NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

America Gaeri no Uzakawa Osananajimi Volume 3 Chapter 2

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 2

Bianglala di Senja yang Enggan Redup


Pagi hari Yuzuki Erling Seira selalu terlambat.


Terutama pada pagi hari libur tanpa sekolah, ia hampir tidak pernah bangun pagi. Bisa dibilang, dasar saja, pagi bukanlah waktunya.


Saat sinar matahari pagi yang segar sudah lama lewat, Seira baru terbangun disambut cahaya matahari siang yang penuh tenaga. 


Di atas ranjang, ia menguap panjang, lalu dengan langkah lemas yang berbahaya berjalan ke ruang tamu masih dengan piyamanya.


Kelopak matanya masih berat, bahkan ketika memakan sarapan yang sudah dihangatkan kembali, separuh kesadarannya masih tertinggal di dunia mimpi.


Seira yang muncul di majalah fesyen sebagai model selalu tampak tegas, bersinar, dengan pesona elegan yang tinggi. Tapi Seira yang baru bangun tidur sama sekali tidak memilikinya. Kalau harus diberi onomatope, mungkin "moso-moso" atau "nosori" lebih tepatnya.


Setelah menyelesaikan sarapan lambatnya, ia pindah ke wastafel lalu menyiram wajahnya dengan air. Barulah di sana ia benar-benar terbangun. Dari sana, ia dengan teliti dan hati-hati memulai perawatan rambut dan kulitnya.


Melihat perawatan yang tak pernah ia lewatkan sehari pun membuatku sadar, kecantikan Seira bukan hanya bakat bawaan. Ada usaha tersembunyi di baliknya. Untuk hal itu aku benar-benar kagum.


Setelah menghabiskan banyak waktu untuk perawatan, akhirnya rutinitas pagi berakhir. 


Hari Seira baru benar-benar dimulai lewat pukul sebelas siang. Tentu ada sedikit perbedaan tergantung hari, tapi dari setengah tahun aku bersamanya, bisa dibilang inilah ritme hidupnya.


Sebaliknya, jika pagi Seira berbeda dari kebiasaan, itu berarti ada rencana khusus. Entah ada pekerjaan model sejak pagi, atau hari rilis game yang sudah ia tunggu-tunggu. Intinya, itu adalah hari yang istimewa bagi Seira.


***


Hari itu―


Ketika aku kembali ke rumah setelah lari pagi, Seira sudah bangun lebih dulu di ruang tamu.


"Pagi, Ruu-kun. Pagi ini terasa begitu segar. Seperti acar asam yang terselip dalam hamburger tebal."


"…Itu beneran perumpamaan pagi yang segar?"


Seira duduk dengan kaki panjangnya yang indah disilangkan, minum… bukan kopi, tapi cokelat panas dengan anggun. Ia terlihat seperti potret dalam lukisan, penuh wibawa. Tapi, beberapa helai rambutnya masih berdiri ke atas, membuat kesan anggun itu sedikit rusak.


Aku mencium wangi manis dari cangkirnya, lalu melirik jam. Jarum menunjukkan lewat pukul enam. Aku pun secara refleks memasang wajah penuh curiga.


"Jadi, apa yang kau rencanakan kali ini?"


"Dasar kasar sekali. Kau bicara seakan bangunku lebih pagi adalah pertanda buruk."


Seira merajuk seolah-olah tersinggung. Aku pun menyebutkan contoh dari masa lalu.


"Waktu terakhir kau bangun pagi, kau menyeretku ikut antre di toko anime hanya demi membeli barang terbatas dengan jumlah terbatas."


"Itu kan permintaan manis dari sahabat kecilmu. Harusnya kau turuti sedikit, bukan?"


"Atau waktu kau bilang ingin mengoleksi bonus khusus penonton pertama, aku dipaksa ikut nonton film anime untuk anak perempuan sepagi itu."


"Aku bersyukur, tahu. Karena Ruu-kun menemaniku, aku bisa merasakan betapa berharganya sahabat kecil… dan juga betapa memuaskannya saat berhasil mengoleksi semua ilustrasi bonus itu."


"Kau juga pernah menyuruhku pergi ke event doujin hanya karena kau ada kerjaan model, padahal keberangkatannya harus naik kereta paling pagi."


"…Baiklah, bahkan aku mulai merasa sedikit bersalah sekarang."


Jarang sekali Seira menunjukkan rasa bersalah. Itu saja sudah hal baik.


Tapi sambil mengingat, aku sadar juga: aku terlalu sering menuruti keinginannya. Lain kali harus belajar menolak. Aku harus bisa jadi orang Jepang yang berani berkata "tidak".


"Jadi, kenapa kau bangun pagi kali ini?"


"Ayo pergi kencan."


"Hah?"


Ajakan to the point itu membuatku berkedip bingung. Padahal kepalaku harusnya segar setelah terkena angin musim dingin, tapi butuh waktu lama untuk mencerna ucapannya.


Dadaku berdegup, tapi hanya sebentar. Setelah mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya, aku segera tenang.


"Kali ini event anime mana yang kau incar?"


"…Memang benar aku sering menyeretmu ikut hobiku. Tapi ini undangan kencan dari sahabat kecilmu yang imut, lho. Masa kau tidak merasa deg-degan sedikit pun?"


Seira merengut, lalu menunjukkan selembar tiket.


"Tiket taman hiburan. Aku dapat dari seseorang yang kerja bareng kemarin. Jadi, mau ikut main denganku?"


"Jadi taman hiburan itu sedang kolaborasi dengan anime, ya? Tugasku apa? Beli merchandise kolaborasi?"


"Maamaa~! Ruu-kun nakal banget, mengejekku terus!"


Dengan dramatis ia mengadu pada ibuku yang sedang mencuci piring.


Ibu hanya tersenyum sambil mengelus kepala gadis besar asal Amerika itu, lalu melirikku seolah-olah aku ini sampah. Entah kenapa di rumahku sendiri aku merasa seperti orang asing.


Aku pun sedikit menyesal.


Seira sudah baik-baik mengajakku jalan, tapi aku malah menggoda niat baiknya. Sebenarnya aku tidak keberatan pergi. 


Aku hanya menyembunyikan rasa maluku menyebut itu sebagai "kencan". Taman hiburan jelas tempat kencan yang khas, jadi aku tanpa sadar jadi salah tingkah.


