Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Chapter 10 – Hal yang Berharga
Di taman yang sering kami singgahi sepulang sekolah.
Aku dan Hanazono melangkah menuju pohon besar yang menjulang paling megah di dalam area taman.
Saat pohon besar itu menutupi sinar matahari, Hanazono mulai berbicara dengan tenang.
“Yossi. Ada apa, mau ngomongin apa?”
…Sepanjang pelajaran hari ini, aku sudah memikirkannya berkali-kali.
Untuk menyelamatkan Yuzuha, dibutuhkan tindakan yang cukup ekstrem. Tapi meski ekstrem, tidak ada salahnya meningkatkan kemungkinan keberhasilannya.
Setelah menimbang berbagai hal, aku sampai pada kesimpulan bahwa bantuan dari Hanazono sangatlah penting.
Popularitas Hanazono, status sosial sebagai anggota OSIS—semuanya adalah hal yang tidak aku miliki.
“Yossi?”
“Ya. Aku to the point aja ya, kamu sadar nggak sama kondisi kelas hari ini?”
Atas pertanyaanku, Hanazono mengangguk kecil.
“Kelihatannya situasinya cukup parah ya, buat Yuzuha-san. Kamu juga hampir telat masuk jam pertama kan, pasti kamu bantuin dia, ya?”
Entah kenapa, nada bicaranya terdengar lebih tenang dari biasanya.
Aku teringat pada peringatan dari Remi.
…Hanazono melihatku saat aku marah demi membela Yuzuha.
Meski aku paham bahwa Hanazono mungkin tidak menyukainya, aku tetap harus bicara.
“Aku ingin menolong Yuzuha. Dan untuk itu, aku butuh bantuanmu, Hanazono.”
Hanazono diam saja, mempersilakan untuk melanjutkan.
Aku pun menjelaskan rencanaku untuk menyelamatkan Yuzuha.
“Kalau cuma bergerak tanpa rencana, Yuzuha nggak akan tertolong. Ini rencanaku.”
“Oke.”
“Di pertemuan siswa minggu depan, aku akan bicara. Aku akan jelasin semua alasan kenapa Yuzuha harus kerja paruh waktu, supaya siswa-siswa lain bisa bersimpati. Mungkin dia bakal diskors untuk memberi contoh, tapi kerja paruh waktunya bisa diizinkan sebagai pengecualian.”
“...Apa kamu punya dasar untuk percaya hal itu akan terjadi?”
“Sebelumnya, aku pernah dengar dari Pak Hasegawa. Dia bilang ada suara-suara yang mempertanyakan peraturan sekolah yang terlalu tidak adil. Kalau aku bisa dapat dukungan dari guru-guru, aku rasa bisa berhasil.”
Itu semua sudah kupikirkan selama pelajaran tadi.
“Pembina OSIS ‘kan Bu Kagami, ya? Katanya kepribadiannya berkebalikan dengan Pak Hasegawa. Kalau aku diperkenalkan oleh anggota OSIS yang dia akui, dia pasti nggak bisa langsung menolak permintaanku.”
Setelah menjelaskan semuanya, aku menundukkan kepala.
“Tolong bantu aku.”
“Maaf, nggak bisa.”
Penolakan itu keluar dengan sangat ringan, dan aku terbelalak.
Aku tidak menyangka akan dijawab secepat itu, dan lebih tidak menyangka kalau penolakannya sekeras itu.
Tenggorokanku kering karena gugup, dan aku bertanya dengan suara serak.
“Gagal ya. Kalau dipikir-pikir, risikonya besar juga, ya, buat kamu. Bisa aja kamu dikeluarin dari OSIS.”
Bagi Hanazono, jadi anggota OSIS yang didapat sejak kelas satu itu pasti sesuatu yang berharga.
Dia jadi bebas dari kegiatan ekstrakurikuler, dan aku paham kalau itu bukan sesuatu yang mudah dilepas.
“Tapi aku siap jadi pihak yang disalahkan sepenuhnya. Untungnya hubungan kita belum diketahui siapa-siapa, jadi kamu bisa bilang kalau kamu nggak enak nolak permintaanku. Bilang aja aku maksa kamu di hari H.”
“Terus, Yossi bakal gimana?”
“Entahlah. Paling disuruh bikin surat penyesalan, atau paling parah diskors. Tapi kayaknya nggak sampai dikeluarin.”
“Begitu ya. Tapi gimana kalau ternyata kebencian terhadap Yuzuha lebih besar dari yang kita kira?”
“Eh?”
