengangkat wajah dan menatapku. Ekspresinya berbeda dari biasanya saat dia melotot marah. Kali ini, tatapannya serius, seakan tidak mengizinkanku untuk berpaling.

“Kamu pernah bilang, kan, sebelumnya?”

“...”

“Waktu itu aku bertanya, apa yang akan kamu rasakan jika suatu saat aku harus meninggalkan apatemenmu...”

...Ah, benar. Aku ingat.

Saat itu, Hayashi akan pergi ke festival musim panas, dan aku membelikannya yukata. Sebelum memberikannya, dia bertanya padaku—Apa yang akan kurasakan jika Hayashi pergi dari apartemenku

Jawabanku saat itu... “Aku tidak tahu.”

Karena aku...

“Mungkin karena aku tidak pernah punya penyesalan.”

Sepanjang hidupku, aku telah mengalami beberapa perpisahan.

Dengan kenalan.

Dengan guru.

Dengan teman.

Dan... dengan keluarga.

Dengan Mike.

...Dengan Ayah.

Secara objektif, kematian keluarga bisa disebut tragedi.

Tapi sampai kini, belum pernah sekalipun aku merasa benar-benar sedih.

Aku merasa berat, tapi tidak pernah putus asa, tidak pula jadi pesimis. Aku justru merenungkan tindakanku dan memanfaatkannya untuk melangkah ke depan.

Kenapa aku tidak putus asa?

Kenapa aku tidak merasa sedih?

Karena aku tidak punya penyesalan.

“Apa kamu benar-benar tak punya satu pun penyesalan?”

Pupil mata Hayashi bergetar.

“Setelah berpisah dengan keluarga yang paling kau sayangi... kau benar-benar tidak ada penyesalan?”

Mendengar suara Hayashi yang gemetar, aku tersenyum masam.

“Tidak.”

Ini bukan kebohongan.

Aku tidak punya penyesalan.

...Akan tetapi.

“Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal.”

Dulu, aku dan Ibu sering bolak-balik ke rumah sakit untuk merawat Ayah. Tapi sekeras apa pun kami berusaha, sekuat apa pun kami menyemangatinya, kondisi Ayah tak kunjung membaik.

Memburuknya penyakit Ayah membuat Ibu terpuruk. Baik secara fisik maupun mental...

Karena masih anak-anak, bantuanku mengurus rumah tidak cukup untuk menutupi lubang kenestapaan yang dialami Ibu.

...Aku merasa tidak berdaya. Aku merasa hina karena tidak bisa mengubah keadaan.

Lambat laun, aku mulai berpikir:

Bagaimana cara mengubah situasi ini?

Bagaimana caranya agar kondisi Ibu membaik?

Bagaimana kami bertiga bisa bahagia lagi?

Aku tidak menemukan jawabannya.

Aku segera menyadari:

Tak ada jawaban untuk masalah ini.

Mungkin... kami bertiga takkan pernah bisa bahagia lagi.

Melihat Ayah yang terbaring lemah di kamar rumah sakit, aku pun berpikir...

Tanpa sadar, aku mulai mencari titik kompromi dengan realitas, dan segera menemukannya.

“Ya. Mungkin sebentar lagi dia mati.”

Aku sendiri sempat takut dengan betapa mudahnya aku memikirkan opsi untuk meninggalkan Ayah.

Tapi, agar aku dan Ibu bisa terus hidup dengan baik... hanya itu satu-satunya jalan.

Tentu saja, bukan berarti aku merawat Ayah dengan setengah hati.

Tapi, jika ditanya apakah aku benar-benar bisa tulus mendukung Ayah yang berjuang keras untuk hidup esok hari...

Jika ditanya apakah aku benar-benar bisa menjenguknya...

Jika ditanya apakah aku bisa memberinya senyuman...

Aku tidak yakin.

...Hari ayah meninggal adalah hari yang dingin di tengah musim dingin.

Saat menerima telepon dari rumah sakit dan bergegas keluar rumah, aku sadar lupa sarung tangan.

Tapi, melihat wajah Ibu yang hampir menangis sambil memegang kemudi, aku tidak sanggup meminta kembali ke rumah untuk mengambilnya.

Di ranjang rumah sakit, Ayah terbaring dengan tenang.

...Aku sadar, perpisahan kami sudah dekat.

Pada akhirnya, Ayah tidak pernah membuka matanya lagi sebelum mengembuskan napas terakhirnya.

Di tengah suara monitor EKG yang dingin, raungan pilu Ibu memenuhi ruangan.

...Aku hampir menghela napas lega.

