NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Yosei no Batsurigaku―PHysics PHenomenon PHantom―[LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 4

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 4 

“Yang Mengabulkan dan Yang Menginginkan ── For you / Myself ──”


Bagian 1

“Ngguh, ugh, ini parah...”

“...Kanae, kamu baik-baik saja?”

Teh yang telah membusuk itu langsung menyerang perut Kanae.

Dia jatuh berlutut di depan kursi malas, menunduk, bersandar, dan menggeliat menahan sakit.

Di kanan kirinya, Yuki dan Levy sibuk mengusap-usap punggung Kanae. 

“Tuan Kanae! Sepertinya sistem pembuangan di sini juga terpisah dari luar! Toilet ada di sebelah sana! Aku akan menemani, jadi ayo, muntahkan saja semuanya keluar!”


Kue stroberi yang telah kehilangan bentuk aslinya, es krim Turki, anmitsu matcha.

...Semua makanan manis yang beberapa waktu lalu dia nikmati bersama Yuki dan Levy, kini keluar dari mulut sebagai kotoran. Seolah-olah kenangan berharga itu ikut terhapus bersama.


“Aku tidak akan muntah! Aku tidak akan muntah, apa pun yang terjadi! Teh itu harus kuteguk habis sampai tetes terakhir!”

Kanae keras kepala.

Dia menahan mati-matian rasa mual yang mendesak di tenggorokan, memaksanya kembali masuk ke lambung. 

“Aku tidak mengerti sama sekali! Kalau dimuntahkan, bukannya Tuan Kanae akan lebih lega!?

“Aku juga, tidak mengerti. Tapi kalau Kanae yang bilang begitu, pasti itu sesuatu yang penting...”

Sementara Kanae menggeliat kesakitan, Yuki dan Levy tak beranjak sedetik pun dari sisinya, merawat dengan cermat.

Levy mengambil air dari dapur untuk diminumkan, sementara Yuki menempelkan es yang dia ciptakan ke dahi Kanae agar perhatiannya teralihkan.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, puncak penderitaan itu akhirnya berlalu, dan rasa mual pun hilang dari tubuh Kanae.

Namun... 

“Sial, kali ini perutku jadi mulas...”

Kanae kembali meringkuk di lantai, menggeliat gelisah. Levy dengan tenang menyodorkan sebuah wadah panjang. 

“Kalau muntah tidak bisa, bagaimana kalau dikeluarkan lewat cara lain?”

“Obat pencahar...? Kenapa benda kayak gini ada di sini...!”

“Itu aku yang menaruhnya di saku kecil ransel Tuan Kanae... Waktu di sekolah, saat aku menyajikan teh pada Nozomi... Masih ada sisanya... 

Kanae terkekeh masam, lalu mencampurkan obat pencahar itu ke dalam segelas air.

“Benar-benar, Levy... Tetap saja, bahkan setelah kamu tumbuh besar, akan selalu jadi peri yang mengatur kelancaran buang air...”

Setelah menenggak habis segelas air itu, Kanae bergegas lari masuk ke toilet.


* * *


Beberapa puluh menit kemudian, Kanae kembali ke kamar dengan wajah yang sudah tenang, namun terdiam kaku melihat pemandangan di depannya.

Levy terkulai santai di kursi pijat yang diletakkan di atas karpet cokelat, sementara Yuki berdiri di sampingnya, memandanginya dengan tatapan iri. 

“Hunyah...! Kursi pijat dengan mode gosokan dan tepukan ini sungguh sebuah kebahagiaan.”

“Levy, gantianlah. Kita sudah sepakat bergantian setiap lima menit.”

“Ya, baik silakan! Dari yang kulihat, sepertinya Yuki sudah berjalan ke banyak tempat sebelumnya, ya. Bagaimana kalau kali ini mencoba mode pijat paha dan betis?”

“...Ah... Ahh... Ini...luar biasa... Rasanya...sangat nyaman.”

“Sulit dipercaya kalau ini model lama dari sepuluh tahun lalu... Penemuan manusia memang mengagumkan!”

“Hei, kalian berdua santai banget ya!!”

Kanae melirik jam dinding, jarum menunjuk pukul 22:30.

Itu berarti baru sekitar empat jam berlalu sejak pelarian mereka dari lantai 197 saat senja, dan pertempuran sengit di lantai 195, hutan buna. 

Ketika Kanae hendak melangkah seenaknya ke atas karpet cokelat, Levy segera menegur.

“Tuan Kanae, selama sepuluh tahun terakhir tidak ada satu pun jejak sepatu di karpet ini!”

Intinya, dia menyuruh melepas sepatu.

Kanae pun melepas sepatunya, meletakkannya di samping sepatu Yuki dan Levy. 

“Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang? ...Ngomong-ngomong, kalian nggak lapar?”

Yuki dan Levy mengangguk cepat-cepat bersamaan.

“Mungkin tidak perlu kusebut, tapi semua yang kumakan tadi sudah keluar lagi.”

“Ketika aku berubah ke wujud kondisi standar, hampir semua nutrisi tubuhku terkuras habis.”

“Aku juga mendadak jadi besar, jadi makanan yang kumakan hari ini sama sekali tidak cukup...”

“Setelah Repulsion jadi begitu, tidak mungkin ada makanan tersisa di sini...”

“Sebenarnya, ada makanan, kok!”

Levy membawa sebuah kaleng besar yang tadi diletakkan di ujung karpet.

“Roti kering? Tapi ini...”

Kanae membuka kaleng itu, namun tangan Yuki lebih dulu meraih isinya.

Kanae pun mencoba sepotong.

“Kayak pasir...”

“Tidak ada manis-manisnya sama sekali. Malah pahit.”

“Memang bisa jadi makanan untuk Tuan Kanae, tapi bukan sumber nutrisi bagi kami para Peri Fenomena.”

“Bahkan aku pun kesulitan kalau sepahit ini. Andai bisa ditaburi sesuatu yang manis supaya rasanya tertutup...”

“Manis, pahit... Oh iya, aku masih punya tebu...”

“Hah? Mana mungkin ada tebu di sini.”

Yuki merogoh hingga ke dasar ransel Kanae, lalu mengeluarkan sebatang tebu.

Tebu yang tumbuh di depan rumah Kanae.

“Sejak kapan kamu ambil itu!? ...Ya sudahlah, mungkin ini bisa. Masalahnya, bagaimana caranya bikin gula.”

“Aku biasanya langsung menggigit batangnya.”

“Berarti diperas dari batangnya?”

“Serahkan padaku! Aku diam-diam sudah belajar soal gula! Semua peralatan dapur untuk menyaring sari batang hingga jadi gula ada di dapur ini! Sekarang juga akan kusiapkan!”

“Dari sari batang tebu? …Eh, jadi kamu yang akan melakukannya?

“Memang ini pertama kalinya aku memasak, tapi aku sudah banyak latihan imajinasi! Tunggu saja sekitar satu jam!”

“Imajinasi, katanya...”

Levy mengambil tebu itu lalu bergegas ke dapur. 

“Kanae, aku harus melakukan apa?”

“Kita berdua sepertinya bebas dulu. ...Bagaimana kalau kita berkeliling?”

Sementara Levy yang masih mengenakan seragam pelayan sibuk di dapur, Kanae dan Yuki berjalan-jalan menjelajahi Hide Lab.

Mereka melewati rak buku, lalu menemukan alat-alat eksperimen yang tidak jelas fungsinya.

Setelah berputar melewati kumpulan mesin, mereka tiba di rak yang menempel ke dinding, berjejer aneka cenderamata tanpa kesatuan: patung kayu Buddha, boneka matryoshka, topeng Aztec, dan lain-lain.

Di ujung deretan rak itu, dapur kembali terlihat, dan sosok Levy yang bekerja keras di dalamnya. 

“...Kekacauan ini sama persis seperti lab lama di sekolah.”

“Lab lama...? Tempat dengan banyak peneliti berjas putih itu? 

Yuki bertanya dengan nada takut pada Kanae.

Mungkin dulu dia pernah dipaksa mengikuti eksperimen kejam oleh para peneliti tanpa hati. 

“Tidak banyak, hanya ada satu perempuan berjas putih. …Dan dia bukan orang jahat seperti yang kamu bayangkan.

“Peneliti yang, tidak jahat?

“Ya, dia orang baik. Namanya Nozomi-sensei, dosen fisika. Satu-satunya orang yang tidak pernah tertawa ketika aku bilang bisa mendengar suara Peri Fenomena. ...Dia orang yang paling bisa kupercaya.”

“Apa dia orang yang Kanae, sukai?

“Pffft! Itu lompatan logika yang terlalu jauh! ...Memang aku suka, tapi bukan dalam arti itu.”

“Kalau begitu, suka yang seperti apa?”

“...Mungkin lebih tepatnya aku merasa berterima kasih. Nozomi-sensei yang mengubahku. Kalau tidak ada beliau, aku pasti masih terpuruk, dan tak akan pernah berusaha menolong Levy. Aku juga takkan bisa bertemu denganmu, Yuki.”

“Aku ingin bertemu dengan orang bernama Nozomi itu.”

“...Sayangnya, kita sedang diburu Asgard. Aku rasa aku takkan pernah bisa bertemu Guru Nozomi lagi.” 

Bagi Kanae, Nozomi adalah satu-satunya orang dewasa yang benar-benar bisa dipercaya.

Dalam hati, dia ingin menceritakan segalanya. Dia ingin meminta tolong.

Namun keinginan itu dia tekan habis-habisan.

Dia tidak mau mengkhianati kebaikan yang pernah diberikan. 

“Begitu, ya... Suatu saat, aku ingin berbincang dengan orang yang begitu berharga bagi Kanae.”

Kanae dan Yuki terus melanjutkan penjelajahan mereka di Hide Lab.

Mereka menemukan sofa hitam berlapis kulit yang belum pernah dipakai di pojok ruangan.

Entah kenapa, mereka memindahkannya ke depan karpet.

Meja panjang di sana juga mereka geser ke arah mesin-mesin, sehingga area sekitar karpet tampak seperti ruang tamu. 

“Kanae, apa yang sedang kamu lakukan?”

“...Membuat ruang yang lebih luas?” 

“Yuki, bisa tolong dinginkan ini sedikit?”

Levy muncul, memakai sarung tangan oven, mengangkat panci berisi cairan mendidih.

“Baik.”

Yuki mengangkat tangan kanannya.

Dalam sekejap, cairan itu mendingin, berubah menjadi pasta padat. 

“Kalau ini dihancurkan jadi bubuk, gula pun siap!”

“Aku ikut bantu.”

“Aku juga ingin membantu.”

Kanae, Yuki, dan Levy bersama-sama menghancurkan pasta gula itu menjadi butiran.

Meski begitu, kekuatan Yuki yang tidak memakai kemampuan khusus tetap hanya sekuat gadis seusianya.

Dia sedikit larut dalam kegembiraan bisa menunjukkan tenaganya.

Kanae malah terlalu bersemangat hingga bahunya terkilir. 

Mereka menaruh roti kering di atas piring besar yang sudah dicuci, lalu menaburinya dengan gula cokelat muda itu. 

“Ah, tunggu sebentar.”

Kanae mengambil sebagian kecil roti kering manis itu ke piring kecil, lalu meletakkannya di atas meja. 

“Untuk apa?”

“Persembahan untuk Repulsion. ...Begitulah cara kita mengenang mereka yang sudah tiada.”

“Agar tidak terlupakan, ya...”

Kanae duduk di tengah sofa hitam, memangku piring besar berisi roti kering.

Yuki dan Levy duduk di sisi kanan dan kirinya.

Setelah Kanae mengucap selamat makan, Yuki dan Levy menyusul merapatkan tangan mereka.

Lalu mereka pun mengambil roti kering itu. 

“Oh, ini lumayan enak.”

“Manis, rasanya seperti hidup kembali.”

“Manisnya langsung menghantam perut kosong.” 

Mereka makan dengan lahap, mengunyah dan menelan tanpa henti.

Tak butuh waktu lama, satu kaleng roti pun habis, dan Levy segera membawa kaleng tambahan berisi roti kering lainnya.

Sekitar setengah dari kaleng kedua, tangan Kanae dan yang lainnya berhenti. Perut mereka sudah penuh.

“Tuan Kanae... Setelah makan banyak, sekarang aku malah jadi mengantuk...”

“Sudah lewat tengah malam, ya. Kalau ini Levy yang biasanya, sudah lama dia tidur, eh, hei!” 

Zzzz... Zzzz... Zzzz...

Dalam sekejap Levy terlelap, tubuhnya bersandar lemas di sofa. 

“Benar-benar, tidurnya terlalu cepat...”

Kanae berdiri dari sofa, lalu menggelar seperangkat sprei yang sebelumnya dia temukan di atas karpet.

Dia mengangkat tubuh Levy, membawanya ke atas futon, dan dengan lembut menyelimuti tubuhnya dengan selimut. 

“Meskipun sudah besar, tetap saja ringan... Yuki, kamu juga tidur di sini bersama Levy.”

“Kanae... Kamu tidak tidur bersama kami?”

“Aku tidak akan tidur bareng! ...Lagipula, kalau sampai begitu, aku malah nggak bisa tidur. Spreinya cuma ada satu itu. Aku tidur di sofa saja. Lagi pula, kalau Levy yang tidur di sofa, dengan tidurnya yang buruk, dia pasti jatuh.”

“Baiklah...”

Yuki dengan hati-hati masuk ke dalam futon, berbaring di samping Levy yang sudah tertidur pulas.

Kanae mematikan lampu. 

“Selamat malam.”

“Ya, selamat malam, Kanae.”


* * *


“...Seharusnya, Yuki juga sudah tidur sekarang, kan...?”

Pukul satu lebih sedikit lewat tengah malam. 

Ketika melakukan penjelajahan sebelumnya, Kanae sempat memeriksa buku-buku yang berjajar di rak, namun isinya penuh dengan istilah-istilah khusus yang sama sekali tak bisa dia pahami.

Tak ada gunanya diambil, jadi rak buku itu dia abaikan. 

Dengan mengandalkan cahaya senter, dia menggeledah meja yang sebelumnya dia pindahkan dari karpet.

Selama waktu singkatnya bersama Repulsion, Kanae berpura-pura tenggelam dalam penelitian.

Berkas yang sempat dia lirik saat itu, setidaknya agar tak ditemukan oleh Yuki, harus dia periksa kembali nanti. 

...Dalam gelap, ketika Kanae sedang membalik halaman, dia tak menyadari keberadaan seseorang di belakangnya. 

“Yuki... Kenapa kamu masih bangun? Bukannya hari ini sudah melelahkan bagimu...?”

Kanae buru-buru menyembunyikan dokumen lalu menoleh.

Di belakangnya, Yuki berdiri, menatapnya dari atas. 

“...Aku tidak bisa tidur... Hari ini terlalu banyak hal yang terjadi... Bukan berarti aku merasa buruk. Justru sebaliknya, aku merasa bahagia... Tapi, perasaan seperti itu... Aku sangat membencinya, tidak bisa memaafkannya...”

Kata-kata Yuki terucap perlahan, sepotong demi sepotong. 

“...Kanae, kamu juga tidak tidur?”

Kanae memang punya sesuatu yang harus dia lakukan, meski harus menahan kantuk.

“Aku tidak berniat tidur dulu.”

“...Kalau begitu, Kanae, aku punya permintaan...”

Yuki mengulurkan tangan yang disembunyikan di belakangnya. Di genggamannya ada sesuatu yang berkilau perak. 

