NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ippanjin no Ore o Geinouka Joshi-tachi ga Nigashite Kurenai Ken [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 3

 Penerjemah: Hanzel

Proffreader: Rion


Chapter 3

Ujian departemen hiburan


Pagi sebelum jam mulai pelajaran keesokan harinya.

Sambil menatap langit yang sedikit tertutup awan, aku kembali mengingat kejadian kemarin.

Minase Nagisa datang ke rumah dan makan malam di sana.

Meskipun awalnya sedikit bingung dengan cara ibuku berinteraksi dengannya---berbeda dari seorang penggemar biasa---saat hendak pulang, ibuku berkata, "Kalau ada masalah, kapan saja boleh datang ke rumah!"

Saat itu, dia sempat menunjukkan ekspresi yang sedikit senang.

"Hei, Yuto, sudah siap menghadapi ujian?"

Souma tiba-tiba muncul entah dari mana dan menyapaku, membuatku mengalihkan pandangan dari langit yang mendung.

"Kamu tahu, Souma? Menurutku, di dunia ini ada dua jenis manusia."

"Oh? Dua jenis, yang bagaimana?"

"Mereka yang selalu berusaha setiap hari, jadi nggak perlu melakukan persiapan mendadak untuk ujian. Dan mereka yang nggak melakukan apapun, sampai harus buru-buru belajar menjelang ujian. Kebetulan aku termasuk golongan yang pertama."

"Kamu masuk ke kelompok itu, huh~"

Souma Yamada, yang dalam dua minggu terakhir ini mendadak menjadi sangat akrab denganku, menyapaku seperti biasa.

Dari caranya menjatuhkan kepala ke meja dengan ekspresi putus asa, tampaknya dia termasuk kelompok kedua.

"Yah, setidaknya ini hanya ujian tertulis, masih lebih baik. Pernah dengar soal ujian di jurusan hiburan?"

"Kenapa dengan ujian di jurusan hiburan?"

Mendengar pertanyaanku, Souma membayangkan situasi ujian itu dan langsung memasang ekspresi seakan baru saja menelan sesuatu yang pahit.

"Mereka harus berakting di aula acara (event hall)."

"Di depan banyak orang?"

"Betul. Ujian ini memang selalu ada untuk siswa tahun pertama, dan murid biasa juga bisa menontonnya. Tapi biasanya, yang datang hanya teman atau keluarga peserta ujian, dan jumlah penontonnya paling cuma mengisi sekitar sepuluh persen kursi yang tersedia."

"Yah, memang nggak banyak orang yang tertarik menonton akting siswa yang bahkan tak mereka kenal."

"Itu dia… tapi tahun ini berbeda. Ada Minase-san. Bahkan teman-teman dari kelas reguler pun bilang kalau mereka mau menontonnya."

"Heh… dia memang populer, ya."

Sebelumnya aku tak terlalu memperhatikannya, tapi sejak tahu bahwa dia bersekolah di tempat yang sama, sosoknya jadi lebih sering terlihat olehku.

Iklan televisi, drama, acara varietas, dan lain sebagainya.

Kalau ada kesempatan untuk melihat aktingnya secara langsung, tak heran jika banyak orang ingin datang.

"Kalau aku sendiri sih takkan keberatan jadi pusat perhatian, tapi kamu pasti nggak suka, kan, Yuto? Berdiri di depan banyak orang."

"...Ya, aku nggak suka."

"Syukurlah kamu bukan anak jurusan hiburan."

"Aku juga nggak bakal masuk jurusan itu, apa pun yang terjadi…"

Saat terdengar suara wali kelas memasuki ruangan, Souma buru-buru kembali ke tempat duduknya.

Aku hanya setengah mendengarkan guru yang menjelaskan jadwal hari ini, yang tidak jauh berbeda dari biasanya, ketika tiba-tiba hujan rintik-rintik mulai turun.

.

.

.

Istirahat siang

Hujan yang tadi pagi hanya gerimis kini semakin deras.

Para siswa yang biasa makan di halaman sekolah pasti kerepotan, tapi bagi kami bertiga yang selalu makan di kantin, hujan ini bukan masalah.

"Gimana? Akhir pekan nanti kita main game lagi di rumahmu, Yuto?"

"Setuju! Aku juga sering main bareng adikku belakangan ini, jadi aku nggak akan kalah lagi!"

Meskipun aku sebagai pemilik rumah belum memberi izin, mereka sudah seenaknya menetapkan rencananya sendiri.

"Aku ini bentar lagi ujian, tahu."

"Eh~? Jadi nggak boleh?"

