NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Yosei no Batsurigaku―PHysics PHenomenon PHantom―[LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 2

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 2

“Luluh dan Mekarnya Perasaan ── Frailly Fragment ──”


Bagian 1

Di pinggiran distrik hunian lantai 202.

Kanae dan Yuki terengah-engah, bersandar pada pagar pengaman.

Satu-satunya yang masih terlihat bersemangat hanyalah Levy, yang mengapung di sisi Kanae.

Biasanya, dia dengan santainya akan duduk di pundak Kanae, tetapi kali ini, karena Kanae sudah terlalu lelah, dia tak bisa lagi manja kepadanya. 

Gaun putih pendek yang dikenakan Yuki, mirip dengan busana pengantin Eropa, telah menyerap darah yang mengalir deras di sisi kirinya.

Lukanya memang sudah dibekukan untuk menghentikan pendarahan, namun pakaian yang berlumuran darah itu, sosok dirinya, dan terlebih lagi mata yang memantulkan kilau kristal biru layaknya serpihan salju, sesuatu yang tak mungkin dimiliki manusia, membuat penampilannya sangat mencolok.

Siapa pun yang melihatnya pasti akan terkesan. 

...Untuk bisa menyembunyikan Yuki di rumah, penampilan Yuki saat ini sama sekali tak boleh terlihat orang lain. 

“Yuki! Sudah bisa, kan? Tele apa namanya, yang menghentikan waktu itu!”

“Masih bisa, hanya sekali lagi.”

“Sekali lagi, ya!?”

“Tuan Kanae! Ada orang biasa yang mendekat ke sini! Tolong tunggu sebentar!” 

Levy menjulur ke luar pagar dan mengintip ke bawah.

Dengan kedua mata yang seolah menyimpan taburan bintang, dia menangkap visi keseluruhan jaringan tiang penghubung yang menjalar tak beraturan di luar kota. 

“Tiang penghubung yang menuju ke lantai 197 ada di sana!”

“Bagus, aku mengerti! Itu berarti tiang terakhir. Kuserahkan padamu, Yuki!” 

Kanae menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya. Pada saat yang sama, suara Yuki bergema langsung di dalam kepalanya.


Mengisi ulang Aether di lingkup orbit Bumi.

Membangun jalur komunikasi dengan seluruh Peri Fenomena.

Mengaktifkan Imperial Order, Telestial Globe.

Maaf memintamu untuk berulang kali, harap diam di tempat.


Pada saat itu, seluruh Peri Fenomena yang ada di orbit Bumi berhenti berfungsi. 

Ayo kita berangkat! 

Di dalam ruang di mana waktu terhenti, Kanae, Yuki, dan Levy mulai bergerak.

Levy menandai tiang penghubung yang tepat, lalu Yuki menghentikan waktu. Selama Kanae masih mampu menahan napasnya, mereka akan meluncur turun dari tiang penghubung satu demi satu.

Itulah satu-satunya cara melarikan diri tanpa memperlihatkan Yuki kepada siapa pun, sekaligus rute pelarian tercepat yang bisa dipikirkan. 

Kanae mengangkat Yuki yang tak bisa menggunakan lengan kirinya ke punggung, lalu menyandarkan tubuhnya pada pagar, meraih tiang penghubung yang tepat. 

Setelah berkontrak dengan Yuki, Kanae memperoleh kemampuan untuk bergerak di ruang yang waktunya terhenti hasil dari Telestial Globe.

Entah bagaimana, efek itu juga menjalar pada Levy, yang sejak awal sudah terikat kontrak dengan Kanae.

Mekanisme ini tercipta berkat sebuah program filter pengecualian, yang memilih mana Peri Fenomena yang harus dihentikan fungsinya.

Dengan membuat filter itu otomatis mengikuti koordinat ruang Kanae dan yang lain, mereka bisa bertindak di ruang statis seolah berada di ruang normal. 

Bahkan foton pun termasuk dalam objek filter itu, karena itulah, meskipun waktu terhenti, mereka masih bisa melihat pemandangan sekitar.

Namun, ada satu kelemahan fatal pada filter itu.

Mereka tidak bisa bernapas selama waktu berhenti. 

Maaf, Kanae. Kanya kamu yang harus menahan rasa sesak ini...

Sudah, jangan dipikirkan. Memang tidak bisa dihindari. 

Berbeda dengan manusia yang membutuhkan makanan bergizi seimbang, Peri Fenomena hanya bisa mengambil nutrisi dari benda manis yang mengandung gula.

Mereka pun pada dasarnya adalah makhluk yang tidak memerlukan pernapasan untuk bertahan hidup. 


Kanae mengangkat kakinya dari tanah dan mulai meluncur turun.

Yuki terasa sangat ringan, hampir menakutkan, namun tetap saja berat gabungan dua orang memberi beban yang besar.

Menggunakan seragam yang seratnya hampir terbakar habis sebagai pengganti sarung tangan, dia menjepit tiang penghubung dengan sepatu karet tebal untuk mengurangi kecepatan jatuh.

Panas akibat gesekan seolah membakar kulit, membuatnya ingin segera melepaskan pegangannya. Tetapi produk sehari-hari buatan Asgard yang kokoh tak akan rusak begitu saja. 

Untungnya, Kanae tidak merasa takut pada permainan tiang luncur ini.

Sebab, dia telah belajar dengan tubuhnya sendiri bagaimana cara meluncur dengan benar.

Berkat sesi latihan neraka pagi tadi...

Dalam hidup, kita tak pernah tahu apa yang akan berguna ya... 

Setelah sekitar sepuluh detik meluncur, mereka berhasil menuruni empat lantai, mencapai tujuan mereka, lantai 197. 

Yuki! Buatkan pijakan es!

Baik...!

Bahkan di ruang yang waktunya berhenti, Yuki mampu mengendalikan fenomena fisika sesuka hati.

Karena dirinya sendiri adalah Peri Fenomena, fenomena fisika yang dia ciptakan pun dianggap sebagai bagian darinya, sehingga filter pengecualian juga berlaku padanya.


Di ruang waktu yang berhenti, Kanae menahan tiang penghubung dengan tangan dan kakinya, memperlambat laju jatuh.

Tepat di bawah mereka, terbentang jaring laba-laba dari kaca, sebuah anyaman es.

Jaring es itu melayang di udara tanpa penopang apa pun. 

Menciptakan es dengan struktur kompleks lalu sekaligus menancapkannya pada ruang kosong, ini adalah sesuatu yang tak mungkin dilakukan Yuki sebelumnya, ketika dia belum mampu mengendalikan kemampuannya.


Kanae dan Yuki pun terjatuh di atas jaring itu.

Es itu dingin, namun tak menyakitkan. Kanae jatuh dalam posisi menjadi alas Yuki, sehingga benturannya memaksa keluar oksigen berharga dari paru-parunya.

Tanpa disangka, batas waktu mulai mendekat. 

Menepuk pipinya sendiri untuk mengembalikan ketenangan, Kanae menatap ke bawah ke arah distrik hunian.

Jaring es itu berada pada ketinggian 30 meter dari permukaan lantai 197.

Karena ada batasan tinggi bangunan yang ditentukan oleh langit-langit, pandangan mereka terbuka luas tanpa halangan. 

Orang-orang dan bangunan-bangunan tampak seolah miniatur kota yang terbeku.

Ketika dia memfokuskan pandangan, tepat di sepanjang jalan lurus di bawahnya, dia melihat sebuah rumah beratap merah satu lantai yang begitu dikenalnya. 

Bagus sekali, Levy! 

Kanae tidak asal meluncur turun.

Dari sekian banyak tiang penghubung yang menjalar, dia memilih jalur yang menuntunnya ke arah barat laut 345 derajat, seperti mengikuti garis undian omikuji.

Pagi tadi, dia berlari lurus dari rumah ke sini.

Jadi, arah sebaliknya pun jelas bisa dilakukan...

Lalu, apa yang akan kita lakukan dari sini?

Dari sini kita langsung pulang.

Eh!? Tuan Kanae, maksudnya...?

Kita sudah tak bisa menghentikan waktu lagi, dan aku juga hampir tak kuat bernapas. Tapi kalau kita tidak sampai rumah sebelum waktu berjalan kembali, semuanya tamat. Jadi, kita akan pakai seluncuran! Yuki! Buatkan es persis seperti yang kubayangkan! 

Kanae membayangkannya.

Menggunakan perbedaan ketinggian 30 meter ini, dia merancang jalur lurus sepanjang 800 meter menuju rumahnya, sebuah seluncuran es yang melayang di udara. 

Mendengar rancangan absurd yang tergambar dalam benak Kanae, Yuki bergumam dengan ragu.

...Kanae... Hal seperti ini, aku tidak mungkin bisa...!

Kamu sudah bisa mengendalikan kemampuanmu sejak kita berkontrak. Jadi pasti bisa. 

Kristal biru salju di mata Yuki bergetar ragu.

Namun, ketika Kanae tersenyum lembut padanya, Yuki pun menutup mata, menempelkan kedua telapak tangannya ke pijakan, seakan telah mengambil keputusan.


Dengan kecepatan seakan berlari menembus angin, es kebiruan menjulur dari bawah kaki Kanae.

Es itu tidak pecah di tengah jalan, melainkan menembus lurus menuju tujuan.

Selesai...!

Dalam hitungan detik, sebuah perosotan es yang terhubung lurus dari luar kota hingga ke rumah Kanae yang terletak agak miring ke bawah pun terbentuk.

Bentuk setengah lingkaran dengan permukaan yang dalam terukir itu sempurna sebagai sebuah perosotan.

Kalau dipikir-pikir, ini lebih mirip roller coaster...

Maafkan aku. Aku sudah tak bisa bergerak lagi...

Yuki, kamu sudah berusaha keras. Kamu tak perlu bergerak lagi.

Mengatakan itu, Kanae mengulurkan tangan ke bahu dan paha Yuki, lalu dengan mudah mengangkatnya dari depan.

Aaah! Tidak adil, hanya Yuki saja yang digendong seperti putri!

Bukan saatnya ngomong gitu! Ayo, Levy, kamu juga ke sini!

Kanae meraih Levy, lalu merangkulnya bersama Yuki di tangan kanannya. Dia mundur menjauh dengan menapak balik jaring es.

Detik berikutnya, dia berlari sekuat tenaga dan meluncur dengan pantat lebih dulu ke jalur es itu.

Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!

Dengan kecepatan sebanding roller coaster, Kanae dan yang lain meluncur miring di atas udara kota.

Permukaan es dengan koefisien gesek nyaris nol mempercepat laju mereka secara berlipat ganda.

Waaah! Pemandangannya indah sekali!

Jadi ini kota yang terlihat dari atas... Semua orang masih hidup...

Kalian masih bisa tenang!? Rasanya jantungku mau berhenti sebelum sempat bernapas lagi!!

Kecepatan maksimum mereka bahkan melampaui enam puluh kilometer per jam.

Hanya butuh empat puluh lima detik untuk menuntaskan perosotan itu.

Napas Kanae hanya pas-pasan untuk bertahan.

Keberuntungan berpihak karena rumahnya kebetulan berada di tepi kota.

Namun, ada satu masalah...

Tuan Kanae, ini bagaimana cara berhentinya!?

Maaf! Aku akan melakukan sesuatu yang agak kasar!

Terlalu mendadak maafnya!

