Penerjemah: Hanzel
Proffreader: Rion
Chapter 4
Jangan lupa mengumpulkan bendera yang kamu siapkan.
Sabtu tepat sebelum ujian.
Mungkin teman-teman sekelas sedang fokus mengerjakan tugas mereka masing-masing.
Tentu saja, aku juga ingin melakukan hal yang sama. Tapi, ada alasan kenapa aku tak bisa.
"Apa yang harus kulakukan... sungguh..."
Saat siang hari, ketika aku sedang fokus belajar ujian di kamar.
Yang memutus konsentrasiku adalah bel yang ditekan oleh gadis yang ada di depanku, Minase Nagisa.
Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya saat aku membuka pintu pintu adalah, "Ada orang? Kalau nggak ada aku masuk ya."
Kalimat yang pasti akan membuat semua siswa SMA laki-laki di negeri ini bersorak ria, tapi kenyataannya, yang ia bicarakan adalah topik berat; soal apakah ia akan keluar dari sekolah atau tidak.
"Yah, bukan berarti kamu punya alasan mendesak buat keluar sekarang kan?"
"Ya... tapi aku juga nggak terlalu sering masuk sekolah, dan anak yang jadi tujuanku masuk sekolah ini juga ternyata nggak ada, aku cuma bisa ngobrol lepas sama Akari dan Yuto, dan karena rumah kita dekat, walaupun aku keluar dari sekolah, aku masih bisa ngobrol sama kalian..."
Kata-kata "anak yang jadi tujuan" itu membuat telingaku refleks menangkap maksudnya.
Anak berbakat luar biasa seumurannya yang bisa ditemui kalau masuk ke Ichiyou---begitulah yang ayahku, Hokujou Yuya, katakan pada Nagisa.
Kalau aku bilang padanya bahwa anak itu mungkin adalah aku, apa yang akan dia pikirkan?
Merasa senang karena telah menemukan orang yang ia cari? Tidak, tak mungkin.
Dia keluar dari jalur teman seangkatannya yang seprofesi demi menemukan seseorang, dan ternyata yang ia temui adalah anak jurusan akademik biasa, yang bahkan belum pernah menyentuh dunia akting.
Pasti yang ada cuma rasa kecewa.
...Lagipula, aku sendiri sengaja menjauhi dunia akting karena tak mau mengikuti jejak ayah, dan kalau sampai dia menganggap aku punya bakat padahal aku bahkan belum punya pengalaman, itu pasti cuman akan jadi pandangan berat sebelah dari seorang ayah pada anaknya.
"Yah, aku juga nggak bisa ikut ujian, jadi mungkin nggak ada yang bisa dilakukan..."
Ia berkata sambil menatap pemandangan dari jendela, diikuti sorot mata yang tampak sedikit pasrah.
"...Kalau memang ada kesulitan, bilang saja. Mungkin aku bisa bantu... sedikit, setidaknya."
Saat aku mengatakan itu, dia tampak sedikit terkejut lalu segera tertawa.
"Apa itu barusan? Memangnya Yuto bisa apa?"
Ia mendekat perlahan dengan senyum mengejek seolah-olah sedang meremehkanku.
Awalnya aku cuma ingin sedikit menebus rasa bersalah karena bahkan tidak bisa bilang padanya kalau Hokujou Yuuya akan datang ke sekolah---karena takut hubungan kami terbongkar.
Tapi kini, rasa malu mulai muncul dari dalam diriku.
Dia adalah aktris aktif.
Sedangkan aku, hanyalah orang biasa.
Status kami sejak awal sudah berbeda.
Saat aku menerima godaan dari Nagisa sambil merasakan pipiku sedikit memanas, ia menyandarkan wajahnya ke bahuku.
"Tapi… kebaikanmu itu akan kuterima…"
Aku tak bisa melihat wajahnya, jadi aku tak tahu apakah itu sungguh tulus dari hati atau tidak.
Mengingat sifat Nagisa yang biasanya angkuh, suara lemah yang kini terdengar di telingaku mungkin saja hanya akting belaka.
Tapi tak masalah.
Untuk sekarang, aku hanya ingin mendengarkan kata-katanya.
Aku ingin mempercayai kata-katanya saja.
Setelah beberapa saat seperti itu, ia mengangkat wajahnya.
"Kalau aku benar-benar kesulitan, aku akan memintanya sambil menangis."
"Jangan lakukan itu, aku nggak yakin bisa menolak apa pun yang kamu minta."
"Hee~? Wajahmu kelihatan cool begitu, tapi kamu ternyata lemah sama air mata perempuan ya?"
"Itu didikan ibuku."
"Air mata perempuan itu, sembilan puluh persen isinya bohong."
"Laki-laki bersedia ditipu demi sepuluh persen sisanya."
Setelah percakapan kosong kami kembali seperti semula, Nagisa menjatuhkan diri ke atas tempat tidur.
"Maaf ya, mengganggu. Kamu sedang belajar buat ujian, kan? Lanjut saja, aku bakal diam saja kok."
Awalnya kupikir dia cuma bercanda, tapi ternyata dia benar-benar berniat tinggal.
Dia mulai asyik bermain HP sambil bermalas-malasan.
Aku pun mencoba kembali fokus ke meja belajar seolah tidak memedulikannya, tapi tentu saja, rasanya berbeda dibanding saat Akari yang datang.
Entah kenapa, dia seolah begitu mempercayaiku, tapi berbaring di ranjang anak SMA laki-laki yang seumuran, bukankah itu agak... ya begitulah.
Meski kupikirkan, takkan ada gunanya juga.
Pada akhirnya, aku hanya bisa belajar dengan konsentrasi yang tinggal separuh dari biasanya.
🔸◆🔸
Senin berikutnya. Hari pertama ujian.
Saat sedang menunggu Akari di depan lift, pintu rumahnya sedikit terbuka. Dari dalam ia berteriak dengan masih mengenakan baju tidurnya.
"Pergi duluan saja~!"
Hal seperti ini sudah sering terjadi sejak SMP, jadi aku tak terlalu mempermasalahkannya dan menekan tombol panggil lift.
Tiba-tiba punggungku ditepuk dengan keras.
"Selamat pagi!"
"Nagisa ya. Hari ini kamu masuk sekolah?"
"Yup. Kalau Akari?"
"Dia kesiangan, jadi bakal nyusul."
"Begitu… Padahal aku mau bareng dia juga biar bisa buat kenangan."
"...Kamu sudah memutuskannya? Soal keluar dari sekolah?"
"...Iya, kurang lebih. Lagipula, aku juga nggak belajar apa-apa di kelas, dan cerita temanku soal sekolah jarak jauh kayaknya menarik juga."
"Begitu... Ibu juga bilang kamu boleh kapan pun main ke rumah. Jangan bersikap seperti orang asing, yah. Kamu itu salah satu dari sedikit teman yang aku punya."
Saat aku mengatakan itu, Nagisa menatapku dengan mata puas lalu terkekeh pelan.
"Apa itu? Baiklah, sebagai salah satu dari sedikit temanmu yang ‘orang biasa’, aku akan menghormatimu."
"Itu sangat membantu."
Setelah itu, percakapan kami kembali seperti biasa.
Ekspresi Nagisa yang sempat terlihat suram pada hari Sabtu kini tampak jauh lebih cerah.
Kami melewati gerbang sekolah, lalu berganti sepatu di pintu masuk gedung pelajaran.
Biasanya, aku berpisah dengan Akari, Murai-san, dan Nagisa di sini karena kelas mereka ada di lantai dua.
Tapi hari ini berbeda.
Ada kerumunan orang di depan papan pengumuman, yang biasanya hanya memuat poster-poster soal perekrutan klub atau kegiatan sekolah.
"Ada apa? Kenapa ramai sekali?"
"Entahlah? Katanya ada yang dipasang di papan pengumuman…"
"Yah, aku juga sebentar lagi keluar, jadi itu nggak ada urusannya sama aku."
Nagisa hendak melangkah pergi ke kelasnya, tapi tiba-tiba seorang teman sekelasku yang kukenal menyelip di antara kami.
"Yuto! Sudah lihat belum!? Itu!"
Yamada Souma, teman sekelasku, menunjuk ke arah papan pengumuman dengan semangat tinggi, berusaha menyampaikan sesuatu yang tampaknya besar.
"Belum, kenapa memangnya?"
Mungkin karena terkejut oleh antusiasme Souma, Nagisa pun ikut menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya.
"Itu, loh! Sebagai penguji ujian jurusan hiburan tahun ini… kabarnya Hokujou Yuya bakal datang!"
Di belakang Souma, ekspresi Nagisa langsung membeku.
"Eh… baguslah, ya?"
Karena aku sudah tahu informasi itu sebelumnya dan karena nama ayahku disebut oleh teman sendiri, aku jadi sedikit gugup, memberikan respon yang aneh.
Saat kami sedang membicarakan itu,
Nagisa yang tadi membeku tiba-tiba bergerak, menyingkirkan Souma dan dengan kuat meletakkan kedua tangannya di pundakku.
"Yuto…! Aku… sepertinya belum bisa keluar dari sekolah ini!"
Wajah Nagisa saat mengatakan itu terlihat begitu bersemangat, lebih dari yang pernah kulihat sebelumnya.
🔸◆🔸
Ujian tulis di SMA Ichiyou dilaksanakan selama lima hari.
Setiap harinya, ada dua hingga tiga mata pelajaran.
Berkat itu, selama minggu ujian, para siswa bisa pulang lebih awal dibandingkan siswa dari jurusan lain.
Memanfaatkan hal itu, ada yang belajar mandiri di sekolah, atau mengadakan sesi belajar bersama di kafe bersama teman.
Tapi tampaknya satu-satunya partner belajarku, Souma, hari ini sudah punya janji untuk belajar bersama teman lain.
Dia sempat mengajakku ikut, tapi aku menolaknya secara halus.
Alasannya, karena aku bisa memprediksi dengan mudah kalau aku hanya akan canggung, membuat suasana jadi tidak enak kalau dikelilingi orang yang baru pertama kali kutemui.
Setelah ujian selesai, aku berjalan menyusuri koridor sekolah, ini adalah waktu yang biasanya dipakai untuk jam pelajaran.
Sebagian besar siswa yang mengikuti ujian tampaknya masih berada di kelas, jadi tak banyak yang berkeliaran di dalam sekolah.
Saat aku berjalan di dalam gedung yang sunyi dan tiba di pintu masuk tanpa kejadian apa-apa, aku melihat wajah yang kukenal berdiri di depan papan pengumuman yang tadi pagi dikerumuni orang.
Itu Aida Yume-san, murid yang duduk di depan bangkuku.
Yah, meskipun aku melihat wajahnya, kami bukan teman dekat yang bisa seenaknya menyapa, jadi aku memutuskan untuk pulang saja tanpa memedulikannya.
Namun saat aku hendak pergi, dia menyapaku dengan suara jernih yang rasanya pernah kudengar saat upacara masuk sekolah dulu.
