Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Chapter 6 – Temannya Pacar
Setelah sembuh dari sakit, hari pertama masuk sekolah.
Aku masuk ke kelas sedikit lebih awal dari biasanya. Setelah memastikan kalau Hanazono ada di sana, aku dengan cepat berpindah ke kursi Remi agar dia tidak menyadarinya.
"Pagi. Aku sudah pulih sepenuhnya."
"…Oh, selamat."
Remi membelalakkan mata seolah terkejut, tapi membalas dengan ringan.
"Bubur itu benar-benar manjur. Sembuh total dalam tiga hari, keren banget, sumpah."
"Itu karena kau tidur dengan benar. Sudah, menjauhlah sedikit."
Remi membalas dengan suara pelan, tapi tetap menjawabku seperti biasa.
Meski bagian akhir tadi juga kuucapkan pelan, ini tetap percakapan pribadi yang tak diketahui siapa pun. Kalau ini Remi yang dulu, mungkin dia akan total mengabaikanku.
"Ya, makasih. Pokoknya, ini buat kamu."
Aku mengeluarkan roti manis dari tas dan memasukkannya ke dalam laci meja Remi.
"Heh? Apa-apaan… ini roti? Jangan-jangan udah kadaluarsa?"
"Seberapa nggak percayanya kamu sama aku, sih? Nggak, ini ucapan terima kasih karena kamu merawatku."
"Oh, begitu ya? Padahal nggak perlu repot-repot."
Remi tersenyum canggung, lalu membuka mulutnya sedikit.
"Terima kasih."
"Oke."
Aku menjawab singkat, lalu langsung kembali ke tempat dudukku.
Begitu aku duduk dan meletakkan tas yang tersampir di bahu ke samping meja, aku masih merasa ada tatapan.
Di sudut pandangku, sepertinya Remi sedang memandangi ke arahku.
Sambil menyadari itu, aku mulai mempersiapkan diri untuk pelajaran homeroom.
Bagi Nikaidou Remi, aku tidak bisa bersikap biasa.
Itu adalah kenyataan yang tidak akan berubah dalam hidupku.
Dulu maupun nanti, dia adalah teman masa kecilku.
Punya pacar lalu mengabaikan teman lainnya, itu adalah kesalahan.
Tapi—aku tetap harus mempertimbangkan perasaan Hanazono.
Itulah kesimpulanku.
"Ah! Yoshiki~!! Pagi~!!"
"Ugh, wa!"
Dari lorong, seorang gyaru berlari kencang ke arahku.
Untuk situasi seperti ini, aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan.
***
"Pendaftaran percobaan?"
Aku mengeluarkan suara bodoh karena terkejut.
Wali kelasku di kelas 1-2, Sensei Hasegawa.
Ada cukup banyak Sensei berusia dua puluhan di sekolah ini, tapi karena dia merangkap jadi kepala kelas, dia termasuk yang paling tenang di antara mereka.
Kupikir aku dipanggil ke ruang Sensei untuk diberi pekerjaan tambahan, tapi ternyata isi pembicaraannya jauh lebih buruk.
"Benar, masuk klub, meski cuma pendaftaran percobaan. Aku sudah nggak bisa terus-menerus melindungi kamu, Yoshiki. Kamu tahu kan, sekolah ini pada dasarnya tidak mengizinkan siswa untuk jadi anggota klub 'pulang ke rumah'?"
"Jadi selama ini Anda melindungi saya ya…"
"Cuma sedikit, benar-benar sedikit."
Sekilas, Sensei Hasegawa tampak dingin, tapi dia dikenal karena cukup berpihak pada siswa.
Tapi cara bicaranya barusan beneran terkesan cuma 'sedikit'.
"Maaf kalau saya memanfaatkan kebaikan Sensei, tapi saya ingin konfirmasi dulu satu hal."
"Apa itu?"
Sensei Hasegawa menunjukkan ekspresi serius.
"Nikaidou dan Hanazono juga kan, mereka sama-sama ‘klub pulang ke rumah’. Tapi sepertinya tetap diizinkan."
"Hanazono itu penSenseis OSIS. Nikaidou cuma dikecualikan karena dia baru pindahan, tapi kami juga sudah berencana mendesaknya untuk bergabung ke klub."
"Agh… kalau begitu, gimana kalau saya gabung ke klub tempat Yuzuha berada?"
"Klub Fashion? Nggak bisa, klub itu juga akan dibubarkan."