Kanae, kamu mau apa...?

Buatlah banyak “dinding es tipis” di ujung perosotan! Aku akan menginjaknya satu per satu untuk memperlambat laju kita!

Yuki menggertakkan gigi, menatap lurus ke depan, lalu mengulurkan tangan kanannya.

Beberapa lapis es tipis berbentuk persegi terbentuk di jalur yang mereka lewati.

Kanae menggenggam erat tangan kanan Yuki yang bergetar.

Kekuatan Yuki sudah mencapai batasnya setelah menciptakan banyak es, perosotan raksasa, juga penggunaan beruntun Telestial Globe untuk menghentikan waktu.


...Padahal dia sudah bersumpah akan menyelamatkan Yuki, tapi bahkan sekarang dia hanya bisa memaksa Yuki menanggung beban.

Tanpa Levy, mereka tak akan sampai sejauh ini.

Karena itu, satu-satunya hal yang bisa dilakukan Kanae yang tak berdaya adalah melindungi mereka tanpa ragu.

Namun, yang bisa dia lakukan hanyalah mempertaruhkan tubuhnya untuk mereka.


Kanae meringkuk sambil melebarkan tangan, menutupi Yuki dan Levy.

Tubuhnya terguncang hebat saat kakinya menembus dinding es, rasa kebas menjalar akibat benturan.

Pecahan es yang terpental menggores pipi, tangan, dan kakinya.

Kesadarannya mulai kabur akibat kekurangan oksigen.

Dia ingin sekali melepaskan penghentian waktu dan segera bernapas.

Namun laju seluncur mereka perlahan benar-benar mulai melambat.

Sambil meluncur, Kanae memutar tubuhnya dengan terampil, menukar posisinya dengan Yuki.

Kini punggungnya yang menghadap arah laju.


Perosotan es itu berakhir tepat di depan rumahnya, dan mereka bertiga terlempar ke arah pintu masuk.

Meski sudah menghancurkan lapisan es, sisa kecepatan yang tersisa masih cukup untuk membanting Kanae keras-keras ke pintu.

...Kalian baik-baik saja...? Tidak ada yang terluka...?

Aku baik-baik saja...tapi Kanae, kamu jelas tidak baik-baik saja...

Tuan Kanae justru yang dalam masalah!

Kanae yang tubuhnya lemas di ambang pintu membuat Yuki dan Levy menatapnya dengan wajah hampir menangis.

Menahan sakit, Kanae mengangkat wajah. Setelah memastikan keduanya selamat, dia memaksakan senyum lemah.

Wajahnya yang semula memerah kini pucat pasi akibat kekurangan oksigen.

Kayaknya kalian baik-baik saja... Yuki, ini tugas terakhir. Hapus semua es itu.

Yuki menatap tajam ke langit, ke arah objek-objek es yang terbentuk, lalu dengan tekad kuat, dia memecah komposisi partikel es itu menggunakan manipulasi gerak molekul. Semua es yang telah diciptakannya pun buyar seakan meleleh, lenyap ke udara dan kembali menjadi bagian dari atmosfer.


Es yang Yuki kendalikan sejatinya adalah kristal nitrogen padat.

Nitrogen, yang membentuk tujuh puluh delapan persen atmosfer, dia transmutasikan dari gas menjadi padat melalui manipulasi gerak molekul.

Baik penguncian, penembakan, atau sekadar penentuan koordinat sederhana, semua dapat dikendalikannya lewat manipulasi molekul.

Dan kenyataan bahwa Kanae dan yang lain bisa bersentuhan langsung dengan kristal nitrogen beku bersuhu -210 derajat, itu karena “dingin” di permukaan kristal telah ditekan masuk ke dalam.

Kalor buangan yang seharusnya tercipta dari proses pendinginan pun tidak muncul karena kemampuan Yuki.

Dia hanya mengendalikan molekul berkecepatan rendah tanpa menyentuh molekul berkecepatan tinggi.

Sebagai Peri Fenomena, Yuki adalah eksistensi yang melampaui bahkan hasil eksperimen pemikiran dari hukum kedua termodinamika, sosok khayali yang disebut Maxwell’s Demon, mesin gerak abadi.


Jaring es yang terbentang di tiang penghubung, perosotan sepanjang delapan ratus meter yang menggantung di udara, semuanya terlepas hingga ke partikel pembentuknya melalui manipulasi molekul Yuki.

Kristal nitrogen yang ikatannya terurai kembali berubah dari padatan menjadi gas, melebur dalam udara dan menghilang.

Pada saat yang sama, efek Telestial Globe pun berakhir, dan waktu yang berhenti kembali bergerak.

“Haa...haa...haa...haa...”

Bersandar di pintu masuk, tubuh Kanae tak henti-hentinya menuntut napas.

Dia jatuh dalam keadaan hiperventilasi sementara.

Air mata tergenang di matanya, dan air liur menetes dari ujung bibirnya.

Meski begitu, dia tetap harus mengatakan sesuatu.

“...Aku pulang...”


* * *


Pakaian Kanae dan yang lain sudah compang-camping.

Terutama gaun pendek putih murni milik Yuki yang ternoda darah, juga seragam Kanae, sebaiknya segera diganti lebih dulu.

Namun, Kanae tidak punya kelonggaran untuk itu. 

“Aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Yuki. Jadi ada banyak hal yang ingin kutanyakan...”

Di ruang tamu yang tertutup rapat, Kanae dan Yuki duduk berhadapan di seberang meja kecil untuk dua orang.

Di atas meja ada teko bening, dua cangkir, serta cangkir mungil untuk rumah boneka yang biasa dipakai Levy.

Semua itu berisi cairan berwarna ungu. 

“Ini apa…?”

“Teh herbal lavender! Rasanya enak sekaligus punya efek pereda nyeri.”

“Levy khawatir soal lengan kirimu itu.” 

Bagian lengan atas kiri Yuki dibalut perban yang merembes darah.

Mereka tidak bisa membawanya ke rumah sakit.

Untungnya, dalam kondisi terikat kontrak, kemampuan pemulihan luka milik Peri Fenomena sangatlah cepat. 

“Aku bukan cuma khawatir, aku marah. Jangan pernah lakukan itu lagi.”

“Kanae, Levy, maaf...”

“Kamu salah orang untuk dimintai maaf. Kamu seharusnya minta maaf pada dirimu sendiri yang sudah kamu sakiti. Hanya karena tidak ingin menyakiti siapa pun, bukan berarti boleh membiarkan dirimu terluka sebanyak apa pun. Jangan lakukan lagi...”

“...Iya... Aku minta maaf.”

Yuki menunduk, meminta maaf pada dirinya sendiri yang terpantul di dalam cangkir.

Lalu dia menyentuhkan bibir pada teh herbal itu.

Mata membulat karena hangatnya, namun dia hanya sedikit memiringkan cangkir dan menyesap perlahan. 

“...Jadi, pertanyaanku, kenapa Yuki bisa menghentikan waktu?” 

Saat mereka melarikan diri tadi, tidak ada kesempatan untuk berpikir. Namun jelas ada yang aneh.

Keberadaan Yuki melampaui batas-batas Peri Fenomena. 

“Kemampuan mengendalikan es dengan manipulasi gerak molekul, dan penghentian waktu dengan Telestial Globe itu berbeda. Yang pertama adalah fenomena fisik sebagai Peri Fenomena. Yang kedua adalah otoritas untuk mengintervensi Peri Fenomena lain.” 

“...Otoritas untuk mengintervensi? Maksudmu Peri Fenomena bisa memberi perintah pada Peri Fenomena lain?”

“Betul sekali. Melalui Aether yang tersebar di orbit Bumi, aku bisa mengintervensi Peri Fenomena. Perintah khusus yang dipancarkan lewat itu disebut Imperial Order.” 

“Apa itu Aether?”

“Sebuah media... Sebuah wilayah yang dipenuhi fluida tak kasat mata, yang menyampaikan informasi yang dimasukkan sebagai riak, hingga jauh ke seberang.”

“Bisa nggak kamu jelasin pakai bahasa Jepang yang lebih gampang?”

“Aku maupun Levy, tidak bisa bicara bahasa Jepang...”

“Oh iya, kalian memang tidak bicara bahasa Jepang. Aku yang hanya kebetulan bisa mengurai Strange Code. ...Jadi maksudmu, kayak melempar batu ke permukaan air dan riaknya menyebar begitu?” 

“Imperial Order itu apa, ya?”

“Kedengarannya sangat angkuh. ...Perintah dari orang yang berkuasa?” 

Dengan wajah mengernyit, Kanae mencoba menyusun informasi dari Yuki di kepalanya.

Peri Fenomena yang bisa mengintervensi Peri Fenomena.

Itu belum pernah dia dengar. Tapi wajar saja, bahkan setelah sepuluh tahun sejak kelahirannya, penelitian tentang Peri Fenomena sama sekali belum berkembang.

Semuanya masih tak tersentuh dan penuh misteri. Maka, hanya karena Kanae tidak tahu, bukan berarti cerita itu salah. 

“...Jadi intinya, Yuki, kamu ini seseorang yang sangat luar biasa? Di antara para Peri Fenomena, kamu ini istimewa. Dan karena kemampuan hebatmu yang menghentikan waktu itu, kelompok berpakaian hitam mengejarmu?” 

Kalau begitu, mereka pun seharusnya sudah tahu kalau Kanae dan Yuki berhasil kabur dengan menghentikan waktu. 

“...Mereka tidak tahu tentang otoritas khusus Imperial Order milikku. Bahkan aku sendiri baru tahu hari ini, setelah darurat memicunya, barulah aku tahu isinya...”

“Kalau begitu, syukurlah... Tunggu, sebentar.” 

Rasa lega Kanae sekejap buyar. Potongan kata yang diucapkan Yuki menyatu di kepalanya, membuat pusing. 

“Kalau kelompok berbaju hitam itu tidak tahu tentang kekuatan menghentikan waktu, berarti masih ada alasan lain kenapa kamu diburu?”

“...”

“Laboratorium Egenfried yang kamu coba kabur darinya itu fasilitas yang langsung di bawah Asgard. Kota Kobe ini juga buatan Asgard. Jadi, apa Asgard-lah yang mengejarmu? Tadi si bajingan di saluran pembuangan nyebut Haitani Gien dan Tujuh Bencana Besar, kan? Apa hubungannya semua itu denganmu? Berapa banyak alasan yang mereka punya untuk mengejarmu? Apa ada banyak musuh berbahaya lain, yang sama kejamnya, yang tidak ragu membunuh orang?” 

“Tuan Kanae! Tenanglah!” 

Kanae berdiri tanpa sadar, tapi Levy yang melayang cepat-cepat menahannya.

Dengan kedua tangan terbuka lebar, wajah Levy memancarkan kesedihan. 

“...Yuki ketakutan. Tuan Kanae tidak biasanya sekeras ini...” 

Karena kepala tertunduk, rambut peraknya yang berkilau menutupi mata Yuki.

Tubuhnya bergetar halus. 

“Ah... Maaf...”

Kanae kembali duduk, menyesap teh lavender.

Sama seperti Yuki, dia pun menunduk, menghindari tatapannya.

Teguran Levy membuatnya sadar betapa memalukan amukannya barusan.

Dia benar-benar kehilangan kendali. 

“Um...jadi... Maksudku itu...”