"Banyak kreator bilang kalau proses input itu penting."


"Kenapa tiba-tiba begitu?"


Seira menegakkan jari telunjuknya.


"Katanya, untuk melahirkan ide, mangaka atau novelis butuh membaca karya lain atau merasakan pengalaman baru di dunia nyata. Memberikan rangsangan eksternal pada diri sendiri itu penting."


"Dan itu kau dengar dari siapa?"


"Belakangan ini kau terlalu fokus ke dansa, kan, Ruu-kun?"


Ucapannya tajam. Aku pun menengok ke kehidupan sehari-hariku.


…Benar juga. Akhir-akhir ini aku memang tenggelam dalam latihan dansa. Dengan "C-DAF" yang semakin dekat, hampir semua waktu luang kuhabiskan untuk berlatih.


"Aku bukan ahli, tapi katanya dansa itu olahraga ekspresi. Kalau kau harus mengekspresikan emosi lewat gerakan, bukankah seharusnya kau sendiri dulu yang mengalami rasa senang atau bahagia? Dengan begitu, ekspresimu akan lebih nyata."


"…Yah, ada benarnya juga."


Aku teringat ucapan 'sensei'. Katanya, kalau ingin jadi lebih baik dalam dansa, jangan hanya berlatih dansa saja.


Pengalaman emosional, akumulasi rasa dalam hati, semua itu penting untuk menambah kekuatan ekspresi. Bahkan sampai detail kecil seperti kekuatan mimik wajah di panggung.


"Ruu-kun itu payah banget kalau harus senyum. Di foto, ekspresimu selalu canggung atau malu."


"Biarkan saja."


"Tapi aku masih ingat, waktu kecil kau sering tertawa lepas. Setiap kali bertemu aku, kau selalu bilang, ‘Seira-tan suka sukaa~♡’ sambil tersenyum polos. Mari kuingatkan kembali senyum tulus Ru-kun di masa lalu!"


"Itu pasti ingatanmu dengan orang lain, bukan aku."


Jelas aku tidak punya ingatan semacam itu. Untungnya.


…Tapi soal senyumanku yang buruk, itu memang kena di hati. Aku sadar. Kalau benar dengan menambah pengalaman menyenangkan aku bisa tersenyum lebih alami, itu tentu akan berguna untuk ekspresi di dansa juga.


Aku sempat berpikir panjang… tapi kemudian menggeleng.


Tidak perlu pakai alasan rumit. Senyum, pengalaman, ekspresi… itu semua hanya tambahan.


Intinya, Seira sudah bersusah payah mengajakku main. Maka jawaban terbaik yang bisa kuberikan di sini hanya satu.


"Ya sudah, ayo ke taman hiburan."


"Baik, mari segera bersiap!"


Seira pun tersenyum cerah padaku.


Aku sampai geleng kepala dengan betapa sederhananya diriku yang bisa langsung merasa bahagia hanya karena itu, tapi tetap saja aku menyimpan senyum itu sebagai salah satu kenangan menyenangkan di dalam hatiku. Semoga ketika hari ini berakhir, kotak hati ini sudah penuh dengan kenangan indah.


Sambil memikirkan hal itu, kami pun mulai bersiap-siap untuk pergi ke taman hiburan.


***


Dan beberapa jam kemudian──


Aku malah bekerja di sebuah American diner yang menempel pada taman hiburan itu.


"Kenapa jadi begini."


Aku hanya bisa mengeluh pahit, padahal kupikir hari menyenangkan akan segera dimulai, tapi malah disambut kerja mendadak. 


Yah, mungkin ada orang yang merasa bekerja itu menyenangkan, tapi sebelum bicara soal itu, perubahan situasi mendadak ini jelas bikin bingung. 


Gimana ceritanya bisa jadi begini?


"Kan sudah kujelaskan. Sebagai syarat untuk mendapatkan tiket itu, kita diminta bekerja paruh waktu di restoran ini sampai siang saja. Rupanya banyak pegawai mereka yang kena penyakit menular akhir-akhir ini, jadi mereka benar-benar butuh tambahan tenaga."


"Baru pertama kali aku dengar sekarang."


Seira yang sudah ganti baju jadi pelayan baru bilang begitu dengan enteng. Seragam bergaris merah putih itu punya nuansa retro yang manis, ditambah rok yang mengembang dan bergoyang setiap kali ia bergerak. Dengan senyum licik tanpa rasa bersalah, dia tampak begitu puas.


"Tenang saja, aku cuma butuh meminjam tubuhmu sebentar, Ruu-kun. Nggak ada yang menakutkan. Begitu selesai, kita bisa pulang seperti biasa. Kalau tersenyum manis, waktu juga cepat berlalu. Asal kau bekerja dengan baik, semuanya akan baik-baik saja。Asal kau benar-benar bekerja dengan baik, ya……"


"Kenapa sengaja bikin kalimatnya jadi mencurigakan begitu."


Aku mengalihkan pandangan ke arah dapur dengan wajah putus asa.


Di sana, seorang pria Amerika berotot tinggi lebih dari 190 cm memberi kami jempol dengan penuh semangat. John Walker, sang pemilik restoran. 


Penampilannya garang, tapi saat tadi menyapa, dia ramah, lembut, bisa bahasa Jepang dengan lancar. Benar-benar otot yang penuh kebaikan.


Sepertinya memang benar mereka kekurangan orang, dan dia sangat senang kami mau membantu. Meski aku merasa ditipu oleh Seira, tapi kalau menolak sekarang rasanya nggak tega setelah melihat ekspresi gembira itu.


Aku menghela napas panjang. Entah harus kusebut tekad atau pasrah, yang jelas aku mencoba mengubah sikapku.


"Aku harus ngapain?"


"Jadi staf hall. Antar pelanggan ke meja, ambil pesanan, lalu antarkan makanan ke meja setelah siap. Masakan ditangani oleh pemilik, kasir ada staf lain."


"Kalau cuma itu… ya masih bisa lah."


"Dan jangan lupa senyum. Senyum cerah untuk menularkan kebahagiaan ke pelanggan!"


Seira mengangkat kedua tangan membentuk tanda damai sambil tersenyum manis.


