NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

America Gaeri no Uzakawa Osananajimi Volume 3 Chapter 3

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 3

Awan di Hati yang Menutupi Langit Malam


Hujan cahaya bintang yang jatuh perlahan dan lampu jalan yang redup menerangi Seira dengan lembut.


Angin malam yang melintas menyejukkan kulitku yang sedikit berkeringat.


Kami berhenti sejenak karena pengakuan mendadak itu—


Namun, seakan mengisi kekosongan waktu itu satu per satu, Seira mulai berbicara.


"Ruu-kun, kau masih ingat saat pertama kali kita bertemu?"


Aku tidak bisa menjawab, bahkan untuk pertanyaan yang seharusnya cukup dijawab dengan "ingat."


Melihatku menekan tinju dengan erat, Seira terlihat sedikit sedih.


Aku tahu aku tidak punya hak untuk membuatnya seperti itu, tapi aku tetap menyesal karena membuat Seira menunjukkan wajah itu.


"Aku tidak melupakan itu. Bahkan sekarang aku masih memimpikannya. Saat istirahat siang di hari musim dingin. Lapangan kecil di ujung halaman sekolah. Menemukanmu di tempat itu adalah kebetulan paling bahagia dalam hidupku."


Seira menempatkan tangannya di depan dada, seolah memeluk harta yang ada di hatinya.


"Ada seorang anak laki-laki yang menari dengan sepenuh hati di sana. Bukan karena disuruh siapa pun, bukan karena dipaksa, tapi hanya karena ia menyukai menari. Walaupun musim dingin, ia hanya mengenakan lengan pendek, basah karena keringat, dan tubuhnya penuh lumpur karena jatuh berkali-kali. Aku sama sekali tidak menganggapnya keren—tapi tetap saja aku tidak bisa mengalihkan pandangan."


Matanya menatapku, seakan berkata, "Tahu kenapa?" Aku tetap tak bisa menjawab.


Aku ingat pertemuan pertama kami.


Tapi aku tidak pernah tahu kenapa Seira bisa menyukai tarianku.


Aku belum pernah mendengar alasannya.


"Waktu itu, Ruu-kun terlihat senang."


"...?"


"Kau tenggelam dalam tarian. Kau begitu fokus dan serius menari. Bahkan aku yang kebetulan melihatmu saat itu bisa langsung tahu—kau benar-benar menyukai menari."


"..."


Mendengar cerita kenangan dari Seira, hatiku terasa geli.

Ia melihat hatiku yang menyukai menari.


Sejak pertama kali bertemu, Seira selalu melihatku yang menyukai tarian.


...Aku bahagia. Sangat bahagia.


Karena menari tidak akan berarti tanpa ada yang menonton.


"Aku menyukai tariamu, Ruu-kun. Aku menyukai semua—keringatmu saat asyik menari, wajahmu yang malu saat gagal, senyummu yang seperti anak-anak saat berhasil sedikit, semuanya. Tanpa sadar, aku jatuh cinta pada Ruu-kun yang menari dengan bahagia."


Pengakuan Seira yang tersenyum lembut memiliki gema yang tak tergoyahkan.


Aku tidak ingin mengatakannya dengan kata-kata pengecut seperti "itu sudah terlambat."


Aku pasti sudah menyadarinya.


Aku hanya berpura-pura tidak melihat perasaan teman masa kecilku yang selalu dekat.


"Aku gadis yang egois, Ruu-kun. Aku tidak akan berkompromi soal cintaku. Aku menyukai Ruu-kun yang menari. Jadi aku kembali dari Amerika. Supaya kau bisa menemukan kembali tarianku. Supaya kau kembali menjadi anak laki-laki yang ku-cintai, yang menyukai menari."


Aku mungkin pengecut.


Seira menatapku lurus, menumpahkan perasaannya yang terang benderang.


Jadi aku pun harus menghadapi perasaannya itu secara langsung.


Aku tahu, tapi tetap saja—


"…!"


Aku mengalihkan pandangan sebentar.


Nowa yang mengawasi kami memegang tinju dengan wajah cemas.


Wajah yang menahan rasa sakit.


Saat itu, suaranya terdengar di kepalaku:

"Jawablah perasaanku saat itu dengan benar."


Aku teringat janji yang dibuat.


Saat itu, Nowa tersenyum cerah, seakan menaruh sesuatu pada masa depan.


Tidak, pikirku.


Sebuah penolakan yang tidak jelas untuk apa pun muncul di benakku.


Hanya itu saja sudah cukup untuk menggoyahkan tekadku.


Aku hanya bisa mengucapkan kata-kata samar, seakan menghindar atau menipu diri sendiri.


"...Aku bisa menari lagi berkat Seira. Aku tahu itu—"


"Tidak, Ruu-kun. Kau belum benar-benar menari lagi."


Namun, bahkan alasan seperti itu, Seira tidak akan memaafkannya lagi.


...Ah, ia sungguh serius.


Ia menyadari aku terus menghindar dan berpura-pura tidak sadar.


Seira ingin benar-benar bertarung, hingga mengorbankan momen pentingnya sebagai gadis yang mengaku cinta.


"Aku tidak tahu apakah kau mahir menari atau tidak. Tapi aku merasa aku paling mengerti tentangmu, Ruu-kun Jadi ini sesuatu yang harus kukatakan."


"...Tunggu, tunggu, Seira."


Meski begitu, aku tetap mengucapkannya dengan terdengar lemah dan memelas, seperti anak yang dipaksa melakukan sesuatu yang tidak ingin ia lakukan.


"Aku akan memberi jawaban. Pasti. Tapi tunggu sedikit lagi. Sekarang aku ingin fokus pada menari. Turnamen sebentar lagi. Dengan turnamen ini, dengan tarian ini… jika aku berhasil, aku rasa aku akan percaya pada diriku sendiri. Setelah itu, pasti—"


"Ruu-kun."


Kata-kataku yang lemah segera terhenti oleh suara Seira.


Mata biru beningnya menatapku seakan menembus segala kotoran dalam hatiku.


"Jangan gunakan tarian sebagai alasan lagi, ya?"


"—!"


"Ruu-kun yang kucintai tidak akan menggunakan tarian seperti itu."


Srekk—Kata-kata Seira itu lebih dalam menembus hatiku daripada pengakuan mendadak apapun.


"Tarianmu harus lebih bebas, Ruu-kun. Tidak seharusnya dipakai sebagai alasan untuk sesuatu. Tarianmu yang kulihat bersinar, seperti butiran cahaya yang keluar dari hatimu, adalah tarian Ruu-kun yang aku sukai—penuh warna yang menyenangkan."


"Seira… aku—"


Aku mendengarnya.


Pengakuan Seira, dan semua perasaan yang terkandung di dalamnya.


Kalau begitu, aku harus memberi jawaban.


Aku tahu seharusnya begitu, tapi hatiku masih terjebak dalam pusaran pemikiran.


Sial, aku membenci diriku yang pengecut ini.


Ini pengakuan cinta. Ia bilang suka padaku. Ia mencintaiku dengan kata-kata tulus. Hadapilah itu. Jangan lari dengan alasan bodoh.


Tapi…


Sakit yang menekan dadaku tak berhenti.


Nowa yang menatap cemas, bibirnya terkatup rapat.

Itu malah membuat luka di hatiku semakin lebar.


Karena, apapun jawabanku saat ini—


Waktu ini akan hancur. Itu sudah pasti.


"Jawabannya tidak harus segera, kok."


Aku membuka mulut, tapi segera menutupnya lagi.


Untukku yang terus-menerus ragu dan lemah seperti ini, Seira memberiku waktu lagi.


"Ruu-kun memang anak laki-laki yang selalu memikirkan banyak hal. Makanya aku sudah terbiasa menunggu, karena kau begitu."


Suaranya yang menertawakan dengan santai kembali cerah seperti biasanya—


Maka aku berpikir,


…Ah.


…Aku kembali manja pada kebaikan Seira.


"Tenang saja, Ruu-kun. Kau pasti bisa memberi jawaban."


Senyuman yang ditujukan padaku terlalu menyilaukan, sampai aku menundukkan wajahku.