“Saat Kanae tidak ada, Levy menemukannya di kamar. Dia bilang ini gunting untuk memotong rambut... Jadi, maukah Kanae sekali lagi, seperti waktu itu, memotong rambutku dengan tanganmu sendiri?” 

Sekarang Yuki mengenakan gaun putih pendek, rambut lurus perak panjangnya menjuntai hingga pinggang.

Itulah kondisi standar yang ditetapkan untuk Peri Fenomena.

Penampilan sejati Yuki, atau Elwesii. 

“...Tak ada lagi gunanya memotong rambutmu. Apa pun yang kita lakukan, Asgard sudah tahu... Meski kamu menyamar, tak mungkin lagi bisa menjalani kehidupan sehari-hari di kota suci ini.”

“...Aku tidak ingin menyamar. Aku hanya ingin berubah. Kanae sudah memberiku alasan. Dengan tanganmu, kamu sudah mengubahku. Aku tidak ingin menganggap semua itu tidak pernah ada...” 

“Kalau kamu bilang begitu, ya terserah saja. ...Tapi hmm, kalau nyalakan lampu di kamar, Levy bisa bangun. Kalau begitu, kita buka saja itu.”

Kanae menunjuk ke arah pintu langit yang tertutup, lalu berdiri. 

Dalam perjalanannya ke dinding, dia menambahkan lapisan selimut pada Levy yang sedang terlelap.

Dari dalam ruangan, Kanae meletakkan telapak tangannya pada zona pengenal.


Identified.

Class: Administrator.


Pintu langit terbuka. Malam sunyi yang sejuk menyambut, angin tenang berhembus.

“...Levy bilang struktur atmosfer di sini berbeda karena gravitasi, tapi tetap saja, tengah malam begini lumayan dingin juga.” 

20 kilometer di atas permukaan tanah, langit malam terbalik terbentang. Tepat di bawahnya, bulan purnama tampak begitu besar, seakan siap menelannya. Bintang-bintang terhampar luas sejauh mata memandang ke bawah.

Cahaya malam yang tak terlalu terang, tak terlalu gelap. 

“Tunggu sebentar. Aku siapkan dulu.”

Kanae mengisi botol semprot yang ditemukannya di dapur dengan air bersih.

Lalu dari dalam ransel dia mengambil handuk, serta kursi lipat yang dia temukan di antara peralatan, dan kembali ke pintu langit. 

Yuki duduk di tepinya, kakinya menjuntai keluar. Tangannya diletakkan di atas paha, kepalanya tertunduk. 

“Aku sudah bawa kursi. Kamu mau duduk di sini? Kalau ketiduran saat dipotong, kamu bisa jatuh ke langit.”

“Aku tidak apa-apa, aku tidak akan tidur. ...Karena aku ingin bicara dengan Kanae...”

“...Oh.” 

Sebagai gantinya, Kanae duduk di kursi lipat di belakang Yuki.

Tepat di hadapannya ada kepala Yuki pada ketinggian yang pas.

Dia melilitkan handuk di leher ramping Yuki, lalu membasahi rambut peraknya dengan semprotan kabut air. 

Sambil merapikan rambut dengan jarinya, dia mencoba mencari ujung untuk dipotong, tapi tangannya goyah, tak stabil.

Sebab bahu Yuki terus bergetar.

Yuki menarik napas dan menghembuskannya berulang kali, mencoba mengumpulkan tekad untuk berbicara.


Peri Fenomena tidak perlu bernapas.


Namun, bahkan pada manusia, fungsi bernapas bukan hanya demi mempertahankan hidup.

Kini, pada sosok Yuki itu, Kanae melihat seorang “manusia”.

Gadis kecil yang manusiawi, duduk tepat di hadapannya. 

Napas Yuki semakin cepat.

Sebelum dia mencapai gejala seperti hiperventilasi, Kanae lebih dulu membuka mulut. 

“Sebelum Yuki bicara, aku harus minta maaf lebih dulu. ...Maaf karena aku tidak berani menanyakannya langsung darimu. Waktu di rumah, saat aku mencoba memaksa, aku melihat Yuki ketakutan, dan Levy menghentikanku. Saat itu sudah benar begitu. Aku pikir keseharian kita akan terus berlanjut. Tapi, sekarang berbeda.” 

Dalam waktu setengah hari saja, keseharian Kanae sudah runtuh. Hari ini saja, dia berkali-kali nyaris mati.

Bahwa dia masih hidup sekarang, itu sendiri sudah merupakan keajaiban.

Namun, dia tidak bisa berharap keajaiban itu akan terus berlanjut. 

Asgard. Kasane dan Tatsumi.

Musuh-musuh yang sangat kejam dari dua pihak, tak mungkin dia bisa tetap selamat.

Dan Kanae menduga, musuh-musuh yang punya kaitan dengan Yuki tidak hanya berhenti pada dua itu. 

Dalam keadaan di mana dia bahkan tak tahu siapa musuh sepenuhnya, dia tidak boleh sampai tidak tahu apa pun tentang Yuki, orang yang seharusnya dia lindungi.

Kelalaian seperti itu tak ubahnya bunuh diri.

...Karena itu, dia harus tahu. Tentang kebenaran gadis yang disebut Elwesii. 

“Karena itu seharusnya, meski terpaksa, aku harus menanyakannya padamu. ...Tapi bahkan setelah sampai di Hide Lab ini, aku tetap menghindari topik itu. Kalau kamu sendiri tidak mengatakannya, aku pasti tidak akan pernah bisa bertanya padamu. Bukan karena kamu ketakutan, aku jadi tak bisa bertanya. ...Tapi karena aku sendiri yang takut. Takut kalau setelah tahu kebenaranmu, aku malah jadi takut padamu. Itu yang kutakutkan.” 

Napas Yuki perlahan mereda.

Bahunya yang bergetar pun tenang. 

“Lihat, tetap diam begitu. Kalau gemetar terus, aku tidak bisa potong rambutmu.”

Kanae menatap kilau rambut perak panjang itu, lalu menentukan bagian yang akan dipotong.

Dia mengulurkan tangan pada rambut itu. 

“...Kanae. Aku pun sama. Aku juga takut. Takut mengatakan yang sebenarnya pada Kanae, lalu Kanae ketakutan dan meninggalkanku. Itu yang aku takutkan. Dan pemikiran semacam itu, betapa egoisnya diriku. Bahkan alasan yang membuatku akhirnya mau bicara pun, sangat egois. Aku ketakutan. Katanya, mereka yang terbunuh akan selamanya jadi arwah penuh dendam yang gentayangan, begitu yang aku dengar...” 

Kanae menjepit sehelai rambut di antara jarinya, lalu menempelkan gunting pada sisi dalamnya. Perlahan, dia menutup bilah gunting itu. 

“Tujuh tahun yang lalu, aku melakukan dosa. Dengan tangan ini, membunuh lima belas juta manusia, sekaligus.” 

Suara berderak terdengar. Segumpal rambut perak terlepas, melayang ke bawah dari pintu langit, jatuh ke dasar langit malam. 

“Sejak bertemu Kanae, sampai aku mendengar cerita tentang arwah, aku mencoba melupakan dosaku sendiri. ...Tapi ingatan itu tetap melekat. Dan setelah mendengar cerita Kanae, aku ketakutan...” 

Kanae tak sengaja membayangkannya.

Dari kaki Yuki, tangan-tangan hantu lima belas juta jiwa terulur, membelit tubuhnya, menyeretnya dengan dendam ke dalam neraka.

Sebuah bayangan kematian yang begitu nyata dan mutlak. 

“Aku masih ingat kata-kata seseorang yang berseragam putih padaku. ‘...Kamu adalah pembantai massal,’ begitu katanya.” 

Kanae tetap diam sambil memotong rambut. Dia menjepit helai lain dengan jari kiri, menutup gunting, lalu membiarkan potongan rambut perak itu jatuh.


* * *


19 November 2035, pukul 21:43 waktu Jepang. Malam bulan purnama yang indah. 

Di puncak Tokyo Skytree, menara yang menjulang dengan ketinggian 634 meter, seorang gadis turun bagaikan melayang. 

Dia mengenakan gaun putih pendek yang menyerupai busana pengantin Eropa, dengan rambut perak selembut sutra yang terurai hingga pinggang, bergoyang mengikuti hembusan angin. 

Dengan mata biru kristal bagaikan serpihan salju, dia menatap ke bawah, pada kota yang bermandikan cahaya malam. 

Gadis itu mengulurkan tangan kanannya, dan berucap satu kata: Master Key. 

Hiasan rambut berbentuk bunga salju di kepalanya menyala dengan cahaya fosfor lembut berwarna biru muda. 

Dari ruang hampa, kristal es nitrogen terbentuk, menyatu menjadi sebilah pedang panjang. 

Itu adalah longsword anggun, dengan ukiran rapat berupa pola kristal salju yang sama dengan warna matanya. 

Dengan mudah, hanya dengan tangan kanannya, gadis itu mengangkat pedang panjang itu tinggi-tinggi ke langit. 

Ada sesuatu yang menggerakkan dirinya. Bukan rasa kewajiban, melainkan rasa cemas yang mendesak. 

Tanpa seorang pun memberi tahu, dia mengerti. 

Bahwa pedang es ini harus dia ayunkan. 

Di langit tercipta hawa dingin mutlak, sedingin nol mutlak. Dalam sekejap, hawa itu menyebar, meluas hingga radius 15 kilometer. 

Tepat sebelum udara dingin itu turun dari langit dalam lingkaran besar, gadis itu mengayunkan pedang esnya. 

Dan Tokyo pun membeku.


* * *


Penjelasan mengenai tujuh tahun setelah kelahiran Yuki di Tokyo terdengar hambar.

“Aku tidak terlalu mengingatnya,” katanya. 

Yuki yang lama tak terikat kontrak, tak mampu mengendalikan kekuatan besarnya, juga tak dapat menahan kemampuan pemulihan alami yang berasal dari Peri Fenomena. 

Artinya, bukan hanya tubuh, bahkan pikirannya pun akan terus direset kembali ke kondisi standar.

Yang tersisa bagi Yuki hanyalah ingatan saat dia dilahirkan, serta berbagai rasa sakit yang terpatri dalam benaknya. 

“Hari ini aku tidak melupakan Kanae. Syukurlah… Itu saja yang bisa kusampaikan.” 

Kanae yang duduk di kursi lipat di belakang Yuki, mulai menggunting rambut gadis itu yang terjuntai di atas kusen pintu langit. 

Terdengar suara gunting berulang kali. 

Setiap kali itu terjadi, rambut perak Yuki kehilangan panjangnya, jatuh ke dasar langit malam. 

“Kurasa aku sudah agak menebak seperti apa keberadaanmu sebenarnya, Yuki.” 

“Kamu tidak terkejut...?” 

Sambil memangkas rambut, Kanae menjawab santai, “Iya.” 

Kata-kata yang dia dengar di selokan kawasan penelitian, mirip dengan kalimat yang Kasane lontarkan sebelum pertarungan dimulai.


Tujuh Bencana Besar memiliki proteksi yang menghalangi mereka untuk bertindak selain demi pertahanan diri.

Sama seperti bunga salju bermekaran dengan tiga kelopak putih itu. 

Kasane menyebut Repulsion sebagai “kakak kami”. 

Segera setelah Repulsion lenyap, Yuki sempat berbisik lirih, “Kakak...” 

Itulah yang menyambungkan garis samar yang sebelumnya terputus. 

Baik Yuki maupun Kasane sama-sama lahir dari Haitani Gien, dan keduanya sama-sama eksis sebagai Tujuh Bencana Besar.


“...Apa kamu takut padaku, aku yang telah membunuh 15 juta orang?” 

“...Iya.” 

Kanae mengangguk, tetapi tangannya yang memegang gunting tak berhenti bekerja. 

“Kalau begitu, Kanae, serahkan aku pada Kasane besok. Jika aku mati, mereka bilang kamu dan Levy akan selamat. Aku yakin mereka tidak berbohong.” 

“Dasar bodoh.” 

Kanae berkata datar, lalu menepuk kepala Yuki dengan tangan kosongnya. 

“Hya...!”

Dengan mata berkaca-kaca, Yuki menoleh pada Kanae. 

Namun Kanae menanggapinya dengan sikap tenang dan tak tergoyahkan. 

“Maaf, tanganku terpeleset. Kalau kamu kembali duduk tegak, aku bisa lanjut memotong rambutmu.” 

Dengan enggan, Yuki kembali menghadap ke depan. 

Sambil memangkas rambut, Kanae melanjutkan percakapan yang sempat terhenti. 

“Jadi maksudmu, kamu ingin mati supaya aku dan Levy bisa hidup...? Kenapa kamu bilang begitu? Kamu kira kami berdua mau kamu mati? Berapa kali pun aku ditawari, aku selalu menolak, kan?” 

“Tapi Kanae.. Kamu bilang kamu takut padaku...! Itu artinya, kamu sudah membenciku...!” 

“Aku tidak membencimu.” 

“...Meski kamu takut padaku?” 

“Benar. Aku mungkin takut padamu, tapi benci? Sama sekali tidak. Karena kamu pun begitu, bukan? Kamu tak bisa jujur padaku, kamu takut pada bagaimana aku akan memandangmu, karena kamu memikirkan aku. Tapi apa kamu pernah membenciku?” 

“Tidak...! Aku, aku menyukaimu, Kanae...! Justru karena aku menyukaimu, aku takut padamu...!”

“Itu sama saja. Aku juga merasa takut padamu. Tapi itu karena aku...menyukaimu. Aku takut kalau setelah tahu kebenaranmu, aku akan membencimu. Kamu takut pada bagaimana aku memandangmu, aku takut pada bagaimana aku akan memandangmu setelah tahu. Karena sama-sama takut, kita jadi saling salah paham.” 

“...Kanae juga sama sepertiku? Suka, sekaligus takut?” 

“...Iya. Karena itulah aku marah waktu itu. Sebelum aku sempat melanjutkan kata ‘takut’, kamu sudah mendahuluiku dengan pengorbanan bodoh. Kamu kira aku membencimu, lalu berkata begitu dengan putus asa.” 

“Itu sungguhan...! Aku menyeretmu dan Levy ke dalam masalah ini...! Kalau aku mati, kalian bisa selamat. Itu tanggung jawabku...!” 

“Anggaplah itu sungguhan. Tapi tetap saja, itu pilihan yang pasif. Kamu hanya memilih jalan itu karena mengira tak ada pilihan lain. Lalu, sebenarnya, apa yang kamu inginkan?” 

“Bukan sungguhan...tapi yang kuinginkan...?”

“Benar. Keinginan menyelamatkan kami adalah keinginanmu. Tapi kamu merasa harus begitu karena musuh menekannya padamu. Aku yakin kamu menekan perasaanmu sendiri demi kami. Jadi, aku ingin tahu yang sebenarnya. Perasaanmu yang sebenar-benarnya.” 

Kata-kata yang Yuki ucapkan sesaat setelah kontrak terjalin dulu, itu pasti perasaan yang tak bercampur kebohongan.


“—Ya, Kanae...! Aku memang masih banyak kekurangan... Tapi mulai sekarang, aku mohon bimbingannya...!”


Dengan suara bergetar, Yuki berbisik, “...Aku... Aku ingin...! Aku ingin hidup...!”

Klik!

Suara gunting terdengar untuk terakhir kalinya. Potongan rambut pun selesai. 

Kanae menepiskan sisa helai di kepala Yuki dengan gerakan lembut, menjatuhkannya ke dasar langit malam. 