Tapi, aku menahannya karena takut dimarahi Ibu jika ketahuan.

Aku ingat, tanganku terasa kaku bahkan setelah Ayah meninggal, padahal hanya berjalan dari parkiran ke dalam rumah sakit.

Saat aku mulai menggosok-gosok tangan untuk menghangatkannya, tiba-tiba aku sadar.

Oh, jadi aku takkan bisa ketemu Ayah lagi, ya?

Aku tidak merasa sedih.

Aku tidak menyesal.

Karena aku sudah siap.

Tapi... begitu saat perpisahan itu tiba, aku baru menyadari betapa banyak hal yang tidak bisa kuingat.

Kapan ya terakhir kali aku berlibur dengan Ayah?

Di mana ya restoran tempat terakhir kali aku makan dengan Ayah?

Apa ya kata-kata terakhir yang kuucapkan pada Ayah...?

Saat terakhir kami berbicara... apakah Ayah tersenyum?

“...Apakah Ayah bisa pergi dengan senyuman di saat-saat terakhirnya?”

Itulah yang masih mengganjal.

Karena pola pikirku yang terlalu pragmatis, aku memang sudah siap dengan perpisahan itu... tapi aku tidak bisa ikut merasakan kepedihan Ayah, atau kesedihan Ibu yang kehilangan suaminya. Aku tidak bisa mengantar Ayah dengan layak. Aku hanya jadi penonton di samping kematian orang tuaku sendiri.

Aku merasa malu dengan diriku sendiri.

Aku merasa diriku brengsek.

Aku merasa diriku sampah.

Aku merasa tidak bisa diselamatkan.

Dan, di saat yang sama, aku juga berpikir:

Apakah Ayah yang memiliki anak brengsek, sampah, dan tidak bisa diselamatkan seperti ini...

Merasa hidupnya...

“Apakah Ayah merasa hidupnya indah?”

“...Aku selalu merasa penilaianmu terhadap dirimu sendiri itu terlalu rendah.”

“...”

“Rupanya, itu juga berawal dari sana, ya.”

“..Entahlah.”

Tanpa sadar, aku menunduk.

Tidak ada penyesalan maupun kesedihan.

Tapi anehnya, sepertinya sekarang aku sedang merasa terpuruk.

“Ceritaku cukup sampai sini.”

Tapi, ini bukan waktunya untuk terus larut dalam kesedihan.

“Hayashi, mari kembali ke pembicaraan kemarin.”

Alasan aku menemui Hayashi hari ini... bukan untuk mengharapkan simpatinya dengan menceritakan masa laluku yang pahit.

“Kemarin aku bilang padamu, kan. Bahwa sekarang, setelah tahu ayahmu ajalnya sudah dekat, aku pikir penyesalanmu karena pernah bersikap buruk padanya itu sia-sia.”

“...Ya.”

“Jujur, itu adalah perasaanku yang sebenarnya. Melihatmu kemarin, hal pertama yang terpikir adalah... kau sedang memikirkan hal yang sia-sia.”

“...Kenapa?”

Mungkin berkat cerita masa laluku tadi...

Berbeda dengan kemarin, Hayashi terlihat lebih tenang. Dia berusaha mendengarkanku dengan kepala dingin.

“Karena sekarang bukan waktunya untuk mengkhawatirkan hal itu, kan?”

“...”

“Kamu menyesal sudah merepotkan ayahmu, kan? Kamu merasa bersalah sudah membuatnya khawatir, kan? Dan sekarang, ajalnya sudah dekat... kan!?”

Aku sendiri bisa merasakan suaraku mulai bergetar.

“Kalau begitu, ini bukan waktunya untuk cemas! Bukan waktunya untuk menyesali dan merenungkan kesalahan masa lalu!”

Jujur, aku sendiri terkejut.

“Hayashi, jangan buang waktumu untuk penyesalan yang sia-sia. Temuilah ayahmu sekarang, dan sampaikan semua yang ingin kau katakan sebagai bentuk permintaan maaf karena telah merepotkannya!”

Aku tidak menyangka akan mengungkapkan isi hatiku setulus ini pada Hayashi.

...Jika Hayashi adalah orang yang sama buruknya denganku, mungkin aku tidak akan berkata sejauh ini.

Dulu, hubungan kami di SMA dianggap sangat terlihat sangat rapuh dari luar. Sejujurnya, aku sendiri pernah menjaga jarak karena takut terjadi hal-hal buruk jika terlalu dekat dengannya.

Tapi sekarang berbeda.