"…Aoi-kun, ya? Kamu lihat? Poster ini."
Agak terkejut karena dia tiba-tiba menyapaku, aku pun menoleh. Aida-san mengarah ke poster di papan pengumuman yang mengumumkan kunjungan Hokujou Yuya ke sekolah.
"Aku belum lihat sih… tapi aku sudah tahu dari Yamada."
"Begitu… Maaf. Kaget, ya? Soalnya kamu sampai pasang wajah bodoh seperti burung dara yang kena tembak kacang polong begitu."
Padahal aku rasa ekspresiku tak sampai segitunya… Tapi, belakangan ini, apa memang lagi tren di kalangan siswi SMA untuk menghina orang dengan santai seperti itu?
Akari dan Nagisa juga kadang melontarkan hinaan-hinaan santai semacam itu.
"Aku cuma nggak nyangka kamu bicara padaku, itu saja. Jadi nggak perlu minta maaf."
"Memang sih, biasanya aku juga takkan menyapamu. Maaf, ya. Sekarang kamu boleh pergi, kok."
Meskipun dia berkata begitu, kalau aku tak salah mengira, dia tampak jelas-jelas ingin aku bertanya, "Kenapa kamu bicara padaku hari ini?"
…Tapi itu mungkin hanya perasaanku saja, jadi bisa saja aku salah.
Karena itu, aku memutuskan untuk mengikuti perkataan Aida-san dan pulang dengan tenang.
Sampai jumpa, Aida-san. Sampai besok.
Sambil berkata begitu dalam hati, aku pun bersiap mengganti sepatuku.
"…Kenapa kamu nggak tanya? Alasan kenapa hari ini aku tiba-tiba bicara padamu?"
Karena tak menyangka dia akan langsung bertanya seperti itu, aku tanpa sadar menjatuhkan sepatu yang sedang kupegang ke lantai.
"Eh… soalnya, rasanya aneh saja kalau aku bertanya terlalu dalam, padahal kita belum pernah ngobrol sebelumnya…"
"Belum pernah ngobrol? Pernah, kok. Hari kedua setelah masuk sekolah, tiga menit sebelum homeroom pertama. Aku, dirimu, dan Yamada-kun sempat bicara, kan?"
"...Itu ternyata bisa dibilang ngobrol, ya?"
Rasa-rasanya waktu itu aku cuma ditegur satu dua kalimat saja...
"Itu juga termasuk ngobrol. Obrolan itu definisinya dua orang atau lebih yang berbicara satu sama lain. Berdasarkan definisi itu, kejadian itu termasuk obrolan."
"Yah... kalau dari definisinya, memang bisa disebut obrolan..."
Dari percakapan barusan saja, rasanya aku sudah mulai tahu tipe orang seperti apa Aida-san ini.
"Oh ya, soal kenapa aku menyapamu tadi... karena aku lagi semangat saja."
"Semangat?"
"Soalnya aku penggemar berat Hokujou Yuya."
Sambil berkata begitu, dia mengangkat dagunya sedikit dan menunjukkan ekspresi bangga, entah kenapa terlihat sedikit pamer.
"Ah~ ...itu alasan kamu tadi keliatan serius sekali saat melihat posternya."
"Kurang lebih begitu."
"Tapi agak mengejutkan juga... Maaf kalau aku mengira-ngira, tapi kupikir kamu nggak akan tertarik sama aktor atau hal-hal semacam itu."
"Menurutku sih biasa saja, tapi..."
Wajah serius yang biasa kulihat dari bangkuku---rambut hitam panjang yang rapi, postur tubuh yang tegak sempurna. Seragam yang dikenakan dengan baik, lengkap dengan rok yang panjang sampai bawah lutut.
Semua elemen itu memberi kesan dia orang yang kalem dan sedikit kaku.
"...Hei."
Mungkin karena terlalu tenggelam dalam pikiran itu, tanpa sadar aku sempat melirik ke bawah.
"Bisa kamu berhenti memandangi pahaku?"
Dan sekarang dia mengira aku orang mesum karena ini.
"Aku bukan melihatnya, kok…"
"Jangan bohong. Kamu memang suka, kan? Paha perempuan."
Sekilas, aku memang ingat waktu sedang ngobrol soal itu dengan Souma, Aida-san datang.
Memang ingat, tapi…
"Aku nggak sebuas itu juga, tahu…"
"Hmm… entahlah."
Dia memeluk tubuhnya sendiri, seakan sedang mencoba melindungi diri.
Tolong berhentilah… Tatapan orang-orang yang mulai ramai di sekitar makin terasa menusuk...
"Itu cuma bercanda. Kamu kelihatan seperti sudah biasa bergaul dengan perempuan, jadi mungkin memang nggak sebuas itu."
Meski dia tak lagi bersikap defensif seperti sebelumnya, ternyata malah muncul kesalahpahaman lain.
"Aku bukannya terbiasa bergaul sama perempuan…"
"Serius? Tapi kamu sering bareng anak-anak dari jurusan hiburan, kan? Pagi ini kamu juga jalan bareng Minase-san, kan?"
"Iya… tapi dia cuma salah satu dari sedikit teman yang aku punya. Bukan berarti aku sudah terbiasa sama perempuan."
"Oh ya? Gitu toh. Maaf."
"Ya tak apa. Kalau begitu, aku pulang duluan, ya."
Besok masih ada ujian.
Kalau aku masih bisa punya waktu tenang di rumah, aku ingin memanfaatkannya sebaik mungkin.
Sambil meninggalkan kata-kata itu, kali ini aku benar-benar mengganti sepatu dan mulai berjalan.
"Tunggu sebentar."
"...Apa lagi?"
Tampaknya Aida-san masih punya urusan. Dia mendekat sambil memegang ponsel di tangannya.
"Mari bertukar kontak. Kita sudah mengobrol sejauh ini, artinya kita sudah berteman, kan?"
Karena tidak ada alasan untuk menolak, aku pun memindai QR code yang dia tunjukkan.
Sambil melakukannya, aku sempat berpikir… jangan-jangan, sekolah ini isinya orang-orang aneh semua?
Awalnya kupikir dia tipe kutu buku yang kerjanya cuma belajar terus.
Tapi setelah berbicara dengannya hari ini, aku sadar kalau dugaanku salah.
Sama seperti Souma, dia juga termasuk orang yang... eksentrik.
Begitu tukar kontak selesai, dia langsung pergi entah ke mana.
Dia benar-benar seperti angin topan, mengingatkanku pada Souma.
Kini aku sendirian di pintu masuk sekolah, menatap layar ponsel.
Itu adalah kontak perempuan pertama yang kudapat sejak masuk SMA, walaupun terjadi secara tak disengaja.
Tapi… foto profilnya adalah gambar ayahnya sendiri.
"Kenapa… rasanya agak nggak enak, ya…"
Tanpa sadar, aku menggumamkan hal itu.
Setelah "dibebaskan" oleh Aida-san, aku pun pulang dan, entah kenapa, bisa fokus belajar di kamar untuk pertama kalinya.
Biasanya, Akari sering datang setiap minggu, dan minggu lalu malah Nagisa yang datang secara mendadak, jadi aku tak bisa benar-benar berkonsentrasi.
Meski aku tak terlalu khawatir soal ujian, tapi persiapan yang matang pasti lebih baik daripada tidak sama sekali.
Sepertinya ibu juga sedang keluar, jadi aku makan siang dengan mi instan---menu yang mengutamakan efisiensi waktu.
Lalu, aku pun menjalani hari ideal dalam masa ujian; belajar di kamar yang tenang.
Tiga puluh menit fokus, lima menit istirahat.
Dengan ritme yang pas seperti itu, waktu terasa cepat sekali berlalu.
.
.
.
Waktu sudah lewat pukul lima sore.
Biasanya, ini adalah jam aku baru pulang ke rumah.
Aku menghentikan konsentrasiku sejenak dari buku teks, lalu keluar kamar untuk menambahkan teh hijau ke dalam cangkir kosong. Saat aku mulai memanaskan air di teko, bel rumah berbunyi.
"Permisi masuk~!"
Begitu pintu terbuka, seorang teman masa kecil masuk dengan langkah ringan serta cerianya.
"Permisi..."
Dan di belakangnya, dengan wajah tenang dan sopan, Murai-san ikut masuk seolah itu hal yang wajar.
"Silakan."
Aku mempersilakan mereka berdua masuk, menambah jumlah air yang direbus, lalu menuangkan teh hijau untuk mereka.
"Ooh! Perhatian sekali~!"
"Terima kasih."
Teman masa kecilku yang saking seringnya main ke sini sampai lupa kalau ini rumah orang lain, dan temannya yang tetap sopan dan beretika.
Seperti pepatah, "Lihat perilaku orang lain untuk membenahi diri sendiri," rasanya aku ingin Akari belajar sedikit sopan santun dari Murai-san.
"Maaf, Aoi-kun. Aku sebenarnya tahu ini masa ujian, jadi tadi sudah coba cegah Akari-chan, tapi…"
"Tak apa. Hari ini aku pulang lebih awal, jadi aku juga sudah cukup belajarnya. Kalian datang juga bisa jadi pelepas stres buatku."
"Begitu ya… kalau begitu, syukurlah."
Sambil berkata begitu, Murai-san duduk di sebelah Akari---yang sudah jadi tempat langganannya---dan menyandarkan punggung santai ke sofa, tampak sangat rileks.
Aku meletakkan teh untukku di meja kecil, lalu merebahkan diri di tempat tidur yang letaknya sedikit di belakang posisi mereka.
Hari ini, tampaknya Akari sedang tak ingin bermain game, melainkan menonton film. Dia mengambil remote dan memilih film yang diinginkannya.
Sebuah film romansa yang belum pernah kulihat.
Aku memang cukup sering menonton film, tapi biasanya hanya yang dibintangi oleh ayahku.
Kedua gadis itu tampaknya tidak terlalu fokus menonton, lebih menikmati obrolan santai sambil sesekali melihat layar.
"Ah, ngomong-ngomong, Aoi-kun tahu nggak? Katanya Hokujou-san bakal datang ke Ichiyou!"
"Oh, iya, aku dengar."
"Datar banget reaksinya~ …Padahal itu berita besar, lho? Anak-anak jurusan hiburan jadi heboh sekali. Soalnya, buat orang yang ingin jadi aktor, Hokujou Yuya itu sudah seperti legenda!"
"Heeh… Murai-san juga penggemarnya?"
"Hmm… bisa dibilang bukan cuma penggemar, sih… Umm, bilang begini mungkin bikin aku terdengar memalukan, tapi…"
Dengan pipi yang sedikit memerah, Murai-san menatapku seolah berkata, "Jangan ditertawakan, ya?"
"Aku nggak bakal mikir begitu, kok."
"Kalau begitu... daripada dibilang penggemar, aku lebih merasa dia adalah orang yang harus aku kejar… semacam itu."
Mungkin karena gugup mengatakannya dengan suara lantang, nada bicaranya terdengar lebih kaku dari biasanya.
