NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Volume 2 Chapter 7

 Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


Chapter 7 – Kencan di Taman Hiburan

Akhir-akhir ini, aku punya kebiasaan yang menyenangkan.

Yaitu waktu menelepon bersama Hanazono setiap Jumat malam.

Di sekolah, Hanazono memang sedikit bicara, tapi lewat telepon dia bisa menunjukkan sikap aslinya. Bahkan, aku merasa dia lebih terbuka dibanding saat kami bersama langsung.

Mungkin karena kami tidak saling melihat wajah, jadi dia bisa lebih santai.

Memang, sisi dingin Hanazono sempat mengejutkanku, tapi itu hanya satu sisi saja. Hampir tak pernah muncul juga.

Dan, meskipun aku menyukainya karena sisi yang bisa kulihat, diperlihatkan sisi barunya justru membuatku senang.

Setiap kali menelepon Hanazono, aku selalu merasa begitu.

“Apaan sih, Onii, senyum-senyum sendiri. Jijik.”

Sekitar pukul delapan malam, adikku, Seira, yang baru selesai mandi, menyipitkan matanya di depan wastafel.

Aku tersenyum lebar menunjukkan gigi yang baru selesai disikat, lalu melemparkan ucapan:

“Masa sih? Mungkin karena bentar lagi mau teleponan sama pacar, hehe~”

“Sama Remi-nee?”

“Bukan, udah kubilang itu bukan begitu. Kenapa sih kamu selalu nyebut Remi?”

Seira memang suka menyebut-nyebut nama Remi.

Maklum, sejak kecil dia sering dimanja olehnya.

“Oh iya, makasih ya waktu itu udah manggil Remi. Beneran ngebantu banget.”

“Itu sih nggak masalah, tapi aku tetep nggak percaya kamu punya pacar, Onii.”

Sesampainya di depan tangga ke lantai dua, aku menghentikan senyumku dan menoleh ke belakang.

“Masih aja ngomong gitu. Percayalah dikit, napa.”

“Soalnya, kamu dan Remi-nee dulu bilang mau nikah pas gede.”

Aku tanpa sadar mengeluarkan suara heran.

“Itu ‘kan waktu masih kecil banget. Kelas satu SD gitu lho.”

Kalau waktu itu kami memang pernah saling janji, pasti pertemuan kembali saat SMA bakal jauh lebih dramatis.

Ucapan Seira itu hanya berlaku saat kami belum mengenal lawan jenis lain.

“Usia nggak penting. Aku seneng banget waktu kecil dengernya, tahu nggak.”

“Penting lah. Kalau semua dihitung, kamu harusnya nikah sama Ayah, dong.”

Sekarang giliran Seira yang kaget.

“Hah? Aku pernah bilang mau nikah sama Ayah?”

“Sering banget, malah.”

Seira sampai menjatuhkan sisirnya dan mundur selangkah.

“...Bohong! Bohong! Hah!? Aku beneran bilang gitu!?”

“Serius. Makanya, ngerti kan? Anak kelas satu SD emang beda dunia banget.”

Meninggalkan Seira yang syok berat, aku melangkah ke kamar.

***

“Fufu, kasihan banget adikmu. Tapi agak lucu juga.”

“Ahaha, iya ‘kan? Padahal sekarang karakternya beda banget, sekarang aja dia suka ngisi ulang air mandi sendiri, lho. Emang bener deh, anak kelas satu SD itu kayak orang lain.”

Aku menjawab sambil tersenyum pada Hanazono yang di ujung telepon.

Aku tidak menyebut soal Remi, hanya mengangkat fenomena umum bahwa anak kecil sering asal janji nikah dengan lawan jenis.

Kisah Seira sudah mulai jadi topik andalan kami berdua.

“Dulu pas dia masih SD juga selalu ngikutin ke mana-mana. Lucu banget, deh.”

“Pasti lucu banget, ya. Soalnya postur anak cewek dan cowok beda jauh juga, kan.”

“Yup. Sekarang sih aku nggak mau ngaku dia pernah lucu. Eh, waktu kamu kelas satu SD gimana, Hanazono?”