Kanae mencoba merangkai kata untuk menutupi kebodohannya, tapi tidak ada kelanjutannya.

Bahkan meski Yuki jarang bicara, nasibnya sejauh ini bisa sedikit ditebak.

Dia pasti sudah disakiti orang lain, berkali-kali, lebih dari yang bisa ditanggung siapa pun. 

...Lalu untuk apa Kanae ikut-ikutan menyakitinya?

Bukannya dia seharusnya menjadi sekutu Yuki, yang hanya pernah mengenal musuh? 

“Tuan Kanae ingin tahu lebih banyak tentang Yuki. Aku juga ingin tahu. Tapi pastilah itu hanya berisi hal-hal yang menyakitkan dan menyedihkan. Jadi tidak apa-apa kalau tidak sekarang. Setelah tenang, kapan-kapan ceritakan pada kami. ...Karena Yuki akan selalu bersama kami mulai sekarang... Benar kan? Tuan Kanae.”

“Iya, kamu benar... Terima kasih, Levy.” 

Namun pada kata-kata Levy, “akan selalu bersama,” Kanae tidak bisa mengiyakannya dengan penuh keyakinan. 

Percakapan pun terputus.

Dalam keheningan, kepala Kanae hanya dipenuhi pikiran buruk.

Pertanyaan-pertanyaan yang dia lontarkan barusan kini berputar-putar di benaknya. 

Asgard. Haitani Gien. Tujuh Bencana Besar. Alasan-alasan Yuki diburu. Musuh-musuh yang mengejarnya. 

Setiap kata itu menunjuk pada sesuatu yang mustahil dihadapi seorang diri. 

Awalnya, Kanae hanya berniat menyembunyikan Peri Fenomena sebesar Levy.

Di depan Yuki dia mencoba tampil percaya diri, tapi sebenarnya tidak ada jaminan mereka bisa tetap hidup di Kobe. 

Apa yang harus dia lakukan? Itulah yang membebani pikirannya. 

Setidaknya dia ingin mengusir suasana muram ini. Dan tepat saat itu.

Gruuukkk. 

Kanae menoleh pada sumber suara, dan mendapati Yuki yang masih menunduk, memegangi perutnya.


* * *


“Tuan Kanae, tidak ada yang manis sama sekali! Kuenya juga sudah dimakan tadi pagi, itu yang terakhir!”

“Serius...? Memang selama ini aku cuma mikir cukup ada bagian untukmu saja, Levy...”

Tidak ada makanan yang bisa disediakan untuk Yuki, Peri Fenomena berukuran manusia seperti salju itu. 

“Kanae, di depan rumah ada tebu tumbuh.”

“Jelas nggak boleh, lah!”

Kanae merasa waswas jika harus meninggalkan Yuki untuk pergi berbelanja.

Namun, dia juga tidak mungkin meminta Levy untuk belanja. 

“Gimana kalo pesan antar?”’

Dia membuka ponselnya, mencari toko kue di lantai 197, lalu menelpon satu per satu. 

“Sudah habis terjual sebelum siang.”

“Kami lagi kekurangan pegawai, jadi nggak bisa terima pesanan antar.”

“Chef sama pemiliknya lagi bertengkar, jadi nggak sempat urus itu.”

“Kami berhenti jadi toko kue dan buka ramen. Mau coba semangkuk?”

“Nomor yang Anda tuju sudah tidak digunakan.”

“Sial!”

Kanae melemparkan ponselnya ke atas ranjang.

Sepertinya sudah buntu jalannya. 

Mungkin karena tidak tega melihat Yuki mengusap perutnya dengan tatapan kosong, Levy pun mengajukan satu usulan. 

“Bagaimana kalau kita ajak Yuki, pergi makan bersama?”

“Maaf, tapi, yang itu agak berlebihan...”

Kanae memang tidak berniat mengurung Yuki di rumah selamanya.

Dia juga berencana mengajaknya keluar suatu saat nanti. Namun, bahkan dirinya yang cenderung optimis pun merasa, hari ini bukan waktu yang tepat. 

“Tidak apa-apa kok! Di saluran air bawah tanah itu gelap gulita, jadi wajah Tuan Kanae tidak ada yang lihat. Lagipula, dari kacamata orang-orang berbaju hitam itu, tidak ada gelombang gambar yang dipancarkan. Yang dipancarkan dan diterima hanya suara saja! Semua kacamata itu juga sudah aku hancurkan, jadi untuk sementara aman!”

“Eh, gelombang katanya? Kok bisa tahu begitu? Bukannya itu nggak ada hubungannya sama matamu yang tajam?”

“Eh? Memangnya gelombang itu tidak kelihatan, ya?”

“Hah!?” 

Sebagian besar gelombang adalah radiasi elektromagnetik yang tak terlihat manusia.

Sedangkan bagian yang bisa terlihat, itulah yang disebut cahaya. 

“Kalau aku memfokuskan mata, akan kelihatan banyak warna tipis-tipis. Dari jenis warnanya, aku bisa tahu itu gelombang apa!”

“Manusia normal nggak bisa lihat gelombang begitu! Kenapa kamu nggak bilang dari dulu!?”

“Eh!? Soalnya kupikir itu hal yang wajar...”

“Levy, aku juga tidak bisa melihat gelombang apa pun.”

Bukan hanya manusia, bahkan Yuki yang juga Peri Fenomena pun tidak bisa melihat gelombang. 

“...Levy, bukannya kamu cuma tidak bisa menimbulkan fenomena fisika saja sebagai Peri Fenomena, tapi sebenarnya kamu tetap menguasai salah satu fenomena fisika, kan? Lagipula, kalau namanya Peri Fenomena, berarti memang berhubungan dengan fenomena fisika. Jadi, Levy, bukannya kamu rongsokan, sebenarnya kamu luar biasa...”

“Levy hebat.”

“Eeeehhhhhhh!! Aku, aku bukan rongsokan!?”

Levy melayang bersemangat, berputar-putar di ruang tamu.

Bintang-bintang di dalam matanya berkilauan paling terang sepanjang waktu. 

“Nanti harus kita minta Nozomi-sensei meneliti Levy juga.”

Selama ini di ruang eksperimen lama sekolah, yang selalu dijadikan bahan penelitian hanyalah Kanae sendiri. 

“Ngomong-ngomong, Tuan Kanae, bagaimana dengan sekolah?”

“Akan kupikirkan akhir pekan ini. Yah, itu urusan belakangan.”

Sekarang Kanae tidak lagi merasa ragu akan ucapan Levy.

Dalam pelarian, Levy justru jauh lebih berperan daripada dirinya sendiri.

Bahkan dia bisa menerima kenyataan bahwa ketajaman mata Levy mungkin memang berasal dari suatu kemampuan khusus. 

“Ayo kita makan sesuatu yang enak. Dari area penelitian ke sini jaraknya sekitar seratus lantai, kan.”

“Yeaaay!”

“Um, Kanae... Apa aku benar-benar boleh keluar?” 

Dengan ragu Yuki menatap Kanae.

Ketika dia menengadah, rambut peraknya mengalir ke samping, memperlihatkan sekilas kristal biru bagaikan salju.

Getaran dalam matanya memantulkan rasa cemas, sekaligus sedikit harapan. 

“Tentu saja boleh. Hanya saja kita harus melakukan sesuatu dengan penampilanmu dulu. ...Kita buat penyamaran, ya.”


* * *


“Aaahh, ini celana dalam punya Tuan Kanae!”

Lewat pintu, Kanae mendengar jeritan Levy. 

“Menurutmu aku kebetulan punya celana dalam perempuan, hah? Tahanlah dengan celana dalam anak SD yang dulu kupakai.” 

“Kalau soal rasanya... Apa aku benar-benar harus memakainya?” 

“Pakai saja! Aku juga nggak tenang kalau kamu ga pakai celana dalam!” 

“Yuki! Buka kaki lalu angkat ini ke atas!” 

Yuki tidak tahu cara memakai pakaian.

Peri Fenomena diekstrak dengan membawa pengetahuan tentang dunia ini.

Namun, apakah pengetahuan itu bisa diaplikasikan atau tidak, adalah persoalan lain.

Selama ini Yuki hanya hidup mengenakan sehelai gaun pendek putih bersih, menyerupai busana pengantin. 

Ketika Peri Fenomena termanifestasi di dunia nyata, mereka dapat membentuk pakaian bersama dengan tubuhnya.

Keadaan awal ini disebut sebagai kondisi standar.

Seharusnya, pakaian yang dikenakan Yuki bisa diperbaiki secara otomatis jika rusak, tetapi karena dirinya berada dalam kondisi kelelahan yang amat sangat, sumber daya perbaikan yang tersisa diarahkan untuk menyembuhkan luka tusuk di lengan kirinya. 

“Tuan Kanae! Bagaimana dengan bra!?” 

“Sudah kubilang nggak ada! Lagi pula, Yuki nggak butuh itu.” 

“Apa maksudnya Tuan Kanae! Dia tetap ada bentuknya kok! Memang tidak sebesar milikku, tapi tetap ada!” 

“Serius!? ...Mau kamu bilang begitu pun, aku benar-benar nggak punya!” 

“Ya ampun! Aku kan jelas punya dada!” 

“Bukan kamu yang kumaksud! ...Yuki, bra akan kubelikan bersamaan dengan celana dalam nanti, jadi sekarang tahan saja tanpa itu.” 

“Jadi artinya, Yuki ga pakai bra! Angkat kedua tanganmu tinggi-tinggi!” 

“Angkat tangan...? Begini maksudmu?” 

“Rambut Yuki terlalu panjang, bajunya nggak bisa masuk! Angkat rambutmu ke atas kepala!” 

Suara Yuki dan Levy, bila didengar dari samping, terdengar persis seperti kakak-adik perempuan yang akrab.

Hanya saja, berbanding terbalik dengan kesan pertama saat bertemu di selokan, kali ini Levy lebih mirip sang kakak, dan Yuki sang adik. 

“Rambut perak Yuki begitu lembut! Aku turunkan kausnya sekarang ya!”

“Ah... Sakit... Kanae, bagian dadaku terasa tergores, perih sekali...” 

“Tempelkan plester luka sekalian!” 

Kanae berkeliling tanpa arah, mencoba menjaga pikirannya tetap kosong. 

“Tuan Kanae! Sudah selesai dengan sempurna!” 

“Serius...? Padahal aku cuma ngasih pakaian seadanya...” 

Betapa cocoknya Yuki mengenakan pakaian itu, betapa kuat pesona gadis tomboy nan cantiknya terpancar, hingga Kanae kehilangan kata-kata.

Kaus hitam bergambar tengkorak di atas dasar putih, yang dulu dia kenakan saat SD, tampak begitu pas melekat di tubuh Yuki.

Untuk menyesuaikan dengan pinggang ramping Yuki, Kanae juga memberikan celana pendek denim biru tua bekas yang pernah dia pakai di masa kecil. 

Karena sudah usang, serat kainnya terkelupas di sana-sini, tapi saat Yuki mengenakannya, celana itu berubah seolah menjadi hot pants bergaya robek modern.

Pakaian itu, kaus dan denim, jika disesuaikan dengan tubuh mungil Yuki, tampak terlalu pendek hingga terkesan berbahaya.

Kaus terpotong di atas pusar, celana menyingkap pangkal paha dengan berani. 