"Menurutku itu sama sekali bukan sesuatu yang memalukan, lho."
"Begitukah…"
Pipi Murai-san kembali memerah, lalu ia memalingkan pandangan kembali ke layar.
"Tapi, murid angkatan tahun ini benar-benar beruntung, ya! Soalnya bisa diperhatikan langsung oleh Hokujou-san, bahkan dapat masukan secara pribadi setelahnya, kan?"
"Iya, memang beruntung. Tapi…"
Murai-san yang awalnya setuju dengan pendapat Akari, tiba-tiba menjadi sedikit muram.
"Bisa jadi… justru ini membuat kondisinya jadi lebih berat bagi Minase-san."
Dia menunduk menatap cangkir teh di tangannya, dan berbisik pelan.
"Kalau Hokujou-san menjadi juri, maka pengaruh yang dimiliki pihak juri terhadap dunia hiburan pun akan meningkat pesat. Dalam kondisi seperti itu, pasti sedikit sekali orang yang mau menjadi pendamping bagi Minase-san. Lagipula… siapa pun yang bekerja sama dengannya justru berisiko hanya akan menjadi beban."
Aku mencoba mencerna dan merangkum ucapan Murai-san dalam pikiranku.
Mata Nagisa pagi ini tampak penuh semangat.
Mungkin dia merasa berharga jika bisa dinilai langsung oleh sosok yang ia kagumi, bukan sebagai seseorang yang berada di industri yang sama, melainkan sebagai seorang juri.
Tapi masalah utamanya masih belum berubah sejak awal.
Apakah ada orang yang mau berdiri bersamanya di atas panggung?
"Sebenarnya agak aneh. Soalnya biasanya kalau sudah dapat tim, mereka akan melapor ke guru dan nama-namanya ditulis di kertas yang ditempel di depan ruang guru. Tapi sampai sekarang, nama Minase-san belum ada juga. Meski begitu, dia juga nggak terlihat mencari anggota tim sama sekali. Yah… kabarnya sih hari ini dia mulai mengajak bicara beberapa orang, tapi sebagian besar dari mereka sudah punya tim masing-masing…"
Murai-san mengatakannya dengan nada sedih, dan sekali lagi aku merasa kalau dia memang orang yang baik.
Alasan kenapa Nagisa tak terlihat mencari anggota mungkin karena sebelumnya dia memang tak berniat mengikuti ujian ini.
Namun hari ini, perasaannya berubah. Sayangnya, perubahan itu datang terlambat.
"Aku sempat berpikir, ‘Bagaimana kalau aku keluar dari tim dan bantu dia saja’, tapi… waktu aku coba ajak dia bicara hari ini, dia malah nolak. Katanya, cukup ada satu laki-laki di dalam timnya, jadi dia nggak perlu aku."
"Yah… mungkin Nagisa juga sebenarnya cukup sadar diri soal pengaruhnya. Aku rasa dia memang orang yang memikirkan hal-hal seperti itu."
Mungkin itu salah satu bentuk perhatian darinya---dengan menjaga jumlah orang dalam tim seminimal mungkin.
"Eh? Aoi-kun, kamu kenal sama Minase-san?"
Murai-san bereaksi terhadap gumamku, dan nada seriusnya tadi langsung berubah menjadi suara kaget yang nyaring.
"Ah, Hinata-chan belum tahu ya? Si 'Minase-san' ini tinggal di sebelah sini, lho~"
"Yah, dia memang baru pindah ke sini, jadi hubungan kami masih dangkal… Tapi sekarang aku baru sadar kalau aku belum pernah cerita soal itu."
"Aku sama sekali nggak tahu!!"
Ia menekankan kata "sama sekali" sambil membungkuk ke depan, menunjukkan keterkejutannya dengan sangat antusias.
"Kalau begitu… kalau aku tahu dari awal, mungkin aku bisa coba akrab dan bantu sesuatu…"
"…Murai-san memang orang yang baik, ya."
"Kan? Hinata-chan itu anak baik, lho!"
Dengan wajah bangga entah kenapa, Akari mengelus kepala Murai-san yang duduk di sebelahnya, dan Murai-san---mungkin karena tak terbiasa dipuji---wajahnya langsung memerah.
Sekarang tak seorang pun memperhatikan layar televisi.
"Yah, tak perlu khawatir."
"'Tak perlu khawatir katamu, tapi itu terlalu tak bertanggung jawab..."
"Tak apa."
Dengan nada yang lebih kuat dibanding sebelumnya, kata-kata itu kusampaikan dengan penuh keyakinan.
"Tenang saja. Aku yang akan mengurusnya."
🔸◆🔸
Hari Kamis, tinggal satu hari lagi sebelum ujian berakhir.
Siang hari aku belajar sendirian, lalu menjelang sore Akari dan Murai-san biasanya datang ke rumah---rutinitas itu sudah terbentuk dengan sendirinya.
Hari ini pun, seperti biasa, aku fokus belajar dan mengangkat wajah saat mendengar bel pintu berbunyi.
Waktu masih belum lewat pukul tiga sore.
Jauh lebih awal dari biasanya.
"...Yo."
"Eh? Hari ini kerja?"
"Iya."
"Begitu..."
Hanya menukar kata-kata singkat itu, aku pun mempersilakan Nagisa yang membunyikan bel masuk ke rumah.
Ekspresinya saat menatap uap yang naik dari cangkir yang kuberikan tak memperlihatkan apa yang sedang ia pikirkan.
Aku agak bingung melihatnya duduk di atas tempat tidur tanpa terlihat terganggu, tapi setelah berpikir sejenak, aku ikut duduk di atas tempat tidur dengan menjaga jarak.
"Jadi? Kamu datang ke rumahku buat apa?"
"Mmn... entah?"
Humor kecil yang coba kulontarkan untuk mencairkan suasana yang terasa agak berat pun menguap bersama uap dari cangkir yang sedang dipandangi Nagisa.
"…Jadi? Ada apa?"
Meskipun aku sudah bisa menebak sebagian besar alasannya, aku tetap memulainya dari awal, langkah demi langkah.
Waktu yang mengalir perlahan, detik demi detik, membuatku bertindak seperti itu.
"Aku pernah bilang, kan, kalau aku ingin ikut ujian?"
Dia merangkai kata-kata itu seolah berbisik.
"‘Masih belum bisa berhenti,’ katamu waktu itu."
"Yuya-san selalu memujiku setiap kali kami tampil bersama sejak aku masih jadi aktris cilik. Tentang aktingku."
"Yah, dia memang kelihatan seperti orang baik."
Terutama soal suka anak-anak, itu selalu dia katakan di televisi.
"Beneran… Makanya, suatu saat aku jadi penasaran. Apa jadinya kalau Yuya-san benar-benar menilaiku."
"Makanya kamu memutuskan ikut ujian?"
"Begitulah. Tapi sepertinya aku nggak bakal bisa ikut…"
Dengan nada mencela diri sendiri, dia bergumam, menunjukkan kegelapan yang seolah membuatnya tenggelam sepenuhnya, seperti kehilangan semua motivasi.
"Aku seharusnya bertindak lebih cepat. Sekarang semua orang sudah punya pasangan mereka masing-masing."
"Itu juga hasil dari pertimbanganmu sendiri, kan? Kamu berusaha menjaga perasaan orang lain. Kamu ternyata punya sisi seperti itu juga, ya..."
Begitu aku bilang, ekspresi gelap di wajahnya tersembunyi, berganti dengan senyum menyeringai.
"Eeeh? Apalagi itu? Tiba-tiba bersikap sok pacar begitu? Memang sih jarak kita sudah agak dekat, tapi kayaknya masih kecepetan, deh? Apa karena teman perempuanmu sedikit, jadi nggak tahu beginian? Coba dekati aku dari awal lagi deh, baru ulangi~?"
Nada bicaranya jelas-jelas provokatif, dan dia bicara dengan sikap merendahkan seolah aku lebih muda darinya.
"Bukan maksudku begitu…"
Aku menyadari tubuhku memanas karena kata "sok pacar" itu.
Mungkin pipiku juga memerah.
Melihat itu, Nagisa pun tersenyum puas.
"Yah, besok aku ke sekolah, jadi mungkin aku akan coba lebih keras lagi."
Dia memiringkan cangkirnya sekaligus, tampaknya menghabiskan isinya, lalu meletakkan cangkir kosong itu di meja samping tempat tidur dan berdiri.
"Boleh baca manga?"
"Itu punya Akari, tapi yah, seharusnya nggak masalah."
"...Apa sebaiknya aku minta izin dulu, ya?"
"Sepertinya tak perlu. Itu ada di kamarku, jadi secara teknis harusnya jadi milikku. Tapi ya, entahlah."
"Benar juga."
Tak lama setelah itu, bersamaan dengan bunyi bel pintu, terdengar langkah kaki dua orang yang langsung membuka pintu dan menuju ke kamarku."
"Permisi ya~ …Eh, Nagisa! Hari ini kerjaannya sudah selesai?"
"Iya. Hari ini lumayan cepet selesai."
"Oh, gitu, gitu," kata Akari sambil tanpa ragu duduk di sofa seperti niasa.
Biasanya, Murai-san akan mengikuti di belakangnya, tapi kali ini dia tampak agak canggung, menatap Akari dan aku bergantian.
"Halo. Kayaknya kita pernah ngobrol sebelumnya, ya? Murai-san… benar, kan?"
"Ah, halo… Aku Murai Hinata."
"Aku nggak keberatan duduk di sebelah Yuuto, jadi kamu boleh duduk di sebelah Akari, kok."
"Oh, terima kasih."
Dengan ucapan itu, Murai-san duduk di posisi biasanya dengan sedikit ragu.
Murai-san orang baik, jadi mungkin dia ragu meninggalkan Nagisa sendirian di antara para gadis ini.
"Oh iya, aku sudah bilang ke Hinata-chan, tapi Nagisa, besok mau datang? Ke acara ‘selamat atas ujian’ buat Yuto."
"Tunggu? Aku nggak tahu apa-apa soal itu."
"Yuto-mama yang bilang, kok."
"Aku nggak tahu…"
Entah kapan, ternyata acara ‘selamat atas ujian’ ini sudah direncanakan diluar sepengetahuanku.
Saat aku menunjukkan ekspresi bingung, Nagisa berbisik dengan suara yang hanya bisa kudengar, "Biasanya sok cool, tapi sekarang malah di-bully begini, lucu juga~"
"Lalu, Nagisa bisa ikut~?"
Saat Akari bertanya begitu, Nagisa melipat lututnya yang sebelumnya diluruskan, lalu menatapku dari bawah sambil tersenyum kecil dan berkata,
"Boleh? Aku ikut juga."
"…Silahkan."
Melihat senyuman lembut yang belum pernah kulihat sebelumnya dan mendengar suara lembut yang hampir seperti desahan itu, aku pun tak bisa menolak.
Sambil memastikan agar wajahku tak terlihat orang lain, aku mengangguk menyetujui.
.
.
.