"……Ya sudahlah, terserah kalian. Ngomong-ngomong, aku dengar anak-anak jurusan hiburan bakal ada ujian akting."

"Dengar dari siapa?"

"Teman."

"Yuto… punya teman…?"

Memasukkan makananku ke mulutku, aku menatap dingin ke arah teman kekanak-kanakanku, yang bersikap keterlaluan.

Aku juga punya teman selain Murai-san… tahu? Yah, meskipun cuma Souma.

"Katanya sih, ujian akting itu cuma pertunjukan ringan di atas panggung. Aku sendiri juga ikut kelas akting, tapi Akari sendiri bukan akting, tapi menyanyi, bukan?"

"Iya! Aku baru bisa ambil kelas akting di tahun kedua~ …Ah, aku juga pengen rasanya tampil di depan banyak orang! Aku mau jadi pusat perhatian!"

Sambil berpura-pura menangis, Akari menjatuhkan kepalanya ke paha Murai-san.

Tampaknya Murai-san sudah terbiasa dengan tingkat kedekatan seperti itu, jadi dia tak terlihat terganggu dan malah dengan santai mengusap kepala Akari yang ada di perutnya.

Setelah makan, Akari mengeluarkan suara puas, "Ah... rasanya bisa tertidur..."

"Tapi kudengar jumlah penontonnya bakal banyak karena ada Minase-san."

"Ah... iya, pasti ramai~ …Tapi kalau memang ingin hidup dari akting secara serius, dilihat oleh banyak orang itu hal yang biasa. Menurutku, generasi kita justru beruntung bisa mendapatkan pengalaman berharga seperti ini."

"Wow... hebat juga cara berpikirmu."

Bukan hanya sekadar optimis, pendapatnya terasa realistis dan sangat matang, membuatku secara tidak sadar terkesan.

"Tapi masalahnya bukan itu. Yang jadi pertanyaan adalah siapa yang akan dipasangkan dengan Minase-san."

Murai-san tetap mengelus kepala Akari, tapi ekspresinya sedikit lebih serius.

"Di jurusan hiburan, banyak yang sudah berakting sejak kecil. Beberapa bahkan pernah menjadi aktor cilik. Tapi tetap saja, ada perbedaan besar antara mereka dan seseorang yang sudah terkenal sejak kecil dan masih sering tampil di TV hingga sekarang."

"Ya, kita malah lebih sering melihatnya di TV daripada di sekolah."

Di jurusan hiburan, tak jarang siswa kelas dua atau tiga mulai bekerja di industri hiburan. Karena itu, sekolah menyediakan berbagai kebijakan khusus agar mereka tetap bisa lulus meskipun jarang hadir.

Minase-san juga memanfaatkan kebijakan itu, jadi dia jarang muncul di sekolah.

"Dan perbedaan dalam kemampuan akting itu… akan terlihat jelas di mata penonton, terutama para penguji yang merupakan orang-orang dari industri hiburan."

"Jadi siapa pun yang berpasangan dengannya bisa terlihat kurang bagus dan meninggalkan kesan buruk?"

"Tepat. Bahkan, katanya ada kasus di mana siswa langsung ditawari pekerjaan setelah ujian ini. Jadi, ada semakin banyak alasan untuk tak ingin terlihat buruk."

"Begitu, ya…"

"Kurasa Minase-san bakal kesulitan mencari pasangan. Aku sendiri pasti takut kalau harus berpasangan dengannya."

Sambil melihat kantin yang semakin sepi karena para siswa mulai kembali ke kelas, aku membayangkan wajah Minase-san yang mungkin sedang kebingungan mencari pasangan.

.

.

.

"Uuh~! Capek banget hari ini!"

"Kamu sama sekali nggak kelihatan capek, tahu."

"Mana ada, aku benar-benar lelah! Tubuhku ini sedang menuntut peristirahatan!"

"Apa-apaan cara bicaramu itu?"

Dalam perjalanan pulang, aku menanggapi dengan santai perkataan aneh dari teman masa kecilku yang seperti biasa mulai mengoceh.

"Tapi aku memang benar-benar lelah, tahu? Menari itu menguras banyak tenaga, dan aku harus menjaga suaraku juga. Kalau sampai tenggorokanku bermasalah, aku nggak akan bisa ikut latihan vokal."

"Ya, kalau kondisi badan sedikit saja nggak fit, pasti berat buatmu."

"Betul. Lagipula, kalau sakit pasti langsung disuruh istirahat. Para guru juga memperhatikan hal itu."

Tepat setelah Akari mengatakan itu, ponsel di sakuku bergetar.