“Ada beberapa cowok di kelas yang bahkan nggak peduli sama Yuzuha. Kalau kamu maksa nolongin dia, bisa aja kamu yang malah dikucilkan, tahu?”
Aku terbayang wajah-wajah anak cowok di kelas.
Kalau ditanya apakah kekhawatiran itu nol persen, jawabannya mungkin tidak.
“Itu… Memang nggak bisa disangkal sih. Tapi, kita ini udah SMA. Masa sih…”
“Bahkan orang dewasa aja masih ada yang ngebully, lho. Mungkin di ruang guru juga.”
Semua itu cuma kemungkinan.
Dan karena itu, aku tidak bisa menyangkal sepenuhnya, dan hanya bisa berharap dia percaya.
Setiap kali Hanazono berbicara, aku merasa jalan yang kupilih makin sempit.
“Kalau pun terjadi yang terburuk, aku tetap mau nolong Yuzuha. Makanya aku ingin kamu bantu aku, Hanazono.”
“Enggak mau.”
Dia menolaknya lagi.
Dengan wajah lembut seperti biasa, tapi dengan nada suara yang sangat tegas.
“Kenapa kamu sampai sebegitunya pengin nolong Yuzuha-san?”
“Ya karena dia temanku, udah jelas.”
Hanazono memiringkan kepalanya sedikit.
“Jadi menurutmu dia temanmu. Tapi, apa itu cukup jadi alasan?”
Sedikit bingung, aku langsung menjawab.
“Teman lagi difitnah gitu. Wajar dong aku pengin bantu meluruskan semuanya.”
“Kamu melakukannya demi apa?”
“Demi nolong dia… Udah jelas, kan.”
Saat aku menjawab, aku sadar ada perubahan dalam suasana Hanazono.
Sejak kami pacaran, aku sudah beberapa kali melihat sisi dirinya yang berbeda.
Tapi ini pertama kalinya aku merasa ngeri.
Sebelumnya, emosi Hanazono hanya tertuju pada orang lain, bukan padaku.
Mungkin aku merasa ngeri karena perasaannya kali ini terasa berbeda dari citranya yang selama ini kukenal.
“Yoshiki-kun, apa Yuzuha-san pernah minta tolong langsung sama kamu?”
“Enggak. Tapi buat nolongin teman, harusnya nggak perlu disuruh dulu, kan?”
“Harus.”
Hanazono mendekat begitu saja dan menatapku dari jarak sangat dekat.
Pipinya masih lembut. Bibirnya melengkung ke atas. Geraknya tetap tenang—tapi matanya beda dari biasanya.
“Yoshiki-kun. Aku tuh bukan temannya Yuzuha-san, tahu?”
“Tapi kalian sempat hangout bareng. Waktu kita jadian, kalian juga ke arcade bareng.”
“Oh, itu ya…”
Hanazono mengalihkan pandangannya dengan nada acuh, lalu menatapku lagi.
“Itu cuma basa-basi. Kalau dia ngajak terus-menerus, masa iya aku bisa nolak? Dia termasuk bagian dari kelompok populer di kelas, kamu pasti ngerti susahnya nolak terus-terusan.”
Semua itu demi menjalani kehidupan SMA yang damai.
Kalau Hanazono memandang situasi Yuzuha seperti itu, mungkin dia memang tidak menganggapnya sebagai situasi yang buruk.
Malah justru—
“‘Teman’ itu, adalah hubungan seperti kita saat SMP dulu.”
“Hubungan kita waktu itu kan udah super deket. Kalau kamu pakai standar itu, kamu nggak akan punya teman, tahu.”
“Ya. Tapi menurutku, teman memang harus seperti itu.”
Hanazono menjawab enteng dan menyisir rambutnya.
“Yossi, kamu pernah cari tahu nggak, apa arti sebenarnya dari kata ‘teman’?”
“Enggak, sih.”
“Orang yang nggak mengkhianati kita. Orang yang beneran bisa dipercaya. Orang yang bisa kita percaya balik.”
Kata-katanya mengalir lancar, seolah sudah dihafalkan.
Aku menunduk, menunggu lanjutannya.
“Bagiku, itulah arti dari ‘teman’. Makanya, aku percaya sama kamu, bahkan sebelum kita jadian. Tapi Yuzuha-san, tetap cuma teman sekelas.”
“...Kalau gitu, berarti aku yang harus nolong Yuzuha.”
“Pacarku mau ngambil risiko jadi musuh satu kelas demi cewek yang bahkan bukan temannya. Jelas aja aku nggak suka. Karena kamu lebih penting buatku, Yossi.”