Keesokan harinya, acara "selamat atas ujian " yang diadakan oleh Souma tanpa membedakan jurusan biasa dan jurusan lanjutan tentu saja bukan tempat yang bisa kuhadiri.
Jadi aku langsung pulang ke rumah.
Menikmati sore yang hanya terasa seperti pulang lebih awal dari biasanya, aku fokus membaca buku. Tanpa kusadari, Akari dan Murai-san sudah datang.
Saat ibuku mulai menata hidangan di meja dengan semangat lebih dari biasanya, Nagisa masih belum muncul, sampai akhirnya aku diminta untuk memanggilnya…
*Ding-dong*
Beberapa detik berlalu setelah bel berbunyi, tapi tak ada respon.
Apa mungkin dia ada punya jadwal mendadak? Atau mungkin dia sedang tidur?
Untuk berjaga-jaga, aku menekan bel sekali lagi, dan kali ini terdengar balasan.
"...Iyaaa..."
"Ini Yuto. Kira-kira hari ini jadi datang? Ibu dan yang lainnya menunggu. Kalau nggak bisa, aku bisa bilang ke mereka."
"...Masuk saja."
Beberapa detik kemudian, jawaban yang kudapat adalah ajakan untuk masuk.
Aku sempat ingin menanyakan alasannya, tapi sambungan suara dari dalam sudah terputus.
Aku sempat ragu, apakah pantas masuk ke tempat tinggal perempuan yang tinggal sendiri. Tapi pada akhirnya, aku membuka pintu.
"Gelap sekali…"
Berkebalikan dengan koridor apartemen yang selalu terang, tempat tinggal Nagisa hanya diterangi cahaya bulan yang agak redup karena tertutup awan.
"Permisiii..."
Untungnya aku tahu tata letak ruangan apartemen ini, jadi aku bisa mencapai sakelar lampu hanya dengan bantuan cahaya bulan.
"...Ada apa?"
Begitu lampu menyala, yang kulihat adalah Nagisa yang membenamkan wajahnya di meja rendah di depan televisi.
"Gagal, ya?"
"Begitulah…"
Suara pelan yang ia lontarkan mengandung nada kesedihan yang tak bisa disembunyikan.
Aku memang tak tahu seberapa besar sosok Hokujou Yuya bagi Nagisa, tapi kemungkinan besar dia adalah sosok yang sangat berarti---melebihi apa yang bisa kubayangkan.
Mungkin dia adalah seseorang yang selalu dikagumi sejak kecil, dan pada saat kesempatan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, dia jadi sangat menyesal karena tak bisa menggenggam kesempatan itu sepenuhnya.
Itu pasti berat. Aku tak bisa membayangkan betapa menyesalnya dia.
"...Bisakah kamu bilang ke Akari kalau aku nggak bisa datang? Lihat saja begini..."
Suaranya teredam, terdengar sedikit basah.
"...Bisa angkat wajahmu?"
"Kenapa…?"
"Soalnya aku pikir kamu sedang menangis."
"Aktris itu nggak boleh menangis di kehidupan pribadi. Kalau menangis di luar peran, nanti air mata waktu akting jadi nggak berbobot. Jadi, ini bukan tangisan... ini cuma akting."
Dengan suara yang lebih bergetar dibandingkan sebelumnya, ia mengatakan itu.
"Kalau begitu, meski itu cuma akting, aku tak apa. Aku rela tertipu oleh akting 90% itu."
"...Demi 10% sisanya?"
"Iya."
"...Bodoh."
Aku duduk di dekat Nagisa.
"Aku pernah bilang, kan? Kalau aku bakal membantumu."
Tak ada jawaban.
Tapi dia menunggu kata-kataku.
"Sejak saat itu aku sudah kepikiran. Di aturan ujian nggak ada kok yang bilang kalau harus satu kelompok sama anak dari jurusan hiburan. Hari Selasa aku sempat bertanya ke guru jurusan hiburan, dan ternyata memang boleh."
Tubuh Nagisa sedikit bergerak.
"Agak bingung, ya?"
"…Nggak bingung."
Suara yang bergetar itu semakin terdengar basah.
"Kalau begitu, lumayan bingung?"
Saat aku berkata begitu, dia perlahan mengangkat wajahnya, melirikku sekilas untuk memastikan posisiku, lalu merebahkan diri ke pahaku
"Curang… kamu curang. Curang sekali… Yuto, kamu pasti nggak bisa menolak hal seperti ini, kan?"
Kepala Nagisa di atas pahaku berada di posisi yang sangat menggoda untuk dielus, tapi untungnya, naluri yang masih tersisa menahanku untuk melakukannya.
"Cara bicaramu juga curang, kamu bisa baca alur obrolan, itu juga curang, kamu bisa membedakan mana akting mana bukan, itu juga curang… dan yang paling curang itu… bersikap baik ke perempuan yang sedang menangis…"
Sambil memukul-mukul pahaku pelan, dia mengungkapkan unek-uneknya.
"...Kalau aku bilang ‘tolong aku’ sambil menangis, apa yang Yuto bakal lakukan?"
Suaranya mengandung sedikit harapan, seolah ia pun tahu apa jawabannya.
"Aku bakal melakukan sesuatu. Pasti."
"Kalau begitu… kumohon, tolong aku…"
Tiba-tiba ia menggenggam lenganku dan menariknya ke arah kepalanya.
Aku pun mengucapkan hal yang sudah kupastikan dalam hati.
Aku juga sudah mengkonfirmasinya ke guru kalau secara aturan takkan ada masalah.
Lagipula, karena aku bukan anak jurusan hiburan, aku juga nggak akan dinilai oleh juri atau apapun. Penilaian itu bukan urusanku.
"Boleh… aku ikut ujian itu bersamamu?"
Tangan yang kugunakan untuk menepuk kepala Nagisa bergerak pelan ke atas dan ke bawah---dia mengangguk.
.
.
.
"…Ummn, bukankah kita harus pergi sekarang?"
Sudah beberapa menit berlalu sejak aku dan Nagisa memutuskan untuk mengikuti ujian bersama.
Tapi aku masih belum bisa berdiri karena kepalanya yang masih bersandar di pahaku.
"Tapi aku belum bisa mengatur wajahku untuk bertemu semua orang."
"Masih butuh berapa lama lagi?"
"Umm~ …sebentar lagi, mungkin?"
Jawaban yang tak jelas itu membuatku makin khawatir.
Kalau aku kelamaan di sini, pasti Ibu dan yang lain bakal curiga.
"Yuto, tanganmu berhenti, loh?"
"Oh, iya. Maaf."
Sejak tadi, aku merasa sangat malu dengan apa yang kulakukan, dan setiap kali mencoba menghentikan tanganku yang tanpa sadar mengelus kepala Nagisa, dia justru memintaku untuk terus mengelusnya dengan tegas.
…Apa-apaan ini sebenarnya?
Sungguh terlalu manis.
Suasana yang sama sekali nggak akan ada kalau aku sedang sendirian di kamarku, ditambah aroma khas kamar perempuan... semua itu menciptakan suasana yang membuatku tergoda untuk menggenggam tangannya.
Sambil memikirkan hal itu, Nagisa yang tadinya hanya memperlihatkan bagian belakang kepalanya perlahan mengubah posisi tubuh dan mulai menatapku dari bawah, mencoba bertatap mata.
Kalau aku sampai membalas tatapannya, aku mungkin benar-benar salah paham, menggenggam tangannya, lalu dilaporkan ke Akari, dan bukan cuma jadi bahan ejekan, aku bisa kena masalah yang jauh lebih besar lagi.
Setelah berpikir sejenak, aku pun memutuskan untuk menatap langit-langit saja.
Aku menyesal sudah menyalakan lampu ruangan tadi.
Pasti pipiku yang memerah sudah jelas terlihat.
Yah, mau bagaimana lagi. Aku nggak pernah punya pacar, dan sampai baru-baru ini, perempuan yang aku ajak bicara cuma Ibu dan Akari saja.
"Aku nggak bakal tanya kenapa kamu mengalihkan pandangan."
Nada suaranya sedikit menggoda.
"Aku akan sangat terbantu kalau kamu melakukan itu…"
Nagisa pasti tahu aku sedang malu.
"Nee... Yuto~"
Nada suaranya hangat dan manis, seperti orang yang setengah tertidur, membuatku jadi melayang.
"…Apa?"
"Hehe, nggak ada apa-apa, kok?"
Kalau dia bisa benar-benar mengatakan itu dengan polosnya secara sadar, itu menakutkan. Aku menarik napas dalam-dalam, menenangkan hati, lalu menatap ke arah Nagisa.
Senyuman nakal yang menghiasi wajahnya, itu adalah senyuman puas karena akhirnya mata kami saling bertemu.
Tatapan kami yang sempat bersinggungan tak juga terlepas, dan di dalam ruangan yang hening, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah napas kami masing-masing---
"Yuuutooo!? Lama banget sih~!"
Suara Akari terdengar bersamaan dengan bunyi pintu depan yang terbuka.
Berbanding terbalik denganku yang langsung membeku karena suara itu, Nagisa langsung bereaksi.
Sebelum aku sadar, dia sudah menyingkirkan tanganku, merapikan posisi duduknya, dan siap menyambut kedatangan Akari.
Ngomong-ngomong, air matanya sudah hilang, lenyap entah ke mana.
Apa sebenarnya yang terjadi barusan…?
"Aduuh! Ngapain sih kalian!"
Akari menyembulkan wajah dari pintu yang terbuka dan langsung mengembungkan pipinya, menunjukkan kalau dia benar-benar kesal.
Aku nggak sadar saat mereka masuk karena nggak ada suara, tapi ternyata Murai-san juga ada di belakang Akari.
"Maaf, maaf~ Tadi aku cuma minta Yuto buat ngatur sudut TV saja, soalnya agak ganggu dikit."
Dengan ekspresi seakan kejadian sebelumnya tidak pernah ada, Nagisa berkata begitu.
Aktris itu memang menakutkan.
"Ah~ Jadi itu kenapa wajah Aoi-kun merah, ya. Aku sampai mikir tadi jangan-jangan kami mengganggu diwaktu yang nggak pas~"
Komentar tajam dari Murai-san membuat jantungku berdegup kencang, tapi aku tetap berusaha menjaga ekspresi datar dan bangkit berdiri.
"Lucu juga, ya, Aoi berwarna merah~"
PF/N:
Buat yg ga nangkep, candaan ini menggunakan permainan kata, yang dimana 'Aoi' itu secara harfiah berarti biru, atau hijau dalam beberapa konteks.
Mengabaikan teman masa kecilku yang menyebalkan itu, kami pun meninggalkan rumah Nagisa.
Sesampainya di rumahku, makanan sudah tersaji di ruang tamu.
Bukan cuma di meja makan yang biasa kami gunakan untuk berempat, meja rendah di depan TV juga sudah dipenuhi hidangan.
Tanpa perlu ada yang menyuruh, tiga perempuan itu langsung duduk di depan TV, sedangkan aku dan Ibu duduk berdua di meja makan.