"Ah… Akari, kamu bisa pulang sendiri, kan?"

Sekarang sudah lewat pukul enam sore. Langit perlahan-lahan semakin gelap.

"Hmn? Yah, memang sebentar lagi sampai. Ada apa?"

"Ibu memintaku membeli kecap di supermarket."

"Mau bareng saja?"

"Tak perlu, aku bakal lari ke supermarket. Pulanglah duluan."

"Oke~ Sampai jumpa!"

Akari melambaikan tangan, dan aku pun membalasnya sebelum bergegas menuju supermarket.

Selepas membeli kecap yang biasa dipakai di rumah, aku keluar dari supermarket dan mendapati bahwa hari sudah benar-benar gelap.

Aku berjalan kembali menyusuri jalan yang tadi kulewati dan bergabung dengan jalur pulang sekolah.

Di sana, aku melihat sosok yang cukup familiar berjalan di depanku.

Awalnya, aku berencana membiarkan dia lewat tanpa menyapanya, tapi karena kami pulang ke arah yang sama dan dia mulai terlihat waspada---mungkin mengira aku orang mencurigakan---aku memutuskan untuk menyapanya sebelum dia sempat melapor ke polisi.

"Eh… Halo."

"…!? …Oh, Yuto, ya…"

Melonjak kaget, dia refleks berbalik dengan posisi siaga, seolah siap menyerang dengan tasnya.

Melihat ekspresinya yang ketakutan, aku merasa sedikit bersalah.

"Maaf, seharusnya aku menyapamu lebih cepat."

"Jangan-jangan, tadi kamu berniat diam-diam melewatiku tanpa ketahuan, kan?"

"…Kok bisa tahu?"

"Kemarin juga kamu melakukan hal yang sama."

Dia menghela napas kecil sebelum kembali berjalan lurus ke depan, melanjutkan perjalanan pulang di jalur yang sama denganku.

Apa itu pakaian untuk pekerjaannya? Dibanding kemarin, hari ini dia tampak lebih dewasa. Melihatnya seperti ini, aku kembali teringat bahwa dia memang seorang aktris sungguhan---pemikiran yang terlalu dangkal untuk diungkapkan.

"Kamu kerja hari ini?"

"Hari ini juga, ya."

"Selebriti laris memang sibuk, bukan?"

"Sangat sibuk sekali."

Dia terus-menerus mengoreksi ucapanku, dan entah kenapa aku merasa itu lucu hingga tanpa sadar tertawa.

"Minase-san, besok kamu ke sekolah?"

"Sepertinya, iya."

"Aku biasanya berangkat bersama Akari. Mau ikut?"

"Kalau aku pergi bersamamu, kamu bisa saja jadi bahan gosip orang-orang, lho?"

"Tenang saja. Aku tak punya orang yang cukup peduli padaku sampai bisa merasa iri."

"Jadi maksudnya, kamu terlalu nggak menonjol dan nggak punya teman?"

"Aku tak bilang sampai segitunya."

"Oh? Bukan begitu?"

"Ya… tapi memang benar sih."

Mungkin karena sudah terbiasa dengan dunia hiburan sejak kecil, kemampuan komunikasinya jauh lebih baik daripada orang biasa.

Dia tak seperti gambaran "selebriti" yang berkilauan di benakku---justru sangat mudah diajak bicara. Aku bahkan merasa nyaman berbincang dengannya.

"Yah, kalau Akari tak keberatan, aku sih mau saja berangkat bersama."

"Akari pasti takkan menolaknya."

"Lagipula, aku memanggilmu Yuto, tapi kenapa kamu tetap memanggilku 'Minase-san'?"

"…Entahlah, kebiasaan mungkin?"

"Apa-apaan itu? Panggil saja 'Nagisa'. Kalau aku satu-satunya yang memanggilmu 'Yuto', nanti aku dikira perempuan yang salah paham akan jarak hubungan diantara kita."

"Apa ada orang yang akan berpikir seperti itu?"

"Mungkin saja, kan?"

Karena dia sendiri yang memintanya, aku pun berniat untuk memanggilnya dengan nama depan.

Tapi ketika mencoba mengatakannya, aku justru merasa canggung dan ragu-ragu.

Mungkin karena menyadari keanehanku, Nagisa mencondongkan wajahnya ke arahku dari sisi kiri bawah pandangan mataku.

"Ada apa?"

"Uhh… Gimana ya… Aku nggak pernah memanggil perempuan selain Akari dengan nama depannya, jadi rasanya agak canggung…"

"…Serius? Jadi, selama ini kamu nggak pernah punya teman perempuan selain Akari?"