Senyum yang berkilau. Seolah percikan cahaya itu mengenai dadaku, membuatku sedikit tertekan. Senyumku sendiri terasa tipis dan hambar jika dibandingkan.


Mungkin dia menyadari kegelisahanku, karena Seira malah menyeringai percaya diri.


"Tenang saja. Aku paling tahu kalau Ruu-kun itu payah kalau disuruh senyum. Ekspresi malu-malumu memang manis, tapi jelas bukan wajah yang cocok buat melayani pelanggan."


"Aku merasa diejek, tapi terus?"


"Akan kuberikan sihir untukmu. Sihir seperti Cinderella, yang bisa mengubah Ruu-kun jadi sosok yang bersinar tanpa gugup atau rasa malu."


Setelah bicara aneh begitu, Seira mengeluarkan koin yang digantung tali.


Lalu mengayunkannya di depan mataku. Jangan-jangan ini……。


"Ho. Ayo, senyum manis ya~。Dengan senyum terbaikmu, buat semua cewek klepek-klepek~?"


Dengan suara manisnya, Seira berbisik di telingaku.


Koin itu bergoyang pelan, membuatku menatapnya dengan ekspresi setengah jengkel setengah kaget.


"Kau ini……"


"Ah, ya. Nggak usah kuterangkan, kan? Akhir-akhir ini aku lagi terobsesi sama hal-hal bertema hipnotis. Otaku itu gampang banget terpengaruh, tau. Begitu terpikir, langsung praktek."


Seira bicara dengan penuh kebanggaan entah kenapa.


Suaranya yang manis bagai gula cair dituang ke telinga bikin bulu kuduk merinding. Apa-apaan ini, menjijikkan…….


"Ayo, ayo, sekarang Ruu-kun merasa Seira-chan itu imut banget~ Paling imut di dunia~ Punya gadis secantik ini di dekatmu bikin kamu merasa bahagia banget~ Seira-chan adalah gadis paling imut sedunia~~"


Dia bahkan menyelipkan sugesti untuk dirinya sendiri.


Koin yang bergoyang, suara yang meresap seperti obat perangsang……


Aku nggak berniat terbawa hipnotis, tapi anehnya ada rasa kesetrum menjalar di tubuhku. Suara Seira kali ini terasa berbeda dari biasanya, manis menggoda seperti madu yang menetes pelan ke dalam pikiranku.


Kepalaku mendadak ringan, hampir seperti demam……


……Tapi, tentu saja aku nggak sampai benar-benar terhipnotis. Kalau segampang itu pikiranku bisa diubah, aku pasti sudah jadi orang yang jauh lebih jujur dari dulu.


……Tanpa perlu gengsi.


……Tanpa rasa malu.


……Bisa bicara jujur tentang apa yang kupikirkan……


"Jadi gimana, Ruu-kun, ada perubahan?"


Tiba-tiba suara Seira kembali normal dan aku pun tersadar.


Ditanya begitu, aku coba periksa perasaanku──


"Nggak ada……biasa aja? Nggak ada yang berubah."


"Seperti yang kuduga."


"Seperti yang kuduga itu gimana maksudmu……"


"Yaaah, aku juga nggak benar-benar percaya hal beginian bisa ngendaliin kamu."


Dengan santai dia menyimpan koin itu ke sakunya.


Aku menatap wajah cantik Seira──mata besar, hidung mancung, rona pipi lembut. Entah kenapa aku refleks mengucapkan isi hatiku.


"Yah, kalau soal Seira yang paling imut di dunia, itu memang hal yang jelas."


"Betul betul……?"


Seira menatapku dengan wajah bingung. Imut sekali.


"Kenapa? Kaget gitu? Tapi wajah kagetmu itu juga imut."


"……Eh? Eh eh? Ehh!?"


Gadis imut itu menoleh ke arahku berkali-kali, panik entah kenapa. Apa sih yang bikin dia heran? Tapi yah, Seira yang panik begini juga tetap imut……


"Yosh, Seira. Mumpung kita kerja bareng, ayo kita lakukan yang terbaik."


"Y-ya! Benar! Aku juga senang sekali bisa bekerja bareng dengan Ruu-kun!"


"Aku juga. Aku bener-bener senang bareng Seira."


Aku tersenyum cerah seperti biasa.


Melihat senyum itu, Seira malah menunjukkan wajah seolah ada sesuatu yang mengganjal. Entah kenapa. Tapi yah, Seira tetap imut seperti biasanya.


***


Aku—Kurosaki Nowa, berjalan di dalam taman hiburan sambil menatap lekat-lekat halaman panduan pada brosur. Membaca peta bukanlah keahlianku.


"Uhm… apa di sini tempatnya ya…?"


Aku memastikan nama toko yang Seira sebutkan sebelumnya cocok dengan nama yang tertulis di papan yang kulihat. 


Sebuah American Diner yang berada di dalam taman hiburan. Restoran bergaya kereta makan, dengan eksterior kereta merah menyala yang penuh atmosfer retro.


Aku tidak tahu bagaimana ceritanya, tapi untuk saat ini, Ruto dan Seira tampaknya sedang bekerja di tempat ini. Maksudku, seriusan kenapa mereka…? Ya, terserah sih.


"Hmmm…"


Melihat seragam pelayan yang juga ada di brosur, tanpa sadar aku mengeluarkan suara seakan sedang menilai.


Karena ini restoran konsep di dalam taman hiburan, sepertinya mereka memang total dalam menciptakan suasana.


Gaun apron bermotif garis itu murni terlihat manis. Bukan cuma seragam perempuan, apron bergaris untuk laki-laki juga punya daya tarik imut yang khas.


Tidak diragukan lagi Seira pasti cocok. Tapi, yang paling kutunggu-tunggu justru Ruto.


Si partner yang suka membantah itu biasanya tidak mau memakai baju bergaya imut begini. Lebih tepatnya, dia memang tidak suka pakaian yang mencolok. Cukup aneh sih, mengingat dia itu penari.


Karena itulah, tanpa kesempatan seperti ini, aku tidak akan pernah bisa melihat Ruto dengan tampilan semacam itu. 


Memang Seira juga yang mengajakku, tapi alasan terbesarku datang ke sini adalah untuk melihat itu.


Kring kling~, bel berbunyi saat aku membuka pintu dan masuk.