Sambil menonton acara variety show berisi banyak komedian, kami melanjutkan makan malam.
Acara itu kebetulan juga menampilkan Nagisa, yang tampak tampil dengan gaya khas "untuk TV", dan membuat suasana makan jadi meriah.
Setelah makan, kami semua membantu beres-beres, lalu di kamarku Akari dan Murai-san mulai bertanding main game fighting, sementara aku dan Nagisa jadi penontonnya.
Aku tak ikut main karena kelelahan akibat kejadian sebelumnya.
Sedangkan Nagisa memang tak begitu tertarik dengan game sedari awal.
Dua orang duduk di sofa.
Nagisa, dengan santainya duduk di sampingku---di tempat tidur.
Entah perasaanku saja atau bukan, tapi jaraknya terasa lebih dekat dari sebelumnya.
Tidak… ini jelas-jelas lebih dekat.
Sedikit saja aku menggerakkan tangan, pasti tangan kami akan saling bersentuhan.
Aku pura-pura tak sadar akan hal itu dan mulai menjelaskan apa yang sedang terjadi di layar.
Perlahan, Nagisa mulai mengerti aturan mainnya dan terlihat menikmati tontonan itu.
Saat suasana sudah cukup mencair, aku bangkit dan keluar sebentar dari kamar.
Aku pindah ke ruang tamu dan duduk di samping Ibu yang sedang menonton TV di sofa.
"Kenapa?"
"Enggak, cuma…"
Jawabanku terdengar tidak meyakinkan, tapi Ibu tidak menanyakannya lebih jauh.
"Aku… memutuskan buat ikut pentas drama (ujian jurusan hiburan). Yang bakal ditonton Hokujou Yuuya."
Aku sengaja tak menyebut kata "Ayah" karena ada Murai-san dan Nagisa di kamar.
"Eh? Kamu mau kami ikut menonton?"
"Bukan. Cuma mau ngasih tahu saja."
Meski tahu aku bukan tipe yang suka mengatakan sesuatu seperti ini, Ibu tetap menanyakan itu sambil tersenyum geli.
"Yah, ibu pasti datang. Ini panggung penting buat anakku~"
"Itu terserah… Tapi sepertinya nggak bakal sebagus itu. Aku nggak pernah akting, dan selama Nagisa bisa jadi sorotan, itu sudah cukup."
"Justru karena ini kali pertama kamu melakukannya, itu namanya kemajuan, kan? Itu sudah cukup, buat ibu... dan buat dia juga."
Sambil berkata begitu, Ibu memanggilku dengan isyarat jari lalu berpose seperti mau berbisik.
Aku mendekatkan telinga dan fokus mendengarkan kata-katanya.
"Tak apa. Setengah dari dirimu mengalir darah Hokujou Yuya."
Anak aktor ternama belum tentu bisa jadi aktor ternama juga.
Meski begitu, aku menerima kata-kata Ibu.
Aku tak merasa punya bakat dalam dunia akting.
Tapi…
Saat aku memutuskan untuk berdiri di atas panggung bersama Nagisa, rasanya ada sesuatu dalam diriku yang mulai bergerak.
🔸◆🔸
Pagi hari Sabtu keesokan harinya.
Kalau harus pergi ke sekolah, ini adalah waktu di mana seharusnya aku sudah bangun.
Tapi karena ini hari libur, aku tetap berbaring di tempat tidur, menikmati waktu santai sambil bermalas-malasan.
Waktu itu seharusnya akan terus berlanjut sampai lewat pukul sembilan pagi.
"Yuto, mau tidur sampai kapan?"
"Kenapa kamu ada di sini…"
Saat aku sedang menikmati tidur ringan dengan perasaan nyaman, Nagisa masuk ke kamarku.
"Nggak apa-apa, kan? Soalnya ibumu, sebagai pemilik rumah ini sudah mengizinkan aku masuk."
"Tapi pemilik kamar ini belum mengizinkan."
"Pendapat pemilik rumah lebih diutamakan~"
Karena memang nggak ada urusan mendesak yang mengharuskan aku menyuruhnya pulang, dan melihat tas besar yang dibawa Nagisa, aku menyadari kalau dia datang bukan tanpa alasan. Maka aku pun bangkit dari tempat tidur.
Setelah menyelesaikan rutinitas pagi secara singkat di kamar mandi, aku menerima cangkir tamu dan teh dari Ibu, lalu kembali ke kamar.
Saat kembali ke kamar, bukannya seperti biasa langsung tidur di tempat tidurku, kali ini Nagisa duduk di kursi meja belajarku---jarang-jarang terjadi.
"Ada apa? Datang buat minta diajarin pelajaran?"
Aku menaruh minuman di meja kecil di samping tempat tidur dan mendekati Nagisa.
Dengan semangat, karena punya pengalaman mengajari Akari dan Souma, aku merasa percaya diri dan berkata, "Aku cukup pandai mengajar, tahu~"
"Bukan itu. Aku mau kita bikin naskah buat ujian. Sebenarnya aku bisa saja membuat semuanya sendiri, tapi karena aku dalam posisi yang seharusnya dibantu, rasanya tak enak kalo nggak dengerin satu pun saran dari Yuto."
"Oh, begitu."
Mendengar penjelasannya, aku pun mengangguk paham.
Ujian tinggal sekitar satu bulan lagi. Kalau menghitung waktu untuk membuat naskah dan latihan, waktu yang tersisa sebenarnya sangat mepet. Dengan waktu sesempit itu, bisa dibilang hampir tak mungkin buat orang awam sepertiku bisa jadi lebih baik.
Kalau dipikir-pikir, masuk akal juga kalau Nagisa datang pagi-pagi begini.
"Yah, aku nggak punya pengetahuan tentang akting sama sekali, jadi kalau kamu meminta masukan, aku mungkin nggak bisa langsung jawab."
"Ya, aku juga tak berharap banyak. Kalau begitu, untuk sekarang…"
Nagisa menatap langit-langit selama beberapa detik seakan berpikir, lalu tiba-tiba mengambil selembar kertas lepas dari tasnya dan mulai menulis sesuatu dengan pena.
"Baca ini. Aku sudah menulis garis besar dan pengaturannya."
Dia menyerahkan kertas itu padaku dan aku mulai membacanya.
Di sana tertulis tentang kostum, latar waktu yang mengambil setting Eropa abad pertengahan, serta kerangka cerita yang ditentukan oleh sekolah.
"Setting waktunya, terus tokoh utamanya adalah putri kerajaan dan seorang ksatria dari negara itu---bagian itu semua sama untuk semua kelompok. Ceritanya juga pasti tentang cinta. Tapi karena kita cuma berdua, kita nggak bisa pakai karakter saingan atau semacamnya, jadi kalau ceritanya terasa datar, kita boleh mengubahnya kok."
Dengan penjelasan dari Nagisa, aku mulai menangkap garis besarnya.
"Dan lagi, kita juga tak punya orang lain untuk jadi karakter pendukung seperti warga desa atau tokoh-tokoh pendukung lainnya yang bisa membantu alur cerita…"
"Jadi, itu bisa diatasi dengan mengubah naskah atau bagimana?"
“Hmm... jujur saja aku juga nggak terlalu yakin, tapi setidaknya sekarang aku kepikiran dua cara.”
Sambil berkata begitu, Nagisa membuka dan menutup dua jarinya seperti bentuk gunting.
“Yang pertama, yaa... seperti yang barusan di bilang; ubah naskahnya. Satunya lagi, kita bisa minta bantuan anak-anak dari jurusan pengisi suara (seiyuu) untuk jadi narator, agar mereka yang menjelaskan situasinya.”
Nagisa menjelaskan sambil melipat satu per satu jarinya, tapi wajahnya mulai terlihat sedikit ragu saat sampai di bagian itu.
“Naskahnya sih aku bisa urus. Tapi... kita butuh kenalan dari jurusan pengisi suara yang mau tampil bareng di ujian.”
"…Aku nggak punya kenalan seperti itu."
Nagisa menatapku dengan sedikit harapan di matanya, tapi tentu saja aku sama sekali tak bisa memikirkan siapa pun yang cocok.
Kelihatannya Nagisa juga sama denganku---tak punya kenalan yang bisa dimintai tolong. Dia menghela napas kecil saat mendengar jawabanku.
“Ya sudahlah, yang ini kita lewati dulu saja.”
“...Iya, benar juga.”
Sambil terus menatap kertas yang Nagisa berikan tadi, aku mulai membayangkan hari ujian nanti.
Penonton yang memenuhi kursi.
Juri yang mengamati setiap gerakan sekecil apa pun.
Dan di antara mereka---ayah kandungku.
Begitu aku memikirkan itu, muncul satu kemungkinan.
Juri yang berhubungan dengan dunia hiburan.
Aku di atas panggung.
Dan di dekatku... ayah.
Selama ini aku terlalu fokus pada kenyataan bahwa aku akan tampil di panggung, sampai-sampai aku tak memikirkan kemungkinan ini.
Bisa jadi, hubungan antara aku dan Hokujou Yuya bakal ketahuan.
Kalau sampai ada orang dalam yang curiga, itu bisa jadi masalah besar.
“Eh, Nagisa. Kurasa... aku bakal malu. Bisa aku menutupi bagian mataku? Seperti pakai topeng?”
Menutupi seluruh wajah mungkin kelihatan mencurigakan, tapi kalau cuma bagian mata, risikonya bisa dikurangi.
“Malu? Padahal waktu di kamarku dulu kamu keliatan sudah siap mental?"
“Itu... ya, karena suasananya...”
Kalau diingat-ingat lagi, rasanya wajahku mulai panas.
Aku harap dia tak mengungkitnya lagi.
“Hm~ ...kalau cuma bagian mata, maksudmu kayak topeng Venetian begitu kan? Yang biasanya dipakai di pesta dansa topeng?”
“Iya, begitulah.”
"Ya, boleh juga sih. Ksatria bertopeng itu keren, dan karena kita cuma berdua, itu bisa jadi ciri khas karakter yang bagus."
Akhirnya pendapatku diterima, dan aku bisa bernapas lega.
“Ah, ngomong-ngomong... kayaknya aku pernah dapat topeng waktu pemotretan dulu… Hmm, aku bawa nggak ya waktu pindahan?”
Nagisa bergumam begitu, lalu berkata, “Aku cari dulu, ya!” dan berlari keluar rumah menuju pintu depan.
“Bahaya juga…”
Aku bergumam sendiri sambil menjatuhkan badan ke tempat tidur.
Kalau aku tak sadar akan risikonya tadi, bisa saja kejadian terburuk terjadi.
Kalau sampai begitu, ini bukan cuma jadi masalah keluarga, tapi ujian Nagisa pun bisa-bisa takkan bisa dilaksanakan dengan benar.
Selama hubungan itu belum dipublikasikan, risiko akan selalu ada.
Sambil terus mengulang itu dalam hati, aku mencoba menenangkan diri.
Tak lama, suara pintu depan terdengar lagi.