“Aku? Hmm, kayaknya nggak ada cerita menarik yang bisa diceritain ke Yossi, deh.”

“Nggak juga, siapa tahu kamu aja yang nggak sadar. Bisa jadi menarik lho.”

“Ugh, jahat~. Aku ini beneran cewek biasa waktu itu.”

“Ahaha.”

Nada suaranya yang ngambek justru bikin aku tersenyum.

Suaranya yang menenangkan, yang tak pernah kudengar di kelas, menggetarkan telingaku dan menenangkan hati.

“Eh, Hanazono, Minggu ini kamu kosong nggak?”

“Hmm, kayaknya diajak main sama anak OSIS, sih. Kenapa emangnya?”

“Ah, serius? Ya, aku cuma pengen main aja sih. Maksudnya, pengen ketemu, gitu.”

Mungkin aku bisa bilang sejujur itu karena sedang lewat telepon.

Atau karena aku sadar, mungkin kami tak bisa bertemu minggu itu. Alasan yang sedikit menyedihkan.

“Gitu ya. Oke deh, aku kosongin waktunya.”

“Eh?”

Jawabannya yang tak terduga membuat mataku terbelalak.

“Terus yang dari OSIS gimana?”

“Nggak kok, aku prioritaskan Yossi.”

“Boleh gitu? Maksudku, aku sih senang, tapi...”

Anak OSIS pasti termasuk senior juga. Kalau itu janji yang duluan dibuat, membatalkannya bisa berisiko.

“Nggak masalah kok. Soalnya aku juga belum bilang iya, masih aku tunda karena ada urusan keluarga. Jadi aman.”

...Kalau begitu, berarti dia nggak melanggar janji, ya.

Aku sedikit lega, tapi tetap memberinya pengingat.

“Seperti yang kamu pernah bilang ke aku, kamu nggak perlu membatasi pergaulan cuma karena punya pacar, lho.”

“Iya. Tapi aku memang pengen sama Yossi aja.”

“Itu jujur banget dan bikin aku super senang.”

“Fufu.”

Hanazono tertawa pelan, penuh kehangatan.

“Kalau gitu, sampai lusa ya.”

“Oke.”

Mungkin nanti, kencan setiap akhir pekan bakal jadi hal yang biasa.

Aku menantikan masa depan seperti itu.

Tapi, perasaan istimewa yang sebentar ini... ingin tetap kusimpan baik-baik.

Sambil menyilangkan kaki di atas ranjang, aku menutup telepon dengan Hanazono.

*** 

Hari itu, kami benar-benar menjalani kencan di taman hiburan seperti dalam gambar.

Taman hiburan bernama Porando dengan bianglala merah sebagai ciri khasnya, terletak sekitar dua puluh menit perjalanan dengan kereta.

Tempat janjian kami bukan di depan taman hiburan, melainkan di stasiun dekat rumah.

Bisa menghabiskan waktu berdua selama perjalanan—bahkan dalam study tour pun itu hal yang sulit.

Selama ini aku hanya pernah main ke tempat yang bisa dijangkau dengan sepeda bersama teman seangkatan, jadi sedikit gugup juga naik kereta. Tapi teknologi modern sangat membantuku.

Setelah berhasil mencetak tiket yang sudah dipesan secara online, kami masuk ke dalam.

Yang terbentang di depan mata adalah dunia yang sama sekali berbeda dari lingkungan perumahan biasa.

“Luas banget. Udah lama aku nggak ke taman hiburan,” ucap Hanazono.

“Aku juga. Terakhir kali waktu kelas satu SMP, itu pun sama keluarga. Oke, hari ini kita harus puas-puasin main!” seruku.

Waktu bersama keluarga dan waktu bersama teman sebaya di taman hiburan rasanya sangat berbeda.

Perbedaan paling besar adalah saat waktu menunggu.

Adik perempuanku bebas main game di ponsel, sementara kedua orang tuaku mengobrol serius atau mengenang masa lalu. Saat antre wahana, aku sering ditanya soal pelajaran, dan kalau cerita soal teman sekolah malah bikin mereka cemas.

