NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 6

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 6

Aku Tidak Ingin Membuat Karaage

"U-um. Jadi ini hanya berdua saja, ya?"

Natsukawa, dengan wajah imut yang biasanya terasa menyebalkan, tampak menegang saat berkata begitu. Sesaat kemudian, terdengar suara baj, dan lampu ruangan padam.

"Hyaa…!"

Natsukawa melonjak ketakutan. Kami berdua mencoba membuka pintu berkali-kali, tetapi hanya terdengar suara gagang pintu yang bergetar tanpa ada tanda-tanda pintu itu bisa terbuka.

"…Sepertinya kita dijebak."

"…Iya."

Dalam ruangan gelap yang terkunci, hanya ada kami berdua. Aku dan Natsukawa kini terkunci di dalam ruang persiapan masak.

Awalnya, seorang anggota klub yang bahkan belum pernah bicara denganku berkata, "Ketua menitip pesan. Katanya tolong kalian berdua pergi ke ruang persiapan masak dan ambil talenan cadangan." Padahal aku sudah bergabung dengan klub memasak dua bulan, tapi belum pernah masuk ke ruang persiapan itu. Bahkan Natsukawa, yang sudah ada sejak SMP, baru sekali masuk ke sana.

Seharusnya dari situ aku sudah merasa janggal. Tapi karena alasannya dari ketua, aku dan Natsukawa mengabaikan rasa curiga dan dengan santai menuju ruang persiapan. Begitu menemukan talenan yang dimaksud, pintu dikunci dari luar, dan lampu pun dipadamkan.

Kukira mereka sudah bosan melakukan hal semacam ini, ternyata gangguan terhadap kami masih berlanjut. Kami sudah beberapa kali berteriak minta tolong, tapi tidak ada jawaban. Mengetuk pintu pun tidak ada respons dari luar. Bagaimanapun juga, ruang persiapan ini letaknya di ujung gedung sekolah. Hampir tidak ada siswa yang kebetulan lewat.

Ini gawat. Karena tidak ada jendela, cahaya sama sekali tidak masuk. Benar-benar tidak terlihat apa pun. Kalau mendekat, barulah samar-samar bisa mengenali benda di sekitar.

Dengan begini, bahkan posisi Natsukawa saja aku tidak tahu. Rasanya ingin segera keluar, tapi…

"Natsukawa, kamu bawa ponsel? Punyaku tertinggal di dapur."

"Aku juga tidak bawa."

"Kalau begitu kita hanya bisa menunggu ketua datang."

Saat memasak, kami memang jarang membawa ponsel. Kalau pun dimasukkan ke saku celemek, terasa terlalu berat dan menyulitkan gerak, apalagi biasanya sudah dipakai untuk kain lap.

Sepertinya kami tidak bisa meminta bantuan lewat ponsel, jadi satu-satunya harapan adalah ketua menyadari ketidakhadiran kami.

"Lagipula kita kan tidak pernah terlambat atau absen. Terus terang, meski agak malu mengakuinya, kita cukup menonjol di klub. Jadi kalau kita berdua tidak ada, ketua pasti sadar."

Sambil berkata begitu, aku pun duduk di lantai. Berdiri hanya akan menguras tenaga. Sekalian aku memeriksa isi saku. Yang ada hanya biskuit cokelat yang tadi kubeli untuk camilan tapi belum kumakan. Jumlahnya terlalu sedikit untuk bisa diandalkan.

"Kamu bawa makanan?"

"………………"

"Natsukawa?"

Tidak ada jawaban sama sekali, padahal biasanya Natsukawa akan langsung menyela, misalnya dengan kalimat seperti, "Aku ini bukan menonjol karena buruk, tapi karena punya kehadiran yang kuat!" Rasanya aneh.

"…U-um, Senpai."

"Apa?"

"Boleh… aku mendekat?"

Syukurlah, Natsukawa masih seperti biasanya.

"Tentu tidak boleh. Kamu itu bikin gerah."

"Ahaha… iya, kan."

…Tapi, benar begitu?

Mendadak aku merasa tidak tenang. Aku merentangkan tangan, meraba ke segala arah untuk mencari Natsukawa. Sambil merangkak, tanganku menyentuh sesuatu.