“Ketemu! Seperti ini kan maksudmu?”
Nagisa masuk ke kamar sambil memegang topeng yang persis seperti yang aku bayangkan.
Desainnya terlihat seperti topeng rubah. Dasarannya putih, dihiasi warna merah di beberapa bagian yang cukup mencolok.
Tapi, kalau dipikir-pikir...
“Ini lebih ke gaya Jepang daripada Barat, ya?”
“Hmm… benar juga.”
Nagisa mendekat ke arahku yang masih setengah duduk di tempat tidur, lalu mencoba menyesuaikan topeng itu ke wajahku, tepat di bagian mata.
“Menurutku keren-keren saja, jadi nggak apa-apa, kan?"
“...Iya.”
Nagisa yang tersenyum polos sambil berkata begitu, seperti biasa terlihat agak lengah dan apa adanya.
.
.
.
“---Urusan naratornya, serahkan padaku.”
Itu adalah pernyataan penuh percaya diri yang aku ucapkan ke Nagisa sekitar satu jam lalu, sebelum dia pulang.
Nagisa pulang menjelang siang untuk fokus menyesuaikan naskah.
Dia sempat berpikir untuk meminta bantuan dari anak jurusan pengisi suara untuk jadi narator, tapi sebenarnya selama orang itu punya kemampuan membaca naskah dengan cukup baik, itu sudah cukup.
Yang dibutuhkan adalah narator yang tak merasa gugup walau bicara di depan banyak orang, dan bisa menyampaikan dengan jelas ke penonton.
Dan aku sudah tahu seseorang yang cocok untuk itu.
Sejak pertama kali mendengar suaranya, aku merasa itu suara yang tembus jelas ke seluruh ruangan.
Suaranya punya kejernihan yang menonjolkan kecerdasannya.
Beberapa hari lalu, kami secara kebetulan bertukar kontak.
Dan sekarang, aku berdiri di depan layar ponsel, menatap kontak itu…
Sudah satu jam aku merasa ragu, belum juga menekan tombol panggil.
Dengan kata lain, aku menatap profil ayahnya yang muncul di layar profil selama satu jam.
Butuh keberanian untuk menelepon seorang gadis dari kelas, Aida-san, yang baru pertama kali kutukar kontak beberapa hari lalu.
Memang aku hampir tak pernah menelepon perempuan.
Kalau ibu sih beda cerita, dan kalau dengan Akari---teman masa kecilku---aku bisa langsung ngobrol hanya dengan berjalan beberapa langkah dari rumah.
"…Baiklah, ayo!"
Lagipula, berpikir terlalu lama juga tak ada gunanya. Kalau cuma kirim pesan, takutnya maksudku nggak akan tersampaikan, dan kalau dia tak membalaskan, malah jadi tambah repot.
Kalau Aida-san nggak bisa, aku juga harus cepet-cepat kasih tahu Nagisa.
Dengan menanamkan alasan logis ke dalam pikiranku agar bisa bergerak, aku akhirnya menekan tombol panggil---dan nada sambung langsung terdengar di telingaku.
Satu kali... dua kali... tiga kali...
Semakin lama nada sambung terdengar, semakin goyah niatku.
Kalau aku batalkan sekarang, mungkin bakal dianggap salah sambung?
Walaupun ini penting, menelepon tiba-tiba begini bisa dibilang ngerepotin juga, kan?
Pikiran-pikiran itu langsung buyar saat terdengar bunyi "klik" tanda panggilan dijawab.
"(Halo?)"
"Maaf. Ini mendadak, tapi ada waktu sekarang?"
"(Nggak, aku nggak ada rencana apa-apa, jadi nggak masalah kok... Ada urusan apa? Mau mengajak jalan-jalan, begitu?)"
Perkataannya yang di luar dugaan membuatku sedikit bingung, dan aku tak bisa langsung menjawabnya.
"…Bukan, bukan itu…"
"(Ah, begitu ya? Maaf. Aku belum pernah teleponan sama teman, jadi bingung harus apa… Agak grogi juga.)"
"Tidak, aku yang seharusnya minta maaf…"
"(Jangan minta maaf. Kalau kamu kau minta maaf, aku jadi malu sendiri karena tadi sempat terlalu senang.)"
Ternyata dia juga bisa merasa malu.... Padahal kupikir dia itu tipe orang yang tak peduli apa kata orang lain.
"(Jadi, kalau bukan soal jalan-jalan, ada urusan apa?)"
"Oh, itu…"
Aku menjelaskan semuanya---kalau aku dan Nagisa akan tampil di ujian, kalau saat ini cuma ada kami berdua di kelompok, kalau karena naskah yang diubah kami butuh seorang narator, dan kalau aku ingin meminta bantuan Aida-san.
Setelah selesai menjelaskan, aku menunggu jawabannya.
"(Nggak masalah, kok.)"
Jawabannya datang begitu cepat, bahkan sebelum aku sempat benar-benar menunggu.
"Eh? Seriusan? Soalnya formatnya agak unik, dan kamu mungkin akan cukup jadi pusat perhatian karena Nagisa juga tampil…"
"(Tak masalah. Ini permintaan dari teman, dan aku juga pernah berdiri satu panggung sama Minase-san waktu upacara penerimaan siswa, kan.)"
Ia menyetujuinya tanpa ragu.
Nada suaranya seakan berkata bahwa sudah sewajarnya menerima permintaan dari teman, dan itu sedikit mengejutkanku.
Sepertinya dia memang tipe orang yang akan melakukan apa pun demi permintaan temannya.
"(Oh iya, ini nggak ada hubungannya sih…)"
Nada suaranya sedikit berubah, terdengar lebih pelan dan agak canggung dibanding sebelumnya.
"(Apa kamu bisa meminta tanda tangan Hokujou Yuya?)"
“Oh… kamu pernah bilang kalau kamu itu penggemarnya, ya.”
Aku teringat saat dia menghampiriku di pintu masuk sekolah hanya karena terlalu senang dengan kabar Hokujou Yuya yang datang ke sekolah.
"Maksudnya, Aida-san mau ketemu langsung sama beliau buat minta tanda tangan?"
"(Bukan, bukan begitu. Aku tipe yang senang melihat barang-barang semacam itu, jadi aku ingin Aoi-kun yang memintakannya. Tapi yah, kalau susah nggak usah dipaksain kok. Aku tetap mau jadi narator, karena kedengarannya seru dan aku memang ingin mencobanya.)"
Rasanya nggak sopan kalau aku tak membalas kebaikan Aida-san yang mau jadi narator.
Kalau itu cukup sebagai bentuk terima kasih, tentu saja aku ingin melakukannya.
Kalau aku yang minta, mungkin saja berhasil.
…Mungkin.
“Ya, bakal aku coba. Nagisa katanya pernah kerja bareng beliau, jadi kemungkinan bisa dapat.”
"(Serius!?)"
Suara Aida-san yang biasanya terdengar tenang di kelas, kali ini melompat penuh antusias seperti gadis remaja pada umumnya.
Mungkin dia sendiri sadar terlalu terbawa suasana, karena tak lama kemudian ia berdeham kecil dan berkata, "(Kalau begitu, tolong ya!)" lalu buru-buru memutus sambungan telepon.
Setelah mendengar bunyi sambungan terputus, aku menatap layar ponsel yang mulai gelap selama beberapa detik sebelum menjatuhkan diriku ke atas ranjang.
“…Untuk sementara, narator sudah aman…”
Aku menghela napas panjang dan mengangkat ponsel yang tadi kulempar ke ranjang untuk mengabari Nagisa.
Saat itulah aku baru menyadari sesuatu.
“...Aku belum tukaran kontak sama Nagisa.”
Tapi karena rumahnya cuma beberapa langkah dari pintu keluar, bukan masalah besar.
Aku langsung bangkit dan keluar rumah.
.
.
.
“Kenapa? Baru saja pisah, sudah kangen lagi, ya?”
Nagisa langsung keluar begitu bel berbunyi, mengutarakan bercanda seperti biasa.
“Bukan.”
Tentu saja aku langsung membantah.
“…Kamu itu nggak bisa bercanda ya? Yang namanya hidup itu ada yang namanya 'mengikuti suasana', tahu? Suasana!"
"Apa maksudmu 'mengikuti suasana'?"
"Yah misalnya bilang, 'Aku memang kangen...' begitu dong! Makanya temanmu sedikit."
"Itu bukan 'mengikuti suasana', itu laki-laki genit namanya. Kamu suka laki-laki semacam itu?"
"Ya nggak suka juga sih."
"Apa coba..."
Aku menghela napas lelah, sementara Nagisa membuka pintu rumahnya lebar-lebar.
"Aku nggak tahu kamu ke sini buat apa, tapi mau masuk dulu?"
Langsung mengajak masuk ke tempat dia tinggal sendiri itu, menurutku dia agak terlalu polos.
"Tidak, aku nggak bakal lama. Cuma mau bilang kalau naratornya sudah dapat."
"…Cuma itu?"
"Cuma itu."
"Kamu datang ke sini cuma buat ngomongin itu!?"
"…Memangnya salah?"
Aku memang merasa ini cukup penting untuk disampaikan secara langsung, tapi apa iya sampai perlu datang ke rumah?
Saat aku mulai merasa ragu sendiri, Nagisa malah menyunggingkan senyum nakal dan mulai menatapku sambil menyeringai.
"Jadi intinya kamu cuma pengen ketemu sama aku, kan~? Cuma nyari-nyari alasan saja, kan~? Zaman sekarang tinggal kirim pesan saja selesai, tahu~?"
"Masalahnya, kita belum bertukar kontak."
Begitu aku bilang itu, senyuman menyeringainya langsung lenyap dari wajahnya.
"Ah, haha, iya~ …benar juga…"
"Memang merepotkan. Kalau kamu nggak keberatan, mau tukaran kontak?"
Begitu aku bilang begitu, ekspresinya langsung kembali cerah.
"Eh~? Kalau sampai maksain gitu sih, mau bagaimana lagi~ mari lakukan!"
Apa ekspresinya memang bisa berubah-ubah secepat ini?
Itu membuatku curiga, apakah emosi yang ditunjukkan di wajahnya itu benar-benar nyata atau tidak.
Sambil saling bertukar kontak ponsel, Nagisa lanjut bicara.
"Ah, memangnya siapa yang akan jadi naratornya?"
"Teman sekelas--Aida Yume-san, kamu pasti tahu kan?"
Waktu pidato saat upacara masuk sekolah, mereka bahkan sempat berdiri bersama di panggung.
Menurut Aida-san, mereka juga sempat ngobrol sedikit.
"Oh~ ...yang agak unik itu, ya."
Dia dengan sengaja memilih kata "unik" daripada bilang "aneh" untuk menggambarkan Aida-san.
Memang, kesan lembut dan anggun yang terlihat dari penampilannya langsung runtuh begitu dia mulai bicara.
"Ngomong-ngomong, gimana caranya kamu minta izin ke perempuan itu?"
"Ya biasa saja, aku menghubunginya."