"…Ya."

Sambil menggaruk pipiku yang bahkan tak gatal, aku mengakui hal itu.

Mendengar jawabanku, Nagisa mendesah panjang seakan putus asa.

"Yuto, jangan-jangan kamu juga belum pernah punya pacar?"

"…Memangnya salah?"

"Dengan tampang kayak gitu, tapi belum pernah punya pacar? Seberapa parah sih kemampuan komunikasimu?"

"…Aku tak pernah merasa butuh, jadi bukan masalah."

Setelah ketahuan bahwa aku sama sekali tak punya pengalaman dengan perempuan, wajahku mulai terasa panas.

Sementara itu, Nagisa malah terlihat semakin terhibur. Di bawah cahaya lampu jalan, ekspresinya perlahan berubah, menyeringai jahil.

"Hee~? Padahal laki-laki yang jadi model di sekolah kita kebanyakan gonta-ganti pacar. Masa iya kamu benar-benar nggak tertarik?"

"…Kalau begitu, bagaimana denganmu, Nagisa? Pernah punya pacar?"

Begitu aku balik bertanya, senyum usilnya seketika lenyap.

"…Baiklah! Kita sudahi saja obrolan ini!"

"Apa-apaan kamu ini, serius…"

Sambil membicarakan hal-hal tidak jelas, kami akhirnya tiba di apartemen, dan percakapan pun perlahan mereda dengan sendirinya.

"Ngomong-ngomong, katanya di jurusan hiburan akan ada ujian akting, ya?"

Di dalam lift yang hanya diisi suara mesin yang bergerak naik, aku membuka topik baru.

"Sepertinya begitu."

"Sepertinya? Bukannya kamu ikut?"

"Sebenarnya boleh saja kalau mau absen. Tapi kalau sampai kamu saja tahu soal ini, berarti gosipnya sudah menyebar, ya? Kalau begitu, aku juga nggak bisa seenaknya bolos~"

Nada suaranya terdengar seolah dia bicara tentang orang lain.

Tapi entah kenapa, ekspresinya sedikit murung.

"Yah, lagipula aku juga belum tahu apakah bisa ikut atau tidak, soalnya belum punya pasangan."

Tepat saat lift sampai di lantai tujuan, dia tiba-tiba kembali memasang wajah ceria dan tertawa ringan.

"Baiklah, sampai ketemu besok pagi! Ah, jangan lupa bilang ke Akari dulu, ya! Kalau tiba-tiba aku muncul dan dia malah kebingungan, itu bakal, memalukan!"

"Iya, aku tahu. Sampai jumpa."

"Uh-huh, bye-bye~"

Setelah melambaikan tangan, Nagisa pun menghilang di balik pintu.

Tapi entah kenapa, ekspresi terakhirnya---yang tampak tanpa beban, tapi sekaligus menyimpan sesuatu---terus terngiang di benakku.

.

.

.

Keesokan paginya, aku menunggu di depan gedung apartemen. Tak lama, Akari datang sambil membawa Nagisa bersamanya.

"Waah, akhirnya bisa berangkat bareng Nagisa! Aku pikir dia bakal terus nggak masuk sekolah, jadi sempat khawatir kita nggak bisa berangkat bareng!"

"Ya, ya, aku juga senang."

Meskipun menanggapinya dengan santai, ekspresi Nagisa jelas menunjukkan kebahagiaan.

Wajahnya pagi ini jauh berbeda dari raut sedikit muram yang ia tunjukkan tadi malam---kini lebih cocok dengan anak SMA kelas satu pada umumnya.

"Ngomong-ngomong, sudah lama juga sejak terakhir kali aku melihatmu dengan seragam, Nagisa."

Sejak upacara penerimaan siswa baru, aku belum pernah melihatnya mengenakan seragam lagi.

Saat kami bertemu sebagai tetangga pun, begitu juga semalam, dia selalu mengenakan pakaian kasual.

"Oh ya? Terus, gimana? Senang akhirnya bisa melihatnya lagi?"

"Nggak ada perasaan khusus sih…"

"Yah, aku memang bisa mengenakan apa saja dengan penuh gaya, kan? Cuma dengan berjalan di sekolah pakai seragam ini saja, aku sudah bisa jadi model promosi berjalan!"

Aku hanya sekadar menyampaikan fakta bahwa sudah lama sejak terakhir kali melihatnya berseragam, tapi dia malah berasumsi bahwa aku memujinya dan mulai menyombongkan diri.