Kalau dipikir-pikir, waktu bersama keluarga agak kurang cocok untuk taman hiburan.

“Yossi, kita makan siang dulu, yuk?” ajak Hanazono.

“Pilihan pertama kamu unik juga, ya. Biasanya orang naik wahana dulu dong!”

“Fufu, bercanda kok.”

Hari ini Hanazono tampak lebih bersemangat dari biasanya.

Wahana pertama kami, tentu saja roller coaster.

Merasakan angin kencang dan sensasi luar biasa adalah cara terbaik untuk menikmati suasana tak biasa. Bagiku, ini semacam etika di taman hiburan.

Karena kami masuk hampir bersamaan dengan jam buka, kami hampir tak perlu menunggu dan langsung bisa duduk di dalam kereta wahana.

Sesuai arahan, aku menurunkan tuas pengaman, dan di sebelahku Hanazono terlihat agak kesulitan sambil mengerang pelan, “Nnngh…” saat menurunkannya.

“Keras banget…”

“Mungkin karatan, ya,” sahutku santai.

Hanazono pun memasang ekspresi cemas.

“Hmm… ini beneran aman, ya? Susah dipercaya deh, cuma satu tuas ini yang ngejaga tubuh kita. Meski pasti udah diperhitungkan sih.”

“Ya juga, soalnya badan kita bisa ‘melayang’ pas turunan. Kalau sampai karatan, bisa bahaya juga tuh…”

“Jangan ngomong gitu dong!”

Saat aku menggoda dengan kata-kata menyeramkan, kereta perlahan mulai menanjak.

Kereta terus naik, hingga kami bisa melihat seluruh pengunjung dari ketinggian. Melewati lantai empat, lima, lalu sepuluh lantai—setelah itu, aku cuma bisa berpikir: “Wah, tinggi banget!”

“Ahaha, gila ini! Tinggi parah!” seruku sambil menggoyang-goyangkan kaki.

Sementara Hanazono mulai panik.

“Huwaa, tinggi banget! Tinggi banget! Serem!”

“Ahaha, iya ya.”

“Kenapa kamu santai banget!? Aku nggak bisa lihat ke bawah!”

Anehnya, kalau ada orang di sebelah yang lebih takut, kita jadi lebih tenang.

Dan… Hanazono ternyata nggak suka roller coaster. Lucu juga.

Dia tetap ikut walau takut dan nggak bilang apa-apa… itu bikin aku makin terharu.

Biar terdengar di tengah angin yang kencang, aku berseru:

“Hanazono! Ini kayaknya goyang deh?!”

“KYAAA! Jangan bilang gitu!!”

Saat aku tertawa mendengar reaksinya—

Tubuhku seolah melayang.

Turunan pertama dan tertinggi langsung membuat kami semua menjerit dari perut.

“Hyaaa!”

Tanpa ampun, kereta melaju kencang di atas rel.

Meski kecepatannya mencapai ratusan kilometer per jam, pemandangan masih bisa terlihat jelas.

Bianglala, komidi putar, food court, rumah hantu—

“NGGAK SANGGUP! NGGAK SANGGUP! NGGAK SANGGUP!”

Hanazono memegang erat tuas dengan dua tangan, tubuhnya membungkuk.

Menurutku, posisi membungkuk malah lebih menakutkan daripada angkat tangan, tapi aku tak bisa bicara karena udara masuk terlalu kencang ke mulutku.

Tubuh kami terombang-ambing ke atas, bawah, kiri, dan kanan, lalu masuk ke jalur akhir.

Begitu kembali ke titik awal, terdengar tepuk tangan otomatis.

Tepuk tangan dari penumpang dan yang mengantre bergema, dan tuas pengaman terangkat dengan bunyi krek.

Begitu turun dari kereta, aku langsung berseru:

“Kalau mau keliling lihat-lihat taman, roller coaster paling cocok! Sekarang aku udah tahu letak semua wahananya!”

“Lihat papan petunjuk aja, napa…” sahut Hanazono dengan napas tersengal-sengal.

***

Begitu mulai bermain di taman hiburan, waktu terasa berjalan berkali-kali lipat lebih cepat daripada di hari biasa.