Apa yang dikatakan Hanazono memang membanggakan sebagai pacar.
Meskipun dia jarang mengungkapkan perasaannya secara gamblang, itu jadi bukti bahwa dia memang menyayangiku.
Seharusnya aku merasa senang, tapi tetap ada bagian dari diriku yang nggak bisa mengalah.
“Waktu SMP, aku pernah diselamatkan Yuzuha. Aku harus balas budi itu. Kamu sendiri pernah bilang, kamu bersyukur sama orang yang membuatmu bisa punya pacar sekarang.”
Mengungkit kembali pembicaraan itu memang agak curang.
Tapi aku nggak punya pilihan lain.
Namun ternyata Hanazono sudah menyadarinya, dan hanya mengangguk sekali.
“Aku bersyukur. Tapi itu aja. Kalau setelah kamu nolong Yuzuha-san malah bikin kamu dikucilkan, aku bakal gampang banget benci kamu, tahu?”
“Tapi—”
“Yossi. Aku ini pacarmu, lho.”
Suara dingin itu menegaskan kenyataan dengan datar.
“Kita bahkan belum pacaran sebulan. Baru sekali jalan bareng. Di masa-masa seperti ini, kamu malah milih prioritaskan cewek lain? Yossi, kamu sebenarnya pengin hubungan kita kayak gimana, sih?”
Kata-kata itu mengalir pelan tapi tak terbendung.
…Remi benar.
Aku belum benar-benar mengenal Hanazono.
Aku jatuh cinta hanya pada sisi dirinya yang kutahu.
Dan mungkin, aku terlalu percaya diri menganggap bahwa bagian yang kukenal itu sudah lebih dari setengah dari keseluruhan dirinya.
Kalau sebagian besar dirinya adalah sisi yang tidak kuketahui, apakah aku masih bisa terus menjalin hubungan dengan Hanazono ke depannya?
Mungkinkah Hanazono sedang menyinggung perasaan ini secara tersirat?
"Kalau kamu benar-benar ingin aku bekerja sama, aku tidak akan menolak. Tapi, setelah itu aku tidak tahu lagi."
"Tunggu, maksudmu… kita putus?"
Hanazono memalingkan pandangannya ke samping, lalu berbisik pelan, "Aku nggak tahu."
Entah sejak kapan, senyuman Hanazono telah menghilang.
Dengan ekspresi kosong dan suara datar, ia melanjutkan:
"Ada bagian dari diriku yang bahkan aku sendiri nggak bisa kendalikan. Kamu pasti sudah tahu dan menyadarinya, kan? Aku masih memakai topeng."
Tenggorokanku tercekat tanpa sadar.
Aku memang merasa ada banyak sisi dari dirinya yang tidak kuketahui.
Tapi aku tidak terlalu memikirkan apakah itu disengaja atau tidak.
Mungkin karena bisa membaca pikiranku, Hanazono bertanya dengan nada sedikit kecewa:
"Kamu nggak sadar?"
"…Aku cuma merasa kamu punya banyak sisi yang sulit dimengerti."
"Nggak sepenuhnya salah, sih."
Aku tidak bisa memahami kenapa dia kecewa karena itu.
Bukankah wajar kalau seseorang ingin menyembunyikan sisi yang tak ingin diketahui orang lain?
Saat pikiranku belum bisa mengejar semua ini, Hanazono kembali membuka suara:
"Aku masih pakai topeng, lho. Jauh lebih lama dibandingkan Nikaidou-san."
"…Jadi kamu sudah tahu Remi juga begitu, ya?"
Mereka berdua teman sekelas waktu SMP. Wajar saja kalau mereka saling tahu.
Secara tidak langsung, mungkin Remi juga tahu sifat asli Hanazono.
Tapi Hanazono menepis dugaanku dengan kata-katanya:
"Aku sendiri nggak tahu mana diriku yang sebenarnya. Makanya aku memilih kamu."
"Apa maksudmu──"
"Kalau aku nggak bisa membentuk diriku melalui kamu, maka nggak ada gunanya kita bersama."
Hanazono melewatiku tanpa menatap sedikit pun.
Aromanya masih lembut seperti biasanya.
Tapi matanya kini sangat dingin.
"Aku akan tetap membantu. Karena aku memang berterima kasih pada Yuzuha-san."
Meninggalkan kata-kata itu, Hanazono Yuka pun pergi meninggalkan taman.
Aku memang akan mendapat bantuannya.
Tapi bisa dibilang, upayaku membujuk Hanazono kali ini gagal.