Sepertinya Nagisa memang cukup percaya diri.

Di sampingnya, Akari menatap kami dengan ekspresi yang terasa berbeda dari atmosfer yang sedang terjadi di antara kami.

"Yuto, bukannya biasanya kamu memanggilnya 'Minase-san'?"

"…Terus kenapa?"

Aku sama sekali tak merasa melakukan sesuatu yang salah, tapi entah kenapa jantungku sedikit berdebar lebih cepat.

"Bukan apa-apa? Cuma kaget saja. Jarang sekali melihatmu memanggil perempuan lain pakai nama depannya selain aku. Sejak kapan kalian jadi dekat?"

Nada suaranya terdengar santai, sepertinya dia cuma sekadar mengungkapkan pertanyaan yang terlintas di pikirannya tanpa maksud tertentu.

"Yah, banyak hal terjadi… Ngomong-ngomong, kapan ujian jurusan hiburan itu diadakan?"

Aku mengganti topik dengan cara yang agak terlalu kentara, tapi untungnya Akari yang kurang peka tak mempermasalahkannya dan mulai teralihkan, mengingat-ingat jadwalnya.

"Untuk ujian menyanyi, kayaknya dua minggu lagi? Sedangkan ujian akting agak belakangan, kan, Nagisa?"

"Iya, awal Juli nanti."

"Kamu sendiri kapan, Yuuto? Ujianmu?"

"Minggu depan."

"Seriusan? Tapi kelihatannya kamu nggak panik sama sekali?"

"Yuto memang selalu begini, kok. Waktu SMP juga, saat aku sampai menangis karena mengerjakan tugas, dia malah diam saja, nggak menggerakkan penanya sama sekali."

"Karena kamu nggak bisa memahami apa pun kecuali aku mengajarkan semuanya, aku jadi tak bisa berbuat apa pun sama hal itu."

Yah, setidaknya kali ini aku bisa fokus belajar tanpa perlu khawatir soal Akari.


🔸◆🔸


"Yah~! Rasanya capek juga!"

Meski mulutnya berkata begitu, teman sekelasku, Yamada Souma, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan, malah tersenyum lebar. Barusan kami baru saja selesai dengan sesi belajar bersama---atau lebih tepatnya, sesi di mana aku dipaksa untuk mengajarinya---di ruang privat perpustakaan sekolah.

Padahal aku sudah berniat untuk fokus belajar sendiri demi ujian kali ini, tapi dua detik setelah sampai di sekolah, Souma langsung memohon, "Tolong ajari aku belajar!"

Kami menghabiskan beberapa jam di perpustakaan, dan sekarang waktu sudah lewat pukul delapan malam.

Karena Souma pulang naik kereta, kami langsung berpisah di depan sekolah, dan aku pun berjalan pulang seperti biasa.

Beberapa menit berjalan, pemandangan yang mirip seperti kemarin kembali muncul di hadapanku.

"Ini lagi..."

"Apa? Jangan-jangan kamu itu stalker, ya?"

"Bukan, aku baru pulang dari belajar bareng teman."

"Yakin?"

Nagisa, yang ada sedikit di depanku, memperlambat langkahnya dan berjalan sejajar denganku.

"Seorang siswi SMA berjalan sendirian malam-malam begini itu berbahaya, tahu?"

"Aku nggak apa-apa kok, soalnya aku bukan siswi SMA biasa."

"Justru karena kamu itu aktris, itu malah membuatnya jadi lebih berbahaya."

"Betul, belakangan ini memang ada orang mencurigakan. Kalau aku berjalan sendirian malam-malam, ada yang mengikuti dari belakang."

"...Itu aku, kan."

"Bagus, kalau kamu bisa sadar diri. Senang melihatnya."

"Yah, kamu memang tipe orang yang bakal bilang begitu."

Mungkin karena ucapanku yang terdengar sok tahu, dia menatapku seolah ingin bilang "menyebalkan sekali", tapi aku pura-pura tidak sadar dan mengalihkan pembicaraan.

"Jadi, kenapa kamu pulang telat hari ini?"

"Dari sekolah. Aku mendapati penjelasan tentang hal-hal yang kulewatkan sewaktu absen kemarin, juga soal ujian bulan Juli. Semua itu lebih lama dari yang kukira."

"Begitu ya... Sekolahnya, menyenangkan?"

Saat aku bilang begitu, ekspresinya yang tadinya agak kesal berubah jadi datar dalam sekejap.

Mungkin memang seperti itulah seorang aktris---ekspresinya bisa berubah-ubah dengan cepat, sampai-sampai aku jadi tak tahu mana yang benar-benar ekspresi aslinya.