“Terima kasih sudah jujur. Aku tidak akan mati, Levy juga tidak. Dan aku tidak akan membiarkanmu mati. Tak ada yang harus dikorbankan, itu takkan pernah kuizinkan. Kita akan bertarung, melarikan diri, dan hidup bertiga.” 

“...Tapi Kanae, ada alasan lain kenapa aku merasa aku harus mati. Bagaimana aku bisa menebusnya? Pada 15 juta jiwa yang kubunuh. Jika yang mengikat mereka sebagai hantu adalah dendam karena terbunuh olehku... Bagaimana aku bisa membuat mereka tenang, seperti Repulsion... Seperti kakakku...?” 

Bukan Yuki yang salah, melainkan Haitani Gien yang menciptakannya. 

Namun ucapan semacam itu tak ada artinya bagi Yuki yang sudah sadar akan dosanya. 

Maka Kanae memilih berkata sesuatu yang kejam. 

“...Kamu tetap ingin hidup, kan? Kalau begitu, hiduplah.” 

“Tapi bila aku tidak mati, 15 juta jiwa itu takkan pernah tenang. Dosaku takkan tertebus...!” 

“Ada cara lain untuk menebus dosa sambil kamu hidup. Jangan menyerah. Kalaupun tak bisa, aku tetap ingin kamu hidup, meski harus menanggung dosa itu. Itu perintahku sebagai tuanmu. Meski harus terus dibenci, tetaplah hidup, Yuki.” 

Hening panjang tercipta. 

Lalu dengan suara kecil namun tegas, Yuki menjawab. 

“...Baik, Kanae.”


* * *


Setelah memastikan Yuki benar-benar terlelap, Kanae kembali membuka dan membaca berkas itu. 

Sebagian besar isinya ditulis dalam bahasa asing dengan tulisan sambung yang kacau, sama sekali tidak bisa dipahami oleh Kanae. 

Namun, di antara lembaran-lembaran itu terselip sebuah kertas polos, dengan coretan tergesa dalam bahasa Jepang yang agak berantakan.


“...Melalui tujuh gadis ini, aku akan mencapai kebenaran dunia. Kepada gadis ketujuh, Laurus, aku menetapkan kekuatan untuk mengendalikan gravitasi. Kepada yang pertama, Elwesii, aku memberikan peran Master Key, sedangkan untuk Laurus, aku akan membuatnya menghasilkan sebuah Stabilizer untuk menyeimbangkan Master Key. Stabilizer akan diprogram dengan partikel virtual bernama Repulsion. Cara menggunakan Repulsion itu sederhana. Hanya perlu membungkuskannya. Dengan adanya prototipe awal yang kuciptakan, bernama Repu, eksperimen sejauh ini berjalan relatif lancar. Penyelesaian Laurus mungkin sudah dekat.”


“Gravitasi...? Jadi ini maksudnya Kasane? Tapi apa arti stabilizer itu...?”

Kanae tidak mampu memahaminya. 

Dia melewati banyak halaman penuh tulisan asing, hingga akhirnya tiba pada catatan berikutnya.


“Rencananya, aku memang akan mengeksekusi proyek ini secepat mungkin. Namun, andaikan suatu insiden membuat proyek ini gagal, dan ketujuh entitas itu terlepas, maka enam dari tujuh gadis itu harus segera dimusnahkan. Alasannya, karena tujuh gadis yang memegang kekuatan luar biasa itu masing-masing merupakan Kerusakan dunia itu sendiri. Dari perhitunganku, dunia ini hanya dapat menoleransi Kerusakan sebesar satu orang. Jika ketujuh entitas itu dibebaskan, Kerusakan dunia akan mulai menyebar. Paling cepat dalam tujuh tahun, gejala itu akan terlihat.”


“Sudah tujuh tahun berlalu... Jadi ini alasan kenapa Kasane ingin membunuh Yuki...?” 

“—Aku adalah irregular yang seharusnya tidak boleh ada di dunia ini.”


* * *


Sebelum fajar menyingsing, mereka berencana meninggalkan Hide Lab. 

Jam alarm yang ditemukan di kamar berbunyi nyaring. 

“...Fwaaah... Selamat pagi... Eh, tunggu, ini sudah sore!!” 

Tampaknya mereka salah mengatur pengaturan antara pagi dan siang. 

Serangkaian peristiwa menegangkan yang terjadi pada hari Sabtu lalu telah menguras habis tenaga Kanae. 

Dia rupanya tidur terus-menerus selama lima belas jam penuh. 

Begitu terbangun dengan terburu-buru, Kanae mendapati Yuki berdiri di depannya, menatap ke arahnya dari atas. 

“...Kanae, selamat pagi? Atau sebaiknya aku bilang, selamat malam?” 

“...Apa yang kamu lakukan?” 

“Sejak bangun, aku duduk di kursi pijat yang ada di sini. Setelah sekitar satu jam aku merasa bosan, jadi tidak ada hal lain untuk dikerjakan, lalu aku hanya melihat Kanae dan Levy. Kurang lebih selama sembilan jam.” 

Waktu tidur Yuki hanya lima jam. 

Dengan tubuh yang setiap kali terlelap kembali ke kondisi standar, dia tidak pernah merasa lelah. 

Jika melihat Levy, dia sudah terlempar dari selimut karena posisi tidurnya yang berantakan, bajunya tersingkap, dan dia terlelap dengan napas teratur, dalam tidur nyenyaknya. Bahkan tanpa kelelahan sekalipun, Levy memang selalu seperti itu. 

“Kalau begitu, kita tunggu sampai di luar gelap. Nanti kita bangunkan Levy juga. ...Mau makan ini?” 

Kanae mengambil roti kering yang kemarin dilapisi gula hasil ekstraksi Levy, lalu menyodorkannya pada Yuki.


* * *


Matahari kembali tenggelam, waktu sudah lewat pukul delapan malam. 

Kanae dan yang lain sedang menapaki tangga es yang menempel di bagian luar kota berlapis itu. 

Pakaian Kanae sama seperti kemarin: hoodie tipis berwarna cokelat dan celana kargo hitam. 

Levy mengenakan gaun pelayan hitam putih yang dibelikan sesuai ukuran Yuki. 

Sedangkan Yuki kali ini tidak lagi memakai gaun pendek putih, melainkan tank top bergambar tengkorak dan hotpants biru tua dengan sobekan buatan. 

“Tuan Kanae, apa benar tidak masalah kita meninggalkan tempat itu...?”

“Tidak ada makanan di sana. Apa pun yang kita lakukan nanti, kita tetap harus menimbun persediaan. ...Sebentar lagi sampai.” 

Kanae merunduk melewati pagar pengaman, lalu masuk ke lantai dasar yang gelap gulita, di mana tak ada apa pun terlihat. 

Lantai itu sudah lama terbengkalai sebagai area pembuangan, dan sistem penerangannya tidak lagi berfungsi. 

“...Benarkah tidak ada siapa pun di sini?” 

“Uuh, gelap sekali, aku takut!” 

“Tidak, tapi Levy kan bisa melihat dengan jelas bahkan dalam kegelapan ini, kan? Aku mengandalkanmu.” 

“Ya! Aku pasti bisa menunjukkan jalan menuju elevator yang membawa kita ke lantai atas!” 

Dari 26 elevator, hanya satu yang masih berfungsi. 

Di lantai gelap tanpa penunjuk arah ini, Kanae sendiri tidak mungkin bisa membedakannya. 

“Sepertinya ada di sana! Hanya butuh dua jam lagi dengan berjalan kaki!” 

Levy berjalan paling depan. 

Kanae menyorotkan cahaya senter ke arah kaki, berjalan bersama Yuki sambil menghindari pecahan ubin dan kerikil. 

“Perutku lapar... Nanti kalau sampai atas, mau makan apa?” 

“Anmitsu teh hijau dengan sirup kuromitsu...”

“Itu kayaknya cuma ada terbatas di lantai 197.” 

“Tuan Kanae! Bagaimana kalau kita makan sedikit saja, lalu sepulangnya kita membuat kue?” 

“Kita membuat kue lalu memakannya...?” 

“Maksudmu pulang ke...tempat itu?” 

“Ya! Selama aku tetap waspada, aku bisa menemukan musuh sebelum mereka menemukan kita! Artinya, tidak ada alasan untuk takut ketahuan!”


Benarkah begitu? Padahal sudah ketahuan sejak awal.


Suara itu datang dari jauh. 

Di malam itu, tanpa ada bunyi lain selain langkah mereka, suara tersebut terdengar jelas. 

“Kasane!!” 

“Mengapa? Aku tidak bisa melihatnya!”


Gravitasi adalah kekuatan yang melengkungkan ruang. Aku bisa mengenali distorsi ruang yang dipancarkan oleh benda. Tapi, aneh juga ya. Ada Kanae, ada pelayan kecil itu, ada Elwesii... Hei, pelayan kecil, jangan-jangan kamu... Sekarang lebih gemuk?


“Aku tidak gemukan! Aku tumbuh besar! Dadaku bahkan lebih besar darimu!” 

Levy membentak ke arah kegelapan yang tak terlihat apa pun. 

“Bukan saatnya berdebat begituan!”


Entah setelah jatuh dari langit kalian menghabiskan waktu di mana, tapi sekarang kalian sudah benar-benar masuk dalam jangkauanku. Selama tidak bisa melampaui pengamatanku, ke mana pun kalian pergi, tetap akan ketahuan.


“...Kanae, Levy, berdirilah di belakangku.” 

“Yuki, jangan gegabah. Kalau terpaksa, gunakan itu untuk kabur.” 

Saat bertarung dengan Kasane sebelumnya, karena kekuatannya sudah terkuras, Yuki tidak bisa menggunakan Telestial Globe. Tapi kali ini berbeda. 

Dengan Yuki di depan, Kanae melangkah perlahan mendekati arah suara itu. 

Ketika melewati reruntuhan yang dulunya mungkin sebuah pabrik, terlihat sedikit cahaya yang menyelinap keluar. 

Di sanalah mereka menemukan Kasane. 

Kanae menduga Kasane akan langsung menyerang. 

“...Kenapa kamu hanya berdiri di situ?” 

Penampilannya masih sama seperti kemarin, dengan seragam modifikasi. 

Bedanya, kini di salah satu tangannya tersemat butiran manik-manik. 

Kasane menyatukan kedua tangannya seolah sedang berdoa. 

Di sekelilingnya, puluhan cahaya lembut yang berwarna-warni berdiri di atas tanah. 

Merah, biru, hijau, kuning. Meski warnanya mirip, tak ada satu pun yang benar-benar sama. 

Mereka mendekat, dan baru sadar kalau sumber cahaya itu adalah lampion yang dilapisi kertas shoji. 

“...Aku sedang berdoa untuk mereka.” 

Kasane melirik ke samping sambil berdoa, matanya yang hitam dilemparkan ke arah Kanae. 

Baik maksud Kasane yang tampak tak berniat bertarung, maupun pemandangan lampion warna-warni itu, semuanya tidak bisa dipahami Kanae. 

...Hanya Levy yang menatap lampion-lampion itu dengan wajah sendu. 

Sejak itu, Levy tak mengucapkan sepatah kata pun. 

Kasane sempat mengernyit melihat Levy yang lebih dewasa, lalu menampakkan ekspresi seperti baru mengerti. 

“Jadi si pelayan kecil berbagi kekuatan dengan Elwesii. ...Kalau bukan karena Kanae adalah seorang kontraktor ganda yang bisa memahami Strange Code langsung dengan otaknya, hal seperti ini tak mungkin terjadi. Memang pantas kamu disebut irregular.” 

Saat itu, Kanae tidak punya ruang untuk menanggapi percakapan Kasane. 

Dia hanya mengabaikannya dan bertanya, “...Bagaimana dengan tuanmu, Tatsumi? Apa dia bersembunyi?” 

Kasane melepaskan kedua tangannya yang tadi disatukan, lalu menyimpan manik-manik itu ke saku rok mininya. 

“Dia tidak ada di sini. Tatsumi sudah tidur. ...Hari ini hari merah, jadi tidak ada kerja maupun pertarungan.” 

“...Hari merah?” 

“Kalau lihat kalender kamu akan tahu. Hari merah berarti hari libur.” 

“Hah? Hari libur berarti tidak melakukan apa-apa, padahal kemarin kamu menantang kami bertarung habis-habisan.” 

“Sabtu itu hari biru, bukan hari libur. Karena itu kubilang lihat kalender. Itu hal sepele, tapi dasar dari pengetahuan umum.” 

Tampaknya Tatsumi dan Kasane sama-sama punya sikap seenaknya, bisa menyeimbangkan antara pertarungan hidup-mati dan hari libur. 

“Manusia bisa beristirahat kapan pun. ...Tahun 1914, bahkan di tengah sengitnya Perang Dunia Pertama, tentara Jerman, Inggris, dan Prancis pernah mengikat gencatan senjata saat Natal, dan catatan sejarah menyebut mereka saling bergaul. Mereka berpesta, menyajikan kalkun, duduk satu meja tiga pihak sekaligus. Mereka membuka brendi simpanan dan minum sampai mabuk, bahkan katanya sampai main sepak bola bersama.” 

“Kamu cukup tahu banyak juga, ya.” 

“Membaca adalah kebiasaan yang hanya manusia bisa lakukan. Jadi wajar saja kalau aku banyak tahu.” 

“...Jadi artinya kita tidak perlu bertarung lagi?” 

“Ada kelanjutannya. Gencatan senjata itu hanya keputusan sepihak dari pasukan lapangan. Pihak atasan ketiga militer memberi teguran keras, dan setelah itu tidak pernah ada lagi gencatan senjata seperti itu. Bahkan pertempuran makin sengit, orang-orang yang kemarin merayakan Natal bersama akhirnya saling bunuh dengan kejam. Intinya, hari merah hanyalah waktu untuk beristirahat. Dan bagi Tatsumi, meski hari ini tidak melakukan apa-apa, semua tetap berjalan sesuai rencananya.” 

“...Apa maksudmu?”

“Setidaknya, keputusan Tatsumi itu masuk akal. Tujuan kami adalah membunuh Elwesii. Sebaliknya, tujuan Asgard adalah menangkap Elwesii. Dan dalam upaya penangkapan itu, mereka akan berusaha keras untuk membunuh Kanae. Namun mereka tidak tahu, jika Kanae dibunuh, maka Elwesii pun akan ikut terbunuh. ...Meski aku beri tahu mereka, mereka pasti tidak akan mempercayainya. Selain itu, di Kota Terbalik ini, tidak ada tempat untuk melarikan diri. Pada akhirnya, bahkan jika kami tidak melakukan apa-apa, semuanya akan berjalan sesuai kehendak Tatsumi.” 

Tatsumi tampaknya hanya peduli pada satu hal, selama Elwesii mati, nasib Kanae tidak berarti apa-apa baginya. 

“Dengar, mungkin aneh kalau aku mengatakan ini, tapi kalian berdua kemarin tidak membunuhku, kan. ...Tapi mendengar cerita dari Kasane, aku jadi tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Tatsumi tentang diriku.” 

“Keinginanku untuk tidak membunuh Kanae, dan lebih jauh lagi, untuk tidak membunuh tuannya Elwesii, itu murni kehendakku sendiri. Tatsumi hanya menghormati keinginanku itu. Tapi sekarang, Tatsumi sudah tidak lagi memilih cara. ...Kanae, kamu terlalu sulit untuk dihabisi. Setelah melihat tekadmu yang tak tergoyahkan, Tatsumi tidak lagi menganggapmu sebagai warga sipil biasa yang kebetulan terseret dalam peristiwa ini, melainkan sebagai musuh yang harus dilawan. Karena itu, aku menunggu di sini, untuk memberi peringatan sekaligus saran terakhir. Serahkan Elwesii.” 

