NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Side 3

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Side: Sakuraba Haru

“Bukan Tipenya, Katanya”

Aku memutuskan untuk kembali muncul di klub memasak setelah sekian lama.

“Maaf ya, mendadak sekali aku menghubungimu.”

“Ah, tidak apa-apa. Aku juga toh memang mau datang. Lagipula, kalau sudah lama tidak muncul, pasti agak canggung, kan?”

Sebenarnya sama sekali bukan begitu. Aku hanya tersenyum samar. Sepertinya Midoriya-kun sedang berusaha menjaga perasaan, tapi dari pihakku, aku berpikir kalau dia akan lebih mudah datang ke klub memasak bila aku ada bersamanya. Karena itu aku mengajaknya.

Klub memasak di sekolah kami memang penuh dinamika hubungan yang rumit. Aku sendiri bisa bertahan karena sejak awal sudah termasuk siswa internal. Tapi Midoriya-kun masuk dari SMA, tanpa kenalan, dan apalagi satu-satunya laki-laki. Membayangkan dia harus bertahan di lingkungan itu saja membuatku merasa berat hati. Kalau kubayangkan dia duduk sendirian di pojok ruang memasak, dadaku ikut terasa sakit.

Bukan berarti aku pernah mendengar keluh kesah langsung darinya. Bahkan, dia hampir tidak pernah membicarakan soal klub memasak. Mungkin memang tidak ada yang bisa diceritakan. Mungkin juga karena tidak punya teman dekat di klub itulah dia meminta bantuan padaku untuk mengajari masak. Kalau aku ikut hadir, pastilah dia merasa lebih tenang.

Demi Midoriya-kun yang selama ini sudah banyak membantuku, setiap kali aku ada waktu luang, aku ingin datang dan memberikan dukungan untuknya.

Aku mengepalkan tangan erat-erat dalam hati, lalu dengan hati berbunga-bunga melirik Midoriya-kun yang berjalan di sampingku.

Entah kenapa, belakangan ini dia terlihat manis sekali. Rambut depannya yang berantakan, kemejanya yang kusut—setiap kali aku menemukan jejak usahanya hidup mandiri, perasaan sayang itu semakin menguat.

“Hari ini menunya katanya cream stew, lho.”

“Oh, itu aku sempat lihat di grup LIME…”

“Senpaaaiii~!”

“Heh……?”

Suara manis dan penuh semangat memotong percakapan kami. Di sudut pandangku, ekor kuda samping yang terikat tinggi tampak melambai-lambai riang.

Aku kenal anak ini.

“Natsukawa, panas.”

“Senpai ini pemalu ya~. Cuma sama Senpai aku bisa pasang wajah seakan-akan terganggu begini, lho~?”

Aoi-chan. Adik kelas di klub memasak yang dulu cukup dekat denganku.

Sambil bergelayut manja di lengan Midoriya-kun, ia tersenyum nakal, gigi taringnya sedikit terlihat. Midoriya-kun memang tampak terganggu, tapi aku bisa melihat jelas kalau dia tidak benar-benar menolaknya.

“Eh? Itu Haru-chan Senpai, ya!”

“…………ah.”

“Lama tidak bertemu, ya!”

Aoi-chan tersenyum cerah padaku. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa memahami situasi. Otakku macet, suaraku tertahan. Aku harus mengatakan sesuatu, apa saja.

“…………………Kalian akrab, ya?”

“Eh? Maksudnya dengan Shiki-senpai?”

“Ya… dengan Midoriya-kun.”

“Kami memang akrab, kok~!”

Aoi-chan mengedipkan mata nakal ke arahnya, dan Midoriya-kun hanya menimpali,

“Ya, soalnya kami berdua sama-sama diabaikan, jadi…”

Dia tidak menyangkal. Jadi mereka memang dekat. Jadi dia tidak sendirian. Dia punya orang yang bisa diandalkan. Itu seharusnya kabar baik. Itu seharusnya membuatku lega. Tapi entah kenapa, perasaan kesal yang tidak bisa kuterima muncul begitu saja, membuatku hanya bisa terdiam. Kenapa Aoi-chan terlihat lebih dekat dibanding aku? Kenapa aku tidak tahu soal ini sama sekali?

“Aku senang sekali~. Dua orang favoritku ada di klub hari ini!”