Aku sudah mengenal Hayashi dengan lebih dalam.

“Aku dipukul...” Sisi lemahnya.

“Aku mau mulai kerja paruh waktu...” Sisi bodohnya.

“Mati sana!” Sisi menakutkannya.

“Pakaiin foundation, dong.” Sisi manjanya.

“Kali ini, biar aku yang membantumu!” Sisi tulusnya yang berjuang keras.

Aku sudah mengetahui begitu banyak sisi asli Hayashi yang tidak kuketahui di SMA.

Karena itulah, aku merasakannya.

“Aku tidak ingin kamu merasakan hal yang sama sepertiku.”

Aku tak ingin dia meninggalkan kenangan yang mengganjal saat berpisah dengan orang yang dicintai.

“...Ahaha.”

Hayashi tertawa hambar.

“Memang benar, sekarang... bukan waktunya aku menyesali kesalahanku, ya.”

Sepertinya dia mengerti.

Tapi, Hayashi masih menunduk, tak kunjung mengangkat wajah.

“Ada apa?”

“...Gapapa nih?”

“Apanya?”

“Kamu yang gak kayak biasanya... menyuruhku untuk bertindak tanpa pikir panjang.”

“...Haha.”

“Hm?”

“Jangan bodoh. Itu sudah sewajarnya, kan?”

“Sewajarnya?”

“Kalau ada kebakaran, apa kau akan berpikir dulu mau lari ke mana sebelum menggerakkan kaki?”

Mungkin karena tidak memahami analogiku, Hayashi menatapku dengan bingung.

“Maksudku, dalam situasi genting, sudah sewajarnya jika kita memprioritaskan tindakan daripada merenung.”

“...Oh.”

“Makanya, sekarang... kau harus memprioritaskan ayahmu di atas segalanya.”

Beberapa saat kemudian, Hayashi tersenyum kecut.

“Oke. ...Tapi, jadi bimbang.”

“Apa?”

“Aku belum siap secara emosional. Apa aku bisa bicara dengan tenang, ya?”

Oh, itu saja?

“Pasti bisa, kok.”

“Tapi... hubunganku dengan Ayah sangat buruk, loh?”

“Tetap saja, pasti bisa.”

“...Kamu tahu apa Yamamoto?”

“Sederhana saja.”

Aku tersenyum.

“Karena untuk itulah aku ada di sini, kan?”

Hayashi tertegun sejenak sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak.

“Kok kayak pernah denger, ya?”

“Oh ya? Kalau begitu, bisa kau tebak apa yang akan kukatakan selanjutnya?”

“...Ya.”

Hayashi tersenyum lembut.

“Aku akan mendengarkan kata-katamu sebagai referensi, tapi pada akhirnya aku yang harus memutuskan sendiri.”

“Ya.”

“Karena kalau bukan aku sendiri yang memutuskan... tidak ada artinya, kan?”

◇◇◇

Aku dan Hayashi berbincang cukup lama tentang rencananya ke depannya. Tapi, seperti katanya tadi, keputusan akhir ada padanya. Aku hanya sebatas mendengarkan dan memberi saran.

Banyak hal yang harus diputuskan Hayashi: pekerjaan, tempat tinggal, keluarga.

“Untuk sekarang, aku ingin bicara dengan ayah.”

Setelah diskusi panjang, hal pertama yang harus dilakukan ternyata sangat sederhana.

Yah, mengingat alasan kami datang ke rumah orang tuanya adalah untuk memperbaiki hubungan mereka, ini kesimpulan yang wajar.

“Itu keputusan yang bagus.”

Sebagai orang yang paling dekat dengannya akhir-akhir ini, aku setuju.

“Terus, Yamamoto.”

Dengan wajah ragu, matanya bergetar.

“Kalau bisa... aku ingin kamu ikut ke rumah sakit.”

“Ikut ke rumah sakit?”

Pertama yang terpikir adalah reaksi ayahnya jika melihatku di samping Hayashi saat dia bangun.

Aku membayangkan, jika aku adalah ayah yang bertemu putrinya setelah sekian lama, dan ada pria asing di sampingnya... apa yang akan kupikirkan?

“Oke.”

Aku punya banyak pertimbangan, tapi setelah menarik Hayashi sejauh ini, aku tidak bisa menolak.

“Kalau begitu, akan kuminta Ibu untuk menyiapkan mobil.”

“...Kira-kira, aku bakal dipukul, gak, ya?”

“Kalau dipukul, mau bagaimana?”

Hayashi tersenyum nakal.

Jika dipukul...