Kami santai berputar dengan cangkir berputar, lalu adu balap serius di gokar (aku menang telak).

Setelah itu, kami lemas bersama di ayunan berputar, dan langsung cari bangku buat istirahat begitu turun.

Beberapa detik setelah masuk waktu istirahat, wajah Hanazono sudah terlihat kelelahan.

“Taman hiburan ternyata butuh banyak tenaga, ya…”

“Jelas lah, nanti pas pulang kamu bakal tepar, jadi siap-siap aja.”

“Hmm, semoga aku kuat sampai selesai hari ini…”

Meski terdengar khawatir, Hanazono tetap membalas dengan wajah gembira.

“Kita bisa pulang lebih awal juga sih. Soalnya taman ini masih dekat, kapan-kapan bisa ke sini lagi.”

“Bener juga. Tapi aku tetap pengen naik komidi putar sama bianglala.”

“Ahaha, pilihanmu lucu juga.”

Aku tertawa, dan Hanazono tersipu sambil mengangkat bahu.

“Dulu aku nggak suka naik wahana yang bisa dilihat orang. Jadi aku jarang banget naik waktu kecil.”

“Oh ya? Tapi sekarang beda, kan?”

“Iya. Sekarang aku pengen coba.”

“Kalau gitu, aku jadi fotografernya aja.”

Aku mengeluarkan ponsel dan tersenyum senang.

—Ini dia, momen yang kutunggu-tunggu.

Target hari ini adalah dapat foto berdua dengan Hanazono.

Foto itu bakal bikin aku makin merasa “kami benar-benar pacaran.”

Masalahnya, susah banget buat ngajak foto bareng.

Padahal sejak SMP aku udah punya banyak kesempatan, tapi belum pernah terjadi sekalipun. Jadi sekarang pun aku bingung harus ngajak gimana.

Akhirnya, aku bisa keluar dari kebingungan ini.

“Eh, Yossi nggak mau naik juga?”

“Eh? Aku harus dokumentasiin momen kamu! Masa pacar nggak ikut ngabadikan momen?”

“Nggak mau. Aku pengen naik bareng.”

“Ugh…”

Jarang-jarang dia menolak, tapi kali ini penolakannya justru supaya aku ikut naik bareng. Mana mungkin aku menolak.

Tapi Hanazono sama sekali nggak ambil ponsel, jadi kalau begini terus, kami bisa-bisa pulang tanpa satu pun foto berdua.

“Eh, Hanazono, kamu tuh jarang banget buka ponsel, ya?”

“Pastinya. Ini ‘kan kencan. Kamu juga nggak buka HP, ‘kan? Nggak buka Instagram juga.”

“Ya, aku emang nggak terlalu aktif di medsos. Kamu juga gitu ya?”

“Iya. Aku males terlibat hal aneh-aneh juga.”

Hanazono menambahkan, “Orang asing di internet tuh, serem banget.”

Dan aku setuju. Di medsos, orang dewasa yang bahkan nggak saling kenal bisa bertengkar habis-habisan.

Saat pertama kali aku menyentuh dunia itu, rasanya sungguh mengejutkan. Tapi ketika aku benar-benar menjalaninya di dunia nyata, aku bahkan tidak tahu di mana orang dewasa seperti itu berada.

Dan itu justru membuatku sedikit merasa takut.

"Kalau dipikir-pikir, cara kita bertemu itu benar-benar khas kita, ya. Komunikasi lewat tulisan di meja, kayaknya cuma orang zaman dulu yang masih melakukannya."

"Haha, iya juga. Aku juga merasa kalau hubungan yang berawal dari hal kayak gitu justru bisa jadi lebih dalam."

"Iya, iya. Aku juga senang banget waktu itu."

Hanazono mengangguk dalam dan tersenyum.

"Mau makan siang sekarang?"

"Memang udah lapar juga sih. Ayo, ke food court, yuk."

"Ah, eehm..."

Hanazono mulai mengobrak-abrik tote bag-nya.

Lalu dia meletakkan sebuah kantong kain di tengah bangku, di antara kami berdua.