“Berapa kali pun kamu mengatakannya, jawabanku tetap sama. Aku tidak akan membiarkan Yuki dibunuh. ...Yuki, kamu tidak perlu siaga. Tanpa tuannya di sisinya, Kasane tidak bisa menggunakan kemampuannya selain untuk membela diri. Lagipula, barusan dia bilang hari merah adalah hari istirahat. Aku percaya pada kata-kata itu.” 

“...Kamu cukup mengerti juga rupanya. Tapi ingatlah ini. Kata ‘membela diri’ itu sangatlah berguna, tahu?” 

Yuki melangkah mantap menuju Kasane. 

“Tunggu, Yuki! Selama kita tidak memulai pertarungan duluan, sekarang kita tidak perlu bertarung!” 

“Kenapa begitu. ...Rambutmu, makin pendek saja ya. Menjijikkan.” 

“Ya... Umm, Kasane... Terima kasih karena tidak membunuh Kanae.” 

“Bodoh. Aku tidak menunjukkan belas kasih padamu. Aku sudah berkali-kali menyakitimu, dan niatku untuk membunuhmu pun tidak pernah goyah, tahu?” 

“Aku memang merasakan sakit itu. Tapi rasa terima kasihku karena kamu tidak membunuh Kanae jauh lebih besar.” 

“...Kalau kamu memang begitu memikirkan tuanmu, maka menyerahlah dan biarkan dirimu dibunuh. Syarat yang pernah diucapkan Tatsumi, bahwa dia akan melindungi Kanae dari Asgard, masih berlaku. Aku sendiri yang akan menjamin hidup Kanae.” 

“Tidak, aku tidak akan dibunuh. Aku tidak akan mati. ...Aku ingin hidup. Hidup, dan melindungi Kanae.” 

“Terserah. Tapi ketahuilah. Segala penyebab yang menuntun Kanae menuju kematian, semuanya berasal darimu.” 

Kasane berkata dingin, lalu memalingkan wajah. Percakapan pun berhenti sampai di situ. 

“...Begini, kami akan naik ke lantai atas setelah ini. Apa kami boleh lewat?” 

Kanae merasa dirinya baru saja mengatakan hal yang sangat bodoh kepada lawan yang kemarin sempat mereka lawan mati-matian. 

“Aku sudah bilang, hari merah itu hari libur. Silakan, lakukan yang kalian mau.”


* * *


“Aku memang bilang lakukan yang kalian mau, tapi kenapa kalian kembali ke sini...? Saat kalian meninggalkan lantai ini, kalian sudah melepaskan diri dari pengamatanku. Namun sekarang kalian datang lagi agar tertangkap, sungguh aku tidak mengerti. Padahal aku sudah membiarkan kalian lolos... Kalian ini bodoh ya?”

Pukul 23:30.

Membawa kantong belanja yang mereka bagi rata, Kanae, Yuki, dan Levy kembali lagi ke lantai pertama.

Kasane masih berdiri di tempat yang sama seperti ketika mereka tinggalkan tadi, tak berubah sedikit pun.

Dikelilingi lentera-lentera berlapis kertas tipis warna-warni yang menyala redup, dia duduk di salah satu pecahan genteng yang berserakan di tanah. 

“Tinggal 30 menit lagi sebelum hari berakhir. Kalian tahu apa artinya itu?”

“Ngomong-ngomong, aku belum sempat bertanya. Kasane, apa yang kamu doakan di wilayah terbuang ini?”

“Kamu menanyakannya dengan wajah polos begitu. Dari raut muka kalian, jelas kalian mendapat petunjuk dari si pelayan kecil itu, bukan? Saat kalian datang kemari, memang wajah pelayan kecil itu terlihat begitu sedih.” 

Kasane bangkit berdiri, mengambil sebuah lentera biru pucat dari tanah dengan kedua tangannya, lalu menodongkannya ke arah Kanae.

“Lihatlah ke dalamnya. Inilah sisi gelap dari dunia ini.” 

Di dalamnya ada sebuah nampan kecil.

Nampan itu dipenuhi minyak, di mana seutas tali berbentuk cincin terus terbakar, sementara sebuah bola mungil berkilau biru gelap tenggelam di dalam minyak tersebut.

Cahaya api dari tali yang menyala itu menembus bola kecil, lalu berubah menjadi warna biru. 

“Bola mata Peri Fenomena memiliki daya serap cahaya yang sangat tinggi. Setelah dipisahkan dari tubuhnya, beberapa waktu kemudian ia mengeras dan memperoleh semacam ketidakberubahan. Artinya, ia memiliki nilai sebagai permata.” 

Kanae pun menjelaskan pada Levy, bahwa itulah sebenarnya benda yang sempat dilihatnya di lantai atas ketika mereka berbelanja tadi.

Kanae sudah mengetahui sisi dunia ini.

Namun, dia tidak pernah ingin Yuki atau Levy tahu tentang hal itu.

Kini Yuki hanya menunduk dengan wajah membeku, sementara Levy menitikkan air mata, tersedu-sedu. 

“Proses Kimberley. Perjanjian yang dulu membatasi konflik perdagangan berlian di Afrika telah berubah bentuk. Bergeser menjadi hukum yang melarang perdagangan permata kotor hasil dari Peri Fenomena, yang lebih mudah diekstrak. ...Permata terlarang ini adalah milik Peri Fenomena yang dulu ada di sini.” 

Lantai pertama dulunya merupakan area uji coba bagi fasilitas pemeliharaan yang mengintegrasikan Peri Fenomena, seperti pendingin udara zona dan pelapis lantai.

Seiring stabilisasi operasional, semua fasilitas itu dibuang bersama dengan Peri Fenomena yang ada di dalamnya. 

“Jadi, Peri Fenomena yang ditinggalkan di lantai pertama dulu...bukan mati kelaparan, melainkan dibunuh...?”

“Peri Fenomena itu, meski kelaparan, sebenarnya sangat sulit mati. Entah disentuh pedagang gelap atau tidak, bagaimanapun juga, akhir mereka pasti tragis.” 

“...Tapi kenapa benda itu ada padamu, Kasane?”

“Itu rahasia. Aku hanya kebetulan memilikinya, dan aku merasa benda-benda ini harus dikembalikan pada mereka yang pernah ada di sini. Walaupun katanya tidak berubah, tetap saja, sebelum pagi tiba, semuanya akan terbakar habis.” 

Yuki dan Levy yang sedari tadi diam, perlahan melangkah maju.

“Kasane? Untuk sekarang aku tidak akan melakukan apa pun. Aku juga ingin berdoa.”

“...Kasane. Izinkan aku juga untuk berdoa.”

“Aku menghargai niat baik pelayan kecil itu. ...Tapi untuk Elwesii, ketulusan sesaatmu hanyalah ludah yang seharusnya kamu buang, karena itu hanya untuk menghibur dirimu sendiri. Ada 15 juta orang yang harus kamu tebus dosanya. Tujuh Bencana Besar yang memicu Tokyo Absolute Zero...! Kamu pembunuh massal!” 

Kasane menatap Yuki dengan kebencian yang tak tersembunyikan.

Levy tak pernah mendengar hal itu sebelumnya, namun dia sama sekali tidak terkejut.

Saat tubuhnya membesar di langit waktu itu, Levy sudah melihat Yuki, dan tahu segalanya. 

“Yang membuatku muak padamu adalah sikap tak bertanggung jawabmu itu. Selama tujuh tahun kamu hanya lari, tak pernah mencoba menghadapi dosamu sendiri. Aku pun salah satu dari Tujuh Bencana Besar. Aku juga berdosa. Aku menimbulkan Gravity Bound di Kobe dan membunuh 136 orang. Karena itu sejak aku terbangun hingga sekarang, dan seterusnya, aku terus berusaha menebus dosa itu. Meski aku tak bisa menjelaskannya dengan rinci sekarang, atau lebih tepatnya, kalau kuucapkan, rasanya itu tak lagi disebut penebusan, namun dalam daftar 136 orang yang harus kutebus dosanya beserta keluarga mereka... Ada nama Kanae di dalamnya.”

“...Aku, yang bisa mendengar Strange Code, tidak pernah menyimpan dendam pada Peri Fenomena.”

“Sudah kuduga kamu akan mengatakan itu. Maka dari itu, justru karena itulah kamu tak boleh mati. Aku ingin menebus dosaku, tapi dosa ini tak akan pernah bisa terhapus. Karena itu aku akan terus menebusnya, selamanya. ...Dan seandainya bisa, kumohon izinkan aku untuk terus hidup.” 

“Apa karena ada yang disebut Kerusakan Dunia, makanya kamu hendak membunuh Yuki?”

“Dari mana kamu tahu istilah itu...? Informasi itu seharusnya hanya tercatat di FT Eksklusif. Namun ya, kamu benar. Berkat bangkitnya Elwesii, kerusakan yang terhenti di dunia ini kembali menyebar perlahan. Itu murni hasil pengamatan, sebuah fakta.” 

Kasane berbalik, menatap Yuki yang masih bungkam, dan melontarkan kata-kata dengan penuh niat membunuh.

“Mari kita lakukan permainan kursi musik. Dalam dunia ini, hanya ada satu kursi yang bisa diduduki Tujuh Bencana Besar. Kalau tidak, cepat atau lambat, dunia akan runtuh. Jadi, Elwesii... Pertama-tama aku akan merebut kursimu.” 

Yuki yang sejak tadi diam, akhirnya membuka mulut.

Dia menatap Kasane lurus, dengan tekad yang tak tergoyahkan.

“Apa yang kamu katakan memang benar. Tekad yang kupunya masih kurang. Meski aku menebus dosaku, dosanya tidak akan hilang. Aku lupa akan hal itu. Dan aku pun tidak tahu bagaimana cara menebus dosa yang telah kuperbuat. Karena itu aku akan mencari caranya. ...Justru karena itu, aku tidak boleh mati.” 

“Oh? Tapi tetap saja aku akan membunuhmu. Dosamu akan kuambil alih setelah kamu mati.”

“Tokyo Absolute Zero adalah dosaku. Tidak akan kubiarkan kamu merebut dosaku.”

“Kamu tidak akan membiarkanku merebutnya?”

“Benar. Dan aku pun tak ingin merebut dosa yang kamu tanggung. ...Aku ingin mencari jalan untuk hidup berdampingan.” 

“Jadi maksudmu, kamu hendak menyerah pada permainan kursi musik ini?”

“...Apa yang Yuki katakan bukan omong kosong. Mungkin saja kami telah menemukan sebuah petunjuk. Dan petunjuk itu masih tersisa di dunia ini. Kalau begitu, mungkin saja kita bisa mengubah nasib yang seolah hanya memberi pilihan: saling bunuh antar Tujuh Bencana Besar, atau dunia hancur oleh kerusakan. Mungkin, kita bisa menghindari akhir buruk itu.” 

“Kalau kata-kata itu keluar dari mulutmu Kanae, si irregular, mungkin aku bisa percaya. ...Tapi itu tak penting. Demi memastikan Kanae tak ikut terseret ke dalam pertarungan, Elwesii harus mati.”

“...Aku sendiri yang memilih untuk menjadi tuannya Yuki! Aku bukan warga sipil yang sekadar terseret! Aku sudah lama membakar tekadku! Kami bertarung justru agar tak perlu bertarung lagi!” 

Kasane sempat terdiam mendengar kata-kata Kanae.

Kanae melanjutkan.

“Aku berjanji. Besok pagi, di lantai pertama arah timur, tepatnya timur 90 derajat, kami akan menunggu. Dan kami akan bertarung melawanmu. Jadi, Kasane, berjanjilah. Kalau kami menang, kamu harus berjanji untuk tidak lagi saling membunuh...!”

“Kamu ingin aku berjanji, padahal kamu berniat menang? Apa kamu benar-benar percaya bisa menang tanpa membunuh lawanmu? Itu mustahil. Aku tak akan menahan diri, dan tak akan kubiarkan juga kamu menahan diri.” 

Kasane menolak mentah-mentah.

Setelah itu, tak ada lagi celah untuk membujuknya.


Kanae dan yang lain mengucapkan doa pada setiap lentera.

Sebagai persembahan, mereka menambahkan kue yang baru saja dibeli. 

“Sebelum waktunya tiba, enyahlah dari pandanganku.”

“...Kasane, um... Kamu mau kue ini?” 

Tiba-tiba Kasane menggertak Levy dengan suara nyaring.

“Kau mau memberiku makan yang begitu!? Aku tidak butuh yang manis-manis! Lebih baik yang itu!”

“Hyaaa! Maafkan aku!” 

Kasane mengambil sepotong dendeng sapi dari kantong belanja Kanae, mengoyaknya di tempat, lalu memasukkannya ke mulut.

“Hei, hei!! Jadi Peri Fenomena bisa makan selain yang manis juga!?” 

Sekejap saja wajah Kasane memerah, matanya berkaca-kaca.

Namun mulutnya tetap mengunyah dendeng itu.

Dia lalu merogoh saku roknya, mengeluarkan minuman ringan bebas gula, dan meneguknya sampai masuk ke perut. 

“Um... Kasane, kamu tidak memaksakan diri, kan...?”

“...Jangan remehkan aku...! Aku hanya ingin hidup seperti manusia...! Tidak ada manusia yang hanya bisa makan makanan manis saja...! Cepatlah, enyah dari sini!” 

Terintimidasi oleh ledakan amarah Kasane, Kanae dan yang lain tak bisa berkata apa-apa, lalu segera meninggalkan tempat itu.


* * *


“Satu sendok makan gula...dengan ini.”

“Bukan dengan sendok sayur, ukur dengan sendok makan!”

“Kalau sebanyak itu gulanya, bahkan untuk Peri Fenomena pun terlalu manis!” 

Di dalam Hide Lab, Kanae dan yang lain sedang membuat kue. 

“Tuan Kanae! Mengaduk ini sangat melelahkan!”

“OKe, serahkan padaku. Saat seperti inilah kekuatan lelaki harus ditunjukkan!”

“Levy, adonan ini sudah selesai didinginkan.” 

Levy, yang ahli dalam urusan kue, mondar-mandir sibuk mengarahkan Kanae dan Yuki di ruang kerja mereka. 

“Seperti yang diharapkan dari Yuki! Sebenarnya, dengan peralatan khusus, kita harus menunggu berjam-jam, bukan?”

“Selanjutnya, apa yang harus kulakukan?”

“Sekarang, tolong bekukan buah-buahan ini dengan suhu yang pas, agar seratnya tidak rusak!”

“Berarti secara perlahan, menurunkan suhunya sedikit demi sedikit, bukan?”

“Benar! Setelah dihancurkan, campurkan ke dalam adonan, dan sisanya bisa kita gunakan untuk mousse!” 

“Levy, sudah selesai! Tapi ini terlihat jadi sangat kental sekali, bukan?”

“...Hmm, hmm... Ah, ini sudah jadi! Sempurna, luar biasa, Tuan Kanae!” 

“Dengan ini, yang disebut kue buah, sudah selesai, kan?”

“Iya! Mari kita makan!”

“Ah, tunggu sebentar! Kalau kita makan sambil menatap langit malam yang indah, pasti rasanya jauh lebih nikmat.” 

Kanae membuka pintu menuju langit.

Dia duduk di bagian tengah tepiannya, dengan Yuki dan Levy duduk di sisi kanan dan kirinya, bersandar dekat pada Kanae.