"Kenapa tiba-tiba nanyain gitu?"

Ekspresi yang sempat terlihat tak bisa dipahami itu langsung ditutupi dengan senyum ala aktris yang tampaknya dibuat-buat.

"Karena kamu terlihat tak begitu senang dan sepertinya menyimpan rasa tidak puas."

"...Apa ekspresiku kelihatan jelas begitu?"

"Nggak, malah nggak kelihatan sama sekali."

Aku sudah menonton ribuan kali akting ayahku yang masih satu darah denganku, juga akting para aktor dan idol yang pernah bermain bersamanya.

Gerakan mata, cara tersenyum, gerak tubuh---semua itu selalu kuperhatikan, dan dari sanalah aku belajar menebak apa yang dipikirkan seseorang.

"...Kamu ini aneh sekali."

Dia bergumam seperti itu, dan kali ini tampaknya dia tersenyum bukan sebagai seorang aktris, tapi sebagai gadis SMA biasa.

Tanpa ada yang mengusulkan, kami pun secara alami masuk ke taman dekat apartemen.

Dia duduk di bangku taman, lalu memberi isyarat agar aku duduk di sebelahnya. Aku duduk dengan sedikit jarak darinya.

"Aku.. lagi berpikir, apa tak apa kalau aku berhenti sekolah saja."

"Yah, kamu juga kelihatan jarang datang sih."

"Begitulah. Teman-teman seusiaku yang satu profesi, semua mengikuti sekolah jarak jauh sambil terus bekerja keras."

"Tapi kalau kamu nggak memilih cara itu, berarti pasti ada alasan kenapa harus datang ke sekolah ini, kan?"

"Aku belum bilang apa-apa lho... Tapi yaa, kamu memang benar!"

Mungkin merasa kesal karena arah pembicaraanku terlalu tepat, Nagisa menepuk pelan kakiku dengan tangan kirinya yang dikepalkan ringan.

"Aku, punya seseorang yang sangat kukagumi. Orang itu pernah bilang ke padaku; kalau masuk ke Ichiyou, aku bakal ketemu anak seumuran yang punya bakat luar biasa. Sejujurnya, aku sempat merasa... bahkan kalau dilihat dari orang-orang yang lebih tua sekalipun, nggak ada yang bisa mengalahkanku dalam hal akting. Nggak, memang itulah yang kupikirkan."

Kalau cuma dengar ucapannya, mungkin dia bakal terdengar sangat percaya diri. Tapi kalau melihat kenyataannya---bahwa dia masih berada di puncak dunia hiburan saat ini, dengan segudang pencapaian yang mengikutinya---itu bukan cuma omong kosong belaka.

"Dan karena itu, aku jadi penasaran... Bukan, kurasa aku cemburu dengan anak itu. Orang yang aku kagumi sampai berkata begitu... aku jadi berpikir, 'sehebat apa orang itu sampai-sampai bisa membuat beliau memujinya begitu'. Aku jadi sangat iri."

"Lalu, sudah ketemu sama orang yang dimaksud?"

"...Belum. Tapi entah kenapa, aku rasa dia nggak ada. Aku cuma beberapa kali masuk kelas sih, tapi aku sudah lihat akting semua anak yang aktif di agensi, dan tak ada satu pun yang membuatku merasa 'ah, dialah orangnya' begitu."

"Jadi maksudmu, kamu sekarang merasa tak ada gunanya lagi berada di sekolah?"

"Kurang lebih begitu."

Meskipun aku yang menanyakannya, aku sadar bahwa aku tidak bisa melakukan apa-apa meskipun mendengar jawabannya.

Pasti bukan berarti semuanya tidak menyenangkan.

Kenyataannya, saat dia bersama Akari, dia terlihat benar-benar menikmati waktunya.

Menurutku sendiri, sekolah mungkin adalah tempat yang bagus untuk Nagisa, sebagai batas antara dunia hiburan dan kehidupan sehari-hari.

Meskipun aku berpikir begitu, aku tak bisa mengatakannya, apalagi memintanya untuk tetap tinggal. Aku tak punya hak.

Aku bisa membayangkan betapa berat hidupnya---dikejar pekerjaan dan tetap harus datang ke sekolah di waktu istirahatnya.

Karena itu, aku merasa tak pantas ikut campur hanya dengan perasaan ringan.

Keheningan yang berlangsung beberapa saat dipecahkan oleh ucapan Nagisa,

"Baiklah, ayo pulang."