"Nih, bekalnya."

"Eh?"

Gerakanku yang sempat hendak berdiri terhenti, dan aku menatap lekat-lekat kantong kain itu.

Hanazono membuat ini untukku?

"Jangan-jangan ini… soal waktu itu…"

"Iya. Kita janji di ruang OSIS, kan? Aku pikir ini waktu yang pas, jadi aku benar-benar niat bikin ini!"

"Aku senang banget masih hidup!!"

"Fufu, lebay banget deh. Haa… jadinya ekspektasinya jadi tinggi. Jangan-jangan aku salah timing, ya..."

Meski dia terdengar agak cemas, suaranya nyaris tak masuk ke telingaku.

Saat aku mengeluarkan kotak bekal dari kantong kain itu, ternyata itu adalah bekal tiga tingkat.

Cukup besar untuk muat makanan khas tahun baru, dan tiap tingkatnya dalam.

Saat aku membuka tingkat ketiga, isinya ada asparagus gulung bacon, tamagoyaki, potongan ikan salmon, hamburger mini, tomat ceri, dan jeruk.

Banyak bahan makanan disusun dengan warna-warna cerah.

"Ini masakan cewek banget!!"

"Fufu, iya ya. Kalau soal itu aku cukup percaya diri, kok."

"Hanazono, beneran aku boleh makan ini?"

"Justru aku bakal sedih kalau kamu nggak habisin! Makan, makan!"

Hanazono berkata dengan nada bercanda dan memberiku sepasang sumpit.

Warna dasarnya merah, jelas sumpit untuk perempuan. Sepertinya ini sumpit yang biasa dia pakai.

Aku mengusir pikiran-pikiran remeh itu, dan menyodok tamagoyaki dengan sumpitku.

"Selamat makaan!"

"Iya, silakan."

Dengan Hanazono mengamatiku, aku menyuapkan tamagoyaki ke dalam mulut.

Saat dikunyah, rasa kaldunya meresap di lidah.

"Ini... bukan tamagoyaki biasa, ini dashimaki tamago! Hanazono, kamu bohong ya kalau bilang nggak biasa masak! Keseimbangan rasa dashi-nya susah banget ini!"

"Kamu juga loh, bisa bedain itu... jangan-jangan kamu juga sering masak? Curang, nih~"

"Aku sih pernah coba, gagal, terus kapok."

"Itu yang paling parah!"

Hanazono tertawa geli sambil menimpali.

Masih dalam suasana haru, aku merasa ingin mengabadikan momen ini.

Dengan tekad bulat, aku mengeluarkan smartphone lagi.

"Heh, boleh nggak aku foto bekalnya?"

Hanazono sempat berhenti mengeluarkan sumpitnya dan berkedip bingung.

"Eh, foto? Malu, ah..."

"Tolong, aku mohon banget!!"

"Serius banget mintanya!?"

"Ya jelas lah! Foto itu! Kenangan!"

Kosa kataku hilang entah ke mana, tapi sepertinya perasaanku tersampaikan.

Hanazono terlihat bimbang sejenak, lalu menggaruk pipinya sedikit.

Kemudian dia mengangguk, "Yah, kalau kamu sampai segitunya sih, oke deh."

"Yeay!"

Segera aku ambil foto tingkat pertama, kedua, dan ketiga.

Lalu karena terbawa suasana, tanpa sengaja aku memotret profil wajah Hanazono.

"Eh, kamu moto aku barusan?"

Hanazono bertanya dengan ekspresi bingung.

Aku berkedip, lalu buru-buru menjelaskan.

"Kayaknya iya. Nggak sengaja, begitu kamu masuk ke layar, naluri sebagai pacar langsung pencet tombol kamera."

"......"

"Maaf, aku hapus ya."

Aku tak tahan dengan diamnya dia, jadi aku buru-buru mencari tombol hapus.

Apa tetap nggak boleh, bahkan dalam momen kayak gini?

"Kamu nggak bakal unggah ke SNS, kan?"

"Eh?"

"Kalau nggak diunggah, kamu boleh simpan. Soalnya itu kamu, Yoshii."