Lengkung ramping di pinggang yang tampak sekilas, lengan dan kaki jenjang, kulit seputih salju, semua itu terpatri dalam retina Kanae.

Dan seperti kata Levy, meski kecil, tetap terlihat jelas ada lekukan dada seorang gadis di balik kaus itu. 

“Kanae, kenapa kamu diam begitu?”

Yuki menatapnya, dengan kepala sedikit dimiringkan.

Rambut peraknya yang panjang hingga pinggang terurai lembut. 

“...Eh, itu... Ya, benar! Aku baru saja berpikir, kalau mau menyamar, lebih baik rambut panjangmu yang perak itu dipotong habis.” 

“Tuan Kanae! Itu terlalu kejam! Rambut adalah nyawa seorang gadis!”

Kali ini, Levy dengan jarang-jarang menentang Kanae. 

“Tapi rambut panjang emas milikmu dulu juga kupotong habis, kan? Walau sekarang sudah tumbuh lagi.” 

Rambut pirang Levy yang dulu dipotong rata di tengkuk, kini setelah setengah tahun, sudah tumbuh hingga pertengahan punggung. 

“Itu karena waktu itu Tuan Kanae bilang lebih baik dipotong!” 

“Itu karena rambutmu sering terlilit alarm karena tidurmu berantakan, aku kasihan saja.” 

“Uhh, ternyata ada alasan itu... Tapi bagaimana dengan Yuki?” 

“Kalau Kanae bilang begitu, aku akan melakukannya. Aku... Mau mengikuti apa yang Kanae katakan...” 

“Benar kan! Yuki sama seperti aku!” 

“Sama bagaimana? Aku sama sekali nggak paham.”

Sementara Yuki dan Levy tampak akur entah kenapa, Kanae menyela dengan nada ketus. 

“Pokoknya aku akan memotong rambut Yuki. Maaf, tapi aku nggak punya topi sebesar itu untuk menutupi rambut panjangmu. Rambut perak secantik itu akan terlalu mencolok, bahkan di Kobe yang banyak orang asing.” 

“Kalau rambut panjang, berarti cantik ya...?” 

“Bukan begitu, Yuki, rambutmu baik panjang maupun pendek sama-sama... Ah, sial! Tunggu sebentar!” 

Kanae, berusaha menutupi rasa malunya, dengan langkah berisik menuju lemari.

Dia mengeluarkan gunting stainless, botol semprot kosong, handuk putih panjang, dan cermin lipat kecil.

Kemudian dia ke dapur, membilas botol semprot dan mengisinya dengan air bersih, sambil mengambil kantong plastik di rak. 

Dia membentangkan kantong plastik di lantai antara meja dan ranjang tunggal, menaruh kursi di atasnya sebagai pemberat.

Lalu dia mengatur posisi cermin di atas meja agar Yuki bisa melihat wajahnya sendiri. 

“Baiklah Yuki, duduklah di situ.” 

Yuki duduk dengan manis di kursi.

Dia menaruh kedua tangannya di atas lutut, menatap Kanae yang terpantul dalam cermin. 

“Tuan Kanae sangat pandai memotong rambut! Bahkan bisa memasak sendiri! ...Tapi kenapa memotong sendiri, bukan ke tukang cukur?” 

“Dari dulu aku sendirian, nggak punya teman bermain. Jadi semua hal yang bisa kulakukan sendirian kujadikan pengisi waktu. ...Masak juga begitu, mungkin memang hal-hal yang bisa kudalami sendirian inilah hobiku.” 

“Artinya Kanae, kesepian...” 

“Hei, jangan merasa kasihan! Kamu juga sendirian kan!” 

“Ahh... Maaf...” 

Sambil bergurau, Kanae mengacak rambut perak Yuki yang halus seperti benang sutra.

...Dan langsung sedikit menyesal.

Meski tak pernah mengenal sampo, rambut Yuki tetap memancarkan aroma khas seorang gadis yang begitu pekat hingga membuatnya ingin memalingkan wajah. 

Kekuatan Peri Fenomena yang mengembalikan tubuh ke kondisi standar pasti menjaga rambutnya tetap bersih.

Saat indra penciumannya dipenuhi aroma itu, tangannya merasakan sesuatu yang keras. 

Itu adalah hiasan rambut berbentuk bunga salju dengan tiga kelopak putih, terpasang di sisi kiri kepalanya. 

“Yuki, bisa kamu simpan hiasan rambut ini dalam wujud astral?” 

“...Tidak bisa. Hiasan ini ditetapkan sebagai bagian dari tubuhku.” 

Di selokan, darah Yuki juga sempat terciprat ke hiasan rambut itu.

Meski Kanae tidak pernah membersihkannya, kelopak putih itu tak menunjukkan noda merah.

Sama seperti luka tusuk di lengan kirinya, benda itu dianggap bagian tubuh yang terluka dan ikut diperbaiki. 

“Dari yang kulihat, hiasan rambut Yuki memang dirancang tak bisa dilepas.” 

“Kalau begitu biarlah tetap terpasang. Tidak masalah untuk memotong rambut, nanti tinggal kita sembunyikan saja.” 

Ucapnya sambil mulai bekerja.

Dia melilitkan handuk di leher ramping Yuki agar rambut tidak masuk ke dalam kaus.

Lalu dia menyemprotkan air bersih dengan botol semprot, membasahi rambut perak itu hingga mudah untuk diatur.


Rambut Yuki memang panjang, tetapi karena akan dipotong habis, maka hanya rambut di atas bahu saja yang perlu dibasahi.

Kanae menggenggam gunting baja antikarat di tangan kanannya, yang gagangnya hanya cukup untuk satu jari, dan menatap Yuki melalui cermin. 

“Aku nggak ngerti gaya rambut perempuan, jadi bakal kupotong mirip kayak Levy.”

“Terserah Kanae saja.”

“Yuki, nanti rambutmu malah jadi lebih pendek daripada punyaku!” 

Kanae menatap rambut perak Yuki, seolah sedang mencari titik potongan yang tepat.

Lalu, seperti orang yang memegang gelas anggur secara terbalik, dia menjepit sehelai rambut di tengah tengkuk Yuki dengan jarinya.

Begitu dia angkat dan lepaskan, rambut basah itu pun meluncur jatuh, lembut dan licin.

Lepas dari sela-sela jarinya, helai itu jatuh, bagaikan segenggam pasir di gurun. 

“...Kanae, apa yang sedang kamu lakukan?” 

Kanae tersadar dari lamunannya, setelah sempat lupa tujuan dan hanya memainkan rambut perak itu berulang kali, menangkap lalu melepaskannya lagi.

Yuki, yang tetap diam tanpa bergerak, menatap Kanae di cermin dengan pandangan heran. 

“Ah, maaf. Soalnya, aku belum pernah nyentuh rambut perempuan. Rasanya, luar biasa banget...”

“Tuan Kanaeee! Apa kamu sudah lupa keberadaanku!?” 

Levy menatapnya dengan mata menyipit, lalu membusungkan tubuh mungilnya untuk memprotes. 

“Bukan gitu. Levy kan tingginya cuma tiga puluh sentimeter. Rambutmu juga terlalu halus, jadi nggak bisa kugenggam dengan jari. Jadi aku nggak bisa ngerasain sensasinya.”

“Uuuh, jadi aku agak iri sama Yuki. Kalau saja aku bisa sebesar Yuki, pasti Tuan Kanae juga bisa memotong rambutku dengan benar... Pasti Tuan Kanae juga bisa lebih mengerti kalau aku ini perempuan...”

“Ya ampun. Maaf, maaf. Walaupun kamu sekecil boneka, Levy tetap perempuan sama seperti Yuki.”

“Tidak apa-apa. Aku yakin Levy juga akan tumbuh besar suatu hari nanti.” 

Meski tak punya dasar apa pun, kata-kata Yuki itu memberi Levy keberanian.

Levy pun menunduk, menatap dadanya sendiri. 

“Ngomong-ngomong, Levy, rambutmu biasanya dipotong bagaimana? Gunting sebesar ini agak terlalu besar untukmu.”

“Aku beli gunting kecil khusus alis. Itu yang kupakai.” 

Yuki tampaknya tidak mengerti kata itu.

Kepalanya yang pas berada di telapak tangan Kanae, miring ke kiri. 

“Heii, jangan gerak lagi. Kalau guntingnya meleset, bahaya. Jadi diam sebentar, ya.”

“...Oke...!” 

Entah kenapa, Yuki menutup mata. Ekspresinya menegang sedikit, seakan menanti sesuatu yang tak terelakkan. 

Sambil bermain-main dengan rambut peraknya, Kanae akhirnya menemukan titik potong.

Dia menjepit rambut sepanjang tulang belikat dengan jari kirinya.

Lalu dia menempelkan gunting di sepanjang jari itu, dan perlahan-lahan menutup bilahnya.


Srik.


Sehelai rambut perak, yang tadinya bagian dari kepala Yuki, jatuh berputar pelan ke dalam kantong plastik yang sudah digelar di lantai. 

“...Eh...? Rambutku dipotong, tapi tidak sakit...”

“Ya jelas lah. Rambut memang bagian dari tubuh, tapi nggak ada sarafnya. Jadi nggak bisa sakit. Jangan-jangan... Kamu kira bakal sakit, tapi tetap berusaha menahannya?”

“...Kalau rambutku ditarik, rasanya sangat sakit... Maaf...”

Yuki menunduk, berkata dengan nada penuh penyesalan.

Levy tampak teringat kejadian di selokan, matanya pun berkaca-kaca. 

“Bodoh. Kalau Levy itu peri cengeng, berarti Yuki peri minta maaf, ya? Jangan terlalu sering minta maaf. Yuki tidak salah apa-apa. Dan jangan menahan diri. Kalau merasa akan terluka, katakan padaku.”

“...Iya...”

Kanae tersenyum tipis, lalu menepuk lembut kepala Yuki.

Dia kembali melanjutkan pekerjaannya. 

Begitu mulai memotong, Kanae tidak lagi berhenti.

Setelah terbiasa memotong rambutnya sendiri, juga rambut Levy yang kecil seperti boneka, rambut Yuki ternyata jauh lebih mudah dihadapi.

Pertama-tama, dia potong kasar untuk membentuk garis besar.

Tak perlu memikirkan bagian yang berlebih. 

Kanae, Yuki, dan Levy terdiam.

Hanya bunyi ringan gunting yang terdengar, srik, srik, srik. 

“...Kanae, rasanya aneh. Nyaman sekali, kepalaku terasa ringan.” 

Saat Yuki berkata begitu, waktu ternyata sudah berlalu cukup lama.

Rambut peraknya yang panjang kini sudah pendek sebatas bahu.

Di atas kantong plastik di lantai, rambut perak berserakan seperti bulu halus. 

“Kayaknya, waktu dipotong, getaran gunting merambat lewat rambut, terus memberi rangsangan kecil di kulit kepala.” 

Kanae melontarkan pengetahuan sekenanya, tapi Yuki tak mendengarnya.

Wajah tanpa ekspresi yang biasanya terasa dingin, kini tampak sedikit lebih lembut. 

Levy duduk di tepi meja, menggantungkan kedua kakinya, menopang pipinya dengan tangan, sambil tersenyum memandangi mereka berdua.


Srik, srik. Bunyi gunting masih terdengar.