Entah kenapa, ekspresinya saat itu terlihat seperti seseorang yang baru saja membuat keputusan. Tapi seperti biasa, aku tak menanyakan apa-apa soal itu.

Ketika dia berdiri dari bangku dan mulai berjalan, aku tiba-tiba bertanya,

"Ngomong-ngomong, siapa orang yang kamu kagumi itu?"

"Eh? Kayaknya bahkan Yuto pun juga tahu."

Nagisa yang berjalan sedikit di depan, menoleh sambil membuka kunci otomatis pintu apartemen.

"Hokujou Yuya. Kamu pasti tahu tentang beliau, kan?"

"...K-kurasa..."

Itulah yang coba aku ucapkan, tapi aku sendiri tak yakin apakah berhasil mengatakannya dengan jelas atau tidak.

Aku tak pernah menyangka nama ayah kandungku akan disebut sebagai sosok yang dikagumi oleh temanku.

"Heii~? Yuto?"

Nagisa memanggilku, mungkin karena dia merasa aneh aku tiba-tiba berhenti melangkah.

Dengan perasaan yang belum pernah sekacau ini, aku masuk ke lift bersamanya, dan menyusuri lorong apartemen sambil menjawab beberapa kata dengan pikiran yang entah ke mana.

Setelah berpisah dengannya dan masuk ke ruang tamu rumah, aku duduk dalam-dalam di sofa. Jantungku masih berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

"Selamat datang~"

"...Aku pulang."

Ibu, yang baru saja keluar dari kamar mandi, muncul hanya untuk menyambutku. Rambutnya masih basah.

Memastikan bahwa aku sudah pulang, ibu langsung kembali ke kamar mandi.

Karena aku sudah memberi tahu lewat aplikasi pesan bahwa mungkin akan pulang terlambat karena belajar dengan Souma, aku mengikuti instruksi dari pesan balasannya sebelumnya---menghangatkan makanan yang sudah disiapkan di meja makan.

Sesudah memanaskan makanan dan mengatupkan tangan di atas meja untuk mulai makan, ibu keluar dari kamar mandi, duduk di sofa ruang tamu.

Sambil makan, aku memutuskan untuk bertanya pada ibu.

"Ibu, apa ayah tahu kalau aku masuk ke Ichiyou?"

"Tahu, kok. Soalnya kami sering berkontak membahasmu, Yuto."

Ini kali pertama aku mendengarnya.

Kalau dipikir-pikir lagi, Hokujou Yuya memang mendukung kami secara finansial, jadi takkan aneh kalau dia tetap menjalin komunikasi dengan ibu. Dan dari situ, membicarakan tentang aku pun jadi sesuatu yang cukup wajar...

Di TV, di acara variety dan dokumenter, ayah selalu terlihat sangat ramah.

Aku juga ingat dalam salah satu acara dia pernah bilang suka anak-anak.

Banyak hal melintas di kepalaku dan semuanya terasa tak teratur.

Kalau dugaanku benar, maka anak yang punya "bakat luar biasa" yang ayah ceritakan pada Nagisa itu adalah...

"Ada apa, tiba-tiba? Oh ya, ini bukan karena ibu yang cerita duluan, oke? Ayahmu lah yang memang ingin tahu soal Yuto, makanya ibu memberitahunya tentang dirimu."

Mungkin ibu salah paham dan mengira aku khawatir kalau hubungan darah kami bisa terbongkar ke publik, jadi dia buru-buru menjelaskan.

"Tidak, aku tak masalah. Lagian dari sudut pandang ayah, aku ini orang yang dia bantu secara finansial. Wajar saja kalau dia peduli."

"Kalau begitu baguslah... Tapi belakangan ini dia sedih karena ibu belum sempat kirim fotomu..."

"…Ibu bahkan biasa mengirim foto kepadanya?"

"Mau bagaimana lagi, dia memaksa sekali. Sepertinya anak semata wayangnya itu tetap saja lucu buatnya. Lagipula dia suka anak-anak, kan? Jadi yah…"

Sambil berkata begitu, ibu mengarahkan kamera ponselnya ke arahku.

Biasanya aku tak suka difoto dan pasti akan menolak, tapi karena terlalu banyak informasi yang mendadak masuk ke kepalaku, pikiranku terasa beku dan tubuhku pun tak bergerak seperti biasa.

Selama ini, aku selalu mengira kalau ayah hanya terlibat dalam hidup kami karena rasa tanggung jawab semata, bukan karena dia benar-benar peduli.

Maka dari itu, aku berusaha menjaga perasaan ibu dengan tidak sering membicarakannya dan tak pernah mencoba menggali lebih dalam soal ayah.