Kanae lalu meletakkan piring kecil berisi sepotong kue buah di lantai belakangnya.

Masing-masing mengambil piring di tangannya, lalu berjejer rukun menatap langit malam. 

Di tempat ini, 20 kilometer di atas tanah, di mana gravitasi terbalik, tak ada satu pun yang menghalangi pandangan menuju langit malam.

Sejauh mata memandang, lautan hitam pekat bak samudra dalam terbentang, dihiasi bintang-bintang yang berkelip merah, biru, hijau, dan kuning. 

“Berwarna-warni, namun begitu lembut cahayanya... Mengingatkanku pada lentera-lentera itu."

“Kita tidak akan pernah melupakan Repulsion, juga para Peri Fenomena di lantai pertama!”

“Aku pun takkan lupa. Mereka yang mati, mereka yang ditinggalkan. Dosaku yang menghentikan waktu dari 15 juta jiwa. Semuanya akan kutebus dengan hidupku. Meski aku tak bertanggung jawab, egois, dan tak berdaya, tetap saja aku...ingin hidup.”

“Kita tidak boleh berhenti. Kita harus terus berpikir. Terus mencari. Dan hidup, bersama-sama...!”

Kanae, Yuki, dan Levy menyatukan kedua tangan, mengucap doa makan, lalu memulai santap malam mereka yang agak terlambat itu.

Levy langsung menusukkan garpu pada kue buah dan melahapnya tanpa repot-repot memotong. 

“...Kanae, tolong suapi aku. Kumohon.”

“Kalau pertempuran ini selesai, kamu harus bisa makan sendiri. Ayo, buka mulutmu.”

“Nngh... Nngh... Ngomong-ngomong, benarkah dengan ini kita bisa menang melawan Kasane?”

“Ya, kita pasti bisa!”

“Kalau yang Levy katakan benar, maka inilah rahasia untuk menghadapi Kasane.”


Bagian 2

Di lantai pertama, yang merupakan zona pembuangan, tidak ada perangkat pencahayaan.

Kecuali sudut masuk cahaya matahari, radius 15 kilometer sekelilingnya diselimuti kegelapan.

Pada pagi hari di musim gugur bulan September yang hampir mencapai titik ekuinoks, matahari menyusup dari arah timur, tepat di koordinat timur 90 derajat lantai pertama.

Bagi Kanae, ini adalah pertama kalinya dia melihat lantai pertama dalam keadaan terang.

Di atas permukaan tanah yang kering, terbentang reruntuhan yang hancur dan suram. 

“Hei, kak. Di dalam Elwesii... Ternyata ada juga gadis pelayan yang benar-benar tumbuh besar, ya. Penuh hal-hal tak terduga, kombinasi yang pasti membuat para penggemar dunia itu tergila-gila.” 

Kanae dengan pakaian sehari-hari, Yuki dengan tampilan santai, dan Levy yang mengenakan pakaian pelayan dengan ransel di punggungnya.

Lalu, dari balik bayangan pabrik tua, Kasane dan Tatsumi muncul. 

“Hei, Elwesii. Ada hal yang perlu kutanyakan padamu.”

“...Apa itu?”

“Tokyo Absolute Zero, es yang masih menutupi seluruh wilayah Tokyo sampai sekarang, apa kamu pernah berusaha untuk melenyapkannya?”

“...Sejak aku dilahirkan, untuk beberapa lama aku memang berusaha mencairkan es itu. Namun dengan kekuatanku, aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Pada saat itulah aku ditemukan oleh para pengejar, dan aku terpaksa meninggalkan tempat itu.” 

“Benar-benar tak bisa diapa-apakan, ya... Es itu bahkan lebih keras daripada permafrost. Diledakkan dengan bom setingkat nuklir kecil dalam skala TNT pun, bukannya terkikis, permukaannya saja tak bsia digores. ...Kesimpulan dari penelitian hanya satu: Tokyo Absolute Zero masih berada di bawah pengaruh Elwesii hingga sekarang.” 

“Kobe Gravity Bound dan Kasane juga, bukannya itu berhubungan, atau paling tidak, ada kaitannya...?”

“Sama sekali tak ada hubungannya. Fairy Hazard yang terjadi berupa pembalikan gravitasi di Kobe hanyalah efek samping dari kelahiran Kasane di tanah Kobe. Banyak Peri Fenomena yang memang diekstraksi dari ruang... Saat itu, hukum fisika di ruang itu memang bolong, tapi ukuran lubang pada tingkat Peri Fenomena biasa hanya sepele, lubangnya segera tertutup, dan tak menimbulkan masalah apa pun. Namun, lubang yang dibuka oleh Tujuh Bencana Besar itu terlalu besar untuk diperbaiki.” 

Yang disebut kerusakan dunia akibat Tujuh Bencana Besar tak lain adalah lubang dalam hukum fisika yang ditinggalkan sebagai efek samping ketika mereka diekstraksi dari ruang.

Itulah wujud sebenarnya dari bencana Fairy Hazard yang terjadi tujuh tahun yang lalu. 

“Di lima lokasi terdampak lainnya, Fairy Hazard hanyalah efek samping belaka. Namun hanya Tokyo Absolute Zero yang entah mengapa, hingga kini masih berada dalam pengaruh Elwesii. Kalau begitu, untuk menyingkirkan es itu, satu-satunya cara adalah membunuh Elwesii agar pengaruhnya lenyap. ...Aku pribadi, tidak begitu membencimu. 80 persen aku percaya ini semua salahnya Haitani Gien. Tapi tetap saja, setidaknya keluarga dan kekasihku, ingin kubawa pulang, memasukkannya ke dalam peti mati, membakar mereka dan menjadikannya abu dengan tanganku sendiri.” 

“Kalau cerita tadi benar, maka Yuki yang kini terikat kontrak denganku, meski butuh waktu lama, mungkin saja bisa...!”

“Kamu tahu? Menurut hukum, bila seseorang hilang lebih dari tujuh tahun, dia dianggap meninggal dunia. Sekalipun Jepang lenyap karena integrasi dengan PBB, aturan itu tetap sama. Biarpun secara garis besar kita menyebutnya sekitar tujuh tahun yang lalu, secara resmi masih tersisa tenggat dua bulan sebelum genap tujuh tahun. Aku ingin, sebelum keluarga dan kekasihku dianggap mati oleh dunia ini, aku sendiri yang memberi mereka peristirahatan terakhir. Lagi pula, kalau kita tidak membunuh Tujuh Bencana Besar yang lain, dunia takkan mampu menanggung kerusakan yang mereka bawa, dan akhirnya hancur juga. ...Sudah cukup, ceritanya selesai.” 

“...Kemarin, aku berkata pada Kasane. Bila kami menang, kita seharusnya melakukan gencatan senjata...”

“Menang dan kalah dalam pertempuran berarti membunuh atau terbunuh. Bisa menang tanpa membunuh hanyalah kemewahan untuk mereka yang kuat. Kemarin, kami sudah memberi contoh itu padamu, kak. Paham sekarang?”

“Aku paham...! Berkali-kali, aku sudah terbunuh olehmu dan Kasane...”

“Kami tidak mau lagi kalau sampai kamu ikut campur seenaknya, berpikir kekuatan manusia bisa menentukan hasil pertarungan antar Tujuh Bencana Besar. Karena itu, lebih baik kami hancurkan dulu pemikiran manismu itu. Kasane, boleh, kan?”

“Ya, tidak ada pilihan lain... Aku sudah berjanji.” 

“Kalau begitu, ini perintah. Hapus seluruh perasaan afektif, beserta area ingatanmu, kembali ke kondisi standar.” 

Dari wajah Kasane, lenyaplah seluruh emosi belas kasih terhadap siapa pun.

Ekspresinya meredup, menatap lurus ke depan. 

“Tujuanmu adalah membunuh Elwesii. Jangan menahan diri, bertarunglah dengan seluruh kekuatan yang kamu punya. Dan siapa pun yang secara langsung menghalangi pertempuran ini, bunuhlah tanpa ragu. Perintah ini berlangsung sampai tujuan tercapai.” 

Dengan kata-kata itu, Tatsumi memberlakukan bagan pemecahan bertahap pada Kasane, menyingkirkan sisa keraguannya tanpa ampun. 

“Aku takkan memberi satu detik pun tenggang waktu. Begitu ini jatuh ke tanah, mulailah bertarung.” 

Tatsumi mengeluarkan sebutir peluru dari saku. 

“...Kanae, aku mulai.”


* * *


Terdengar dentingan logam yang terpental, dan Kasane pun melesat berlari.

Dari saku kiri roknya, dia mencabut sebilah bush knife berbentuk parang dengan panjang lebih dari tiga puluh sentimeter, lalu kali ini melaksanakan manipulasi gravitasi dengan tangan kanannya. 

Dia menancapkan bilah itu ke dalam Void Gravity yang membengkokkan pandangan, lalu menambahkan massa luar biasa yang tak sebanding dengan ukurannya.

Kemudian, Kasane menendang ke belakang Void Gravity yang dihasilkannya dari pergelangan kaki kanannya.

Dia menyerahkan tubuhnya pada akselerator gravitasi itu.

Dalam sekejap saja, dia mencapai kecepatan puncak. 

Kasane menerjang mendekati Yuki.

Yuki, dengan manipulasi suhu, mendinginkan ruang yang ditentukan hingga di bawah -210 derajat, lalu menarik kristal es nitrogen dari udara.

Di hadapannya, terbentuk sebuah perisai es raksasa berbentuk persegi panjang. 

“Sudah kubilang itu tak ada artinya.” 

Bush knife yang telah diberi bobot luar biasa itu membelah perisai es, dan ujung tajamnya mengarah pada Yuki.

Yuki menembakkan tombak es ke tanah miring di bawah kanannya, menggunakan daya reaksi untuk menghindari tebasan Kasane. 

“...Kalau begitu...!”

Yuki kali ini memunculkan beberapa kubus kristal es yang ukurannya lebih kecil daripada sebelumnya. 

“Sungguh, kamu sama sekali tidak belajar. Pelepasan Repulsion, dimulai dengan satu ibu jari.” 

Dari telunjuk kanannya, merentang seutas benang merah bercahaya, seutas benang yang menolak segala sesuatu, melenyapkan materi yang memasuki jangkauan sepuluh sentimeter di sekitarnya.

Dengan hanya satu benang merah itu, dia membelah kubus kristal es yang kokoh seolah-olah hanya memotong mentega. 

Tak kuasa menahannya, Yuki berhenti di tempat, lalu menjalankan esensi sejati dari manipulasi suhu: manipulasi percepatan dan perlambatan partikel.

Dia menahan Repulsion yang seharusnya tak bisa dipengaruhi secara fisik, dengan cara mengintervensi partikel virtual secara langsung. 

Namun berbeda dengan Kasane yang bisa mengendalikannya dengan bebas, Yuki hanya bisa memperlambat kecepatannya. 

“Sudah kuperhitungkan kalau bisa dihentikan. Aku juga tahu bahwa kamu akan terjebak tak bisa bergerak selama itu. Pelepasan Repulsion, dua dari telunjuk, tiga dari jari tengah, empat dari jari manis, lima dari kelingking, kepung dia.” 

Dari kelima jarinya, Kasane memanjangkan lima benang merah yang menyerbu Yuki dari lima arah berbeda.

Yuki menatap benang-benang bercahaya itu dan menahannya. Itu adalah pertarungan seimbang di ujung batas. 

“Sebelumnya, aku mengikat kelima benang jadi satu lalu menghantamkannya padamu, sehingga lebih mudah diintervensi. Padahal, satu benang saja sudah cukup untuk meniadakan eksistensi. Justru dengan memecahkannya, kamu makin sulit mengintervensinya. Kalau waktu terus berjalan, kamu pasti selesai. ...Tapi, untuk berjaga-jaga.” 

Void Gravity bermunculan satu demi satu.

Dari dada Kasane, dari lengannya, dari perut yang tampak, dari kedua kakinya...

Void Gravity itu mengelilingi Yuki yang sedang berusaha keras menahan benang merah. 

Lalu dari segala arah, hujan gravitasi menekan tubuh Yuki. 

“...Agh... Uh... ugh…”

Beban gravitasi yang dahsyat memaksa Yuki berlutut mencium tanah. Seluruh tubuhnya berderak, menjerit kesakitan.

Rasa sakit itu membuat konsentrasinya terputus, dan lima benang merah yang tadi masih tertahan, kini perlahan-lahan menyatu menghimpit dirinya layaknya ragum baja. 

Di hadapan beban tak tertahankan dari Void Gravity, dan daya serang mutlak dari Repulsion... 

“Yuki, gunakan itu!” 

Kanae berseru putus asa.

Itu akan mempercepat rencana mereka, namun satu-satunya cara untuk keluar dari situasi ini hanyalah otoritas Yuki sebagai salah satu dari Tujuh Bencana: Penghentian Waktu.


Memulai penyebaran Aether di lingkup orbit Bumi.


Tanpa sepatah kata, Yuki mengucapkan kalimat itu dalam hatinya dan mendeklarasikannya pada dunia.

Suara itu sampai ke telinga Kanae dan Levy. 

“Aku pun mendengarnya dengan jelas.” 

Kasane berkata datar, sambil melepaskan Repulsion yang menjulur dari lima jarinya dengan sikap acuh.

Lalu dia melafalkan mantra dengan kecepatan tinggi, bahasa yang dimampatkan tanpa merusak makna.

Itu adalah proses inisiasi dari Imperial Order.


“Memulai penyebaran Aether dalam lingkup pandangan.

“Membangun jalur komunikasi dengan Peri Fenomena lokal.

“Selanjutnya mendeteksi garis geodesik gravitasi...”


Di telinga Kanae, di otaknya, bergema dua suara gadis sekaligus.

Mantra cepat Kasane dalam sekejap menyalip suara Yuki.

Kanae tak mengerti kata-kata itu. ...Dan dia juga tak tahu apa yang akan terjadi. 

Levy, pada waktu itu, terlalu panik hingga gagal mengamatinya.

Imperial Order milik Kasane, yang merupakan keistimewaan unik salah satu Tujuh Bencana, adalah sesuatu yang tak terukur.


“...Selesai. Memasukkan Affine Parameter yang optimal.

“Ambang batas tercapai...”


Penyebaran selesai, seluruh jalur komunikasi dengan Peri Fenomena berhasil dibangun.


Namun meski itu tak terukur, tak ada bedanya.

Kanae tak bisa membayangkan ada kekuatan yang sanggup mengalahkan otoritas mutlak Yuki, Penghentian Waktu, yang mampu menghentikan seluruh hukum fisika. 


“Mengaktifkan Imperial Order, Apple Eater.

“Untuk sementara, selamat tinggal.”


Mengaktifkan Imperial Order, Telestial Globe.

Untuk sesaat saja, tolong diam di tempat.


Pada saat itu, Kanae yakin bahwa pertarungan sudah selesai.

Sesaat sebelum Peri Fenomena yang ada di orbit Bumi berhenti berfungsi, tubuh Kasane diselimuti oleh “kabut hitam”.

Bukan hanya Kasane, di sekitar Tatsumi yang sedang mengawasi jalannya pertarungan pun muncul “kabut hitam”.

Dan tepat ketika waktu dunia berhenti, sosok Kasane dan Tatsumi sudah tidak ada di sana. 

...Mereka berdua...menghilang...?

─Ke mana perginya mereka?

...Sepertinya memang tidak ada di mana-mana! Padahal sampai detik terakhir, aku melihat jelas mereka berdua ada di sana, tapi tiba-tiba saja lenyap begitu saja!