"Hh… hi…"

"Natsukawa?"

"Hi-hyu… fu… Se-senpai…"

Aku segera mengulurkan tangan ke arah suara itu, lalu merasakan sesuatu yang lembut dan tergulung.

"Ini kamu, Natsukawa!?"

"…Maaf… Aku… tidak kuat. Kalau tempatnya gelap dan sempit seperti ini…"

"…Tadi maafkan aku. Aku harus bagaimana?"

"…Tolong, pegang tanganku. Dari tadi dingin sekali rasanya…"

Sebuah tangan perlahan terulur, lalu kupegang erat. Tangan Natsukawa sangat dingin dan gemetar halus. Dia benar-benar ketakutan. Aku menggenggam tangannya dengan kedua tanganku. Tidak tahu harus berbuat apa lagi, aku akhirnya duduk di sampingnya dan bersandar.

"Natsukawa, tenang saja. Ketua pasti akan menemukan kita. Pasti."

"Iya… ya."

Natsukawa menjawab lemah. Setelah beberapa kali menarik napas pendek, akhirnya ia sedikit tenang dan membalas genggamanku, meski dengan tenaga lemah.

"Sudah agak tenang?"

"…Iya. Sedikit. Tanganmu hangat, ya."

Dengan suara yang jauh dari nada manja biasanya, Natsukawa melanjutkan pelan,

"…Senpai."

"Apa?"

"Boleh aku ngobrol? Kalau begitu, rasa takutnya berkurang."

"Tentu saja. Apa pun. Aku akan tetap di sampingmu."

"Seperti biasa, Senpai memang baik."

Ia menarik napas panjang, lalu mulai bicara.

"…Dulu aku juga pernah terkunci seperti ini. Waktu SD. Saat itu sendirian, baru ketemu setelah setengah hari. Sejak itu aku jadi takut tempat sempit dan gelap."

"…Begitu, ya."

Tiba-tiba tanganku menyentuh biskuit cokelat yang tadi kusimpan di saku.

"Aku punya biskuit. Mau makan? Kadang manisan bisa bikin lebih tenang."

"…Itu… sudah dibuka?"

"Belum kok."

Mendengar pertanyaannya, aku jadi teringat kalau dulu pun dia menolak makan es krim yang sudah pernah kugigit.

"Jangan-jangan kamu agak germofobia? Maaf, aku sering banget ngomong sembarangan."

"Eh, itu… um…"

Natsukawa tampak jelas gelisah.

Ia menggenggam tanganku lebih erat lagi.

"Senpai sama sekali tidak salah. Dulu… makanan aku pernah dimasukkan macam-macam oleh orang lain. Sejak itu, aku tidak bisa makan makanan buatan orang lain, atau bahkan produk pabrikan yang segelnya sudah terbuka."

Suara Natsukawa bergetar. Aku pun balas menggenggam tangannya erat-erat.

"…Begitu rupanya. Lalu kenapa kamu masih bisa masuk klub memasak?"

"Justru karena itu aku masuk. Kalau tidak, mungkin aku tidak akan pernah bisa makan makanan hangat seumur hidup. Aku juga sempat berpikir mungkin bisa sembuh dengan semacam terapi kejut."

Di klub memasak sistemnya memang kerja sama. Katanya awalnya ia sama sekali tidak bisa makan, tapi lama-lama setelah ia benar-benar melihat proses memasaknya, dan memastikan semua orang ikut mencicipi, barulah ia bisa makan.

Meski begitu, tetap saja berat. Aku memang sudah lama menganggapnya agak rumit, tapi tidak menyangka ia punya masa lalu seberat ini. Sekarang aku juga bisa sedikit memahami kenapa dia begitu menempel padaku, hanya karena aku tidak menunjukkan ketidaktertarikan.

Sambil sesekali menarik napas dalam, Natsukawa melanjutkan ucapannya.

"Sejak awal aku memang agak terasing di klub. Aku memasak tapi tidak makan, lalu takut orang lain jadi sikapku canggung sekali."

"Natsukawa, kamu hebat."

"Eh?"

"Meski takut, kamu tidak menyerah dan tetap berusaha. Karena itu ada Natsukawa yang sekarang. Itu luar biasa."