Suaranya tenang.

Saat kulihat, Hanazono tersenyum kecil.

"Nggak akan aku unggah. Aku juga nggak niat pamer kencan ke siapa pun. Aku cuma pengen lihat fotonya sendirian, malam-malam gitu."

"Kalau gitu, nggak apa-apa. Dan mulai sekarang, kamu juga boleh motret aku sepuasnya. Kan aku pacarmu. Kayaknya pasangan itu memang begitu."

"Aku juga sih, mikirnya begitu… kalau gitu, boleh juga ya, kita foto bareng? Foto berdua gitu."

"Tentu. Yoshii, dari tadi pengen foto bareng ya?"

Hanazono tersenyum sambil menurunkan sudut matanya.

Kemudian dia berdiri sebentar, lalu memindahkan kotak-kotak bekal ke tempat lain.

Lalu dia duduk manis di sebelahku.

"Oke, Yoshii. Pegang kameranya."

"O-o-oke, siap!"

Saat kuangkat smartphone, Hanazono sudah siap dengan senyuman lembutnya.

Dia sudah dalam posisi siap difoto.

Melihat ekspresinya yang seperti untuk publik itu menyentuh hatiku, membuat sudut bibirku terangkat.

Layar ponselku dipenuhi kebahagiaan.

"Yoshii dari tadi nggak masuk ke layar, loh."

"Eh, bener juga."

Aku cuma melihat Hanazono tadi.

Setelah memastikan wajahku juga masuk dalam layar, aku mulai memotret, satu, lalu satu lagi.

Setiap kali aku menyisakan jeda di antara foto, Hanazono sedikit mengubah ekspresinya.

Aku ingin terus memotret selamanya.

Lama-lama, jarak di antara kami makin dekat, hingga rambut Hanazono menyentuh pipiku.

Puncak kepalanya nyaris bersentuhan denganku di bawah pipiku.

"Maaf, kejauhan ya..."

Aku buru-buru minta maaf, tapi Hanazono malah menatapku.

"Nggak apa-apa. Nih, malah begini aja sekalian."

Hanazono berdiri dari bangku, lalu bergeser ke belakang.

Dia meletakkan tangannya di pundakku, lalu mencondongkan diri ke depan sambil menatap kamera dari bawah.

Wajahnya tepat di samping wajahku.

Aroma Hanazono samar-samar tercium di hidungku.

Aku yakin, foto ini akan jadi penghubung kenangan kami.

Dikelilingi wangi kebahagiaan itu, aku merasakannya dengan pasti.


*** 

Dalam perjalanan pulang setelah bermain sepuasnya di taman hiburan dan makan malam sampai kenyang.

Aku dan Hanazono berjalan menyusuri jalan besar yang mengarah ke stasiun untuk pulang.

“Kayaknya kita sering banget dipanggil ya.”

“Itu namanya ‘catch’, lho. Jangan sampai ikut mereka ya? Pasti dibawa ke tempat mahal.”

“Serem juga, sisi gelap kota besar. Soalnya orang-orangnya kelihatan berani banget, sampai takut nolaknya.”

“Iya, maksa banget itu bikin repot.”

Hanazono mengatakannya dengan santai.

Ekspresi wajahnya mengingatkanku pada kejadian bulan lalu.

Senior dari klub sepak bola yang jadi ace. Tatapan Hanazono saat itu sama persis seperti sekarang.

“Ngomong-ngomong, soal waktu itu. Dari si senior itu ada kabar apa nggak?”

“Waktu itu?”

“Waktu kamu ditembak. Aku lihat langsung, senior dari klub bola itu.”

“Ah, dia ya. Belum lama ini dia manggil aku, dan kami ngobrol sekali doang, sih.”

Mendengar itu, aku jadi sadar akan satu kemungkinan, lalu aku bertanya.

“Kamu udah bilang soal kamu punya pacar?”

“Karena kamu udah nembak aku, jadi aku bilang deh. Tapi aku minta dia buat jaga rahasia, jadi harusnya aman.”

“Kamu bilang juga, ya.”

“Eh, nggak apa-apa ya?”