Tch! Yuki, segera keluar dari sana sekarang juga! 

Tak terhitung banyaknya Void Gravity yang dikembangkan di sekitar Yuki kini berhenti total.

Peri Fenomena adalah fenomena fisika itu sendiri.

Jika fenomena fisika yang diciptakan Kasane berhenti, itu berarti Kasane sendiri juga terhenti oleh Telestial Globe. 

Kalau begitu, Kasane dan Tatsumi sebenarnya ada di mana...? 

Dalam kebingungan itu, napas Kanae mencapai batasnya.

Dan Yuki pun melepaskan penghentian waktu. 

“Haruskah aku bilang, aku kembali?” 

Entah sejak kapan, Kasane dan Tatsumi sudah berdiri di balik bayangan pabrik tua. 

“Bagi kalian, mungkin itu terasa seperti puluhan detik, ratusan detik, mungkin berhari-hari, atau bahkan bertahun-tahun. ...Tapi bagi kami, itu hanyalah sesuatu yang tak dapat kami sadari.” 

Kasane perlahan melangkah maju. 

“Elwesii, Imperial Order-mu hanyalah tipuan murahan, serangan telepon mainan yang mudah ditebak. Begitu kamu sebarkan Aether ke seluruh orbit Bumi, segala yang kamu lakukan jadi tembus pandang bagiku.” 

“...Kasane, meski begitu, Telestial Globe-ku tetap berhasil memengaruhimu...!” 

“Sayangnya, kita tidak cocok. Imperial Order-ku adalah... Perpindahan Ruang. Dengan Aether, aku mengamati dari jauh struktur gravitasi koordinat ruang yang pernah kulihat, lalu memelintirnya dengan presisi, menciptakan sirkuit lompatan dimensi seketika.” 

“Lompatan...ruang...!?”

“Ibarat lubang cacing dalam sebuah apel. Untuk mencapai sisi seberangnya dari satu titik, biasanya kamu harus memutari setengah permukaan apel. Tapi aku bisa melubangi apel itu dan membentuk jalur terpendek yang langsung tembus. ...Asal pernah kulihat sekali, aku bisa pergi ke mana saja. Itulah otoritasku, Ufuk Peristiwa, Apple Eater.” 

Kasane menghentikan langkahnya. 

“Telestial Globe-mu itu, tak peduli betapa mutlak kekuatan penghentian waktunya, sama sekali tak ada artinya. Aku bisa merasakan pertanda sebelum itu aktif, lalu memindahkan diriku bersama Tatsumi ke tempat yang mustahil kamu datangi. Jadi sayangnya, otoritasmu tidak berlaku padaku. Atau kamu lebih senang bermain-main tanpa akhir? Aku rasa, yang lebih dulu kehabisan tenaga adalah dirimu, Elwesii.” 

Kasane mengibaskan tangan kanannya. Puluhan Void Gravity yang membara di udara tercerai-berai ke sekeliling.

Namun pada saat yang sama, Void Gravity baru terus bermunculan satu demi satu, menyebar luas.

Jumlahnya mencapai seratus singularitas gravitasi.

Lalu...


“Mendeteksi garis geodesik gravitasi.

“Selesai, memasukkan Affine Parameter yang optimal.

“Ambang batas tercapai, semua sambungan terkonfirmasi.

“66 sirkuit lompatan dimensi diaktifkan.”


Di antara ratusan Void Gravity yang menyamarkan, muncul total 66 Wormhole kecil di sekelilingnya. 

“Sekarang, tempat ini adalah wilayahku. Aku takkan memberimu kesempatan untuk memulai Imperial Order-mu. Ayo, terima ini.” 

Kasane mengeluarkan masing-masing dua bilah bush knife di antara jari-jarinya dari kedua saku rok, total enam belas bilah, lalu melemparkannya secara acak ke sekeliling.

Dan itu tidak berhenti di situ.

Berkali-kali dia mengeluarkan enam belas bush knife lagi dari sakunya, melemparkannya ke dalam ruang yang dikuasainya, ruang yang dipenuhi Void Gravity dan Wormhole. 

Bush knife itu semua terseret oleh pengaruh gravitasi, jalurnya berubah secara acak, atau dipindahkan oleh Wormhole ke tempat lain sambil mempertahankan kecepatannya.

Ratusan bush knife menggambar lintasan kacau yang tak bisa diprediksi, menyerbu ke arah Yuki.

Di antaranya terselip pula bush knife palsu, granat tipu daya yang meledak di udara dan menebar pecahan logam. 

Yuki mengerahkan seluruh perisai es yang dia bisa ciptakan, menyebarkannya di sekeliling.

Lalu menutup dirinya dengan dinding es berbentuk kubah.


“.Mengubah Affine Parameter.”


Es yang diciptakan Yuki bahkan mampu menghalangi gravitasi, menahan graviton yang dipancarkan oleh Void Gravity.

Namun Kasane sudah menghitung semuanya, bahkan intervensi es itu pun masuk dalam perhitungannya saat menyesuaikan koneksi antar Wormhole. 

Lebih jauh lagi, Kasane sendiri berlari sambil menggenggam bush knife.

Bilah yang diberi gravitasi abnormal menghancurkan perisai es yang bertumpuk berlapis-lapis.

Sebagian dari bilah itu berhasil menorehkan retakan di dinding es terakhir, benteng pelindung Yuki.


“Ketemu... Mengubah Affine Parameter.

“Konsentrasi, Parameterize.”


Koneksi enam puluh enam Wormhole diubah secara bersamaan.

Ratusan bush knife yang sebelumnya beterbangan acak, kini semuanya menukik ke satu titik lemah pada dinding es.

Bilah biasa, granat tipu daya, hingga bilah super-massa, semuanya menghantam ke titik itu tanpa meleset, dengan gigih. 

Grraahhhh! 

Suara gemuruh bergema, tanah bergetar, debu dan pecahan beterbangan, asap mesiu menutupi sekitar.

Kanae, tak sanggup menahan diri lagi, berlari menembus debu yang mengepul. 

“Tuan Kanae, percuma untuk maju!”

“Meski begitu...!” 

Di balik reruntuhan pabrik, Tatsumi yang menyaksikan dengan tenang hanya tersenyum miring sambil mengangkat bahu. 

“Aku sudah bilang, kan? Permainan kita sudah selesai.” 

Kini, dalam diri Kasane sudah tak ada sedikit pun rasa belas kasih, yang ada hanyalah dorongan untuk membunuh, untuk menghabisi Kanae yang berani menghalangi.


“Mengubah Affine Parameter.”


Memulai penyebaran Aether di lingkup orbit Bumi.


Di benak Kanae dan Levy, serta melalui jalur komunikasi ke Kasane juga, terdengar jelas suara Yuki. 


“Masih hidup rupanya...!!

“Memulai penyebaran Aether dalam lingkup pandangan...”


Kasane menunda niatnya terhadap Kanae, lalu melawan Yuki dengan mantra inisiasi cepat.


“Mengaktifkan Imperial Order, Apple Eater.

“Selamat tinggal.”


Mengaktifkan Imperial Order, Telestial Globe.

Harap diam di tempat...


Kasane dan Tatsumi telah mengungsi ke suatu tempat entah di mana melalui perpindahan ruang.

Yuki! Kamu baik-baik saja kan!? Di mana kamu!? ...Sial, aku tak bisa melihatmu...!

Dia ada di sana!

Dari debu yang sempat terhenti di udara, sosok Yuki yang merangkak di tanah muncul.

Kanae buru-buru meraih dan mengangkatnya. Meski tampaknya dia berhasil menghindari luka fatal, Yuki tetaplah terluka parah hingga terasa aneh bagaimana dia masih bisa hidup.

Kanae, m-maafkan aku... Sepertinya, aku tidak bisa menang melawan Kasane...

Dengan tatapan kosong, Yuki menyampaikan kata-katanya pada Kanae.

Sial...! Bagaimana caranya bisa menang melawan monster seperti itu...! Aku benci melihat Yuki hancur seperti ini, itu menyakitkan... Tapi aku juga tak bisa melakukan apa pun... Lalu aku harus bagaimana...!?

Bukan berarti Tuan Kanae tidak bisa melakukan apa pun!

Levy memaksa senyum di wajahnya sambil menggosok air mata kasar-kasar, lalu menegaskan.

Rencana Tuan Kanae adalah mengantarkan sesuatu pada Kasane! Kalau begitu, mungkin ada satu cara! ...Tapi ini akan membuat Tuan Kanae berada dalam bahaya...

Kumohon, Levy. Katakan padaku!

Levy menyampaikan kepada Kanae apa yang sempat dia “intip”, serta dugaan yang dia bangun darinya.

Mungkin ini bisa berhasil... Tidak, kalau memang ada kemungkinan berhasil, maka hanya ini jalannya...!

Kanae, meski dadanya terasa sesak, menyampaikan rencana itu tanpa melewatkan satu detail pun.

...Ini bukan sekadar mempertaruhkan nyawaku sebagai umpan. Jika aku mati, maka Yuki dan Levy, yang terikat denganku, juga akan mati. Tapi aku tidak mau membiarkan Yuki saja yang mati di sini dengan sia-sia!

Yuki adalah keluarga yang berharga! Seorang teman! ...Dan juga saingan! Selain itu, sejak pertama kali kita bertemu di saluran pembuangan itu, seluruh diriku sudah menjadi milik Kanae-sama!

Kanae... Levy... Aku sungguh bersyukur bisa bertemu dengan kalian berdua di saluran pembuangan itu... Aku selalu menyusahkan, selalu menyeret kalian dalam masalah, dan kini aku tak bisa membalas apa pun. Tapi meski begitu, aku tidak akan pernah lagi berkata ingin mati...! Aku akan hidup untuk membalas budi kepada kalian...! Aku akan hidup untuk menebus dosaku...! Karena aku ingin hidup di dunia ini bersama Kanae dan Levy!

Agak terlambat untuk mengatakan ini, tapi seharusnya kita bertiga bertemu di tempat yang lebih indah ya. ...Baiklah, kita mulai.

Telestial Globe dinonaktifkan.

Waktu yang sempat berhenti, mulai bergerak kembali.

“Sudah kubilang, itu semua sia-sia, kan?”

Kasane dan Tatsumi muncul kembali. Seperti sebelum waktu terhenti, sekeliling masih diselimuti debu tanah dan asap mesiu.

“...Tidak sia-sia sama sekali.”

Dengan debu yang berputar-putar di hadapannya,

Kanae mengangkat bush knife yang terjatuh dan berdiri menghadapi Kasane.

“Elwesii tidak bergerak, artinya dia ada di dalam debu itu...? Dan si pelayan juga berada di samping Elwesii...? Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?”

“Siapa yang tahu... Tapi setidaknya, aku memang ingin mengalahkan kalian.”

“Aku tak peduli. Menyingkir dari jalanku. Kalau kamu menghalangiku, akan kubunuh juga.”

“Tidak, aku tidak akan minggir. Karena, aku juga akan bertarung.”

“Kalau begitu, matilah.”

Kasane berusaha membangkitkan Void Gravity dari kedua tangannya.

Dia hendak menghancurkan Kanae dengan tekanan gravitasi.

“Jangan dengan manipulasi gravitasi yang itu... Kenapa tidak lawan aku dengan Repulsion saja?”

“Sayang rasanya membuangnya untukmu. Itu jelas-jelas berlebihan.”

“...Kamu bilang, ‘setiap benang memiliki daya hancur mutlak’ atau ‘tak ada satu pun yang bisa menyentuhnya’. Tapi kenyataannya, Yuki bisa menahannya dengan mudah. Pantas saja kamu enggan memakainya lagi, ya? Terlihat seperti lolongan anjing kalah, sungguh miris!”

Kening Kasane berkerut, bibirnya gemetar tanpa suara.

...Sepertinya dia tidak tahan diprovokasi.

Kanae sempat terlintas pemikiran itu, dan ternyata tepat adanya.

Selain itu, sesuatu yang tak Kanae sadari justru membantunya.

Perintah Tatsumi yang menghapus emosi positif dan sebagian ingatan Kasane, membuat kemampuan berpikirnya ikut menurun.

Singkatnya, dia cepat tersulut amarah.

Kasane pun memerah padam, tubuhnya bergetar sambil mengertakkan gigi.

“Jangan bikin aku kecewa, ya? Repulsion yang kukenal jauh lebih menawan daripada dirimu sekarang.”

“Jangan terperdaya! Aku tidak tahu apa yang direncanakan si brengsek itu, tapi dia tak bisa melakukan apa pun. Prioritaskan untuk tetap menghabisi Elwesii yang bersembunyi dalam debu!”

Kanae menyeringai mendengar perintah Tatsumi.

“Tatsumi, diamlah di situ dan cukup lihat saja!”

Kasane melingkarkan jari-jari kanannya, memunculkan lima benang merah bercahaya.

“Baiklah. Akan kubunuh kamu dengan seluruh kekuatanku. Dalam arti tertentu kamu beruntung, karena kamu akan mati dengan cepat dan tanpa rasa sakit...”

Kanae melesat, mengangkat bush knife sambil berteriak lantang.

“Uooooooohhhhhhhhhh!!”

Kasane, tanpa kata, mengayunkan tangan kanannya.

Benang merah bercahaya itu meluncur tanpa belas kasihan menuju tubuh Kanae.

Tepat sebelum bilah maut yang menolak eksistensi itu bisa mencapai tubuhnya...


Memulai penyebaran Aether... 


Suara Yuki yang lirih namun bergema mengumandangkan mantranya.

Benang merah bercahaya yang hendak membelah tubuh Kanae tiba-tiba lenyap begitu saja di udara.

Kasane yang menghapusnya.


“Lagi...!?

“Memulai penyebaran Aether dalam lingkup pandangan.”


Kasane sebelumnya telah diperintah Tatsumi untuk mendahulukan menghadapi Elwesii ketimbang Kanae.

Karena itu, dia terpaksa menghentikan manifestasi benang merah yang sebenarnya bisa segera membunuh Kanae.


“—Demi melafalkan proses aktivasi Apple Eater.”


Menurut Levy, begitu pula saat pertarungan sebelumnya.

Dan saat Kasane menekan Yuki tadi, dia juga menghapus benang merah itu sebelum melafalkan mantra. Dari situ bisa disimpulkan, untuk membaca mengaktifkan Ufuk Peristiwa: Apple Eater, Kasane memerlukan konsentrasi tertentu, dan tak bisa melakukannya bersamaan dengan kendali atas Repulsion.

Dan manipulasi gravitasi sebelum itu telah Kanae kunci dengan provokasi.

Dengan kata lain, saat ini Kasane tak bisa menggunakan kemampuannya.

Kanae mengayunkan bush knife dari atas ke bawah, dan Kasane buru-buru menghunus bush knife dari sakunya untuk menangkis.

Bilah bertemu bilah, terpantul keras.

Benturan logam itu membuat tangan Kanae bergetar kebas.


...Aether dalam lingkup orbit Bumi... 


“Membangun jalur komunikasi dengan Peri Fenomena lokal...”


Kasane kini harus menghadapi bukan hanya Kanae di depannya, tapi juga Yuki yang tersembunyi di balik debu.

Dalam situasi di mana dia mesti berkonsentrasi pada proses aktivasi Imperial Order, dia masih harus beradu bilah dengan Kanae.

Dalam kondisi itu, Kasane tak punya celah untuk menggunakan kemampuannya.

Yang tersisa hanyalah seorang pemuda dan seorang gadis.