Sungguh, mengapa Seira bisa begitu mempercayaiku?


Berapa pun aku berpikir, jawabannya tidak akan muncul. Tidak mungkin muncul.


Seorang pria yang bahkan tidak bisa menghadapi pengakuan cinta seorang gadis, tidak mungkin menemukan jawaban yang nyaman seperti itu.


"…Hei, Ruto…"


Berapa lama aku menunduk?


Mendengar suara Nowa yang ragu, aku menengadahkan wajahku—


Tapi Seira sudah tidak ada di sana.


Jalan pulang yang sebelumnya tertawa bersama kini berubah menjadi dunia sepi yang diterpa angin musim dingin.


Seperti hujan yang jatuh perlahan, tanpa payung, aku hanya bisa berdiri terpaku.


"Nowa… maaf, tapi biarkan aku sendiri dulu…"


Suara yang berhasil keluar hanyalah permintaan sepele itu.

Nowa menatapku dengan wajah cemas, beberapa kali—


"...Cepat pulang, ya. Jangan sampai masuk angin."


Itu saja yang ia katakan, lalu membiarkanku sendiri.


Kata-kata lembutnya menyentuh hatiku, sampai hampir meneteskan air mata.


Tapi menangis terasa pengecut, jadi aku menggigit gigi dan menahannya.


Jangan menjadi korban. Jangan pura-pura bersedih.


Detak jantung yang sakit, tenggorokan yang sulit bernapas.

Semua itu, semua, adalah akibat yang kubuat sendiri.


"……Sialan."


Kata-kataku yang jatuh, bahkan aku tidak tahu untuk siapa.


Langit musim dingin yang sepi, bintang yang bersinar di sana, terasa dingin, sakit, dan sangat jauh.


***


Apa yang seharusnya kulakukan?


…Tidak, aku bahkan tidak ingin jatuh ke dalam rasa benci diri yang nyaman seperti itu.


Cinta atau kasih sayang, hal-hal itu terasa asing dalam hidupku.


Setidaknya, itulah yang kupikirkan. Pusat hidupku adalah tari, tidak ada waktu untuk menoleh pada manis-asamnya masa muda seperti di manga atau anime.


…Tidak, jangan membenarkan dirimu dengan kata-kata manis seperti itu.


Kelemahan seperti itu pasti yang membuat Seira menunjukkan wajah seperti itu padamu.


—Berhenti gunakan tarian sebagai alasan, kan?


Bukan aku tidak bisa menatapnya.


Aku yang menghindar dari menatapnya.


Karena waktu bersamanya menyenangkan.


Pagi-pagi, saat membangunkannya, aku tak bisa menahan diri menatap wajahnya yang masih mengantuk. Wajah polos itu lucu, dan aku merasa itu tanda kepercayaan.


Setiap hari pergi ke sekolah bersamanya membuatku senang. Bersamanya, hal-hal kecil pun bersinar, bahkan jalan pulang yang biasa terasa indah.


Dipanggil namaku membuatku senang. Ia selalu tersenyum dan memanggilku "Ruu-kun." Nama yang kekanakan, tapi membuatku bahagia karena rasanya hati kami tetap terhubung sejak kecil.


Aku pikir hari-hari bersama Seira sudah berakhir. Aku berhenti menari, melanggar janji, dan hanya tersisa kenangan indah.


Tapi Seira kembali dari Amerika, menutupi khayalku yang lemah dengan senyum seperti matahari.


Berbagai tempat yang kami kunjungi terasa seperti mimpi, dan aku menutupi senyumku di balik ekspresi takjub.


Akumulasi hari-hari itu tidak mungkin tidak menimbulkan perasaan apapun.


Aku berdebar oleh gerakan kecil Seira.


Bau manis rambutnya setelah mandi membuat pipiku merah berkali-kali.


Sentuhan jarinya membuat jantungku melompat, tapi genggaman tangannya memberi rasa aman.


Perasaan hangat yang diam-diam menetap di hatiku, apa nama yang tepat untuk itu?


Seharusnya aku tahu, tapi aku terus berpura-pura tidak menyadarinya.


Karena…


"…"


Aku teringat Nowa ketika Seira mengaku cinta padaku.


Dia menggigit bibir kecilnya, menekuk tinjunya yang gemetar.


Wajahnya hampir menangis, menahan sesuatu dengan sekuat tenaga. Aku tidak bisa berpura-pura tidak menyadari maknanya.


Jantungku sakit.


Ia bilang mencintaiku.


Aku tidak menghadapi pengakuan itu.


Dalam hatiku… aku berharap ia berhenti.


Karena apapun jawabanku, hubungan kami akan berubah.


Bercanda dengan Seira, menari bersama Nowa, masa-masa bahagia itu akan berakhir.


Aku menolak seperti anak kecil.


Seira dan Nowa, mereka sangat penting bagiku, dan aku tidak ingin menyakiti mereka.


Tidak, mungkin itu hanya kedok—aku hanya takut. Takut merusak waktu bahagia ini dengan tanganku sendiri.


Makanya aku berpura-pura tidak menyadari.


Perasaan Seira, perasaan Nowa, bahkan perasaanku sendiri.


Aku ingin menoleh saja, ingin santai, tidak ingin memilih, tidak ingin melewati batas yang kami buat.


Jalan keluar itu… adalah tarian.


Aku belum mencapai apa-apa.


Itulah kenapa sekarang aku ingin fokus menari.


Aku ingin tenggelam dalam tarian, sampai tidak sempat memikirkan hal lain.


Setelah itu, aku yakin bisa menghadapi perasaan yang ada.


"……Bodoh banget aku."


Aku secara otomatis mengutuk diriku sendiri atas semua dalih yang kubuat.


Itu hanya alasan pengecut yang manja.


Benar saja, aku tidak menatap perasaan Seira, perasaanku sendiri, atau bahkan tarian.


Dengan perasaan seperti itu, apa yang bisa aku capai dengan menari?


Aku tahu. Aku seharusnya tahu—


"…Tapi, bagaimana lagi?"


Sejauh ini, aku memilih jalan keluar yang nyaman karena waktu yang telah kulewati begitu menyenangkan.


Bertemu kembali dengan teman masa kecil yang dulu terpisah, dan dengan partner yang bisa kubilang sebagai sahabat berharga.


Menghabiskan waktu bersama di dunia yang berbeda, mereka menjadi sosok yang tak tergantikan.


Waktu yang bisa kulewati bersama Seira dan Nowa terasa seperti mimpi yang menyenangkan.


Larut dalam pemandangan itu, tertawa bersama, itulah harta yang paling berharga.


Aku tidak ingin menghancurkannya.


Aku ingin tetap seperti ini selamanya.


Semakin aku memikirkan mereka, pikiranku hanya berputar-putar di tempat yang sama.


Apakah pemikiran ini punya jalan keluar?


Kalau pun ada, apakah aku—yang bahkan tidak bisa menerima perasaan baik yang ditujukan padaku—punya keberanian dan hak untuk meraihnya?


"……Ah."


Kakiku yang berjalan tanpa arah di jalan pulang, entah bagaimana, tiba-tiba sampai di rumah.


Di rumah yang telah kuhuni bersama teman masa kecilku yang kembali dari Amerika, sudah enam bulan.


Waktu yang kulewati dengan Seira terlalu membekas di sini.


Tanganku gemetar saat memutar kenop pintu yang seharusnya sudah terbiasa kugenggam.


Melepas sepatu, melangkah masuk, semuanya terasa memerlukan waktu, seolah ragu-ragu.


"Ruto, selamat pulang. Makan malam akan siap sebentar lagi."


Di dapur yang tersambung dengan ruang tamu, ibuku mengaduk-aduk panci dengan sendok kayu. Isinya beef stew. Aroma ketchup manis menusuk hidung.


Sejak Seira datang, rasa masakan ibu sedikit berubah. Bumbu lebih kuat, rasa lebih pekat. Aku sudah terbiasa, tapi aroma ketchup itu membuatku tiba-tiba mengingat sesuatu.


Meja makan keluarga Maiori yang kuisi bersama Seira. Dia makan apa saja dengan lahap, tapi wortel selalu dibenci. 