Bagian dalam restoran dipenuhi interior retro dengan warna-warna cerah, meski ramai tapi entah kenapa terasa nyaman. Pelanggan pun lumayan banyak, para pelayan yang lalu-lalang antar meja terlihat sibuk bekerja.


"…Oh."


Di antara mereka, aku menemukan sosok Ruto sedang mencatat pesanan di meja dekat situ.


…Hmm, tidak jelek juga.


Entah karena perbedaan atau kejutan, melihatnya memakai seragam imut yang biasanya tidak pernah kulihat membuat dadaku terasa hangat. …Iya, tidak buruk, sama sekali tidak buruk.


Selain ingin mengabadikan pemandangan Ruto dengan seragam itu dalam ingatan, aku sedikit bimbang apakah harus menyapanya atau tidak. Dia terlihat sibuk, apa tidak akan mengganggu?


Tapi, toh aku tetap butuh seseorang untuk mengantarku, jadi kalau begitu lebih baik Ruto saja. Jadi aku menyapanya saat dia baru saja selesai mencatat pesanan.


"Ruto, aku datang loh!"


Aku agak benci pada diriku yang hanya bisa mengatakannya dengan cara seperti itu. Tapi Ruto, tanpa menyadari kegelisahan kecilku, menoleh ke arahku—


"Nowa! Kamu beneran datang ya!"


Lalu dia tersenyum cerah seperti anak anjing yang menunggu kepulangan tuannya.


………………Hah?


Alisku berkedut karena merasakan keanehan yang begitu kuat. Ada apa ini? Hah? Ruto biasanya punya suara seceria ini? Biasanya senyumnya bisa seindah ini?


"Nowa, aku senang banget kamu datang. Kamu tahu soal kita kerja di sini dari Seira, ya?"


"Eh, ah, iya sih… tapi, eh?"


"Kenapa? Kamu miringin kepala begitu manis."


"Ya, maksudku… apa ya. Kayak kamu beda banget dari biasanya… ada hal bagus yang terjadi? Kamu kelihatan super bahagia…"


"Enggak juga? Oh, tapi bisa ketemu Nowa di hari libur gini bikin aku seneng banget!"


Apa-apaan ini, serem.


Eh, seriusan apa ini? Ruto keliatan bersinar banget!?


Suaranya penuh semangat, senyumnya cerah, bahkan seakan ada efek cahaya!


Aku belum pernah lihat Ruto seperti ini… serius, apa yang sebenarnya terjadi!?


"Ruto, apa kamu lagi sakit atau gimana?"


"…? Enggak kok, biasa aja. Nih buktinya."


Entah maksudnya apa, Ruto meraih kepalaku lalu tuk menempelkan dahinya ke dahiku.


Karena dilakukan begitu alami, aku telat bereaksi.


"A-apa!?"


Wajah Ruto ada tepat di depan mataku, jaraknya bahkan sampai napasnya terasa.


Sedikit saja bergerak, bibir kami bisa saling bersentuhan.


Entah dia pakai parfum atau apa, rambutnya mengeluarkan aroma jeruk segar, membuat jantungku berdetak kencang tak karuan. A-apa ini!?


"Tu-tunggu, hei, sebenarnya apa yang terjadi sih!? Jangan-jangan kamu ketuker sama saudara kembarmu atau semacamnya!? Kamu beda banget dari Ruto yang biasanya!!"


"Haha, Nowa kalau bercanda memang lucu ya. Aku suka sisi Nowa yang begitu."


"Hei, kembalilah! Aku mau Ruto yang biasanya! Yang selalu bebal, salah kaprah mengira sikap cueknya itu keren, yang suka ngintip dadanya Seira atau kakiku, tapi merasa tidak ketahuan dan malah sok bergaya, pokoknya kembalilah jadi Ruto yang biasa aku kenal!!"


"Eh? Kenapa ya? Entah kenapa dadaku tiba-tiba sakit."


Permohonanku yang putus asa itu sama sekali tidak mengguncang hatinya, Ruto hanya memiringkan kepalanya dengan polos.


A-apa maksudnya ini…?


Ruto yang secantik ini bukanlah Ruto yang kukenal. Kecuali saat dia menari, Ruto biasanya punya sisi bayangan yang agak murung… setidaknya dia bukan tipe cowok yang bisa bilang suka pada cewek dengan terang-terangan. Tapi kenapa sekarang dia…?


"U-uhm, tidak kusangka bisa sejauh ini…"


Saat aku merinding kebingungan, Seira dengan wajah kaget datang mendekat. Penampilannya sebagai pelayan kafe sangat manis. Tapi aku tidak punya waktu untuk mengomentarinya.


Aku segera menjauh dari Ruto dan mendekati Seira.


"Hei Seira! Ini maksudnya apa!?"


"Ah, sebenarnya…"


Lalu Seira mulai menjelaskan kejadian yang sudah terjadi.


…H-hypnosis?


U-uh, susah dipercaya… tapi, melihat Ruto sekarang, aku tidak bisa menyangkalnya. Setidaknya jelas kalau ada perubahan besar yang terjadi.


"Sepertinya sekarang Ruu-kun mengucapkan semua yang dia pikirkan secara jujur. Karena hipnosis, penghalang rasa malu yang biasanya menahannya sudah hancur."


"S-seperti itu?"


"Dan sejak awal Ruu-kun bukan tipe yang suka menolak orang lain. Dia selalu berusaha melihat sisi baik dari apa pun. Dengan kata lain, Ruu-kun sekarang adalah sosok yang selalu memuji segalanya tanpa henti—ya, dia adalah Ruu-kun Sang All-Approval!!"

"Itu nama yang payah banget!"


Aku sampai terloncat kaget, sementara Seira mendekat ke sisi Ruto. Ia menekan tombol rekam di ponselnya, lalu mulai bertanya.


"Ruu-kun apa kamu suka aku?"


"Suka dong, jelas. Terima kasih selalu ada di sisiku."


"Kamu pikir aku ini imut?"


"Tentu saja. Seira itu imut. Terima kasih selalu imut, Seira."


"Kalau Seira yang imut ini sedang kesulitan, apa yang akan kamu lakukan?"


"Apa ada masalah? Bilang saja kapan pun. Kalau aku bisa jadi penolongmu, aku senang."


Seira berhenti merekam, lalu menoleh padaku dengan senyum licik.