“Bukan gitu. Aku malah seneng, kok.”

Kalau dia bilang ke senior itu, aku jujur aja seneng.

Aku sih nggak masalah kalau seluruh kelas nggak tahu aku pacaran, tapi kalau si senior itu nggak tahu, rasanya agak mengganjal.

Jelas sih, senior itu jauh lebih punya kharisma, tapi soal perasaanku ke Hanazono, aku nggak mau kalah.

“Maaf ya, aku nggak konsultasi dulu.”

“Nggak apa-apa, kok. Cuma... kalau dia nyerang kamu lagi, aku nggak suka aja.”

“Tenang, dia nggak bakal datang lagi. Itu udah pasti.”

Nada suaranya anehnya penuh percaya diri.

Karena aku tahu sisi dingin Hanazono, aku jadi khawatir—jangan-jangan dia berkata sesuatu yang tajam lagi.

Kalau dipikir-pikir bisa jadi si senior malah dendam, jadi mungkin mending aku pastikan aja.

“Hei, emangnya beneran dia bakal jaga rahasia?”

“Aman, kok. Dia juga nggak mau orang tahu kalau dia ditolak, kayaknya.”

“Ah, masuk akal. Kalau udah soal harga diri, sepertinya bisa dipercaya.”

“Iya, aku juga mikir gitu.”

“...Kamu ngomong apa aja soal aku?”

Aku bertanya dengan jantung berdebar, dan Hanazono hanya tersenyum manis.

“Rahasia.”

“Eh, bilang dong. Jangan-jangan kamu ngejelek-jelekin aku?”

“Nggak mungkin lah, udah ah.”

“Ugh…”

Ya udah lah. Itu kan privasi Hanazono juga. Harusnya aku bisa terima.

Sebelum sisi kekanakanku muncul, mending ganti topik deh.

“Ini termasuk hal yang nggak bisa dikasih tahu ke pacar, ya. Nanti aja, ya.”

Kalau dia udah bilang sejauh itu, berarti dia nggak bakal bilang sampai waktu yang tepat datang.

Aku memutuskan untuk menyerah. Tapi pada saat itu…

“Eh?”

Hanazono berhenti melangkah.

Pikiranku langsung buyar, aku cepat-cepat menoleh ke sekitar.

Di sekitar kami, berdiri deretan hotel yang gemerlap dan tampak bergaya.

Papan nama dengan lampu warna-warni, eksterior dengan konsep ala barat.

Di papan harga tertulis:

‘Istirahat: 3 jam – 3500 yen’

‘Istirahat: 5 jam – 5500 yen’

——Ini… kawasan love hotel.

Karena terlalu asyik ngobrol, aku sama sekali nggak sadar.

Bahkan, sampai benar-benar melewatinya pun aku nggak ngeh.

“Waduh. Maaf ya, aku nggak ada maksud gitu…”

“Kamu mau istirahat, Yosshi?”

“Eh?”

Aku melotot.

…Jangan-jangan, dia nggak tahu arti kata ‘istirahat’ dalam konteks ini?

Benar juga, aku sendiri cuma tahu dari video-video yang... kurang pantas.

Nggak mungkin Hanazono nonton hal begitu, jadi wajar aja dia nggak tahu.

“Gak apa-apa kok, kita istirahat aja?”

“Eh!? A-ah, ya maksudnya… Tapi mahal juga ya!”

“Aku juga pengin istirahat. Emang agak mahal, tapi tadi kamu yang bayarin makan malam, jadi kali ini biar aku aja yang bayar, ya.”

“Eeh!? Nggak, kayaknya kita juga nggak bisa masuk! Tempat kayak gini tuh buat pasangan yang ketinggalan kereta terakhir gitu, lho!”

Oke, pengetahuanku memang agak miring, tapi seenggaknya nggak salah banget.

Sebagai cowok, ada rasa penasaran, tapi nyatanya aku nggak punya mental buat menghadapi kenyataan ini, dan secara hukum juga jelas melanggar.

“Masih jam delapan juga, aku masih pengin jalan-jalan.”

“Kita harus udah dewasa dulu! Ini soal hukum!”