Di ruang tamu yang tertutup rapat jendelanya, hanya irama gunting dan rambut yang terdengar berulang-ulang. 

Potongan kasar mulai dia rapikan.

Kanae menjepit sedikit rambut di antara jari, lalu memotong ujungnya dengan hati-hati.

Dia terus membuat potongan kecil, lalu menyesuaikannya kembali.

Sisa rambut perak di sepanjang bahu Yuki, sedikit demi sedikit semakin pendek. 

Seiring rambut memendek, ritme gunting Kanae makin cepat.

Akhirnya, potongan terakhir pun tiba.


Srik.


“...Fuuuh... Sudah selesai, Yuki.”

“...”

Jam gotik di sisi ranjang menunjukkan pukul tiga.

Sejak pertemuan mereka di selokan itu, baru satu jam setengah yang berlalu.

Namun entah mengapa, rasanya sudah seperti kenangan dari masa yang sangat jauh.


Kanae sedikit mundur ke belakang, menyipitkan mata untuk memeriksa hasil akhir potongan rambut pendek Yuki.

Hasilnya cukup memuaskan.

Rambut perak yang dipotong rapi sebatas tengkuk bagian tengah itu ditata dengan hati-hati pada ujung-ujungnya sehingga tampak ringan dan lembut.

Rambut yang menutupi belakang kepala dan pelipis, serta rambut samping yang membingkai pipi dari arah telinga, sengaja dibiarkan memiliki ketebalan, sehingga keseluruhan rambut tampak bervolume dan memiliki dimensi. 

Saat Yuki masih berambut panjang, Kanae mengira tekstur rambutnya lurus. Namun ternyata, rambut itu hanya tampak lurus karena berat panjangnya yang menjuntai sampai pinggang.

Kini setelah dipotong pendek dan terbebas dari beban panjang itu, kesan rambut perak Yuki berubah total. Rambutnya tampak merekah, mengembang lembut seperti gulali. 

“Yuki, kamu jadi cantik sekali!”

Levy bersorak kegirangan, seolah dirinya sendiri yang baru saja dipangkas. 

“Tunggu, poni depan masih belum dirapikan. Yuki, coba pejamkan matamu sebentar.”

“...”

Kanae berputar ke depan Yuki, hendak merapikan poni panjang yang menutupi matanya. 

“...Eh, kamu tidur?”

Barulah Kanae menyadari bahwa Yuki tertidur. 

Yuki bersandar dalam di kursi, bahunya terangkat dan turun perlahan dalam keadaan benar-benar rileks.

Jika didengarkan baik-baik, terdengar desahan napas kecil yang lembut, seperti suara tidur anak kecil. 

Meski begitu, sebenarnya Peri Fenomena tidak membutuhkan napas untuk hidup. Itu hanya sekadar tubuhnya mengalirkan udara ke dalam dan ke luar. 

Sambil merapikan poni Yuki, Kanae berbisik pada Levy agar tidak membangunkannya.

“Levy, sejak kapan Yuki tidur?” 

Dengan jari kirinya, dia menjepit sedikit rambut poni dan memotongnya pelan-pelan, helai demi helai jatuh ringan. 

“Yuki sudah tertidur sejak tadi! Tapi karena Tuan Kanae sangat fokus, kamu tidak menyadarinya.” 

Kanae menatap wajah Yuki yang tertidur damai di hadapannya, dengan ekspresi bahagia sekaligus sedikit canggung. 

“Tapi ya, kenapa ya orang bisa tertidur saat dipangkas rambut. Aku juga pernah ketiduran waktu itu.” 

“Barusan aku bilang, kan. Potong rambut itu bikin kepala terasa hangat dan nyaman. Tapi aku rasa itu saja tidak cukup buat bikin orang bisa tertidur. Mungkin karena dia memang kelelahan juga. Tapi tetap saja, menurutku... Orang hanya bisa tertidur kalau merasa yakin bisa mempercayakan dirinya pada orang yang memegang gunting. Bisa saja ini cuma pikiranku sendiri... Tapi aku pun pernah begitu.” 

Yuki sudah percaya padanya.

Itu saja sudah cukup membuat Kanae bahagia. 

“Kalau begitu, Tuan Kanae bisa tidur sambil motong rambutnya sendiri dong! Luar biasa sekali!”

“Itu terlalu luar biasa, lebih cocok disebut orang yang pengigau! Aku juga pernah dipotongin, dulu...sama Ibu.”

“Ibunya Tuan Kanae...?” 

“Ah, selesai.”

Kanae mundur sedikit lagi, memeriksa rambut perak pendek Yuki. 

Poni Yuki memang agak condong menutupi mata kirinya, tapi justru itu membuatnya serasi dengan rambut samping yang mengembang lembut.


Tapi, ini belum selesai.

Yuki memang sedang memejamkan mata sekarang, tapi di balik kelopak itu ada mata dengan pola biru kristal salju, sesuatu yang tak mungkin dimiliki manusia.

Sebenarnya, tanpa memotong poni pun sudah cukup. Tapi setelah sejauh ini, Kanae tidak bisa membiarkan bagian terpenting justru tidak ditangani.

Karena itu, harus disembunyikan.

 

Kanae berjalan ke lemari, membuka laci paling bawah, dan mengambil sebuah topi tua. Dia menepuk-nepuknya untuk membersihkan debu.

Kemudian, dia meletakkannya perlahan di atas kepala Yuki yang sedang terlelap. 

Topi bergaya kasual itu menutupi rambut peraknya yang pendek, dengan lidah topi menunduk cukup dalam hingga menutupi mata.

Motif kotak-kotak abu-abu dan hitam memberi kesan sederhana namun stylish, menonjolkan sisi tomboy dari kecantikan Yuki. 

“Eh, Tuan Kanae ternyata punya topi? Barusan kamu bilang tidak ada topi yang cukup besar buat menutupi rambut panjang.”

“Kalau hanya untuk menutupi mata, aku punya sejak dulu. Itu peninggalan Ayahku.”

“Jadi Tuan Kanae punya Ayah dan Ibu... Mereka sekarang ada di mana?”

“Pernah aku ceritakan belum ya. Tujuh tahun lalu, dari 136 korban tewas dalam bencana Kobe Gravity Bound, salah satunya adalah Ibu. Kebetulan waktu itu, dia berada di blok evakuasi yang terlambat ditangani. Aku selamat karena sedang ikut kegiatan sekolah alam. Sampai sekarang aku bisa hidup sendirian begini, ya karena tiap bulan masih ada uang santunan yang dikirim atas nama pemerintah...” 

Kanae mengucapkannya dengan nada datar, seolah itu hal biasa.

Tidak bisa dikatakan dia tidak menyimpan dendam pada pemerintah kota yang lalai hingga merenggut nyawa Ibunya.

Namun kalau rasa benci itu diarahkan, maka sasaran berikutnya tak lain adalah para Peri Fenomena, penyebab munculnya Tujuh Bencana Besar.

Dan dia tahu, dia tidak bisa membenci mereka.

Maka, Kanae memutuskan membiarkan rasa itu terkubur bersama waktu. 

“...Ayahnya Tuan Kanae bagaimana?”

“Sama sekali tidak ingat. Aku juga tidak tahu juga sekarang ada di mana. Ibu sudah berpisah dengannya sejak aku masih kecil. Jadi aku dibesarkan nyaris hanya berdua dengan Ibu. Dia sangat membenci Ayah, tapi entah kenapa, satu-satunya peninggalan Ayah, yaitu topi ini, justru Ibu yang memberikannya padaku dulu.” 

“Aku ini pelayan Tuan Kanae, tapi aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Tuan Kanae... Uuuh, hiks...”

“Maaf jadi cerita muram begini... Tapi, terima kasih.”

“Huh?” 

Melihat Levy menangis untuk dirinya, Kanae tidak sampai hati menyebutnya peri cengeng.

Namun ketika Levy balik bertanya, dia malah jadi malu dan cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. 

“Levy, kamu juga tidurlah sebentar. Sekarang jam tiga, kan? Jam empat kita berangkat. Waktu itu luka di lengan kiri Yuki juga pasti sudah sembuh.”

“Kenapa jam empat?”

“Tadi pagi kan sudah janji. Kita ke toko kue Prancis bintang tiga, René Belmond, buat beli cake stroberi.”

“Ah iya! René memang tutup lebih awal!”

“Yuki bilang, dia belum pernah makan selain tebu liar di pinggir jalan...”

“Aku juga mau lihat wajah Yuki yang bahagia! Baiklah, selamat tidur dulu ya!” 

Levy turun perlahan ke paha putih Yuki yang terbuka, menggenggam tangannya manja, lalu ikut terlelap bersama.

Tak butuh lama, dua desahan napas tenang terdengar bersamaan di telinga Kanae. 

“Kenapa bisa cepat tidur begitu sih!” 

Kanae akhirnya duduk di kursi sebelah meja kecil itu, memandangi Yuki dan Levy yang tidur berdampingan dengan damai. 

Lalu, tiba-tiba ponselnya berbunyi nyaring dari saku.

Saat melihat nama penelepon, wajahnya berubah. 

“Ugh, Nozomi-sensei...”


Bagian 2

Mereka berada di lantai 197, di jalanan kota Kobe.

Di bahu kiri Kanae bertengger Levy, sementara di belakang kiri Kanae, Yuki berjalan mengikutinya.

Yuki, seolah ketakutan akan tatapan sekitar, menarik turun dengan tangan kirinya hingga dalam-dalam ke arah mata tudung topi casquette bermotif kotak abu-hitam yang dikenakannya. 

“Luka di lengan kirimu, sudah sembuh?”

“Ya, tidak ada masalah. ...Tapi, sejak tadi semua orang terus menatap ke arah kita.” 

Yuki, sekilas pandang, adalah seorang gadis cantik jelita dengan pesona boyish.

Dia mengenakan kaos T-shirt putih bergambar tengkorak hitam, panjangnya hanya sampai pusar, dan celana hot pants robek-robek yang lebih pantas disebut semacam itu.

Di sore awal September yang masih menyisakan panas musim lalu, kulitnya yang lembut bagaikan hamparan salju di luar musim tersingkap tanpa ragu. Warna rambutnya pun menarik perhatian.

Rambut peraknya yang dipotong rata di sekitar tengkuk, lembut terurai dengan kilau samar, semakin menambah kesan hingga membuatnya tampak tak berbeda dari seorang model asing yang kebetulan tersesat di sini. 

Tatapan matanya memang tersembunyi di balik tudung topi yang ditekan rapat, namun dari garis wajah mungilnya, pipinya yang ramping, dagu yang anggun, hidung yang teratur, dan bibir berwarna sakura nan berkilau, mustahil bagi siapa pun untuk tidak menangkap kecantikannya.

Gadis seperti itu justru berjalan di samping Kanae, yang hanya mengenakan pakaian amat sederhana, hanya dengan parka cokelat tipis dan celana kargo hitam. Tak heran bila hal itu terlihat tidak seimbang.

Sebanyak tatapan penuh kagum yang diarahkan pada Yuki, sebanyak itu pula tatapan iri dan dengki yang dilemparkan pada Kanae, seolah berkata, “Mengapa harus dia?” 

“...Kanae... Um, Kanae... Mungkinkah aku ini kurang feminin?”

Yuki mendekat dengan gelisah, suaranya nyaris bergetar.

Kanae sempat terkejut, hampir saja menjauhkan diri.