“Aku gak suka dipukul, sih... tapi sejujurnya, aku akan menghormatinya.”

“Apa kamu sedang menyindir?”

“Tidak. Aku sungguh-sungguh.”

Dari cerita yang kudengar dari Hayashi, ayah Hayashi mungkin kolot tapi punya prinsip jelas tentang baik-buruk.

Dia tidak segan mengakui hal baik, tapi juga tidak toleran pada hal buruk.

Bahkan jika akibatnya dia harus putus hubungan dengan putrinya sendiri.

Dan sekarang, dia akan bertemu putrinya setelah sekian lama—dengan pria asing di sampingnya.

Pasti aku akan dianggap sebagai pria brengsek yang telah memperdaya Hayashi dan merusak hubungannya dengan orang tuanya.

Dalam situasi seperti itu, seorang pria kolot yang memiliki prinsip baik-buruk yang jelas, pasti akan menilaiku dengan buruk. Bahkan tidak aneh jika dia sampai main tangan.

“...Mempertahankan pendirian meski dibenci orang lain itu tidaklah mudah.”

Untuk tidak mengubah prinsip meskipun dibenci orang lain... terkadang membutuhkan kesiapan untuk terluka. Faktanya, ayah Hayashi tetap teguh pada pendiriannya meskipun dibenci oleh putrinya sendiri. Apapun hasilnya, menurutku itu adalah hal yang patut dihormati.

“Yah, meskipun menurutku mengakui kesalahan dan meminta maaf juga sama sulitnya,” tambahku.

“...Kamu sedang mencoba menghiburku, ya?”

“Ini juga dari lubuk hatiku. Orang lain pasti akan terus mencari-cari alasan untuk lari.”

“...Aku tidak suka yang seperti itu.”

“Kalau begitu, meskipun dulu kamu merasa didikan orang tuamu sangat keras... mungkin itu semua berkat mereka, kan?”

“Mungkin juga, ya.”

Hayashi tersenyum malu-malu. Jika ini adalah dirinya yang dulu, dia mungkin akan cemberut... tapi sepertinya, kekesalannya sudah benar-benar hilang.

“Ibu, aku mau ke rumah sakit lagi hari ini.”

Di ruang keluarga lantai satu, setelah Hayashi mengatakan itu pada ibunya, tak lama kemudian kami sudah berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh ibunya, menuju rumah sakit tempat ayah Hayashi dirawat. Selama perjalanan, Hayashi tertidur di kursi belakang. Sepertinya semalam dia juga terlalu banyak berpikir hingga kurang tidur.

“Maaf, ya, Yamamoto-kun. Sudah merepotkanmu,” kata ibu Hayashi.

“Tidak apa-apa. Tolong jangan bilang ini merepotkan.”

“Terima kasih.”

10 menit kemudian, kami tiba di rumah sakit. Melalui rute yang sama seperti kemarin, kami menuju kamar tempat ayah Hayashi terbaring.

...Aku tidak tahu seperti apa rupa ayah Hayashi sebelumnya. Namun, melihat wajah penuh kepedihan Hayashi yang berdiri di sampingku, aku bisa menduga bahwa penampilannya yang sekarang jauh lebih kuyu dibandingkan dulu.

“Selamat pagi, Ayah.”

Hayashi berbisik pelan di telinga ayahnya. Suaranya lembut.

“...Kira-kira hari ini dia bangun, tidak, ya.”

“Entahlah.”

“Sekesal apapun kamu padanya, jangan coba-coba membangunkannya dengan paksa, ya?”

“Aku tahu.”

Meskipun sudah diperingatkan untuk tidak membangunkannya, Hayashi menggenggam tangan ayahnya dengan lembut. Mungkin dia ingin menenangkan hatinya yang masih gelisah.

“...Ngh.”

Mungkinkah karena tangannya digenggam? Atau karena ia merespon luapan perasaan dari putrinya?

Ayah Hayashi... perlahan, kelopak matanya yang tampak berat terbuka. Penglihatannya mungkin masih kabur, dia bernapas melalui mulut sambil perlahan mencoba memahami situasi di sekitarnya. Lalu, dia sadar. Putri kandungnya kini sedang menggenggam tangannya.

“...Oh.”

Suaranya kecil, singkat, dan ketus. Namun, dari suaranya yang sedikit pecah, terlihat jelas bahwa dia sedang terguncang.

“Apa-apaan sapaan itu. Aku sudah jauh-jauh datang menjengukmu, loh.”

Hayashi membalas dengan kata-kata ketus.