“Baguslah. Hari ini karena ada Sakuraba, pasti masakannya lebih enak.”

“Senpai ini, selalu saja ngomongin makanan~.”

Selalu? Selalu itu maksudnya apa.

Aku sebenarnya ingin membuat sesuatu yang istimewa hari ini. Sesuatu yang jauh lebih enak daripada masakan siapa pun di klub, lalu memberikannya untuk Midoriya-kun. Aku ingin melihat wajahnya yang selalu mengatakan “enak” dengan tulus. Lalu kukatakan padanya, aku bisa mengajarinya semuanya, jadi tidak masalah kalau dia keluar dari klub memasak. Tapi aku tidak sanggup menghadapi kenyataan di depan mata. Aku malah terus bercakap dengan diriku sendiri di dalam kepala.

Apa yang harus kulakukan? Tidak ada yang bisa kulakukan. Semuanya, semuanya, semuanya—ternyata aku hanya salah paham seorang diri. Aku ingin percaya sesuatu, lalu terlalu jauh meyakininya, sampai akhirnya kujadikan kenyataan semu di dalam diriku.

“…Hei, kenapa kamu tidak menanyakan kenapa aku datang bersama Midoriya-kun?”

“Eh? Soalnya Senpai lagi mengajari dia masak, kan?”

“Jadi kamu sudah tahu……”

Bukan berarti kami sengaja merahasiakannya. Untuk urusan kerja paruh waktu, memang aku minta dia tidak bilang pada siapa pun. Tapi soal mengajar masak, tidak pernah ada kesepakatan untuk dirahasiakan. Sama sekali bukan kesalahan Midoriya-kun. Dia hanya kebetulan akrab dengan adik kelas, lalu menceritakan kalau aku mengajarinya masak. Aku pun tidak pernah bertanya soal klub kepadanya. Semuanya sesederhana itu.

────Tapi ternyata, hanya aku seorang yang tidak tahu apa-apa. Setelah itu aku tidak begitu ingat lagi.

Dengan percakapan akrab Midoriya-kun dan Aoi-chan sebagai latar belakang, aku hanya menggerakkan tangan tanpa berpikir. Tahu-tahu sudah ada setumpuk sayuran yang teriris rapi dengan ukuran seragam di depanku.

“Tidak masuk akal……”

Aku terus bergumam dalam hati, ini seharusnya tidak begini.

“Temanku… ya, aku mau bawa masakan ini ke Suzu. Aku juga sekalian makan bersama dia, jadi kamu boleh pulang duluan.”

Midoriya-kun menyebut nama yang asing bagiku, lalu keluar ruang masak. Katanya, dia hendak ke gedung seni.

Sebenarnya aku ingin menahannya. Tapi aku sudah kehilangan semua kepercayaan diri untuk melakukan itu. Padahal biasanya aku bukan tipe yang terlalu negatif, kali ini pikiranku dipenuhi hanya oleh prasangka buruk.

“Suzu-senpai itu, kakak kelas tahun ketiga. Katanya teman masa kecil Senpai, dan baru-baru ini masuk klub memasak. Tapi sibuk sekali, jadi jarang datang, sih~.”

“Begitu, ya……”

“Dingin sekali ya. Padahal hari ini Haru-chan Senpai sudah repot-repot datang… eh, tapi kalian berdua memang sering bertemu, kan?”

Aku hanya tersenyum samar. Rasa terkejutnya terlalu besar, sampai-sampai aku tidak bisa mengendalikan emosiku dengan baik. Padahal sebenarnya aku ingin sekali tahu, tapi aku berusaha terdengar seolah-olah baru teringat lalu bertanya,

“Aoi-chan, kalau boleh tahu, bagaimana awalnya bisa kenal dengan Midoriya-kun?”

“Eh, ah… sebenarnya aku sempat punya beberapa masalah dengan pergaulan. Lalu kebetulan Senpai yang menolongku, dari situlah awalnya.”

“…Begitu, ya. Midoriya-kun memang baik, ya.”

Aku dulu berpikir bahwa dia hanya baik padaku, hanya dekat denganku. Tapi ternyata Aoi-chan juga tahu sisi baiknya—sisi yang kupikir hanya aku yang mengetahuinya.

“Betul. Habis itu, ya begitulah, aku jadi agak terasing. Sekarang kami berdua jadi seperti pasangan yang terbuang saja.”