…Benarkah ini keputusan yang tepat?
Debu beterbangan tertiup angin, membentuk pusaran kecil yang menari di tanah.
Begitu aku berkedip, pusaran itu telah menghilang tanpa jejak.
***
Rapat tingkat kelas di gedung olahraga.
Dengan suasana yang sedikit lebih santai dibanding rapat seluruh sekolah, para guru dan anggota OSIS menyampaikan kata-kata mereka dengan datar.
Waktu yang terasa tidak penting, membuat sebagian besar siswa hanya menatap kosong ke depan atau ke bawah.
Hanazono maju ke depan.
Beberapa siswa laki-laki yang terlihat tergoda langsung menegakkan punggung dan menatap wajahnya penuh minat.
Namun, itu hanya berlangsung sekitar satu menit pertama.
Tugas Hanazono adalah menjelaskan tentang festival olahraga yang akan dilaksanakan dua bulan lagi.
Toh nanti informasi lengkapnya akan dibagikan dalam bentuk selebaran, jadi tak masalah kalau tidak mendengarkan sekarang.
Saat Hanazono selesai menyampaikan penjelasan umum, kebanyakan siswa tampak melamun dalam dunia khayalan masing-masing.
"Hari ini…"
Hanazono sempat mulai bicara, lalu berhenti.
Setelah tampak ragu sejenak, ia menurunkan mikrofonnya, lalu kembali membuka suara.
"Ada yang ingin saya sampaikan pada kalian."
Karena kalimat itu terdengar tidak seperti bagian dari naskah, beberapa siswa mulai memperlihatkan ketertarikan.
"Mungkin kalian sudah tahu. Di Instagram, ada akun anonim yang mengunggah foto salah satu siswa tanpa izin."
Kali ini dampaknya luar biasa.
Sebagian besar siswa langsung mengangkat wajah dan memasang telinga.
Para guru yang berdiri di samping pun saling berpandangan, tampak bingung dengan pernyataan yang tidak ada dalam jadwal itu.
Setelah menyadari hal tersebut, Hanazono melanjutkan dengan nada tenang:
"Sekarang, cukup banyak siswa Kitako yang mengikuti akun buruk itu. Karena itu, saya ingin mengizinkan seseorang yang tahu banyak tentang kejadian ini untuk bicara."
Siswa dari kelas 2 yang duduk di barisan depan mulai gaduh.
Takeru berbisik, "Siapa, tuh?"
Takano dan Sudou saling memastikan bahwa mereka tidak terlibat.
"Silakan, Yoshiki Ryouta dari kelas 2. Kami serahkan padamu."
Namaku dipanggil, dan aku pun berdiri.
Bukan hanya kelas, tapi semua siswa seangkatan kini menatapku.
Takeru berbisik, "Kenapa kamu?" tapi aku tak punya waktu untuk menjawab.
Langkah kakiku jadi kacau seperti lupa cara berjalan, tapi akhirnya aku sampai di depan.
Saat menerima mikrofon dari Hanazono, aku sadar telapak tanganku penuh keringat.
Hanazono menatapku sekilas, lalu tersenyum ringan.
Senyuman untuk publik.
Aku harus menghadapi kenyataan ini nanti, tapi untuk sekarang──
Aku mulai berbicara ke dalam mikrofon.
"Halo, saya Yoshiki Ryouta dari kelas 2."
Suaraku bergema di dalam gedung olahraga yang sunyi.
"Seperti yang tadi dikatakan Hanazono-san, teman saya sedang menjadi korban pihak ketiga yang jahat."
Karena telah diperkenalkan oleh Hanazono, perhatian para siswa masih tertuju padaku.
Mereka yang tahu kenyataannya masih menatap dengan penuh perhatian.
Sambil menganalisis situasi secara netral, aku merangkai kalimat yang sudah kuhafalkan dalam ingatan.
"Menurut saya, teman saya itu adalah siswi yang selalu memimpin kelas. Tapi di balik itu, dia bekerja berjam-jam, tidur hanya 4–5 jam, bahkan kadang datang ke sekolah setelah semalaman begadang."
Suaraku kaku dan sedikit bergetar.
Lebih gugup dari yang kuperkirakan, tapi aku tak bisa berhenti berbicara agar tak kehilangan kredibilitas.
"Memang, mungkin bekerja sambil bersekolah di Kitako itu hal yang salah. Tapi teman saya bahkan membayar sendiri biaya sekolahnya."
Setelah mengatakan itu, aku langsung merasa ada yang aneh.
Perhatian para siswa mulai menghilang dariku satu per satu.