"…Masa iya. Ehe."

Perlahan tangan Natsukawa mulai terasa hangat.

"Sebenarnya masih ada alasan lain kenapa aku bertahan di klub memasak. …Senpai kan sering pindah rumah, kan? Waktu kecil, kamu tidak pernah janji mau menikah dengan anak perempuan yang super imut, begitu?"

"Tiba-tiba sekali."

"Kan sering begitu di cerita-cerita."

"Kamu kebanyakan nonton drama. Mungkin pernah, tapi setidaknya aku tidak ingat."

"Hmm."

Apa hubungannya cerita ini dengan alasannya tidak berhenti dari klub memasak?

"Aku sebenarnya punya kakak laki-laki, kira-kira lima tahun lebih tua. Kalau main ke taman, sering ditinggal karena tidak bisa main dengan cara yang sama. Saat itu ada seorang anak laki-laki yang sering menemaniku bermain. Kadang dia memainkan lagu favoritku di piano… dia itu cinta pertamaku."

"Makanya kamu suka tipe yang bisa main piano."

TLN : Curiga gini wok, kalo kakaknya pasti MC

"Benar. Lalu waktu main masak-masakan, kami pernah berpura-pura jadi suami istri. Saat aku pura-pura menyajikan makanan, dia terlihat sangat senang. Anehnya, aku tidak banyak ingat hal lain, tapi momen itu masih kuingat jelas."

"…Jadi begitu. Kamu janji menikah dengannya, lalu ingin pandai memasak."

"Tepat sekali. Tapi setelah itu dia pindah rumah, dan kami tidak pernah bertemu lagi."

"Tidak pernah coba cari kabar?"

"Aku juga ikut pindah waktu itu. Orang tuaku bercerai. Itu waktu aku masih sekitar empat tahun, jadi bisa dibilang sejak itu daerah ini sudah jadi kampung halamanku."

Jadi Natsukawa tetap bertahan di klub memasak demi cinta pertamanya yang entah di mana.

"Kamu ini, gigih juga ya."

"Benar, kan? Kalau ternyata anak itu Senpai, apa Senpai akan jatuh hati?"

"Tentu saja."

"Kalau benar-benar Senpai?"

"Aku sudah punya pacar."

"Ya, benar juga."

Sepertinya suasana hatinya sudah banyak membaik.

Entah karena siapa, tapi tangan yang masih saling menggenggam kini mulai berkeringat.

"Hei, Senpai. Benar-benar tidak ingat?"

"…Entahlah. Setelah dengar ceritamu, aku agak samar-samar teringat sesuatu."

"Eh!?"

"Aku juga pernah dengar dari ibuku, waktu kecil aku akrab dengan seorang anak perempuan. Namanya… seingatku mirip nama makanan. Ama… apa, gitu?"

Begitu aku berkata begitu, Natsukawa menggenggam tanganku lebih erat.

"Sayang sekali. Kalau saja kamu menunggu anak itu, mungkin dia sudah tumbuh jadi gadis super imut dan muncul di depanmu sekarang."

"Kalau ternyata sifatnya seperti Natsukawa, pasti sempurna."

"Senpai juga akan jatuh hati?"

"Mungkin. Semoga kamu bisa bertemu lagi dengan anak itu, ya."

"…Iya."

Nada lirihnya terdengar begitu sendu sampai aku pun ikut terbawa suasana. Anak yang dulu dekat denganku, sekarang ada di mana, ya?

Kalau suatu hari tidak sengaja bertemu lagi, aku tidak yakin bisa mengenalinya hanya dari wajah. Tapi kalau dia masih ingat, mungkin dia akan menyapaku duluan.

Setelah itu kami mengobrol tentang kejadian ketika aku menjatuhkan pisau hingga membuat lantai terkelupas, juga tentang keluarganya. Tak lama, terdengar suara gaduh di luar, lalu pintu terbuka.

"Kalian tidak apa-apa!?"

Yang bergegas masuk adalah ketua klub. Katanya, saat makan, biasanya aku selalu ribut dan lahap, jadi ketika aku tidak ada, ia langsung merasa janggal. Ia pun yakin aku tidak mungkin pulang tanpa izin, lalu mencari kami. Untunglah. Syukurlah aku selalu ribut waktu makan. Pelakunya juga berhasil ditemukan. Ketua berjanji akan melaporkan pada pihak sekolah dan memberi hukuman yang pantas.