"Oke, buktinya sudah aman. Kalau nanti Ruu-kun kembali normal, kita bisa pakai video ini biar dia menuruti perkataan kita."


"Kamu iblis ya."


Walau begitu, aku pun pakai trik yang sama untuk dapat pengakuan dari Ruto. Nggak ada salahnya menyimpan kelemahan partner sendiri. Inilah lahirnya si Black Devil NOWAWA.


"Terus, gimana sekarang?"


"Gimana, maksudmu?"


"Ya jelas kita nggak bisa biarin dia begini terus kan."


Aku melontarkan kata-kata itu dengan kesal.


Kalau secara umum, orang jujur memang baik. Tapi bagiku, Ruto yang berkilauan begini justru menyebalkan. 


Aku lebih suka Ruto yang keras kepala, yang kikuk tapi berusaha keras… ya, pokoknya itu versi Ruto yang kusu… eh, yang kusukai.


Tapi berbeda denganku yang bingung, Seira malah tenang.


"Kurasa meskipun kita tidak melakukan apa-apa, keadaan ini tidak akan lama bertahan."


"Eh, gitu?"


"Bagaimanapun, aku cuma amatir dalam hal hipnosis. Fakta bahwa dia bisa terhipnosis saja sudah ajaib, dan tidak mungkin efeknya bertahan lama. Maka dari itu, sebaiknya kita nikmati Ruu-kun yang berharga ini sekarang."


Aku sempat bingung dengan logika Seira.


Apa bener bisa seenaknya begitu…? Meski hatiku penuh rasa gelisah, aku tidak tahu cara yang benar untuk menghadapi hal aneh macam hipnosis.


Mungkin memang harus menunggu efeknya hilang dengan sendirinya.


Tapi, di saat aku masih berpikir begitu, sebuah insiden terjadi.


"Ah!" "Kya!?"


Seorang pelayan menabrak pelanggan perempuan yang tampaknya mahasiswi. Masakan yang dia bawa melayang tinggi ke udara. Orang-orang sekitar pun panik.


Saat itu juga, Ruto bergerak seperti angin.


Dengan gerakan cepat, ia meraih pelanggan yang hampir jatuh sambil tangan satunya menangkap piring-piring berisi kentang goreng dan burger, menumpuknya dengan rapi seperti permainan balok.


Berkat tariannya, Ruto punya kemampuan fisik dan refleks luar biasa. Tapi bisa melakukannya spontan begitu, tetap saja luar biasa.


Kejadian itu berhasil dicegah seketika, membuat ruangan terdiam. Hanya manajer bule yang berseru, "Great!" sambil bertepuk tangan.


"Te-terima kasih banyak…"


Pelanggan perempuan itu tersipu saat berterima kasih, wajahnya merah padam.


Ruto menanggapinya dengan senyum sempurna.


"Anda tidak terluka, bukan, Nona?"


"Y-ya! Umm, bolehkah saya minta kontak Anda untuk mengucapkan terima kasih lebih lanjut—"


Mata mahasiswi itu sudah benar-benar jatuh cinta.


Melihat itu, aku dan Seira panik berlari ke arahnya.


"Seira! Cepat hentikan hipnosisnya! Kalau begini, nanti bisa runyam!"


"U-uhm, benar! Kalau tidak, semua gadis polos di dunia bakal jadi korban daya tarik ksatria Ruu-kun!!"


Tidak ada lagi waktu untuk menunggu efek hilang dengan sendirinya.


Entah apa maksudnya daya tarik ksatria, tapi yang jelas, aku tidak mau Ruto seperti ini!


***


Sore harinya—


Aku berjalan di dalam taman hiburan sambil menggaruk-garuk kepala dari belakang.


"Heh. Kenapa ya, aku kok nggak ingat apa yang terjadi beberapa jam terakhir…"


"Itu cuma perasaanmu." "Iya, cuma perasaanmu."


"Eh, gimana bisa cuma perasaan. Nyatanya aku benar-benar nggak ingat apa-apa…"


"Itu cuma lupa ingatan sementara." "Iya, hal yang biasa."


"Mana bisa itu hal yang biasa!"


Meski suaraku masuk akal, Seira dan Nowa menjawab seenaknya.


Dari tadi pun mereka nggak mau menatapku, sikapnya mencurigakan, seperti menyembunyikan sesuatu. Eh, dan kapan Nowa mulai ada di taman hiburan ini sih?


…Ugh, tetap nggak bisa kuingat. Yang jelas, sejak aku mulai kerja paruh waktu, ingatanku kosong.


"Ya sudahlah Ruu-kun. Toh kita sudah di taman hiburan, lebih baik dinikmati. Ada yang ingin kamu naiki?"


Seira berusaha mengalihkan pembicaraan. Yah, memang benar, sayang juga kalau aku terus kepikiran dan tidak bisa menikmati taman hiburan ini.


Aku mengubah pikiranku dan membuka brosur. Banyak atraksi dan fasilitas tertulis di sana. Saat melihat itu, aku refleks berkata:


"Ngomong-ngomong, aku baru sadar… ini pertama kalinya aku ke taman hiburan."


"—Eh?"


Seira dan Nowa serempak menatapku dengan wajah kaget, seolah bercermin.


Apa memang aneh? Aku tidak pernah membencinya, cuma memang tidak ada kesempatan saja.


…Ah, tapi kalau dipikir lagi, aku masih ingat sedikit sih.


Saat keluarga pergi bermain ke suatu tempat, ketika ibu bertanya ke mana aku ingin pergi, aku selalu menjawab, "Aku tidak ingin ke taman hiburan." 


Alasannya… eh, tunggu? Kenapa ya?


Ingatan yang samar. Namun sebelum aku berhasil mengingatnya, Seira dengan sopan berkata:


"Kalau begitu, dengan segala kerendahan hati, izinkan aku yang seorang Amerika ini memberi penjelasan tentang cara bermain di taman hiburan untuk Ruto-kun yang masih pemula."


"Apa hubungannya dengan orang Amerika?"


"Amerika adalah tempat lahirnya taman hiburan. Karena luas tanahnya, jumlah dan skala atraksi jauh berbeda dibandingkan Jepang. Di taman hiburan terkenal, untuk mencoba semua atraksinya, kadang diperlukan dua hingga tiga hari menginap. Ada juga rencana perjalanan khusus untuk itu."