Para siswa dari kelas lain mulai kehilangan minat, dan suasana perlahan menjadi dingin.
Panik, aku melanjutkan kalimat berikutnya.
"Memang benar, dia memilih bekerja sebagai resepsionis hotel."
Aku ingin mereka yang tahu soal foto-foto itu memahami bahwa ini hanya kesalahpahaman.
Bagi siswa yang tidak tahu, aku ingin mereka mengira ini cuma cerita tentang pekerjaan paruh waktu.
Itulah maksud dari naskah ini, tapi ternyata tidak berjalan baik. Bahkan beberapa teman sekelasku mulai menghindari tatapan.
Dengan tergesa-gesa, aku menyampaikan bagian selanjutnya.
"Saya tanya alasannya. Katanya, karena tak ingin ketahuan pihak sekolah, dia harus kerja di kota sebelah. Karena waktu yang terpakai buat perjalanan, dia cari tempat kerja dengan bayaran tinggi. Kalau bisa sekalian belajar di sela waktu, lebih bagus. Pilihan pekerjaannya pun jadi sangat terbatas."
Sekarang, kira-kira hanya separuh siswa yang masih mendengarkan.
Mungkin nanti akan makin berkurang.
Bagaimana caranya agar mereka mau mendengarkan?
Kalau ini tidak menjadi momen yang spesial, maka tidak ada gunanya aku bicara di sini.
Dari sudut mata, aku melihat gerakan guru Kagami dan langsung terkejut.
Para guru yang tadi diam saja kini tampaknya menganggapku sebagai objek hukuman, dan hendak maju menghampiri.
Kalau mikrofonnya diambil, aku hanya akan membuat Hanazono dan Yuzuha semakin malu.
Pikiran buruk. Pikiran yang tak henti-hentinya mengotori naskah yang telah kusiapkan dalam kepala.
"Sambil bekerja, dia berusaha menyeimbangkan dengan sekolah, dan sekarang…"
Tetes, tetes.
Tinta hitam terus menetes.
"Dengan menyediakan tempat seperti ini, saya ingin menyampaikan pada kalian semua…"
Semuanya jadi hitam pekat.
──Aku tak bisa melanjutkan bicara.
Paaaan!
Suara tepukan tangan yang nyaring memecah keheningan.
Begitu menoleh ke arah suara, aku langsung tahu sumbernya.
Dari barisan kelas 2, sahabat masa kecilku menatap lurus ke arahku.
Remi menepukkan tangan tanpa peduli tatapan orang, demi menghilangkan keteganganku.
Naskah yang sudah kupelajari baik-baik menghilang dari pikiranku.
Yang tertangkap oleh mataku hanya wajah Remi.
──Kalau kamu terus menyembunyikan dirimu, ada hal-hal yang nggak akan bisa kamu sampaikan ke orang lain, lho.
Kata-kata dari masa lalu itu terngiang kembali di kepalaku.
Menyembunyikan diri.
Kalimat yang datar dan tak mengandung makna dalam naskah adalah bentuk dari itu.
Kalimat dalam kepalaku telah lenyap.
Namun anehnya, hal yang ingin kusampaikan, hal yang ingin kuteriakkan, justru tetap tertinggal di pikiranku.
Kalau aku bisa menyusunnya dengan baik, apakah itu akan bisa tersampaikan?
Apakah dengan kata-kataku sendiri, aku bisa mempengaruhi orang lain?
“Yuzuha, sebenarnya aku ingin menyimpannya sendiri, tapi maaf.”
Di barisan belakang kelas dua, Yuzuha membuka matanya lebar-lebar, tampak terkejut.
Kami sempat saling bertatapan selama beberapa detik yang bahkan belum mencapai hitungan detik.
Tak lama kemudian, Yuzuha menunjukkan senyum tabah.
Dan tepat setelah aku mulai berbicara kepadanya—
Pandangan yang tadinya dipenuhi warna hitam, perlahan berubah menjadi warna kulit.
Semua orang menengadah.
Aku bisa merasakan tatapan para siswa kembali tertuju padaku.
Tadi, karena aku tidak menyebut nama Yuzuha, mungkin mereka pikir pembicaraan ini akan tetap datar dan aman.
Di sekolah, topik yang lebih sensitif justru sering jadi pusat perhatian.
Itu pengalaman yang sudah cukup kualami waktu SMP.
…Yang berarti, ini adalah kesempatan untuk membalikkan kenangan itu.
Ini juga bisa menjadi ajang untuk menuntaskan masa laluku.