“...Tidak, yah, memang bukan pakaian yang benar-benar gadis banget, tapi justru ketika gadis seperti Yuki berpakaian agak maskulin, sisi femininnya malah semakin menonjol, bagaimana ya menjelaskannya...” 

“Tu-an Ka-na-e! Katakanlah dengan jelas pada Yuki!”

Levy yang bertengger di bahu kiri Kanae menegur dengan tatapan menyipit penuh cela.

Memang seharusnya Kanae menjawab dengan jujur.

Yuki sama sekali tidak mengerti arti dari tatapan orang-orang, dan benar-benar merasa cemas karenanya. 

“Intinya, Yuki itu cantik, jadi semua orang terpesona melihatmu.”

Levy segera membuat lingkaran dengan kedua tangannya, seolah berkata, “Bagus, jawaban yang benar.”

Kanae, berusaha menutupi rasa malunya, melangkah cepat ke depan.

Namun ketika dia menoleh setelah berjalan beberapa langkah, dia menyadari Yuki berhenti di tempat. 

“Tuan Kanae! Yuki sedang digoda orang!”

Yuki menunduk dengan pipi memerah kaku, sementara dua pemuda berwajah kasar mendekat, melancarkan serangan kata-kata. 

“Lihat fashion anak ini, gila banget, kan? Rambut perak itu asli?”

“Mau ikut minum bareng kami? Oh iya, topi ini ganggu deh, boleh gue lepasin? Aku nggak bisa lihat matamu.” 

“...”

Yuki menundukkan pandangan ke kaki para pemuda, bahunya bergetar kecil seperti seekor tupai mungil.

Dia tak sanggup menolak mereka.

Apalagi, bahasa yang diucapkan Yuki hanyalah Strange Code yang hanya bisa dipahami oleh Kanae. Bila suaranya terdengar, bila matanya terlihat, semuanya akan berakhir. 

Saat salah seorang pemuda hendak menyentuh tudung topinya yang menutupi wajah, Kanae tak tahan lagi dan berlari.

Dia menyelip di antara para pemuda itu, lalu menegaskan hanya dengan satu kalimat. 

“Dia pacarku!” 

Kanae segera menggenggam tangan kiri Yuki, menariknya keluar dari kepungan. 

“Hah!? Mana mungkin cewek secantik ini cocok sama cowok culun kayak lo! Pergi sana!”

“Lagian anak itu dari tadi nggak ngomong sepatah kata pun. Katanya pacar lo? Suruh dia ngomong sesuatu, dong!” 

“...”

Dengan wajah tak puas, kedua pemuda itu bersiap mengejar Kanae dan Yuki yang cepat-cepat pergi. 

“Yuki, kita lari! Nggak usah lihat ke depan, cukup hati-hati jaga langkahmu!”

“...Kanae, terima kasih...” 

Kanae menggenggam tangan Yuki, menyibak keramaian.

Dalam genggaman itu dia merasakan dinginnya suhu tubuh Yuki, dan tanpa sadar teringat ajaran Nozomi yang baru saja dia dapat lewat telepon beberapa jam lalu.


Berdirilah tegak dan yakinlah pada dirimu. Kanae, bimbinglah dia dengan baik.


* * *


“Singkatnya, Kanae memang terjebak dalam keributan evakuasi di lantai 293, tapi tidak ada hal lain yang lebih dari itu? Bisakah aku mempercayai kata-katamu itu?”

“Benar! Lagipula, kenapa sih dari tadi terus-terusan curiga begitu!?” 

“Kejadiannya di zona penelitian terbaru, sampai-sampai sekat isolasi diturunkan, bukan? Kalau begitu, jelas Fairy Hazard yang terjadi. Dan kalau memang begitu, sangat mungkin Kanae yang begitu menyukai Peri Fenomena menyelipkan kepalanya ke dalam urusan yang seharusnya tak perlu dicampuri. Apalagi, kamu punya catatan di masa lalu. Kamu pernah terus-menerus melakukan kebodohan sampai-sampai digelandang ke rumah tahanan remaja.”

“Itu memang benar, tapi kali ini berbeda! Sungguh, sungguh... Aku sama sekali tidak melakukan apa-apa!” 

Dia tidak berbohong.

Hanya saja, Kanae sendiri yang memilih untuk terlibat. 

“Kalau kamu sampai berkata sejauh itu, baiklah, kuanggap tak perlu jadi masalah. ...Tapi, aku ingin mendengar kelanjutan dari ceritamu tadi.”

“Ah... Soal bagaimana cara membuat seorang gadis merasa senang, begitu...” 

“Tak kusangka, tanpa kuketahui Kanae sudah punya pacar. Di sekolah, orang-orang tahu kamu punya catatan buruk, jadi pasti dia gadis dari luar sana, bukan? Bagaimana kamu bisa menjeratnya, hah?”

“Aku tidak menjerat siapa pun, dan dia bukan pacarku!” 

“Kanae, kamu memotong rambut seorang gadis, dan di tengah-tengah itu dia bisa tertidur pulas. Gadis yang percaya padamu sampai sebegitu besarnya, tetap kamu katakan bukan pacarmu? Itu kan tidak sopan terhadapnya. Lagipula, kamu bukan tipe orang yang sering diberi kesempatan seperti itu oleh gadis-gadis. Kalau tidak memanfaatkan momen ini, kamu akan perjaka selamanya.”

“Uuuh... Soal perjaka atau apa pun itu taruh dulu, tolong ajari aku. Apa yang harus kulakukan?” 

“Pertama, ceritakan dulu ciri-ciri gadis itu. Setelah itu baru kita bicara.”

“...Jangan ketawa ya. Dia ini cantik sekali, imut sekali, tapi sama sekali tidak menyadarinya. Malah benar-benar tak peduli pada dirinya sendiri. Bajunya itu-itu saja, makannya pun sama setiap hari... Rasanya seperti dia tidak tahu apa-apa.” 

“Kalau disarikan, gadis itu tidak menyadari dirinya sebagai seorang gadis. Itu persis seperti Peri Fenomena yang benar-benar polos dan murni. Apa gadis itu benar-benar manusia?”

“Apa sih Sensei!? Dia manusia sungguhan! Aku bukan pengajar Ilmu Peri Fenomena yang bisa terangsang hanya dengan ukuran boneka, tahu!” 

“Sifat seperti itu memang langka di zaman sekarang. Tapi justru karena itulah dia menyukai Kanae. Seorang gadis yang melihatmu apa adanya, tanpa kacamata prasangka, itu amatlah berharga. Bisa dibilang nyaris spesies langka.”

“Jadi, Nozomi-sensei, apa yang harus kulakukan...?” 

“Jangan bilang dengan suara seakan-akan memohon begitu, orang yang kamu manja itu salah. Lagipula mudah saja. Kalau gadis itu tidak tahu apa-apa, maka kamu yang harus mengajarinya. Mengajari apa itu kebahagiaan menjadi seorang gadis.”

“Tidak mungkin semuanya sekaligus, Sensei...” 

“Kalau begitu, lakukan tiga hal yang kamu sebut tadi. Pilih pakaian yang imut bersamanya, makan makanan lezat bersamanya, lalu biarkan dia menyadari kalau dirinya adalah seorang gadis yang sesungguhnya.”

“Kalau soal membuatnya sadar, bagaimana caranya...?”

“Tindih saja.”

“Mana bisa!” 

“Dasar tak punya nyali. Kalau begitu, cium saja. Ya, pakaian, makanan, dan ciuman. Kebetulan, itu disebut tiga prinsip dasar kencan. Pakaian, makan, cium... Hehe.”

“Itu jelas barusan Sensei mengarangnya! Yang terakhir tidak akan kulakukan, tapi dua yang lain akan kulakukan dengan benar. Lagi pula, setelah ini kami memang sudah berencana makan bersama.” 

“Kalau begitu, setelah makan nanti, ayo pilih dan beli pakaian bersamanya. Yang barusan itu hanya bercanda, kamu tidak perlu memaksakan diri. Cukup berada di sisinya saja. Setelah itu, waktu yang akan menjadikannya seorang gadis sungguhan.”

“...Aku rasa aku tidak punya nilai sebesar itu...” 

“Kalau kamu sendiri merendahkan nilaimu, lalu apa gunanya? Dari yang kudengar, gadis itu sepertinya kurang memiliki inisiatif. Maka, paling tidak, berdiri tegak dan yakinlah pada dirimu. Kanae, bimbinglah dia dengan baik.”


* * *


Kanae dan Yuki, yang masih mengenakan topi, diarahkan ke kursi pasangan paling dalam di René Belmond. Tidak ada pelanggan lain di sekeliling, sehingga tak perlu khawatir suara Yuki terdengar orang. 

“Dua kue stroberi spesial pesanan Anda, silakan.” 

Seorang pelayan wanita dengan seragam pelayan elegan ala René membawa dua piring dan minuman tanpa sedikit pun kegugupan, lalu dengan cekatan menggelar serbet dan menata sendok-garpu perak.

Levy yang duduk di ujung meja tak henti-hentinya kagum. 

“Aku juga ingin bisa jadi pelayan setelaten itu suatu hari nanti!” 

“Kamu sudah sangat telaten. Aku mengandalkanmu.” 

Yuki yang duduk berhadapan dengan Kanae dan Levy berkata dengan nada sungguh-sungguh.

Namun pandangan matanya bukan kepada Levy, melainkan terpaku pada kue yang ada di depannya.

Hidungnya kembang-kempis mencium aroma manis yang menguar. 

“Kalau dipikir-pikir, Yuki, seharusnya kamu bisa makan selain tebu juga, kan?” 

Kanae menanyakan itu karena penasaran. Yuki menunduk, ekspresi tanpa emosinya sedikit tertutup bayangan. 

“... Situasi seperti itu memang pernah terjadi beberapa kali. Tapi, aku merasa itu tidak boleh dilakukan...” 

Yuki selalu cenderung menghukum dirinya sendiri. Kanae merasa tidak sepatutnya memaksakan pendapatnya.

Bukan waktunya sekarang.

Namun agar Yuki bisa tetap makan, dia menyesuaikan kata-kata dengan arah pembicaraan. 

“Kalau begitu, aku yang mengizinkanmu. Ini kue yang aku beli. Aku ingin Yuki memakannya. Dan kalau kamu tidak memakannya, aku tidak akan memaafkanmu.” 

“Aku juga! Kalau Yuki tidak makan kuenya dengan lahap, a-aku juga tidak akan memaafkanmu!” 

“...Ternyata, kalian cukup memaksa ya...” 

“Jangan banyak alasan, cepat makan saja.” 

Kanae memotong sebagian kuenya, meletakkannya di piring kecil, lalu menyodorkannya ke Levy yang duduk di ujung meja.

Levy bertepuk tangan senang sambil menggenggam garpu mini untuk peri. 

“Yuki, sebelum makan sesuatu, ucapkan begini. Itadakimasu.” 

“... I-Itadakimasu...? Begini maksudnya?” 

“Itadakimasu!” 

Begitu diucapkan, Levy langsung menusukkan garpu mininya pada potongan kue, menggali seperti mesin bor, memasukkannya ke mulut, lalu berseru, “Enaaak!”, “Aku bahagia!”, “Aku bisa hidup terus!” dan sebagainya.

Matanya berkilauan seakan dipenuhi bintang, hanyut dalam dunia kue stroberi yang memesona. 