Tangan Nagisa yang sedang mencoba memindai kode QR di layar ponselku tiba-tiba berhenti.
"…Pakai ponsel?"
"Iya, tentu saja kan?"
"…Kamu punya kontaknya?"
"Ohh, itu kebetulan."
"Haa~ ...begitu. Ya ampun. Jadi aku nomor dua ya~ Padahal kamu nggak pernah minta tukaran kontak sama aku~"
Mengatakan omelan itu dengan nada kesal, dia mengoperasikan ponselnya. Di daftar kontakku, nama “Nagisa” pun muncul.
Foto profilnya adalah boneka beruang yang diletakkan di atas tempat tidur.
"Nah, sudah. Oke, bye bye."
Setelah berkata begitu, dia menutup keras pintu rumahnya.
Aku sedikit teringat ekspresinya yang jelas-jelas sedang kesal tadi, lalu menatap layar ponsel yang kini berisi kontak seorang perempuan yang sangat 'feminim'---dan jantungku sedikit berdebar.
Di saat itulah, sebuah pesan masuk dari Nagisa yang baru saja kutinggal.
{Nanti kalau naskahnya sudah selesai, aku bawa ya!}
{Oke}
Aku membalas dengan stiker beruang yang sedang memberi hormat, lalu kembali ke rumahku yang ada tepat di sebelah.
.
.
.
Malam itu, sambil menatap naskah yang diselesaikan dan dikirim secepat kilat, aku merinding.
Bukan karena isi naskahnya yang mengejutkanku.
Naskahnya disusun dengan baik---alur ceritanya tidak keluar dari jalur utama, dan pengaturan unik tentang ksatria bertopeng rubah dimanfaatkan secara efektif. Tapi, yang membuatku terkejut adalah hal lain.
Aku sudah menonton semua acara yang dibintangi oleh ayahku, Hokujou Yuya.
Sebagian besar karena ditunjukkan oleh Ibu, tapi banyak juga yang kutonton atas keinginanku sendiri.
Salah satunya adalah program dokumenter yang mengikuti keseharian ayah.
Dalam program itu, seorang sutradara film mengatakan;
"Apa yang luar biasa dari Hokujou-kun adalah kemampuan improvisasinya. Apa pun naskahnya, dia bisa menghafalnya dalam waktu kurang dari sehari, mensimulasikannya dalam pikirannya, dan menunjukkan interpretasi yang melampaui isi naskah. Menurut saya, itulah pesonanya.”
Sambil mengingat-ingat sutradara film yang berwibawa itu---yang berbicara sambil membelai jenggot putihnya---aku kembali menelusuri naskah itu sekali lagi.
Aku menutup naskah, lalu membacanya ulang di dalam kepala.
Dialog, posisi berdiri, bahkan ekspresi wajah yang mungkin akan aku dan Nagisa tunjukkan pada saat itu, semuanya muncul dengan jelas di benakku.
Padahal, aku bukanlah orang yang punya daya ingat luar biasa.
Dalam belajar, aku selalu mengandalkan pengulangan tanpa henti agar tertanam di otak.
Selama ini aku melakukannya seperti itu.
Dan awalnya aku juga berniat melakukan hal yang sama dengan naskah ini.
Tapi ternyata…
“Sekali baca langsung masuk, ya…”
Tawa kering, yang sarat dengan rasa heran dan sedikit jengkel pada diri sendiri, menggema di ruangan yang sunyi.
🔸◆🔸
Senin tiba setelah menghabiskan akhir pekan seperti itu. Sampai waktu pelatihan akting sepulang sekolah, semuanya berjalan seperti biasa... atau setidaknya seharusnya begitu.
Tapi tentu saja, Souma yang selalu cepat dapat info sudah tahu sejak pagi kalau aku akan ikut ujian itu, dan bahkan ada orang-orang yang sengaja datang untuk mengintip ke kelas jurusan akademik saat jam istirahat.
Aku sudah siap mental untuk jadi pusat perhatian sampai batasan tertentu, dan aku juga tak berniat mundur hanya karena itu. Tapi aku cukup terkejut ketika ada siswi dari kelasku yang bahkan belum pernah bicara denganku ikut menyemangatiku.
Yah, meski bilang menyemangati, cuma sebatas “Aku mendukungmu...!” saja sih.
Setelah melewati pagi yang penuh hal-hal tak biasa, aku makan siang bersama Akari dan Murai-san, seperti biasa bertiga.
"---Ken-apa... Yuto-ngg-ak bilan-g!?---"
Akari, sambil menyumpal mulutnya dengan roti seperti hamster, memandangku dengan tatapan tidak puas, seraya mencoba mengatakan sesuatu.
“Setidaknya telan dulu makanannya...”
“Ugh... Makanya! Kenapa sih Yuto nggak bilang apa-apa dari awal!?”
Setelah berusaha mengosongkan mulutnya, dia akhirnya bersuara lantang menyampaikan ketidakpuasannya.
Aku sempat berpikir orang-orang akan salah paham dan mengira kami sedang bertengkar, tapi suaranya hanya menjadi bagian dari riuhnya obrolan para siswa saat jam makan siang.
“Kupikir kamu sudah mendengarnya dari Nagisa.”
“Uhh! Kamu itu kurang konfirmasi ya? Bukannya temen masa kecil harus yang pertama dikasih tahu soal beginian?”
“Aturan dari mana itu? Toh cuma beda dua hari, kan?”
“Aku pengen tahu lebih cepat! Kalau yang begini saja nggak ngerti, kamu nggak bakal bisa populer, tahu!”
Setelah puas menyampaikan semua unek-uneknya, Akari kembali menyumpal pipinya dengan roti, mendengus kesal.
Murai-san yang sedari tadi mencoba menenangkan Akari juga menatapku dengan pandangan agak kecewa.
“Memang sih aku tak seheboh Akari-chan, tapi… aku juga sebenarnya ingin tahu lebih awal. Soalnya waktu ngobrol di rumah Aoi-kun tempo hari, aku benar-benar merasa kalau Nagisa-san itu orang baik. Justru karena itu, aku malah ingin cepat-cepat merasa tenang...”
…Benar juga. Murai-san memang sudah menunjukkan kepedulian soal siapa yang akan jadi pasangan ujian Nagisa sejak minggu lalu. Harusnya aku memang mengabari dia juga.
Nagisa pun mungkin tak tahu kalau Murai-san khawatir. Bisa jadi, Murai-san merasa cemas terus-menerus selama akhir pekan.
“Maaf, itu salahku. Memang seharusnya aku mengatakannya.”
“Sudahlah! Yang penting sekarang kamu sudah sadar!”
Padahal permintaan maaf itu aku tujukan ke Murai-san, tapi entah kenapa justru Akari, si teman masa kecil di sebelahku, yang langsung memberikan ‘pengampunan’.
Yah, Murai-san pun tampaknya paham soal itu, jadi dia tidak mengoreksi Akari atau semacamnya.
“Ngomong-ngomong, Aoi-kun, dari pagi kamu jadi bahan pembicaraan lho.”
“Itu wajar. Lawan ujian Minase Nagisa yang dari dulu sudah mencuri perhatian itu, ternyata murid dari jurusan akademik yang bahkan namanya pun tak pernah didengar. Siapa yang nggak penasaran?”
“Eh, tapi Yuto, kenapa kamu tiba-tiba begini?”
Akari yang sedang mengunyah lagi, menelan makanannya dan memandangku dengan mata heran.
“Soalnya, kalau itu Yuto yang dulu, kamu pasti nggak bakal mau ikut ujian yang seperti ini kan?”
Benar juga. Kalau itu aku yang dulu, pilihan buat tampil bareng dalam ujian seperti ini mungkin takkan pernah aku ambil.
Tapi kalau ditanya alasannya, aku sendiri tidak bisa menjawab dengan jelas.
“Yah, bisa dibilang… aku sudah berubah, begitu.”
“Ohh, jadi kamu udah dewasa..."
“Memang.”
Memilih untuk melakukan sesuatu yang dulu tak akan aku lakukan… bisa dibilang itu adalah bentuk pertumbuhan.
“Tapi yah, kalau ujiannya sukses, aku agak nggak suka sih~”
“Apa lagi coba?”
Kalau gagal, satu-satunya hasil yang mungkin adalah aku mempermalukan diri sendiri.
“Soalnya, kalau Yuto jadi populer, aku tak bisa mengejekmu sebagai 'perjaka nggak laku’ lagi dong.”
"Mana mungkin jadi populer cuman gara-gara itu. Lagipula, hentikan ejekanmu itu. Itu menyakitkan, tahu!"
"Ehh? Belum tentu, kan. Siapa tahu tiba-tiba kamu punya banyak penggemar?”
“Nggak mungkin…”
Saat aku hendak menyangkal, wajah teman sekelas yang menyemangatiku tadi pagi terlintas di pikiranku.
“…Eh, mungkin ada benernya juga. Tadi pagi ada teman sekelas yang menyemangatiku.”
“Apa? Perempuan?”
Aku mengangguk untuk mengiyakan, dan Akari langsung berbisik-bisik dengan Murai-san, yang sedang makan sambil mendengarkan pembicaraan kami, dengan suara pelan agar aku tak mendengarnya.
Setelah selesai berbisik dengan Murai-san, Akari menyatukan tangan, menyandarkan siku di meja, memasang ekspresi serius seolah-olah dia eksekutif di ruang rapat.
“Yuto, itu pasti penggemar palsu!"
“…Hah?”
“Mungkin perempuan itu dari dulu memang sudah tertarik denganmu. Terus dia pakai kesempatan ini buat memberanikan diri bicara…”
“Apa coba itu, dan dari mana coba aku menarik perhatian dia?”
Lagi-lagi si teman masa kecilku ini mulai bicara hal-hal aneh dengan wajah serius.
“Eh, jelas saja. Memang, meskipun kamu itu pendiam suram, tapi mukamu itu lumayan.”
“…Aku sendiri nggak enak ngomong ini, tapi bagian pertama itu fatal sekali buatku, tahu.”
“Yah, di dunia ini pasti ada juga orang yang melihat kepribadianmu yang pendiam itu sebagai sesuatu yang misterius dan menarik.”
“Haaah…”
Seperti biasa, aku hanya bisa mendengarkan ocehan si aneh ini dengan rasa setengah pasrah.
“Bagus kan. Yuto, akhirnya dapat pacar.”
“Aku tak butuh. Dan itu mungkin juga salah paham mu saja.”
“Tanya saja langsung. Kalau ternyata salah paham, kamu bakal langsung kehilangan satu-satunya penggemar, dan itu pasti bakal lucu banget!"
“Dasar…”
Sepertinya isi kepalanya cuman dipenuhi keinginan-keinginan untuk mengejekku.
Seusai makan siang, biasanya aku jalan bareng Akari dan Murai-san sampai depan kelas mereka, lalu berpisah di sana. Hari ini pun kami mengikuti rutinitas itu, dan berpisah di depan kelas.