Kesempatan untuk mengubah opini seluruh siswa kelas satu, yang kebetulan sudah tertarik mendengarkanku.
Buat mereka sadar bahwa mempercayai gosip tentang Yuzuha adalah tindakan yang memalukan.
Kesempatan untuk menanamkan kesadaran bersama itu cuma ada di sini.
“Teman seusiaku bekerja keras banting tulang, dan aku sama sekali nggak tahu kenyataan itu. Soalnya aku selalu menganggap remeh, berpikir di usia kita ini mana mungkin ada yang kerja, mana bisa juga.”
Begitu aku berhenti memakai bahasa formal, ekspresi semua orang jadi lebih serius.
Mungkin memang cara menyampaikannya itu penting.
Meski isi pesannya sama, perbedaannya besar antara membaca tulisan di naskah dan mengungkapkan kata-kata secara pribadi.
Bagi pendengar, itu adalah elemen yang sangat penting.
“Tanpa mengandalkan penghasilan orang tua, dia harus menghasilkan puluhan ribu yen sendiri tiap tahun. Itu setara dengan uang angpao selama bertahun-tahun, kan. Jujur aja, kalau besok aku ada di posisi itu, apa aku bisa serius mikirin harus gimana? Kita yang belum pernah kerja part-time ini hidup di dunia yang beda. Benar, kan?”
Dengan kalimat yang nyaris menantang dan bisa memicu perlawanan, aku terus menarik perhatian.
Saat mengalihkan pandangan ke samping, kaki Pak Kagami ternyata sudah berhenti melangkah.
Di sebelahnya, Hanazono menatap ke arahku dengan tenang.
Agar tidak memikirkannya, aku segera mengalihkan pandangan ke depan.
Saat itu, sebuah tangan terangkat dari barisan kelas dua.
…Itu Takeru.
“Ariyano. Silakan kalau ada pertanyaan.”
Begitu kupanggil, Takeru pun perlahan berdiri.
Dengan masuknya orang ketiga, semua tatapan tertuju padanya.
Takeru tampak menegang, tapi tetap melontarkan pertanyaannya.
“Maaf, Yoshiki. Bukan berarti aku nggak percaya, tapi bukankah sekolah kita punya sistem bantuan, seperti menunda pembayaran uang sekolah atau subsidi sebagian biaya? Keluargaku juga miskin, dan aku terbantu dengan sistem itu. Bukankah biasanya orang akan memilih cara itu?”
Miyagi menatap Takeru dengan terkejut.
Kisah pribadi yang bahkan belum diketahui teman sekelompoknya.
Aku bersyukur atas keberaniannya, dan mendekatkan mikrofon ke mulut.
“Bantuan biaya sekolah tentu saja ada. Tapi itu tergantung pada penghasilan orang tua. Kalau penghasilan keluarga melebihi batas tertentu, maka mereka tidak memenuhi syarat. Dan keluarga Yuzuha termasuk yang tidak memenuhi syarat. Hanya saja, orang tuanya tidak mau membayar.”
Aku tidak tahu apakah boleh membeberkan kenyataan sejauh itu.
Tapi melihat ekspresi serius semua orang, kurasa itu ada maknanya.
Takeru mengangguk, lalu menjawab, “Begitu ya. Aku mengerti,” dan kembali duduk.
“Ada yang mau bertanya lagi?”
Ketika aku bertanya, semua orang mulai melirik satu sama lain.
Dengan sesi tanya jawab ini, jelas bahwa kesadaran semua orang kini terpusat ke arahku.
Kurasa, tidak akan ada pertanyaan lagi.
Sebelum keheningan muncul, aku kembali bicara.
“Aku belum benar-benar mengerti rasa syukur bisa bersekolah. Aku hanya memahaminya secara logika, tapi belum benar-benar merasakannya.”
Berapa banyak orang yang punya perasaan sama denganku?
Apa aku akan dianggap tidak tahu diri?
Dengan menelan kekhawatiran itu, aku kembali membuka perasaanku.
“Datang ke sekolah itu melelahkan, ngobrol sama teman memang seru, tapi pagi hari bikin ngantuk. Bahkan, aku kadang merasa uang sekolah yang dibayarkan orang tua itu adalah hal yang wajar.”
Ngomong-ngomong, pola pikir itu berasal dari media sosial.
Karena ingat akan hal itu, aku menambahkan,
“Dulu aku juga pernah terpengaruh sama opini di internet, seperti ‘kalau punya anak, ya wajar dong dibayarin segalanya.’”
Beberapa siswa tampak tertawa kecut.
Mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku.