Baik di curry, beef stew, atau hamburger, begitu wortel muncul, dia diam-diam memindahkannya ke piringku. 


Ketika kuingatkan, jadi pertengkaran konyol, kami berdua dimarahi ibu—……


…Ah.


…Ah, sial.


Aku tidak mau. Aku tidak ingin menghancurkan, kehilangan, atau memikirkannya.


Kenangan yang tiba-tiba muncul itu menekan dadaku.


"……Ruto, ada apa?"


Aku terkejut, menengadahkan wajah.


Apakah apa yang kupikirkan terlihat di wajahku? Ibu tampak khawatir.


Aku mencoba tetap tenang saat menjawab.


"Tidak apa-apa, tidak ada apa-apa. Seira sudah pulang duluan?"


"Oh, kau belum dengar?"


Sebelum aku sempat bertanya "dengar apa?", ibu melanjutkan.


"Seira-chan katanya karena pekerjaan modelingnya harus tinggal beberapa waktu di hotel di Tokyo. Olivia-san juga sedang di Jepang, jadi dia sepertinya tinggal di sana sementara."


"……"


Mendengar itu, beberapa perasaan berputar di hatiku.


Aku merasa lega tidak perlu bertemu dengannya, tapi juga sedih karena waktu yang berharga sudah sedikit hancur.


Mungkin Seira memang tahu, dan itulah kenapa ia mengaku sekarang.


Memberiku waktu untuk berpikir sendiri.


Agar aku bisa memberi jawaban tanpa memikirkan hal-hal lain.


"……"


Aku menoleh ke kalender.


Kalender bulan Desember dengan beberapa tanggal diberi lingkaran merah.


Tanda itu menandai tanggal kualifikasi dan final 'C-DAF'.


Di dekat lingkaran merah, dengan pena warna yang sama, tertulis "Ayo, Ruto!" dengan tulisan yang melompat-lompat. Itu bekas Nowa yang berkunjung ke rumah, tanda semangat dan tekadnya—


…Ah, sial.


Aku berkata itu seolah ingin lari dari jejak orang-orang penting.


"……Ibu, aku mau lari sebentar."


"Dari sekarang? Sudah cukup gelap di luar—"


Ibu menoleh, menatap wajahku, sepertinya mengerti sesuatu.


"Baik, aku kebetulan sedang bingung mau masak satu hidangan lagi. Tapi jangan terlalu lama ya."


"Baik."


Aku kembali ke pintu depan, memanfaatkan kebaikan ibu yang tak bertanya banyak.


Mengikat tali sepatu dengan kuat, kemudian membuka pintu.

Angin malam yang dingin menyergap tubuhku, tapi anehnya, sekarang terasa nyaman.


"……Sial."


Gelap malam sudah sepenuhnya turun.


Saat menengadah melihat gelap yang dalam, bintang-bintang tetap menghias langit dengan indah.


Aku pernah mengagumi yang bersinar, dan ingin menjadi seperti itu suatu hari.


Aku mengulurkan tangan ke langit malam.


Cahaya bintang tampak seolah bisa kugapai, tapi jaraknya sebenarnya tak terhingga.


Kekaguman dulu masih tetap, dan mungkin aku tidak maju sedikit pun sejak saat itu.


Hujan cahaya bintang yang jatuh perlahan seolah menyorot kelemahanku, membuatku segera berlari ke jalan di depanku.

Tak peduli irama atau kecepatan.


Seolah melarikan diri dari kegelapan yang mengintai, atau bersembunyi dari cahaya bintang yang menyilaukan.


Aku berlari.


Nafasku terengah-engah, paru-paruku sakit, kakiku hampir kram, bahkan aku tak tahu ke mana kaki ini melangkah—tapi tetap berlari.


Berusaha mengusir dentuman samar di kepalaku.

Dengan membawa hati pengecut dan lemah yang selalu menoleh ke belakang.


"……Haa… haa… haa…"


Kubi merasakan sesuatu yang dingin di pipi, membuatku semakin kesal.


Jangan pura-pura terluka.


Yang terluka, yang hancur, yang hilang, yang gagal kujaga—semuanya karena aku tidak memilih apapun.


"……Sial…… sialan……"


Langit malam yang penuh bintang tak lagi menuntunku.

Tidak, bukan begitu.


Langit tetap sama. Jalan selalu ada di depanku.


Yang tak bisa kutapaki hanyalah karena aku tidak punya keberanian.


Pada akhirnya, itu saja masalahnya.


***


Beberapa hari setelah pengakuan Seira, suatu hari…

Aku—Kurosaki Nowa—tengah terguncang di kereta sendirian, menuju pusat kota dengan gedung-gedung tinggi yang menjulang. 


Dari jendela, aku bisa melihat laut yang bertebaran di kejauhan, dan kapal besar yang membawa kargo memasuki pelabuhan dengan deretan crane.


Belakangan ini, daerah ini sedang mengalami pembangunan kembali, katanya banyak gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan yang sedang dibangun. 


Artinya, kawasan ini akan semakin bernilai, tapi bagi seorang siswi SMA sepertiku, nilai tanah itu susah dimengerti.


Aku cuma berpikir, mungkin banyak orang sedikit kaya dan bergengsi di sini. Itu saja kesan yang kumiliki.


"Hmm."


Sambil memikirkan hal itu, kereta akhirnya sampai di stasiun tujuan.


Di peron yang asing, sambil mencari papan petunjuk, aku keluar lewat pintu gerbang barat. Angin dari gedung-gedung menampar tubuhku dengan dingin, tapi aroma asin dari laut yang menusuk hidung sedikit membuatku bersemangat. 


Aroma kota yang asing, kota yang belum kukenal. 


Petualangan ke hal baru… mungkin bukan sesuatu yang terlalu besar, tapi aku sadar, aku suka menghadapi hal-hal baru.


Sebenarnya, kalau Ruto ada di sampingku sekarang, pasti lebih menyenangkan…


Tapi aku segera menggeleng, dan mengalihkan perasaan itu.


Aku menyalakan aplikasi peta di ponsel, lalu berjalan menyusuri kota pinggir teluk.


Waktu menunjukkan tengah hari. Sambil melihat wanita-wanita dewasa keluar dari gedung perkantoran besar dan masuk ke kafe-kafe keren, aku akhirnya sampai di tujuan.


Hotel Erling Palace.


Itulah hotel tempat Seira menginap sejak keluar dari rumah Ruto.


Di antara gedung-gedung di sekitarnya, hotel mewah ini menonjol. Besarnya membuatku menahan diri. Lihat ke atas saja, keindahan dan ukurannya memberi tekanan yang aneh.


Aku yang jelas terlihat "biasa" ini, otomatis mengamati sekitar dengan mata mengitari. Semua orang yang masuk keluar tampak modis dan anggun. 


Di depan pintu ada seorang satpam dengan seragam seperti penjaga, tampak menatapku curiga… atau setidaknya begitu rasanya.


E-eh, aku kan nggak pakai baju aneh… kan?


Karena akan ke kota bergengsi ini, aku sedikit memikirkan pakaian. Cardigan dengan warna netral yang chic, dan celana jeans yang sedikit usang.


Eh, meski bilang "usang," jangan pikir jadul ya. Jeans itu seperti sesuatu yang dibesarkan. Denim aging—yaitu menikmati perubahan seiring waktu. 


Sekuat apapun merawatnya, lama-lama celana jeans pasti aus atau pudar karena gesekan dan cuci. Tapi itu justru menarik. 


Denim itu kuat dan abadi. Selama tidak terjadi hal besar, jeans tetap bisa dipakai. Bekas goresan kecil, atau bagian yang memudar karena pewarna indigo, itu justru memberi kesan sejarah dan menjadi karakter denim yang dipelihara pemiliknya. 


Jejak yang berjalan bersama hidup, setia menemani saat sedih maupun susah—tanpa suara tapi setia.


"Ehm, kamu…"


"Hya! Maaf!"


Suara seseorang memotong lamunanku soal jeans.


Aku menegakkan tubuh sambil menepuk bahu, dan di sana berdiri satpam tadi. 