“Padahal cuma mau istirahat doang!?”

Jawabannya yang polos banget bikin aku garuk-garuk kepala.

Hanazono bahkan bilang, “Pakai kartu pelajar juga nggak bisa ya...”, sambil bergumam.

Tapi... apa aku boleh ngasih tahu hal kayak gini ke gadis sepolos dia?

Tapi kalau nggak aku kasih tahu sekarang, bisa-bisa dia malu di tempat lain karena nggak tahu.

Setelah bingung berat, akhirnya aku memutuskan untuk kasih tahu yang sebenarnya.

“Hanazono.”

“Apa?”

“Tempat ini tuh… tempat buat ngelakuin hal setelah ciuman.”

Hanazono melotot kaget.

Lalu, bahkan Hanazono pun akhirnya wajahnya memerah.

Syukurlah, dia setidaknya nggak percaya kalau bayi dibawa bangau.

“Eh? Tapi, ‘istirahat’ itu…”

“...Artinya, mereka nyewain kamar selama jam segitu.”

“O-oh… jadi, tempat ini tuh…”

“Iya.”

“Tempat yang katanya di mana temen-temen lama ketemu pas reuni, terus pas acara mau selesai mereka pura-pura bilang mau ke karaoke, padahal sebenarnya mereka pergi bareng dan… karena efek minuman, mereka melakukan kesalahan?”

“Kenapa yang itu kamu bayanginnya detail banget!?”

Aku langsung refleks menimpali, dan Hanazono terlihat kaget seolah nggak nyangka.

Setelah bergumam pelan, dia akhirnya menjawab dengan nada bingung.

“Aku pernah dengar ceritanya sih... j-jadi tempat kayak gini, ya. Lebih… mengkilap dan cantik dari yang aku bayangin.”

“Mungkin karena tempatnya emang didesain buat bikin cewek senang. Kalau tempatnya kumuh kan malah serem.”

“Iya sih. Kalau pertama kalinya langsung ke tempat jelek... serem juga…”

“Iya, kan! Makanya mending kita pergi aja!”

Aku langsung buru-buru menjelaskan supaya nggak disalahpahami.

“Bukan berarti aku nolak masuk bareng kamu ya, cuma ini tuh udah melanggar hukum! Jadi ini soal beda dimensi!”

Apa yang barusan aku katakan? Malah kedengaran kayak aku yang lagi nahan diri, jadinya mencurigakan.

“Yosshi.”

“Iya, maaf!”

“Eh, itu… Yuzuha-san ya?”

“Eh?”

Aku membuka mata, dan melihat Hanazono menatap ke belakangku.

——Yuzuha? Maksudnya, Yuzuha yang itu?

Ini... kawasan love hotel, lho.

Aku langsung menoleh panik.

Di arah pandangan Hanazono, ada sosok perempuan yang akrab sedang berjalan dengan pria yang tidak kukenal.

Rambutnya yang berwarna emas terang—aku sangat mengenalnya.

Sekilas saja, aku tahu dengan pasti bahwa punggung yang menjauh itu milik Yuzuha Yui.

“Barusan… mereka keluar dari hotel itu, ya…”

“…Serius?”

“Secara hukum, ini melanggar, ya?”

“Kayaknya… iya.”

Menjalin hubungan seperti itu dengan orang dewasa juga melanggar hukum.

Kalau pemandangan barusan memang sesuai dengan yang aku bayangkan...

Meski sebagian orang punya kesan buruk tentang Yuzuha, aku selalu percaya bahwa dia berbeda.

Tapi, kata-kata Yuzuha yang pernah ia ucapkan sekitar bulan Mei mulai terngiang di kepalaku:

—Eh, aku belum bilang ya? Aku tidur jam tiga tiap hari. Soalnya aku kerja malam.

—Serius? Kerja apa emang?

—Di tempat yang agak... nakal. Detailnya rahasia ♡

“Untuk sekarang… anggap aja kita nggak lihat apa-apa, ya.”

“…Iya. Mungkin Yuzuha-san juga punya alasannya sendiri.”

Hanazono berkata dengan nada tenang.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close