“Padahal dulu kamu sering bilang kesal dengan Megumi yang susah bangun pagi. Sekarang malah kamu yang jadi tukang tidur.”

Dia memberondong ayahnya dengan suara yang sedikit bergetar.

“...”

“...”

“...Maafkan aku.”

“...Ya.”

Bahu Hayashi mulai bergetar, dan kemudian terdengar isak tangisnya. Ayah Hayashi masih dalam kondisi setengah sadar, tetapi kesadarannya yang kabur sepertinya mulai kembali normal. Dia menoleh ke arah Hayashi.

“Kamu tidak apa-apa?”

“Iya.”

Ayah Hayashi tersenyum lembut pada putrinya. Beberapa saat kemudian, dia menyadari kehadiranku.

“...Kau siapa?”

“Maaf. Aku belum mengenalkannya, dia Yamamoto. Dia itu...”

“...Hayashi.” Aku menahan Hayashi.

“Sekarang, beliau sedang bertanya padaku.”

Ayah Hayashi masih menatapku. Tatapan matanya, meskipun digerogoti penyakit, tetap memiliki kekuatan. Seolah berkata, tergantung jawabanmu, aku takkan tinggal diam. Aku bahkan bisa merasakan ketegasan itu.

Tapi, sebagai orang yang telah tinggal bersama Hayashi untuk sementara waktu... ini adalah caraku untuk membuat batasan yang jelas.

“Perkenalkan, namaku Yamamoto. Aku dan Hayashi-san... adalah teman.”

“Kalian tidak pacaran?”

“Tidak.”

“Lalu, kenapa kau di sini?”

Pertanyaan ayah Hayashi yang begitu sederhana... cukup sulit untuk dijawab mengingat hubungan kami yang rumit. Jadi, aku memutuskan untuk berpikir sederhana juga. Tinggal bersama, berjanji untuk membantu, berutang budi karena dimasakkan... Pasti tidak dia mengharapkan cerita panjang yang membosankan seperti itu

“Karena dia adalah orang yang berharga bagiku.”


“Karena dia adalah orang yang berharga bagiku.”

Itu sebabnya, tanpa basa-basi... aku mengatakannya.

“...Meskipun tidak pacaran?”

“Benar.”

“Apa orang sepertimu, yang asal usulnya tidak jelas, bisa membuat putriku bahagia?”

...Bahagia, ya.

“Mungkin tidak bisa.”

“Apa?”

“Menurutku, kebahagiaan adalah sesuatu yang diraih dan dirasakan sendiri. Jadi, dengan standarku, dia mungkin tidak akan bahagia.”

“...Hmph.”

“Tapi, kurasa aku bisa membantunya untuk meraih kebahagiaan itu.”

“...”

“Jadi, jika dia berkata ingin meraih kebahagiaan dan meminta bantuanku, aku tidak akan pernah menolaknya, dan aku tidak akan segan-segan berusaha.”

...Sama seperti yang telah kulakukan selama ini.

“...Dasar laki-laki keras kepala.”

“...Itu salah satu dari sedikit kebanggaan yang kupunya.”

“Begitu ya.”

Ayah Hayashi tersenyum kecut.

“Aku juga begitu.”

“...Benarkah?”

“Ya. Aku sering gagal karena sifat ini. ...Tapi, aku tidak pernah ada niatan untuk berubah.”

“...”

“Kau juga, berpegang teguhlah pada prinsipmu.”

Setelah mendengar cerita dari Kasahara dan Hayashi... dan setelah berbicara langsung dengan ayahnya, aku menyadari sesuatu.

Dia dijauhi orang karena sifatnya yang rumit.

Dia punya prinsip baik-buruk yang jelas dan teguh.

Dia tidak mau mengalah hingga sering berada di posisi yang sulit.

Dan, meski sering gagal, dia melewatinya seolah angin lewat...

“Ya.”

Sifat ayahnya Hayashi sangat mirip denganku. Aku bisa mencium “bau” yang sama. Sampai-sampai aku geli sendiri.

Ayah Hayashi yang seperti itu... mengubah sikapnya.

Dia yang tadinya tidak sudi menitipkan putrinya pada orang asing yang asal-usulnya tidak jelas... kini mempercayakan putrinya padaku.

...Mungkin, dia sudah sadar.

Akan ajalnya sendiri.

Bahwa dia... sudah tidak akan bertahan lama lagi.

“Kutitipkan dia padamu, Yamamoto-kun.”

Ayah Hayashi tersenyum lembut.

Dan seminggu setelah reuni itu, ayah Hayashi meninggal dunia.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close