"Hancur sudah!"
Semua harapan sirna, aku memegangi kepalaku dan berteriak.
Lalu, aku merapatkan kedua tangan dengan semangat.
"Sensei, tolong! Nggak ada cara buat tetap jadi ‘klub pulang ke rumah’!?"
"Kalau gitu, satu-satunya cara ya membuat 'klub pulang ke rumah' resmi. Tapi isinya tetap akan diperiksa."
"Itu gila banget…"
"Ngomong-ngomong, waktu SMP kamu ikut klub apa? Coba mulai dari situ."
"Eh, saya nggak ikut klub apa pun."
"Klub bola tangan, ya."
"Kalau tahu, jangan tanya dong!"
Dari mana bocor infonya? Yuzuha pasti biang keroknya. Yakin banget.
"Di sekolah ini juga ada klub bola tangan, kan? Kenapa nggak masuk? Orang yang udah main dari SMP jarang, jadi dari tahun pertama pun kamu bisa langsung jadi anggota inti, loh."
Setelah berkata begitu, Sensei Hasegawa menguap besar.
Sedikit janggut tampak di lehernya. Orang dewasa bisa tumbuh rambut dari tempat kayak gitu… serem.
"Pokoknya, kamu harus ikut pendaftaran percobaan selama tiga minggu. Kalau kamu berhenti setelah masa itu, permintaan pendaftaran baru akan muncul lagi setelah tiga bulan. Itu kesepakatan diam-diam di ruang Sensei."
"Jadi ada celah juga ternyata…"
"Banyak yang mempertanyakan aturan sekolah yang kurang adil. Tapi kalau kamu ambil jalan itu, aku yang bakal kerepotan."
"Tolong maklumin, dong."
"Hmm…"
Fakta bahwa dia nggak langsung menolak mentah-mentah menandakan bahwa dia memang Sensei yang baik, seperti yang dikabarkan.
Sensei yang mau ngobrol dengan siswa secara mendalam itu memang langka.
"Yah, baiklah. Aku akan melindungimu sejauh aku bisa tanpa ketahuan."
"Makasih banget!"
"Tapi ingat, hari ini kamu dipanggil karena ditegur oleh Sensei Kagami. Jadi minimal kamu harus ikut salah satu pendaftaran percobaan."
"Baik, saya mengerti. Tapi… selama masa percobaan itu, saya tetap nggak boleh masuk ke klubnya Yuzuha?"
"Itu cuma kelompok hobi, bukan klub resmi. Jadi nggak bisa dihitung sebagai pendaftaran ‘klub’."
Jadi tetap nggak boleh, ya…
Tapi, OSIS itu juga terlalu berat buatku.
…Yah, nggak ada pilihan.
"Minggu depan saya akan coba datang ke klub bola tangan. Hari ini saya nggak bawa sepatu dalam ruangan, jadi belum bisa ikut."
"Ya, kalau alasannya cuma segitu masih bisa dimaafkan. Semoga kamu bisa berkembang di klub bola tangan. Klub itu sebenarnya menyenangkan."
"…Begitu ya. Dulu Sensei ikut apa?"
"Aku basket. Seru banget, meskipun levelku kalah dari cewek."
"Eh…"
"Yah, dia terlalu jago aja sih."
Sensei Hasegawa tertawa senang.
Senyum yang tidak pernah kutemui di kelas.
…Orang dewasa pun bisa tersenyum saat mengenang masa muda, ya.
Mungkin memang, kenangan masa SMA itu akan tetap tertanam dalam di otak meski sudah sepuluh atau dua puluh tahun.
Kalau demi kenangan itu, mungkin pendaftaran percobaan tidaklah buruk.
Asalkan aku belum sepenuhnya benci bola tangan.
***
Di lorong sepulang sekolah, masih banyak siswa yang berkeliaran.
Jumlah orang baru akan berkurang setelah jam klub dimulai.
Ketika aku sampai di tikungan yang mengarah ke lorong depan kelas…
"Yang bener aja, Klub Fashion itu klub resmi! Bukan cuma kelompok hobi!"
Suara gyaru itu menggema di lorong.
Lalu terdengar suara Sensei Hasegawa yang mencoba menenangkan.
"Jangan manja. Aku nggak bisa melindungimu lagi. Banyak yang minta agar klub dengan nama aneh seperti itu dibubarkan sebelum adik kelas masuk."
"NAMA ANEH!? Dasar Sensei bodoh! Fashion itu nyawanya siswa, tahu!?"