"Harus menginap hanya untuk bermain di taman hiburan? Hebat ya."


"Ketika taman hiburan baru dibuka, di Amerika hal biasa jika orang mengambil cuti sekolah atau kerja untuk pergi bermain bersama keluarga. Di sekolahku dulu, pernah juga siswa tidak hadir sehingga kelas tidak bisa berjalan, dan sekolah pun terpaksa libur sementara. Ah, itu mengingatkan kenangan lama."


Aku dan Nowa terkejut mendengar cerita pengalaman Seira yang bernostalgia itu.


Libur hanya untuk bermain di taman hiburan. Di Jepang, itu tidak mungkin terjadi. Skala besar dan perbedaan budaya itu membuatku sedikit memahami mengapa Amerika disebut negara kebebasan.


"Tapi, omongan itu tidak penting. Yang ingin aku sampaikan adalah aku seorang spesialis taman hiburan. Jadi, apakah hari ini boleh aku yang menjadi pemandu kalian?"


Seira bertanya dengan penuh percaya diri. Aku dan Nowa saling menatap, lalu mengangguk serempak.


"Aku memang baru pertama kali ke taman hiburan. Kalau kau mau jadi pemandu, aku tidak keberatan."


"Aku juga tidak masalah. Aku tidak sepercaya diri Seira soal taman hiburan."


Mendengar itu, Seira tersenyum. Senyumnya terlihat bangga sedikit, seakan senang bisa diandalkan.


"Baiklah, serahkan pada Master Taman Hiburan Seira-chan!"


"Apakah kau senang diberi julukan itu?"


Setelah mendengar tentang skala besar taman hiburan di Amerika, kepercayaan diri Seira membuatnya terasa sangat andal.


Tujuan hari ini adalah membuat kenangan menyenangkan. 


Senyum Seira yang bersinar seolah menjanjikan tujuan itu akan tercapai.


***


Rencana yang dipandu Seira bisa disebut sebagai tur wahana ekstrem.


Tur ini berisi menaiki roller coaster, free fall, dan atraksi menegangkan lainnya.


Wahana ekstrem biasanya terlihat menantang di taman hiburan. Tapi Seira yakin, "Ruto-kun pasti akan menikmatinya," sehingga aku memutuskan untuk percaya dan mengikuti pemandunya. Aku kini menjadi pengunjung yang mengikuti tur Seira.


Kesimpulannya — sangat menyenangkan.


Sensasi melayang dan tercampur gravitasi yang kacau itu tidak bisa didapat di tempat lain. Menikmati sensasi menegangkan. Menikmati rasa takut. 


Cara menikmati yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dipaksakan untuk aku pahami.


"Tinggi begini memang menyenangkan. Rasanya luar biasa!"


Ternyata Nowa juga menyukai wahana ekstrem. Matanya berkilau karena kegembiraan saat menyisir rambutnya yang berantakan. Ia tidak takut horor tapi menikmati ketegangan. 


Aku heran dengan perbedaan itu, tapi mungkin memang kesenangan tidak bisa dijelaskan dengan logika.


Kami pun dengan semangat mengitari wahana yang ada di taman hiburan.


Tiket yang Seira dapatkan adalah fast pass. Berkat itu, waktu menunggu lebih singkat sehingga hanya tersisa satu wahana ekstrem lagi.


Wahana paling utama di taman hiburan ini adalah roller coaster raksasa, yang kini ada di depan kami—



"…uh, ugh… s-sakit… Ruu-kun, usap punggungku…"


Seira mabuk wahana dengan hebat.


"Iya iya, Master Taman Hiburan."


"F-fufu… ah, ini salah perhitungan. Biasanya aku tidak mudah mabuk wahana, tapi sepertinya aku makan siang terlalu banyak. Semuanya karena kentang goreng buatan kepala toko yang enak itu. Garam dan minyaknya pas… oh, mengingatnya membuatku mual…"


"Sudah, diam dan tenang!"


Seira langsung pucat mengingat masakan kepala toko yang dibuat sebagai hidangan. Aduh, saat mual memikirkan makanan berminyak memang tidak enak.


"Seira, kau baik-baik saja?"


Nowa menawari air yang dibelinya dari mesin penjual, terlihat khawatir. Aku menerima botol itu, membuka tutupnya, dan membawanya ke mulut Seira.


"Ini, bisa diminum?"


"Kalau dari mulutmu, Ruu-kun…"


"Dasar bodoh."


Aku menempelkan botol ke mulut Seira, dan ia mulai meneguk perlahan, sambil mengeluarkan suara 'nguk'. 


Mungkin ia haus, karena meneguknya cukup banyak. Tapi entah kenapa aku teringat 'area interaksi hewan' di kebun binatang.


"Fiuhh, sedikit lega. Terima kasih. Masih belum pulih sepenuhnya, tapi aku baik-baik saja. Aku akan istirahat di sini, kalian pergi bermain dulu saja."


"Apa? Kami tidak akan meninggalkanmu begitu saja."


"Tapi ini taman hiburan, kan? Jangan pikirkan aku, Ruu-kun, kalian saja yang pergi—"


"Kami tidak akan meninggalkanmu, Seira."


Saat kami menegaskan itu, Seira tersenyum bingung.


"…Sungguh, kalian memang luar biasa."


Senyum Seira tampak sedikit sedih. Mungkin ia merasa bersalah karena kami tidak bisa bermain karena dirinya.


…Aku tidak suka melihat senyum Seira seperti ini.


Aku ingin ia tersenyum cerah, bebas, seperti matahari yang bersinar.


Aku pun teringat sebuah janji kecil yang perlu dilakukan untuk mengembalikan matahari itu pada Seira.


"Nowa, sekalian belikan oleh-oleh ya."


"Oleh-oleh? Kok tiba-tiba?"


"Kita kan di taman hiburan, pasti mau kan? Sebagai kenang-kenangan."


"Boleh sih, tapi bukankah bisa tunggu sampai Seira pulih baru pergi bersama—"


Nowa terdiam. Sebagai partner yang peka, ia langsung mengerti maksudku hanya dengan melihat wajahku.


"Baik, serahkan pada seleraku."


"Sudah, aku titip."


"Ruto, jaga Seira ya."


Nowa pun berlari kecil menuju toko.