Dua orang tanpa kemampuan apa pun.

Meski begitu, gerakan pisau Kasane tetap mematikan.

Bahkan ketika berusaha membaca mantra bersamaan dengan bertarung, dia masih mampu menekan Kanae yang seharusnya lebih diuntungkan.

...Meski begitu, Tatsumi dengan tangan kosong waktu itu masih jauh lebih kuat...!

Kanae menebas dengan bush knife secara serampangan meniru gaya tempur, Kasane menangkis dan membalas.

Serangan balik Kasane sama sekali tanpa ampun.

Setiap tebasan adalah bilah maut yang mengincar titik vital.

Kanae nyaris tak sempat, dia menghindari tusukan ke wajah hanya dengan jarak sehelai rambut, namun tetap saja luka sayatan tipis terukir di pipinya.


Penyebaran, selesai... Seluruh jalur komunikasi...


“Selanjutnya, mendeteksi garis geodesik gravitasi...”


Bush knife yang digenggam Kasane menancap di bahu kanan Kanae.

“Nnghhh!”

Namun Kanae tak peduli dan terus maju mendekatinya.

Menilai bahwa dirinya akan terikat bila tetap seperti itu, Kasane segera menarik pisau dari bahu Kanae dan mundur beberapa langkah.

Ekspresinya terdistorsi, tampak benar-benar terdesak.

Sejak awal, proses aktivasi Kasane jauh lebih berlapis dan panjang dibanding milik Yuki.

Kelemahan itu biasanya dia tutupi dengan kecepatan mantra yang luar biasa, tetapi kini perhatiannya terpecah oleh pertarungan pedang melawan Kanae, hingga dia tak bisa memperlihatkan kemampuan penuhnya.

Dan jika kalah cepat dalam melantunkan proses aktivasi, maka sebelum Kasane sempat melakukan Perpindahan Ruang, Yuki sudah lebih dulu melancarkan Penghentian Waktu.


...dengan Peri Fenomena terhubung...


“Selesai, memasukkan Affine Parameter yang optimal...”


Saat itulah Tatsumi sadar.

“Sialan, mereka berhasil...!”

Seharusnya, masalah ini bisa selesai dengan mudah: cukup hentikan proses aktivasi Kasane dan bunuh Kanae sekuat tenaga.

Karena Kanae itu sendiri adalah FT eksklusif, membunuhnya berarti Yuki juga akan mati.

Penghentian Waktu adalah Imperial Order yang setara dengan otoritas dewa.

Hanya Perpindahan Ruang, yang juga merupakan Imperial Order, yang dapat menandinginya, itulah pikiran yang membelenggu mereka.

Tatsumi terperangkap dalam strateginya sendiri, dan Kasane terbelenggu oleh perintah Tatsumi.

Kini meskipun perintahnya diubah, mereka sudah terlambat.

Membuang sisa kesombongan orang kuat, Tatsumi mencabut revolver dari bawah ketiak kirinya. 

Dari dalam debu yang berputar, ada es melesat berkelok-kelok. 

“...Sial!”

Lengan kanan Tatsumi bersama senjatanya seketika membeku dalam balok es.

Yuki yang mengeksekusi kemampuan itu, tetapi perintahnya berasal dari Levy.

Di balik kabut debu, dia terus mengunci hanya pada Tatsumi, berdiri teguh di sisi Yuki.

Koordinat yang Levy berikan begitu tepat, memungkinkan Yuki untuk membangkitkan dan mengendalikan kristal es nitrogen tanpa mengganggu konsentrasinya melantunkan proses aktivasi.

Yuki mempercayakan segalanya pada Kanae dan Levy, memusatkan diri hanya pada aktivasi Telestial Globe.

Levy juga percaya pada Kanae dan Yuki, dan terus menahan satu-satunya variabel tak pasti: Tatsumi.

Dan Kanae, percaya pada keduanya, bertarung dengan tubuh fana melawan Kasane sang Tujuh Bencana, hanya demi mengulur waktu.

Sebuah rencana yang mustahil berhasil tanpa saling percaya, tanpa Kasane dan Tatsumi terpancing oleh provokasi Kanae, dan tanpa pengorbanan gigih Kanae sendiri.

Bahwa semuanya berjalan mulus mungkin hanya kebetulan.

...Namun mereka berhasil meraihnya.


Mengaktifkan Imperial Order, Telestial Globe.


“Ambang batas tercapai. Mengaktifkan Imperial Order, Apple Eater...!”


Kasane, dengan wajah terdistorsi putus asa, mengayunkan bush knife.

Kanae menatapnya, lalu tersenyum lembut, seakan senyum itu tak pada tempatnya.

“Ternyata, pikiran naif itu tidak selalu buruk, kan?”


Harap diam di tempat.


* * *


Kamu yakin? Aku akan mulai, ya...?

Oh, baiklah.

Oke, satu, dua!


Telestial Globe dinonaktifkan, dan di dunia tempat waktu kembali mengalir, Yuki... 

“Makan ini!”

...Membantingkan kue buah tepat ke wajah Kasane.

Dengan cara layaknya lemparan pai, untuk pertama kalinya saja bentuk lemparannya sudah mengejutkan indahnya.

“Ah? Ah, ah... Mwemwang buodhoh...”

Bam.

Kasane menggumamkan kata misterius, lalu pingsan.

Yuki buru-buru menangkap tubuhnya.

“Dengan ini Kasane tak lagi bisa bertarung. Kita menang tanpa membunuhnya. Jadi, sekarang tepati janjimu.”

Tatsumi, yang revolvernya telah dirampas dan belenggunya dari es dilepas, berdiri berhadapan dengan Kanae.

“...Meski kamu sudah merampas senjataku, jarak ini cukup untukku membunuhmu dengan tangan kosong, kak.”

“Aku tahu. Dan aku juga tahu kamu tidak akan melakukannya. ...Kamu orang yang menepati prinsip, kan?”

“Kamu ini naif sekali, kak. Atas dasar apa kamu bisa bilang begitu?”

“Karena lihat saja, Kasane pingsan setelah makan sesuatu yang manis.”


“—Pasti, dia kaget setengah mati. Peri Fenomena kalau makan sesuatu yang sangat manis ketika sedang sangat lapar, rasanya terlalu enak sampai kesadarannya hampir terbang.”


“...Menurut pengamatanku, selama empat tahun ini Kasane tidak sekalipun menyentuh makanan manis. Kekuatan hidupmu dan Kasane memang sungguh luar biasa...”

“Kalau Kasane berada dalam kondisi terbaiknya... Aku pasti tidak akan bisa menang.”

Yuki mengusap wajah Kasane yang belepotan kue dengan sapu tangan.

Gerakan tangannya sarat dengan kelembutan.

“...Aku rasa, Kasane punya semacam kebanggaan. Karena itu dia menolak menyentuh makanan manis. Dan kamu menghormati tekadnya. Padahal kamu bisa saja sekadar memerintahnya makan, tapi kamu sengaja membiarkan dia menahan dirinya dengan gegabah. ...Karena itu juga, Kasane menurunkan skala kekuatan sebagai Tujuh Bencana, atau lebih tepatnya sebagai Peri Fenomena, dengan sangat signifikan. Lalu kamu mengajarinya teknik bertarung dengan pisau, bom, cara-cara yang lebih manusiawi dan efisien, meskipun kemampuannya hanya bisa dipakai dalam skala kecil. Gaya bertarung yang begitu realistis, kotor, dan penuh darah itu, tidak mungkin seorang Peri Fenomena bisa memikirkannya sendirian.”

Tatsumi yang semula terdiam akhirnya mengangkat kedua tangannya, seakan menyatakan menyerah.

“...Kakak benar sekali. Kami kalah. Kasane, ini perintah. Pulihkan emosi positif dan ingatan yang terikat dengannya. Batalkan tujuan untuk membunuh Elwesii. Dan...bangunlah.”

“Nnyaa... Apa ini... Ini terlalu enak sampai aku gila... Eh, kenapa aku dipangku Elwesii? Apa-apaan ini? Jangan bercanda...!”

Kasane mengeluarkan bush knife dari saku roknya, tapi Tatsumi segera merebutnya.

“Kasane, hentikan, ini memalukan. Kita kalah. Jadi jangan bertarung lagi.”

“Tapi Tatsumi...”

Kasane menunduk, bibirnya tergigit penuh penyesalan. Saat itu Yuki menyodorkan kotak kue buah yang masih tersisa.

“Ini kami buat kemarin. Sebagian besar berkat Levy dan Kanae, sih...”

“Kasane, kuenya masih banyak kok! Jangan sungkan, makanlah sepuasnya ya!”

“Apa-apaan sih! Apa-apaan kalian...! Aku barusan saja berniat membunuh Elwesii, bahkan juga Kanae! Kalian tahu tidak seberapa kejamnya aku merendahkan dan menyiksa kalian? ...Kalian menang dariku, dan kalian tidak memberiku satu pun syarat buruk untuk kupikul?”

“...Kalau begitu, aku hanya ingin satu permintaan darimu, Kasane...”

“...Hah, satu? Hanya satu...!? Kira-kira betapa mengerikan dan menjijikkannya itu...”

“Panggil aku Yuki.”

“Hah? ...Hanya itu?”

“Aku akan memanggilmu Kasane. Jadi kamu panggil aku Yuki. Karena sama seperti kamu adalah Kasane, aku bukanlah Elwesii, aku Yuki.”

“...Hahaha... Sudahlah! Terserahmu saja... Yuki...! ...Aduh, aku jadi pengen mati! Tambah lagi kuenya!”

Kasane merebut kotak kue dari tangan Yuki, lalu melahapnya rakus dengan garpu di tangan kanan.

Setiap kali ia memakan habis kue dengan wajah berlinang air mata, Levy menyerahkan kotak kue berikutnya.

“...Aku memakai seragam sekolah untuk menjadi manusia, menyesuaikan diri, bahkan sampai mengenakan kacamata...! Meski memalukan... Aku memendekkan rokku! Tidak ada manusia yang hanya makan makanan manis saja! Karena itu aku sama sekali tak mau menyentuh makanan seenak ini...”

“Tapi manusia yang cuma makan makanan pedas saja juga jarang ada, kan? Jadi, makanlah sepuasnya.”

“Tuan Kanae, ini berarti masalahnya sudah selesai ya?”

“Hei, hei, kenapa suasananya jadi seperti sudah berakhir? Masalah kita masih numpuk banyak.”

“Aku tahu. Tapi aku juga ingin tahu. Sebenarnya kalian...”


Sebuah tombak kristal es nitrogen menembus perut Tatsumi.


Tatsumi melirik perutnya, lalu menatap Kanae, atau tepatnya sosok di belakangnya.

“...Asgard, ya... Kasane, sisanya aku serahkan padamu...”

Lalu kesadarannya terputus.

Kasane memeluk Tatsumi, tertegun tak percaya.

“...Tatsumi? ...Kenapa? Kanae...?

“B-Bukan...! Yuki! Ada apa tiba-tiba? Apa yang kamu lakukan?

Kanae menatap Yuki.


“.........”


Tatapannya kosong, tanpa ekspresi.

Sikap ramahnya barusan sudah hilang sama sekali.


“Kerja bagus, Kanae.” 


Dari balik reruntuhan, terdengar suara yang tak asing di telinga Kanae.

Seorang wanita berjas lab putih muncul.

“Terima kasih sudah menyelesaikan Elwesii. ...Tidak, sekarang sebaiknya kupanggil Yuki. Tak kusangka rencana ini bisa dipadatkan sejauh ini.”

Seolah mengawalnya, pria-pria berpakaian serba hitam berbaris di belakangnya.

Pembunuh bayaran dari Asgard yang memburu Kanae dan lainnya... Dan wanita di pusat kelompok itu... Kanae tidak ingin mempercayai siapa dia sebenarnya.

“...Penasihat, dengan hormat, apa sebenarnya maksud dari rencana ini?”

Salah satu pria berjas hitam bertanya dengan penuh kewaspadaan.

Wanita berjas putih itu mengutak-atik perangkat di tangannya, lalu menjawab lantang.

“Ah, itu bukan hal yang perlu kalian ketahui. Kalian sudah cukup berjasa sampai di sini, silakan beristirahat.”

Yuki melepaskan tombak kristal es nitrogen yang menembus baju zirah mereka.

“Hm, es tanpa reaksi pendinginan... Padahal kamu bisa mendinginkannya sampai nol mutlak, sayang sekali cara pakainya. Tapi menarik juga, kamu bisa menjaga nitrogen dalam bentuk padat pada suhu ini.”


“...U-Uh... Nozomi-sensei...?


Kanae ingin percaya bahwa semua ini hanyalah mimpi. 

“Tenanglah, percayalah pada dirimu sendiri. Penglihatan dan persepsimu bekerja dengan benar, Kanae. Aku adalah pengajar sains yang sangat kamu kenal, Yajima Nozomi. Dan aku juga menyandang jabatan sebagai penasihat di Lab Egenfried. Meski pada saat ini, aku bukan lagi seorang pengajar ataupun penasihat.” 

“Nozomi-sensei... Apa yang sebenarnya kamu bicarakan...?” 

“Sepertinya kamu belum benar-benar mengerti keadaan ini. Semuanya, sejak awal, sudah diatur. Setiap detailnya. Mau kujelaskan dari awal sampai akhir?” 

Lalu Nozomi mulai bercerita.

Dengan nada yang sama seperti hari-hari hangat di laboratorium lama, namun setiap kata-katanya menghancurkan semua yang pernah Kanae yakini. 

“Aku meneliti data masa lalumu, lalu lebih dulu menjadi guru sains di sekolah menengahmu, agar bisa mendapatkan kepercayaanmu. Semua itu demi meneliti struktur otakmu yang unik. Dan dari sana, aku menciptakan Original FT, replika dirimu. Setelah rampung, aku menyuruhmu pergi ke sektor penelitian, lalu dengan rekayasa yang sudah kurancang, kamu akhirnya bertemu dengan Yuki yang sengaja kubiarkan melarikan diri. ...Dengan sifatmu, aku yakin kamu akan membuat kontrak dengan sendirinya. Sebagai penasihat, aku diam-diam mendorong pasukan khusus Phonetic dari Asgard untuk mengawasi pertumbuhan Yuki. Tidak jadi soal kalaupun kamu terbunuh. Aku bisa melanjutkan risetku perlahan sampai selesai. Namun, siapa sangka Tujuh Bencana Besar yang lain juga ikut campur? Itu memang kejutan yang menyenangkan. Berkat mereka, kecepatan pertumbuhannya melesat jauh di luar dugaanku.” 

Kanae terperangah, pikirannya hancur berantakan, namun entah bagaimana dia justru menemukan kebenaran dalam kata-kata Nozomi.

Alasan dia begitu cepat ditemukan oleh orang-orang berpakaian hitam setelah melarikan diri tentu karena informasi dirinya telah dibocorkan... 

“...I-Itu bohong, kan? Itu bohong, kan...?”

“Aku hanya menyampaikan fakta. ...Hmm, sebenarnya aku bisa saja membunuhmu saat ini juga, tapi bagaimanapun aku pernah berhutang sedikit padamu. Jadi, biarkan aku memberitahumu sesuatu lagi. Kanae, kamu adalah anak haram dari Haitani Gien.” 

Otaknya tak sanggup lagi memproses semuanya. 

Nozomi mengangkat ponsel dan menggoyangkannya di depan Kanae.