Nada suara penuh syok karena pernyataan yang begitu rasional.
Aku mengintip dari tikungan, dan melihat aura negatif terpancar dari punggung Yuzuha.
"Maaf, ‘aneh’ itu keterlaluan ya. Ini salah kami yang ketinggalan zaman. Akan kusampaikan dengan baik."
"Emang iya, dasar Sensei botak bodoh!"
"AKU NGGAK BOTAK!"
Tapi ‘bodoh’-nya nggak dibantah, ya.
Sensei Hasegawa meminta maaf sambil bilang, "Maaf, maaf, aku menyampaikan terlalu jujur," lalu pergi meninggalkan tempat.
Aku merasa baru melihat alasan kenapa dia disebut kebalikan dari Sensei Kagami.
Setelah ragu sejenak, aku pun melangkah ke arah Yuzuha.
"Yo. Gimana ya… kamu lagi sial banget, ya."
Saat aku memanggilnya, Yuzuha langsung mendongak dengan cepat.
“Ueeeh, Yoshiki! Fashion gyaru itu bukan barang aneh, kan!? Itu paling keren, kan!?”
“Menurutku sih bukan barang aneh, tapi gyaru yang keren tuh nggak nanya hal begitu.”
“Sekarang tuh aku pengen dihibur atau dikuatin, tahu nggak sih!? Dasar penyendiri! Perjaka! Bodoh bego!”
“Serangannya terlalu kuat!”
Terutama dua yang pertama, itu bisa ngasih damage berkali-kali lipat dibanding ‘bodoh bego’.
Biasanya aku akan balas juga, tapi karena dia kelihatan benar-benar down, aku tahan diri.
Yuzuha menatap ke langit-langit sambil mengeluh keras.
“Ahhh, padahal aku nggak ada minat sama klub lain! Tapi kamu, Yoshiki, bisa ngeles dengan gampangnya masuk klub pulang doang, nggak adil banget! Kenapa cuma aku sih yang begini!?”
“Aku juga ngerasa bersalah sih. Tapi aku bakal ikutan percobaan masuk klub handball, jadi sebentar lagi aku juga bukan anak klub pulang.”
Gerakan Yuzuha langsung berhenti.
Saat aku sadar aku salah bicara, semuanya sudah terlambat.
“Eh, apa itu? Aku juga pengen ikutan dong? Kamu mau nyelinap sendirian, ya?”
“Kenapa juga? Kamu ‘kan nggak tertarik sama handball.”
“Nggak tertarik sih, tapi aku tertarik jadi manajer!”
“Itu maksudku kenapa aku bilang jangan ngomong gitu!”
Tapi aku juga punya alasan kenapa nggak bisa sepenuhnya nolak.
Soalnya, hampir semua anggota klub handball merangkap di klub lain, jadi belum tentu semuanya punya minat khusus sama handball.
Makanya, motivasi kayak Yuzuha bisa aja jadi standar klub.
“Eh, aku boleh ikutan juga nggak? Kalau bisa sih, aku pengen ngajak Youko dan Maki juga.”
“Hmm, agak susah sih. Soalnya, belum tentu juga suasananya cocok buat anak kelas satu datang rame-rame.”
“Eh, aku tetap mau ikut! Ayo dong, ayo dong, ajak dong!”
“Kamu tuh kayak anak kecil!”
Tanpa sadar aku ngomel, dan Yuzuha langsung cemberut.
“Anak kecil? Aku?”
“Iya, kamu.”
“Heh, coba kamu masih bisa ngomong gitu kalau aku gini!”
“Apa!?”
Yuzuha langsung memeluk lenganku dan menariknya ke dadanya.
Sebelum aku sempat menolak, tubuhku nyaris tertarik ke arahnya.
“Ah, bener juga, bahaya. Kamu ‘kan udah punya pacar, Yoshiki.”
Yuzuha langsung melepas tangannya dan menjaga jarak lagi dengan santai.
“Hehe, maaf ya. Kebiasaan buruk nih. Kalau begini nanti aku disangka cewek pengganggu sama Hanazono-san.”
“Itu kebiasaan kamu tuh terlalu menggoda... Jangan lakuin itu ke orang lain, nanti mereka salah paham.”
“Santai aja. Aku cuma gitu ke kamu, Yoshiki. Kan aku selalu bilang.”
“Itu sih...”
“Ahaha, kamu malu ya!”