Setelah melihat kuncir kuda yang bergoyang dengan semangat, aku menunduk membelakangi Seira.


"Ini."


"…Ini apa?"


Seira menoleh bingung. Aku setengah memaksa, menggendong teman masa kecilku itu, dan mulai berjalan.


"R-Ruu-kun? Mau ke mana?"


Suara bingung terdengar di telingaku. Reaksi seperti ini jarang pada Seira. Biasanya ia yang bermain-main, sekarang aku yang mengejutkannya, terasa aneh tapi menyenangkan.


"—'Suatu saat, kita berdua naik bianglala bersama'… ya kan?"


"…Ah."


Aku mengucapkan kenangan kecil itu.


Suaranya terdengar pelan di telingaku, dan pegangan tangannya menguat.


"…Kau ingat ya."


"Tentu."


Kemudian percakapan sedikit terhenti.


Aku menatap langit yang hampir berwarna merah bata, melihat bianglala besar berputar perlahan. 


Taman hiburan yang terselimuti warna senja itu masih ramai, jauh dari tenang. Mengamati anak-anak kecil yang berlari-larian, aku menapaki jalan menuju kenangan masa lalu.


***


Itu terjadi sebelum Seira pergi ke Amerika —


Hari itu, aku menemani Seira menonton anime gadis penyihir favoritnya di ruang tamu rumah keluarga Yuzuki.


Di televisi yang menyala, ada program tentang taman hiburan yang baru dibuka bulan lalu, yang menjadi spot kencan populer. 


Di dalam taman hiburan yang ramai dengan suara riang, reporter menjelaskan atraksi populer dan event terbaru.


"Wow—"


Seira menatapnya dengan mata berbinar.


Mata Seira saat menemukan sesuatu yang disukainya—cahaya yang berkilau seperti serpihan bintang di langit biru—sangat mempesona, dan sejak dulu aku selalu menyukai melihat mata Seira seperti itu.


"Hai, Ruu-kun. Ayo ke taman hiburan?"


"Kau terlalu gampang terpengaruh."


"Ayo dong—ayo—?"


Dengan suara manja, Seira menggoyangkan tubuhnya pelan ke arahku. Dulu, saat kami bertemu, ia anak pemalu dan canggung, tapi sekarang, padaku, ia menjadi sangat percaya diri dan aktif.


"Kalau begitu, taman hiburan kan tempat anak-anak juga bisa pergi sendiri."


"Kalau begitu aku minta tolong ke Mama! Kalau oke, kita pergi bareng ya!"


Hanya janji lisan, tapi aku mengangguk sambil tersenyum kecil.


Di televisi, laporan tentang taman hiburan terus berlanjut. Kamera menyorot dari bianglala yang menjadi daya tarik utama. Gondola yang bergoyang membuat layar televisi ikut bergoyang, dan Seira menoleh sambil menekuk lehernya lucu.


Reporter bercerita tentang mitos kecil seputar bianglala itu.

Konon, pasangan yang naik bianglala itu akan selalu bersama.


Hanya takhayul, bahkan dibuat pihak taman hiburan untuk menarik pengunjung. Sekarang aku sudah mengerti kepentingan dewasa seperti itu.


"Hai, Ruu-kun…"


Namun, gadis polos yang tidak tahu logika dingin itu menoleh padaku—


"Suatu saat, kita berdua naik bianglala sendiri, ya!"


Dengan mata yang selalu kucintai seperti langit malam dan senyum seperti matahari, ia berkata begitu.


Aku ingin terus menatap mata itu, ingin terus melihat senyum itu.


Untuk janji polos itu, aku mengangguk.


Ya. Itu adalah hari yang sudah lama, hampir memudar dalam ingatan, tapi aku ingat, aku mengangguk pada janji itu.


***


Saat senja mulai membalut taman hiburan, kami naik bianglala.


Goyangan gondola membawa kami naik perlahan ke langit yang seolah simbol kebebasan. Namun di dalam kotak kecil itu ada ketegangan yang aneh.


"Ruu-kun, kau benar-benar anak laki-laki yang merepotkan."


"Apa maksudmu?"


"Biasanya kau tidak peka, tapi di momen penting selalu tepat. Kalau begini, aku benar-benar bingung harus berekspresi bagaimana."


Seira yang duduk di depanku tampak menunjukkan ekspresi yang sulit dijelaskan.


Senyum kecilnya bisa tampak senang, bisa juga bingung.


"Aku tidak tahu. Aku hanya menepati janji."


"…Tapi sebenarnya kau baru saja ingat janjinya, kan?"


"Hah, dari mana kau tahu?"


"Hehe, Ruu-kun, ekspresimu mudah terbaca. Kalau sedikit ingin pamer atau ada rasa bersalah, pasti terlihat di wajah. Selalu begitu sejak dulu."


Seira tersenyum lembut, seperti sedang mengeluarkan kenangan penting.


Sinar matahari senja menembus jendela, menerangi wajahnya yang hangat. Wajah teman masa kecilku yang diselimuti warna kemerahan itu mengingatkanku pada gadis kecil yang dulu mengajakku ke taman hiburan.


"Ah, maaf telat menepati janji."


"Itu hanya janji lisan iseng kan. Tidak perlu terlalu dipikirkan, dan tidak harus dipenuhi. Harusnya itu hanyalah kenangan kecil yang memudar seiring waktu."


"Itu menurutmu. Bagiku, berbeda."


"—Ya, aku senang. Kau, Ruu-kun, tidak melupakan janji kecil itu."


Seira meledak dengan tawa ceria, membuatku terkesima.


Senyumnya yang diterangi cahaya senja begitu lembut, seolah dibungkus awan kemerahan, dan sangat indah.


Aku senang bisa melihat senyum itu.

Aku senang janji itu bisa diingat.


Alasan aku enggan ke taman hiburan adalah karena janji ini diam-diam tersimpan di hatiku. Bianglala pertama, aku ingin naik bersama Seira—itu sudah kuputuskan sejak lama.


"Hehe, terima kasih sudah menyimpankan pengalaman pertamaku untukku."


"...Jangan ucapkan begitu aneh."


Aku menoleh, tersenyum melihat Seira.


Mungkin aku tidak ingin ia melihat wajahku yang memerah.


Goyangan gondola terasa menusuk hati yang tegang. Aku tidak tahu harus berkata apa, jadi hanya menikmati keheningan yang manis—


"Hai, Ruu-kun. Bolehkah aku duduk di sini?"