Tapi ketika aku membalikkan badan untuk kembali ke kelasku, Akari menarik ujung lengan seragamku. Dia seperti memperhatikan sekeliling, lalu menurunkan volume suaranya agar hanya aku yang bisa mendengar.
“Karena tadi ada Hinata-chan, jadi aku diam saja… Tapi kamu yakin? Serius mau tampil di depan Hokujou Yuya?”
“Aku tahu. Aku juga sudah bicara ke Ibu soal ini. Entah kenapa, aku merasa ini pilihan yang terbaik. Ketemu sama Ayah---meskipun belum pernah sekalipun---dan bisa ‘bicara’ lewat akting… kupikir itu nggak buruk juga.”
Sepertinya Ayah juga tak seburuk yang aku kira.
"Begitu ya. Kalau Yuto yang bilang begitu, aku percaya deh… Tapi," Akari sedikit berjinjit dan meletakkan tangannya di atas kepalaku, lalu tersenyum malu-malu.
"Kalau ada apa-apa, kamu harus bilang ke 'Onee-chan' ini, ya!"
Mendengar ucapan manis dari teman masa kecil yang imut itu, aku tak bisa menahan senyum. Aku membalas dengan meletakkan tanganku di atas kepala Akari dan mengusapnya pelan, supaya rambutnya nggak acak-acakan.
"Padahal aku yang ulang tahunnya lebih dulu, lho."
"Ah, iya juga!"
Kami tertawa, seperti biasa.
Tak lama kemudian, kami saling melepaskan tangan, dan Akari pun kembali ke kelasnya dengan wajah puas.
"Kamu baik sekali, Akari," Aku mengucapkannya sambil memandangi punggungnya yang berjalan menuju kelas.
“Namanya juga teman masa kecil!”
Dengan kata-kata itu, dia menoleh, memamerkan senyum cerah bak seorang idol. Memandangi punggungnya sampai hilang, aku pun kembali ke kelasku, menghabiskan waktu sampai jam sekolah usai.
🔸◆🔸
“Baiklah... Aku sudah siap kalau-kalau penampilanmu parah, jadi tenang saja. Kamu belum pernah akting, kan?”
“Tidak. Sama sekali.”
Waktu pun berlalu, dan saat ini sudah masuk waktu setelah makan malam. Aku sedang berada di rumah Nagisa.
Awalnya, kami berencana latihan di rumahku. Tapi begitu kami melihat ibuku yang sudah berada di kamarku sambil memegang lightstick bahkan sebelum latihan dimulai, kami langsung memutuskan untuk pindah ke rumah Nagisa.
“Pertama-tama, kamu harus tahu bahwa akan ada banyak penonton, dan kamu harus bisa menyampaikan aktingmu ke semuanya. Nggak seperti drama yang perlu memperhatikan kamera, jadi bisa dibilang sedikit lebih mudah... Tapi untuk sekarang, coba fokus dulu ke satu hal---usahakan semua gerakanmu terlihat jelas dan besar, oke?"
Sambil memberi instruksi dasar untuk pemula sepertiku, Nagisa memasang ponsel di atas tripod.
“Kamu mau rekam video-nya?”
“Kurang lebih. Soalnya lebih gampang mengajari kalau bisa sambil menunjukkan rekamannya juga...”
Sambil menekan tombol mulai rekaman, Nagisa menyunggingkan senyum nakal seperti anak kecil yang sedang merencanakan keisengan.
“Pertama-tama, kauu harus paham dulu seberapa parah aktingmu... benar, kan~?”
“...Tolong jangan terlalu kejam...”
Membayangkan Nagisa yang mengejek sambil menonton aktingku membuat pipiku refleks menegang. Melihat ekspresiku itu, Nagisa tersenyum puas dan mendekat, lalu menepuk punggungku ringan.
“Tak perlu tegang begitu, semua orang juga awalnya cuman membaca naskah seperti membaca buku biasa kok, jadi tenang saja!”
“Kamu juga?”
“Kalau aku, dari awal sudah berbakat.”
“Sebagaimana mestinya untuk seorang aktris aktif. Bakatnya memang beda...”
“Puji, pujiah aku lebih banyak!”
Sambil memamerkan ekspresi bangga dan membusungkan dada, kami berdua berdiri di posisi yang sudah ditentukan sambil tetap sadar akan kamera. Saat Nagisa membaca dialog pertama sebagai tanda awal, kami pun mulai mengikuti naskah.
.
.
.
“---Hmm... yah, kamu memang kelihatan pemula sih? Tapi aku sempat khawatir kalau ternyata kamu benar-benar tak punya bakat, jadi aku lega. Kayaknya kalau latihan sampai hari H, aku yakin kamu bisa cukup layak buat ditonton, deh?”
Sambil menyampaikan pendapatnya setelah menyelesaikan satu kali latihan penuh, Nagisa mematikan kamera. Mengeluarkan suara, melangkah, menggerakkan lengan, memindahkan pandangan---semua itu terasa beda ketika dilakukan langsung dibanding sekadar membayangkannya.
Dan selama latihan, aku terus-menerus dibuat kagum oleh keterampilan Nagisa. Akting langsung yang bukan ditampilkan lewat kamera benar-benar punya kekuatan tersendiri.
“Kamu... Memang hebat”
“Ya, kan~”
Nada puasnya saat mendengus itu sangat berbeda dari aura mengintimidasinya saat berakting. Rasanya seperti melihat dua orang yang berbeda.
“Sebenernya aku bisa saja langsung kasih banyak saran sekarang, tapi mumpung sudah direkam, mending kita lihat bareng sambil aku jelasin, kan?”
Nagisa melepas ponsel dari tripod dan berpindah ke sofa di depan TV.
“Hei, mana mungkin bisa lihat dari situ, sini.”
Sambil berkata begitu, ia menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya dengan tangan. Aku pun duduk mengikuti arahannya. Karena hanya berbagi satu layar ponsel, jarak kami jadi sangat dekat. Di akhir hari yang panjang ini, aroma sabun yang lembut---bukan wangi parfum---secara halus tercium dan menggelitik hidungku.
“Oi? Kamu beneran lihat, kan?”
Kata-kata itu langsung mengalihkan perhatianku dari indra penciumanku.
“…Lihat kok,” jawabku.
Meski sebenarnya aku nggak terlalu fokus.
“Jangan-jangan, pengen pegangan tangan atau semacamnya? Kamu teringat kejadian waktu itu, ya?”
Melihat Nagisa menatap ke atas dengan senyum nakalnya, tubuhku seakan mulai memanas secara refleks.
“Cepat putar lagi videonya…”
“Iya, iya.”
Aku berusaha mati-matian untuk mengalihkan pembicaraan ke topik utama agar perasaanku tidak ketahuan, tapi melihat senyum nakal yang masih menempel di wajah Nagisa, kemungkinan besar semuanya sudah terbaca olehnya.
Nagisa memundurkan sedikit videonya, lalu kami berdua kembali menatap layar.
“...Hebat.”
Aku tanpa sadar mengeluarkan komentar itu. Ternyata akting Nagisa benar-benar memikat. Rasanya berbeda saat menyaksikannya dari samping sebagai lawan main, dibandingkan menontonnya dari sudut pandang penonton.
Dan dari video itu, aku sadar akan satu hal.
Nagisa sudah sangat menyesuaikan diri denganku.
Dalam bagian percakapan, dia sengaja menyesuaikan tempo dengan langkahku yang kadang terlalu cepat. Posisi berdiriku yang sempat melenceng juga ia perbaiki secara alami dan nyaris tak terlihat.
Dan satu hal lagi yang baru aku sadari; Aktingku... sangat berbeda dari bayanganku.
Apa yang aku pikir sudah kulakukan, ternyata saat dilihat dari luar sama sekali tak sesuai dengan gambaran di kepalaku.
Ternyata aku belum bisa memperhatikan pandangan penonton.
Selama ini aku hanya berpikir dari sudut pandangku sendiri tentang bagaimana aku terlihat.
Melalui rekaman ini, aku jadi paham bagaimana orang lain melihatku. Aku harus menanamkan kesadaran itu dan mulai memperbaiki perbedaan antara bayangan dan kenyataan di dalam pikiranku.
Gambaran akting yang ingin kutunjukkan adalah sosok Hokujou Yuya. Ayah yang selalu kulihat sejak kecil.
Tentang kepribadiannya, selera makannya, bahkan soal dia tim penyuka anjing atau kucing.
Alih-alih komunikasi khas antara ayah dan anak, yang ada di antara kami hanyalah komunikasi satu arah melalui aktingnya.
...Baiklah. Aku bisa melakukannya.
“Boleh aku coba sekali lagi?”
Mendengar permintaanku itu, Nagisa mengangguk dengan senyum, lalu kembali memasang smartphone-nya di tripod.
Fokusku kali ini bukan cuma pada sudut pandangku sendiri.
Aku akan fokus juga pada bagaimana cara penonton melihatku.
Ekspresi yang dibuat ayah, cara dia menggerakkan pandangannya---semua kebiasaan yang sudah kulihat sampai bosan---aku hanya perlu menirunya.
---Saat kami menyelesaikan akting hingga akhir sesuai naskah, aku mengembuskan napas panjang.
Tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ternyata, melakukan sesuatu dengan sepenuh tenaga sambil sadar bahwa itu akan dilihat orang lain, benar-benar menguras tenaga.
Yah, mungkin karena aku juga kurang olahraga sehari-hari.
Aku mengambil botol air mineral yang ada di atas meja dan menenggaknya dengan cepat. Di sisi mataku, terlihat Nagisa sedang menatap ke arahku.
“Ada apa? Kamu tak mematikan kameranya?”
Dia sama sekali tidak bergerak untuk mematikan kamera ponsel yang sejak tadi merekam.
“Kamu barusan… ngapain saja? Selama kita menonton videonya tadi.”
“Aku cuma mengubah bagian-bagian yang menurutku kurang pas… Ada apa?”
Dengan suara bergetar, Nagisa bertanya seolah baru saja melihat sesuatu yang tak bisa dipercaya.
“…Mungkin, begini rasanya. Saat seorang produser menemukan bakat tersembunyi.”
Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, lalu ekspresinya berubah menjadi antusias, benar-benar terlihat bersemangat.
“Di dunia hiburan, aku sering lihat berbagai macam bakat. Entah itu di dunia akting, komedi, seni, bahkan akademik---bakat itu bermacam-macam.”
Saat itulah aku sadar.
Sepertinya aku telah memicu sesuatu dalam diri Nagisa.
Sesuatu yang seharusnya tidak aku bangkitkan.
“Tapi ini pertama kalinya aku merinding gara-gara seseorang…”
Wajahnya bukan seperti saat tampil di variety show atau drama. Ini wajah seorang aktris yang benar-benar mendambakan peningkatan keterampilan.
“Ayo kita mulai lagi, dari awal!"
Setelah terjebak berulangkali dalam semangat latihan super intens Nagisa, aku akhirnya bisa pulang ke rumah sekitar dua jam kemudian…
Post a Comment