“Kamu parah banget!”
Yuzuha tertawa riang, lalu menepuk dadaku dengan jari telunjuknya.
“Tapi serius deh, Yoshiki. Kamu nggak apa-apa kalau nanti aku nggak nempel-nempel kamu lagi?”
“Maksud kamu apa? Bukannya itu normal?”
“Nggak penting itu normal atau enggak. Ini ‘kan soal kita. Gimana menurut kamu?”
“Yah... iya juga sih.”
“Sejak kita masuk SMA, aku lumayan sering gitu ke kamu, kan? Menurutku kita jadi deket juga karena itu.”
Kami teman sekelas sejak SMP.
Dari semua teman SMP, cuma Yuzuha Yui yang masuk SMA yang sama denganku. Dulu kami cuma teman biasa, tapi belakangan ini aku merasa kami jadi lebih akrab.
Meski begitu, aku nggak pernah berpikir hubungan kami jadi "istimewa."
Dulu, Yuzuha adalah sosok yang aku kagumi.
Kalau kata Yuzuha sih mungkin nggak gitu, tapi aku memang sempat melihatnya sebagai seseorang yang “di atas sana.”
Kalau aku sampai mikir "dia mau berteman denganku karena sering sentuhan fisik", itu justru ngerendahin hubungan kami.
Aku cuma pengen kami jadi teman sejajar. Dan menurutku, sekarang udah tercapai.
Itu aja udah cukup luar biasa buatku.
“Kita jadi akrab bukan gara-gara sentuhan fisik, Yuzuha. Justru menurutku, kalau teman cowok-cewek, lebih sehat kalau nggak ada begituan. Aku juga lebih nyaman gitu.”
“...Gitu ya?”
“Iya.”
“Bukan karena kamu jadi ‘terangsang’ gitu?”
“Aduh, ampun deh...”
Yuzuha nanya dengan wajah polos, sampai-sampai aku menekan pelipisku.
Kayaknya nggak ada cowok yang bener-bener benci disentuh cewek cantik.
Tapi kalau udah punya pacar, itu bukan alasan buat ngebolehin. Harus ditahan pakai logika.
Dulu aku mikir itu dilema keren, tapi begitu ngalamin langsung, ternyata bikin frustasi juga.
“Pokoknya, tolong jangan nempel-nempel lagi, ya. Aku nggak enak sama Hanazono.”
...Mungkin karena suasananya, aku jadi agak keras ngomongnya.
Mata besar Yuzuha berkedip, lalu dia menghela napas panjang.
“Hah. Jadi itu penyebabnya, ya.”
“Uuuh... maksud kamu?”
“Gimana ya... Punya pacar itu kayaknya bikin kamu jadi agak... sempit ruang geraknya?”
“Nggak juga, tuh. Buktinya kita masih ngobrol kayak gini.”
“Maksudku bukan kamu. Aku. Aku yang ngerasa sempit. Ngebosenin.”
Kata-katanya itu langsung bikin aku diam.
Lingkungan sekitar.
Aku baru sadar kalau aku terlalu fokus sama diri sendiri sampai lupa mikirin itu.
Waktu baru jadian sama Hanazono, Remi juga sempat kelihatan menjauh dariku.
Buat Yuzuha, mungkin semua interaksi biasanya sekarang terasa seperti dibatasi.
“Kalau ada cewek lain yang pengen deket sama kamu kayak aku, terus tiba-tiba disuruh jaga jarak... ya bingung lah. Susah, tahu.”
“Yah... kamu harus coba cari cara komunikasi lain. Lagipula kamu udah bantuin waktu itu, jadi bukan tiba-tiba juga.”
“Yah, aku ngerti sih. Tapi aku nggak nyangka bakal jadi kayak gini.”
Yuzuha terlihat kesal, jentikkan kukunya, lalu merapikan rambutnya.
“Makanya aku iri banget sama Hanazono-san.”
“Eh?”
“Awalnya aku nggak peduli soal pacar atau apa. Tapi ternyata jadi pacar tuh banyak untungnya juga ya. Aku beneran nggak nyangka.”
Tergantung bagaimana menafsirkan ucapannya, itu bisa jadi keluhan kecil.
Atau... bisa juga dianggap pernyataan yang seharusnya bikin aku senang, tapi malah bikin aku merasa bersalah ke Hanazono.
Mungkin karena itu juga.
“Aku masih pengen deket-deket kayak gini sama kamu, Yoshiki. Padahal kita baru setengah semester pertama di tahun pertama SMA, lho.”