Karena Natsukawa sendiri ingin tetap bertahan di klub, seharusnya ia bisa melanjutkan dengan tenang. Berkat ketua yang sangat bisa diandalkan, kami pun menyerahkan semua penjelasan padanya, lalu diizinkan langsung pulang. Benarkah dia seumuran dengan Suzu? Rasanya kelak dia akan jadi wanita karier yang tangguh.

"…Natsukawa, kamu baik-baik saja?"

"Aku tidak apa-apa. Karena Senpai terus di sampingku."

"Syukurlah."

Wajah Natsukawa sudah jauh lebih tenang. Tapi tanganku masih terus ia genggam. Awalnya kupikir wajar, karena ia sempat ketakutan. Namun ternyata sampai kami kembali ke dapur, bahkan hingga di depan pintu masuk sekolah, ia tetap tidak melepaskan genggaman itu.

Akhirnya, aku pun mengangkat tangan yang masih saling menggenggam itu.

"…Ada apa?"

"Tanganmu."

"Hah?"

Tatapan Natsukawa berpindah ke tangan yang masih saling menggenggam, dan wajahnya memerah semakin lama semakin jelas. Kukira ini lagi-lagi gaya usilnya yang seperti iblis kecil, tapi rupanya dia sama sekali tidak sadar melakukannya.

"B-bukan begitu. Bohong! Kalau begini, aku jadi kelihatan seperti suka pada Senpai!"

"Memang bukan begitu?"

"…!"

"Ah, jadi diam."

Saat ia buru-buru hendak melepaskan diri, aku malah menggenggam tangannya lebih erat. Wajahnya semakin merah. Posisi kami kini benar-benar terbalik, dan rasanya menyenangkan.

"L-lepaskan!"

"Nggak mau."

"…Senpai, jangan-jangan marah ya!? A-aku minta maaf! Atas semua yang sudah kulakukan!"

"Aku tidak marah, kok. Lagi pula, tipe gadis seperti kamu, aku juga tidak membencinya."

"………………E-eh?"

Saat aku mengucapkan pikiran yang sempat terlintas, mengingat sesuatu yang pernah ia katakan sebelumnya, Natsukawa hanya bisa terdiam dengan wajah memerah. Aku pun melepas tangannya dan melangkah lebih dulu keluar pintu gerbang sekolah. Biasanya aku yang selalu jadi sasaran, jadi kali ini sungguh menyenangkan.

"Senpai tunggu!!" suara ceria terdengar dari belakang. Entah kenapa, mungkin karena barusan mendengar cerita masa kecilnya, hatiku diliputi rasa nostalgia.

Natsukawa terus mengikutiku sampai stasiun tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kadang ia menunduk dengan wajah muram, lalu tiba-tiba mendongak, menatapku dengan wajah ragu, lalu kembali menunduk. Pola itu terus berulang. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan keusilan yang kulakukan tadi?

Natsukawa yang mungil tampak begitu lincah berganti-ganti ekspresi, benar-benar seperti hewan kecil. Menyenangkan untuk dilihat, sampai-sampai aku menahan diri untuk tidak menyapanya.

Tanpa terasa, kami pun sampai di stasiun. Meski arah rumah kami sama, kereta yang kami naiki berbeda, jadi di sini kami harus berpisah. Aku menoleh ke belakang, melihat Natsukawa yang sedari tadi berjalan setengah langkah di belakangku.

"Hati-hati di jalan," ucapku sambil melangkah menuju gerbang tiket.

"…U-um, Senpai, tunggu."

Ujung seragamku ditarik pelan. Kalau ini dilakukannya tanpa sadar, benar-benar terlalu imut. Akhirnya Natsukawa menatapku, kali ini dengan wajah yang tampak sudah mantap.

"Terima kasih banyak untuk hari ini! Suatu saat, aku pasti akan menyampaikan semuanya dengan jelas! —Jadi, tolong tunggu dengan siap-siap, ya!"