Ya, benar juga! Aku terlihat mencurigakan! Berdiri di depan hotel sambil bergumam soal cinta pada jeans!


Sudah pasti itu tugas satpam, pikirku, dan aku hendak menjelaskan—tapi sebelum sempat bicara, satpam itu bertanya dengan nada seolah memverifikasi.


"Kamu Kurosaki-san, teman dari Nyoya Seira, kan?"


"Eh? Ah, iya, benar…"


"Bagus. Nyonya memintaku untuk menuntunmu, jadi ikut aku ya."


Wajah satpam tersenyum ramah, tapi gerakannya sigap dan profesional. Lebih mirip pegawai hotel berpengalaman daripada satpam biasa.


Meskipun terdengar aneh dipanggil "nyonya," aku mengikuti satpam masuk hotel.


Lobi luas berkilau bersih, sampai sedikit membuatku tidak nyaman. Hmm… rasanya memang agak tidak cocok di sini.


Ngomong-ngomong, hotel Erling Palace ini dijalankan oleh merek fashion milik ibu Seira, Erling Sunrise, di mana Seira adalah putri bos besar.


Aku lupa pasti apakah dia hanya investor atau juga mengurus manajemennya. Intinya, Seira adalah anak orang penting di hotel ini, dan itulah kenapa satpam memanggilnya "nyonya."


"Nyonya… ya…"


Mengatakannya sendiri terasa aneh.


Memang, Seira jika diam, terlihat seperti gadis karismatik. Tubuh tinggi langsing, proporsi sempurna seperti gadis idaman, wajah sangat rapi, ekspresi tenang dan elegan, tapi jika tersenyum… terlalu imut sampai bikin orang terpukau.


Tapi aku tahu, itu hanya penampilan luar.


Seira yang sebenarnya cuma seorang otaku, sedikit manja, tingkahnya lucu, kadang aneh, tapi matanya bersinar saat melakukan hal yang disukai. Senyumnya yang lemah lembut justru paling manis. Dia hanyalah gadis biasa.


"……."


Makanya, ya, aku sedikit marah.


Perjalanan pulang di musim dingin, pengakuan mendadak.

Kaget memang, tapi aku tidak terlalu terkejut dengan pengakuannya.


Lihat dari luar, jelas Seira menyukai Ruto, dan aku sendiri sudah tahu saat camping di pemandian air panas.


Gadis dengan keberanian seperti Seira tidak akan tahan menyimpan perasaan itu selamanya. 


Seberapa pun berusaha menahannya, emosinya pasti meledak, dan dia pun terbawa dorongan hati untuk mengaku.


Itu hal yang masuk akal bagi Seira.


Tentu, aku tidak marah padanya. Saat Seira mengaku, hatiku terkejut, dan sedikit sedih juga.


Bayangkan cowok yang kamu suka menjalin hubungan dengan gadis lain. Itu memang menyakitkan.


Tapi aku tidak akan membiarkan rasa gelap itu tertuju padanya. Gadis yang berani mengaku lebih dulu, tentu tidak pantas dicemburui oleh yang hanya bisa diam.


Yang bisa melangkah, dan yang tidak bisa. Jika ada yang terluka, itu karena aku sendiri terlambat melangkah.


Makanya.


Yang membuatku marah bukan soal dia "mendahului" mengaku pada Ruto.


Bukan juga karena pengakuan itu menyakiti Ruto.


Yang membuatku marah… adalah wajah Seira yang paling menderita saat mengaku.


"……."


Tanpa sadar, tanganku mengepal.


Wajah Seira yang hampir menangis terus membayang di pikiranku.


…Hei, kenapa kamu membuat wajah seperti itu?


Kita mungkin bisa jadi pasangan.


Kita mungkin bisa bersama Ruto yang kita cintai.


Kalau begitu, tunjukkan wajah yang bahagia. Tersenyumlah seperti matahari seperti biasanya.


Kalau tidak, aku tidak suka.


Pengakuan yang masih menahan sesuatu… jangan coba membuatku menerimanya.


"……Aku tidak suka setengah-setengah."


Makanya, aku datang ke sini hari ini.


Karena aku tidak tahu apa yang Seira pikirkan, aku datang ke sini untuk menanyakannya langsung padanya.


Udara di hotel mewah yang asing ini sedikit membuatku tertekan, tapi jangan kira aku akan menyerah karena hal sepele seperti ini.


…Ah, aku sama sekali tidak takut! Memang orang-orang di sekitar terlihat semakin bergengsi, dan aku yang jelas "biasa" ini agak mencolok, tapi aku sama sekali tidak takut!


Aku menggenggam celana jeansku erat, seolah mencari penopang hati. Tekstur denim yang sedikit kasar terasa pas di tangan. 


Kekakuannya seolah menenangkan kegelisahanku.


Hah, tenang…


Aku tahu ini cara menenangkan diri yang aneh, tapi tak ada gunanya berdebat lagi. Di sini adalah wilayah lawan. 


Ini medan perang. Setidaknya, peralatan—atau pakaian—harus sesuai keinginanku sendiri agar hatiku tidak tergoyahkan. Percayalah. Percayalah pada jeans ini.


Dengan meyakinkan diri seperti itu, aku mengikuti satpam sampai akhirnya sampai ke restoran di dalam hotel. 


Di pintu masuk, satpam menjelaskan siapa aku, lalu seorang wanita cantik yang mengenakan tuksedo mengambil alih untuk menuntunku. 


Aku menundukkan kepala sedikit pada satpam yang kembali ke posnya, kemudian mengikuti wanita itu.


Aku kira aku akan dibawa masuk langsung ke restoran, tapi ternyata aku dibawa ke ruangan lain di lantai yang sama. 


Sebuah ruangan layaknya ruang kostum dengan banyak gaun tersedia—


"Silakan pilih gaun yang kamu sukai dari sini," katanya.


"…Hah?"


Aku mengeluarkan suara bodoh, dan wanita itu menjelaskan maksudnya.


Dress code.


Aturan berpakaian untuk menjaga suasana agar tetap elegan. 


Ternyata, tempat ini adalah "dungeon" yang tidak mengizinkan bahkan sedikit penampilan seadanya dari seorang gadis biasa seperti aku.


Diminta memilih begitu saja, aku yang 100% orang biasa tentu tidak tahu gaun mana yang bagus atau tidak. Kecuali saat pernikahan, kesempatan memakai gaun bagi orang biasa pasti jarang.


Karena bingung, aku pun berkata dengan suara kecil, seperti saat pertama kali ke warung makan, "Ehm… kalau begitu, rekomendasikan saja…"


Mendengar itu, wanita pemandu justru menatapku dengan mata berbinar. Eh, apa…?


"Maksudnya, saya bisa menyerahkan seluruh koordinasi pakaian padamu, kan?"


"Ehm, iya… maksudnya begitu…"


"Baiklah, saya akan menanganinya. Coba kenakan gaun koktail hitam ini. Kencangkan korset di pinggang sedikit lebih rapat untuk menonjolkan pinggang ramping. Roknya memiliki belahan yang cukup dalam untuk menampilkan kaki, tapi tetap menonjolkan kesan anggun, bukan sensual—menampilkan kesederhanaan dan ketenangan."


"Eh, ehh, mendadak jadi sangat rinci, ya!?"


"Maaf, tapi saat pertama kali melihat Kurosaki-sama, inspirasiku meledak. Ah, aku ingin menghiasnya sesuka hati, mengubah permata polos ini menjadi berkilau. Karena dia teman Seira, dia kelas satu SMA, ya? Fufufu… luar biasa! Bisa bermain dengan tubuhnya yang belum dewasa tapi mulai menonjolkan diri! Hari ini sungguh hari yang indah! Hidupku bersinar! Huwaa!!"


"Eh, tunggu… orang ini menakutkan, ya!?"


Begitulah kejadiannya.


Setelah berpakaian dengan gaun cantik… lebih tepatnya, dipakaikan gaun, aku akhirnya dibawa ke restoran dan bisa bertemu Seira.


Aneh… ini baru awal, tapi aku sudah tampak sangat lelah.