Nada suaranya yang terdengar tulus dan sedih, membuatku tanpa sadar mengungkapkan isi hatiku.
“...Yuzuha, ternyata kamu cukup suka sama aku, ya.”
“Eh?”
“Selama ini, aku mikir kamu tuh kayak jauh banget di atas sana.”
Aku memang merasa cukup dekat dengan Yuzuha.
Tapi aku selalu menganggap itu karena kami satu-satunya dari SMP yang masuk sekolah ini, jadi wajar kalau akrab.
Justru pikiran seperti “dia mau berteman denganku” membuktikan kalau aku masih menganggapnya lebih tinggi dariku.
Tapi ternyata, bukan begitu.
Yuzuha ternyata melihatku sebagai sosok yang sejajar, bahkan lebih.
Orang yang pernah menjebakku—Seto dan Miyabi—adalah teman masa kecilnya.
Aku sempat curiga dia cuma merasa bersalah.
“Soalnya, Yoshiki itu orang baik.”
Tapi jawaban dia waktu itu murni dari hati.
Kalau dipikir-pikir, masuk akal juga.
Dia berani melindungiku meskipun risikonya reputasinya sendiri. Itu nggak mungkin tanpa rasa peduli yang nyata.
Mungkin, seandainya situasinya beda, kami bisa jadi lebih dekat dari ini.
“Aku tuh ‘di atas sana’, ya. Kamu beneran mikir gitu?”
“Kadang-kadang. Tapi cuma kadang banget setelah masuk SMA.”
“Itu yang mana, sih!”
Yuzuha tertawa ceria.
“Yah, aku juga suka kalau hubungan kita kayak gini. Gimana perasaan kamu sebenarnya nggak penting, aku cuma pengen kamu tetep santai ke aku. Tapi jangan panggil aku ‘matahari’ ya, itu nggak banget.”
Cahaya matahari yang masuk dari jendela jadi lebih redup, tertutup awan tipis.
“Yoshiki, kamu kira bakal seru nggak sih kalau aku jadi pacar kamu? Soalnya tadi kamu kelihatan nggak nolak-nolak amat tuh.”
──“Yuzuha, ternyata kamu cukup suka sama aku, ya.”
Dan dia membalas dengan reaksi itu.
Bukan cuma nggak nolak... dia malah kelihatan senang.
“Pasti seru, sih. Tiap hari kita bisa ngelakuin hal-hal konyol, meski bakal dimarahin juga.”
“Hmm, ya kan? Aku juga mikirnya gitu. Jadi kamu nggak perlu nganggep aku ‘ada di atas awan’ atau semacamnya, kan?”
“...Yah, bukan berarti aku mikir gitu terus-terusan. Tapi berkatmu juga, posisiku sekarang lebih baik daripada waktu SMP.”
“Posisi, ya. Yah, emang beda sih sama zaman SMP waktu kamu sering dikucilkan.”
“Cara ngomongmu itu lho!”
Waktu aku menegur, Yuzuha malah tertawa lepas.
Dan aku, yang merasa sudah banyak terbantu oleh Yuzuha, nggak bisa marah padanya.
“Kayak waktu di kolam renang kemarin, cewek-cewek bisa nerima kamu karena kamu itu ‘Yoshiki’. Meski faktor adanya Youko juga cukup besar sih.”
“Aku juga nggak pernah mikir bisa disukai sama cewek. Yang aku maksud dengan ‘posisiku membaik’ itu lebih ke temanku makin banyak, gitu aja.”
Yuzuha tersenyum kecil.
“Aku suka, kok. Sama kamu, Yoshiki.”
Kalimat yang keluar tanpa aba-aba itu langsung membuat semua kata di pikiranku membeku.
Saking kuatnya, rasanya kalimat itu langsung menyerap masuk ke otakku.
“Ah... makasih.”
“Iya.”
Yuzuha menatapku lurus.
Tatapannya yang terlalu jujur membuatku secara refleks membuka mulut.
Tanpa berpikir panjang, aku melontarkan pertanyaan yang muncul begitu saja.
“...Kamu suka dalam arti teman, kan?”
Cahaya matahari masuk dari jendela dan menyinari wajah cantik Yuzuha.
Beberapa detik hening.
Lalu Yuzuha tersenyum lembut.
Dan kemudian...
“Kalau kamu jadi pacarku juga nggak masalah, tahu. Masa kamu nggak ngerti dari tadi?”