Dengan penuh semangat ia berkata begitu, lalu menunduk dalam-dalam sebelum berlari menembus gerbang tiket dan melompat masuk ke kereta yang pintunya hampir tertutup. Benar-benar seperti contoh sempurna penumpang yang berlari di detik terakhir. Bagaikan badai. Aku jadi bingung sendiri.

Apa sebenarnya yang harus kusiapkan? Apakah ia sedang merencanakan sesuatu yang gila sebagai balasan? Kalau Natsukawa, bukan mustahil. Sesaat aku terdiam, tapi segera beranjak karena tidak boleh menghalangi orang lain. Aku melewati gerbang tiket, menunggu sebentar di peron, lalu naik ke kereta seperti biasa.

Kebetulan aku mendapat tempat duduk. Bersandar pada guncangan kereta, aku memejamkan mata. Suara percakapan orang-orang dan derit roda perlahan menjauh, dan tanpa kusadari aku tertidur.

"Aku mau menikah denganmu kalau sudah besar!"

Tiba-tiba terdengar suara nyaring khas anak kecil, membuatku terbangun. Saat sadar, kereta sudah tiba di stasiun satu sebelum stasiunku. Pengumuman dari pengeras suara perlahan menyadarkanku sepenuhnya.

"Itu tadi… mimpi?"

Mungkin karena tadi membicarakan masa lalu dengan Natsukawa, aku jadi bermimpi kenangan lama.

Aku berusia sekitar enam tahun, saat masih tinggal di Ishikawa. Di taman dekat rumah ada perosotan besar, dan di bawahnya aku sering memainkan piano mainan. Aku lupa bagaimana mulanya, tapi ada seorang gadis kecil yang jadi akrab denganku.

Setiap hari ia selalu memintaku bermain lagu. Sebagai anak tunggal, aku senang sekali ada yang mengandalkan. Aku bahkan diam-diam berlatih lagu populer di rumah, lalu pura-pura iseng memainkannya saat diminta. Aku masih ingat jelas ekspresi matanya yang membesar heran, "Kok bisa langsung bisa!?" —itu yang paling kusukai.

Hari kepindahan, ia datang dengan mata sembab karena menangis semalaman. Rasanya kami sempat membuat janji. Padahal barusan aku mendengarnya dalam mimpi, tapi sekarang tak bisa kuingat lagi. Dengan kepala masih agak berat, aku turun dari kereta. Saat melihat ponsel untuk mengecek waktu, ada pesan dari Sakuraba: "Shift-ku sudah selesai!" Tercatat lima menit yang lalu.

Waduh! Aku harus cepat menjemputnya. Tanpa pulang dulu, aku langsung berlari menuju restoran tempatnya bekerja. Sakuraba sudah berdiri sendirian di pintu belakang. Meski hanya berdiri, entah kenapa terlihat begitu indah.

"Yo. Ayo cepat pulang."

"Midoriya-kun. Terima kasih, ya."

"Ah, bukan apa-apa. Demi makan malam enak, kan."

Karena semua yang terjadi hari ini, aku belum sempat makan di klub memasak. Perutku benar-benar lapar.

"Hari ini kita nggak perlu ke supermarket, kan?"

"Ah, iya. Masih ada sisa bahan kemarin, jadi cukup."

Meski dibilang begitu, aku tidak langsung ingat apa saja isinya. Sampai sekarang aku belum terbiasa mengingat isi kulkas. Sedangkan Sakuraba, ia hafal benar. Aku jadi sungguh hormat padanya.

Sambil diam-diam mengaguminya, Sakuraba mengangkat wajahnya, tampak sedikit ragu.

"Oh ya, aku dengar dari Aoi-chan. Katanya waktu itu, hari kamu menolongku, kamu janji sesuatu pada Aoi-chan?"

"Ah—, iya ya. Ada, ya?"

"Ada. Meski aku orang yang ditolong, tapi menepati janji itu penting. Setidaknya beri kabar, kan?"

Ucapannya begitu masuk akal, aku tak bisa membantah. Memang saat itu aku hanya bisa fokus pada Sakuraba. Lagipula, urusan Natsukawa waktu itu tidak mendesak. Aku juga sudah terbiasa bersikap agak cuek padanya. Setelahnya aku memang sempat meminta maaf, dan dia hanya cemberut sambil bilang, "Lagi-lagi!?"