“Levy, bisa kamu makan lebih tenang sedikit... Eh, Yuki, kenapa kamu belum makan?” 

Yuki menggenggam garpu terbalik layaknya seorang pembunuh, menatap Kanae dengan wajah kebingungan. 

“Bagaimana, cara memakannya?” 

“Ah, benar juga, kalau belum pernah makan, kamu pasti tidak tahu. Benda tajam perak ini disebut garpu. Kalau makan kue, pegang garpu ini seperti memegang pulpen.” 

“Pulpen itu apa...?” 

“Benar juga, kamu pasti tidak tahu! Umm, seperti menyelipkan tebu di antara jempol dan telunjukmu!” 

Apa yang kubicarakan ini, batin Kanae menegur dirinya sendiri.

Namun Yuki tampak mengerti cara memegangnya dari penjelasan itu. 

Dengan kaku tapi berhasil, Yuki menggenggam garpu lalu mengarahkannya pada irisan stroberi di atas kue.

Dengan hati-hati, dia menusukkan garpu pada salah satu stroberi, namun langsung menusuk dalam-dalam hingga membelah kue jadi dua. 

Dari belahan kue itu, mousse merah meluber, dan potongan stroberi berhamburan di atas piring. 

“...Umm... Kanae, benda bernama garpu ini, aku tidak bisa memakainya...” 

Menekan, menusuk, menyuap, bahkan ukuran tenaga yang harus digunakan pun, semua hal itu baru baginya.

Yuki pun tampak murung. 

Lalu, perutnya berbunyi keras, gruuk gruuk.

Akhirnya Yuki tak bisa menahan diri, meletakkan garpu di atas serbet, lalu mendekatkan wajah langsung ke arah kue yang hancur. 

“Stop! Tunggu! Berhenti dulu!” 

Kanae buru-buru menahannya.

Dia ingin Yuki hidup sebagai seorang gadis manusia. 

“Kanae, perutku lapar sekali, kesakitan...” 

Dia tak mau Yuki makan seperti anjing, tapi tak ada waktu untuk mengajarinya cara makan. 

“Pinjam garpumu.” 

Kanae mengambil garpu Yuki, menusukkan pada kue yang masih utuh di depannya.

Kue itu belum dia makan sama sekali, selain satu potong untuk Levy. 

Dia memotong dalam ukuran sekali suap, lalu menyodorkannya dengan garpu ke mulut Yuki yang kosong dan lemah karena lapar. 

“Hari ini biar aku yang menyuapimu. Tapi mulai besok, kamu harus makan dengan garpu. Aku akan mengajarimu.” 

“...Tolong ajari aku...” 

Yuki membuka mulutnya sedikit, tanpa mendekat, hanya menunggu.

Wajahnya menengadah dengan tatapan seperti anak burung yang menanti induknya memberi makan. 

Dia benar-benar berniat disuapi.

Kanae tak bisa menarik kata-katanya kembali, jadi dia menyodorkan potongan kue itu ke dalam mulut kecil yang terbuka. 

“...!”

Mata Yuki terbelalak.

Selama ini dia hanya makan gula minimal dari tebu demi bertahan hidup. Karena itu, manis pekat kue yang pertama kali masuk ke mulutnya membuatnya terkejut. 

“Kenapa tidak dimakan?” 

Ditanya begitu, Yuki buru-buru menutup mulut.

Kanae menarik keluar garpu dari celah bibirnya, lalu mengamati Yuki yang perlahan mengunyah. 

Tatapan dari bawah ke arah Kanae itu tetap tanpa ekspresi seperti biasa, nyaris tak menunjukkan perubahan.

Kanae agak kecewa. Dia ingin melihat wajah Yuki yang gembira. 

Saat Kanae terus memperhatikannya dalam diam, tiba-tiba Yuki oleng ke depan. 

“Hei, kamu baik-baik saja!?” 

Kanae segera menahan bahunya sebelum jatuh menabrak meja.

Topi casquette-nya terlepas ke atas meja. 

“Yuki, ada apa!?” 

Levy, yang sedang hanyut dalam dunia kue stroberi, tersadar dan khawatir. 

“Yuki baru saja makan kue, lalu tiba-tiba pingsan!” 

“Ah... Kalau itu, Yuki tidak apa-apa kok!” 

“Bagaimana bisa begitu!?” 

“Pasti dia kaget! Peri Fenomena kalau sedang sangat lapar lalu memakan sesuatu yang sangat manis, rasanya terlalu enak sampai kesadarannya melayang!” 

“Apa-apaan itu... Tapi sekarang aku ingat, saat pertama ketemu kamu, hal seperti itu juga terjadi...” 

“Ya, aku sendiri juga kaget waktu benar-benar pingsan sih! Tapi Tuan Kanae, sekarang kita harus cepat membangunkan Yuki! Pelayannya bisa-bisa datang ke sini!” 

Kanae segera berpindah ke sisi Yuki.

Dia mengguncang bahunya, tapi tak ada reaksi, jadi, sambil meminta maaf dalam hati, dia menjentikkan dahi Yuki cukup keras. 

“...Eh? Kanae, aku sedang apa... Aneh, kenapa aku, menangis...?” 

Dengan sedikit jeda, Yuki mulai menangis pelan.

Air mata mengalir di mata biru kristalnya, bagaikan serpihan salju biru yang meleleh. 

Pemandangan itu terasa menyentuh hati Kanae.

Namun dia buru-buru mengenakan kembali topi yang jatuh untuk menutupi mata Yuki, lalu duduk ke tempatnya. 

“Tuan, ada masalah?” 

“Maaf! Bisa minta dua milk tea? Tolong sertakan sedotan mini untuk peri juga!” 

“Baik, segera kami siapkan.” 

Di balik topi itu, Yuki tetap menangis diam-diam.

Tanpa suara, tanpa terisak, hanya air mata yang terus jatuh. 

“...Tolong...” 

Setelah beberapa saat, Yuki berbisik begitu kepada Kanae, lalu kembali menatap ke atas dengan mulut kecilnya terbuka.

Kanae menyendokkan sepotong kecil kue dengan garpu, lalu membawanya ke mulut Yuki.

Dia menarik kembali garpu dari sela bibir gadis itu, lalu kembali menyiapkan kue dalam potongan kecil, mengulanginya berkali-kali. 

“Bagaimana rasanya?”

“...E-Enak sekali...” 

“Eh! Tidak adil kalau hanya Yuki saja yang disuapi Tuan Kanae!”

“Kalau begitu, nih.” 

Kali ini, dia menyodorkan sepotong kecil kue ke mulut Levy.

“Hap,” ucap Levy sambil melahap potongan kue itu. 

“Padahal kue yang sama, tapi kalau dari Tuan Kanae rasanya jadi puluhan kali lebih enak!”

“Masa iya...?” 

Teh susu yang disajikan pun diminum Yuki dan Levy bersama-sama dari satu gelas dengan sedotan.

“Cukup gigit ujungnya lalu sedot,” begitu cara pakainya, yang Yuki coba lakukan dengan canggung. 

Di sisi gelas, Levy berdiri sambil minum dengan sedotan mini sebesar tusuk gigi, menyeruput pelan-pelan dengan wajah bahagia.

Namun, Levy menuangkan gula batang begitu banyak sampai-sampai Kanae sendiri merasa ngeri melihatnya. Teh susu itu pun berubah kental nyaris tak sedap dipandang. 

“Kanae, tolong.”

Bagi Yuki, sepertinya ucapan itu sudah berarti kue akan otomatis disuapkan ke mulutnya. 

“Tahu nggak, Yuki. Sebenarnya, kue itu bukan dimakan dengan cara seperti ini.”

Kanae menjawab sambil tersenyum kecut, namun tangan kanannya tetap membawa garpu bolak-balik dari piring kue ke mulut Yuki. 

“Manusia, biasanya tidak saling menyuapi, ya?”

“Kebanyakan orang, biasanya makan sendiri.”

“Kalau begitu, bagaimana dengan perempuan...? Perempuan, tidak disuapi seperti ini?” 

“...Ah.” 

Baru saat itu Kanae tersadar. Ini adalah meja khusus untuk pasangan. Dia pun akhirnya menyadari makna dari perbuatan itu, dan wajahnya memerah.


* * *


Sisa panas di awal musim gugur disapu oleh angin sejuk yang melintas di kota. 

“Benda lengket apa itu...?”

“Aku juga mau coba!” 

Yuki dan Levy menarik-narik lengan Kanae sambil menunjuk pada gerobak yang menjajakan es krim Turki. 

“Yang merah delima itu satu, ya!”

“Hai, my darling! Dan kamu! Dia gadis cantik, jaga dia baik-baik!” 

Pemuda berkulit sawo matang itu menampilkan senyum ramah penuh keakraban, lalu menepuk bahu Kanae dengan gaya bersahabat. 

“Kanae, tolong.” 

Karena es krim Turki memiliki tingkat kekenyalan tinggi, Yuki yang bahkan tak bisa menggunakan sendok tak mungkin bisa memakannya sendiri. 

“Aku juga, aku juga! Aaan~!”

Kanae mendudukkan Yuki di kursi yang tersedia, sementara Levy duduk nyaman di atas paha putih yang sedikit terbuka. 

Dengan tekun, Kanae menyuapkan es krim secara bergantian ke mulut keduanya yang memiliki perbedaan tinggi. 

Tatapan iri dari sekeliling pun mengarah pada Kanae; bagi orang lain, gadis cantik bergaya tomboy dan seorang pemuda biasa memang tampak tak sepadan. 

“Kanae, benda bening yang bergetar itu apa?”

“Itu toko anmitsu di sana sangat enak sekali, lho! Yuki punya selera bagus!”

“Dari tadi kamu makan terus saja ya... Baiklah, ayo ke sana.” 

Saat Kanae berkata demikian, Yuki diam-diam mengulurkan tangan kirinya. 

Yuki sering tiba-tiba berhenti di pinggir jalan dan termenung, lalu berulang kali digoda lelaki asing. 

Membiarkannya berjalan sendiri terasa berbahaya, maka tanpa disadari Kanae selalu menggandeng tangan kirinya, menuntun langkahnya. 

Hal itu sudah menjadi sesuatu yang wajar. 

“Selamat datang. Anda mau pesan apa?” 

Nada bicaranya memang klasik, tetapi wanita berkimono itu sebenarnya seorang kecantikan berambut pirang khas bangsa Jerman. 

“Tuan Kanae! Bagaimana kalau seperti biasa, anmitsu matcha dengan siraman kuromitsu!”

Dengan suara nyaris tak terdengar, Yuki berbisik, “...Aku ingin cicip yang itu…”

“Kalau begitu itu saja, eh, maksudku! Satu anmitsu matcha dengan kuromitsu, tolong.”

“Hm? Baiklah, terima kasih atas pesanannya. Silakan duduk di sini.” 

Mereka diarahkan ke kursi empat orang, berbeda dengan di kafe René, di sini mereka dikelilingi para kakek pelanggan tetap. 

Agar Yuki tak perlu bersuara terlalu keras, Kanae mendudukkannya di sebelah, dengan Levy yang duduk di antara mereka. 

“Aduh aduh, mesra sekali. Ayo, makanlah dengan akrab.” 

Levy yang tak sabar menepuk-nepuk lutut Kanae, membuatnya lebih dulu mengambil sebagian ke piring kecil. 