Yuzuha tersenyum nakal, tanpa terlihat gugup sedikit pun.
Karena dia tetap seperti biasanya, aku tahu dia nggak sedang berbohong.
Dia hanya sedang menyampaikan perasaannya, itu saja.
“...Eh?”
“Oh, aku bukan lagi nembak kamu, kok. Cuma jaga-jaga aja aku bilang. Soalnya kalau aku bilang ‘kamu boleh jadi pacarku’, kedengarannya kayak aku sombong banget, kan?”
Keheningan kembali turun.
Aku mencoba mencerna ucapannya, tapi gagal, dan akhirnya bertanya sambil setengah terengah.
“...Tadi itu bukan nembak??”
“Ya iyalah, jelas bukan. Masa iya sih.”
“Eh, bentar-bentar. Aku beneran nggak nyambung sekarang…”
“Ahaha, jangan dipikirin dalem-dalem. Soalnya aku tuh agak aneh kalau soal ‘pengen atau nggak pengen punya pacar’. Kayaknya agak melenceng gitu.”
...Memang, pembicaraan barusan terasa agak berbeda.
Alasan kenapa dia bilang ‘boleh jadi pacarku’ bukan karena perasaan cinta yang murni, tapi lebih ke ‘biar bisa tetap deket seperti biasa, jadi mending pacaran aja’—sebuah motivasi yang paradoks.
Makanya dia tetap kelihatan santai.
“Aaah, aku juga pengen punya pacar, deh.”
“Jadi kamu pengen juga, ya. Tapi kalau kamu sih, bisa punya kapan aja.”
“...Iya sih. Kalau aku mau, bisa aja kapan aja.”
“...?”
Aku merasa ada sedikit bayangan di wajahnya, dan jadi penasaran.
Waktu aku mau tanya, Yuzuha mengubah topik dengan nada ceria.
“Yah, sebelum itu aku harus pastiin dulu nggak tinggal kelas, hehe!”
“Ah itu sih bener banget. Kalau kamu sampe tinggal kelas, semua orang bakal panik, tahu! Jadi jangan telat-telat lagi.”
“Yah, semoga aja, ya. Tapi kamu juga kemarin bolos, lho. Kita sama aja!”
“Beda jauh, tahu!”
“Iya iya~. Ya udah, aku pulang duluan ya.”
Yuzuha Yui mengganti posisi tas ke bahu dan mulai berjalan pergi.
Aku merasa ada sesuatu yang ganjil dari punggungnya, tapi sampai akhir aku nggak bisa mengungkapkannya dalam kata-kata.
Waktu aku hendak kembali ke kelas untuk mengambil barang, aku menemukan Remi berdiri di depan pintu.
Sepertinya dia juga baru mau pulang.
“Remi, di mejaku itu──”
Sebelum aku selesai bicara, Remi mengambil tasku dan menyerahkannya padaku.
“Makasih.”
“Sama-sama.”
“...Kamu lihat tadi?”
Waktu aku tanya begitu, Remi mengangkat bahunya.
“Cuma bagian akhirnya.”
“Itu justru bagian yang paling nggak pengen dilihat! Mending sekalian dari awal, dong.”
“Jangan ngasal, deh. Aku tuh awalnya janji pulang bareng Yuzuha. Kebetulan aja kamu juga ada di sana.”
Sambil menjelaskan, Remi melangkah keluar ke lorong.
Lalu ia bersandar di loker dan bicara.
“Kamu harus hati-hati, lho.”
“Eh?”
“Soal jarak kamu sama Yuzuha.”
“...Aku tahu kok. Makanya tadi aku udah tegas ngasih batas.”
Yuzuha pernah menolongku waktu SMP.
Tapi kalau terlalu dekat, apalagi dengan skinship yang berlebihan, itu bisa dianggap nggak sopan terhadap Hanazono.
“Kamu mungkin paham. Tapi apa Yuzuha juga paham?”
“Yuzuha ngerti, kok.”
“Gitu ya. Kalau gitu, aku nggak akan bilang apa-apa lagi.”
“Tenang aja.”
“Kalau gitu, bagus.”
Remi menghela napas pelan dan berbalik untuk pergi.
Tapi dia segera menoleh kembali padaku.
“...Yuzuha udah pulang, ya? Berarti aku ditinggal sendiri dong?”
“...Ternyata kamu juga ditinggal, ya.”
Post a Comment