Begitulah hubungan kami. Dan justru karena aku seperti itu, Natsukawa merasa mudah bergaul denganku. Tapi ya… Sakuraba tentu tidak tahu.

"Kamu bilang begitu ke Natsukawa?"

"Nggak. Aku nggak sanggup bilang langsung!"

"Kalau begitu, biar jangan pernah bilang. Biar ini jadi rahasia kita berdua."

Meski ada alasannya, kalau Natsukawa sampai tahu bahwa aku lebih mengutamakan Sakuraba daripada dirinya, mungkin ia akan terluka.

Aku kembali teringat wajah Natsukawa yang malu-malu untuk pertama kalinya kulihat hari ini. Rasanya aku tidak ingin dibenci oleh adik kelas semanis itu. Saat aku mengulurkan kelingking sebagai isyarat “jangan bilang siapa-siapa,” Sakuraba memperlihatkan ekspresi seolah sedang menahan sesuatu.

"…Kamu orang jahat."

"Haha. Meskipun itu perbuatan buruk, kalau tidak ada yang tahu, berarti tidak masalah, kan."

Entah kenapa, aku merasa pernah mendengar kata-kata ini sebelumnya. Rasa bersalah. Berbagi dosa.

───Tidak apa-apa. Aku tidak akan bilang ke siapa pun. Biar jadi rahasia kita berdua, sampai terbawa ke liang lahat.

Saat telingaku yang kiri tanpa sadar kusentuh, ingatan hari itu pun kembali. Luka yang kutinggalkan pada Yuna, dan luka yang ia tinggalkan padaku, keduanya masih jelas terasa sampai sekarang.

"Midoriya-kun ternyata punya pacar, ya."

Begitu kata Sakuraba. Suaranya terdengar lirih, seakan melebur dalam udara, tapi tetap saja jernih sampai ke telingaku.

"…Hah? Aku belum pernah bilang?"

"Belum. Aku malah kaget waktu dengar dari Aoi-chan kalau kamu punya pacar jarak jauh."

"Serius? Aku kira sudah pernah nyebut, soalnya dulu waktu masuk klub masak aku sempat bilang di depan semua orang."

Sejak kapan ya aku berhenti membicarakan pacarku? Aku menjawab sekenanya sambil mendorong sepeda yang terus berdecit.

"Harusnya aku bilang dari awal, ya. Jadi kamu tidak perlu merasa canggung."

"Kalau begitu kenapa kamu bilang aku imut, atau bilang aku pasti jadi istri yang baik? Itu kan bikin salah paham."

"Itu kan fakta. Kamu memang imut, dan kelihatannya juga akan jadi istri yang baik."

Memang, kata-kataku bisa membuat salah paham. Kalau sampai membuat Sakuraba takut aku menyukainya, itu salahku. Tapi aku benar-benar menyukai Sakuraba sebagai pribadi, dan ingin hubungan saling membantu ini terus berlanjut. Karena itu, aku harus jelaskan dengan benar sekarang: bahwa aku punya pacar, jadi tidak perlu khawatir, hubungan kami murni sebatas kerja sama.

"Sakuraba, kamu juga bukannya tipe orang yang suka padaku, kan?"

"…Iya. Jadi aku tidak salah paham atau semacamnya. Tapi tetap saja, kamu harus bilang lebih cepat. Aku jadi sempat takut kalau-kalau pacarmu akan salah paham."

Aku mengembuskan napas lega. Ya, itu memang hal yang bakal dipikirkan Sakuraba. Benar-benar kebalikan dari Natsukawa.

Aku jadi merasa bodoh karena tadi terburu-buru menjelaskan. Tidak mungkin juga Sakuraba jatuh cinta padaku.

"Pacarmu cantik?"

"Super cantik. Mau lihat fotonya?"

"…Nggak usah!"

Yah, wajar dia tidak tertarik sejauh itu. Natsukawa saja sering kesal karena aku terlalu sering pamer soal pacarku.

Aku memasukkan kembali ponsel ke saku, mempercepat langkah.