Dengan suara tipis seperti anak tersesat, Seira berkata begitu.

Sebelum aku sempat menjawab, ia sudah berpindah ke sampingku.


Goyangan gondola.


Seperti saat menonton televisi dulu, kami duduk berdampingan dan melihat pemandangan yang sama.


Tapi yang sama hanyalah jarak. Detak jantung yang berdebar menunjukkan perasaan kami yang telah berubah.


Sebuah rasa sakit kecil terasa.


Pasti, kami tidak bisa selalu tetap polos.


Seolah tubuh kami sudah lebih dulu menyadarinya.


"…?"


Saat itu, aku merasakan berat di bahuku.


Seira bersandar dan menundukkan kepala di bahuku.


"…Seira?"


"Bolehkah aku tetap begini sebentar? Ada sesuatu yang ingin kupastikan."


Aku tidak bertanya apa. Karena jika membuka mulut, perasaan yang hampir meluap itu bisa keluar.


Tidak ada percakapan, hanya suara gondola dan detak jantung yang terdengar jelas. Ruang tertutup itu, sampai gondola mengelilingi langit, menjadi dunia privat yang tidak diganggu siapa pun. Kami saling merasakan satu sama lain, seolah melakukan sesuatu yang rahasia.


Tubuh yang bersandar begitu hangat, membuat dingin musim dingin terlupakan.


Detak jantung yang terdengar samar-samar seakan bercampur menjadi satu.


"Ruu-kun hangat ya."


"...Biasa saja, suhu tubuhku normal."


"Tidak, hangat kok. Kau selalu menghargai perasaanku. Tidak menyingkir dengan alasan seadanya, tidak lari dari kenyataan. Kadang mungkin sedikit mengalihkan pandangan, tapi akhirnya selalu menemukan hatiku."


"...Kebetulan saja. Aku tadi sampai lupa janji itu."


"Tapi kau mengingatnya. Seperti menemukan bintang pertama di langit malam, kau menemukan cara agar hatiku yang sedih bisa tersenyum. Mengambil kenangan kecil yang seharusnya terjadi jauh lalu, dan memberiku waktu yang hangat seperti ini."


"........"


"Ya, aku benar. Aku bisa memastikan itu."


Seira bersandar sedikit lebih erat, suaranya lembut, seolah bisa larut ke warna senja.


"Itulah sebabnya aku cemas. Ruto-kun, kau harus menari untuk dirimu sendiri segera."


"...Seira?"


Bisikan itu terdengar nyaris tak tertangkap.


Seira melanjutkan, suaranya sedikit bergetar, seperti mengumpulkan keberanian kecil sepenuhnya.


"Aku percaya. Ruu-kun, kau anak laki-laki yang bisa menemukan jawaban dengan caramu sendiri."


Aku tidak sempat mencerna arti kata-katanya.


Gondola mengelilingi langit kemerahan.


Waktu rahasia kami berdua selesai, malam pun segera datang.


Setelah turun dari bianglala, kami bertemu kembali dengan Nowa dan pulang bersama.


Meskipun ada sedikit masalah kecil, di dalam hatiku tersimpan kenangan yang menyenangkan dengan sempurna.


Ya, itu adalah waktu yang menyenangkan. Waktu yang memuaskan.


Bahkan rasa lelah sedikit pun terasa menyenangkan, pikiranku terasa melayang ringan.


Mungkin, kalau aku masih berhenti menari, aku tidak akan bisa menikmati momen seperti ini. Aku akan terus terbebani rasa penyesalan, merasa bersalah saat bersenang-senang, tidak bisa mempercayai senyum di depanku, dan terus mengurung diri dalam kesedihan yang kubuat sendiri.


Sejak Seira datang.


Teman masa kecil yang kembali dari Amerika itu, membuat waktu yang terhenti di hidupku bergerak lagi.


Bukan hanya membuatku menari lagi. Ia membuatku menyadari alasan sejati mengapa aku menari.


Aku ingin waktu seperti ini terus berlanjut.


Aku ingin terus menghabiskan momen seperti ini.


Melihat Seira dan teman-temannya tertawa bahagia, aku merasa begitu tanpa sadar.


Aku tahu. Sebenarnya aku menyadarinya.


Hari ini, besok, dan seterusnya—selamanya—


Saat aku berpikir seperti itu, aku pasti sudah menyadari hal ini.


Ada hal yang harus aku hadapi.


Ada jawaban yang harus aku temukan.


Tapi, tolong tunggu sedikit lagi.

Sekarang, aku ingin menari.


Aku belum pernah benar-benar mencapai sesuatu melalui menari.


Kalau aku menari dengan seluruh tenaga, mengeluarkan segalanya, dan setelah itu mendapatkan sesuatu, aku merasa akan bisa percaya pada diriku sendiri.


Mungkin ini penundaan yang memalukan.


Tapi, bukan berarti aku berhenti atau mengalihkan pandangan.


Karena waktu ini penting bagiku, aku ingin menemukan cara untuk menghadapi semuanya sambil tetap menjaga waktu ini berharga.


Namun, malam pasti datang.


Saat awan senja menjadi gelap, dan bintang mulai berkelip di langit malam yang biru pekat.


Sambil menyeret tubuh yang lelah, kami tetap saling berkata “senang ya hari ini.” “Kita main lagi besok, ya.”


Dalam janji seperti anak SD itu, kami tertawa bersama.


"Ruto-kun."


Seira menoleh dan memanggilku. Gadis yang membawa langit berbintang itu menatapku dengan serius.


"Aku menyukaimu. Maukah kau menjadikanku pacarmu, Ruu-kun?"


Pengakuan mendadak tanpa peringatan membuat napasku tersendat—


Namun, melihat Seira tersenyum lembut, aku menerima itu sebagai sesuatu yang nyata.


Nowa yang ada di sampingku juga terkejut dan kehilangan kata-kata.


Di jalan pulang musim dingin yang sunyi, pikiranku kosong dan hanya ada satu hal yang melintas.


…Kenapa sekarang? Kenapa di sini?


—Aku tahu.


Dengan memikirkan hal ini, aku menyadari bahwa aku masih berdiri di tempat yang sama, tidak bergerak dari tempat itu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close