“Tapi aku sadar, kita tetap harus berterima kasih. Bukan karena itu hal yang luar biasa, tapi karena rasa syukur atas bantuan adalah perasaan yang sangat manusiawi, dan tidak boleh dilupakan.”
Beberapa siswa mengangguk.
Perasaan jujur yang muncul saat itu, ternyata bisa tersampaikan dengan baik.
Dan menyebar ke seluruh ruangan.
“Yang membuatku sadar akan itu, yang mengajarkan hal itu padaku, adalah Yuzuha. Meskipun tidak dibayari uang sekolah oleh orang tuanya, Yuzuha tetap berterima kasih kepada mereka. Dia adalah orang yang bisa menghargai hal penting sebagai hal yang sungguh berharga.”
Yuzuha sebaik dan setulus itu.
“Biasanya, dijadikan bahan pembelajaran seperti ini tuh nggak enak, kan? Tapi Yuzuha bilang, ‘kalau gara-gara aku orang jadi bisa bersyukur ke orang tua, ya mending disampaikan ke semuanya.’”
Yuzuha adalah orang yang berpikir demi orang lain sampai sejauh itu.
“‘Karena dia itu orang yang ada di dunia nyata, bukan di internet, makanya bisa menyadarkan kita,’ katanya. Coba pikir, ada berapa banyak orang seumuran kita yang bisa bicara kayak gitu tanpa ragu?”
Sejak tadi, Yuzuha terus menundukkan kepala.
Mungkin karena mendapat perhatian sebanyak ini, dia jadi merasa tak nyaman.
“Memang, peraturan sekolah melarang kerja part-time. Tapi apakah Yuzuha, yang bisa menyadarkan kita dengan hal seperti ini, juga harus terkena peraturan itu?”
Nada bicaraku mengeras.
Aku sudah tidak gugup lagi.
“Dalam peraturan tertulis, ‘Setiap siswa memiliki hak untuk belajar.’ Itu juga pernah dikatakan Pak Kagami saat pelajaran renang kemarin. Tapi kenyataannya, kita butuh uang untuk sekolah. Bahkan untuk makan siang sehari-hari saja butuh uang. Untuk kegiatan ekstrakurikuler, ada iuran. Semua butuh uang. Kalau hak itu harus dibeli dengan uang, lalu kenapa mencari uang sendiri untuk membeli hak itu dianggap salah?”
Kata-kata terus mengalir tanpa henti.
Tanpa kusadari, aku menggenggam mikrofon lebih erat.
“Ada orang yang berjuang setiap hari. Aku nggak bilang kita semua harus patungan bantu Yuzuha. Tapi meski kita nggak bisa dukung dia secara terang-terangan, setidaknya jangan ganggu. Jangan percaya sama foto aneh itu. Lihat Yuzuha sebagai dirinya sendiri.”
Sambil bicara, aku melirik ke kelompok cowok di kelas dua.
Minegishi tampak canggung dan manyun, sementara Miyagi terlihat sangat serius.
Entah apa yang ditangkap Miyagi dari lirikan mataku, dia langsung meninju punggung Minegishi dengan keras.
“Yuzuha. Aku mau tanya terus terang, kamu nggak melakukan papa-katsu, kan?”
Begitu kutanyakan itu secara langsung, aula olahraga langsung ribut.
Sebagian siswa belum sepenuhnya paham situasinya. Para guru yang berdiri di pinggir aula saling bertanya dengan tatapan “Apa maksudnya ini!?”
Dalam suasana seperti itu, Yuzuha perlahan berdiri.
Tatapan penuh semangat yang paling besar hari ini kini tertuju padanya.
“Enggak, aku nggak ngelakuin itu.”
Para guru terlihat sedikit lega, walau ekspresinya tetap tegas, seolah memutuskan akan memanggilnya secara pribadi nanti.
Yuzuha menatap para guru sejenak, lalu kembali menatap ke depan.
Sikapnya yang sejak awal tidak tampak gugup menunjukkan kalau dia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.
“Tapi kalau cuma ngelihat foto aku jalan bareng om-om di area love hotel, ya aku ngerti itu bisa disalahpahami. Jadi kalian nggak salah kok. Kalau aku ada di posisi kalian, mungkin aku juga bakal curiga.”
…Bohong.
Kurasa kamu nggak akan curiga. Kamu bakal pastikan sendiri dulu dan tetap adil.
Itu aku tahu betul.
“Tapi kenyataannya beda. Waktu aku cari tempat kerja yang gajinya tinggi dan tempatnya nggak gampang ketahuan, area itu yang paling banyak lowongannya. Jadi ya, itu satu-satunya alasan kenapa aku kerja di situ.”