"Hai, Nowa. Senang kamu datang. Ya, gaun itu juga cocok padamu."


"…Terima kasih. Gaun Seira juga cantik." 



Seira yang sudah duduk menatapku dengan ekspresi heran melihat wajahku yang lelah.


Gaun merah yang dikenakannya memancarkan aura elegan dan anggun, seolah memantulkan cahaya matahari dalam kilau yang luar biasa.


Meski ada banyak wanita cantik dan bergengsi di sekitar, di hadapan Seira mereka seperti bintang-bintang biasa yang tidak bisa bersinar di siang hari. Bahkan pengunjung dan pelayan sesekali melirik ke arah Seira, seolah ingin membekukan keindahannya dalam ingatan mereka.


…Jangan terpesona.


…Jangan kehilangan tujuan.


Aku mengerutkan dahi dan duduk menghadap Seira dengan sedikit kasar.


Aku ingin mendengar maksud sebenarnya dari pengakuannya.

Menyibak apa yang ia sembunyikan, yang bahkan melebihi perasaan cintanya sendiri.


Mungkin karena terlalu bersemangat, sikapku sedikit agresif. Namun, aku sadar akan hal itu dan meyakinkan diri bahwa sikap ini baik untuk hari ini.


Hari ini, aku tidak bisa bersikap manis seperti biasa.


Seira, tak peduli seberapa kasar caraku, aku berniat menembus jauh ke dalam hatimu.


"Hei, Seira, ada yang ingin aku tanyakan."


"Ah, tunggu sebentar. Pertama-tama, mari kita nikmati makan siang dengan santai. Masakan di sini luar biasa. Oh, jangan khawatir soal dompetmu. Tentu saja aku yang traktir. Aku bukan tipe wanita yang membuat teman khawatir soal uang."


"Hmph, ucapanmu menyebalkan. Aku tidak berteman denganmu karena itu. Aku berteman denganmu karena aku senang bersamamu."


"…Kau selalu begitu, langsung menyerang sisi lemah hatiku. Bahkan tanpa sadar."


"Maksudmu apa?"


"Aku benar-benar merasa iri. Ketidakpekaanmu itu… persis seperti Ruu-kun."


Aku tidak begitu mengerti maksudnya, tapi Seira menatapku dengan sedikit tatapan iri.


Mungkin karena berada di restoran dengan suasana dewasa, ditambah gaun yang dikenakannya, pesonanya yang misterius terlihat menonjol. Bau rambutnya yang lembut membuatku sedikit terkejut, tapi segera aku mengalihkan fokus kembali ke teman pentingku itu.


"Jangan pikir dengan mengatakan hal-hal asal-asalan kau bisa mengelak. Aku datang ke sini dengan tekad yang cukup untuk menghadapi hari ini."


"Begitu… ini sepertinya bakal sulit. Tapi, maaf karena harus mengatakan ini, aku tidak punya rahasia yang perlu kusembunyikan."


"Jadi, kalau aku bertanya, kau akan menjawab dengan jujur?"


"Itulah maksudku. Lagipula ini makan siang bersama Nowa. Mari kita makan sambil bicara."


Seira mengangkat tangannya dengan cepat. Suara dan gerakannya seperti biasa. Ekspresi riangnya membuat wajah sedihnya saat pengakuan dulu terasa seperti kebohongan. 


Ia benar-benar menikmati makan siang bersama. Perasaan itu terasa nyata, dan hanya dengan bersamanya, aku pun ikut senang.


Meski pesona Seira hampir membuatku terpesona, aku segera menggeleng.


"Maaf, tapi aku tidak datang ke sini untuk menikmati makan siang. Pertama, aku ingin tahu arti sebenarnya dari pengakuan itu—"


Saat itu, suara menggoda "jwaaa" dari makanan menutupi ucapanku.


Terkejut, aku menoleh dan melihat seorang pelayan yang dipanggil Seira berdiri di samping. Ia memegang tusuk besi berisi potongan daging besar, membuatku teringat pada gerobak kebab di festival.


"Eh, ini apa?"


"Oh, ini pertama kali mencicipi churrasco, ya?"


Seira memesan "satu potong, tolong," dan pelayan itu tersenyum, lalu memotong daging tepat di depan kami. Potongan setebal roast beef itu diletakkan di piring. 


Aku yang ternganga melihatnya, Seira dengan sedikit bangga menjelaskan:


"Singkatnya, ini semacam barbecue ala Brazil. Daging yang kau pesan dipotong langsung di depanmu. Ada banyak jenis dan bagian, jadi jika kau suka, ingat saja. Dan yang paling penting, bisa pesan lagi sesuka hati."


"…Maksudmu, dagingnya all-you-can-eat?"


"Bukan hanya daging. Ada bawang, keju, bahkan nanas panggang."


Seira menoleh ke sekeliling. Mataku mengikuti arah pandangnya—beberapa pelayan berjalan membawa berbagai daging, sayuran, dan buah. Aroma harum langsung menusuk hidung, dan… malu-malu, perutku bersuara.


Pelayan yang tadi memotong daging untuk Seira masih di tempatnya, kali ini menatapku. Dengan suara tegas, aku memesan:


"Tiga potong. Potongan tebal."


Bukan karena menyerah pada nafsu, bukan karena kalah keinginan.


Lihat, maksudku… kalau aku makan dulu, Seira pasti akan lebih mudah membuka mulut. Ini strategi. Strategi dingin dan tenang dariku. Paham, kan?


Setelah beralasan begitu di kepala, aku memasukkan potongan daging ke mulut. Maafkan kalau cara pakai garpu dan pisau masih canggung.


Makan… menelan.


Eh?


…Enak banget! Eh, daging ini enak banget, apa ini!?


Restoran hotel mewah ini memang luar biasa. Penyajiannya dramatis, tapi bumbu dan tingkat kematangan daging sangat pas, terasa liar dan menggugah selera. 


Tidak seperti di tempat mewah yang bikin perut mengecil, aku makan daging selama satu jam penuh. Keju panggang dan nanas panggang juga luar biasa, dan aku bersandar sedikit malas di kursi sambil menghela napas bahagia.


"Huff… aku sudah tidak bisa makan lagi…"


"Senang kau menyukainya. Mau apa lagi? Waktu di kursimu masih ada."


"Aku akan lari-lari sebentar di sekitar hotel, biar lapar lagi."


"Aku tidak keberatan melihatmu seenaknya, tapi hentikan sekarang. Gaun cantikmu bisa kotor, lho."


Seira tersenyum manis, anggun, dan cantik.


Mungkin karena tempat dan pakaian, tapi hari ini Seira terlihat tenang dan memancarkan keindahan yang tertahan. Ada semacam aura anggun yang menutupi sifatnya yang biasanya ceria.


Sedikit terasa sepi.


Seira tersenyum anggun, indah, tapi jaraknya terasa jauh seperti bunga-bunga di seberang tepi sungai.


"Hei, katakan hal konyol lagi. Tugasmu membuat kekacauan, tugasku menertawakanmu sambil menasehati dengan tenang, kan?"


"…Maaf, tapi sejak kita bertemu, aku tidak pernah menganggapmu tenang, Nowa. Sejak pertama kali kita bertemu, aku selalu merasa kau heboh…"


Seira tampak benar-benar bingung. Sial.


Kami kemudian mengambil makanan penutup dari prasmanan. Sudah kenyang? Itu bohong. Manis selalu ada tempatnya.


"Nowa, kau makan banyak sekali. Kalau begitu, kau akan gemuk, lho?"


"Aku tidak begitu mengerti soal gemuk. Bukankah kalau hidup normal, seharusnya tidak gemuk?"


Seketika—zowa!!—sebuah tekanan hebat datang dari segala arah.


Ini… niat membunuh!? Semua wanita di restoran, termasuk Seira, menatapku dengan tekanan diam-diam!?


"…Nowa, bersyukurlah ini di tempat umum. Kalau di ruang privat mendengar perkataanmu tadi, mungkin aku sudah mengajarkanmu ‘Amerika’."


"Eh, apa maksudmu mengajarkan ‘Amerika’…?"