Selama ini, aku merasa bahwa keluargaku hanyalah berisikan aku dan ibu---berdua saja.

Sepertinya aku telah salah paham selama ini.

Kamera televisi ternyata memang menampilkan sisi asli dari ayah. Seperti sosok Hokujou Yuya yang dikenali masyarakat---ramah dan jujur---dia ternyata benar-benar memiliki cinta untuk kami.

Dan pada saat itu juga, ponsel ibu bergetar, menandakan notifikasi masuk. Hanya dalam hitungan detik setelah foto diriku yang baru saja dikirim.

"…Ayah?"

"Iya, iya. Kalau soal Yuto, dia selalu cepat membalas, tahu~"

Kejadian yang seolah memperkuat keyakinan bahwa ayah benar-benar punya kasih sayang pada kami terus berputar-putar di dalam kepalaku, dan perlahan membawaku pada satu kesimpulan.

Anak yang seumuran dan punya bakat luar biasa yang disebut Nagisa, bisa jadi memang aku.

Ayah, yang memandangku penuh kasih sebagai seorang anak, melihatku sejak kecil menatap penampilannya di TV dengan penuh perhatian. Lalu, mungkin dengan sedikit keberpihakan sebagai orang tua, dia berpikir aku juga memiliki bakat akting sepertinya. Dan karena hubungan kami yang tak bisa dijelaskan secara terbuka, ia pun menyampaikannya pada Nagisa dengan rasa bangga yang tersembunyi...

…Mungkin itu bukan hal yang mustahil.

"…Terima kasih atas makanannya."

Aku membawa piring kotor ke wastafel, menarik napas panjang.

Sedikit lebih tenang sekarang… atau mungkin otakku hanya menyerah untuk berpikir, dan memberiku sedikit ruang.

Sambil melirik ibu yang masih sibuk membalas pesan ayah, aku menuju ruang ganti.

Aku mencoba untuk fokus hanya pada gerakan tubuhku, menyelesaikan mandi dengan pikiran kosong, dan masuk ke dalam bak mandi hangat.

"Toh, nggak ada cara buat memastikan kalau aku memang anak yang dia maksud, kan…"

Aku mengucapkannya bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk merapikan pikiranku sendiri.

Bahkan kalau aku tanya ke ibu sekalipun, belum tentu aku tahu apakah aku harus menyampaikan itu pada Nagisa atau tidak.

Artinya, tak ada yang bisa kulakukan.

Aku memutuskan itu, dan memilih untuk memusatkan kesadaranku pada kehangatan air yang menyelimuti tubuhku.

.

.

"Yuto, kamu mandi terlalu lama."

"Ahh, aku cuma lagi memikirkan sesuatu saja..."

Seperti yang bisa diduga, aku tak berhasil menenangkan diri sepenuhnya, dan sepertinya aku berendam terlalu lama hingga hampir pusing karena kepanasan.

"Yuto? Ayahmu bilang dia ingin bertemu."

"…Sekarang belum bisa, kan?"

Kalau aku bertemu dengannya sekarang, aku harus mengonfirmasi kebenaran soal anak berbakat itu. Dan kalau aku sampai melakukan kesalahan yang membuat hubungan kami terbongkar ke publik, aku bakal membuat masalah besar, bukan cuma buat diriku, tapi juga untuk ayah dan ibu.

"Yah, pada akhirnya memang harus tetap bertemu suatu saat nanti…"

Kalau dipikir-pikir dari sikap ayah tadi, rasanya tak mau bertemu sama sekali justru terkesan tidak sopan, bahkan sedikit kasihan juga.

Kapan waktu yang aman?

Bertemu Hokujou Yuya saat aku masih SMA mungkin terlalu mencolok---lebih baik kalau sudah dewasa, mungkin?

"Ibu dan ayah pikir kamu juga pasti menolak kalau harus bertemu secara pribadi."

"Kalau begitu jangan tanya begitu dong…"

Aku menghela napas kesal pada ibu yang berkata seperti itu, padahal dia tahu betul aku paling tak mau kalau hubungan darah kami terbongkar ke publik. Tapi kemudian dia mengatakan sesuatu yang membuatku tak percaya dengan telingaku sendiri.

"Ngomong-ngomong, ayahmu bakal datang ke Ichiyo buat kerja! Katanya dia jadi juri untuk ujian jurusan hiburan!"

…Untuk hari ini, sebaiknya aku tidur saja.

Mematikan semua alur pikiranku, aku pun menuju wastafel untuk menyikat gigi.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close