Suasana jadi agak canggung, dan kami hampir tidak berbincang sampai mendekati rumah. Tiba-tiba Sakuraba menarik lengan seragamku.

"Aku jadi kepingin sesuatu. Boleh kita mampir ke supermarket? Aku yang akan masak!"

"Eh, tentu saja boleh."

Apa ya yang ingin dimakannya?

Aku hanya berpikir untung sekali bisa dimasakkan, jadi menuruti semua bahan yang dimasukkannya ke dalam keranjang, lalu membayar dan pulang.

Tak lama kemudian, di meja sudah tersaji sepiring besar karaage dalam jumlah luar biasa. Apa-apaan ini.

"…Kenapa sebanyak ini?"

"Nggak apa-apa. Diam dan makan saja."

"Aku nggak yakin bisa habis…"

"Yang sisa bisa dibekukan, jadi tenang saja!"

Di dapur rumahku, Sakuraba menggoreng karaage dengan cekatan, benar-benar seperti seorang profesional.

"Biasanya kamu selalu bilang gorengan bikin gemuk, kan…"

"Hari ini pengecualian. Lagipula minumnya pakai cola zero, jadi aman!"

"Itu justru mencurigakan, rasanya sama tapi tanpa kalori. Pasti ada bahan aneh di dalamnya."

"Astaga! Nggak peka banget sih!?"

"Nggh!?"

Sepotong karaage panas langsung dijejalkan ke mulutku.

Ah, enak sekali. Meski panas, kugigit dengan nekat, dan dagingnya yang juicy langsung meledak dengan renyahnya kulit.

"Enak banget."

"Kan? Aku memang paling jago masak."

"Benar sekali."

Apa-apaan itu, bilangnya dengan muka serius pula. Sakuraba sampai tersipu, memelintir rambut ikalnya sambil berkata pelan, "Masa sih…" Wajahnya yang malu-malu itu membuatku tertawa. "Kenapa ketawa!?" protesnya. Aku ingin menjawab, “Karena kamu lucu,” tapi teringat obrolan kami di jalan tadi, akhirnya hanya menggeleng.

Biasanya Sakuraba sangat peduli kesehatan, tapi kali ini ia melahap karaage dengan pipi menggembung seperti tupai. Dari awal memang dia agak aneh hari ini. Ada apa sebenarnya?

Tapi tetap saja, karaage ini luar biasa lezat. Nanti harus kutanyakan resep lengkapnya. Sambil berpikir begitu, piring karaage yang kupikir mustahil habis ternyata makin lama makin menipis.

"Gokun." Aku menelan potongan terakhir, lalu merapatkan kedua telapak tanganku dengan semangat.

"Terima kasih atas makanannya!"

"…Kamu benar-benar menghabiskannya, ya."

"Hari ini enak sekali, sumpah."

"Aduh… sekarang aku jadi takut membayangkan jumlah kalorinya."

"Tenang, nggak mungkin langsung berubah jadi lemak, kok. Mungkin."

"Dasar nggak bertanggung jawab."

Melihat Sakuraba menyesal begitu rupa, aku bertanya,

"Kalau begitu, bagaimana aku harus bertanggung jawab?"

Ia menjawab dingin, "Mana bisa."

Sepertinya dia memang sedang tidak bersemangat. Apa mungkin ada sesuatu dari obrolan di jalan tadi yang membuat suasana hatinya rusak? Atau jangan-jangan aku melakukan hal lain? …Mungkin saja. Yuna juga sering marah padaku karena dianggap tidak peka. Semoga saat bertemu lagi nanti, ia sudah mau memaafkanku.

Saat aku sedang memikirkan itu, Sakuraba tiba-tiba bersuara, "Ah." Botol plastik cola zero yang dipegangnya ternyata sudah kosong tanpa ia sadari.

"Habis. Boleh aku ambil teh?"

"Silakan~"

Jujur saja, Sakuraba lebih tahu persediaan rumahku daripada aku sendiri. Mulai dari stok teh botol, sampai isi kulkas.

Setelah mengecek kulkas, lalu rak penyimpanan, ia mengangkat wajah dengan kepala sedikit miring.

"Stok tehnya sudah habis semua. Midoriya-kun yang habisinya?"

"…Oh iya, mungkin habis tadi pagi."