"Kau akan menjalani hidup tinggi kalori dan junk food. Burger, pizza, ayam goreng, hot dog, donat, es krim, dan roti bakar dengan selai kacang! Setelah itu, baru akan kubicarakan apakah perkataanmu tadi tepat atau tidak!!"


"Aaah… aku tidak begitu mengerti, tapi aku minta maaf…!"


Tekanan misterius itu membuatku tak sadar mengucapkan permintaan maaf.


Para wanita di sekitar, termasuk Seira, menahan tawa tipis sambil mengurangi " aura musuh" dihadapanku. Menakutkan… harus hati-hati dengan ucapan.


Aku menenangkan diri dengan menyesap teh. Rasa lembut dan aroma buahnya menenangkan hati.


Perut kenyang, suasana cukup cair untuk bercanda.


Lalu aku menatap Seira dan menanyakan hal yang selama ini ingin kutahu.


"Kenapa kau mengaku pada Ruto?"


Seira tetap anggun, tidak kehilangan ketenangannya.

Ia menyesap teh, melembapkan bibir merah muda, dan menundukkan mata sebentar.


"Hm, aku pikir hari ini hanya akan makan siang denganmu, Nowa… tapi sepertinya tidak bisa begitu."


"Kalau mau, aku bisa menemanimu sampai makan malam. Asalkan kau mau menjawab pertanyaanku."


"Itu tawaran yang menggoda. Bisa memonopoli gadis manis sepertimu… semua pria pasti iri. Bahkan Ruu-kun pasti akan cemburu, kan?"


Aku tersenyum tipis mendengar cara Seira berbicara yang agak bercanda itu.


Ekspresi yang lucu itu jelas tidak cocok untuk seorang anak laki-laki yang begitu bodoh dan sulit jujur seperti Ruto. 


Mungkin kalau cemburu pun, ia hanya akan memerah pipinya sambil menoleh dan berbisik pelan, "Aku nggak cemburu, kok…" …Hmm? Itu juga mungkin terlihat lucu, ya?


"Fufu, Nowa mungkin tidak tahu, tapi Ruu-kun waktu SD cukup jujur, lho. Kalau tertawa matanya bersinar, kalau marah langsung terlihat jelas dengan ekspresi kesal. Aku tetap suka Ruto sekarang, tapi waktu itu dia juga imut dan tidak bisa diabaikan."


Senyum Seira yang entah kenapa terdengar sedikit sombong itu membuatku kesal.


Entah kenapa bagian "Nowa mungkin tidak tahu" itu terasa menyebalkan.


"…Seira mungkin tidak tahu, tapi Ruu-kun waktu SMP cukup keras kepala. Mungkin berada di tengah-tengah antara masa SD yang jujur dan sifatnya yang sekarang agak membandel. Kadang tingkahnya yang aneh itu merepotkan, tapi… ya, itu juga tidak terlalu buruk."


Sejurus kemudian, seolah percikan api muncul di antara kami berdua.


"Oh? Kau ingin menantangku berdasarkan pemahamanmu tentang Ruu-kun? Padahal aku ini teman masa kecilnya."


"Hanya karena aku bertemu lebih dulu, kan. Aku yang paling tahu soal Ruto, sebagai partner-nya."


Dari situ, kami mulai saling menceritakan episode-episode bersama Ruto. Ada kejadian ini, ada kejadian itu. Akhirnya malah berubah jadi lomba mengeluhkan Ruto, "Kenapa dia bisa sebegitu bodohnya?" "Iya, ya…" dan berakhir dengan semacam kesepakatan aneh yang lucu.


Aku menahan tawa kecil.


Seira pun ikut tersenyum kecil, tampak senang.


"Nowa benar-benar menyukai Ruu-kun, ya."


"Itu juga Seira, kan?"


Senyum Seira yang tampak lelah tapi hangat itu menghapus rasa cemas yang tadi menyelimutiku.


Syukurlah, dia bisa tersenyum. Tidak ada rasa cemburu aneh yang muncul.


Hanya karena kebetulan bertemu lebih dulu, aku tidak menghalangi waktu berharga yang dia lalui bersama Ruto, tidak menghalangi janji yang mereka buat, dan dia mengungkapkan perasaannya.


…Tapi aku tidak terjebak dalam khayalan egois seperti itu.


Meski telah melihat momen yang menentukan, Seira tetap menjadi temanku.


Waktu bertemu lebih awal tidak masalah. Waktu yang telah dilalui, kenangan yang dibuat—itu tidak menjadi jarak yang memisahkan. Saat ini, Seira tetap teman pentingku, dan sekaligus rival cinta yang setara.


"Nah, aku akan menjawab pertanyaanmu. Kenapa aku mengaku pada Ruu-kun, ya?"


Seira bersandar pada siku, dagunya ditopang oleh jari yang saling terkait.


Kecantikannya itu membuatku sedikit iri, tapi agar tidak salah paham, aku buru-buru berkata:


"Dengar, ini bukan pertanyaan karena aku cemburu atau dendam, ya."


"Aku tahu. Aku tahu kau bukan gadis yang sempit seperti itu."


Dengan bercanda, Seira menambahkan, "Setelah Ruu-kun, tentu saja."


"Tapi soal alasannya, sama seperti yang kukatakan pada Ruu-kun saat pengakuan. Sepertinya Ruu-kun terlalu terikat pada janji kami. Aku ingin dia merapikan hubungannya denganku dan perasaanku, supaya bisa menari lebih bebas. Agar Ruu-kun benar-benar menikmati menari, dia tidak bisa terus dikendalikan oleh aku."


Wajah Seira saat bicara tetap tenang dan lembut. Namun matanya memancarkan tekad yang tajam, menusuk hatiku sedikit.


Mungkin aku juga yang lari dari kenyataan.

Aku menyukai Ruto.


Bisa dibilang, aku mencintainya—perasaan ini nyata. Aku ingin menjadi pacarnya. Aku sering membayangkan hal itu, bahkan sebelum tidur, membayangkan kencan kecil kami, dan memerah sambil menempelkan wajah ke bantal… Aku sudah mengalami malam-malam seperti itu berkali-kali.


Dan mungkin ini kesombongan, tapi waktu SMP aku tidak meragukan masa depan itu.


Aku adalah orang yang paling mengerti Ruto, partner yang bisa disebut satu-satunya… tapi ternyata tidak.


Tali yang menghubungkan hatinya bukan hanya aku yang mengikatnya.


Mungkin ada tali yang lebih kuat dari hubungan kami.


"Hm, jawaban ini tidak cukup memuaskan, ya?"


Teman masa kecil yang baru kembali dari Amerika.


Gadis yang masuk ke hati Ruto dari dunia luar yang kulihat, seperti heroine dalam cerita.


Jujur saja, awalnya aku kesal dan cemburu.


Seperti yang tadi aku pikirkan, kebetulan bertemu lebih dulu. Jarak yang aku perjuangkan untuk dekat dengannya, Seira bisa melewatinya dengan mudah menggunakan kenangan masa kecil. Rasanya tempatku dirusak begitu saja, hatiku terluka.


Wajar jika aku kesal melihat mereka akur.


Ia menempel seperti anak anjing, memonopoli panggilan khusus untuk Ruto, tinggal di rumah yang sama, berbagi waktu yang sama, dan selalu menunjukkan kalau dia menyukai Ruto…


…Curang, sangat curang.


Kebetulan bertemu lebih dulu tidak bisa diubah. Kenangan masa kecil yang tidak kumiliki tidak bisa dikejar sekarang. Jangan buat luka di hati Ruto di waktu yang aku tidak tahu.


Ah, curang, sangat curang.


Kalau posisi kami terbalik, aku juga pasti akan berani mengungkapkan cintaku pada Ruto…


"…Ah, andai aku bisa cemburu dengan jelas saja."


"......?"


Aku menggumam sambil menyindir diri sendiri, Seira menatapku heran.


Tidak apa-apa, balas senyumku, lalu aku menyingkirkan rasa iri yang jelek itu.


Aku tahu gadis kuat ini bukan hanya memanfaatkan kebetulan seperti kecantikan atau bertemu lebih dulu untuk berada di sisi Ruto.


Dia datang sendirian dari Amerika.