Dia menghancurkannya sedikit, memotongnya ke ukuran kecil yang pas untuk Levy, lalu menyodorkan sendok mini. 

“Kanae, tolong.”


Yuki saat ini bahkan tak bisa menyendok mitsu-mame atau agar-agar. 

“...Cobalah makan sendiri sekali saja. Tak apa berapa lama pun waktu yang kamu butuhkan.”

“...‘Hari ini aku akan menyuapimu,’ begitu kata Kanae tadi.”

“Kamu cepat sekali tanggap di saat-saat aneh begini... Baiklah, benar-benar hanya untuk hari ini saja.” 

Dengan wajah lelah bercampur pasrah, Kanae menaruh mitsu-mame, agar-agar, dan sirup sekaligus di atas sendok, lalu menyuapkannya ke mulut Yuki yang duduk tepat di sebelahnya. 

Yuki menatapnya dari bawah, lalu menutup bibirnya dan perlahan merasakan manis itu. 

Kanae, tersiksa dalam rasa malu yang membara di dalam hati. 

Yuki, tanpa peduli, terus mengunyah dengan tenang, masih menatap ke arah Kanae. 

Para kakek pelanggan tetap yang duduk di sekitar mereka pun bersorak riang. 

“Aduh, masa muda memang indah ya.”

“Tujuh puluh tahun yang lalu, aku juga sering menyuapi Tome seperti itu.”

“Meski begitu, pemuda itu benar-benar biasa sekali, ya.”

“Tak apa, yang penting itu isi hatinya. Jangan mencela pilihan seorang gadis.” 

Tatapan hangat itu, lebih dari sekadar kritik, membuat suasana begitu menyesakkan. 

Tak tahan lagi, Kanae pun berkata, “Sepertinya kalian sudah kenyang, kan? Jadi, setelah ini kita pergi beli pakaian.”


* * *


“Ta-daaa! Inilah Yuki yang telah berubah menjadi seorang nona muda yang anggun dan suci!”

Dari ruang ganti kedap suara, Yuki dan Levy pun muncul.

Ditemani oleh seorang pelayan kecil dengan celemek rumbai-rumbai, Yuki dengan ragu-ragu membuka pintu ruang ganti. Dia mengenakan gaun putih polos tanpa lengan yang panjangnya hingga lutut.

Dengan topi jerami yang dikenakan menutupi wajahnya, dia benar-benar tampak seperti seorang putri bangsawan yang tengah berlibur di tempat peristirahatan musim panas. 

“Ada juga pakaian dalam yang lucu! Celana dalam milik Tuan Kanae sudah kubuang jauh-jauh!”

Mungkin karena mendengar ucapan Levy itu, Yuki pun mengangkat ujung rok putih selututnya dengan kedua tangan.

“Sudah dibuang.”

“Turunkan tanganmu! Tidak ada yang menyuruhmu memperlihatkan celana dalammu!”

Menurunkan tangannya dari ujung rok, Yuki lalu berbisik kecil, agar suaranya tidak sampai terdengar oleh siapa pun selain Kanae.

“Aku juga mencoba memakai sesuatu yang disebut bra. Sensasi dadaku yang tertutupi ini, agak terasa aneh.”

Kali ini dia menarik kerah gaun itu ke bawah, hampir hingga ke batas berbahaya.

"Aku juga tidak bilang untuk memperlihatkan bra-mu!”

Kanae menekan pelipisnya, memikirkan bagaimana caranya mengajari Yuki hal-hal mendasar tentang kewajaran. 

“...Lalu, setelah kamu mencoba mengenakannya, bagaimana menurutmu? Menurutku, yah, kamu terlihat cocok.”

“Aku merasa ini mirip dengan pakaian yang sebelumnya kupakai... Menurutku...”

Sebelumnya, Yuki memang selalu mengenakan gaun putih pendek yang mirip dengan busana pengantin barat, sesuatu yang disebut kondisi standar.

Pakaian itu, seperti perlengkapan terkutuk, tidak bisa dia lepaskan sama sekali. 

“Kalau begitu, ganti saja. Levy, pakaikan dia sesuatu yang lain lagi.”

“Serahkan padaku! Nah, Yuki! Aku akan membuatmu lebih lucu lagi!”

Levy menarik Yuki kembali masuk ke dalam ruang ganti.

Di ruang kedap suara itu, entah seperti apa interaksi mereka berlangsung.

Mungkin mereka saling bercanda akrab, mungkin penuh keceriaan. 

“Dan inilah! Kimono dengan bordir bermotif ikan mas! Yuki yang cantik dalam balutan gaya Jepang klasik!”

Di atas rambut peraknya, sebuah topi merah bergaya retro yang mengingatkan pada zaman Taisho dikenakan.

“Dengan topi bertepi lebar ini, mata Yuki juga terlindungi dengan sempurna!”

“Tunggu dulu! Label harganya ini ada enam digit, lho!”

“Levy juga melepaskan celana dalam dan bra dariku. Terasa sangat dingin dan kosong.”

“Tidak perlu sampai sedetail itu! ...Lalu, bagaimana dengan pakaiannya?”

Kanae tetap bertanya.

“Pakaiannya berat... Dan ikat pinggang ini menekan perutku, terasa sesak...”

“Ya wajar saja, mengingat kamu sudah banyak makan. Kalau begitu Levy, aku minta tolong lagi.” 

Di dalam ruang ganti, sudah menumpuk banyak pakaian yang bisa jadi dibeli.

Di antara itu semua, Yuki pun menjadi boneka ganti pakaian Levy.

Berganti busana, memperlihatkan diri pada Kanae layaknya pertunjukan mode, lalu kembali masuk untuk mencoba yang lain lagi.


Begitulah, meski Kanae selalu menyetujui tiap penampilan Yuki, gadis itu tetap jarang mengangguk menerima.

Bukan masalah cocok atau tidak, melainkan penilaian berdasarkan perasaan Yuki sendiri yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Kanae ingin menghargai sikap kecil Yuki yang mulai berusaha menyatakan kehendaknya sendiri.

Meski sulit baginya untuk mengambil keputusan, akhirnya Yuki hanya mengangguk tiga kali saja. 

“Sekarang kita kembaran! Ayo, Yuki, layani juga Tuan Kanae!”

Busana pelayan yang sama persis dengan Levy.

Gaun hitam panjang dengan celemek rumbai putih di atasnya, hingga detail panjang rok dan bentuk rumbainya benar-benar serupa.

Di rambut peraknya, sebuah penutup kepala rumbai putih diikatkan.

“Kembaran dengan Levy... Melayani Kanae... Kalau begitu, bolehkah aku meminta ini?”

Anggukan Yuki yang kedua ternyata pada pakaian yang serupa dengan busana bekas Kanae.

Tank top putih memperlihatkan pusarnya, dengan gambar tengkorak usang yang lebih provokatif dibanding kaos bekas Kanae.

Bawahan berupa celana pendek biru tua dengan sobekan yang ditata rapi melalui sobekan.

Dipadukan dengan topi kasual yang sudah akrab baginya, Yuki pun tampak sangat serasi.

“Ini yang kusuka, Kanae. Adem, nyaman, dan entah kenapa, aku menyukai gambar ini.”

Segala sesuatu yang pertama kali dialami memang meninggalkan bekas mendalam bagi pembentukan nilai seseorang.

“...Sepertinya aku salah langkah di awal. ...Seandainya saja kuberi pakaian yang lebih normal...”

“Kenapa, Kanae? Mengapa wajahmu terlihat kesulitan?”


Dan untuk ketiga kalinya.

Pakaian yang akhirnya dipilih Yuki membuat Kanae benar-benar terkejut. 

“Bagaimana menurutmu, Tuan Kanae! Inilah busana musim dingin yang terinspirasi dari nama Yuki!”

Sebuah mantel duffle abu-abu yang panjangnya hingga menutupi lutut, dipadukan dengan rok flare merah gelap mendekati hitam.

Kakinya dibungkus kaos kaki longgar putih, sementara di kepalanya dikenakan topi rajut merah terang yang menutupi dahinya.

Di tangannya, sarung tangan wol terpasang rapat, dan Yuki pun menepuk-nepukkannya untuk merasakan kenyamanannya. Dia memang kelihatan cocok.

“Padahal masih bulan September!! Betapa panas dan pengap pakaian itu...”

“Untuk apa pakaian longgar ini, Kanae?”

“Pakaian itu untuk dipakai di tempat yang bersalju, saat kondisinya sangat dingin. Yuki tidak akan ke sana, kan?”

Mendengar itu, Yuki menatap lekat kedua sarung tangannya, lalu berbisik lirih.

“...Umm... Bolehkah aku meminta yang ini?”

“Hm? Yah, kalau memang itu yang kamu mau.” 

Akhirnya Kanae membeli tiga set pakaian: seragam pelayan, tank top dengan celana pendek, dan busana musim dingin. Kombinasi yang sangat aneh, namun begitulah.

Harganya memang mahal, tetapi toh itu hanya uang santunan yang tidak akan habis terpakai untuk dirinya seorang.

Bila bisa membuat seseorang bahagia, bukannya itu jauh lebih baik? Itulah yang membuat Kanae merasa puas.


Pakaian yang dipadatkan dalam kemasan vakum dan menjadi ringkas itu dimasukkan ke dalam ransel besar, lalu Kanae dan yang lain pun keluar dari toko. Dari luar kota yang tak jauh dari sana, terlihat sekilas warna langit yang merona merah pucat. 

Waktu menunjukkan pukul 18:30. Pada awal September seperti sekarang, di permukaan tanah mungkin cahaya senja sudah benar-benar tenggelam.

Namun, warna matahari terbenam yang terlihat dari sini justru baru saja dimulai. 

Di Kobe, Kota Terbalik yang berada di ketinggian puluhan kilometer, sudut datang cahaya matahari berbeda, sehingga waktu dan sifat cahaya senja pun sama sekali lain. 

Kanae menggenggam tangan kiri Yuki. Di atas tangan mereka berdua, Levy duduk dengan seimbang.

“Eh? Tuan Kanae, anginnya sama sekali tidak berembus. Bukannya ini agak aneh...?”

Di kota Kobe, sistem pendingin udara untuk setiap distrik yang disebut Floor Lagging menciptakan iklim tertentu di tiap lantai.

Memang benar, sebelum masuk toko tadi, angin musim gugur masih berembus lembut. 

“Kamu terlalu memikirkannya, kan? Baiklah, sepatu sudah dibeli, pakaian pun sudah lengkap, jadi sebelum matahari terbenam kita harus sudah pulang. Tapi sebelumnya, kita harus membeli persediaan makanan dulu. ...Atau lebih tepatnya, kita juga harus memutuskan apa yang akan kita lakukan setelah ini...” 

Kata-kata Kanae yang di ujungnya terdengar seperti gumaman sendiri, ditimpali Yuki dengan suara terbata-bata, seakan menindih ucapannya.

“...Umm... Kanae... Levy... Aku... Mulai dari sekarang...”


* * *


“Di sini Phonetic, Regu 24, X-Ray. Sekitar dua setengah kilometer di depan, kami telah menangkap keberadaan Elwesii.”

“Regu 25, Yankee, dan Regu 26, Zulu, juga sudah mengamankan garis tembak. Memulai penembakan segera. Tiga, dua, satu...”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close