"Aduh, ya ampun! Nggak ada pilihan deh."

Sakuraba kembali padaku sambil mengembungkan pipi, seolah menyuruhku untuk beli lagi nanti. Haruskah aku pergi membelinya sekarang, pikirku, saat tiba-tiba──

"Hyaaahhh!?"

Dengan suara benturan yang tumpul, aku membuka mata dan mendapati wajah indah Sakuraba tepat di depanku.

Kesempatan untuk melihatnya sedekat ini jarang sekali. Aku sampai terpaku pada pupilnya yang membesar, warna irisnya yang ternyata lebih terang dari yang kukira, dan bulu matanya yang panjang. Tanpa sadar aku terus menatap wajahnya.

Dia pun sama, tidak bisa bergerak, hanya menatapku balik. Aku belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tapi sepertinya aku terjatuh dan ditimpa Sakuraba. Mungkin kakinya tersangkut kabel charger dan ia jatuh menimpaku. Yah, detailnya tidak penting sekarang.

Wajah Sakuraba berada begitu dekat, hampir menempel. Jika ia sedikit saja kehilangan keseimbangan, bibir kami pasti bertemu.

"…Ah."

Sakuraba mengeluarkan helaan napas kecil, bibir tipisnya yang berwarna merah muda tampak bergerak pelan.

Setelah itu, aku tidak begitu ingat jelas. Apakah aku yang mendekatkan wajah, atau Sakuraba yang mendekat, atau mungkin kami berdua melakukannya bersama──

──────Sebuah rasa lembut samar menyentuh bibirku.

Ada banyak alasan yang bisa kupikirkan untuk membela diri. Namun, semuanya terasa tak berarti saat melihat ekspresi menggoda di wajah Sakuraba. Pipi memerah, mata berair, berusaha mengalihkan pandangan dariku—semuanya begitu memesona hingga hampir menghancurkan akal sehatku. Aku yakin wajahku pun sama merahnya. Tatapanku bertemu dengan diriku yang terpantul di matanya, dan rasa malu itu terasa menyesakkan.

Kalau mau menghindar, sebenarnya bisa. Tapi kami sama-sama tidak menghindar. Jadi sekarang, kami saling menatap. Itu artinya ada kesengajaan. Begitulah pikirku sejenak. Namun dalam keadaan seperti ini, mana bisa ditentukan mana yang kecelakaan dan mana yang disengaja—selama tidak ada yang mengatakannya dengan jelas.

Bayangan wajah Yuna melintas di kepalaku. Perlahan, aku memang mulai tertarik pada Sakuraba. Itu fakta yang tak terbantahkan.

Tapi aku mencintai Yuna. Pacarku tetaplah Yuna.

"…Itu kecelakaan."

Aku buru-buru bicara sebelum Sakuraba sempat mengatakan apa pun. Jika ia sempat berkata sesuatu, aku tidak akan bisa lagi menganggap ini tidak pernah terjadi.

"Eh…"

Dengan mulut masih sedikit terbuka karena terkejut, Sakuraba akhirnya menutup bibirnya dan menyentuhnya dengan jari. Aku hanya bisa menatap gerakan itu tanpa kata.

"…Benar, ya. Kecelakaan."

Wajah Sakuraba tampak seperti akan menangis ketika ia berkata begitu. Mungkin saja itu tadi adalah ciuman pertamanya.

"Lebih baik kita lupakan saja, ya."

Ya. Itu memang kecelakaan. Kalau kecelakaan, maka tidak bisa disebut ciuman. Tidak juga termasuk selingkuh. Apa pun yang kami rasakan, wajah seperti apa pun yang kami perlihatkan, itu tetap kecelakaan. Selama keadaan sekarang tidak berubah, bagiku itu sudah cukup.

───Sekalipun itu perbuatan buruk, selama tidak ada yang tahu, bukankah tidak masalah?

Kata-kata yang barusan kuucapkan tanpa pikir, kini justru menjerat leherku sendiri.

Midoriya Shiki: "Maaf. Hari ini aku agak capek."

Hari itu, untuk pertama kalinya sejak mulai hidup sendiri, aku membatalkan panggilan rutin dengan Yuna.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close