Pergi jauh dari keluarganya, menyeberangi lautan, demi bertemu Ruto.


Aku tidak ingin menyebut keberanian dan tekadnya sebagai "takdir." Seira ada di sisi Ruto karena dia berusaha. Hanya karena itu.


—Sudah cukup memakai alasan menari, ya?


Kata-kata Seira pada Ruto menusuk hatiku dalam-dalam.


Aku juga manja.


Bergantung pada posisi unik sebagai pasangan menari, tidak berani melangkah lebih jauh. Tidak mencoba mengubah perasaan yang sulit diungkap, puas hanya dengan berada bersamanya, malas mengungkapkan perasaan, tenggelam dalam angan-angan bahwa kami terhubung melalui tarian, dan hanya bisa melihat pengakuan Seira yang berani itu—


Singkatnya, aku—hanya penakut.


Aku ingin menjaga hubungan nyaman ini.


Aku tidak ingin memilih apa pun. Aku ingin puas dengan waktu manis yang saling menyadari satu sama lain. Jika bintang bersinar indah di langit malam, aku lebih suka menatap dan merasa puas daripada meraih dan gagal.


Karena kalau gagal meraih, tidak ada yang tersisa. Hanya kesepian yang menyesakkan hati.


Ah, ya.


Hebat, kuat, keren, Seira.


Seira meraih bintang.


Ke langit malam yang biasanya hanya bisa aku pandang, dia meregangkan diri sekuat tenaga, meloncat seperti kelinci bulan, mungkin bisa mencapainya atau tidak.


Dia menyampaikan perasaannya pada anak laki-laki yang disukainya.


Langkah besar ke langit itu, bagiku, terasa sangat berharga.


"Hei, Seira."


Itulah sebabnya aku berpikir.


Aku tidak ingin ada kilau lain yang tercampur dalam cahaya murni Seira yang seperti matahari ini.


Aku tidak ingin pengakuan seorang gadis yang sudah mengumpulkan keberanian sepenuhnya itu, terbuang untuk hal lain.


"Benarkah itu yang kau inginkan?"


"Maksudmu?"


"Aku bertanya, apakah pengakuan Seira akan dilakukan dengan cara seperti itu?"


"…? Maaf, aku kurang mengerti maksudmu."


"Supaya Ruto bisa menari dengan bebas. Bukankah itu alasan Seira mengaku?"


Seira mengangguk pelan, dan aku menyambutnya dengan kata-kata yang tajam.


"Kalau begitu, di mana perasaan Seira dalam pengakuan itu?"


"…Perasaanku?"


"Kau menyukai Ruto, kan? Kau ingin melakukan banyak hal yang hanya bisa dilakukan bersama pacar. Kau merasa bersemangat kalau bisa tercapai, dan jantungmu berdebar sedih kalau tidak tercapai. Itulah perasaan yang harus kau bawa saat mengaku, kan?"


Meski sudah kukatakan sampai sini, Seira masih tampak bingung. Sikap tenangnya itu membuat rasa frustrasiku semakin tersulut.


"Dengar, Seira, aku mengagumimu. Karena aku selalu membuat alasan dan tidak bisa jujur pada perasaanku sendiri, aku iri pada Seira yang selalu bisa mengekspresikan perasaannya dengan jujur dan bahagia. Bahkan meski baru enam bulan bertemu sebagai teman, aku sudah tak terhitung berapa kali mengagumi bagaimana Seira bisa begitu."


"…Itu suatu kehormatan. Tapi meski kau mengagumiku, Nowa, kau punya banyak hal hebat yang hanya kau miliki. Aku juga mengagumi hal itu darimu."


"Benar. Pada akhirnya, aku hanya iri pada apa yang tidak kumiliki. Kali ini sama saja. Saat aku ragu-ragu, Seira sudah melangkah lebih dulu. Aku tidak merasa curang. Aku lemah, Seira kuat. Hanya itu."


Istilah "perlombaan cinta" terdengar murahan dan menyebalkan, tapi aku hanya tertinggal dalam perlombaan itu.


Aku tidak ingin membuat alasan yang buruk.


Aku merasa kesal dan sakit, tapi kalau lawannya Seira, aku yakin bisa menahan semua rasa frustrasi dan tetap tersenyum. Aku bisa berpura-pura kuat dan berkata tulus, "Bagus ya, selamat."


Tapi…


"Kalau begitu, pengakuan itu harus untuk Seira, bukan hanya untuk Ruto."


――Untuk pertama kalinya, muncul retakan kecil di wajah Seira. Aku melanjutkan kata-kataku, seolah memperlebar retakan itu.


"Jadilah lebih egois. Jujurlah pada perasaanmu. Seperti biasanya, tertawa seolah kau pusat dunia dan libatkan orang lain. Jangan gunakan pengakuan seorang gadis untuk cinta atau hal lain yang tidak perlu. Lakukan pengakuan untuk membuatmu bahagia, untuk mewujudkan fantasi egoismu sendiri, untuk kebahagiaanmu."


"Nowa, aku――"


"Kalau bukan begitu, aku tidak bisa menerima."


Aku benar-benar merasa itu curang.


Gadis lembut ini mungkin bisa berbohong pada dirinya sendiri, tapi tidak bisa mengabaikan perasaan temannya.


Tapi, ya.


Aku tidak mau melihat Seira menekan perasaannya sendiri dan tersenyum seolah itu cukup.


Aku ingin menarik keluar Seira yang sejati, yang tersembunyi di balik senyum tipis itu.


Untuk itu, aku siap menjadi gadis jahat apapun.


"…Aku hanya ingin Ruto bahagia."


".......!!"


"Aku diselamatkan oleh tarian Ruto. Senyumnya yang bahagia ketika menari, ketertarikannya pada tarian, mengubah hatiku yang kesepian. Dunia yang dulu aku takutkan dan hindari, Ruto memperluasnya dengan tarian itu."


"…!!"


"Aku akan mengembalikan tarian Ruto. Tarian yang dibatasi oleh janji-janji yang tidak perlu, yang membuatnya tidak bebas, akan kubebaskan. Tidak perlu tujuan. Tidak peduli pandangan atau penilaian orang lain. Alasan Ruto menari hanyalah karena dia menyukai tarian. Itu saja sudah cukup."


"…!!"


Tidak tahan melihat Seira yang bersikap sok tahu, aku berdiri.


Kursi jatuh karena doronganku, suara keras menggaung di restoran yang sepi.


Orang-orang menatap, tapi aku mengabaikannya dan berkata:


"Jangan bilang itu berlebihan…"


"…Nowa?"


"Sejak pertama kali bertemu, Ruto sungguh-sungguh menari. Dia berlatih setiap hari dengan serius, demi menari lebih baik. Dia menargetkan pergi ke Amerika dengan tarian itu, dan berusaha keras untuk itu. Aku terpesona dengan ketekunannya. Aku ingin menari di sampingnya… Untuk pertama kalinya, aku merasa begitu dari hati."


"…."


"Jangan bilang itu berlebihan. Jangan remehkan tiga tahun kami bersama Ruto. Keringat saat latihan, pertengkaran karena berbeda pendapat, belajar teknik baru, menang di kompetisi, menangis karena tarian yang buruk, semuanya bukti kesungguhan kami. Kami menargetkan kemenangan, berjanji pada diri sendiri, dan bekerja keras menghadapi tarian."


"Itu…"


"Jangan cemari kenangan aku dan Ruto dengan asumsi Seira sendiri."


"…Maaf, Nowa. Aku tidak bermaksud――"


Melihat Seira menggeleng lemah, hatiku ikut sakit.


Aku tidak ingin menyakitinya. Aku tidak ingin membuatnya sedih.


Tapi aku tidak mau hanya diam dan menonton lagi.


Karena dia teman berharga, aku ingin menjaganya.


Aku tidak ingin perasaannya tetap tersembunyi.


Karena itu, kali ini aku akan melangkah. Bukan sekadar permukaan, tapi untuk benar-benar bertemu dengan hati Seira.


"Aku menyukai Ruto."


Saat aku mengucapkannya, beban di hati terlepas begitu saja.