“Ini bukan sekadar teka-teki ayam atau telur. Otakmu kebetulan mirip dengan FT, aplikasi pengendali Peri Fenomena... Tidak, justru sebaliknya. Yang pertama ada di dunia ini adalah dirimu, Kanae. Lalu struktur otakmu disalin dan diperkecil oleh Haitani Gien untuk diproduksi massal. Itulah jati diri aplikasi FT yang kini tersebar di seluruh dunia.” 

“Aku tidak punya ingatan tentang itu...!”

“Bagi Haitani Gien yang mengekstrak Strange Code dari struktur otakmu, mengubah sedikit ingatanmu bukanlah hal yang sulit. Lagipula, kamu bisa begitu paham tentang ilmu Peri Fenomena padahal tak pernah belajar secara formal, bukan? Itu wajar. Karena dirimu sendiri adalah jawabannya. Kamu sendiri adalah Strange Code itu.” 

Kalau begitu, sistem keamanan Hide Lab yang berhasil dia lewati, hingga dia disalahartikan sebagai Haitani Gien oleh Repulsion...


Identified.

Class: Administrator.


Segala sesuatu, kini semuanya masuk akal.


“Ah...”

Nozomi mengoperasikan perangkatnya.

Yuki, yang berada di samping Kanae, berjalan menuju Nozomi. 

“Keadaan compang-camping ini tidak pantas baginya. Agak memaksa memang, tapi mari ku-reset dia ke kondisi standar.” 

Satu sentuhan pada perangkat, dan sosok Yuki berubah total.

Tanpa tanda-tanda apa pun, semua luka di tubuhnya sembuh total, dan dia kini mengenakan gaun putih pendek.

...Namun rambut peraknya tetap terpotong pendek.

Nozomi tidak memperhatikannya sedikit pun.

Mungkin karena terlalu bersemangat.

Apa pun alasannya, Kanae tidak ingin mengerti lebih jauh. 

“...Sayang sekali, FT eksklusif milik Yuki masih membeku di Tokyo. Dalam kondisi itu, dia tak bisa digunakan. Akan sia-sia jika hanya berdiam diri dan membiarkan salah satu dari Tujuh Bencana Besar yang terkuat begitu saja. Karena itu, kini giliranmu, Kanae. Dari dirimu, sumber dari segala FT, aku akan menciptakan kembali replika Original FT. Sudah kubilang, kan? Ini bukanlah aplikasi penerjemah peri, melainkan aplikasi penerjemah milikmu sendiri. Dengan ini, aku bisa memperoleh kendali atas Peri Fenomena yang kamu kontrakkan. ...Dan ini dikhususkan hanya untuk penggunaan Peri Fenomena. Tanpa ada gangguan suara-suara sumbang. Dalam hal otoritas, aplikasi ini jauh melampaui milikmu. Artinya, Peri Fenomena yang secara murni membuat kontrak denganmu akan lebih mendengar perintahku daripada perintahmu sendiri.” 

Nozomi kembali mengoperasikan perangkatnya.

Bahkan Levy, yang berada di samping Kanae, kini berjalan ke arah Nozomi. 

“Luar biasa sekali. ...Bahkan Levy juga kamu lengkapi untukku.” 

“...Nozomi-sensei...?” 

“Levy adalah Peri Fenomena dari fungsi gelombang yang kuciptakan sekadar untuk mengisi waktu luang. Dia tidak hanya melihat dengan tajam, tapi benar-benar mengamati bagaimana materi ada di suatu tempat. ...Kupikir dia hanyalah sampah, jadi kubuang dia bersama chip FT-nya ke dalam toilet. Jadi ketika kamu membawanya padaku, aku benar-benar terkejut. Memang benar suatu pepatah, ada yang membuang, ada pula yang menemukan.” 

Kanae merasa dirinya hanyalah boneka di telapak tangan Nozomi.

Segala yang dia percayai tentang Nozomi hanyalah kebohongan.

Satu-satunya orang yang tidak pernah menertawakan dirinya, satu-satunya yang dia percayai.

Bahkan itu pun... 

“...Kenapa...? Bukannya Nozomi-sensei, selalu memperlakukanku dengan baik...?” 

“Aku memang memperlakukanmu dengan baik, Kanae. Selalu. Hingga saat ini, dan seterusnya, aku akan tetap menjagamu dengan baik.” 

Nozomi mengelus perangkat yang kini menyimpan Original FT.

“Yang kucintai adalah keunikanmu, Kanae, karena hanya dirimu yang bisa mendengar suara Strange Code. Dan kini, aku pun memilikinya di tanganku. Dunia ini tidak membutuhkan dua orang Kanae. Jadi, sudah cukup.” 

Yuki yang kosong tanpa jiwa mengangkat tangan kanannya, bersiap melepaskan tombak es yang mematikan ke arah Kanae.


“Mengaktifkan Imperial Order, Apple Eater.

“Selamat tinggal.”


Kasane selesai melafalkan proses aktivasi dengan suara lirih, lalu Wormhole dengan struktur lompatan dimensi muncul.

Dan dia memindahkan mereka ke suatu tempat lain melalui Perpindahan Ruang. 

Kanae melewati kegelapan pekat, tak bisa mengenali apa pun.

Saat tersadar, dia sudah berada di dalam sebuah ruangan. 

“Ini adalah markas kami. ...Tuanku, Tatsumi, masih hidup. Jadi aku memprioritaskan perlindungan hidupnya, dengan alasan membela diri, aku menggunakan kemampuanku.” 

Kanae, yang masih terpaku, tak mendengarkan kata-kata Kasane sedikit pun. 

“...Kurasa aku sempat bermimpi indah. Tentang masa depan di mana Tujuh Bencana Besar tidak saling membunuh, melainkan bisa hidup berdampingan... Walau kuanggap kata-katamu waktu itu konyol, Kanae, tapi entah bagaimana, di lubuk hatiku, aku sempat menginginkan hal itu. Tapi mimpi seperti itu, berakhir di sini.” 

“...Ber...akhir...?” 

“Sudahlah, menyerah saja. Pada akhirnya, Tujuh Bencana Besar memang hanya bisa saling membunuh.” 

“Kalau begitu, Yuki dan Levy, apa yang akan terjadi pada mereka...?” 

“Apa ini...? Massa sebesar ini...? Dari langit, mereka mengarah ke sini...” 

Kasane meraih tangan Kanae dan Tatsumi, lalu menoleh ke arah jendela.

Selama titik tujuan transfer berada dalam jangkauan penglihatan, Kasane bisa melewati proses aktivasi.


 “Ambang batas tercapai.”


Kasane melafalkan kata-kata itu, lalu melakukan Perpindahan Ruang menuju ketinggian udara yang amat jauh di atas sana.

Apa yang terlihat oleh Kanae dan yang lain dari angkasa tinggi itu adalah momen kehancuran yang mutlak. 

Sebuah benda bermassa raksasa jatuh menimpa hutan, tepat di tempat markas persembunyian tempat Kanae berada sebelumnya.

Guncangan dan dentuman dahsyatnya menjalar hingga ke udara, meski mereka berada berkilometer jauhnya dari permukaan. Pepohonan dan lapisan tanah terhempas, beterbangan menjadi pecahan yang melesat ke langit. 

“Bongkahan es raksasa... Ini Hokkaido! Tahu tidak, seberapa jauh jaraknya dari Kobe...!”

Kasane, sambil melayang di udara, mengaktifkan Apple Eater, lalu melakukan lagi Perpindahan Ruang ke suatu tempat yang berbeda. 


Berikutnya, Kanae dan yang lain sudah berada di dalam sebuah ruangan.

Sebuah kamar perempuan yang didominasi warna biru muda, penuh boneka yang berserakan.

Kasane menekan tombol merah yang terpasang di dinding, lalu berkata pada Kanae, “Cepat, sembunyi di bawah ranjang.” 

Seorang wanita berkulit cokelat dengan wajah tegas, mengenakan setelan jas, masuk ke dalam kamar. Kasane berkomunikasi dengannya melalui tulisan tangan.

...Ah, benar. Kalau dia berbicara pun, mereka tidak akan mengerti...

Kanae melamun. 

Tak lama kemudian, orang-orang berseragam perawat datang dan membawa Tatsumi yang masih tak sadarkan diri entah ke mana. 

“...Mereka semua orang asing? Jadi di mana ini? Dan kenapa tidak ada satu pun yang kaget dengan keberadaanmu...?” 

“Ini kantor cabang Interpol di Brasil. Kami mengawasi negara anggota tetap dan Asgard yang mencoba menguasai Jepang serta memonopoli teknologi terkait Peri Fenomena. Tatsumi dan aku adalah agen di sini. Sejak awal, misi kami sebenarnya ditugaskan di Kobe.” 

“...Kurasa aku sedikit mengerti...”

Ternyata Kasane dan Tatsumi bukanlah kaki tangan Asgard.

Sebaliknya, justru berlawanan.

Namun karena waktu pertemuan yang buruk, Kanae dan yang lain salah paham.

Itulah sebenarnya yang terjadi. 


...Namun, lebih dari semua itu,

“Kita harus segera menolong mereka...!” 

“Tidak mungkin lagi. Kita tidak bisa kembali ke Kobe. Dan Kanae, sebaiknya kamu tetap di sini sampai keadaan mereda. ...Bongkahan es tadi, itu adalah senjata bernama Mass Driver. Dari Bumi, benda-benda diluncurkan keluar atmosfer, lalu memanfaatkan energi jatuhnya untuk menciptakan daya hancur besar. Tapi dengan prinsip kerjanya, Mass Driver tidak bisa mencapai Brasil, yang berada tepat di sisi berlawanan Jepang.” 

Di luar kamar, orang-orang berlalu-lalang dengan tergesa, suara hiruk pikuk bahasa asing bergema. 

“Yang meluncurkan bongkahan es itu...pasti Yuki. Tapi koordinat presisinya berasal dari pengamatan Levy. Lalu, meskipun masuk kembali melewati atmosfer, es itu tidak terbakar. Artinya, panasnya dihapus oleh kemampuan. Dan es Yuki mampu meniadakan apa pun yang tak terlihat. Bukan hanya gravitasi, tapi juga elektron, bahkan foton cahaya.” 

Kasane menghela napas.

Seakan-akan telah menyerah pada segalanya. 

“Entah disengaja atau tidak, benda terbang berkecepatan tinggi yang tidak bisa dideteksi oleh panas, logam, gelombang radio, ataupun cahaya, tidak ada satu pun senjata di dunia ini yang dapat mencegatnya.” 

“Apa...maksudmu... Itu berarti bongkahan esnya bisa dijatuhkan ke mana saja...?”

“...Tepat sekali. Di hadapan Yuki, bahkan Gedung Putih atau Pentagon bisa runtuh hanya dengan satu jentikan jari. Semua pusat pemerintahan bisa dilumpuhkan begitu saja. Dengan kata lain, kalau perempuan bernama Nozomi itu menginginkannya, dunia ini akan berakhir.” 

“...”

Kanae tetap belum sepenuhnya mengerti.

Kata kerusakan dunia yang terdengar samar tak memberinya rasa nyata.

Namun barulah kini Kanae mengerti.

Bahwa Tujuh Bencana Besar adalah eksistensi yang mampu mengakhiri dunia. 

Dan meski demikian, tekad Kanae tidak berubah. 

“Aku ingin menyelamatkan Yuki dan Levy...! ...Dan aku juga ingin mengatakan sesuatu pada Nozomi-sensei, meski hanya satu kata...!” 

“Itu mustahil! ...Yuki dan Levy, yang sudah membuat kontrak denganmu, mereka direbut darimu. Aku pun tidak bisa menggunakan kemampuanku karena tuanku Tatsumi tak sadarkan diri. Situasi ini benar-benar buntu! Aku dan kamu, Kanae, hanya bisa diam dan bertahan sampai semua ini selesai...”

“...Masih ada cara.” 

“Cara apa?” 

“Ada satu cara, yang bisa kulakukan...” 

Kanae, hanya untuk saat ini, membuang jauh-jauh rasa kagum dan hormatnya pada Nozomi.

Dia mengukir tekad bertarung di wajahnya.

Karena bila dia tidak berjuang di sini, dia tahu rasa penyesalan akan menghantuinya selamanya. 

“Kita berdua sama-sama kehilangan separuh diri kita. Tapi justru karena itu... Kita masih bisa melakukan sesuatu.” 

“Bisa apa kita? Kamu tanpa tuanmu, aku tanpa Peri Fenomena-ku. Karena itu, hanya untuk saat ini, buatlah kontrak denganku.” 

Kasane melongo, terperangah. Namun detik berikutnya dia menghamburkan kata-kata pada Kanae. 

“Nozomi sendiri bilang, dia bisa merebut Peri Fenomena yang sudah berkontrak denganmu!” 

“Itu hanya berlaku pada kontrak murni. Kamu sudah berkontrak dengan Tatsumi. Jika di atas itu kamu membuat kontrak denganku, programnya akan tumpang tindih, dan kendalimu tidak akan bisa direbut. Aku tidak bisa menjaminnya... Tapi otakku, FT ini, menilai demikian.” 

“Jadi bukan hanya kamu, aku pun akan menjadi kontraktor ganda... Rasanya seperti ditipu penjual nakal. Baiklah. Tapi hanya sekali ini saja, hubungan kita berakhir di sini. Aku pun tidak ingin dunia berakhir. Dan aku juga tak sanggup lagi meninggalkan Levy dan Yuki begitu saja...” 

Kasane mengacak-acak rambutnya dengan kasar sambil bertanya.

“Jadi, apa yang harus kulakukan untuk membuat kontrak denganmu?” 

“Kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku. Katakan padaku, dari mulutmu sendiri, nama gadis yang akan membuat kontrak denganku.” 

Mata hitam Kasane berkedip-kedip. 

“...Gadis... Aku...?”

“Apa aku bilang hal yang aneh?” 

“Bukan apa-apa! Kamu hanya ingin jawabanku, kan? Kasane. Namaku Kasane.” 

Kata-kata Kasane terpatri di benak Kanae.

Dan tubuh Kasane pun mulai berubah. 

Seragam modifikasinya larut menjadi kabut dan lenyap, digantikan gaun fril berwarna merah darah.

Gaun berhias ala remaja putri, sama seperti yang dikenakan Repulsion dalam rekaman lama.

Warna rambutnya pun berubah.

Rambut panjang lurus hitam Kasane kini tersapu menjadi warna jingga kemerahan. 

“Ini adalah kondisi standarku. Jangan menatap terus... Bikin malu.” 

Mata yang menatap balik ke arah Kanae, hanya sebelah yang berubah.

Mata kirinya tetap hitam, sementara mata kanannya berkilau bagai batu ruby.

Di dalam bola mata merah bundar itu terbentang pola menyerupai lautan dan daratan, laksana Bumi yang dilihat dari angkasa. 

“Oh, ini? Pola di mata kananku ini disebut Luna Maria, Lautan Bulan.” 

“Kalau begitu, mata kirimu...?”

“Sudah hilang. Sebelum aku menjadi Kasane lewat kontrak dengan Tatsumi, saat aku masih bernama Laurus, aku ditawan Asgard. ...Ya, banyak hal yang terjadi. Karena terlalu lama hidup seperti itu, mata kiriku akhirnya menjadi kondisi standar ini.” 

Kanae pun akhirnya mengerti perasaan Kasane kemarin, saat dia menguburkan Peri Fenomena lapisan pertama. 

“Kenapa melamun begitu? Sekarang bukan waktunya untuk bersedih, Kanae. Kita harus segera menyelamatkan Yuki dan Levy! Sebelum hal-hal berharga kita direbut, dan kita terpaksa terbiasa kehilangan mereka.”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close