Yuzuha memandang semua orang di aula, lalu tersenyum lebar.
“Maaf ya semua, udah bikin kalian salah paham. Tapi ya gitu deh, kejadiannya.”
…Kamu malah minta maaf, ya.
Ucapan khas Yuzuha itu membuat wajah para siswa menghangat satu per satu.
Dengan suara lantang, Takeru menjawab Yuzuha.
“Kami juga minta maaf. Kami udah suudzon.”
“Gak apa-apa! Kayak yang aku bilang tadi, itu hal yang wajar kok.”
Seluruh siswa mendengar percakapan antara Yuzuha dan Takeru dengan seksama.
Setelah yakin dengan semua itu, aku kembali menggenggam mikrofon dengan erat.
“Hari ini aku datang ke sini untuk menyampaikan suara hati Yuzuha kepada kalian semua. Soalnya, kalau sejak awal dia yang membela diri, mungkin kalian nggak akan percaya.”
Sebagai penutup, aku menambahkan kalimat itu, lalu menoleh ke arah para guru yang berdiri di pinggir aula.
“Wali kelas, Bu Hasegawa. Bagaimana pendapat Ibu? Kalau dari awal sekolah membolehkan kerja paruh waktu, Yuzuha pasti nggak akan kerja di kota sebelah. Dia nggak akan sampai tersentuh oleh niat jahat orang asing, menurutku.”
Begitu kusebut namanya langsung, Bu Hasegawa menggaruk kepala sambil tampak berpikir.
“…Yah, aku ini berpihak pada murid, kok. Kalau masalah uang sekolah itu benar, kita memang perlu konfirmasi dulu dengan hati-hati... Tapi soal pengecualian untuk kerja paruh waktu, kurasa itu memang perlu dipertimbangkan.”
Sambil berkata demikian, beliau menatap ke arah Pak Kagami.
Pembina OSIS dan kepala kelas tahun ajaran ini.
Di antara mereka berdua terjadi kesepahaman tanpa kata.
Lalu suara Bu Hasegawa terdengar lebih mantap kali ini.
“Baiklah, aku akan bertanggung jawab menyampaikan hal ini secara resmi.”
Mulutku refleks membentuk senyum kecil.
Aku membungkuk dalam-dalam, lalu turun dari panggung.
Suasana aula masih terasa agak berat.
Tapi setidaknya, mereka yang pernah difollow akun itu, atau yang sempat salah paham karena gosip, pasti sudah mendengar pesanku dengan jelas.
Meski begitu, aku tetap nggak tahu apakah kata-kataku berhasil mengubah pandangan mereka atau tidak.
Kemungkinan bahwa aku justru menyebarkan gosip lebih jauh juga nggak bisa dihapus sepenuhnya.
Akhirnya, aku memang hanya sebatas ini.
Aku nggak seceria Yuzuha, nggak punya kharisma seperti Yuzuha, dan nggak punya alasan bagi orang-orang untuk menyukaiku seperti mereka menyukai Yuzuha.
Tapi, batinku menyemangati diri sendiri.
Setiap orang punya hasil yang berbeda saat bertindak. Memang akan selalu ada perbandingan siapa yang lebih baik.
Tapi itu bukan alasan untuk berhenti mencoba. Justru karena itulah, kita harus berani mengambil langkah, bahkan untuk hal-hal yang tampaknya bukan untuk kita.
Kalau ini belum bisa menyelesaikan masalah, aku tinggal pikirkan langkah selanjutnya.
Tinggal lakukan tindakan berikutnya saja.
Ngomong-ngomong, Hanazono pernah bilang:
“Nggak apa-apa gagal berkali-kali. Masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya.”
“Soalnya kita ini masih anak SMA. Kita masih bisa melakukan itu.”
Kata-kata yang pernah ia ucapkan itu, kini terngiang kembali dalam pikiranku, meski cukup terlambat.
…Mungkin tanpa kusadari, aku sudah menjadikan pandangannya itu sebagai penopang dalam diriku.
Di SMA ini, aku ingin menemukan sesuatu yang bisa jadi sumber kepercayaan diri.
Kalau saja momen hari ini bisa menjadi awal dari semua itu, aku akan sangat bersyukur.
Dengan harapan seperti itu, aku duduk kembali di barisan kelas dua.
Cahaya lampu berwarna jingga menyinari aula, dan entah kenapa, rasanya cukup menghangatkan hati.
Post a Comment