Aku tersenyum kecil, dan dengan hati yang cerah, mengatakannya.


"Aku suka sisi kekanak-kanakan yang tenggelam dalam tarian. Aku suka sisi lembutnya yang tidak bisa meninggalkan orang yang kesulitan. Aku suka caranya yang tidak pernah menolak perasaan orang lain. Aku suka sisi penakutnya yang mudah cemas. Aku suka walau bodoh, dia datang menolong di saat penting. Aku suka dia tidak pernah menyerah pada hatiku."


Kata-kataku terus mengalir tanpa henti. Menyadari semua perasaan ini aku simpan, sedikit membuat malu.


"Hanya dekat dengannya saja jantungku berdebar. Pegang tangannya, lebih berdebar lagi. Menari bersamanya, jantungku berdebar lebih kencang lagi. Tapi itu sangat membahagiakan."


Aku meletakkan tangan di dada, seolah mengingat detak hangat yang menyenangkan itu.


Detak jantung yang nyaman itu seolah memberitahuku bahwa perasaanku nyata.


"Aku juga akan mengaku pada Ruto. Demi kebahagiaanku sendiri."


Egois? Tidak apa-apa. Aku ingin menyampaikannya. Pengakuan seorang gadis tidak perlu alasan lain, kan?


Ingin bersama orang yang disukai. Memberi nama khusus pada hubungan spesial itu. Tidak perlu alasan lain.


"Nee, Seira? Kalau pengakuanmu setengah-setengah, aku yang akan merebut Ruto."


"…Kalau itu membuat Ruto bahagia, tidak apa-apa. Kalau orangnya Nowa, aku yakin bisa benar-benar merayakannya."


"Benarkah? Bahkan kalau Seira tidak ada dalam kebahagiaan itu?"


"……."


"Apa pun yang Seira ingin lakukan dengan Ruto, aku akan melakukannya semua. Perasaan Ruto hanya untukku. Hal-hal yang hanya bisa dilakukan pasangan, akan kulakukan sebanyak yang aku mau."


"…."


"Hanya melihat itu saja, Seira benar-benar bisa tersenyum?"


Hening. Suara hilang.


Sebuah kesunyian yang membuat terengah terhampar di antara aku dan Seira.


Keheningan yang tak tertahankan itu membuat dada sakit, tapi aku menahan suaraku sekuat tenaga.


Waktu ini diperlukan.


Waktu bagi Seira untuk menyelam ke dalam hatinya sendiri dan menghadapi perasaan sejatinya.


Semuanya bisa lebih sederhana.


Bisa lebih jujur, lebih egois.


Tidak perlu berbohong pada perasaan cintamu hanya karena kebahagiaan orang lain.


…Hei, katakan padaku.


Sampaikan perasaan sejati Seira dengan kata-kata yang sebenarnya. Aku akan menerimanya sepenuh hati.


"…………Aku… tidak… bisa…"


Berapa lama sudah berlalu, entahlah.


Dari mulut Seira yang membeku, terdengar suara seolah meneteskan air mata.


Tetes demi tetes. Seolah sesuatu yang selama ini ia simpan dalam hatinya bocor keluar.


Kesunyian yang panjang itu akhirnya dipecahkan oleh bibir Seira yang gemetar.


"…………………Tidak mau… ah…"


Di pipi Seira yang berkerut, mengalir sebatang air mata.


Seorang model bintang yang didambakan semua orang.


Gadis sempurna yang selalu tersenyum dalam majalah, anggun, manis, dan ideal.


Namun saat ini, bagiku ia hanyalah seorang gadis kecil yang takut sendirian.


"Aku tidak mau Ruu-kun berpacaran dengan gadis lain, tidak akan pernah mau. Aku selalu menyukai Ruu-kun. Saat aku di Amerika pun, aku selalu memikirkan Ruu-kun. Sebenarnya janji itu tidak penting. Kejuaraan dansa dan bertemu lagi di Amerika, itu cerita tambahan yang tidak perlu. Kenapa harus ada batasan yang tidak masuk akal, padahal aku ingin bersama orang yang kusukai? Normal saja, normal saja. Seperti dulu, tinggal di rumah sebelah pun cukup. Mengucap ‘selamat pagi’ dengan wajah masih mengantuk, pergi ke sekolah bersama, duduk di kelas yang sama, pergi bermain bersama setelah pulang, kencan berdua saat akhir pekan, ingin menjadi pacar biasa seperti itu. Tidak perlu alasan untuk bersama, cukup berada di sisi satu sama lain, itu sudah cukup. Aku ingin memiliki suara itu hanya untukku. Aku ingin kebaikannya hanya untukku. Tarian itu tidak penting. Tidak perlu tarian. Jika tarian membuatmu khawatir atau terluka, lupakan saja. Kau boleh memilih jalan yang lebih mudah, mengejar kebahagiaan sederhana. Jika kau mau, aku akan memberikan seluruh diriku. Aku akan membuatmu bahagia, Ruu-kun. Lupakan janji kecil itu, dan jadilah pacar biasa bersamaku. Itu pasti keputusan yang benar――"


Perasaan yang tertahan tidak bisa dihentikan.


Ia mengeluarkan semua yang tersimpan, dan tetap tidak bisa menahan air matanya.


Hik,…


Seira yang terisak itu—meski begitu—tersenyum.


Dengan mulutnya ia berusaha membentuk senyum, meski berantakan, senyum yang kusut itu tetap muncul.


"Tapi tetap saja, aku menyukai Ruu-kun yang menari dengan senang hati……"


Hingga akhirnya, Seira tidak mengubah hatinya.


…Ah, gadis ini sungguh kuat.


Sambil memandang Seira dengan rasa hormat yang terdalam, aku tersenyum kecil.


Syukurlah, benar-benar syukurlah.


Kalau sampai sini Seira masih menutup hatinya, aku pasti masih akan bimbang.


Tapi Seira menyampaikan semuanya.


Dengan hati yang terbuka, ia menyatakan apa yang benar-benar ia inginkan dengan kata-katanya sendiri.


Bagus sudah berusaha, Seira. Kau menahan semua perasaan itu sendirian.


Sekarang tidak apa-apa. Setengah dari perasaan itu, mulai sekarang, akan aku tanggung juga.


"Seira"


Aku memanggil teman berharga itu.


Kepada gadis yang basah oleh air mata, aku memanggil agar ia menengadahkan wajahnya.


"Terima kasih sudah bercerita. Sisanya serahkan padaku."


"…Nowa? Apa maksudmu――"


"Ah, jangan salah sangka ya. Aku tidak bermaksud menyerahkan Ruto padamu. Aku hanya tidak bisa menerima cara memanfaatkan saat kau lemah. Baik dalam tarian maupun cinta, kita harus serius agar bisa merasa puas."


Aku tersenyum pahit, menyadari betapa kikuknya diriku sendiri.


Padahal sekarang saat Seira lemah, ini seharusnya kesempatan untukku, tapi aku malah menyia-nyiakan kesempatan itu demi keyakinanku sendiri.


Aku merasa bodoh, tapi juga sedikit bangga.


Ternyata aku cukup menyukai cara hidupku yang kikuk ini lebih dari yang kukira.


"Tunggu sebentar. Aku akan mengembalikan Ruto, Ruto yang sangat disukai Seira."


Aku membelakangi Seira yang terkejut dan meninggalkan restoran.


Sambil memeluk perasaan hangat yang berkobar di dada, aku membisikkannya dalam hati.


Hei, Seira?


Tidak pantas hanya takut dan melihat cerita berjalan.


Tertawa seperti biasanya, konyol, dan libatkan kami dalam masalah. Kalau kau hanya menonton dari jauh, aku yang akan merebut protagonisnya.


Hei, Ruto?


Tidak perlu pintar, berdirilah dan berjuanglah dengan gigih.

Ada gadis yang menangis begitu dekat di sini.


Kalau tetap diam, aku yang akan merebut peranmu sebagai protagonis.


Hei, kalian berdua, aku menunggu.


Menari sendirian itu membosankan.


Setelah bimbang, terluka, itu baru waktunya.


Bangkitlah, dan kembalilah ke cerita kita.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close