Aoi-chan menambahkan sambil bercanda, “Kan soalnya Haru-chan Senpai sudah jarang datang ke klub,” lalu meneguk air dari botol plastik di tangannya seakan mengalihkan suasana. Dia memang selalu manja padaku, tapi sejak aku sibuk dengan pekerjaan paruh waktu dan terlalu fokus pada urusanku sendiri, aku jarang menghubunginya. Kami jadi agak renggang.

Kalau dipikir-pikir, aku juga tidak bisa langsung menyebut siapa lagi teman dekat Aoi-chan di klub memasak. Bisa jadi, sebenarnya banyak hal lain yang terjadi. Karena sejujurnya, Aoi-chan yang polos ini jauh lebih buruk dalam bersikap menghadapi orang dibanding aku, dan di sisi lain, dia juga sangat imut.

Aku yang hanya sibuk dengan diriku sendiri, sungguh menyebalkan. Aku tidak tahu bagaimana harus meminta maaf, dan bahkan bingung harus berkata apa. Jadi aku terdiam saja. Entah karena menyadari suasana canggung itu, Aoi-chan menepuk tangannya seakan mencoba mengubah topik.

“Haru-chan Senpai sendiri malah mengejutkan. Tahu-tahu sudah akrab dengan Shiki-senpai. Padahal, Shiki-senpai itu orangnya lumayan asal-asalan, lho. Misalnya, pernah janji mau telepon, eh tiba-tiba nggak ada kabar sama sekali.”

“Eh, masa ada hal seperti itu?”

“Ada, lho. Apa jangan-jangan cuma ke aku ya, dia begitu. Nggak bisa dimaafkan deh.”

Setelah itu, Aoi-chan mulai bercerita lebih detail. Katanya, pada hari itu mereka berjanji akan belajar bareng untuk ulangan, tapi Shiki tidak memberi kabar. Baru sekitar dua jam kemudian ia menelpon dengan santai.

“Alasannya katanya habis jemput temannya. Aku juga nggak ngerti maksudnya apa. Ya sudah akhirnya aku belajar mata pelajaran lain. Sebenarnya nggak masalah juga, sih.”

“…Sebentar, jangan-jangan hari itu seminggu sebelum ujian tengah semester?”

“Betul. Eh? Apa Senpai juga dibatalkan sepihak hari itu?”

Bukan. Aku justru penyebab dia membatalkan janji.

Aku buru-buru menutupi, “Nggak kok, bukan begitu,” lalu membuka kalender di ponsel untuk memastikan. Ternyata benar—hari itu aku ribut dengan manajer di tempat kerja paruh waktu, dan Midoriya-kun datang menjemputku.

……Artinya, dia lebih memilih aku daripada janji dengan Aoi-chan. Padahal seharusnya aku tidak boleh merasa senang. Seharusnya aku menahan diri, karena Aoi-chan pasti juga kesulitan hari itu. Tapi bibirku tidak bisa menahan senyum yang perlahan merekah.

Bagaimanapun aku berusaha beralasan, aku tetap tidak bisa menyangkal kenyataan bahwa aku merasa bahagia. Pipi yang terasa panas kututup dengan kedua tangan.

Baiklah. Aku jadi merasa punya sedikit keberanian. Kalau sekarang, mungkin aku bisa menanyakannya. Aku menundukkan pandangan ke telapak tangan, mengepalkannya erat, lalu mengangkat wajah dan menatap mata Aoi-chan.

“Aoi-chan… kamu dan Midoriya-kun, kalian pacaran?”

“Haru-chan Senpai, apa sih? Tentu saja tidak, dong~.”

Dug! Jantungku berdegup kencang. Karena mereka terlihat begitu dekat, aku yakin mereka sudah berpacaran. Ternyata tidak.

“B-begitu ya……!”

Ternyata mereka tidak pacaran! Seketika aku merasa seluruh tubuhku dialiri darah sampai ke ujung kaki, membuatku spontan mengetuk-ngetukkan ujung sepatu ke lantai untuk memastikan perasaan itu nyata.

“Eh? Apa Senpai benar-benar belum tahu?”

Melihatku begitu, Aoi-chan menatap heran sambil memiringkan kepala.

“Shiki-senpai itu sudah punya pacar, lho?”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close